Anda di halaman 1dari 186

SEJARAH SOSIAL KESULTANAN

LANGKAT

Pagar, dkk
SEJARAH SOSIAL KESULTANAN LANGKAT

Penulis:
Pagar
Fatimah Zuhrah
Shiyamu Manurung
Masmedia Pinem
Dede Burhanudin
Asep Saefullah

Desain Cover & Layout Isi:


TitianArt

Diterbitkan oleh:
LITBANGDIKLAT PRESS
JL. M.H. Thamrin No. 6 Lantai 17 Jakarta Pusat
Telepon: 021-3920688
Fax: 021-3920688
Website: balitbangdiklat.kemenag.go.id
Anggota IKAPI No. 545/Anggota Luar Biasa/DKI/2017

Cetakan Pertama - September 2020

I S B N: 978-623-91689-9-5

ii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah Swt.


Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan nikmatnya tercurahkan
kepada kita. Atas berkat rahmat dan rida Allah jua, penulisan sejarah
Kesultanan Langkat ini dapat diselesaikan, dan kini hasilnya diterbitkan
menjadi buku oleh LitbangDiklat Press (LD Press) Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama.
Sebagaimana diketahui Indonesia, dan Nusantara dalam konteks yang
lebih luas, sungguh wilayah yang eksotis, subur makmur dan menarik
perhatian banyak kalangan. Salah satu daya tariknya adakah
keanekaragaman dalam berbagai hal, baik hayati maupun nabati, rasa,
golongan, suku, maupun agama, serta warna-warni sosial budaya, seni,
tradisi, dan lokalitasnya. Salah satu rekaman warna-warni sosial budaya
dan lokalitasnya terdapat dalam sejarah lokal. Maka, dalam rangka
melestarikan, memelihara, dan memanfaatkan warisan sejarah lokal
tersebutlah digagas suatu kegiatan yang berkaitan dengan sejarah sosial
keagamaan di berbagai wilayah di Indonesia. Salah satunya adalah
Sejarah Kesultanan Langkat yang berada di Provinsi Sumatera Utara.

iii
Kesultanam Langkat adalah fakta sejarah dan meninggalkan banyak
peninggalan artefaktual, khazanah kebudayaan, dan warisan-warisan
nonmaterial lainnya berupa falsafah hidup dan semangat perjuangan
memajukan dan mencerdaskan rakyat serta membangun peradaban dan
karakter bangsa. Kesultanan Langkat merupakan salah satu kerajaan di
Provinsi Sumatera Utara dengan corak Islam. Kesultanan Langkat dikenal
sebagai Kerajaan Melayu yang dahulu termasuk wilayah Sumatera Timur;
bermula dari Kerajaan Aru sekitar tahun 1500 sampai dengan terjadinya
revolusi sosial pada 1946, yang mengakhiri sejarah Kesultanan Langkat.
Kesultanan Langkat memiliki kekayaan berupa ladang minyak, yang
merupakan yang pertama di Indonesia, dan juga perkebunan yang luas,
yang menjadikannya sebagai kesultanan terkaya di Asia Tenggara hingga
masa kolonial Belanda. Saat ini, Langkat merupakan salah satu Kabupaten
di Sumatera Utara.
Dinamika sosial-keagamaan, politik, ekonomi, budaya, dan pendidikan
dalam perjalanan panjang sejarah Kesultanan Langkat sesungguhnya telah
memberikan pengaruh yang kuat pada masyarakat, khususnya masyarakat
Melayu di Langkat. Sampai saat ini, perilaku keislaman dapat dijumpai di
sana-sini di Kabupaten Langkat; aktivitas keagamaan sehari-hari, seperti
salat berjamaah, mengaji di langgar, dan pengajian-pengajian agama,
dapat dengan mudah dijumpai dan masih ada hingga kini. Selain itu,
sumbangan kesultanan ini kepada Republik Indonesia cukup
membanggakan; salah satu pujangga besar dan Pahlawan Nasional berasal
dari Langkat, yakni Amir Hamzah, dan Wakil Presiden RI ketiga, juga
berasal dari sini, yaitu Adam Malik.
Sedikit uraian tersebut dapat memberikan gambaran betapa
pentingnya sejarah ditulis dan dipublikasikan. Oleh karena itu, dalam rangka
mengambil inspirasi, hikmah, dan pelajaran yang sangat berharga
tersebut, buku ini disajikan ke hadapan para pembaca yang budiman.
Buku ini berasal dari hasil penelitian tentang sejarah sosial-keagamaan
Kesultanan Langkat, kerjasama antara Puslitbang Lektur, Khazanah
Keagamaan, dan Manajemen Organisasi dengan Lembaga Penelitian UIN-
SU, Medan pada tahun 2018.

iv
Selanjutnya, kepada LD Press diucapkan banyak terima kasih atas
kesediaannya menerbitkan hasil penelitian ini. Semoga hasil usaha ini
dapat memberikan manfaat seluas-luasnya bagi kepentingan ilmu
pengetahuan dan juga untuk menggali warisan sejarah dan khazanah
keagamaan di Indonesia. Kesemuanya diharapkan dapat memberikan
kontribusi dalam melestarikan, memelihara, dan memanfaatkan warisan
dan nilai sejarah, serta dapat berguna bagi penguatan jati diri dan
pembangunan karakter bangsa.
Terakhir kami sampaikan permohonan maaf apabila masih terdapat
kekurangan di sana sini. Saran, masukan, dan kritik membangun dapat
disampaikan kepada kami untuk perbaikan di masa yang akan datang.
Demikian, semoga bermanfaat dan mendapat rida Allah Swt. Tuhan Yang
Maha Esa. Ãmîn Yâ Rabbal-‘âlamîn.

Jakarta-Medan, Februari 2020

Tim Penulis

v
vi
Daftar Isi

KATA PENGANTAR ..................................................................... iii


DAFTAR ISI .............................................................................. vii

BAGIAN PERTAMA ..................................................................... 1


PENDAHULUAN ............................................................................... 1

BAGIAN KEDUA ........................................................................ 17


SEJARAH DAN KEJAYAAN KESULTANAN LANGKAT .............................. 17
A. Sejarah Berdirinya Kesultanan Langkat ........................................ 17
B. Peralihan Kerajaan Langkat Menjadi Kesultanan Langkat ................ 25
C. Raja-Raja pada Kesultanan Langkat Sejak 1568-1927 ................... 27

BAGIAN KETIGA ........................................................................ 41


MASA KEJAYAAN DAN KEMUNDURAN KESULTANAN LANGKAT .............. 41
A. Masa Merintis Kejayaan: Masa Kepemimpinan Sultan Musa ........... 41
B. Masa Puncak Kejayaan: Masa Kepemimpinan Sultan Abdul Aziz......45
C. Bukti Kejayaan Kesultanan Langkat .............................................. 54
D. Masa Kemunduran Kesultanan Langkat ........................................ 73

BAGIAN KEEMPAT..................................................................... 79
KESULTANAN LANGKAT DALAM BERBAGAI DIMENSI ........................... 79
A. Dimensi Keagamaan .................................................................. 79
B. Dimensi Sosial dan Budaya ......................................................... 87
C. Dimensi Ekonomi ....................................................................... 90

vii
D. Dimensi Politik ........................................................................... 91
E. Dimensi Intelektual .................................................................... 94

BAGIAN KELIMA ....................................................................... 99


FALSAFAH HIDUP MASYARAKAT MELAYU PADA MASA KESULTANAN
LANGKAT ...................................................................................... 99
A. Falsafah Adat Orang Melayu ....................................................... 99
B. Falsafah Hidup Melayu Langkat .................................................. 105
C. Ciri-Ciri Budaya Melayu dalam Falsafah Hidup Melayu pada
Masa Kesultanan Langkat ........................................................ 109
D. Falsafah-Falsafah dalam Kesultanan Langkat .............................. 111

BAGIAN KEENAM .................................................................... 117


REVOLUSI SOSIAL DI KESULTANAN LANGKAT DAN KONTRIBUSI
KESULTANAN LANGKAT UNTUK NKRI .............................................. 117
A. Latar Belakang Revolusi Sosial .................................................. 117
B. Terjadinya Revolusi Sosial ........................................................ 121
C. Kontribusi Kesultanan Langkat dalam Penguatan Ke-Indonesia-an . 137

BAGIAN KETUJUH .................................................................... 159


PENUTUP .................................................................................... 159

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 163


INDEKS ....................................................................................... 169
BIODATA PENULIS ........................................................................ 175

viii
BAGIAN PERTAMA

PENDAHULUAN

Provinsi Sumatera Utara dengan berbagai cerita dan sejarahnya di


kabupaten/kota di sana mengundang banyak kalangan, terutama sarjana
dan pemerhati sejarah untuk mengkajinya. Ini merupakan sebuah upaya
mengumpulkan informasi dan pelajaran berharga kepada generasi-
generasi di masa mendatang. Informasi mengenai kerajaan-kerajaan
dalam sejarah di Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu warisan
budaya yang mengandung beragam dan berlimpah inspirasi sehingga
keberadaannya perlu dipelihara, dilestarikan, dan didayagunakan oleh
berbagai kalangan.
Kabupaten Langkat sebagai salah satu kabupaten di Sumatera Utara
memiliki sejarah kerajaan dengan corak ke-Islaman 1 yang sangat kuat,
yakni Kesultanan Langkat. Kesultanan ini dikenal masyarakat luas sebagai
kerajaan Melayu terpandang serta masyhur ketika itu. Kesultanan Langkat,

1
Ketika pada abad ke-13 Kerajaan Aru masih berdiri, terjadi proses peng-Islam-an ke
daerah-daerah pedalaman, yaitu Karo, Simalungun, Padang Lawas. Sehingga sering
disebut memeluk agama Islam sama dengan masuk Melayu. Lihat Bungaran Antonius
Simanjuntak, Melayu Pesisir dan Batak Pengunungan: Orientasi Nilai Budaya (Jakarta,
Yayasan Obor Indonesia, 2010), h.

1
yang pada masa lalu dikenal sebagai wilayah Sumatera Timur 2, dalam
sejarahnya banyak menarik para pengkaji sejarah di kawasan Nusantara
maupun manca negara dari berbagai aspek keilmuan, seperti sejarah,
antropologi, sosiologi, linguistik, arkeologi, dan filologi.3
Oleh karena itu, mengkaji dan mengungkap dinamika kehidupan sosial-
keagamaan Islam pada masa Kesultanan Langkat tersebut dapat membawa
warna yang sangat menarik bagi daerah Langkat sendiri maupun
masyarakat umum. Khazanah budaya dan warisan sejarahnya dijadikan
pelajaran dan landasan hostoris bagi masyarakat Kabupaten Langkat
khususnya dan bagi masyarakat lain pada umumnya dalam rangka
membangun kebudayaan dan karakter bangsa berdasarkan nilai-nilai
keagamaan (baca: Islam) di masa yang akan datang.
Secara historis, Fachruddin Ray, seorang ahli sejarah Langkat,
menjelaskan bahwa nama Langkat berasal dari nama sebuah pohon yang
menyerupai pohon langsat. Pohon langkat memiliki buah yang lebih besar
dari buah langsat namun lebih kecil dari buah duku. Rasanya pahit dan
kelat. Pohon ini dahulu banyak dijumpai di tepian Sungai Langkat, yakni di
hilir Sungai Batang Serangan yang mengaliri Kota Tanjung Pura. Nama
tersebut melekat menjadi istilah pada Kesultanan Langkat.4

2
Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara, Situs Sejarah Dunia
Kilang Minyak Pangkalan Berandan (Medan: Balitbang Provinsi Sumatera Utara, 2011),
h. 41.
3
Sebagai tambahan bahwa dewasa ini perkembangan ilmu pengetahuan semakin
pesat. Banyak perguruan tinggi yang membuka prodi ataupun jurusan baru. Untuk
meningkatkan kualitas keilmuan yang ada maka perguruan tinggi banyak melakukan
penelitian. Belakangan ini terdapat kecenderungan para ilmuwan untuk menggunakan
beberapa metode dan pendekatan di dalam sebuah penelitian. Hal ini merupakan
konsekuensi logis atas berbagai persoalan manusia yang semakin kompleks. Salah satu
metode penelitian yang digunakan oleh para ilmuwann adalah metode penelitian sejarah.
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan ilmu itu sendiri sejarah tidak lagi
dianggap sekadar ceritera masa lalu yang kaya mitologis, mistis, dan herois, melainkan
sejarah adalah ilmu yang perlu ditunjang pemahaman kritis dan metodologis. Penelitian
sejarah menjadi penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Hal ini dikarenakan kita
bisa mengambil berbagai pelajaran peradaban masa lalu.
4
Wawancara dengan Fachruddin Ray di kediamannya di Stabat, tanggal, 24 maret
2018.

2
Kesultanan Langkat secara geografis berada di wilayah Sumatera
Timur.5 Kesultanan ini memiliki kekayaan terbanyak jika dibandingkan dengan
kesultanan di Deli dan kesultanan di Serdang6 Kekayaan Kesultanan Langkat
sangat mendukung perkembangan keagamaan Islam ketika itu sehingga
penyelenggaraan pendidikan keagamaan Islam sebagai sarana peningkatan
pemahaman Islam dan praktik keislaman di masjid-masjid atau tempat
lainnya sangat diperhatikan. Salah satu wujud perhatian itu adalah batuan
dari kesultanan untuk penyelenggaraannya. Oleh karena itu, Kesultanan
Langkat menjadi terkenal sebagai Kerajaan Melayu bercorak Islam yang
kuat. Gambaran tersebut membawa pengaruh yang signifikan terhadap
perkembangan dan kebudayaan Islam khususnya di daerah Langkat.
Sejarah Kesultanan Langkat secara ringkas sejak awal berdiri, masa
kejayaan hingga masa berakhirnya, memiliki para sultan dengan silsilah
berikut: Dewa Sahdan (1500-1580) di Kuta Buluh, Dewa Sakti (1580-1612)
dan wafat pada Perang Aceh, Raja Abdullah atau Marhum Guri (1612-
1673), Raja Kahar (1673-1750) berkuasa di Kota Dalam Secanggang,
Badiulzaman (1750-1814), Kejeruan Tuah Hitam (1814-1823), Raja Ahmad
(1824-1870), Sultan Musa (1870-1896) di Tanjung Pura, Sultan Abdul Aziz
(1896-1926) di Tanjung Pura, Sultan Mahmud (1926-1946) di Binjai.7
Perkembangan dan kebudayaan Islam yang terdapat dalam sejarah
Kesultanan Langkat dapat dilihat dari sejumlah peninggalannya, antara
lain seni arsitektur Islam yang terdapat di masjid, madrasah, dan bangunan-
bangunan pemerintahan. Corak keislaman yang melekat pada Kesultanan

5
Sebelum menjadi negara kesatuan, Indonesia sempat menyandang status sebagai
negara federalis, Republik Indonesia Serikat pada 27 Desember 1949. Saat itulah terdapat
banyak negara bagian di Indonesia, salah satunya adalah Negara Sumatera Timur (NST).
Lihat Sinar Basarshah II, Tuanku Luckman, Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di
Sumatera Timur (Medan: Yayasan Kesultanan Serdang, 2006), h. 565. Sebagai informasi
bahwa Negara Sumatera Timur yang disingkat NST didirikan oleh Belanda dalam usaha
mempertahankan daerah kaya minyak, perkebunan tembakau dan karet. Lihat http://
lenteratimur.com. Diakses pada tanggal 15 Juli 2018.
6
Anthony Reid, Sumatera: Revolusi dan EliteTradisional, Terj. Tom Anwar (Jakarta:
Komunitas Bambu,2012), h. 64
7
Sulaiman Zuhdi, Langkat dalam Kilatan Selintas Jejak Sejarah dan Peradaban (Stabat:
Stabat Media, 2013), h. 80.

3
Langkat berdampak besar pengaruhnya terhadap masyarakat Melayu
Kabupaten Langkat hingga kini.
Sebagai contoh kebiasaan Kesultanan Langkat yang hingga saat ini
masih menjadi tradisi di masyarakat Kabupaten Langkat adalah perayaan
dan kegiatan agama berkaitan dengan hari-hari besar Islam, seperti pada
bulan Ramadan. Pada masa Kesultanan Langkat, Raja selalu memberikan
bantuan ke masjid-masjid berupa makanan dan minuman bagi masyarakat
yang melaksanakan salat tarawih, witir dan tadarus serta memberikan
bantuan berupa sedekah kepada masyarakat yang kurang mampu ketika
menjelang Idul Fitri.8 Hal ini menjadikan masyarakat selalu menaruh simpati
kepada para sultan, karena pihak kesultanan begitu aktif dalam memberikan
bantuan yang bersifat keagamaan. Gambaran tersebut menurut Bungaran
karena agama yang dominan dianut orang Melayu adalah agama Islam,
sehingga sering disebut masuk Islam berarti masuk Melayu.9
Wilayah Langkat dijuluki sebagai Kota Islam karena secara keseluruhan
penduduknya menganut agama Islam, dan sangat kental akan budaya
Islamnya.10 Sebab kehadiran Islam sebagai agama pada kenyataannya
memang tidak hanya bersifat kerohanian saja melainkan juga membawa
konsepsi-konsepsi kemasyarakatan, kebudayaan, kesenian, dan bahkan
politik kenegaraan pada Kesultanan Langkat. Istilah atau penyebutan “Islam
itu adalah Melayu dan Melayu itu adalah Islam” merupakan keberhasilan
Kesultanan Langkat menciptakan dasar-dasar agama Islam sebagai budaya
hidup sehari-hari masyarakat Melayu.11
Budaya dan gerakan tersebut tercipta ketika kohesi antara pesisir
(sultan-sultan) dan pedalaman (panglima-panglima) ditumbuhkan dalam

8
Djohar dalam Seminar sehari bersama Deputi Menpora, Prof Dr Ir Djohar Arifin
Husin, Sabtu (16/1) di gedung Darma Wanita Pertamina, Pangkalan Brandan, dikutip dari
hasil wawancara Abdul Kadir Ahmadi dan M. Yusuf Thaif (tokoh masyarakat Tanjung
Pura), tanggal 25 oktober 2005.
9
Bungaran Antonius Simanjuntak, Melayu Pesisir..., h. 13
10
M. Kasim Abdurrahman, Studi Sejarah Masjid Azizi Tanjung Pura, Langkat, Sumatera
Utara, (Jakarta Selatan: Najm, 2011), h. 107.
11
"Jadi suku Melayu itu sangat identik dengan agama Islam,”. Penuturan Djohar dalam
Seminar sehari bersama Deputi Menpora, Prof Dr Ir Djohar Arifin Husin, Sabtu (16/1) di
gedung Darma Wanita Pertamina, Pangkalan Brandan.

4
kelembagaan-kelembagaan “Datuk Empat Suku”.12 Usman menuturkan
bahwa proses Melayunisasi dari kelembagaan “Datuk Empat Suku” sejalan
dengan Islamisasi.13Dengan demikian, ruang kehidupan masyarakat Islam
Melayu di bawah kepemimpinan para Sultan Langkat menjadikan Islam
sebagai ideologi yang digunakan untuk mengatur hubungan terhadap
pengaruh budaya kolonialisme. Walaupun, faktor keturunan sering
merupakan penentu dalam mengetahui posisi seseorang di dalam
masyarakat.14
Penuturan Usman dikuatkan oleh Sulaiman Zuhdi bahwa
berkembangnya Kesultanan Langkat sebagaimana dimaksud terjadi pada
tahun 1804 dipimpinan oleh Sultan Musa. Sistem pemerintahannya, raja
dan datuk diakui sebagai kepala pemerintahan dan kepala adat. 15 Akan
tetapi perkembangan pendidikan keagamaan belum mengarah pada model
pendidikan formal. Di masa Sultan Musa lahirlah tarekat Naqsabandiyah
sebagai lembaga keagamaan yang perkembangannya didukung oleh
Kesultanan Langkat sebagai kerajaan terkaya di Sumatera Timur.16 Selain
itu juga Kesultanan Langkat sebagai suku bangsa Melayu mempunyai
falsafah Melayu yang dijadikan dasar membangun sistem pemerintahan.
Falsafah Melayu itu berbunyi bahwa Melayu itu Islam, yang sifatnya universal
dan demokratis bermusyawarah. Melayu itu artinya berbudaya, yang sifatnya

12
Usman Pelly, “Melayu dan Batak dalam Strategi Kolonial”, Simposium Disertasi Dr.
Daniel Perret: Batak dan Melayu, Unimed Medan, 20 Juli 2010; Waspada 22 Juli 2010
dalam Etnisitas dalam Politik Multikultural (Medan, Casa Mesra Publisher, 2015), h. 503
13
Ibid.
14
Bungaran Antonius Simanjuntak, Melayu Pesisir., h. 13
15
Sulaiman Zuhdi, Langkat dalam Kilatan Selintas…, h. 91.
16
Anthony Reid, Sumatera: Revolusi dan Elite Tradisional, Terj. Tom Anwar (Jakarta:
Komunitas Bambu, 2012), hlm. 64-65. Sedangkan kesultana lainnya semasa itu ialah
Kesultanan Deli dan Kesultanan Serdang. Sebagai tambahan informasi bahwa Negara
Sumatera Timur didirikan oleh Belanda dalam usaha mempertahankan daerah kaya minyak,
perkebunan tembakau dan karet. Negara Sumatera Timur saat ini telah menjadi Provinsi
Sumatera Utara. Bagi Belanda, hasil perkebunan karet dan minyak sangat penting dalam
usaha penjajahan wilayah Indonesia saat itu. Sebelumnya pada 8 Oktober 1947, Belanda
juga mendeklarasikan Daerah Istimewa Sumatera Timur dengan gubernur Dr. Tengku
Mansur, seorang bangsawan Kesultanan Asahan yang juga ketua organisasi Persatuan
Sumatera Timur.

5
nasional dalam bahasa, sastra, tari, pakaian, dan lain-lain. Melayu itu berarti
beradat yang sifatnya regional dalam Bhineka Tunggal Ika dengan tepung
tawar, balai, pulut kuning, dan sebagainya yang mengikat tua dan muda.
Melayu itu artinya berturai, yaitu tersusun dalam masyarakat yang rukunn
dan tertib, mengutamakan ketenteraman dan kerukunan, hidup
berdampingan dengan saling menghargai secara timbal-balik. Melayu itu
maksudnya berilmu, yang artinya pribadi diarahkan kepada ilmu
pengetahuan dan ilmu kebathinan.17
Kehidupan sosial keagamaan Islam masyarakat Melayu di bawah
kekuasaan Kesultanan Langkat menampilkan corak masyarakat Islam yang
berbeda dengan masyarakat Islam lainnya. Kedamaian dan keharmonisan
antara sesama warga tetap terjaga dalam budaya Islam Melayu walaupun
masyarakat Langkat memiliki keragaman suku etnis dan agama. Selain
itu, sebagaimana dijelaskan Sulaiman Zuhdi bahwa kebijakan Kesultanan
Langkat menetapkan aturan-aturan keagamaan Islam pada masyarakatnya
dengan mempertimbangkan adat, budaya, dan kearifan lokal Melayu.
Tujuan dari kebijakan Kesultanan Langkat tersebut agar kebutuhan budaya
masyarakat Melayu Langkat dapat diakomodir dalam aturan-aturan agama.
Gambaran kebijakan itu menunjukkan bahwa tradisi-tradisi pra Islam yang
masih ada dalam budaya Melayu tidak dapat dihilangkan begitu saja.
Berhadarkan hal itu, penetapan hukum Islam sebagai dasar kebijakan
Kesultanan Langkat terbentuk atas dasar adat istiadat dan kebiasaan
masyarakat Melayu Langkat.18
Selanjutnya dari aspek perekonomian Kesultanan Langkat yang
didukung oleh sejumlah perkebunan yang luas, dan pertambangan minyak19
sangat memperkuat dan mengharumkan Kesultanan Langkat sebagai
kerajaan Islam Melayu.20 Kesultanan Langkat yang dipimpin oleh 14 sultan21

17
Bungaran Antonius Simanjuntak, Melayu Pesisir…, h.13
18
Sulaiman Zuhdi, Langkat dalam Kilatan Selintas…, h. 90
19
Ahmad Dahlan, Sejarah Melayu (Jakarta: Gramedia, 2014), h. 447.
20
Perdagangan pada masa lalu telah mengalami kemajuan dengan adanya pelabuhan-
pelabuhan di pantai timur Sumatera. Pada 1814-1815 seluruh Sumatera Timur mengekspor
2.846 pikul lada ke Penang, dan pada 1822 mengekspor lada hingga mencapai 30.000
pikul. lihat Bungaran Antonius Simanjuntak, Melayu Pesisir., h. 12

6
sampai berakhir kejayaannya meninggalkan lambang-lambang keagamaan
Islam, antara lain Kesultanan Langkat sebagai lambang kekuatan politik
Islam, Masjid Azizi sebagai lambang sosial-keagamaan, Jamaiyah
Mahmudiyah sebagai lembaga pendidikan Islam, dan Kampung Babussalam
sebagai pusat pengajaran dan penyebaran Tarekat Naqsabandiyah.22
Dalam mewujudkan suatu negara baru hasil perjuangan bangsa yang
dicetuskan pada tanggal 17 Agustus 1945, bukanlah hal yang mudah seperti
apa yang direncanakan. Terlebih lagi di negara baru tersebut telah ada
dan telah beratus tahun tumbuh kerajaan-kerajaan yang mempunyai
kekuasaan dan wewenang secara otonom dan mandiri. Tiba-tiba, kerajaan-
kerajaan ini harus bergabung dan berada di bawah satu kekuasaan, yakni
di dalam satu negara Republik Indonesia. Hal ini tidak disetujui oleh
kerajaan-kerajaan tersebut sehingga memunculkan revolusi sosial. Revolusi
ini dengan secara paksa mengikis habis bentuk-bentuk lama dan
menciptakan bentuk dan sistem baru, seperti yang terjadi pada revolusi
sosial di Sumatera Timur dan Langkat.
Berakhirnya Kesultanan Langkat di tangan revolusi sosial adalah dalam
suasana yang sangat memilukan. Hampir semua kerajaan Melayu di
Sumatera Timur mengalami kekacauan yang luar biasa pada bulan Maret
1946, tidak terkecuali sultan, keluarga sultan, para petinggi kerajaan, cerdik
pandai, bahkan rakyat Kesultanan Islam dibantai habis-habisan. Banyak
dari kerajaan tersebut hanya tinggal nama semata, dan puing-puing sisa
keberadaan sejarah dan kejayaan masa silam. Sebagai contoh di Kesultanan
Asahan, dikabarkan telah jatuh korban jiwa sebanyak 15.000 orang,
demikian juga pada tempat-tempat lainnya, di Langkat dinyatakan sebagai
tempat pembantaian paling parah. 23 Dengan demikian berakhirlah riwayat
kesultanan di Sumatera Timur, termasuk Kesultanan Langkat.

21
M. Kasim Abdurrahman, Studi Sejarah Masjid Azizi…, h. 50.
22
Zainal Arifin, Jamaiyah Mahmudiyah Setelah 100 Tahun (Medan: Mitra Medan, 2013),
h. 20.
23
Andika Bakti, “Konstruksi Melayu Saat Revolusi Sosial Sumatera Timur Di Kesultanan
Langkat Dalam Surat Kabar (Analisis Framing tentang Konstruksi Melayu Saat Revolusi
Sosial Sumatera Timur di Kesultanan Langkat dalam Surat Kabar Pandji Ra’jat)”, https://
jurnal.usu.ac.id. Dilihat pada 12 September 2018.

7
Pada saat terjadi proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia,
Kesultanan Langkat mendukung sepenuhnya terhadap Pemerintah Republik
Indonesia. Demi eksistensi Negara Republik Indonesia yang sangat
diharapkan dan telah lama ditunggu kehadirannya tersebut, Kesultanan
Langkat menyerahkan kekuasaannya kepada Pemerintah Indonesia. Gelar
Kesultanan pada Kesultanan Langkat memang tetap ada dan berlangsung
terus, tetapi sejak saat ini dia tidak memiliki kekuasaan lagi karena telah
diserkan kepada Pemerintah Republik Indonesia. Maka, berlakulah situasi
“Kesultanan tanpa Kekuasaan (Raja tanpa kerajaan dan rakyat).”
Uraian sebelumnya memberikan daya tarik untuk membuka kembali
sejarah Kesultanan Langkat dengan fokus kajian pada aspek sejarah sosial-
keagamaan Islam di Kesultanan Langkat. Berdasarkan latar belakang dan
pertimbangan tersebut, dilakukan penelitian mengenai “Sejarah Sosial
Kesultanan Langkat”.
Berbagai aspek sejarah Kesultanan Langkat sangat menarik untuk
diungkap. Akan tetapi, karena beberapa keterbatasan seperti waktu, tenaga,
dan dana, perlu dibatasi pada beberapa hal pokok yang menjadi fokus
kajian saat ini. Fokus kajian yang dimaksud setidaknya meliputi enam
rumusan masalah berikut: 1) Bagaimana sejarah lahir dan berdirinya
Kesultanan Langkat? 2) Apa saja capaian Kesultanan Langkat pada masa
kejayaannya? 3) Mengapa dan apa saja faktor-faktor kemunduran
Kesultanan Langkat? 4) Bagaimana perkembangan Kesultanan Langkat
dalam berbagai dimensi? 5) Bagaimana terjadinya revolusi sosial di
Kesultanan Langkat? dan 6) Apa saja kontribusi Kesultanan Langkat untuk
NKRI?
Berdasarkan hal tersebut, maka kajian sejarah Kesultanan Langkat
ini bertujuan untuk: 1) Mengetahui sejarah lahir dan berdirinya Kesultanan
Langkat; 2) Mengungkap capaian Kesultanan Langkat pada masa
kejayaannya; 3) Mengetahui sebab-sebab dan faktor-faktor kemunduran
Kesultanan Langkat; 4) Mengetahui perkembangan Kesultanan Langkat
dalam berbagai dimensi; 5) Mengungkap peristiwa revolusi sosial di
Kesultanan Langkat; dan 6) Mengetahui kontribusi Kesultanan Langkat untuk
NKRI.

8
Selanjutnya, dalam penelitian ini terdapat keterbatasan-keterbatasan,
antara lain:
1. Sejarah menurut Dudung Abdurrahman yang dikutipnya dari
Kuntowijoyo adalah “kisah dan peristiwa masa lampau umat manusia”.
Menurutnya definisi tersebut mengandung dua makna sekaligus, yakni
sejarah sebagai kisah atau cerita merupakan sejarah dalam pengertian
secara subjektif, karena peristiwa masa lalu itu telah menjadi
pengetahuan manusia; sedangkan sejarah sebagai peristiwa
merupakan sejarah secara objektif, sebab peristiwa masa lampau itu
masih di luar pengetahuan manusia. Berdasarkan pengertian terakhir,
peristiwa sejarah itu mencakup segala hal yang dipikirkan, dikatakan,
dikerjakan, dirasakan, dan dialami oleh manusia.24 Berdasarkan
pengertian di atas, maka sejarah di sini mengemukakan sejarah
Kesultanan Langkat mencakup segala hal yang dipikirkan, dikatakan,
dikerjakan, dirasakan, dan dialami oleh kalangan narasumber yang
mengetahui tentang sejarah Kesultanan Langkat.
2. Kesultanan Langkat: kepemimpinan Kesultanan Langkat terdiri dari 14
sultan. Dalam penelitian ini dibatasi pada masa Kesultanan Langkat
yang dimulai dari adanya penandatanganan perjanjian dengan Belanda,
dan Raja Langkat diakui sebagai Sultan pada tahun 1877 hingga masa
berakhirnya Kesultanan Langkat. Tahun 1877 merupakan masa
kepemimpinan Sultan Musa yang merupakan Sultan kedelapan yang
dianggap sebagai perintis Kesultanan Langkat.
3. Sejarah sosial adalah sejarah yang memusatkan perhatian pada
masyarakat yang terabaikan, terasingkan, atau termarjinalkan yang
merupakan aktor sejarah sosial. Peran-peran masyarakat dalam sebuah
peristiwa di masa lampau menjadi fokus bahasan sejarah sosial.
Sejarah sosial sendiri bertolak belakangan dengan sejarah politik,
karena dalam sejarah politik lebih memusatkan perhatian pada tokoh-
tokoh besar dalam kajiannya. Dalam kajian sejarah sosial memusatkan

24
Dudung Abdurrahman, Metodologi Penelitian Sejarah Islam (Yogyakarta: Ombak,
2011), h. 1.

9
perhatian pada struktur sosial masyarakat. Misalnya, lapisan
masyarakat kota dan desa dicermati untuk melihat golongan-golongan
sosial yang beragam seperti elite, bangsawan, pedagang, buruh,
petani, dan seniman. Dengan demikian sejarah sosial mempunyai
bahan garapan yang luas, selain penulisan tetang lapisan masyarakat
kota dan desa dalam penulisan sejarah sosial juga bisa mengkaji
masalah perubahan pada masyarakat tradisional ke modern.
Studi terhadap sejarah sosial Kesultanan Langkat secara khusus belum
pernah dilakukan tetapi beberapa studi yang berkaitan dengan Sejarah
Kesultanan Langkat, dapat dijadikan sebagai referensi dan kajian terdahulu
untuk studi ini. Kajian-kajian yang terkait dengan masalah ini dapat
dikelompokan menjadi tiga pembahasan, yakni: Pertama, sejarah
Kesultanan Langkat; Kedua, perkembangan sosial-keagamaan Kesultanan
Langkat dan kaitannya dengan dimensi keagamaan, pendidikan, budaya,
politik, dan hokum; dan ketiga, rekontruksi sosial-keagamaan Kesultanan
Langkat.
Kajian-kajian tersebut dilakukan berdasarkan pengelompokan berikut:
- Pemerintah Kabupaten langkat di Kota Stabat menerbitkan buku berjudul
Biografi Ulama Langkat Syekh Abdul Wahab (Tuan Guru Babussalam).
- Anthony Reid yang berjudul Sumatera: Revolusi dan Elite Tradisional,
diterbitkan di Jakarta oleh penerbit Komunitas Bambu pada tahun 2012.
- Tengkoe Hasjim, yang berjudul Riwajat Toean Sjeh Abdoel Wahab
Toean Goeroe Besilam dan Keradjaan Langkat diterbitkan di Medan,
oleh H. MIJ Indische Drukkerij Afd.
- Devita Syahfitri sebagai Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas
Negeri Medan pada tahun 2014 melakukan penelitian dalam bentuk
skripsi dengan Judul “Peranan Kejeruan Bingai Terhadap Keberadaan
Kesultanan Langkat Pada Tahun 1824-1896 Abad ke XIX”.
- Ahmad Fuad Said yang berjudul Sejarah Syekh Abdul Wahab Tuan
Guru Babussalam yang diterbitkan di Medan oleh Pustaka Babussalam,
tahun 1991.
- M. Kasim Abdurrahman yang berjudul Studi Sejarah Masjid Azizi

10
Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Utara yang diterbitkan di Jakarta
Selatan oleh penerbit Najm pada tahun 2011.
- Hapri Wannazemi sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah,
Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Medan pada tahun 2013
melakukan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul “Eksistensi
Thariqat Naqsabandiyah Besilam”.
- Muhammad Alfin sebagai Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas
Negeri Medan pada tahun 2014 melaksanakan penelitian dalam bentuk
skripsi dengan judul “Kehidupan Sosial-Ekonomi Bangsawan Langkat
1942-1947”.
- Djohar Arifin Husin yang berjudul Sejarah Kesultanan Langkat yang
diterbitkan di Medan pada tahun 2013.
- Hendri Dalimunte sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah,
Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Medan tahun 2012 melakukan
penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul “Pemikiran dan Kebijakan
Syekh Abdul Wahab Rokan Dalam Mengembangkan Dakwah Islam”.
Secara umum, karya-karya sebelumnya yang telah dilakukan terhadap
penelitian yang berkaitan dengan Sejarah Kesultanan Langkat lebih
memfokuskan pada sejarah biografi seseorang atau sejarah Langkat dalam
dimensi yang sangat umum. Sedangkan penelitian ini memfokuskan pada
sejarah Kesultanan Langkat pada aspek sosial-keagamaan Islamnya.
Sebagaimana yang telah diuraian di atas, bahwa penelitian ini
mencoba mengungkapkan kembali sejarah Kesultanan Langkat berfokus
pada dimensi sosial-keagamaan pada masa tersebut. Oleh karena itu,
penelitian sejarah Kesultanan Langkat dilaksanakan dengan menggunakan
metode penelitian sejarah.25 Adapun tahapan-tahapan tersebut antara lain:

25
Metode itu sendri berarti cara, jalan, atau petunjuk pelaksanaan atau petunjuk
pelaksanaan atau petunjuk teknis. Metode disini dapat dibedakan dari metodologi
adalah Sicience of Methods yakni ilmu yang membicarakan jalan. Secara umum metode
penelitian dapat diartikan sebagai cara ilmia untuk mendapatkan data dengan tujuan
dan kegunaan tertentu dan Menurut Abdulrahman, Apa bila tujuan penelitian ini adalah
mendeskripsikan dan menganalisis peristiwa-pristiwa masa lampau maka metode yang
digunakan adalah metode histiris. Metode historis itu bertumpun pada empat langkah

11
Pertama, heuristik adalah tahap pengumpulan data dan informasi.
Ketrampilan peneliti untuk mengumpulkan data dan informasi dengan cara
menemukan, menangani dan memperinci bibliografi, mengklasifikasikan
dan memelihara catatan-catatan. Pengumpulan informasi dapat melalui
buku-buku dari perpustakaan, dokumen resmi, arsip atau bahan tulisan
yang bersifat kajian arkeologis serta seluruh yang dianggap relevan dengan
penelitian sejarah Kesultanan Langkat. Informasi secara lisan akan dilakukan
dengan teknik wawancara dengan narasumber.
Kedua, verifikasi atau kritik sumber. Pada tahap ini dilakukan proses
pengujian terhadap data sejarah Kesultanan Langkat. Cara pengujiannya
dengan membandingkan dan menghadirkan sejumlah data lain dari
persitiwa sejarah yang sama lainnya. Tahap verifikasi atau kritik sumber
menurut Suhartono untuk mendapatkan keotentikan dan kredibilitas sumber
melalui kritik yang dilakukan terhadap sumber-sumber.26 Pada tahap ini
diuji keaslian sumber melalui kritik ekstern meliputi otensitas atau keaslian
sumber. Selanjutnya keabsahan tentang kebenaran sumber melalui kritik
intern, artinya peneliti diharapkan dapat berlaku obyektif dan netral dalam
memperlakukan data yang telah diperolehnya sehingga peristiwa sejarah
yang telah diteliti tidak hilang makna dan kebenaran sejarahnya.
Ketiga, interpretasi. Tahap ini merupakan tahap menafsirkan data yang
telah menjadi fakta dengan cara analisis (menguraikan) dan sintesis
(mengumpulkan) data yang relevan.27 Pada tahap analisis, peneliti
menguraikan sedetail mungkin ketiga fakta (mentifact, sociofact,
dan artifact) dari berbagai sumber atau data sehingga unsur-unsur kecil
dalam fakta tersebut menampakkan koherensinya. Tekhnik analisis data
dalam penelitian ini bersifat analisis data kualitatif. Teknik analisis data
kualitatif adalah analisis data yang bersifat menerangkan, bukan melalui

kegiatan: Heuristik, kritik, Interprstasi, dan Histiografi. Lihat Dudung Abdurrahman,


Metode Penelitian Sejarah Islam (Yogyakarta: Ombak, 2011), h.53
26
Suhartono W. Pranoto, Teori dan Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2010), h. 35.
27
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta, Bentang Budaya: 2013), h.102.
sebagai tambahan bahwa tahap interpertasi dilakukan agar fakta-fakta yang tampaknya
terlepas antara satu sama lain bisa menjadi satu hubungan yang saling berkaitan.

12
angka-angka, dan bentuknya berupa tulisan yang dikritisi oleh peneliti dan
dapat ditangkap makna tersirat dari benda atau buku-buku atau dokumen.
Oleh karena itu, pada proses menganalisis permasalahan dari penelitian
ini, digunakan pendekatan sosiologi agama.28
Keempat, historiografi. Historiografi merupakan tahap akhir dari
penelitian sejarah. Historiografi merupakan cara penulisan, pemaparan,
atau pelaporan hasil penelitian sejarah. Pelaporan hasil penelitian sejarah
dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai proses
penelitian, sejak dari awal (fase perencanaan), penyajian hasil kritik dan
analisis data yang meliputi pengantar, hasil penelitian, dan simpulan, serta
dapat ditambah dengan rekomendasi.29 Pada tahap inilah hasil dari proses
pencarian sumber, kritik sumber, dan penafsiran sumber dituangkan secara
tertulis dalam sebuah sistematika penulisan yang baku, secara deskriptif-
analitik, kronologis, dan terbagi dalam beberapa bab dan subbab.
Adapun dalam tahap pengumpulan data, berikut ini teknik yang
digunakannya, yaitu:
1. Observasi; Tehnik observasi yang digunakan adalah pengamatan
tersamar (unobtrusive observation) dan bersifat non-partisipan, di mana
peneliti hanya bertindak sebagai pengamat dan tidak terlibat langsung
dalam kegiatan yang dilakukan subjek penelitian. Metode observasi ini
sekaligus akan digunakan sebagai analisis silang terhadap data yang
diperoleh melalui wawancara.
2. Wawancara; Penelitian ini menggunakan indepth interview dengan
teknik semi terstruktur (semi structured interviews). Teknik ini dipilih
karena peneliti ingin mengontrol informasi yang ingin diperoleh dari
subjek dan informan penelitian dengan tetap membuka kemungkinan

28
Oleh karenanya maka sosiologi agama di sini merupakan studi tentang fenomena
sosial, dan memandang agama sebagai fenomena sosial. Sosiologi agama selalu berusaha
untuk menemukan pinsip-prinsip umum mengenai hubungan agama dengan masyarakat.
Sosiologi agama adalah suatu cabang sosiologi umum yang mempelajari masyarakat
agama secara sosiologis guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti, demi
kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.
29
M. Dien Madjid dan Johan Wahyudi. Ilmu Sejarah Sebuah Penganta (Jakarta:
Kencana, 2014), h. 231

13
munculnya pertanyaan susulan ketika wawancara berlangsung. Dengan
teknik ini, peneliti akan dibekali dengan interview guide yang berisi
kisi-kisi pertanyaan untuk dikembangkan ketika melakukan wawancara
dengan subjek penelitian.
3. Studi Dokumen dan Literatur; Penelitian ini juga akan mencakup
penelusuran informasi dan data yang relevan atau yang dapat membantu
pemahaman peneliti tentang sejarah sosial-keagamaan pada masa
kekuasaan Kesultanan Langkat. Penelusuran ini dilakukan terhadap
sumber berbeda seperti dokumen, arsip, buku, artikel, dan berita yang
dipublikasi melalui majalah atau surat kabar, monograph, laporan
penelitian, jurnal ilmiah, publikasi online di website dan sebagainya.
Setelah data terkumpul, tahap selanjutnya adalah analisis data. Data
kualitatif yang diperoleh dari wawancara dan studi dokumen atau literatur
akan dianalisis secara kualitatif. Proses analisis data meliputi tiga tahap
yang dilakukan secara siklus, yaitu reduksi data, tampilan data dan penarikan
kesimpulan. Transksrip wawancara dan catatan-catatan lapangan akan
direduksi, diberi kode dan dikategorisasikan berdasarkan jenis dan
relevansinya dalam menjawab pertanyaan penelitian. Data yang telah
terseleksi tersebut ditampilkan untuk memudahkan proses interpretasi atau
pemaknaan dan penarikan kesimpulan.
Sebelum sampai pada tahap penulisan laporan hasil, atau historiografi
dalam konteks penulisan sejarah ini, dilakukan pula proses penjaminan
keabsahan data. Adapun teknik penjaminan keabsahan data yang digunakan
adalah teknik umum yang terdapat dalam penelitian kualitatif, yaitu
kredibilitas dan transferabilitas (credibility and transferability). Untuk
menjamin tingkat keterpercayaan data yang diperoleh, dilakukan dua hal
berikut:
a. Sedapat mungkin memperpanjang keterlibatan di lapangan penelitian
untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang hal tertentu
dan untuk menguji informasi tertentu yang mungkin disalahtafsirkan
peneliti atau informan.
b. Triangulasi sumber dan metode. Data yang diperoleh dicek ulang
dengan menyilang informasi dari sumber berbeda, khususnya antara

14
hasil wawancara dengan data dokumen atau iteratur.30
Tahap akhir penelitian sejarah adalah historiografi, yakni menyajikan
uraian sejarah berdasarkan data yang telah dikumpulkan, dikritisi, baik
intern maupun ekstern, informasinya maupun sumbernya, kemudian
diverifikasi dan diberikan interpretasi dan analisis. Sehubungan dengan
itu, perlu disusun sistematika penyajiannya agar memudahkan para
pembaca untuk mengetahui pokok-pokok bahasannya dan hasil yang ingin
diketahuinya.
Adapun sistematika pembahasan sejarah Kesultanan Langkat ini adalah
sebagai berikut:
Bagian Pertama, Pendahuluan. Bagian ini menjelaskan latar belakang
dan pentingnya penulisan sejarah Kesultanan Langkat, khususnya aspek
sosial-keagamaanya, kemudian pembatasan dan rumusan masalah, tujuan
penulisan, batasan istilah, kajian terdahulu, dan metodologi, serta
sistematika pembahasan.
Bagian Kedua, uraian tentang Sejarah dan Kejayaan Kesultanan
Langkat. Bagian ini meliputi Sejarah Berdirinya Kesultanan Langkat,
Peralihan Kerajaan Langkat Menjadi Kesultanan Langkat, dan Raja-Raja
pada Kesultanan Langkat sejak 1568-1927.
Bagian Ketiga, yaitu tentang Masa Kejayaan dan Kemunduran
Kesultanan Langkat. Pembahasan Bagian Ketiga mencakup Masa Merintis
Kejayaan: Masa Kepemimpinan Sultan Musa, Masa Puncak Kejayaan: Masa
Kepemimpinan Sultan Abdul Aziz, dan Bukti Kejayaan Kesultanan Langkat,
serta Masa Kemunduran Kesultanan Langkat.
Bagian Keempat tentang Kesultanan Langkat Dalam Berbagai Dimensi,
yaitu Dimensi Keagamaan, Dimensi Sosial dan Budaya, Dimensi Ekonomi,
Dimensi Politik, dan Dimensi Intelektual.
Bagian Kelima berisi tentang Falsafah Hidup Masyarakat Melayu pada
Masa Kesultanan Langkat, dan mencakup pembahasan hal-hal berikut:
Falsafah Adat Orang Melayu, Falsafah Hidup Melayu Langkat, Ciri-ciri Budaya
Melayu dalam Falsafah Hidup Melayu pada Masa Kesultanan Langkat, dan

30
Miles, Matthew dan M. Hubberman, Analisis Data Kualitatif, Terj. Tjejep Rohandi,
Jakarta, UI Press, 1992.

15
Falsafah-Falsafah dalam Kesultanan Langkat.
Bagian Keenam menyajikan pembahasan mengenai Revolusi Sosial
Di Kesultanan Langkat Dan Kontribusi Kesultanan Langkat untuk NKRI.
Uraiannya meliputi Latar Belakang Revolusi Sosial, Terjadinya Revolusi
Sosial, dan Kontribusi Kesultanan Langkat dalam Penguatan Ke-
Indonesiaan.
Bagian Ketujuh, sebagai bagian terakhir, adalah Penutup, terdiri atas
Kesimpulan dan Saran. Kesimpulan mencakup saripati dari hasil kajian
tentang sejarah Kesultanan Langkat ini, khususnya terkait social-
keagamaannya. Adapun saran, khususnya untuk kajian sejarah Kesultanan
Langkat secara khusus, dan kajian sejarah kesultanan secara umum
diharapkan dapat terus ditingkatkan dan dijaga keberlangsungannya. Saran
juga disampaikan untuk Pemerintah Daerah, baik Kabupaten Langkat
maupun Provinsi Sumatera Utara, khususnya dalam pelestarian,
pemeliharaan, dan pemanfaatan warisan sejarah dan khazanah
kebudayaan agama bagi pembangunan bangsa dan penguatan karekter
generasi yang akan datang.

16
BAGIAN KEDUA

SEJARAH DAN KEJAYAAN


KESULTANAN LANGKAT

A. Sejarah Berdirinya Kesultanan Langkat


1. Penamaan Langkat
Nama Langkat berasal dari nama sebuah pohon yang menyerupai
pohon langsat. Penduduk Melayu setempat mengenalnya dengan sebutan
“pohon Langkat”. Pohon langkat memiliki buah yang lebih besar dari buah
langsat namun lebih kecil dari buah duku. Rasanya pahit dan kelat. Pokok
Langkat sejenis dengan Pokok Pakam, yang membedakan, Pokok Langkat
dicirikan oleh daging buah yang kenyal seperti rambutan Berahrang,
diameter buah 2,2-2,9 cm dan diameter biji 1,25-1,40 cm. Sedangkan
Pakam dicirikan oleh daging buahnya yang agak lembek dan lengket dengan
diamater buah 1,4-2,0 cm. Tanaman ini mudah beraptasi dengan kondisi
panas maupun dingin. Baik Pakam maupun Langkat, dahulu selain
dimanfaatkan buahnya untuk ‘pencuci mulut’, ianya berfaedah untuk rawatan
berubatan seperti penyembuh luka, bahan mandian untuk penyakit gatal
dan peninggi tuah dan sebagainya.1 Pohon ini dahulu banyak dijumpai di

1
http://datok zulanhar.blogspot.com/2016/10/pohon-langkat.html. diakses pada
tanggal 18 Juli 2018.

17
tepian Sungai Langkat, yakni di hilir Sungai Batang Serangan yang mengaliri
kota Tanjung Pura2 dan merupakan jalur pusat kegiatan nelayan dan
perdagangan penduduk setempat dengan luar negeri terutama ke Penang/
Malaysia.
Banyaknya pohon Langkat di Sungai Batang Serangan lalu bertemu
dengan Sungai Wampu, namanya kemudian menjadi Sungai Langkat. Kedua
sungai tersebut masing-masing bermuara di Kuala langkat dan Tapak Kuda.
Menurut penuturan Zainal Arifin AKA selaku sejarawan Langkat bahwa
pohon langkat kini sudah jarang dikarenakan kayunya banyak dimanfaat
oleh kalangan manusia untuk kebutuhan hidup atau tradisi budaya yang
diyakini harus menggunakan kayu khusus tersebut, oleh karenanya jika
pun ada pohon langkat dimungkinkan sangat cukup sulit menemukannya
kembali.3 Pohon tersebut menurut beliau hanya terdapat di hutan-hutan
pedalaman daerah Langkat.4 Oleh karena pusat kerajaan Langkat berada
di sekitar sungai Langkat, maka kerajaan ini akhirnya populer dengan nama
kerajaan Langkat.5
Menurut beberapa orang tua di Langkat, dan dibenarkan oleh penuturan
Bapak Basri bahwa pokok Langkat memiliki tuah makanya Langkat makmur
bertuah. Dahulunya pokok-pokok Langkat banyak ditebang salah satu etnis
yang berstatus bukan pribumi atau etnis di luar negeri ini dengan ciri muka
berpenampilan mata cipit membuat peti mati untuk jenazah mereka masa
itu, karena mereka yakin si mayat akan bertuah di alam sana. Oleh karena
itu, asumsi yang sangat kuat adalah akibat keyakinan mereka akhirnya
memlangkakan pokok berbuah manis ini yang kini disebut Matoa, kayunya

2
Nama Tanjung Pura berasal dari kata “Tanjung” yang berarti semenanjung ataupun
daerah paling ujung, dan “Pura” yang menunjukkan pada keberadaan pura-pura kecil
yang dahulu ada di sekitar Tanjung Pura. Dengan demikian, nama Tanjung Pura dinisbatkan
pada proses didirikannya sebuah pura atau istana di daerah paling ujung yaitu antara
pertemuan Sungai Batang Serangan dan Sungai Batang Durian.
3
Wawancara dengan Bapak Zainal Arifin AKA tanggal 22 Agustus 2018 di Tanjung
Pura.
4
Ibid.
5
Tim Peneliti Fakultas Sastra USU (J. Fachruddin Daulay, Nazief Chatib, Farida Hanum
Ritonga, A. Samad Zaino, Jeluddin Daud), Sejarah Pemerintahan Kabupaten Daerah
Tingkat II Langkat, Stabat, 1995, h. 20.

18
menjadi azimat rezeki dengan jampi tuah diri.6

Lambang Kesultanan Langkat

2. Sejarah Dewa Syahdan dan Kerajaan Aru


Kerajaan Melayu Kesultanan Langkat awal mula terbentuknya dari
Kerajaan Aru yang berpusat di Besitang.7 Sejumlah penulis sejarah Langkat
menjelaskan bahwa di antara leluhur Kerajaan Langkat yang diketahui
adalah seorang petinggi Kerajaan Aru bernama Dewa Syahdan yang
diperkirakan masa kekuasaannya tahun 1500 sampai 1580 M.
Mengenai asal-usul Dewa Syahdan sebagai silsilah awal dari Kesultanan
Langkat kalangan sejarahwan berbeda pendapat. Pertama, sebagian
kalangan berpendapat, Dewa Syahdan lahir di tengah hutan belantara
dan dibesarkan di Kuta Buluh (dekat kaki gunung Sinabung), dan
diperkirakan hidup pada tahun 1500 sampai 1580 masehi. Kedua, sebagian
ahli sejarah lainnya berpendapat bahwa Dewa Syahdan adalah putra Raja
Kerajaan Haru yang dibungkus oleh istri raja, lalu diletakkan di bawah
pohon buluh (bambu) di Kerajaan Kutabuluh.8Ketiga, sebagian lainnya

6
Hasil wawancara dengan Bapak Basri di Desa Selesai, tanggal 15 Juli 2018.
7
Tim Survai, Monografi Kebudayaan Melayu Di Kabupaten Langkat , (Proyek
Pengembangan Permuseuman Sumatera Utara: Medan 1980), h. 28.
8
Tim Survai, Ibid.,

19
berpendapat bahwa Dewa Syahdan sebagai saudara dari Putri Hijau, yang
kemudian mendirikan Kerajaan Aru pertama di Besitang.9 Keempat, sebagian
kalangan lain berpendapat terombo Kesultanan Langkat menyatakan bahwa
nama leluhur dinasti Langkat yang paling awal adalah Dewa Syahdan.
Diperkirakan masa kekuasaannya tahun 1500 sampai 1580. Menurut
terombo Langkat, Dewa Syahdan datang dari arah pantai yang berbatasan
dengan Kerajaan Aceh. Ia menjadi anak beru dari Sibayak Kota Buluh di
Tanah Karo. Kemudian ia dikenal dengan gelar Sibayak Si Pintar Ukum
oleh orang-orang Karo, menurut pihak Karo ia marga Perangin-angin Kuta
Buluh. Ia mempunyai regalia rantai emas buatan Aceh dan kain
Minangkabau. Tidak berapa lama kemudian ia turun ke Deli Tua, kemudian
ia pindah ke Guri atau Buluh Cina sekarang.10 Sampai saat ini asal usul
Dewa Syahdan masih menjadi simpang siur, artinya sejumlah perbedaan
keterangan masih dijadikan variasi penjelasan, oleh karenanya maka secara
subtansial muasal atau asal-usul Dewa Syahdan sesungguhnya memiliki
keterkaitan dan keterikatan walaupun terkesan antara satu dan lainnya
memiliki argumentasi sejarah yang cukup berbeda.
Kerajaan Aru11 awalnya beragama Hindu/Buddha dan berganti
keyakinan menjadi Islam. Menurut Hikayat Raja-raja Pasai, mereka

Ibid.
9

10
Lihat https://visit langkat.wordpress.com/2014/10/02/sejarah-kerajaan-langkat/.
Diakses tanggal 30 Agustus 2018. Tulisan tersebut dikutip dalam buku karya Sultan
Serdang Tuanku Luckman Sinar Basarshah II, Bangun Dan Runtuhnya Kerajaan Melayu
di Sumatera Timur, Yayasan Kesultanan Serdang. Medan, 2006. Tetapi dari keterangan
lain pengakuan dari para tetua Langkat, hingga kini yang menganggap dirinya adalah
keturunan marga Perangin-angin. Utamanya yang berasal dari Bahorok mapun Tanjung
Pura. Padahal, jika dilihat dari pandangan orang Karo semula ihwal Kerajaan Aru, tentu
ini menjadi membingunkan.
11
Selanjutnya lihat juga pada situs tersebut bahwa saat ini belum ada mufakat mengenai
siapa Kerajaan Aru itu. Masyarakat Karo, misalnya, menyebutkan bahwa Aru merupakan
Haru yang berasal dari kata “Karo”. Karena itu, masyarakat Aru merupakan masyarakat
Karo yang didirikan oleh klan Kembaren. Dalam “Pustaka Kembaren” (1927), marga
Kembaren disebut berasal dari Pagaruyung di Tanah Minangkabau. Orang Karo ini,
menurut Majalah Inside Sumatera (November 2008), tak mau disamakan dengan marga
Karo yang sekarang, yang disebut sebagai Karo-Karo (bukan asli). Orang Karo-Karo,
seperti Tarigan, Sembiring, Perangin-angin, Sitepu, dan Ginting, baru turun ke Deli pada
awal abad ke-17. Sejumlah sumber lain juga menyebutkan bahwa Kerajaan Aru merupakan

20
diislamkan oleh rombongan Nakhoda Ismail dan Fakir Muhammad.12
Dokumen lain menyebutkan melalui “Sejarah Melayu” bahwa rombongan
Nakhoda Ismail dan Fakir mula-mula mengislamkan Fansuri (Barus
Sekarang), kemudian Lamiri (Lamuri, Ramni) lalu ke Haru dan dari sana
barulah Raja Samudera Pasai yang bernama Merah Silau yang kemudian
menjadi Sultan Malikussaleh diislamkan.13 Peristiwa tersebut terjadi pada
pertengahan abad ke-13 dan diketahui juga bahwasannya Marco Polo
bertemu dengan Malikussaleh pada tahun 1292 M ketika mengunjungi
Pasai. Hal ini juga dikuatkan dengan ditemukannya batu nisan Sultan yang
bertarikh 1297 M dan masih dijumpai di Pasai.14
Pengislaman kerajaan tersebut, termasuk juga Aru menurut Zainal
merupakan efek dari pertemuan-dagang antara negara.15Selanjutnya Islam
merupakan agama yang lebih bisa kompromi dengan tradisi Hindu/
Buddha.16 Betapapun identitas Kerajaan Aru belum terkuak penuh, Tengku
Luckman Sinar dalam buku “Sari Sejarah Serdang” (1971) mencatat bahwa
nama Aru muncul pertama kali pada 1282 dalam catatan Tionghoa pada
masa kepemimpinan Kublai Khan. Pada masa itu juga kota Cina yang
terletak di antara Sungai Buluh Cina dan Sungai Belawan merupakan
perdagangan dari Kerajaan Aru, terutama ketika masa Dinasti Sung Selatan
(antara abad ke-13 dan ke-15) yang mana kapal-kapal Tiongkok langsung

kerajaan Melayu yang amat besar pada zamannya. Akan tetapi, Daniel Perret dalam
buku “Kolonialisme dan Etnisitas” (2010), yang merujuk pada R. Djajadiningrat dalam
buku “Atjehsch-Nederlandsch Woordenboek” (1934), mengatakan bahwa dalam bahasa
Aceh “Haro” atau “Karu” berarti suasana bergejolak dan rusuh di sebuah wilayah.
12
Rustam, Laporan Penelitian: Syekh Abdullah Afifuddin Langkat (Studi Pemikiran dan
Perkembangan Gerakan (Medan, LP2M IAIN SU), h. 30
13
T. Lukman Sinar, Bangun Dan Runtuhnya Kerajaan Melayu Di Sumatera Timur,
(Medan: Penerbit Yayasan Kesultanan Serdang, 2006) h. 12
14
T. Luckman Sinar, Beberapa Catatan tentang Perkembangan Islam di Sumatera
Utara, paper dalam seminar dakwah Islam se-Sumatera Utara, tgl. 29-31 Maret 1981.
Lihat juga harian Analisa tgl. 10 April 1981.
15
Wawancara dengan Zainal Arifin AKA, tanggal 28 Juli 2018.
16
Ahmad Y. Samantho, Oman Abdurrahman et.all, Peradaban Atlantis Nusantara:
Berbagai Penemuan Spektakuler yang Makin Meyakinkan Keberadaannya (Jakarta, Ufuk
Press: 2011), h. 214. Pergaulan budaya pun kembali memadat dan ketat, dalam regulasi
semacam syariah, adat dan sebagainya.

21
berniaga dengan jajahan-jajahan Sriwijaya dan melihat pula pembuktian
hasil penggalian yang dikemukakan di Kota Cina itu (Labuhan Deli
sekarang).17 Lukman menuturkan bahwa kerajaan Aru I merupakan
kerajaan Islam yang telah berdiri pada pertengahan abad ke-13,18 dan
merupakan kerajaan yang cukup masyhur di masa itu.
Pada abad ke-15, Kerajaan Aru atau Haru sudah menguasai Tamiang
(Aceh Timur), Panai hingga Rokan (Provinsi Riau). Jelasnya, ia meliputi
sepanjang pesisir Sumatera Timur. Posisinya yang menghadap ke Selat
Melaka membuat kerajaan ini memainkan peranan penting dalam
perniagaan dan aktivitas maritim. Selat Melaka merupakan jalur
perdagangan laut yang amat aktif dalam periode yang begitu panjang,
yakni mulai abad permulaan masehi hingga abad 19. Bahkan, Perret
menyebutkan bahwa dalam hal tempat perdagangan, 19 Aru merupakan
negara yang setara dengan Kerajaan Melaka semasa dipimpin oleh Sultan
Mansyur Shah yang berkuasa dari 1456 sampai 1477.20
Uraian di atas menunjukkan bahwa Kerajaan Aru menjadi kerajaan
Islam yang setara dengan Pasai dan Melaka menguasai lalu lintas
perdagangan di Selat Malaka. Ini dibuktikan dengan catatan dari Tiongkok

17
T. Luckman Sinar, Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur.,h.
12. Sebagai tambahan informasi bahwa penyerangan ini dikenal dengan nama “Ekspedisi
Pamalayu” dan dituliskan dalam kronik “Paraton” yang tercatat bahwa “Haru bermusuhan”.
Tetapi setelah pulih dari penjajahan Jawa Timur ini, Haru kembali jaya dan perdagangan
kembali makmur. Hal ini dicatat oleh pedagang Persia, Fadiullah bin Abdul Kadir Rasyiduddin
dalam bukunya “Jamiul Tarawikh”, bahwa negeri utama di Sumatera selain Lamuri juga
Samudera, Barlak (Perlak) dan Dalmyan (Tamiang) lalu adalah Haru pada tahun 1310 M.
Tetapi tidak lama, musibah yang kedua menimpa Haru kembali. Tepatnya tahun 1350 M,
Kerajaan Hindu Majapahit dari Jawa Timur berambisi juga menaklukkan seluruh negeri
dalam Kepulauan Nusantara ini. Lihat T. Luckman Sinar, Bangun dan Runtuhnya Kerajaan
Melayu di Sumatera Timur.,h. 13
18
T. Lukman Sinar, Sejarah Medan Tempo Doeloe (Medan: Perwira, 2005), h. 4
19
Nama Aru kembali muncul pada 1413 dalam catatan Tionghoa dengan nama “A-lu”
sebagai penghasil kemenyan. Pada 1436, sumber Tionghoa lain kembali menyebutkan
bahwa “A-lu” memiliki beras, kamper, rempah-rempah, dan pedagang-pedagang Tionghoa
sudah berdagang emas, perak, dan benda-benda dari besi, keramik, dan tembaga di
Tan-Chiang (Tamiang).
20
Lihat http://archive.lenteratimur.com/2011/06/aru-dahulu-langkat-kemudian/.
Diakses pada tanggal 2 Juli 2018

22
ketika Haru mengirimkan misi ke Tiongkok Pada tahun 1282 M.21 Kerajaan
Aru sebagai kerajaan Islam sebaliknya juga mendapat kunjungan dari para
pedagang Cina yang armadanya dikepalai oleh Laksamana Cheng Ho/Zeng
He (beragama Islam) selama era abad ke 15 itu. Pada masa itu Haru telah
mempunyai mata uang sendiri yang terbuat dari sepotong kain yang disebut
“K’oni sebagai alat pembayaran raja dan rakyat negeri ini yang beragama
Islam.22
Gambaran saling melakukan kunjungan antara Kerajaan Aru dan China
sangat berdampak positif antara keduanya, terlebih posisinya yang strategis
membuat Kerajaan Aru menjadi pentas politik dan perdagangan bagi
negara-negara lain. Perdagangan rempah, terutama lada, yang menjadi
komoditas penting di samping emas yang membuat sering terjadi
peperangan di antara Pasai-Haru-Melaka sampai pada pertengahan abad
ke-16 M.23
Peristiwa serangan dari Kesultanan Aceh terhadap Kerajaan Aru
pertama berujung pada hancurnya Kerajaan Aru dan Dewa Shadan sebagai
pimpinan kerajaan melarikan diri dengan beberapa pengikutnya yang
kemudian mendirikan Kerajaan Aru II di kawasan Deli Tua.24 Akan tetapi,
nasib Kerajaan Aru II yang dipimpin oleh Dewa Sakti sebagai pengganti
Dewa Sahdan tetap mendapat serangan dari Kesultanan Aceh hingga
mengalami kehancuran. Serangan yang dilakukan oleh Kerajaan Aceh
terhadap Kerajaan Aru II dipimpin oleh panglima Gocah Pahlawan sekitar
tahun 1612. Puing-puing peninggalan Kerajaan Aru II ini dibangun kembali

21
T. Lukman Sinar, Sejarah Medan Tempo Doeloe.., h. 4. Pimpinan kelompok yang
dikirim oleh kerajaan Aru ke Cina di tahun 1282 M sebagai penganut agama Islam.
22
T. Lukman Sinar, Sejarah Medan Tempo Doeloe.,h. 5-6
23
Ibid.
24
Zainal Arifin AKA, menegaskan dalam bukunya “subuh Kelabu di Bukit Kubu” (2002)
yang diterbtikan oleh Dewan Kesenian Langkat, Kerajaan Aru mendapat serangan dari
kerajaan Aceh Darussalam dan berujung pada kekalahan peperangan itu merupakan
peperangan yang cukup dahsyat hingga tujuh hari dan kerajaan Aceh menguasai ibukota
Deli Tua (1539). Dewa Sahdan kembali menyelamatkan diri dan berhasil membangun
kerajaan baru di Kota Rantang di daerah Hamparan Perak, dari keturunan kerajaan inilah
kerajaan Langkat berdiri. Tetapi para keturunan pembesar Aru yang masih hidup dan
berada di Besitang, Aru I, mereka kembali membangun reruntuhan kerajaan yang sudah
luluh lantak.

23
dan merupakan cikal bakal berdirinya Kerajaan Deli, dimana raja pertamanya
adalah panglima perang Aceh tersebut, yaitu Gocah Pahlawan.25 Ketika itu
Kerajaan Aceh Darussalam dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda sedang
meluaskan daerah kekuasaannya ke wilayah Sumatera Timur.26
Sebelum dan setelah meninggal dunia Dewa Syahdan, Kerajaan Aru
mengalami perpindahan pusat kerajaan dari satu tempat ke tempat lainnya.
Kondisi ini disebabkan situasi perang dengan Kesultanan Aceh yang cukup
panjang serta situasi politik kekuasaan di dalam Kerajaan Langkat. Dewa
Syahdan mempunyai seorang putra bernama Dewa Sakti yang bergelar
Kejeruan Hitam, merupakan pengganti memimpin kerajaan Aru setelah
wafatnya Dewa Syahdan.27
Melalui tulisan Zainal Arifin, bahwa Kerajaan Melayu yang bernama
Kerajaan Aru (Haru) merupakan asal muasal lahirnya Kesultanan Langkat.
Silsilah keturunan pada Kesultanan Langkat berasal dari keturunan Kerajaan
Aru tersebut.28
Bagan 129

25
Tuanku Gocah Pahlawan merupakan salah seorang Panglima Angkatan Perang Aceh
yang perkasa, berpangkat Laksamana Kuda Bintan, ditugaskan menjadi wakil Sultan
Aceh untuk bekas wilayah Aru berkedudukan di Deli. Baginda berasal dari keturunan Mani
Purindam dari Deli Akbar yang neneknya pernah menjadi Bendahara Pasai, lalu mengabdi
sebagai Panglima utama dari Sultan Iskandar Muda Aceh (1636).
26
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, h.

24
B. Peralihan Kerajaan Langkat Menjadi Kesultanan
Langkat
Subjudul ini menjelaskan sejarah Kerajaan Langkat30 setelah wafatnya
Dewa Syahdan hingga diakuinya Kerajaan Langkat sebagai Kesultanan
Langkat31 pada tahun 1877 M, atas penandatanganan perjanjian dengan
Belanda pada tahun 1869.
Langkat sebelumnya merupakan wilayah kepemimpinan Kesultanan
Aceh, sebagaimana Raja Langkat berperan sebagai wakil atau penguasa
lokal atas nama Sultan Aceh sampai awal abad ke-19. Namun, Kerajaan
Langkat merasa tidak nyaman berada di bawah Kesultanan Aceh, maka
raja-raja Langkat meminta perlindungan Kesultanan Siak. Akan tetapi,
Kesultanan Aceh tetap melakukan pendekatan agar Langkat senantiasa
berada di bawahnya namun usaha itu gagal, terlebih Kerajaan Langkat
mendapatkan pengakuan sebagai Kesultanan Langkat oleh Belanda.
Terpisahnya dari kesultanan Aceh oleh sejumlah kerajaan Langkat pada
umumnya disebabkan budaya politik yang mengarah pada semangat
kebersamaan, kekeluargaan, gotong royong, dan musyawarah dalam
mengatasi persoalan dibawah kesultanan Aceh.
Kesultanan Langkat yang dimaksud oleh keinginan Belanda tersebut
adalah pemegang tampuk kekuasaan tertinggi, di bawahnya berada Luhak

209. Sebagai informasi lain bahwa Langkat sebelumnya merupakan bawahan Kesultanan
Aceh sampai awal abad ke-19 ini perlu untuk dicari kembali dokumennya karena terdapat
data yang sedikiit membutuhkan penjelasan dari dokumen kerajaan kesultanan Aceh.
27
Sultan Serdang Tuanku Luckman Sinar Basarshah II, Bangun Dan Runtuhnya
Kerajaan Melayu di Sumatera Timur, Yayasan Kesultanan Serdang. Medan, 2006), h. 22.
28
Zainal Arifin AKA, Langkat Dalam Sejarah., h. 21-22.
29
https://visit langkat.wordpress.com/2014/10/02/sejarah-kerajaan-langkat/. Diakses
tanggal 30 Agustus 2018.
30
Kerajaan Langkat adalah salah satu di antara lima Kerajaan-Kerajaan Melayu yang
besar di Sumatera Timur yang berstatus “Lange Politiek Contract” yaitu mempunyai
perjanjian politik yang tercantum di dalam berbagai pasal dimana ditentukan hak dan
kekuasaannya oleh pemerintahan Hindia Belanda dan selebihnya sebagian besar
wewenang tetap tinggal di dalam kekuasaan kerajaan.
31
Demi kepentingan pelestarian Budaya Melayu Resam Langkat, maka tetap dilakukan
pengangkatan Sultan Langkat, hingga saat ini pada tahun 2003 Y.M. Sri Paduka Tuanku
Sultan Azwar ‘Abdu’l Jalil Rahmad Shah al-Haj ibni al-Marhum Tengku Maimun, cucu Sultan
7; anak dari putra ke10 Sultan, dinobatkan menjadi Sultan Langkat ke-13.

25
yang dipimpin pangeran. Di bawah luhak disebut kejeruan dipimpin oleh
Datuk, yang merupakan raja kecil, kemudian distrik setingkat kecamatan
seperti sekarang. Kejeruan dan distrik ini bertanggung jawab langsung
kepada pangeran/kepada luhak. Sedangkan tingkat pemerintahan yang
terendah adalah penghulu kampung yang boleh dipimpin oleh rakyat biasa
dan bertanggung jawab langsung kepada datuk kejeruan. Sementara itu
untuk mengepalai orang-orang Karo yang ada di Langkat maka diangkatlah
penghulu balai (raja kecil Karo).
Kesultanan Langkat32 merupakan salah satu Kesultanan Melayu
terbesar yang ada di Sumatera Timur. Berdirinya Kesultanan Langkat
berawal dari abad ke-16. Akan tetapi, eksistensi Kesultanan Langkat dan
adanya pemimpin yang disebut sultan baru ada sejak tahun 1840. Ketika
itu, pengertian sultan tidak hanya sebagai pemimpin pemerintahan dan
ulil amri, tetapi juga sebagai pemimpin adat.33
Sejarah Langkat hingga mendapat pengakuan sebagai kesultanan
menurut penuturan Zainal tidak terlepas dari peristiwa kedatangan orang
Eropa di masa itu. Hal tersebut berdampak pada melemahnya kekuatan
Aceh yang menguasai Kerajaan Langkat. Oleh karena itu, raja-raja Langkat
terdorong untuk mencari dan membangun kemandirian mereka.34
Fenomena tersebut merupakan kemenangan sementara bagi raja-
raja Langkat di dalam usaha perebutan kekuasaan dari Kesultanan Aceh.
Perubahan ini telah memberikan dampak pada aspek budaya, ekonomi,
dan psikologis yang menguntungkan bagi masyarakat Kerajaan Langkat.
Peristiwa lepasnya Langkat dari kekuasaan Aceh terjadi pada 1857, yaitu

32
Berpedoman kepada tradisi dan kebiasaan masyarakat Melayu Langkat, maka
dapatlah ditetapkan kapan Raja Kahar mendirikan Kota Dalam yang merupakan cikal
bakal Kerajaan Langkat kemudian hari. Setelah menelusuri beberapa sumber dan dilakukan
perhitungan, maka Raja Kahar mendirikan kerajaannya bertepatan tanggal 12 Rabiul
Awal 1163 H, atau tanggal 17 Januari 1750. Melalui seminar yang berlangsung di Stabat,
pada tanggal 20 Juli 1994 atas kerjasama Tim Pemkab Langkat dengan sejumlah pakar
dari jurusan sejarah Fakultas Sastra USU, maka dapat menentukan Hari Jadi Kabupaten
Langkat yaitu 17 Januari 1750.
33
Budi Agustono. “Kehidupan Bangsawan Serdang 1887-1946”, dalam TesisS2 belum
diterbitkan. Yogyakarta : Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 1993, h. 30.
34
Hasil wawancara dengan Zainal Arifin AKA, tanggal 18 Agustus 2018 di Stabat.

26
bahwa Belanda mengikat perjanjian persahabatan dengan Aceh sebagai
dua bangsa yang merdeka. Dalam perjanjian tersebut diakui bahwa Deli,
Langkat, dan Serdang berada di bawah pertuanan Aceh. 35
Beberapa bulan kemudian, pada hari Senin 1 Februari 1858, Belanda
mengikat perjanjian dengan Siak (Tractaat Siak). Salah satu isi perjanjian
tersebut disebutkan bahwa Kerajaan Siak Sri Inderapura dan daerah
taklukannya mengaku berada di bawah kedaulatan Belanda dan menjadi
bagian dari Hindia-Belanda. Setelah itu, Langkat pun membuat kontrak
yang terpisah dengan Belanda pada tahun 1869 untuk memerdekakan
Langkat dari Aceh dan Siak, kemudian mengakui Raja Langkat sebagai
Sultan pada tahun 1887. Dengan politik Devide et Impera, Belanda berhasil
mengatasi penetrasi dan melemahkan kekuatan Aceh dan Siak serta
menanamkan kekuasaannya secara nyata pada kerajaan-kerajaan di
Sumatera Timur.36

C. Raja-Raja pada Kesultanan Langkat sejak 1568-1927


Adapun raja-raja Langkat37 setelah wafatnya Dewa Syahdan hingga
mendapat pengakuan sebagai Kesultanan Langkat dari Belanda di masa
kepemimpinan Musa, adalah sebagai berikut: (1) 1568-1580: Panglima
Dewa Shahdan, (2) 1580-1612: Panglima Dewa Sakti, anak raja
sebelumnya. (3) 1612-1673: Raja Kahar bin Panglima Dewa Syahdan,
anak raja sebelumnya. (4) 1673-1750: Bendahara Raja Badiuzzaman bin
Raja Kahar, anak raja sebelumnya. (5) 1750-1818: Raja Kejuruan Hitam
(Tuah Hitam) bin Bendahara Raja Badiuzzaman, anak raja sebelumnya.
(6) 1818-1840: Raja Ahmad bin Raja Indra Bungsu, keponakan raja
sebelumnya. (7) 1840-1896: Tuanku Sultan Haji Musa al-Khalid al-Mahadiah
Muazzam Shah (Tengku Ngah) bin Raja Ahmad, anak raja sebelumnya.
1. Kepemimpinan Kesultanan Langkat di Masa Panglima Dewa Sakti (1580-
1612)
35
Wawancara dengan Bapak Zainal Arifin AKA tanggal 7 Juli 2018.
36
Ibid.
37
Kesultanan Langkat dipimpin oleh 14 Raja atau Sultan. Lihat M. Kasim Abdurrahman,
Studi Sejarah Masjid Azizi Tanjung Pura-Langkat-Sumatera Utara (Jakarta Selatan: Najm,
2000), h. 54

27
Dewa Sakti lahir tahun 1580-1612 dan wafat pada Perang Aceh. Ia
merupakan putra dari Dewa Syahdan yang mendapatkan gelar dengan
sebutan Kejeruan Hitam. Konon, Dewa Sakti yang dikenal dengan “Indra
Sakti” merupakan adiknya Putri Hijau di Deli Tua. Suasana perperangan
dengan Kesultanan Aceh di Deli Tua mengakibatkan hilangnya Dewa Sakti
yang kemungkinan besar tewas dalam penyerangan. Peristiwa peperangan
tersebut dalam rangka mempertahankan Kerajaan Haru II di Deli tua sekitar
tahun 1612.Selanjutnya Dewa Sakti mangkat digantikan oleh putranya,
yang setelah mangkatnya bergelar Marhom Guri (mungki sekali di Merah
Milu kepada orang haru yang menentang Sultan Aceh Saidi Mukamil).
Dimakamkan di Buluh Cina, Hamparan Perak sekarang. Marhom Guri
digantikan oleh putranya Raja Kahar (1673).
2. Kepemimpinan Kesultanan Langkat di Masa Raja Kahar bin Panglima
Dewa Syahdan (1612-1673)
Bertahta Raja Kahar ibni al-Marhum Panglima Dewa Syahdan, Raja
Langkat lahir tahun 1673-1750. Ketika mendirikan Kerajaan Langkat di
Kota Dalam daerah antara Stabat dengan Kampung Inai (kecamatan Hinai),
usianya sudah cukup tua kira-kira 77 tahun. Jadi, Raja Kahar diperkirakan
hanya sebentar saja memerintah Langkat. Walaupun demikian menurut
hasil wawancara dengan Bapak Haz menuturkan bahwa pada masa Raja
Kahar nama Langkat sebagai sebuah kerajaan mulai terdengar walaupun
daerah kekuasaannya masih belum begitu luas dan pusat kerajaan masih
berpindah-pindah.38Raja Kahar berputra Badiulzaman bergelar Sutan
Bendahara, dan merupakan penerus beliau setelah wafatnya Raja kahar.
3. Kepemimpinan Kesultanan Langkat di Masa Bendahara Raja
Badiuzzaman bin Raja Kahar (1673-1750)
Bertahta Sutan Bendahara Raja Badiuzzaman ibni al-Marhum Raja
Kahar, Raja Langkat. Badiuzzaman merupakan pengganti Raja Kahar,
seorang yang berpribadi kuat dan dengan cara damai telah memperluas
daerahnya, kira-kira di abad ke-18. Ia dimakamkan di Punggai, bergelar
Marhom Kaca Puri. Badiulzaman mempunyai 4 orang anak laki-laki

Wawancara dengan Bapak Ray tanggal 19 April 2018.


38

28
yaitu Kejeruan Tuah Hitam, Raja Wan Jabar yang mendirikan
Selesai, Syahban di Punggai dan Indra Bongsu yang tetap bersama
Kerjeuran Hitam tinggal di Kota Dalam. Keempat orang putra ini membantu
ayahandanya memerintah dan bolehlah dikatakan masing-masing sebagai
Orang-orang Besar. Ketika Badiulzaman meninggal dunia ia digantikan oleh
putranya yang tertua Kejeruan Tuah Hitam. Ia menetap di Jentera Malai,
sebuah kampung dekat Kota Dalam.
4. Kepemimpinan Kesultanan Langkat di Masa Raja Kejeruan Hitam (1750-
1818)
Bertahta Raja Hitam ibni al-Marhum Sutan Bendahara Raja
Badiuzzaman (Kejeruan Tua), Raja Langkat pada tahun 1750-1818. Bentuk
kerajaan di masa Raja Hitam tidak begitu jauh berbeda dengan ayahnya
Badiuzzaman. Artinya keempat bersaudara ini memerintah dengan otonomi
masing-masing. Menurut Zainal AK, bahwa Kejeruan Hitam tetap dijadikan
oleh keempat kerajaan ini sebagai pemimpin tertinggi dan
perkembangannya hingga memasuki abad ke 19. Raja Kejeruan Hitam
merupakan seorang pemuda yang cekatan, bertekad merebut
pemerintahan dengan bantuan Sultan Panglima dari Deli. Oleh karena itu
perdagangan di negeri tersebut banyak terganggu sehingga perkelahian
antara Kepala-kepala daerah pun tetap terjadi.39
Menurut informasi Anderson seorang penulis sejarah yang
diungkapkan oleh Zainal bahwa Kejeruan Tuan Hitam pernah melakukan
upaya bergabung dengan Sultan Panglima Mengedar Alam dari Deli untuk
merebut pemerintahan kembali dari tangan Siak. Beliau mendatangi
kerajaan Deli untuk mendapatkan bantuan prajurit, senjata dan amunisi.
Tetapi dalam perjalanan menuju Langkat bantuan yang diperoleh dari
kerajaan Deli tersebut meledak, peristiwa tersebut terjadi ketika menghilir
sungai Deli.40 Gambaran perlawanan tersebut tidak menjadikan Langkat
mampu berpisah dengan Kerajaan Siak, malah sebaliknya Langkat

39
Ibid
40
Tatkala itu merekapun sedang asik mandi. Akibat dari ledakan misui itu menewaskan
mereka. Sebagai tambahan informasi di masa itu mulailah lahir daerah-daerah kekuasaan
kecil di Langkat, kira-kira pada akhir abad ke-18.

29
ditaklukkan oleh Siak. Untuk jaminan kesetiaan Langkat, 2 orang putra
Langkat, yaitu putra dari Kejuruan Tuah Hitam, bernama Nobatsyah, dan
seorang putra dari Indra Bongsu, Raja Ahmad, dibawalah ke Siak untuk
diindroktrinasi. Di Siak mereka dikawinkan dengan putri-putri Siak.
Nobatsyah kawin dengan Tengku Fatimah dan Raja Ahmad kawin dengan
Tengku Kanah.
Tiada berapa kemudian Nobatsyah dan Ahmad dikembalikan ke
langkat. Mereka bersama-sama memerintah di Langkat, yang pertama
dengan gelar Raja Bendahara Kejeruan Jepura Bilad Jentera Malai
(Nobatsyah anak pertama Kejeruan Tuah Hitam), sedangkan yang kedua
bergelar Kejeruan Muda Wallah Jepura Bilad Langkat (anak Indra Bongsu
adik ketiga Kejeruan Tuah Hitam).
5. Kepemimpinan Kesultanan Langkat di Masa Raja Ahmad 1818-1840
Bertahta Raja Ahmad ibn al-Marhum Raja Indra Bongsu, Raja Langkat
pada tahun 1818-1840. Beliau bergelar Kejeruan Muda Wallah Jepura Bilad
Langkat. Dimasa itu Langkat bukan dipimpin oleh satu Raja tetapi dua
Raja yang memimpin Langkat. Raja Ahmad dan Raja Nobatsyah di awal
mulanya mereka bersama-sama memerintah di Langkat akan tetapi
berjalannya waktu keduanya mengalami perselisihan yang berujung pada
peperangan. Perperang terjadi dikarenakan perebutan kekuasaan antara
Raja Bendahara Nobatsyah dengan Kejeruan Muda Ahmad pada tahun
1820. Menurut Zainal bahwa Kerajaan Siak nampaknya dengan sengaja
menciptakan raja ganda di Kerajaan Langkat dan sudah diperkirakan
berujung pada sengketa kekuasaan antara keduanya.41
Di dalam perebutan kekuasaan itu, Nobatsyah dibantu oleh saudaranya
Badaruddin, Tengku Panglima Besar Syahdan (anak dari Raja Syahdan
Pungai), dan dibantu oleh iparnya Tuanku Zainal Abdidin (Serdang). Dipihak
Kejeruan Muda Ahmad ialah semua anak-anak dari Raja Wan Punggai dan
Selesai. Di dalam pertempuan yang terjadi antara kedua pihak ini di Punggai,
tewaslah Tuanku Zainal Abidin Serdang dengan 40 lebih orang pahlawan-
pahlawan dari Serdang sehingga ia digelar “Marhom Mangkat di Punggai”.

41
Hasil wawancara dengan Zainal Arifin AKA tanggal 5 Juni 2018.

30
Menurut riwayat pertempuan kedua belah pihak ini, sedikit banyaknya
adalah atas ‘permainan’ Stabat, yang merasa bahwa bukan Nobatsyah
atau Ahmad tetapi Stabatlah yang berhak menjadi raja di Langkat.
Kemudian Raja Bendahara Nobatsyah mati terbunuh. Di Bingai Raja Wan
Desan bin Raja Wan Jabar menjadi Kejeruan. Ketika matinya Raja
Bendahara Nobatsyah, maka Kejeruan Ahmad-lah satu-satunya yang
memimpin Langkat dan diakui oleh Siak. Demikianlah gambaran akhir
peristiwa kepemimpinan sebuah kerajaan yang pimpin oleh dua Raja,
menurut Zainal jika dalam satu kapal dipimpin dua nakhoda pasti tidak
akan menemukan satu persepsi42 oleh karenanya maka pertikaian antara
keduanya tak dapat dihindarkan.
Nobatsyah yang gugur ditangan Raja Ahmad dan Raja Ahmad menjadi
Raja Langkat merupakan keinginan dan rencana Raja Siak, sebagaimana
yang dituliskan oleh Zainal bahwa dalam memangku jabatan sebagai raja
Langkat dimasa datang memang sudah dipersiapkan oleh Sultan Siak yakni
anak dari Nobatsyah yaitu Alamsyah, namun Alamsyah usianya tidak
panjang ketika kanak-kanak ia meninggal dunia.
Raja Ahmad menjadi raja Langkat antara tahun 1827 sampai 1870,
dimana zetel kerajaan dipindahkan dari jentera Malay ke Gebang dipinggiran
muara Sungai Serapuh.43 beliau membuat peraturan-peraturan di mana
Raja-raja Selesai, Stabat, Bahorok dan Bingai mendapat otonomi luas. Di
Bahorok oleh Kejeruan Muda Ahmad diangkat salah satu seorang anggota
keluarganya menjadi Kejeruan44, karena dengan mempunyai status
kemerdekaannya yang luas di Bahorok.
Kepemimpinan Raja Ahmad dengan sejumlah keturunan mereka
menguasai wilayah-wilayah di sekitar Langkat seperti Kejeruan Stabat,
Bingai, Selesai dan lain-lain. Dengan demikian, Kerajaan Langkat menjadi
besar dan luas wilayahnya lebih disebabkan pada pembagian kekuasaan

42
Zainal Arifin AKA, Langkat dalam Sejarah dan Perjuangan Kemerdekaan (Medan,
Mitra Medan, 2002), h. 25.
43
Ibid. Istilah Gebang berasal dari Gerbang (pintu gerbang/gapura) kerajaan.
44
Kejeruan adalah Daerah atau Distrik yang diakui kedaulatannya oleh Kesultanan
dan Pemerintahan Hindia-Belanda. Lihat M. Kasim Abdurraham, Sejarah Masjid., h. 23.

31
antara keturunan-keturunan raja Langkat, masing-masing dari mereka
mendapat otoritas untuk mengelola wilayahnya masing-masing. Menurut
Bungaran bahwa faktor keturunan sering merupakan penentu dalam
mengetahui posisi seseorang dalam masyarakat.45
Sebagai catatan sejarah bahwa Bahorok secara geografis merupakan
taktik-politik yang sangat begitu banyak menuntut perhatian Kerajaan
Langkat sebab wilayah tersebut terus menerus terancam oleh serangan-
serangan dari Gayo dan Alas di wilayah Aceh, dan Bahorok haruslah
menjadi buffer state. Kemudian berikut menyusul periode kelahiran sesama
Kejeruan yang ingin berpengaruh.
Dalam kondisi tersebut, Stabat muncul sebagai tokoh yang penting.
Bahorok dan Selesai melihat saja tanpa daya akan bertambah pengaruh
Stabat. Oleh karena Stabat menjadi begitu penting sehingga dapat
menjalankan hegemoni di atas daerah-daerah lain. Penduduk-penduduk
Jentera Malai, Kota Dalam dan Selesai tidak senang atas perintah Stabat
ini dan banyak yang mengungsi ke daerah pesisir di mana mereka membuat
kampung-kampung baru dan meminta bantuan dari Siak agar
mengamankan kembali keadaan seperti semula. Demikianlah suasana politik
kekuasaan yang terjadi di Langkat sehingga kerajaan Siak memberikan
bantuannya untuk berkuasa lagi.
Kejeruan Muda Ahmad telah meninggal dunia termakan racun di
Pungai.46 Teringatlah orang bahwa di Siak masih tinggal putra dari
Nobatsyah, tetapi telah pula meninggal dunia di Siak, dan Sultan Siak pun
menetapkan putra Kejeruan Mudah Ahmad bernama Tengku Musa sebagai
pengganti Raja Langkat.47 Tengku Musa kemudian berangkat ke Langkat
dan menetap di Kota Dalam. Menurut Haz Raja Musa mempunyai kepribadian
yang sangat kuat dan oleh orang Langkat ia dianggap sebagai pembangun
daerah Langkat hingga kini.48
6. Kepemimpinan Kesultanan Langkat di Masa Raja Musa (1870-1896)
45
Bungaran Antonius Simanjuntak, Melayu Pesisir dan Batak Pengunungan: Orientasi
Nilai Budaya (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2010), h. 13
46
Zainal Arifin AKA, Langkat dalam.., h 26
47
Ibid.
48
Wawancara dengan Ray, tanggal 18 Juli 2018.

32
Bertahta Raja Musa ibni al-Marhum Raja Ahmad, Raja Langkat berkuasa
tahun 1870-1896. Masa kepemimpinanya Langkat mulai mengarah pada
perubahan atau perkembangan yang baik jika dibandingkan pada masa
sebelumnya walaupun sistem pemerintahannya masih berbentuk
tradisional, yaitu raja dan datuk diakui sebagai kepala pemerintahan dan
adat. Raja Musa memimpin Kerajaan Langkat yang sudah diakui berubah
sebutan menjadi Sultan iapun memindahkan zetel kerajaan dari Gebang
ke kota Pati (Tanjung pura sekarang). Hal ini yang kemudian menjadikan
Sultan Musa dianggap sebagai perintis Kerajaan Langkat di Tanjung Pura.49
Sebutan lengkap yang digelarkan oleh Belanda padanya Sultan Al
Haji Musa Alhamdainsyah.50 Selanjutnya pada tahun 1881 Langkat dibagi
atas 2 Onderafdeling, maka Pangeran mengangkat anaknya yang tertua,
Tengku Sulung, sebagai wakilnya di Langkat Hulu yang beribukota di Binjai.
Pada tahun 1884 Langkat berada langsung di bawah kedaulatan Hindia
Belanda dan pada tahun 1887.
Pemerintahan sultan Musa, kerajaan langkat masih mendapat tekanan
dari pihak Aceh dan Belanda dan beberapa daerah di sekitar kerajaan
Langkat, dengan ini sultan Musa lebih menekankan kepada perjanjian damai,
sehingga pada masa pemerintahannnya kerajaan Langkat berkembang
menjadi kerajaan yang megah dan besar. Ia secara damai meluaskan
wilayahnya, sehingga wilayah kekuasaan Langkat bertambah luas mulai
dari perbatasan Aceh Tamiang sampai di kawasan Binjai dan Bahorok,
atau wilayah kesultanan Deli. Adapun batasan-batasan wilayah tersebut

49
Djohar Arifin Husin, Sejarah Kesultanan Langkat (Medan: t.p, 2013), h. 16.; Zainal
Arifin AKA, Langkat dalam Sejarah dan Perjuangan Kemerdekaan (Medan: Mitra Medan,
2013), h. 26. Tanjung Pura merupakan salah satu kota yang pernah menjadi pusat
penyebaran Islam di Sumatera Utara. Ada empat pilar keagamaan di Tanjung Pura, yaitu
Kerajaan Langkat sebagai lambang kekuatan politik Islam, Masjid Azizi sebagai lembaga
sosial keagamaan, Jama’iyah Mahmudiyah sebagai lembaga pendidikan Islam, dan
Kampung Babussalam sebagai pusat pengajaran dan penyebaran Tarekat Naqsabandiyah.
Lihat Zainal Arifin AKA, Jama’iyah Mahmudiyah Setelah 100 Tahun (Medan: Mitra Medan,
2013), h. 20.
50
Wawancara dengan Ray, tanggal 18 Juli 2018. Sebagaimana yang telah disebutkan
di atas bahwa Pangeran Musa pribadi dinaikkan derajatnya oleh Belanda dengan
memperoleh titel Sultan Al Haji Musa Alhamdainsyah. Selain itu ditetapkan pula putra
bungsunya Tengku Montel alias Tengku Abdul Aziz sebagai penggantinya.

33
antara lainnya:
· Sebelah timur: berbatasan dengan Landschap Deli dan Serdang
· Sebelah barat: berbatasan dengan Keresidenan Aceh
· Sebelah utara dan selatan: berbatasan dengan Afdeeling Simalungun
dan Tanah Karo.51
Pada masa Raja Musa, pusat kerajaan memiliki dua buah istana yang
megah yang diberi nama istana Darul Aman dan istana Darussalam yang
saling berdekatan.52
Istana Kerajaan Langkat Pertama

Istana pertama disebut dengan istana Darussalam yang berada di


pinggiran Sungai Batang Durian Tanjung Pura53

Sebagai catatan bahwa semula istana Kerajaan Langkat dibangun di


pinggir sungai Batang Durian Tanjung Pura di belakang Madrasah Jamaiyah.

51
Zainal Arifin AKA, Riwayat Tengku Amir Hamzah: Cinta Tergadai, Kasih Tak Sampai,
Langkat: Dewan Kesenian Langkat, 2002, h. 5. Jika diselidiki dari perjalanan perpindahan
pusat kerajaan Langkat, selalu berada di daerah yang bernama kota, diantaranya pusat
kerajaan Aru I bernama kota Sipinang di hlu sungat Besitang. Kota Sipinang ini telah
punah dan menjadi hutan dikawasan Taman Nasional Gunung Lauser (TNGL). Setelah
hancur kerajaan Aru II di Deli Tua Kemudian berpindah ke Kota Rantang Hamparan Perak
dan saat sekarang daerah ini hanya sebuah desa kota Rantang, lalu berpindah ke Kota
Dalam dan Kota Datar. Daerah Sicanggang sekarang menjadi sebuah dusun Kota Pati
(Tanjung Pura) yang terus berkembang hingga kini.
52
Observasi lapangan ke Museum Tanjung Pura Langkat pada tanggal, 12 Juli 2018.
53
Zainal Arifin AKA, Riwayat Tengku Amir Hamzah: Cinta Tergadai, Kasih Tak Sampai,
Langkat: Dewan Kesenian Langkat, 2002, h. 5

34
Kemudian istana dipindahkan dan dibangun ke arah kota. Istana baru itu
bernama istana Darul Aman,54 istana lama bernama istana Darussalam.
Istana Darul Aman55 bercirikan ornamen Arab dan terbuat dari batu bata.
Sedangkan Istana Baru Darussalam terbuat dari kayu bercirikan ornamen
Cina dan memiliki menara seperti pagoda di bagian tengah bangunannya.
Istana ini menurut Zainal terletak di Kota Pati (Tanjung Pura sekarang)
masih berbentuk rumah panggung berbahan dasar kayu papan. Istananya
berhadapan dengan Sungai Batang Durian yang terletak di belakang Masjid
Azizi.56
Istana Kerajaan Langkat Kedua

Istana kedua tersebut bernama Darul Aman yang terletak di Kota Pati
(Tanjung Pura sekarang) masih berbentuk rumah panggung berbahan dasar
kayu papan. Istananya berhadapan dengan Sungai Batang Durian yang
terletak di belakang Masjid Azizi.57
Pada tahun 1850, Aceh kembali menyerang dan berusaha
mendapatkan kembali kontrol atas tanah Langkat. Pemberian gelar megah
untuk para penguasa lokal dan kehadiran administratif terjadi hanya untuk

54
Zainal Arifin AKA, Riwayat, h. 26-27.
55
Dari hasil kerjasama antara kaum planters dan Sultan Musa dalam konsesi
onderneming, Sultan Musa mampu membangun istana Darul Aman (1880) yang cukup
megah menurut ukuran masa itu. Istana itu letaknya agak ke kota yaitu di sekitar Jalan
Istana (Jalan Amir Hamzah sekarang). Selain itu sultan mampu memiliki barang-barang
mewah yang terpajang di dalam ruangan istana.
56
Zainal Arifin AKA, Riwayat Tengku Amir Hamzah…, h. 5.
57
Zainal Arifin AKA, Riwayat Tengku Amir Hamzah:…, h. 9

35
suatu periode. Akhirnya, kekuasaan Aceh bukan lagi menjadi tandingan
bagi orang Eropa.
Tujuh tahun kemudian, yakni tahun 1857, Belanda mengikat perjanjian
persahabatan dengan Aceh sebagai dua bangsa yang merdeka. Dalam
perjanjian tersebut diakui bahwa Deli, Langkat, dan Serdang berada di
bawah pertuanan Aceh. Tetapi hanya beberapa bulan kemudian, pada
hari Senin 1 Februari 1858 Belanda mengikat perjanjian dengan Siak
(Tractaat Siak)58. Salah satu isi perjanjian tersebut disebutkan bahwa
kerajaan Siak Sri Inderapura serta daerah taklukannya mengaku berada
di bawah kedaulatan Belanda dan menjadi bagian dari Hindia-Belanda.59
Sikap Belanda terhadap daerah taklukannya benar-benar memberikan
efek positif salah satunya bagi Kesultanan Langkat. Hal ini terbukti ketika
bulan Februari 1862 Sultan Musa secara terang-terangan datang ke Siak
untuk meminta bantuan Belanda mengamankan wilayahnya dari
pemberontakan-pemberontakan yang sering terjadi di wilayahnya, serta
ancaman dari Aceh. Oleh sebab itu, tidak mengherankan ketika E. Netscher
melakukan ekspedisi pertamanya ke Sumatera Timur dalam rangka
mengikat kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur di bawah kekuasaan
Belanda, di Langkat Netscher tidak mendapat hambatan apapun.
Tahun 1869 Kesultanan Langkat di bawah kepemimpian Raja Musa
membuat kontrak yang terpisah dengan Belanda pada tahun 1869 untuk
memerdekakan Langkat dari Aceh dan Siak untuk mengakui Raja Langkat
sebagai Sultan pada tahun 1887. Dengan politik Devide et Impera Belanda
berhasil mengatasi penetrasi dan melemahkan kekuatan Aceh dan Siak
serta menanamkan kekuasaannya secara nyata pada kerajaan-kerajaan
di Sumatera Timur, salah satunya Kesultanan Langkat. Oleh karena itu
kemerdekaan Kesultanan Langkat dari Aceh dan hasil kerjasama dengan
Belanda dimasa Raja Musa membuat Langkat menjadi lebih makmur

58
Traktaat Siak adalah perjanjian antara Belanda dengan Siak yang ditandatangani
pada tanggal 1 Februari 1858. Salah satu isinya adalah Siak mengakui kedaulatan Belanda
dan termasuk kerajaan-kerajaan yang ada di pantai timur Sumatera, seperti Deli, Serdang,
Langkat, Asahan, dan Tamiang.
59
Wawancara dengan Bapak Zainal Arifin AKA tanggal 7 Juli 2018.

36
melebihi harapan.60
Aspek keagamaan dari Raja Musa dapat dilihat dari sifat religiusnya,
artinya tidak bisa dilepaskan dari peran seorang guru besar yang datang
ke Langkat. Hal ini terlihat ketika kedatangan ulama tersebut yang bernama
Syekh Abdul Wahab Rokan Al-Khalidi Naksabandi atau yang lebih dikenal
dengan Tuan Guru Besilam. Kedatangan Tuan Guru ke Langkat merupakan
permintaan dari Sultan Musa. Kehadiran Tuan Guru Besilam sangat
memegang peranan penting bagi Sultan Musa dalam memimpin
kerajaannya.
Tuan Guru Besilam dijadikan sebagai penasehat religius oleh Sultan
Musa. Oleh karenanya sebahagian besar dari adat-adat Melayu sangat
erat kaitannya pada kehidupan keagamaan masyarakat Langkat, maka
pihak Kesultanan Langkat di masa Raja Musa dengan sikap religiusnya
mengatur adat-adat Melayu tersebut sebagaimana kebebasan yang
diberikan oleh Hindia-Belanda. Antara lainnya mengaji Al-Qur'an, tepian
mandi, syair dan hikayat, hiburan dan kesenian, pakaian dalam pergaulan,
mengirik padi, mendirikan rumah dan lain sebagainya.61 Misalnya dalam
mengaji Al-Qur'an, setiap orang tua yang mempunyai anak wajib mengajari
anaknya membaca Al-Qur'an sampai tamat (khatam). Jika orang tua
mempunyai anak batas usia masuk mengaji, harus membawa anaknya
kepada seorang guru mengaji sambil membawa pulut setalam, beras
secupak, minyak lampu sebotol dan sepotong rotan. Walaupun belum ada
pendidikan formal62 akan tetapi kegiatan pendidikan keagamaan tetap
berlangsung dengan baik.
Seiring uraian sebelumnya bahwa Sultan Musa dikenal sebagai seorang
pemimpin yang saleh, alim, dan warak. Ia juga sangat mencintai para
ulama dan memberikan perhatian besar terhadap pendidikan agama di
Tanjung Pura. Pada masanya juga Negeri Langkat terkenal sebagai negeri

Ibid.
60

61
Abdul Kadir Ahmadi, Sekilas Layang Adat Perkawinan Melayu Langkat, (Tanjung
Pura-Langkat: Pustaka Babusalam, 1992) h. 12
62
Sulaiman Zuhdi, Langkat dalam Kilatan Selintas Jejak Sejarah dan Peradaban (Stabat,
Stabat Medio, 2013), 91-93.

37
yang sangat religius terutama setelah terbentuknya Kampung Babussalam.63
Meskipun terdapat campur tangan politik Pemerintahan Kolonial
Belanda di dalam unsur pemerintahan kesultanan, tetapi Belanda masih
memberikan keleluasaan terhadap sultan agar kekuasaan pemerintahan
Kesultanan Langkat berjalan sesuai dengat adat yang berlaku selama ini.
Oleh karenanya pada masa pemerintahannya Sultan Musa (1871)
mencontoh Siak dan membentuk Lembaga Datuk Berempat, yang
susunannya diambil dari kedatukan yang tidak mempunyai hubungan darah
langsung dengan Raja-Raja Langkat (zuriat-zuriat yang paling banyak
membantu tegaknya pemerintahan yang dibangun sejak awal masa
kekuasaan Raja Ahmad).64
Selanjutnya dalam menjalankan pemerintahan di Kesultanan Langkat
masa Raja Musa, sultan masih tetap mempercayai keluarga dan kerabat
dekatnya yang memiliki potensi dan dapat dipercaya untuk menjalankan
tugas tersebut. Artinya faktor keturunan sering merupakan penentu dalam
mengetahui posisi seseorang dalam masyarakat.65 Misalnya, anak-laki-laki
Sultan Musa yang bernama Tengku Sulong yang diangkat menjadi wakil
(luhak) Langkat Hulu (1884-1896), dan Tengku Hamzah yang diangkat
menjadi pangeran Langkat Hilir (1887-1899). Selain itu, sultan juga
merekomendasi golongan bangsawan untuk menduduki jabatan di
kerapatan (pengadilan) kesultanan dan perusahaan perkebunan asing.
Dengan demikian sudah dapat dipastikan orang-orang yang memiliki jabatan
tinggi dalam tatanan birokrasi pemerintahan kesultanan adalah golongan
bangsawan.
Pada tahun 1892, oleh karena usianya yang telah lanjut, Sultan Musa
mengadakan abdikasi dan mengangkat Tengku Abdul Azis sebagai
penggantinya dengan gelar Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahkmatsyah tahun
1893. Di akhir masa tuanya Baginda Sultan Musa kemudian bersuluk di

63
M. Kasim Abdurrahman, Studi Sejarah Masjid., h 46.; Tengkoe Hasjim, Riwajat
Toean Sjeh Abdoel Wahab Toean Goeroe Besilam dan Keradjaan Langkat (Medan: H. Mij.
Indische Drukkerij, t.t.), h. 7.
64
Wawancara Ray, tanggal 2 Juni 2018.
65
Bungaran Antonius Simanjuntak, Melayu Pesisir., h. 13

38
Pesantren Naqsabandiyah “Babussalam” yang didirikan oleh Tuan Syekh
Abdul Wahab.

7. Kepemimpinan Kesultanan Langkat di Masa RajaSultan Abdul Aziz


(1827-1927 M)

Tengku Abdul Aziz66

Pemerintahan Kesultanan Langkat kemudian dilanjutkan oleh Tengku


Abdul Aziz (1897-1927 M). Dia adalah putra ketiga dari Sultan Musa sebagai
sultan ketujuh di Kesultanan Langkat. Ibunya bernama Tengku Maslurah
binti Tengku Besar Desan dari Binjai, dia mendapat gelar Tengku Permaisuri.
Semasa anak-anak dan remaja Tengku Abdul Aziz dididik oleh Sultan Musa
di dalam istana. Tengku Abdul Aziz dikarunia 13 putra dan 10 putri. Tengku
Abdul Aziz adalah seorang yang bijaksana dan berwibawa. Dia hidup dalam
lingkungan istana. Semasa kanak-kanak sampai remaja dia mendapatkan
pendidikan secara non-formal, yaitu sultan mendatangkan guru-guru ke
istana untuk memberikan ceramah dan pengajaran kepada keluarga sultan.
Tengku Abdul Aziz telah membawa Langkat pada zaman keemasannya. Ia

66
https://visit langkat.wordpress.com/2014/10/02/sejarah-kerajaan-langkat/. Diakses
tanggal 30 Agustus 2018.

39
meninggal dunia pada tanggal 1 Juli 1927 M akibat menderita sakit gangguan
pernafasan selama lebih kurang satu bulan dan dimakamkan di dekat Masjid
Azizi Tanjung Pura. Ia mendapat gelar Marhum Darul Aman. 67
Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Aziz, Kesultanan Langkat
mengalami kejayaan. Sultan Abdul Aziz terkenal sebagai orang yang
bijaksana, berwibawa, dan memerhatikan rakyatnya. Pada masa
pemerintahan Sultan Abdul Aziz banyak masyarakat dari Pulau Jawa dan
daerah di luar kekuasaan Kesultanan Langkat bermukim dan belajar di
sana. Kejayaan masa Sultan Abdul Aziz diraih berkat kecakapan
kepemimpinannya yang didukung oleh kebijakan pemerintahannya, baik
dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, maupun keagamaan.

67
M. Eko Hendramawan Sembiring, “Sejarah Kota Tanjung Pura Tahun 1896-2014”,
Skripsi (Medan: Unversitas Negeri Medan, 2014), hlm. 36.

40
BAGIAN KETIGA

MASA KEJAYAAN DAN


KEMUNDURAN KESULTANAN
LANGKAT

A. Masa Merintis Kejayaan: Masa Kepemimpinan Sultan Musa


Nama Kabupaten Langkat diambil dari nama Kesultanan Langkat.
Dahulu, penyebutan Langkat tertuju pada pusat pemerintahan Kesultanan
Langkat yang pernah jaya dan sangat ramai, yaitu Tanjung Pura. Saat ini,
Tanjung Pura hanya sebagai kota kecil dengan status ibu kota kecamatan.
Setelah Indonesia merdeka, kondisi dan kapasitas kota ini jauh merosot,
kendatipun sebagiaan bekas peninggalan sejarah kejayaannya masih dapat
ditemukan di tempat ini.
Dari aspek Historis, pusat pemerintahan di Langkat ini telah berkali-
kali mengalami perubahan. Pada masa kekuasaan Raja Ahmad di Kerajaan
Langkat, pusat pemerintahan berada di Gebang. Ketika anaknya, Sultan
Musa, menggantikannya, ia memindahkannya ke Tanjung Pura. Akhirnya,
pada masa Sultan Mahmud, pusat pemerintahannya dipindah ke Kota Binjai.
Setelah Indonesia merdeka, pusat pemerintahan Langkat dipindahkan ke
Stabat. Di tempat inilah pusat pemerintahan Kabupaten Langkat

41
berkedudukan sampai sekarang.
Sebagaimana halnya kerajaan-kerajaan lain, Kejayaan/Kesultanan
Langkat tidak mucul tiba-tiba tetapi melalui proses panjang yang terbangun
secara bertahap dan terkait dengan banyak aspek. Dalam paparan berikut,
proses perjalanan panjang Kesultanan Langkat menuju puncak kejayaannya
dibagi menjadi dua tahap, yaitu;
Pertama, ada banyak hal baru yang diperoleh Sultan Musa pada masa
kekuasaannya. Ia adalah raja pertama yang diberi gelar kehormatan sultan
pada masa Kerajaan Langkat. Nama besar yang disandangnya ini sejalan
dengan kemajuan pesat kerajaan yang diraih pada masanya, di mana hal
ini berbeda dengan semua pendahulunya. Pemberian gelar sultan ini
sekaligus memperlihatkan simbol keislaman yang melekat pada kerajaan
Langkat ini. Penganugerahan gelar”Sultan” ini kepadanya adalah sebagai
pemberian gelar pertama kalinya pada raja-raja Karajaan Langkat, yang
sekaligus merubah peristilahnya menjadi “Kesultanan Langkat”, sedangkan
pada masa sebelumnya adalah “Kerajaan Langkat”.
Raja ketujuh ini miliki sederet gelar kehormatan. Ia dipanggil dengan
gelar Sultan (Raja) Tengku Musa Abdul Jalil Rahmadsyah Al-Halidy Al-
Muazzamsyah Al-Haj raja Kerajaan Langkat, yang bergelar Pangeran Indra
Diraja Amir yang dianugerahi pada tahun 1869. Ia memperoleh kekuasaan
ini sebagai warisan dari ayahnya Raja Ahmad yang ketika itu berpusat dan
berkedudukan di Gebang. Untuk kepentingan kesultanan yang lebih kuat
dan strategis maka setelah Sultan Musa memangku jabatan, ia
memindahkan pusat pemerintahannya ke Tanjung Pura, yang pada masa
itu dikenal dengan nama Kota Pati. Hampir semua raja Islam hanya berani
memberi gelar tertinggi sultan kepada rajanya sebagai penguasa pada
daerah tertentu yang sifatnya lokal. Sementara ada keyakinan yang
terbentuk dalam sejarah islam bahwa gelar penguasa tertinggi Islam adalah
khalifah, dan kepemimpinan yang disandang oleh khalifah adalah bersifat
umum, yaitu untuk seluruh umat manusia di seluruh penjuru jagat raya
ini. Hal ini tidak pernah ada lagi sampai sekarang ini sejak jatuhnya
Kekhalifahan Turki Usmani di Turki.
Sultan Musa telah membawa Kerajaan Langkat menuju masa

42
keemasannya. Berkat temuan dan rintisan ladang minyak pertama di
Indonesia, dan usaha perkebunan yang berjalan dengan sukses pada
masanya telah mengantarkan Kerajaan Langkat mejadi Kerajaan terkaya
yang tiada tandingannya di Asia Tenggara. Ia telah mendirikan istana Darul
Aman yang cukup megah di Kota Pati (sekarang bernama Tanjung Pura)
sebagai singgasana kerajaan, sekaligus simbol kejayaan Kerajaan Langkat.
Ia juga telah memiliki 4 (empat) buah kapal tanker (kapal besi) untuk
pengangkut minyak yang senantiasa berlabuh di Pangkalan Berandan, dan
Pangkalan Berandan dibuka menjadi sebuah kota perminyakan, di mana
putra tertua Raja Gayo yang datang mohon suaka atas perseteruannya
dengan adik kandungnya sendiri di Gayo dalam perebutan tahta kerajaan,
maka Sultan Musa memberi kesempatan kepadanya untuk menjadi
pengawas perminyakan dan ditunjukkah dia sebagai Datok Lepan. Berkat
usaha perminyakan ini. Kejayaan Kerajaan/Kesultanan Langkat ini semakin
dekat dan turut mengukir sejarah panjang, dan kesuksesan Kerayaan/
Kesultanan Islam di Sumatera Timur pada masa kolonial Belanda.
Sultan Musa adalah raja pertama pembuat terobosan baru tentang
sistem aturan putra mahkota yang dapat dipersiapkan menjadi raja. Semula
semua putra mahkota yang berasal dari “Anak Non Graha”, yaitu ayahnya
Tengku dan ibunya berasal dari anak Datuk sudah berhak menjadi raja
tetapi pada masa Sultan Musa, persyaratannya ditingkatkan menjadi “Anak
Graha”, yaitu calon raja harus berasal dari keturunan yang setara antara
ayah dan ibunya, ayahnya keturunan Tengku, demikian juga ibunya adalah
keturunan Tengku (kedua-duanya adalah keturunan Tengku). Dengan
perpaduan dua keturunan yang istimewa ini maka lahirlah anaknya Tengku
asli.
Sejalan dengan kebijakan ini maka keturunannya yang berhak menjadi
sultan adalah Sultan Abdul Aziz. Dia adalah anak yang lahir dari perkawinan
Sultan Musa dengan Masrurah yang juga keturunan Tengku setelah terlebih
dahulu Sultan Musa terlibat perang dengan mantan suaminya Raja Bingai
dan suami Masrurah kalah/ wafat dalam peperangan tersebut, lalu Sultan
Musa menikahinya. Sultan Musa adalah keturunan Tengku, demikian juga
Masrurah adalah keturunan Tengku, jadi keduanya adalah keturunan

43
Tengku, maka Abdul Aziz adalah anak Tengku sempurna, dengan ini dia
berhak menjadi raja. Karenanya, Sultan Musa akan mempersiapkan anaknya
Abdul Aziz yang akan menggantikannya menjadi Raja/Sultan.
Sultan Musa cukup lihai dan kuat untuk mengendalikan kesultanan.
Sejak dari awal kekuasaannya dia sudah memindahkan pusat pemerintahan
Kesultanan dari Gebamp ke Tanjung Pura, dan ini dilakukannya dalam
rangka optimalisasi fungsi dan kiprah kerajaan dalam pengembangannya.
Di bawah kekuasaan Sultan Musa, daerah kekuasaannya menjadi cukup
luas, yaitu meliputi perbatasan Aceh Tamiang sampai di kawasan Binjai
dan Bahorok. Tidak heran kalau Sultan Musa dipahami sebagai seorang
yang sangat sukses dalam pemerintahannya.
Sebagai raja yang bijaksana, ia sangat mengerti dalam menjalankan
dan mengendalikan kesultanan. Para ulama dekat kepadanya, ia juga
bersahabat dengan Belanda, dan ia didukung oleh rakyatnya. Maka, tidak
heran kalau pada masa ini diperoleh ketenteraman dan kedamaian. Sebagai
seorang sultan yang kuat, ia dinyatakan sultan yang rajin perang; ia sering
melakukan peperangan dengan raja-raja lain di sekitarnya, di antaranya
perang melawan Raja Bingei, dan ia dapat memenangkan peperangan
tersebut.
Peperangan dengan Raja Bingei telah dimenangkannya. Dahulu, Raja
Bingei tunduk di bawah kekuasaannya, tetapi belakangan Raja Bingei merasa
sudah kuat dan ingin memperkokoh eksistensinya. Lalu ia pun
memberontak, dan Sultan Musa memerangi dan menaklukkannya kembali.
Raja Bingei kalah dan meninggal di tangannya. Hal ini menjadi bukti tentang
ketangguhan Sultan Musa dalam mengendalikan kerajaannya.
Kekalahan Raja Bingei di tangan Sultan Musa tidak saja berakhir sampai
di situ, tetapi dia meminang dan mengawini Masrurah (mantan istri Raja
Bingei) tersebut. Dengan wafatnya Raja Bingei, lalu Sultan Musa pun
melamar Masrurah, dan Masrurah menerima lamarannya dengan satu
syarat permintaan, yaitu; “Kalau nanti suatu saat lahir anaknya laki-laki,
maka Sultan harus mempersiapkan dan mengangkatnya menjadi raja.
Permintaan pun ini dikabulkan oleh Sultan Musa, maka pernikahan yang
meriah pun dilangsungkan.

44
Skema sederhana komposisi keluarga Sultan Musa adalah sebagai
berikut:1

Pernikahan T. Amir HAmzah dan Tengku Kamalia

B. Masa Puncak Kejayaan: Masa Kepemimpinan Sultan Abdul Aziz


Ada dua alasan tentang pengangkatan Abdul Aziz menjadi sultan oleh
ayahandanya Sultan Musa. Pertama, Abdul Aziz adalah anak yang terlahir
dari kedua ayah dan ibunya bergelar Tengku (perkawinan Ghara). Sesuai

1
Hasil wawancara dengan Zainal Ak. (Budayawan Kabupaten Langkat) pada hari
Rabu tanggal 15 Agustus di rumahnya.

45
dengan kebijakan baru yang dibuat oleh Sultan Musa, maka ia memenuhi
syarat untuk menjadi sultan. Kedua, Sultan Musa memiliki hak veto untuk
mengangkat anak kandungnya yang mana ditentukan menjadi raja, ternyata
ia menginginkan Abdul Aziz untuk diangkat menjadi raja. Sejak dari awal
pernikahan Sutan Musa dengan Masrurah, Masrurah sudah
mempersyaratkan terlebih dahulu tentang keinginannya untuk menjadikan
anaknya yang akan lahir nanti dari perkawinan mereka, jika ternyata laki-
laki harus dijadikan menjadi Raja. Dengan hal ini Sultan Musa bersikukuh
dengan keinginannya untuk menjadikan anak kandungnya dari istri ketiga
ini, yaitu Abdul Aziz menjadi Raja.
Sehubungan dengan usianya yang sudah tua, Sultan Musa mengangkat
anaknya Tengku Abdul Aziz sebagai penggantinya. Meskipun Abdul Aziz
masih terbilang cukup muda, pada tahun 1892 Sultan Musa menyampaikan
kehendaknya tersebut kepada seluruh keluarga dan rakyat kerajaan. Pada
tahun tahun 1893 Sultan Musa secara resmi mengangkat anaknya Tengku
Abdul Azis menjadi sultan dengan gelar Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil
Rahkmatsyah. Untuk selanjutnya Sultan Musa lebih memperbanyak ibadah,
dalam hal ini memilih bersuluk di Pesantren Naqsabandiyah “Babussalam”
yang didirikan oleh Tuan Syekh Abdul Wahab Rokan karena konon kabarnya
bahwa Sultan Musa adalah saudara satu susu dengan Syekh Abdul Wahab
itu, meskipun asalnya dari Siak.

Tuan Syekh Abdul Wahab Rokan

46
Mengingat usianya yang masih muda, Sultan Abdul Aziz belum dapat
menjalankan pemerintahan secara sempurna. Sultan Abdul Aziz masih
memerlukan pihak lain untuk menopang kekuasaannya, dalam hal ini ia
dibantu oleh abang-abangnya, di antaranya; Tengku Sulung dan Tengku
Hamzah. Berkat kerjasama ini, dan atas pantauan Sultan Musa maka
kerajaan tetap berjalan dengan baik.
Setelah waktu berjalan selama 3 (tiga) tahun, tepatnya pada tahun
1896, Sultan Abdul Azis pun dilantik secara resmi oleh Residen dan
dinyatakan sudah mandiri. Sultan Abdul Aziz dipahami telah siap untuk
mandiri melaksanakan tugas kesultanannya. Kebijakan awal yang
dilakukannya adalah memberikan perhatian khusus terhadap daerah
Pangkalan Berandan. Daerah ini dipandang semakin penting dengan adanya
sumber minyak di sana, maka Sultan menganggap perlu menumbuhkan
Luhak ketiga yang baru. Diambil dari Luhak Langkat Hilir daerah-daerah
Besitang, Pulau Kampai, Pangkalan Berandan dan Lepan dan dijadikan
masuk Luhak Teluk Haru dengan kedudukan Pangkalan Berandan dan ini
dipimpin oleh putra dari Tengku Sulung. Tengku Sulung sendiri minta
berhenti sebagai kepala Luhak Langkat Hulu dan ia digelar Mangkubumi.
Sebagai gantinya di Langkat Hulu diangkat Tengku Adil putra dari Tengku
Hamzah.
Kondisi Kesultanan Langkat pada saat peralihan dari Sultan Musa
(seorang ayah) kepada anaknya Sultan Abdul Aziz (1897 – 1927 M.) cukup
maju. Situasi politik Kesultanan Langkat saat diawali oleh Sultan Abdul
Aziz dalam pemerintahannya cukup terkendali, situasi Pendidikan baik,
keagamaan cukup baik, bahkan kondisi ekonomi kuat. Secara umum dapat
dikatakan bahwa kondisi Kesultanan langkat berjalan dengan cukup
meyakinkan. Kenyataan ini menjadi modal awal yang sangat berharga
bagi Sultan Abdul Aziz untuk lebih memajukan kesultanan Langkat pada
masa berikutnya.
Puncak kejayaan Kesultanan Langkat diraih pada masa Sultan Abdul
Aziz. Situasi yang cukup membanggakan yang diwariskan oleh pendahulunya
disempurnakan oleh Sultan Abdul Aziz dengan sangat baik, tidak
membutuhkan waktu yang cukup lama, Abdul Aziz telah dapat memoles

47
keberhasilan yang sudah dicapai sebelumnya, dan membuat stimulus
kesuksesan sehingga kemajuan itu lebih berdaya guna dan
berkesinambungan.
Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Aziz, Asisten Residen
berkedudukan di Tanjung Pura, dijabat oleh Asisten Residen yang disebut
Controuler Luit Willer sampai tahun 1903 M. Hindia Belanda (Nederlandsche-
indie) yang dikuasai langsung oleh Belanda, diperintah secara sentralistis
sesuai ketentuan yang diatur dalam Regering Reglement (RR) 1854 M.
Secara administratif daerah Hindia Belanda dibagi atas beberapa tingkatan
wilayah yang diperintah oleh Pangreh Praja Eropa.2
Meskipun kesuksesan ini bukan sebagai kesuksesan yang berdiri sendiri,
tetapi kelanjutan yang sudah dipancangkan oleh ayahnya, akhirnya pohon
Kesultanan Langkat ini tumbuh subur dan berbuah dengan sangat lebat
dan menggiurkan.
Kejayaan ini terlihat juga pada urusan keluarganya. Sultan Abdul Aziz
memiliki istri yang banyak, yaitu 10 orang, dari istri-istrinya ini, Dia memiliki23
orang anak, kemudian dari mereka ini telah melahirkan 97 orang cucu.
Anak keturunan yang banyak ini dia harapkan akan memperkokoh
Kesultanan Langkat pada masa sesudahnya.
Sultan Abdul Aziz adalah seorang sultan yang ahli dalam ilmu
pemerintahan. Terpancar darinya kepribadian positif, perduli terhadap
sesama, dan memerhatikan rakyatnya. Ia menjabat sebagai sultan dengan
mengembangkan usaha-usaha yang telah dilakukan oleh ayahnya Sultan
Musa, yaitu mengembangkan kebijakan politik, ekonomi, pendidikan, dan
keagamaan. Pada masa pemerintahannya, Kesultanan Langkat mencapai
puncak kejayaannya. Tidak heran kalau pada masa ini kejayaan Kesultanan
Langkat tersohor ke seluruh dunia.
Sultan Abdul Aziz mangkat pada tahun 1927 M. Wafatnya beliau
sekaligus digantikan oleh anaknya Sultan Mahmud sebagai Sultan pada
masa sesudahnya. Era keemasan yang diraih oleh Sultan Abdul Aziz ini
hanya berlangsung pada masanya, secara perlahan keemasan ini turut

2
Eko Hendramawan Sembiring, Sejarah Kota Tanjung Pura Tahun 1896-2014, Skripsi,
hlm. 28-29.

48
bergeser seiring bergantinya kepemimpinan kesultanan. Dengan demikian
berakhirlah kisah golden age Kesultanan Langkat di tangan Sultan Mahmud
dan sultan-sultan sesudahnya.
Pada masa kepemimpinan Sultan Abdul Aziz, Kesultanan Langkat
mencapai puncak kemakmuran. Pada tahun 1897 M, Sultan Abdul Aziz
membangun istana baru yang bernama “Darul Makmur” terletak di Kota
Baru yang berlokasi di depan istana Sultan Musa.3
Untuk memajukan pemerintahannya Sultan Abdul Aziz menerapkan
beberapa kebijakan. Kebijakan yang dibuat oleh Sultan Abdul Aziz pada
dasarnya diadopsi dari kebijakan Sultan Musa, namun sebagian besar
diperbarui sehingga kebijakan tersebut semakin berkembang. Kebijakan-
kebijakan tersebut antara lain:

1. Kebijakan Politik

Kantor Kerapatan di Binjai 19334

Kebijakan politik Sultan Abdul Aziz dapat dilihat dengan adanya


hubungan kerjasama internal dan eksternal. Hubungan kerjasama internal
3
Sulaiman Zuhdi, Langkat Dalam Kilatan Selintas Jejak Sejarah dan Peradaban, hlm.
106.
4
https://visit langkat.wordpress.com/2014/10/02/sejarah-kerajaan-langkat/. Diakses
tanggal 30 Agustus 2018.

49
yaitu hubungan kerjasama yang dijalin antara Kesultanan Langkat dengan
kerajaan-kerajaan kecil di wilayah Kesultanan Langkat, seperti Kejeruan
Bingai, Kejeruan Stabat, Kejeruan Bahorok, Kejeruan Selesai, Kedatukan
Besitang, Kedatukan Terusan/Pantai Cermin, Kedatukan Hinai, Kedatukan
Padang Tualang, Kedatukan Pulau Kampai, Kedatukan Sei Lepan, Kedatukan
Salapian,Kedatukan Punggai, Kedatukan Secanggang, Kedatukan Sei Bingei,
dan Kedatukan Salahaji.5
Pada awalnya hubungan Kesultanan Langkat dengan kerajaan-
kerajaan kecil sudah baik. Oleh karena itu, Sultan Abdul Aziz menjalin
kembali hubungan tersebut agar kerajaan-kerajaan tersebut tetap berada
dalam kedaulatan Kesultanan Langkat dan dapat membantu pemerintahan
Kesultanan Langkat. Hubungan kerjasama internal yang terjadi membuat
masyarakat Langkat menjadi masyarakat yang majemuk. Tidak hanya
berasal dari etnis Melayu, akan tetapi ada etnis Batak, Karo, Jawa, dan
lain sebagainya di wilayah Kesultanan Langkat. Selain itu, dengan dibukanya
perkebunan dan tambang minyak di wilayah Langkat, terjadilah urbanisasi
secara besar-besaran ke wilayah Tanjung Pura (pusat pemerintahan
Kesultanan Langkat) untuk menjadi buruh kontrak. Hubungan kerjasama
eksternal yaitu menjalin hubungan baik dengan Belanda, dimulai dari kontrak
politik Sultan Langkat dengan Belanda yakni mengizinkan Belanda
menjalankan pemerintahan yang otonom dan menjalankan kekuasaan
hukum berdasarkan bentuk aristokrasi Melayu sepenuhnya.
Hal ini kemudian membuat sultan mengizinkan pihak Belanda untuk
mendirikan kantornya di Tanjung Pura sehingga apabila terjadi kekacauan
di wilayah Kesultanan Langkat maka pihak Belanda bersedia membantu
sultan kapanpun sultan minta. Bentuk awal kerjasama itu diawali ketika
Belanda ingin menguasai seluruh wilayah Nusantara termasuk Pulau
Sumatera. Belanda menandatangani perjanjian dengan Raja Langkat pada
tanggal 21 Oktober 1865 M.6

5
M. Kasim Abdurrahman, Studi Sejarah Masjid Azizi Tanjung Pura-Langkat-Sumatera
Utara, hlm. 24.
6
Sulaiman Zuhdi, Langkat Dalam Kilatan Selintas Jejak Sejarah dan Peradaban, hlm.
222.

50
2. Kebijakan Pendidikan
Dalam bidang pendidikan Sultan Abdul Aziz membangun beberapa
madrasah-madrasah untuk mempelajari ilmu agama, salah satu bukti
peninggalannya saat ini yaitu Masjid Azizi yang dulunya merupakan tempat
bermusyawarah dan tempat untuk melakukan kajian agama Islam. Selain
itu ialah lembaga Jam’iyyah Mahmudiyyah yang masih berdiri hingga
sekarang. Beberapa tokoh nasional banyak yang belajar di sana, salah
satunya adalah Adam Malik (wakil presiden RI).
Di samping pendidikan agama Islam, Sultan Abdul Aziz juga
membangun sekolah umum bagi masyarakat Langkat, yaitu HIS (Hollandsch
Inlandsche School) yang dibentuk berdasarkan kerjasama dengan Belanda
dan Sekolah Melayu. HIS dan Sekolah Melayu pada umumnya hanya
menyajikan materi-materi pelajaran umum. Pada tahun 1900 M, Sultan
Abdul Aziz mendirikan Sekolah Rakyat 7 tahun “Langkatsche School”,
gurunya didatangkan dari Nederland, yang bernama J.F. Itterson, tahun
1814 M digantikan oleh Hensius dibantu Mevrouw Hensius Zoniville dan
W.F.Th. Eygelsheim, guru khusus bahasa Melayu B.R. Sojuangan, dan juga
didirikan Sekolah Rakyat, 5 tahun dan 3 tahun di beberapa tempat.

3. Kebijakan Keagamaan
Wilayah Langkat dijuluki sebagai kota Islam, karena mayoritas
penduduknya menganut agama Islam, sehingga sangat kental akan budaya
Islamnya. Dalam penerapan syariat Islam, Kesultanan Langkat memiliki
guru-guru agama yang sekaligus dijadikan sebagai penasihat sultan untuk
dimintai pendapatnya berkaitan dengan permasalahan hukum Islam. Dalam
sistem kehidupan masyarakat Melayu, seluruh warganya terikat dengan
Adat Resam Melayu. Adat ini sebagian besar dipengaruhi oleh agama Islam.
Kegiatan keagamaan Kesultanan Langkat dapat dilihat dengan adanya Masjid
Azizi dan Tarekat Naqsabandiyah. Masjid Azizi dibangun dengan sangat
megah dan menjadi simbol kebanggaan rakyat Kesultanan Langkat. Dengan
dibangunnya Masjid Azizi yang megah pada waktu itu, kita dapat melihat
kekayaan negeri Langkat pada masa pemerintahan Sultan Abdul Aziz
berkuasa.

51
Dinamika keagamaan yang begitu kuat, dapat dilihat dengan
keberadaan Kota Babussalam sebagai pusat kegiatan Tarekat
Naqsabandiyah. Pusat tarekat tersebut muncul dan berkembang menjadi
sebuah simbol keagamaan pada masa tersebut dan bahkan sampai saat
ini. Tarekat Naqsabandiyah di Langkat didirikan dan dikembangkan oleh
Syekh Abdul Wahab Rokan. Dalam kegiatan keagamaan seperti tarekat
Naqsabandiyah, memberikan pengaruh yang cukup kuat, yakni membuat
masyarakat mengerti akan hukum-hukum Islam.7 Selain itu, dengan ikut
sertanya sultan dan beberapa pembesar kerajaan dalam kegiatan Tarekat
tersebut membuat masyarakat juga ikut dalam kegiatan tarekat tersebut.
Masyarakat menjadi simpati dan hormat kepada sultan, karena sultan dapat
memberikan contoh yang baik untuk membawa masyarakat kepada ajaran
Islam, sehingga pemikiran masyarakat Langkat saat itu tidak kolot dan
fanatik terhadap hukum adat.
Dengan kebijakan keagamaan yang telah dibentuk dan dikembangkan
oleh Sultan Abdul Aziz, membuat Kesultanan Langkat menjadi masyhur
dan semakin diminati oleh para pencari ilmu agama Islam (Tarekat
Naqsabandiyah) dan para wisatawan yang ingin melihat kemegahan Masjid
Azizi. Bahkan kemegahan Masjid Azizi tidak pernah luntur dan selalu menjadi
konsumsi wisatawan yang ingin berkunjung ke wilayah Langkat saat ini.
Selain itu, masyarakat Kesultanan Langkat dikenal sebagai masyarakat
yang agamis dan berpedoman pada syariat Islam.
4. Kebijakan Ekonomi

Stasiun Kereta di Besitang

7
Di dalam tarekat, termasuk Tarekat Naqsabandiyah, perjalanan seorang salik
(pengikut tarekat) menuju Tuhan dilakukan dengan cara menyucikan diri atau perjalanan

52
Kebijakan ekonomi Kesultanan Langkat masa Sultan Abdul Aziz tidak
lepas dari hubungan kerjasama eksternal dengan Belanda. Kekuasaan
pemerintahan kolonial di Kesultanan Langkat telah merubah sistem dan
berdampak pada kebijakan ekonomi. Dominasi pemerintahan kolonial dapat
dilihat dari dibukanya perkebunan-perkebunan dan pertambangan minyak.
Keberadaan perkebunan dan pertambangan minyak menambah pemasukan
bagi Kesultanan Langkat melalui pembayaran izin konsesi yang dilakukan
pemerintah Belanda dengan sultan dan bangsawan kerajaan.
Bentuk kerjasama yang dilakukan oleh sultan dengan pihak Belanda
maupun kerajaan-kerajaan kecil di wilayah Kesultanan Langkat,
membuahkan hasil dan semakin maju dengan pesat. Hal itu kemudian
dapat membantu masyarakat yang kekurangan. Sultan juga membangun
fasilitas-fasilitas umum untuk membantu masyarakat. Fasilitas-fasilitas itu
diberikan secara gratis oleh sultan untuk rakyatnya, seperti Rumah Sakit
dan pendidikan.
Di samping itu, dengan banyaknya masyarakat dari etnis lain yang
datang dan menetap di wilayah Kesultanan Langkat, membuat eksistensi
masyarakat Melayu Langkat semakin menyempit, seperti dalam hal
perdagangan digantikan oleh etnis Tionghoa. Dengan berkembang pesatnya
perkebunan dan perminyakan di wilayah Kesultanan Langkat, hal ini
kemudian membutuhkan tenaga kerja dari luar, seperti Cina, Penang,
Singapura, India. Selain itu juga mendatangkan buruh-buruh dari Pulau
Jawa.8
Terwujudnya Kerajaan Langkat dan Tanjung Pura sebagai negeri yang
kaya raya ditopang oleh kegiatan ekonominya yang bergerak di bidang
maritim dan agraris. Kerajaan Melayu ini juga terkenal sebagai daerah

yang harus ditempuh oleh seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah yang dibina
dengan cara taubat, uzlah (pengasingan diri), zuhud, takwa, kanaah (bagian dari sikap
zuhud yaitu merasa cukup dengan apa yang dimiliki), dan taslim (berserah diri). Lihat
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Langkat, Biografi Ulama Langkat
Syekh Abdul Wahab (Tuan Guru Babussalam), hlm. 24 dan Dewan Redaksi Ensiklopedi
Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid 4 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993), hlm. 8.
8
Sulaiman Zuhdi, Langkat Dalam Kilatan Selintas Jejak Sejarah dan Peradaban, hlm.
100.

53
yang kaya akan tambang dan perkebunan. Aktivitas perdagangan yang
pesat di Selat Malaka juga menjadi faktor pendorong bagi masyarakat
Langkat untuk ikut andil dan berperan aktif dalam kegiatan perdagangan
internasional tersebut.9 Di bidang agraris, komoditas yang dihasilkan adalah
hasil hutan dan perkebunan, seperti kayu, rotan, kamper, sawit, pala, dan
lain-lain. Komoditas lain yang juga dihasilkan di Langkat adalah lada putih.
Aktivitas perekonomian Langkat pada masa itu tidak hanya berorientasi
pada perdagangan di Selat Malaka, namun mereka juga telah menjalin
kerja sama dalam hal perdagangan dengan Kerajaan Aceh. Aktivitas
perdagangan tersebut terjadi di Sungai Wampu. Adapun sistem
perkebunan, baru dijalankan ketika Belanda berekspansi ke Langkat.

C. Bukti Kejayaan Kesultanan Langkat


Banyak bukti kejayaaan Kesultanan Langkat di masa silam yang menjadi
warisan dan situs budaya di kerajaan langkat yang bisa dilihat sampai
saat ini. Beberapa bukti tersebut adalah;

1. Masjid Azizi

Masjid ini dibangun oleh Sultan Abdul Aziz. Pembangunan masjid ini
dilakukan oleh Abdul Aziz atas wasiat orang tuanya Sultan Musa yang
belum sempat mengimplementasikan pembangunannya. Sejak semula

9
Nurhairina, “Dampak Pemerintahan Kolonial Belanda terhadap Perubahan Ekonomi
Kesultanan Langkat”, Skripsi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan, tidak

54
pembangunan masjid ini sudah direncanakan, dan akan berdampingan
dengan Rumah Suluk Tuan Syekh Abdul Wahab Rokan yang barusan
dibangun di tempat ini, namun kerena sultan keburu wafat maka
pembangunan masjid ini ditindaklanjuti oleh Sultan Abdul Aziz.10
Pembangunan masjid ini dilakukan oleh Sultan Abdul Aziz dengan
biaya sendiri. Banyak pembesar kerajaan yang menawarkan untuk
membantu pembangunan masjid ini, akan tetapi kerena sikap kemandirian
Sultan Abdul Aziz dan mengingat wasiat orang tuanya, dan berkeyakinan
bahwa ini adalah amanah orang tuanya yang harus diwujudkannya, maka
kalau ada pihak yang ingin berpartisipasi untuk membantu secara finansial
dia memberi kesempatan pada kegiatan lain dalam pembangunan sarana
dan prasarana kemasyarakatan yang ada di Kesultanan Langkat yang segera
aka ada lagi nantinya setelah pembangunan masjid ini selesai. Dengan hal
ini dia menolak tawaraan para donatur-donatur tersebut.
Salah satu kebanggaan masyarakat Langkat yang ada sampai saat ini
adalah Masjid Azizi. Masjid Azizi ini dibangun pada masa Sultan Abdul
Aziz, sesuai dengan Namanya Sultan Abdul Aziz maka dibuatlah nama
masjid ini dengan Masjid Azizi. Masjid ini menjadi istimewa karena didesain
oleh seorang arsitektur Jerman dengan menonjolkan masjid bergaya
perpaduan Ottoman Turki dengan Hindia. Sebenarnya awal mula
pembangunan masjid ini dalam tarap yang masih sederhana sudah dimulai
pada masa Sultan Musa, namun selesai dan peresmiannya baru
dilaksanakan pada masa Sultan Abdul Aziz pada tahun 1902 M. Masjid ini
mampu menampung ribuan orang, dan menjadi lebih istimewa lagi, karena
di samping kanan sebelah depan dibangun Menara setinggi 35 meter, dan
juga sebuah perpustakaan yang bernama “Balai Pustaka Tengku Amir
Hamzah”.
Berbeda halnya dengan masjid pada umumnya, masjid ini
menggunakan bahan-bahan bangunan dari luar negeri. Di samping
desainernya orang luar, juga bahan-bahan yang diperlukan pun didatangkan

diterbitkan, hlm. 24.


10
https://visit langkat.wordpress.com/2014/10/02/sejarah-kerajaan-langkat/. Diakses
tanggal 30 Agustus 2018.

55
dari luar negeri. Hampir semua bahan bangunannya didatangkan dari luar
negeri, terutama Itali sebagai negara maju saat itu, kapal-kapal sultan itu
berkali-kali singgah di Penang, kemudian ke Pelabuhan Tanjung Pura
(sekarang lokasi itu sudah menjadi perumahan, persisnya di depan kantor
koramil) untuk membongkar bahan bangunan yang dibawa dalam rangka
membangun masjid tersebut, akhirnya masjid ini selesai, berdiri kokoh
dan megah, sampai sekarang masjid ini terlihat khas dan memiliki
keistimewaan pada orisinilitasnya, masjid ini masih terjaga dengan baik.
Kehadiran masjid ini dimaksudkan sebagai masjid induk termegah dan
terbaik di seluruh Kesultanan Langkat, dan hal itu terbukti sampai saat ini.
Belakangan terjadi kesulitan untuk mengganti bahan bangunan masjid
tersebut. Setelah berjalan masa sampai waktu yang lama, suatu ketika
ada yang jatuh ke lantai mengakibatkan marmarnya pecah maka sulit untuk
mencari penggantinya, akhirnya terpaksalah dicarikan saja marmar biasa
yang mirip dan ada di Indonesia ini lalu dipasang untuk mengisi tempat
yang rusak tersebut. Terjadilah ketidak serasian lantai marmar masjid
dengan penggantian marmar lokal yang tersedia dengan apa adanya
tersebut.
Perbandingan masjid Azizi Kesultanan Langkat lebih cantik dibanding
dengan Masjid Nabawi Medinah. Suatu ketika Sofyan Saha berkhutbah di
Masjid Azizi, dan dia menyampaikan dalam khotbahnya bahwa pada masa
100 tahun yang lalu masjid Azizi masih lebih cantik dibanding dengan masjid
Madinah. Pada masa itu adalah masa kejayaan Kerajaan Langkat, hasil
tambang minyak sudah melimpah di Langkat ini, dan masjid Azizi masih
barusan dibangun dan menjadi pusat perhatian Sultan Langkat, sementara
masjid Madinah belum ada perhatian yang besar dari pihak Pemerintah,
dan ladang minyak belum dijumpai di Saudi pada masa ini, maka belum
ada pembangunan besar-besaran untuk masjid Nabawi Madinah. Hal ini
mengantarkan kesimpulan bahwa pada masa tersebut masjid Azizi lebih
bagus dari masjid Nabawi di Madinah.11

11
Hasil wawancara dengan Drs. Mukhlis, MA., mantan Ketua Sekolah Tinggi Agama
Islam Jamaiyah Mahmudiyah, di kantornya pada hari Selasa tanggal 10 Juli 2019.

56
Dalam rangka memperkokoh pemerintahan dalam bidang agama,
maka selain masjid Azizi dibangun pula masjid-Masjid yang megah di setiap
daerah penyangga kekuasaan. Pada saat ini dibangunlah masjid Stabat
yang berjarak sekitar 18 Km. dari Pusat Kesultanan Langkat di Tanjung
Pura, kemudian masjid Selesai di ibu kota Kecamatan Selesai (sekarang)
yang berjarak sekitar 30 Km. dari Stabat, atau sekitar 48 Km. dari Tanjung
Pura, demikian juga Masjid Babalan Kec. Babalan (Sekarang) di Pangkalan
Brandan yang berjarak sekitar 45 Km. dari Stabat, atau 33 Km, dari Tanjung
Pura. Demikian juga masjid Binjai, dan daerah-daerah penting lainnya di
Kesultanan Langkat.

2. Tempat Pendidikan: Madrasah Jam’iyah Mahmudiyah


Setelah selesai pembangunan masjid Azizi tersebut maka dilanjutkan
lagi dengan pembangunan madrasah Jam’iyah Mahmudiah. Sehubungan
dengan janjinya telah terlaksana, yaitu pembangunan masjid Azizi secara
mandiri, maka Sultan Abdul Aziz memberi peluang kepada donator unuk
turut memdukung pembangunan yang lain maka, untuk hal ini Dia
merencanakan pembangunan madrasah Jam’iyah Mahmudiyah yang
melibatkan donator. Sultan Abdul Aziz membangun madrasah ini dengan
menggelontorkan dana sebesar 40 % dari total rencana dana keseluruhan.
Sisa 60% diberi peluang kepada pihak yang ingin membantu untuk berwakaf
dalam rangka penyelesaian madrasah tersebut.

Sekolah Jam’iyah Mahmudiyyah


(Foto diambil ketika wawancara ke Madrasah Jamaiyah Mahmuddiyah
Tanjung Pura)

57
Madrasah Jam’iyah Mahmudiyah dibangun pada tahun 1912. Suatu
ketika, di tahun 1937 dilaksanakanlah ulang tahun Jamaiyah yang ke-25
ataupun jebelium yang ke-5, berarti 1937 dikurangi 25 sama dengan 1912,
dan inilah saat berdirinya Jam’iyah. Pada waktu itu yang menjadi sultan di
kesultanan Langkat adalah Sultan Abdul Aziz, dan dia hadir dalam acara
tersebut. Peristiwa ini bertepatan pada hari Jumat, dari Jamaiyah yang
sesungguhnya bersebelahan, dia berangkat ke masjid untuk menunaikan
shalat Jumat, dia diantar oleh para siswa yang waktu itu sudah mencapai
jumlah 1500 orang. Untuk memeriahkan jebelium atau ulang tahun tersebut
maka diadakan tahlilan, bukan yang lain-lain. Sedang di masjid pada waktu
itu tidak ada pengeras suara, tetapi di atas Menara itu ada empat orang
tukang azan dengan suara yang kuat maka panggilan shalat itu kedengaran
sampai jarak yang cukup jauh. Ini adalah gambaran tentang betapa
besarnya perhatian sultan terhadap agama, sekaligus menempatkan dia
sebagai tokoh agama dan tokoh Pendidikan yang sangat perduli.12
Pada masa ini pulalah di bangun Jam’iyah Mahmudiyah. Jamaiyah
Mahmudiyah ini adalah nama terhadap Lembaga Pendidikan Agama yang
didirikan oleh Sultan Abdul Aziz di Kesultanan Langkat. Jamaiyah ini telah
berperan banyak dalam mencerdaskan anak bangsa bukan hanya di Langkat
semata, tepi juga di Nusantara dan manca negara. Di sinilah tempatnya
para santri menggali ilmu dari para ulama besar yang senantiasa berkarya.
Selanjutnya untuk Pendidikan umum, Sultan Abdul Aziz membangun
juga Lembaga Pendidikan Holland Indonesian School (HIS), dan juga
Sekolah Melayu, Europese Logare School (ELS), serta untuk anak-anak
keturunan Cina didirikan Holland Chinese School (HCS). Semua ini menjadi
bukti sejarah tentang keperdulian Sultan Abdul Aziz terhadap Pendidikan
semua pihak dengan tanpa memandang etnis dan agama para rakyatnya.
Sebelum pemerintahan Sultan Abdul Aziz sekitar tahun 1900-an,
Kesultanan Langkat belum memiliki Lembaga pendidikan formal sama sekali.
Secara umum, pendidikan masih berjalan secara tidak formil dan tidak

12
Sementara sekarang ini saja pun kondisi pelajar di Jamaiyah ini hanya berjumlah
1600 orang., hasil wawancara dengan Drs. Mukhlis, MA., mantan Ketua Sekolah Tinggi
Agama Islam Jam’iyah Mahmudiyah, di kantornya pada hari Selasa tanggal 10 Juli 2018.

58
terkordinir, Pendidikan lebih banyak dilakukan dengan mengundang guru
ke istana dengan tanpa kurikulum yang jelas. Tradisi seperti ini berlngsung
sampai pada masa awal kekuasaan Sultan Abdul Aziz.
Salah satu kemajuan Pendidikan adalah dengan adanya pembaharuan
yang dilakukan oleh Sultan Abdul Aziz. Ia mulai membangun lembaga
pendidikan formal yang dinamakan maktab (madrasah) yang menjadi
sarana pendidikan agama bagi masyarakat Langkat. Madrasah Al-Masrurah
didirikan pada 1912, Madrasah Aziziah tahun 1914 dan Madrasah
Mahmudiyah tahun 1921. Dengan adanya masdrasah-madrasah tersebut,
Langkat menjadi tujuan pendidikan para santri. Bukan hanya masyarakat
Langkat yang belajar di tempat ini, tetapi juga banyak santri yang datang
dari luar daerah, seperti Riau, Jambi, Tapanuli, Kalimantan Barat, bahkan
dari luar negeri, seperti; Brunei, Malaysia, dan daerah lainnya.
Pada awalnya madrasah (maktab) ini hanya disediakan untuk anak-
anak keturunan raja dan bangsawan saja, namun pada perkembangannya
maktab ini memberikan kesempatan kepada siapa saja yang berminat
untuk belajar dan menuntut ilmu di tempat ini. Beberapa tokoh Nasional
yang pernah belajar di maktab ini antara lain adalah Tengku Amir Hamzah
(Penyair Nasional) dan Adam Malik (politisi dan mantan Wakil Presiden
RI).
Al-Masrurah sebagai contoh, termasuk lembaga pendidikan modern
terbaik pada masa itu. Al-Masrurah telah didesain sebagai Lembaga
Pendidikan Modern, anak-anak diinapkan di tempat ini, setiap anak memiliki
kamar sendiri, sistem pendidikan yang dijalankan di sini sama dengan
sistem pendidikan umum di Inggris, di mana anak laki-laki usia 12 tahun
mulai dipisahkan dari orang tua mereka untuk tinggal di kamar-kamar
tersendiri dalam suasana yang penuh disiplin. Fasilitas olah raga tersedia,
seperti lapangan bola, kolam renang, dan lain sebagainya telah disediakan
secara memadai oleh Sultan.
Belakangan ketiga lembaga pendidikan tersebut disatukan namanya
menjadi Jam’iyah Mahmudiyah. Dalam rangka upaya peningkatan
pendidikan di tempat ini, pada tahun 1923 Jam’iyah Mahmudiyah telah
memiliki 22 ruang belajar, 12 ruang asrama, dan di luar fasilitasyang secara

59
langsung untuk kepentingan belajar, tersedia pula fasilitas pendukung
lainnya seperti adanya 2 buah aula, sebuah rumah panti asuhan untuk
yatim piatu, kolam renang, lapangan bola dan lain sebagainya. Dengan
demikian dipahamai bahwa Jmaiyah Mahmudiah telah tampil sebagai
lembaga pendidikan yang cukup representatif dan siap untuk mencerdaskan
santrinya.
Dari aspek mutu Jam’iyah ini dipandang unggul dibanding dengan
lembaga pendidikan yang ada pada masa itu. Pada umumnya tenaga
pengajar yang ada di sana adalah guru-guru yang pernah belajar ke Timur
tengah seperti Mekah, Medinah, dan Mesir. Mereka semua dikirim atas
biaya sultan setelah sebelumnya diadakan seleksi untuk itu. Sekitar tahun
1930, santri yang belajar di perguruan ini sudah mencapai sekitar 2000
orang, dan mereka berasal dari berbagai daerah di Nusantara dan
mancanegara.

3. Tarekat Naqsabandiyah di Basilam

Persulukan Tarekat Naqsabandiyah di Besilam


(Foto diambil ketika Melakukan Penelitian di Kampung Besilam)

Raja-raja Sumatera Timur yang paling kuat keislamannya adalah


Kesultanan Langkat. Di tempat ini bukan hanya dibangun masjid megah

60
dan madrasah Jam’iyah Mahmudiyah yang besar dengan bimbingan ulama-
ulama terkemuka yang ada pada waktu itu, tetapi dilengkapi juga dengan
aspek religiusitas yang dapat menentramkan batin, maka dibangun pulalah
pusat tarikat naqsabandiyah di Babussalam yang dikenal luas dan masih
eksis sampai saat ini. Ketiga pilar ini menjadi fakta sejarah karya Sultan
Abdul Aziz yang luar biasa dan sangat bermanfaat bagi umat sampai saat
ini.
Sebenarnya, pihak yang turut berjasa dalam menjadikan Kesultanan
Langkat dengan identitas tarikat adalah Sultan Musa. Demikian kesohornya
tarikat naqsabandi Babussalam Langkat, bukan hanya di Nusantara tetapi
juga sampai ke manca negara, dan masih eksis sampai saat ini, maka
sesungguhnya di masa awal, Sultan Musalah pihak yang membawa Tuan
Guru Tarikat Naqsabandi Syekh Abdul Wahab Rokan ini dari Riau ke Langkat.
Sultan Musa sangat dekat dengan Syekh Abdul Wahab Rokan
(pembawa tarekat ini dari Riau). Dikabarkan bahwa kedekatan mereka ini
tak obahnya mereka saudara kandung, mereka pernah mengadakan
sumpah setia antar satu sama lainnya, mereka berikrar dengan ungkapan;
“kalau engkau meninggal dunia terlebih dahulu maka saya yang akan
mengurusi fardhu kifayahmu (memandikan, mengkafani, menyalatkan dan
memakamkannya) demikian juga sebaliknya kalau saya yang meninggal
dunia terlebih dahulu maka engkaulah yang mengurusi fardhu kifayah saya”.
Keduanya setuju dan berketetapan hati untuk melaksanakannya, dan
ternyata Sultan Musalah yang terlebih dahulu meninggal dunia, maka Syekh
Abdul Wahab Rokan pun melaksanakan ikrar setianya.
Sejarah awal tarekat Naqsabandiyah Babussalam memasuki
Kesultanan Langkat adalah pada masa Sultan Musa (1840-1897 M.).
Persahabatan yang baik antara Sultan Musa dengan Syekh Abdul Wahab
Rokan (tokoh tarikat Naqsabandiyah) memberi peluang masuknya dan
menetapnya ulama besar suluk ini mengembangkan ajarannya di Langkat.
Perjalanan panjang Syekh Abdul Wahab Rokan dari Rokan, Riau, menelusuri
pesisir pantai Timur Sumatera Siak, Tembusai di Riau hingga ke Kerajaan
Kota Pinang, Bilah Panai, Asahan, Kualuh, Deli Serdang, akhirnya
mengantarkannya ke Langkat. Sultan menyambut dan memberi tempat

61
kepadanya di Besilam.
Sebelum ke Besilam, pertama sekali Sultan sudah memberi tempat
kepadanya di Tanjung Pura. Semula Tuan Syekh ini sudah membangun
Rumah Suluk di sebelah masjid azizi, tepatnya di tempat parkir masjid
azizi yang ada sekarang. Di belakang tempat parkir itu dahulu adalah tempat
pembakaran Al-Qur‘an (Al-Qur‘an yang usang dan tidak bisa dipakai lagi,
karena khawarir akan berceceran maka dilakukan pembakaran), lalu
dibuang ke sungai (dahulu di belakang tempat ini ada sungai besar yang
menghubungkan satu kampung dengan kampung lain, termasuk Besilam.
Dalam rangka kebersamaan ini, Sultan Musa sudah berencana untuk
membangun masjid bersebelahan dengan Rumah suluk tersebut. Beliau
berwasiat kepada anaknya tentang pembangunan masjid di tempat ini
(tempat masjid Azizi sekarang), dia mengatakan; “kalau umurku tidak
sampai nanti untuk mengimplementasikan hal ini maka tolong dibangun
masjid di tempat ini”. Ternyata, umurnya pendek maka dapat dipastikan
bahwa makam Sultan Musa yang ada di sebelah masjid sekarang adalah
lebih dahulu ada dari pada masjid dibangun.
Dalam memulai kiprahnya, Syekh Abdul Wahab membangun madrasah
Babussalam. Untuk mencapai kebahagiaan yang sesungguhnya, dia
berkeyakinan harus menciptakan keseimbangan hidup dunia dan akhirat.
Dia tidak hanya menganjurkan berzikir dan bersuluk saja, tetapi dia juga
membuka lahan pertanian, seperti perkebunan karet, jeruk manis dan
lada hitam, juga menggalakkan peternakan, perikanan, bahkan dia juga
mendirikan percetakan. Lebih jauh dari itu, Beliau juga ikut dalam
perbincangan politik. Lewat tarekat ini, Dia berusaha mengajak umat
melewati perjalanan sipiritual yang panjang dengan cara memperbanyak
ibadah kepada Allah, instropeksi diri yang tinggi, sampai akhirnya bisa
meraih maqam tertentu dalam pencapaian tarekat yang diinginkan,
demikian juga Dia berusaha mengajak umat untuk meraih dunia secara
maksimal dalam rangka bekal mendekatkan diri kepada Allah Swt., termasuk
politik, di antaranya terlihat dari sikapnya mengutus dua orang puteranya
ke musyawarah SI di Jawa Pada tahun 1913, kemudian ia mendirikan
Syarikat Islam cabang Babussalam yang mana Dia (Syekh Abdul Wahab

62
Rokan) menjadi salah seorang pengurusnya.
Raja kesultanan Langkat memberi apresiasi yang besar kepada suluk
Besilam ini. Situasi yang berbeda pada pengangkatan pejabat di Kesultanan
Langkat ini dibanding dengan pengangkatan pejabat pada tempat-tempat
lainnya adalah adanya satu kesestian; “Setiap pejabat yang akan diangkat
pada Kesultanan Langkat, apakah dia Datok atau jabatan-jabatan lainnya
maka dia harus terlebih dahulu mengikuti suluk selama minimal 2 (dua)
minggu (setengah bulan). Hal ini berlangsung terus sampai kesultanan ini
berakhir, termasuk Amir Hamzah sebelum dilantik menjadi Raja Muda, dia
sudah terlebih dahulu mengikuti suluk tersebut.
Suluk tersebut menjadi terapi bathin yang sangat bermakna bagi setiap
pejabat. Sultan mengatakan; “Kita tidak khawatir dengan mereka para
pejabat yang sudah diangkat, mereka itu telah memiliki mental yang siap,
dan mereka akan bekerja dengan baik, karena mereka telah memperoleh
terapi batin yang memadai, yaitu kegiatan suluk yang dilaksanakan.
Sultan yakin bahwa pembinaan mental lewat suluk ini menjadi terapi
terbaik bagi setiap pejabat. Perjalanan spiritual lewat suluk tersebut
menempatkan harga mati terhadap pendekatan diri kepada Allah Swt.
Apa pun yang ada di alam ini harus ditempatkan statusnya sebagai sarana
dalam rangka taqarrub ila Allah (pendekatan diri kepada Allah Swt.).
Hilangnya pengaruhinteres lain yang dapat menodai hati umat manusia
untuk mengejarkebutuhan sesaat, dan bersifat duniawi menjadi pemicu
kinerja pejabat-pejabat tersebut untuk bekerja dengan ikhlas dan maksimal.

4. Kantor Pengadilan Kesultanan Langkat (Land Raad)

Kerapatan Kadhi
Kerajaan Langkat
(Foto diambil ketika
melakukan Penelitian di
Tanjung Pura)

63
Land Raad adalah istilah untuk Lembaga Pengadilan Agama yang ada
pada masa kolonial Belanda. Pada saat ini rakyat tidak hanya bercerita
soal mendapatkan makan dan minum lagi, soal mencari pekerjaan, tidak
juga soal mempertahankan hidup dari kesulitan ekonomi semata, tetapi
sudah mulai bercerita soal kebenaran, Kebersamaan, Keadilan dan
Penegakan hukum. Untuk keperluan ini maka Sultan Abdul Aziz membangun
Land Raad untuk pertama kalinya pada Kesultanan Langkat ini yang
bertempat di Tanjung Pura, tepatnya berseberangan jalan dengan masjid
Azizi.
Berdirinya Lembaga peradilan ini benar-benar menjadi indikasi tentang
kemajuan Kesultanan Langkat telah dicapai pada masa Sultan Abdul Aziz.
Sistem pemerintahan yang ada pada masa ini adalah Kesultanan yang
dipahami cenderung memiliki karakter otoriter, di mana sultan ditempatkan
sebagai sumber kebenaran. Berbeda halnya dengan apa yang berlaku saat
ini, Sultan sebagai pegegang tampuk kekuasaan tertinggi melepas nilai-
nilai kebenaran itu untuk diuji oleh pakarnya, diberi kebebasan kepada
publik untuk dibedah dan dipertontonkan secara transparan. Akhirnya
hukum diputus lewat Lembaga peradilan ini.

5. Ulama-Ulama Besar dan Ternama


Pada masa Kesultanan Langkat ada banyak ulama besar yang dikenal
dalam sejarah.Di antara mereka ada ulama yang telah lama belajar di
Arab Saudi, baik karena disekolahkan oleh Sultan Langkat13 ataupun karena
berangkat sendiriatas biaya mandiri. Di antara mereka itu adalah:

a. Syekh Mohammad Ziadah


Dia adalah ulama besar Kesultanan Langkat. Di samping kedudukannya
sebagai mufti Kesultanan Langkat yang senantiasa berfatwa terhadap
berbagai hal yang dipertanyakan kepadanya sesuai peristiwa dan situasi

13
Ada tradisi Kesultanan Langkat untuk memajukan daerahnya dengan cara merekrut
orang-orang pintar untuk belajar ke Timur Tengah, terutama mereka yang aktif mengajar
di Jamai‘ah Mahmudiyah., Hasil wawancara dengan Zainal AK, di rumahnya di Pangkalan
Berandan Langkat pada hari Rabu tanggal 15 Agustus 2018.

64
yang sedang di hadapi oleh umat, beliau juga menjabat sebagai Pimpinan
Madrasah Masrurah (sekolah yang pertama sekali di bangun oleh Sultan
yang diperuntukkan bagi anak perempuan), dan juga Kepala Jam’iyah
Mahmudiyah (sekolah yang dibangun kemudian oleh Sultan dan
diperuntukkan bagi anak laki-laki). Kiprahnya tersebut membuat Namanya
dikenal sebagai ulama besar di Kesultanan langkat.
Dari segi biografinya, Syekh Mohammad Ziadah dinyatakan lahir di
Tanjung Pura Kabupaten Langkat pada tahun 1858 M. Dia lahir dari keluarga
hartawan, ayahnya fanatik agama bernama H. Syamsuddin, ibunya juga
demikian, bernama Hj. Safiyah. kedua sama-sma penduduk asli dan
menetap di Tanjung Pura.
Sebagaimana anak-anak pada umumnya, sejak kecil Mohammad
Ziadah diasuh oleh kedua orang tuanya. Bersama mereka dia banyak belajar
secara tradisional dengan cara berhalaqah, dia belajar Al-Quran, fardhu
ain dan sebaginya. Sewaktu umur beliau sudah mencapai 20 tahun, yaitu
pada tahun 1878 M. dia melanjutkan studinya ke Mekkah sekaligus untuk
menunaikan ibadah haji bersama para hujjaj lainnya. Usai menunaikan
ibadah haji maka dia pun bermukin di sana, dia banyak belajar di masjidil
haram dan tempat-tempat lainnya. Dikabarkan dia tinggal di sana semasa
dengan ulama besar Indonesia syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawy,
dan dia belajar di Mekkah ini selama 8 (delapan) tahun.
Sejak masih di Mekkah, eksistensinya sebagai seorang ulama sudah
mulai diapresiasi. Pada waktu-waktu tertentu, dia sudah mulai dipercaya
untuk ikut mengajar di Masjidil Haram, dia menguasai banyak ilmu, di
antaranya; Ilmu Tariqat Naqsabandiyah, Matan Alfiyah, Matan Zubad, dan
Bahjat al-Tullab. Di samping mengajar, dia tetap belajar untuk
memperdalam ilmu pengetahuan yang dimilikinya.
Setelah lama belajar di Mekkah, pada tahun 1886 dia pun
menyimpulkan untuk pulang ke Tanjung Pura, Langkat. Ternyata Langkat
pada waktu itu belum memiliki madrasah untuk tempat dia mengabdi, tapi
ada banyak keluarga, dan sahabat beliau yang tinggal di Malaysia yang
membutuhkannya, maka dia pun meninggalkan Tanjung Pura, dan
berangkat ke Ipoh, Malaysia. Di sana dia disambut dengan hangat dan

65
berkiprah sebagai seorang ulama. Dia menetap di tempat ini selama empat
tahun.
Pada tahun 1890 M., Syekh Mohammad Ziadah kembali pulang
kampung. Sewaktu Syekh Abdul Wahab Rokan Besilam (guru tarekat)
memanggilnya pulang untuk turut berpartisipasi mengajar di Babussalam
Besilam, maka dia pun memperkenankannya, lalu dia meninggalkan
Malaysia dan memilih tinggal menetap di Tajung Pura langkat. Baru dua
tahun dia mengajar di Besilam, lalu di tahun 1892 Sultan Abdul Azis pun
memintanya untuk memimpin Madrasah Masrurah Tanjung Pura,
belakangan di bangunlah Jamaiyah Mahmudiyah, dan dia juga diminta
untuk memimpin madrasah ini. Pada masa Syekh Mohammad Ziadah, dia
melakukan modernisasi terhadap sistem Pendidikan pada kedua madrasah
ini. Di tempat ini sudah diajarkan Bahasa Arab, Ibnu Aqil (Kitab Nahu),
Syarh al- Maqsud (Kitab Sharf), Fathul Mu’in (Kitab Fikih), Addasuqy (kitab
Tauhid), Al Jalalain (Kitab Tafsir), Abi Jumrah (Kitab Hadis), Minhajul Abidin
(Kitab Tasawuf), Warqat/ lathaif al-Isyarah (Usul Fikih), Assulam (Mantiq),
dan Kitab Bayan Jawahir al-Maknun. Kemudian, dia mengatur krikulum
dan membuat kelas sesuai tingkatan kemampuan siswa.
Madrasah ini berkembang dengan pesat. Sampai suatu ketika santri
kedua madrasah ini sudah mencapai 1600 orang, proses Pendidikan pun
dibuat dua shift, yaitu ada kelas pagi dan ada pula kelas sore, dan santri
pun berdatangan dari berbagai daerah yang ada di Indonesia. Para ulama
terkemuka saat itu direkrut menjadi guru, termasuk mendatangkan mereka
dari Timur Tengah, di antaranya; 1). Syekh Abdurrahman 2). Syekh Said
Ahmad 3). Syekh Said Abu Bakar, dan juga 4). Syekh Ibrahim Al-Hindy.
Sultan berkenan menggaji mereka ini dengan cukup mahal sehingga mereka
betah untuk mengajar di madrasah ini.
Akhirnya Syekh Mohammad Ziadah mengakhiri pengabdiannya. Dia
wafat di rumahnya Jalan Sudirman Tanjung Pura pada usia 83 tahun, dia
telah berkiprah mengembangkan agama pada Kesultanan Langkat selama
50 tahun, dan dia pun telah melahirkan ulama-ulama besar pula pada
masa sesudahnya, di antaranya; Syekh Abdullah Afifuddin, Syekh Abdul
Rahim, Syekh Abdul Hamid Azzahid, Ustadz Salim Fakhry, Tuan Kadhi Hasyim

66
‘Isya, dan yang lainnya. Syekh Mohammad Ziadah pun berangkat dengan
damai untuk selamanya.14

b. Syekh H. Abdullah Afifuddin al-Khalidi


Beliau adalah ulama terkemuka di Langkat. Dia lahir pada tanggal 3
Maret 1895 di Kabupaten Langkat, termasuk dari keturunan Tuk Ungku
Syekh Yusuf Al - Khalidi. Semasa kecil, dia belajar di Madrasah Mahmudiyah
Tanjung Pura, disini dia memperoleh ilmu pengetahuan dari; Syekh
Muhammad Nur Abdul Karim (Mufti Langkat), Haji Muhammad Noor Ismail
(Qadhi Langkat) dan juga Tuan Guru Besilam. Belakangan Sultan Langkat
memberangkatkannya untuk studi ke Mekah, kemudian dia juga pergi ke
al-Azhar di Mesir. Dia banyak belajar ilmu falak kepada Syekh Al ‘Ala Al
Falaki. Di antara teman-temannya semasa adalah Syekh Idris Al Marbawi,
Syekh Junid Thoha,dan Syekh Nassir Al Jauhari. Dianya adalah seorang
ulama yang pandangannya diterima oleh masyarakat dan kesultanan
Langkat, dan dia telah berada pada banyak tempat untuk mewakili ulama
Langkat, misalnya pertemuaan Ulama Tanah Melayu dan Sumatera di
Singapura pada masa penjajahan Jepang, bahkan dia banyak berjasa dalam
perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia.15

c. Syekh H. Abdul Hamid Zahid


Dia ini adalah ulama langkat yang disekolahkan Sultan Langkat ke
Mesir. Semula, orang yang hendak disekolahkan Sultan tersebut adalah
abang dari Abdul Hamid Zahid, tetapi karena abangnya ini sudah hendak
melangsungkan pernikahan maka ayahnya Abdul Hadi tidak mengizinkan
beliau untuk pergi sekolah ke tempat yang jauh, yaitu Mesir, lalu digantikan
dengan adiknya Abdul Hamid Zahid. Setelah dia berangkat ke Mesir maka

14
http://tenteraislam.blogspot.com/2012/09/mengenal-ulama-terkemuka-sumatera-
timur.html., di down-load pada hari Selasa tanggal 28 Agustus 2018.
15
http://shahrirkamil.blogspot.com/2015/08/Syekh-abdullah-afifuddin-langkat.html.,
di down-load pada hari Selasa, tangal 28 Agustus 2018., juga Hasil wawncara dengan
cucunya Yaumul Khair, di Jamaiyah Mahmudiyah pada hari Rabu tanggal 15 Agustus
2018, juga Hasil wawancara dengan Zainal AK, di Rumahnya Pangkalan Berandan pada
hari Rabu tanggal 15 Agustus 2018.

67
dia menetap di sana selama 10 tahun, sampai suatu ketika di sana dia
diberi gelar Zahid. Sepulangnya dari Mesir maka dia aktif mengajar di
Jam’iyah dan di tengah masyarakat. Belakangan dia dijeput oleh Daud
Brueh dari Aceh untuk dibawa kesana bersamanya, akhirnya dia ikut dan
menetap di Aceh sampai suatu ketika karena sakit lalu dia wafat dan
dimakamkan di Banda Aceh.16

6. Sumber Minyak Bumi


Sumber utama kejayaan Kesultanan Langkat adalah minyak. Pertama
kali ditemukan minyak ada di Langkat ini adalah pada tahun 1860 saat itu
dikatakan bahwa kadar minyak ada dalam perut bumi Langkat. Di atas
keawaman Kesultanan Langkat terhadap pengolahan minyak ini maka dia
bermitra dengan Belanda, lalu Belanda bertindak sebagai pihak yang akan
mengekplorasi, lalu ditemukanlah minyak bumi tersebut di Telaga Said
Kecamatan Sei Lepan, Kabupaten Langkat. Tempat ini terletak di posisi
sekitar 110 kilometer barat laut Medan, ibukota Sumatera Utara. Penemu
sumur minyak pertama ini adalah seorang warga Belanda bernama Aeliko
Janszoon Zijlker, dia seorang ahli perkebunan tembakau pada Deli Tobacco
Maatschappij, perusahaan perkebunan yang ada di daerah ini pada masa
itu.
Penemuan sumber minyak ini merupakan hasil penjejakan yang
dilakukan secara sungguh-sungguh. Tindak lanjut berikutnya diawali oleh
Zijlker dengan cara menghubungi teman dan para ahli di Belanda untuk
mengumpulkan dana dan persiapan guna melakukan eksplorasi lebih lanjut.
Setelah permodalan terpenuhi, perizinan pun diurus kepada kesultanan
Langkat, maka pada tanggal 8 Agustus 1883 persetujuan dari Sultan Musa
sebagai Sultan Langkat pun sudah di tangan. Tak membuang waktu lebih
lama, eksplorasi pertama pun dilakukan oleh Zijlker.
Untuk pertama kalinya, pada tanggal 17 November 1884 Zijlker telah
berhasil memperoleh minyak. Ekplorasi pertama ini telah dapat

16
Hasil wawancara dengan cucunya Usmanidar (guru di Jamaiyah) di Jamaiyah pada
hari Rabu tanggal 15 Agustus 2018.

68
menghasilkan minyak bumi, namun jumlahnya masih sangat sedikit
meskipun telah menghabiskan waktu yang agak lama. Dia hanya berhasil
memperoleh minyak bumi lebih kurang 200 liter, semburan gas pertama
kali ini dari sumur Telaga Tiga, membuyarkan harapan untuk mendapatkan
minyak yang banyak. Zijlker dan rekannya dengan sungguh-sungguh
bekerja terus walau dengan cara berpindah-pindah tempat, kemudian
mereka mencoba lagi di Desa Telaga Said. Di lokasi kedua ini juga masih
mengalami kendala karena struktur tanah yang keras, akan tetapi kesulitan
ini berakhir saat pengeboran sudah mencapai kedalaman 22 meter, maka
minyak pun berhasil diperoleh sekitar 1.710 liter pada waktu yang lebih
singkat, yaitu 48 jam kerja. Terakhir sewaktu pengeboran sudah mencapai
kedalaman 31 meter, minyak pun langsung mengalir deras sehingga
diperoleh 86.402 liter. Pada tanggal 15 Juni 1885, sewaktu pengeboran
terus dilanjutkan sampai pada kedalaman 121 meter maka muncullah
semburan kuat gas dari dalam tanah yang berisi minyak mentah dan material
lainnya. Sumur, dengan identifikasi kesuksesan pertama ini disebut namanya
dengan Telaga Tunggal I. Inilah sejarah penemuan minyak pertama di
Indonesia, dan keberhasilan dunia sejak 26 tahun sebelumnya (pada tanggal
27 Agustus 1859) di Titusville, negara bagian Pensylvania, yang diprakarsai
Edwin L. Drake dan William Smith dari Seneca Oil Company. Akhirnya
pengelolaan minyak ini dikelola oleh Beteshti Petrolium Maskapai (BPM),
yaitu Perusahaaan Perminyakan Belanda.
Berkat penemuan ladang minyak ini menjadikan Kesultanan Langkat
menjadi kaya raya. Kesultanan Langkat memperoleh pembagian kerjasama
yang luar biasa banyak atas semburan minyak yang sungguh banyak ini.
Dengan sumur minyak yang ada tersebut menjadikan Kesultanan Langkat
ini menjadi jauh lebih kaya dibanding dengan Kesultanan Melayu lainnya
yang ada di Sumatera Timur, seperti Kesultanan Siak, Kesultanan Kutai
Kartanegara, Kesultanan Bulungan, dan kesultanan lainnya di Indonesia.
Kesultanan Langkat menjadi salah satu kerajaan terkaya di Indonesia.
Lewat hasil minyak bumi tersebut, Kesultanan Langkat telah berhasil
membangun fasilitas Kerajaan. Sultan sudah berhasil membangun banyak
masjid, di antaranya; Masjid Azizi Tanjung Pura, Masjid Raya Stabat dan

69
Masjid Raya Binjai, demikian juga membangun sekolah dan madrasah,
membayar gaji Nazir masjid, dan guru-guru, dan hakim, bahkan operasional
dan pemeliharaan Gedung-gedung pemerintahan dan publik. Termasuk
juga ke dalam hal ini, biaya hari-hari besar Islam, seperti bulan Ramadhan,
Sultan memberi bantuan ke masjid-masjid, dan memberi sedekah kepada
masyarakat kurang mampu. Semua ini dibiayai oleh kesultanan sendiri
yang diambil dari dana bagi hasil minyak.

7. Bidang Pertanian
Selain dari minyak, Kesultanan Langkat juga mengembangkan usaha
pertanian. Kesultanan Langkat dikenal sebagai kerajaan yang memiliki usaha
perkebunan yang dapat diandalkan. Di antara usaha perkebunan tersebut
adalah sebagai berikut;

a. Tembakau
Jacobus Nienhuys adalah perintis pertama usaha perkebunan di
Sumatera Timur, termasuk Kesultanan Langkat. Bersadar hasil survey yang
dilakukan oleh Pengusaha Belanda Jacobus, dia menyimpulkan bahwa tanah
di Indonesia Timur sangat cocok untuk usaha perkebunan, terutama
tembakau. Untuk kepentingan mendapatkan areal perkebunan yang luas
maka dia melobi Sultan Mahmud, lalu pada tahun 1863, dia telah berhasil
memperoleh izin mengusahakan tanah perkebunan seluas 4.000 bau
(bouw) dari Sultan Mahmud sebagai penguasa Kesultanan Langkat.
Jacobus berhasil dalam usahanya. Setelah dia mengolah lahan tersebut
dan menanaminya dengan tembakau ternyata hasilnya melampaui dari
apa yang diperkirakan sebelumnya, dia berhasil memproduksi daun
tembakau pembungkus cerutu yang halus, dan ini sangat mahal harganya
di pasaran dunia. Sewaktu dia sudah mengirim ke Rotterdam Belanda,
kemudian dijual di pasaran Eropa, ternyata harganya mencapai 48 sen
gulden per ½ kilogram. Harga itu naik terus di pasaran Eropah, hingga
pada tahun 1865, harganya mencapai 149 sen gulden per ½ kilogram.
Van der Wal memberi kalkulasi nilai tinggi terhadap tembakau dari Sumatera
Timur, harganya mencapai 4 (empat) kali lipat dari harga daun tembakau

70
Kuba, dan lebih 4 (empat) kali lipat dari harga tembakau Pulau Jawa. 17
Keberhasilan usaha Jacobus ini mempengaruhi pengusaha Belanda
lainnya, bahkan pengusaha-pengusaha Eropa dan belahan dunia lainnya
untuk berbondong-bondong datang ke Sumatera Timur. Tanpa terkecuali
pengusaha; Inggris, Perancis, Amerika Serikat, dan Swiss, mulai melirik
usaha perkebunan di Sumatera Timur, mereka ingin berinvestasi di
Kesultanan Langkat ini dalam rangka mendapatkan keuntungan yang besar
dari aspek perkebunan. Hal ini terdukung juga oleh politik ekonomi liberal
yang sudah diterapkan kolonial Belanda dan harapan keuntungan pajak
sewa tanah yang besar dari Sultan yang akan memberi izin usaha.
Kehadiran pengusaha lainnya ke Sumatera Timur ini telah menambah
lebih semaraknya lagi usaha perkebunan tembakau di daerah ini. Kal J.
Pelzer mengatakan, menginjak tahun 1920-an, usaha perkebunan di
Sumatera Timur telah mencapai jumlah yang sangat fantastis luas, dan
sangat mencengangkan, perkebunan ini berpusat di sekitar Kota Medan,
kemudian terhampar luas pada areal sejauh mata memandang sampai
100 kilometer ke arah timur-laut yang tinggal berbatasan dengan Aceh,
demikian juga terhampar luas lagi 100 kilometer ke arah selatan di sekitar
pegunungan kecil di balik kota Pematang Siantar, lebih dari itu lagi,
terhampar luas lebih dari 200 kolimeter ke arah tenggara, yaitu ke arah
dataran tinggi di sekitar Prapat, dan juga Asahan. Realitas ini
memperlihatkan betapa daerah Sumatera Timur telah menjadi lautan
perkebunan yang sungguh mencengangkan.

b. Karet
Salah satu usaha pertanian yang dikembangkan oleh Kesultanan
Langkat adalah karet. Lewat tangan J. Nienhuys yang datang ke Deli di
tahun 1863 adalah sebagai kedatangan pihak Belanda untuk pertama
kalinya menetap di Deli dalam rangka mengelola perusahaan perkebunan
tembakau, dan selanjutnya dalam rangka memperluas perusahaannya

17
William Joseph O’Malley, “Perkebunan 1830-1940: Ikhtisar” dalam Anne Booth,
William J.O’Malley, dan Anna Wiedemann (Ed.), Sejarah Ekonomi Indonesia, Terjemahan
(Jakarta: Penerbit LP3ES, 1988), 24-25

71
sampai ke Sumatera Timur. Sekitar tahun 1872, Pemerintah Belanda telah
membuka perkebunan tembakau di areal Kesultanan Langkat. Dengan
pelaksanaan perkebunan di areal Kesultanan Langkat ini maka pajak lahan
perkebunan tembakau oleh Belanda ini telah memberi kontribusi besar
bagi Kesultanan Langkat.18

c. Kelapa dan kelapa sawit


Andalan pertanian lainnya adalah kelapa dan kelapa sawit. Seperti
halnya pada perkebunan karet maka pada perkebunan kelapa dan kelapa
sawit ini pun, pihak Kesultanan Langkat tetap saja menjadi pihak yang
mengutip pajak perkebunan dari Pemerintah Belanda. Perkebunan kelapa
dan kelapa sawit ini telah meberi kontribusi berharga bagi kemajuan
Kesultanan Langkat.

d. Lada
Pada tahun 1823, Gubernur Inggris yang berkedudukan di Pulau Penang
telah mengutus John Anderson untuk pergi ke Pesisir Sumatera Utara,
dan dari catatannya disebutkan bahwa di sana ada sebuah kampung
bernama Ba Bingai (Binjai) dengan penghasilan lada yang cukup bagus
dan jumlahnya banyak. Sebenarnya sejak tahun 1822 Binjai telah dijadikan
salah satu lokasi Bandar/Pelabuhan Kesultanan Langkat, dimasa ini hasil
pertanian lada yang ada pada daerah sekitarnya diekspor melalui Pelabuhan
ini, dan lada ini berasal dari perkebunan di sekitar Ketapangai (Pungai)
sekarang disebut Kelurahan Kebun Lada/Damai. Sejalan dengan hal
tersebut, John Anderson yang bertindak sebagai wakil Pemerintah Inggris
yang berdomisili di Pineng memberi laporan yang memuat bahwa Kerajaan
Langkat adalah suatu kerajaan yang kaya raya. Dia memiliki lada terbaik
dunia, dan ekspornya telah mencapai 800.000,- kg atau setara dengan
20.000 pikul untuk satu tahun.

18
http://digilib.unimed.ac.id/18328/6/8.%203103121062%20BAB%20I.pdf., di down-
load pada hari Selasa tanggal 28 Agustus 2018.

72
8. Hasil Hutan dan tambang
Hasil hutan juga menjadi penyumbang besar bagi kejayaan Kesultanan
Langkat. Selain dari hasil pertanian, juga ditemui hasil hutan dan tambang
yang cukup banyak jumlahnya. Misalnya, rotan, damar, gambir, lilin, kayu
pewarna, kanper, dan buah-buahan, bahkan terdapat pula tambang emas.19

D. Masa Kemunduran Kesultanan Langkat


Masa kemunduran dan masa berakhirnya Kesultanan Langkat berada
di tangan Sultan Mahmud. Tahun 1926 adalah awal mula berkuasanya
Sultan Mahmud pada Kerajaan Langkat. Saat ini Sultan Abdul Aziz secara
resmi telah menobatkan dan mempermaklumkan bahwa putranya Tengku
Mahmud menjadi Sultan Langkat. Sejak saat ini terjadilah peralihan
kekuasaan dari kepemimpinan Sultan Abdul Aziz kepada anak kandungnya
Tengku Mahmud (Sultan Mahmud).
Sultan Mahmud ternyata tidak sebijak ayahandanya Sultan Abdul Aziz.
Dia kurang mampu mengayomi masyarakat, manajemen kerajaan berjalan
monoton di tangannya, dia hanya meneruskan tradisi dan kebijaksanaan
yang sudah berlangsung lama pada masa ayahnya Sultan Abdul Aziz.
Penanganan kerajaan yang kurang progressif dan inovatif seperti ini
mengakibatkan kerajaan tidak berjalan kearah yang lebih maju lagi, tapi
justru kelesuan dan kemunduran yang diperoleh.
Salah satu kebijakan yang lahir dari Sultan Mahmud adalah
memindahkan pusat kerajaan ke Binjai. Semula, sejak masa kekuasaan
Sultan Musa sampai kepada Sultan Abdul Aziz pusat kekuasaan kerajaan
ini berada di Tanjung Pura, dengan berbagai pertimbangan yang ada,
maka Sultan Mahmud memindahkannya ke Binjai. Untuk keperluan ini,
maka di Binjai dibangunlah Singgasana/ istana baru yang berdiri kokoh
dan megah hingga terjadinya revolusi sosial pada tahun 1946. Sejak saat
ini pusat kekuasaan Sultan Mahmud berada di Binjai.
Pada masa kekuasaan Jepang Kerajaan Langkat ini sudah mulai lemah.
Masuknya Jepang ditandai dengan melemahnya kewibawaan kesultanan.

19
http://digilib.unimed.ac.id/18328/6/8.%203103121062%20BAB%20I.pdf., di down-
load pada hari Selasa tanggal 28 Agustus 2018.

73
Hak-hak istimewa mereka dianulir, tanah-tanah yang semula dikuasai
Kesultanan beralih ke tangan Jepang, lokasi perkebunan mulai ditanami
dengan padi dan jagung. Lewat manajemen Jepang, jelas keadaan ini
membawa angin segar bagi kaum buruh, dan petani perkebunan. Banyak
dari mereka ini adalah Jawa, Toba, dan Karo, bahkan orang-orang Cina
pun turut mengambil lahan perkebunan, menguasai dan menganggap hal
itu adalah miliknya sendiri.
Ada beberapa banyak yang mempercepat terjadinya revolusi sosial.
Pertama, meskipun Jepang melarang kegiatan politik, namun kondisi
pemahaman nasionalisme yang sudah mulai dewasa membuat Jepang
semakin bertoleransi dengan hal-hal yang bersifat ke-Indonesiaan, dan ini
sangat membantu dalam sosialisasi nasionalisme. Kedua, saat Jepang telah
minggat dari Indonesia maka terjadilah kekosongan kekuasaan. Pada bulan
Oktober 1945, informasi proklamasi kemerdekaan Indonesia sudah
kedengaran di Sumatera Timur. Kekosongan kekuasaan ini menjadi celah
terbukanya peluang munculnya pergolakan. Semua pihak merasa berhak
untuk mengendalikan kekuasaan. Ketiga, pemimpin pergerakan dan
sebagian masyarakat memandang bahwa pihak kesultanan yang secara
akrab bersama dengan pihak kolonial Belanda dipahami sebagai penghalang
perjuangan nasionalisme Indonesia, dan ini harus segera ditumpas.
Keempat, masyarakat bawah yang selama ini merupakan objek eksploitasi
kolonial Belanda yang berkolaborasi dengan pihak kaum bangsawan/
kesultanan memandang bahwa ini adalah saat yang tepat untuk melepaskan
dendam kesumatnyanya yang tertekan selama ini. Kelima, banyaknya
organisasi politik yang bermunculan di daerah-daerah, seperti; Serikat
Islam, tahun 1918, PKI tahun 1952, dan Gerindo tahun 1937, serta yang
lainnya. Semua ini berkumulasi dan saling bersinergi dalam mengerakkan
Revolusi Sosial tersebut.
Sultan Mahmud terkenal dengan orang yang bersahabat dengan
Belanda. Dia malah sudah menjadi kebelanda-belandaan, dikabarkan justru
dia suka bersenang-senang, berfoya-foya, dan dia punya hubungan intim
dengan perempuan Belanda. Secara fisik Belanda pada masa ini tidak
mengancam eksistensi kekuasaan Kesultanan Langkat, namun kilas balik

74
pemahaman yang muncul dari persahabatan tersebut menimbulkan
kebencian dari banyak masyarakat.
Muncul polarisasi pendapat menyangkut nasib Sumatera Timur saat
itu. Di antara opini yang berkembang adalah “pihak Belanda akan datang
lagi”. Dugaan akan hal ini menjadi semakin kuat karena pasukan terjun
payung sekutu membawa spanduk publikasi yang memperkokoh keyakinan
bahwa asumsi ini benar. Suatu hal yang lebih fatal lagi dikabarkan bahwa
panitia penyambutan akan datangnya Belanda tersebut sudah terbentuk,
dan mereka itu adalah terdiri dari para Sultan.
Kedatangan pihak sekutu juga turut menambah semakin hangatnya
situasi politik Sumatera Timur. Tidak heran kalau pihak bangsawan (para
keluarga Sultan) dipandang berpihak kepada kaum kolonialis dalam rangka
mengambil kembali kekuasaan yang sudah pernah mereka miliki
sebelumnya. Situasi ini mengantarkan pihak birokrat Melayu semakin
terperosok ke dalam posisi yang sulit. Di sisi lain, terdapat polarisasi
kelompok nasionalis pejuang kemerdekaan kepada dua pihak, yaitu;
Pertama, Kelompok moderat yang terbilang lebih mengupayakan
pendekatan kooperatif untuk bisa menyadarkan kaum kesultanan Melayu
sehingga di antara sesama anak bangsa akan secara bersama sama
memperjuangkan dan membangun Indonesia yang baru saja diproklamirkan.
Kedua, kelompok radikal yang lebih mengedepankan cara-cara kekerasan
untuk menyelesaikan masalah, mereka ini terdiri dari pada umumnya
kelompok generasi muda. Kompleksitas kepentingan inilah yang turut
memicu pergolakan tersebut.
Sultan Mahmud ini memang terbilang lemah. Dia sakit-sakitan,
sehingga dia kurang mampu untuk mengendalikan kerajaan, sehubungan
dengan ini Dia mengangkat dr. Amir (orang Padang) sebagai dokter
pribadinya, maka pada tahun 1930, dalam rangka memperkokoh eksistensi
Dr. Amir sebagai dokter pribadinya dibangunlah Rumah Sakit Tanjung Pura
yang ada sekarang, lalu diangkatlah dr. Amir sebagai Kepala Rumah Sakit
tersebut untuk pertama kalinya.
Sebagai dokter pribadi, belakangan dr. Amir ini sangat dekat dengan
Sultan Mahmud. Kedekatannya dengan Sultan Mahmud membuatnya

75
mengetahui banyak hal tentang Sultan Mahmud, sampai-sampai dia
mengetahui hal yang pribadi dari Sultan Mahmud. Kedekatan ini menjadi
modal baginya untuk lebih banyak berperan pada Kesultanan Langkat.
Keaktifan dr. Amir dalam dunia politik membuatnya menjadi pejabat
teras di Propinsi Sumatera. dr. Amir diangkat menjadi Wakil Gubernur
Sumatera dari Gubernur pertamanya saat itu adalah Tengku Muhammad
Hasan. Kedudukan strategis ini membuatnya memiliki kewenangan untuk
melakukan kebijakan politik di Sumatera, termasuk untuk Sumatera Timur
dan Kesultanan Langkat.
Situasi mencekam telah terjadi di Tanjung Balai Asahan. Saat itu adalah
pagi hari di tanggal 3 Maret 1946, ribuan masa telah berkerumun dengan
semangat bela negaranya. Terdengar kabar bahwa sebentar lagi Belanda
akan mendarat di tempat ini, namun tetap saja tidak pernah muncul. Sesaat
kemudian, kerumunan massa ini secara cepat dan tiba-tiba menjadi
berubah haluan mengepung istana Sultan Asahan. Mereka memang
dihadang oleh Tentara Republik Indonesia (TRI) namun karena jumlah
mereka yang sedikit, massa berhasil menerobos brikade dan melampiaskan
dendam kesumat serta kebencian mereka terhadap simbol-simbol
kesultanan tersebut. Besoknya, semua kelompok pria dari bangsawan
Melayu Sumatera Timur ditangkap dan dibunuh, di antara mereka itu adalah
para penghulu, pegawai didikan Belanda, dan sebagian besar kelas tengku.
Kemudian, pada tanggal 8 Maret 1946, Revolusi Sosial menjalar dan
berlanjut lagi, bahkan terus memakan korban yang dahsyat. Sultan Bilah
dan Sultan Langkat ditangkap lalu dibantai dan terbunuh. Berita yang sangat
memilukan memperdengarkan bahwa telah terjadi pekosaan terhadap dua
orang putri Sultan Langkat pada malam jatuhnya istana tersebut di tangan
kelompok Revolusi Sosial pada tanggal 9 Maret 1946, dan dieksekusinya
secara sadis pujangga Nasional kebanggaan bangsa Indonesia Tengku
Amir Hamzah. Semua ini mengakhiri riwayat Kesultanan Langkat dalam
seketika.19
19
Universitas Islam Sumatera Utara, Patologi Sebuah Revolusi: Catatan Anthony
Reid tentang Revolusi Sosial di Sumatera Timur, dalam Sudut Sejarah, tulisan, Wara
Sinuhaji, Staf Pengajar Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Sastra USU, Edisi No. 23/
Tahun XI/Januari 2007Maret 19461, hlm. 59-60.

76
Perayaan di Kerajaan Langkat20

20
https://visit langkat.wordpress.com/2014/10/02/sejarah-kerajaan-langkat/.
Diakses tanggal 30 Agustus 2018.

77
78
BAGIAN KEEMPAT

KESULTANAN LANGKAT DALAM


BERBAGAI DIMENSI

A. Dimensi Keagamaan
1. Masuknya Islam di Kesultanan Melayu
Islam di kerajaan Melayu tidak terlepas dari proses Islamisasi yang
berlangsung di kepulauan Indonesia. Berdasarkan hasil seminar masuknya
Islam ke Indonesia di Medan tahun 1963 disimpulkan bahwa Islam masuk
pada abad 1 Hijrah atau abad 7-8 Masehi di pantai Sumatra tepatnya di
Perlak, Aceh Timur, sedangkan kerajaan Islam pertama berada di Samudra
Pasai, Aceh Utara.1
Beberapa faktor penyebab diterima dan masuknya Islam di Indonesia:
pertama: peranan yang dibawa oleh para saudagar yang berasal dari
Gujarat, Bengal dan Arab yaitu dengan menempatkan diri mereka sebagai
penduduk lokal bersikap dan mengikuti kebiasaan penduduk lokal seperti
menikah dengan pribumi sehingga dengan peranan tersebut mereka masuk
dan merubah hukum adat penduduk pribumi dan mengenalkan metode

1
M. Daud Ali, The Position of Islamic Law in the Indonesian Legal System, dalam Islam
and Society in Southeast Asia, edited by Taufiq Abdullah, et. all, (Singapore: ISEAS,
1983), hlm. 187.

79
baru tentang ajaran dan hukum Islam. Kedua, peranan para missionaris
sufi tidak hanya sebagai guru/da’i tetapi mereka juga berfungsi sebagai
pedagang, dan ahli politik, dan dengan cara ini mereka berinterksi dengan
penduduk pribumi, melalui pola interaksi mereka menyebarkan misi
agamanya dengan metode yang lebih dekat dan sesuai dengan kepercayaan
penduduk Indonesia pada saat itu. Ketiga, nilai-nilai ajaran Islam yang
diajarkan para da’i dan pedagang sesuai dengan sikap masyarakat dan
diterima oleh masyarakat, seperti sikap toleransi.2 Sedangkan menurut
Arnold mudahnya interakasi Islam ke Indonesia adalah karena penyebaran
Islam di Indonesia dilakukan secara damai penetration pacifique, dan tidak
menggunakan peperangan dan kekerasan “no gun was fired nor was any
sword drawn for the propagation of Islam in Indonesia soil”.3
Adapun mengenai masuknya agama Islam ke Kerajaan Melayu Langkat
adalah pada abad XVII. Melalui kekuasaan Raja Aceh yaitu Sultan Iskandar
Muda di Samudra Pasai yang pada saat itu menguasai hampir seluruh
wilayah kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatera Timur.4 Para sultan-sultan
yang berasal dari kerajaan Aceh tersebut adalah penganut mazhab
Syafi’iyah.5
Islamisasi yang berlangsung di kerajaan-kerajaan Melayu, 6 sama
halnya dengan proses Islamisasi di seluruh Indonesia, pengaruhnya tak

2
Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, second edition, (United Kingdom,
Cambridge University Perss, 2002), hlm. 383-384.
3
Thomas W. Arnold, The Preaching of Islam: a history of the propagation of the
Muslim faith, (London: Constable, 1913), hlm. 363.
4
Jhon D Mc Meelain, Langkat Brief History, hlm. 1.
5
Seperti Hamzah al-Fansuri, Sultan Malikul Zahir dari Samudra Pasai seorang yang
disebut Fukaha Syafi’iyah yang menyebarkan Islam pada pertengahan abad XIV M,
Syamsuddin al-Sumatrani, Nuruddin Ar-raniri (w.1068H/1658M) yang menulis kitab Sirat
al-Mustqim sebuah kitab yang berstandarkan pada fikih Syafi’iyah,dan Abd Rauf Singkel
(1042-1105 H). Peonah Daly, Hukum Perkawinan Islam: suatu studi perbandingan dalam
kalangan ahlus-Sunnah dan negara-negara Islam, Cet. I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988),
hlm. 12.
6
Menurut MB. Hooker terdapat beberapa persamaan hukum yang berkembang di
kerajaan-kerajaan Melayu, termasuk Melayu yang ada di Perak, Pahang, dan Johor dan
melayu-melayu di pesisir pantai lainnya. Contohnya dalam hal pemerintahan yang
berbentuk kerajaan dan turun temurun, juga adanya kesamaan pakaian yang berwarana
kuning, sangat menghargai hak-hak orang lain, menghargai kaum wanita dan orang tua,

80
hanya pada agama saja (ibadah), tetapi juga paling nampak pada bagian
perkawinan dan kekeluargaan (hukum kekeluargaan). Pada masa itu selalu
terdapat pegawai-pegawai khusus yang mempunyai keahlian dalam hal
mengurusi agama Islam yang berkaitan dengan urusan masjid dan
perkawinan.7
Kondisi ini menurut penulis disebabkan pada proses awal islamisasi
di Indonesia, para dai dan ulama yang mengembangkan Islam tidak hanya
mengajarkan dimensi spiritual seperti tauhid dan ibadah tetapi juga
mencakup hubungan kemanusiaan, seperti perkawinan dan kewarisan,
yaitu melalu asimilasi dan interaksi sosial antara saudagar dan masyarakat
pribumi sehingga melahirkan aturan baru yang berbeda dengan aturan
masyarakat pribumi (baca: adat) seperti dalam hukum kekeluargaan
(perkawinan dan kewarisan).
Hukum Islam khususnya mazhab Sunni-Syafi’i, di dalam
pelaksanaannya di Kerajaan Melayu, dikembangkan serta dipedomani
sebagai hukum Kerajaan Melayu dan menjadi literatur yang dipergunakan
dalam memutuskan di pengadilan adalah fikih dengan mazhab Syafi’i.
Berkaitan dengan ini Azra menilai bahwa tradisi politik yang ingin di
bentuk dan dikembangkan oleh raja-raja Melayu adalah tradisi politik Sunni,
yang menekankan kesetiaan rakyat pada penguasa, dan kepatuhan
penguasa pada prinsip-prinsip hukum Islam dan nilai-nilai akhlak. Berbagai
kitab undang-undang yang ditulis pada masa-masa awal Islam di Nusantara
yang menjadi panduan hukum bagi negara dan masyarakat, memang
bersumber dari kitab-kitab karya para ulama Sunni di berbagai pusat
keilmuan dan kekuasaan Islam di Timur Tengah. Kitab undang-undang

sehingga bagi yang melanggar akan mendapatkan hukuman mati ataupun ditangkap,
adanya pungutan pajak dan lain-lain. Lebih lanjut menurutnya hal ini dimungkinkan
pertama, karena berhubungan dengan kondisi geografis daerah hunian masyarakat
Melayu yang selalu berada di sekitar pantai (related to specific area), dan kedua, karena
adanya kajian yang berasal dari teks-teks keislaman (recitations of Islamic provisions in
the texts). MB. Hooker, The Challenge of Malay Adat Law in The Realm of Comparative
Law, The International and Comparative Law Querterly, Vol. 22, No. 3 (Juli.1973), hlm.
493-495.
7
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan, hlm. 21.

81
Melayu-yang biasanya ditulis oleh perintah raja atau sultan-menunjukkan
ajaran-ajaran Syari’ah sebagai bagian integral dalam pembinaan tradisi
politik di kawasan ini.8
Kedudukan sebagai pemuka agama (tokoh agama) secara langsung
dijabat oleh sultan/raja. Sehingga kedudukan dan tugas sultan/raja bukan
saja sebagai kepala pemerintahan dan kepala adat, tetapi juga pemimpin
Islam, ulil amri atau julukan yang sering ialah khalifatullah.
Dalam menangani setiap persoalan hukum Islam yang muncul di
masyarakat, Sultan didampingi seorang ulama dengan sebutan Tuan Haji
Cut/Kadi atau Mufti. Posisi Tuan Haji Cut/Kadi atau Mufti hampir setingkat
dengan Sultan, sehingga jika Sultan meninggal dan belum didapat
penggantinya, maka Tuan Haji/Cut atau Kadi bertindak dan menjalankan
semua fungsi kerajaan menggantikan posisi sultan/raja.9
Lev, dalam penelitiannya membuktikan bahwa hampir di seluruh
daerah-daerah yang menerima dan memberlakukan hukum Islam dengan
kuat terdapat Pengadilan Islam yang mengunakan hukum Islam sebagai
rujukannya. Hanya saja bentuk dan keadaan Pengadilan Agama tersebut
berbeda satu daerah dengan daerah lainnya. Di beberapa daerah, seperti
Aceh dan Jambi di Sumatera, Kalimantan Selatan dan Timur, Sulawesi
Selatan dan beberapa tempat lain, hakim-hakim Islam diangkat oleh para
penguasa setempat. Sedang di daerah-daerah lain seperti Sulawesi Utara,
dan beberapa daerah di Sumatera Utara, seperti Tapanuli, Gayo dan Alas
di Aceh, serta Sumatera Selatan, tidak ada kedudukan tersendiri bagi
Pengadilan Agama, tetapi pemuka-pemuka agama melakukan peradilan.10
Sebagai contoh dikerajaan Melayu Deli, didapat lima ulama (baca:
lembaga pengadilan) bertugas sebagai sumber pemberi putusan hukum
pada masyarakat, kelima ulama tersebut yaitu: Kadi/mufti selaku kepala/

8
Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah Wacana dan Kekuasaan,
(Bandung: Rosdakarya, 1999), hlm. 101.
9
T. Luckman Sinar, Sejarah Medan, hlm. 35.
10
Daniel S Lev, Islamic courts in Indonesia A Study in the Political Bases of Legal
Institutions, (Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press, 1972), hlm.
10.

82
ketua, kemudian Imam, Kalif, Bilal dan Penghulu Masjid.11 Kelima alim ulama
inilah yang berhak dan berwenang untuk memutuskan dan menentukan
segala hal yang berhubungan dengan masalah keagamaan dan hukum
Islam yang meliputi: pelaksanaan (ibadah), hukum perdata; (perkawinan
dan perceraian, kematian dan warisan (mawaris), dan tata cara bergaul
(muamalah). Demikian pula untuk urusan hukum pidana. Hal ini disebabkan
sumber putusan pidana maupun perdata berasal dari sumber yang sama
yaitu hukum syari’ah (hukum Islam).
Adanya kelima ulama kampung tersebut memudahkan masyarakat
untuk meminta dan mendapat kepastian hukum. Jika masyarakat ingin
memperoleh suatu putusan yang bersifat keagamaan, maka ia menemui
penghulu masjid yang telah ditunjuk, dan jika ia tidak puas, maka ia bisa
mengajukan kepada Bilal, dan seterusnya.
Berdasarkan data tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pada
masa-masa awal pelaksanaan hukum Islam di kerajaan Melayu Langkat,
hukum Islam ala mazhab Sunni-Syafi’i telah tumbuh, berkembang dan
bahkan menjadi sebuah kekuatan dan “dasar” hukum bagi kerajaan Melayu
serta dipedomani oleh seluruh masyarakat Muslim di daerah ini.

2. Kondisi Keagamaan di Kesultanan Langkat

Masjid Azizi Tanjung Pura


(Foto diambil ketika melakukan penelitian di Kota Tanjung Pura)

T. Luckman Sinar, Sejarah Medan, hlm. 37.


11

83
Dengan berdirinya Tarekat Naqsabandiyah dan beberapa pengajian
keagamaan yang dibentuk oleh istri sultan, yaitu Maslurah, dan adanya
pusat peribadatan di wilayah Langkat yaitu Masjid Azizi, maka terlihatlah
hidupnya sunnah-sunnah Islam, menghilangkan bid’ah-bid’ah,
mengembangkan hukum-hukum Allah serta menghilangkan stratifikasi ras.12
Hal ini dikarenakan masyarakat Langkat yang memegang teguh ajaran-
ajaran syariat Islam.
Kerajaan Langkat terutama setelah berpusat di Tanjung Pura,
menjadikan agama Islam sebagai pedoman dan legitimasi terhadap
kebijakan-kebijakan sultan dan kerajaan secara umum. Masyarakat yang
mayoritas beragama Islam dalam berbagai dinamika kehidupannya telah
mencerminkan perilaku keislaman yang kuat, walaupun di sana-sini masih
terdapat kepercayaan-kepercayaan peninggalan Hindu, Animisme dan lain
sebagainya. Dalam hal ini, ibadah-ibadah praktis selalu dapat ditemukan
dalam dinamika masyarakat Langkat, seperti shalat berjamaah, mengaji
di langgar, dan pengajian-pengajian agama yang banyak bertemakan
akidah dan tasawuf.
Selanjutnya untuk mendukung hal tersebut, maka sultan-sultan Langkat
membangun fasilitas-fasilitas peribadatan, masjid-masjid yang megah dan
indah bentuknya seperti Masjid Azizi di Tanjung Pura, Masjid Raya Stabat
dan Binjai serta beberapa madrasah yang dibangun untuk pendidikan rohani
rakyat.13 Mengenai gaji-gaji guru dan pegawai (nazir) masjid, demikian
juga untuk pemeliharaan gedung-gedung tersebut semuanya ditanggung
oleh pihak kerajaan.14

12
Stratifikasi ras merupakan suatu pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam
kelas-kelas secara bertingkat atas dasar kekuasaan, hak-hak istimewa, dan prestise.
Pembedaan ras disini berkaitan dengan suku yang menonjol dalam Kesultanan Langkat
yaitu suku Melayu. Dengan adanya pendidikan Islam sultan membuat suatu kebijakan
untuk menghilangkan sistem stratifikasi ras tersebut agar masyarakat dapat belajar
sesuai dengan kemampuannya, dan tidak dibedakan berdasarkan ras maupun status
ekonominya. M. Kasim Abdurrahman, Studi Sejarah Masjid Azizi Tanjung Pura-Langkat-
Sumatera Utara, hlm. 33.
13
T.M Lah Husni, Biografi-Sejarah Pujangga Nasional Tengku Amir Hamzah, Penerbit
Husni, Medan, 1971, h. 4.
14
Ibid., h. 5

84
Berkaitan dengan hari-hari besar Islam, seperti pada bulan Ramadhan,
maka Kesultanan Langkat memberikan bantuan-bantuan ke masjid-masjid
berupa makanan-makanan dan minuman bagi masyarakat yang
melaksanakan shalat tarawih, witir dan tadarus serta memberikan bantuan
berupa sedekah kepada masyarakat-masyarakat yang kurang mampu ketika
menjelang Idul Fitri hal ini menjadikan masyarakat selalu menaruh simpati
kepada para sultan, karena pihak kerajaan begitu aktif dalam memberikan
bantuan-bantuan yang bersifat keagamaan.
Dalam penerapan syariat Islam, kesultanan Langkat memiliki guru-
guru agama yang sekaligus dijadikan sebagai penasihat sultan untuk dimintai
pendapatnya berkaitan dengan permasalahan hukum Islam. Dalam sistem
kehidupan masyarakat melayu, seluruh warganya terikat dengan adat dan
pola melayu. Adat ini sebagian besar dipengaruhi oleh agama Islam.
Maksudnya, kebiasaan-kebiasaan yang tidak sesuai dengan yang diajarkan
atau yang diatur dalam agama Islam berangsur-angsur akan dihilangkan.
Jadi adat resam melayu adalah adat dan kebiasaan masyarakat melayu
yang telah diislamisasi. Di sini, peran guru-guru agama cukup besar dalam
menginternalisasi nilai-nilai Islam kedalam masyarakat Langkat.
Dinamika keagamaan yang begitu kuat, dapat dilihat dengan
keberadaan Babussalam sebagai pusat kegiatan Tarekat Naqsabandiyah.
Yaitu pada masa Sultan Musa berkuasa di Tanjung Pura. Pusat tarekat
tersebut muncul dan berkembang menjadi sebuah simbol keagamaan pada
masa tersebut dan bahkan sampai saat ini. Pendiri Tarekat Naqsabandiyah
di Langkat adalah Syekh Abdul Wahab Rokan.15 Syekh ini lahir dari keluarga
yang taat beragama, ia mengaji di berbagai surau di Riau daratan dan
pergi belajar ke Mekkah untuk menyambung pelajarannya di sana selama

15
Almarhum Syekh Abdul Wahab Rokan Al-khalidi Naqsabandi adalah pendiri Tariqat
Naqsabandiyah di desa Besilam (babussalam) nama kecilnya adalah Abu al-Qasim.
Dilahirkan pada tanggal 10 rabiul Akhir 1230 Hijriah atau pada 28 September 1811 di
kampung Danau Runda, Rantau Binuang Sakti, Negeri Tinggi, Rokan Tengah, Kabupaten
Kampar, Riau. Nama rokan di ambil dari asal daerahnya yaitu Rokan Tengah. Menurut
riwayat usia beliau kurang lebih 115 tahun. Wafat pada tanggal 21 Jumadil Awal 1345
Hijriah (27 Desember 1926). Untuk mengetahui dengan jelas, lihat; Ahmad Fuad Said,
Syekh Abdul Wahab Rokan, Tuan Guru Babussalam, Pustaka Babussalam, Cetakan III,
Medan, 1983

85
lima atau enam tahun pada tahun 1860-an.Tarekat Naqsabandiyah ini
akhirnya membawa pengaruh yang besar di kawasan Sumatera dan
semenanjung Malaysia. Menurut Martin Van Bruinessen, hanya dengan
sendirian saja, ia telah mampu menandingi dengan apa yang dicapai para
syekh di Minangkabau seluruhnya.16
Syekh Abdul Wahab adalah murid dari syekh Sulaiman Zuhdi di
Mekkah. Sekembalinya ke tanah air, ia aktif mengajar agama dan tarekat
di beberapa kerajaan, seperti wilayah Langkat, Deli Serdang, Asahan
Kualuh, Panai di Sumatera Utara, dan Siak Sri Inderapura, Bengkalis,
Tambusai, Tanah Putih Kubu di Propinsi Riau. Sampai kini murid-muridnya
tersebar luas di propinsi Aceh, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan,
Slawesi Selatan. Khalifah-khalifah beliau yang giat mengembangkan tarekat
Naqsabandiyah di luar negeri, telah berhasil mendirikan rumah-rumah suluk
dan peribadatan, di Batu Pahat, Johor, Pulau Pinang, Kelantan, dan
Thailand.17
Setelah mengunjungi berbagai tempat, akhirnya syekh Abdul Wahab
memutuskan untuk tinggal dan menetap di kampung Besilam daerah
Langkat. setelah terlebih dahulu diminta oleh sultan Musa, maka Syekh
Abdul Wahab ditempatkan di sekitar kota Tanjung Pura, setelah beberapa
hari syekh tersebut memohon kepada sultan Musa untuk diberikan sebidang
tanah untuk perkampungan agar ia dapat beribadah dan mengajarkan
ilmu agama dengan leluasa, sultan menyetujuinya dan keesokan harinya
berangkatlah sultan Musa beserta Syekh Abdul Wahab dan beberapa orang
lainnya menyusuri sungai Batang Serangan, hingga dapatlah sebuah tempat
yang cocok. Tempat ini akhirnya diberi nama oleh Syekh Abdul Wahab
dengan nama kampung Babussalam. Belakangan daerah ini terkenal dengan
nama kampung Besilam.18 Beberapa waktu kemudian yaitu pada tanggal

164
Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsabandiyah Di Indonesia, Mizan, Bandung,
1992, h. 135
17
Ahmad Fuad Said, Hakikat Tarikat Naqsabandiah, Pustaka Al Husna Baru, Jakarta,
2005, h. 12
18
A. Fuad Said, Syekh Abdul Wahab Rokan, Tuan Guru Babussalam, Pustaka
Babussalam, Cetakan III, Medan, 1983, h. 61

86
15 Syawal 1300 H. (1876) berangkatlah Syekh Abdul Wahab beserta
keluarga dan murid-muridnya pindah ke Babussalam.
Dengan berdirinya Babussalam, maka kegiatan keagamaan yang
bercirikan tarekat mulai berkembang di kerajaan Langkat, pengaruh yang
kuat bagi perkembangan Tarekat Naqsabandiyah, adalah turut sertanya
sultan Langkat dalam kegiatan tarekat tersebut, beserta beberapa
pembesar kerajaan, sehingga masyarakat yang memiliki simpati terhadap
sultan, ikut serta dalam kegiatan tersebut, di samping dengan nama besar
syekh Abdul Wahab, sebagai ulama terpandang membuat masyarakat
Langkat, maupun yang berada di luar kawasan Langkat seperti dari daerah
Batu bara, Tapanuli, Riau dan beberapa daerah lain berdatangan untuk
mengaji dan bersuluk. Beberapa dari mereka akhirnya menetap di daerah
Langkat.
Berdasarkan pemaparan dapat terlihat bahwa kondisi keagamaan
Kesultanan Langkat saat itu menjadikan agama Islam sebagai pedoman
dan legitimasi terhadap kebijakan-kebijakan sultan dan kerajaan secara
umum. Masyarakat yang mayoritas beragama Islam dalam berbagai
dinamika kehidupannya telah mencerminkan perilaku keislaman yang kuat,
meskipun masih terdapat kepercayaan-kepercayaan peninggalan Hindu,
animisme dan lain sebagainya. Dalam hal ini, ibadah-ibadah praktis selalu
dapat ditemukan dalam dinamika masyarakat Langkat, seperti shalat
berjamaah, mengaji di langgar, dan pengajian-pengajian agama yang
banyak bertemakan akidah dan tasawuf.
Kondisi keagamaan saat itu menjadikan Kesultanan Langkat terkenal
sebagai kota Islam. Hal ini disebabkan oleh Sultan Musa yang saat itu
menjabat sebagai sultan suka memelihara alim ulama.

B. Dimensi Sosial dan Budaya


Di masa Kesultanan Langkat, dalam masyarakat dikenal pelapisan
masyarakat atau kelas-kelas sosial yang membedakan keturunan
bangsawan dan rakyat biasa. Golongan bangsawan adalah keturunan raja-
raja yang dikenali dengan gelar-gelar tertentu, seperti tengku, sultan dan
datuk. Dalam hal ini peninggalan Hinduisme masih melekat pada

87
masyarakat. Bahkan sisa-sisa pelapisan sosial lama masih nampak dalam
masyarakat melayu saat ini. Misalnya masih ditemukan sekelompok orang
yang berasal dari keturunan sultan-sultan dulu, mereka biasanya dipanggil
dengan gelar Tengku. Lalu, bekas pegawai kesultanan dengan keturunannya
biasanya dipanggil dengan gelar Datuk. Sedangkan keturunan tengku dan
datuk kebanyakan dipanggil dengan gelar Wan.

Gambar: Museum Tanjung Pura, pada masa kesultanan,


tempat ini merupakan pengadilan pidana di kerajaan
(Foto diambil ketika melakukan penelitian di Kota Tanjung Pura)

Dengan adanya pelapisan sosial pada masyarakat, maka keturunan


raja dan aristokrat di Langkat mempunyai kesempatan yang lebih besar
untuk hidup makmur dibandingkan dengan rakyat biasa. Mereka masing-
masing diberi jabatan dan diberi kekuasaan untuk mengatur atau mengelola
kejeruan-kejeruan (kecamatan) di daerah Langkat. Pembagian kekuasaan
dan hasil daerah membuat golongan bangsawan Langkat dapat hidup
berkecukupan dalam bidang materi. Ini berbeda dengan golongan rakyat
biasa yang harus membayar pajak (upeti/blasting) dari hasil pertanian
dan perkebunannya kepada kesultanan. Namun ada dari rakyat biasa yang
dapat hidup mewah dan berkecukupan dan biasanya mereka adalah tuan-
tuan tanah atau orang-orang kepercayaan sultan.
Dalam bidang kebudayaan, sebagaimana yang telah disinggung diatas
bahwa mayoritas masyarakat Langkat sudah beragama Islam dan ajaran-
ajaran Islam tersebut terlihat jelas dalam kebudayaan dan adat istiadat

88
masyarakat melayu Langkat. Misalnya dalam membicarakan suatu
permasalahan dalam sebuah kampung, biasanya akan dimusyawarahkan
di masjid. Begitu juga dengan acara-acara lainnya seperti acara turun ke
sawah, kerja bakti, ataupun menyelesaikan suatu perselisihan maka
sebelumnya telah ada kesepakatan antara warga setempat. Musyawarah
tersebut biasanya akan dihadiri oleh Penghulu (kepala kampung), Pengetua
adat dan Imam Masjid.
Sebagian dari adat-adat Melayu tersebut juga diatur oleh pihak
kesultanan, di antaranya mengaji Al-Qur’an, tepian mandi, syair dan hikayat,
hiburan dan kesenian, pakaian dalam pergaulan, mengirik padi, mendirikan
rumah dan lain sebagainya. Misalnya dalam mengaji Al-Qur’an, setiap
orang tua yang mempunyai anak wajib mengajari anaknya membaca Qur’an
sampai tamat (khatam). Jika orang tua mempunyai anak batas usia masuk
mengaji, harus membawa anaknya kepada seorang guru mengaji sambil
membawa pulut setalam, beras secupak, minyak lampu sebotol dan
sepotong rotan.19
Begitu juga dengan urusan mandi dan mencuci di sungai yang disebut
tepian mandi. Peraturan yang berlaku adalah bahwa para wanita mandi di
daerah hulu, sedangkan pihak laki-laki mandi di daerah hilir, hal ini diatur
agar kaum wanita khususnya para gadis tidak bertemu dengan pihak laki-
laki ketika hendak mandi. dan lain sebagainya.
Pengamalan ajaran Islam yang begitu kuat pada masyarakat Melayu
lama, ternyata belum bisa menepis kepercayaan-kepercayaan bersifat
animisme dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya kepercayaan yang
menyatakan bahwa segala sesuatu yang ada dalam dunia ini mempunyai
jiwa atau roh. Jiwa orang yang sudah mati yaitu roh, mampu mempengaruhi
kehidupan manusia yang masih hidup. Karena itu harus dipuja supaya
tidak mengganggu. Selain itu kepercayaan terhadap hantu dan jin, serta
pohon-pohon kayu besar, batu-batu besar dan tanaman-tanaman yang
banyak bermanfaat seperti pohon kelapa dan enau memiliki roh.Sehingga
dalam masyarakat Melayu lama banyak di temukan upacara-upacara yang

19
Abdul Kadir Ahmadi, Sekilas Layang Adat Perkawinan Melayu Langkat, Tnjung Pura-
Langkat, 1992, h. 12.

89
sering dilaksanakan dan memiliki pengaruh dengan kepercayaan Hindu
dan Animimisme seperti; upacara tepung tawar pada saat hendak
melaksanakan pernikahan, ibadah haji dan lain sebagainya, jika seseorang
baru terkena musibah atau bencana, maka ia harus memakai pilis, hal ini
dilakukan agar mengembalikan semangatnya dan terhindar dari gangguan-
gangguan hantu dan jin-jin dan seterusnya20
Kepercayaan-kepercayaan ini pada umumnya telah ditemukan pada
masa masyarakat Melayu lama sepanjang pesisir pulau Sumatera baik di
daerah Langkat, Deli, Serdang, Batu Bara, Siak dan seterusnya. Dalam hal
ini masyarakat Melayu pada umumnya masih sering melaksanakan upacara-
upacara tersebut khususnya dalam acara-acara pernikahan, kelahiran anak,
menempati rumah baru, membuka hutan untuk dijadikan perladangan dan
lain sebagainya. Adanya asimilasi antara kepercayaan-kepercayaan pra-
Islam dengan ajaran-ajaran Islam sendiri telah menimbulkan budaya dan
adat-istiadat tersendiri bagi masyarakat Melayu, khususnya bagi komunitas
Melayu pesisir Sumatera.

C. Dimensi Ekonomi
Saat itu kondisi perekonomian kesultanan Langkat meningkat dengan
ditemukannya sumber minyak di wilayah Langkat, namun kondisi
perkebunan menurun, akibat pembaruan buruh kontrak dan pekerja. Hak
atas tanah dibatasi dan masyarakat mendapat konsesi yang sedikit. Royalty
yang didapatkan saat itu dibagi menjadi tiga, yaitu untuk sultan, Belanda,
dan pekerja.
Pemerintahan Kesultanan Langkat termasuk kepada kerajaan yang
makmur, ini terlihat dari bangunan-bangunan yang didirikan pada masa
kerajaan ini seperti istana-istana yang megah, lembaga pendidikan dan
masjid yang berdiri dengan indah dan kokoh. Menurut Laporan John
Anderson selaku wakil pemerintahan Inggris di Penang bahwa pada tahun
1823 kerajaan Langkat merupakan sebuah kerajaan yang kaya. Ekspor
ladanya bermutu sangat baik, mencapai 20.000 pikul (+ 800.000 kg) dalam

T. Lukman Sinar, Sari sejarah.., h. 190


20

90
setahun. Hasil-hasil lainnya dari Langkat seperti rotan, lilin, buah-buahan
hutan, gambir, emas (dari Bahorok), gading, tembakau dan beras. 21
Sumber penghasilan kesultanan Langkat, terutama berasal dari hasil
pertanian, pajak perkebunan asing (Deli Maatschappij yang sekarang
menjadi PTPN), perdagangan dan hasil pertambangan minyak bernama
“De Koniklijke” (Koniklijke Nederlandsche Maatschappij Tot Exploitatie
Petroleumbronnen In Nederlandsche-Indie) atau juga dikenal dengan nama
BPM (Bapapte Petroleum Maatschappij) sehingga Kesultanan Langkat
terkenal sebagai kerajaan yang kaya.22 Kekayaan kerajaan turut dinikmati
oleh rakyatnya, ini dibuktikan bahwa setiap tahun sultan mengeluarkan
zakat atau sedekah dengan mengumpulkan seluruh rakyat di masjid atau
istana pada malam 27 Ramadhan. Kepada mereka diberikan uang sebesar
f 2,50 per-orang. Ketika itu jumlah ini cukup untuk membeli beras sebanyak
50 kati serta memberikan bantuan-bantuan lainnya seperti minyak lampu
yang digunakan untuk penerangan di bulan Ramadhan.

D. Dimensi Politik
Berkaitan dengan masalah politik, Kesultanan Langkat tidak dapat
dipisahkan dengan kerajaan-kerajaan lain di sekitarnya. Ada dua kerajaan
besar yang selalu disebut-sebut dalam sejarah kerajaan Langkat yaitu
kerajaan Aceh dan kerajaan Siak. Selain itu, tidak dapat dikesampingkan
juga mengenai pemerintahan kolonial Belanda yang pada akhirnya berhasil
menguasai kerajaan-kerajaan Melayu yang ada di sepanjang pesisir timur
pulau Sumatera, termasuk kerajaan Langkat pada pertengahan abad ke-
19. Akhirnya menjelang tahun kemerdekaan Republik Indonesia, penjajahan
Jepang juga berhasil menguasai kerajaan Langkat, hingga pada tahun
1946 terjadi revolusi sosial di Sumatera Timur yang menjadi akhir masa
pemerintahan Kesultanan Langkat dan digantikan menjadi wilayah

21
Tim Peneliti Fakultas Sastra USU (J. Fachruddin Daulay, Nazief Chatib, Farida Hanum
Ritonga, A. Samad Zaino, Jeluddin Daud), Sejarah Pemerintahan Kabupaten Daerah
Tingkat II Langkat, Stabat, 1995, , h. 23
22
Ibid., h. 36

91
kabupaten. Peristiwa-peristiwa berikut akan dijelaskan secara ringkas dalam
bagian ini.
Ketika pusat Kesultanan Langkat masih berpindah-pindah, wilayah
teritorial dan kekuasaan hanya terbatas pada wilayah yang kecil dan di
sekitar berdirinya pusat kerajaan tersebut. Beberapa hal yang dapat di
ketahui dari berpindah-pindahnya pusat kerajaan Langkat adalah berkaitan
dengan masalah keamanan dan penyerbuan oleh kerajaan-kerajaan lain,
serta pemilihan tempat yang strategis bagi perkembangan kerajaan. Ketika
itu Langkat bukan merupakan kerajaan yang memiliki angkatan armada
perang yang kuat, sehingga dengan mudah dapat dikuasai dan dikalahkan
oleh kerajaan yang besar seperti Aceh dan Siak. Setelah kalah dan pusat
kerajaan dihancurkan oleh kerajaan lain maka raja Langkat berhasil
melarikan diri dan kembali membangun kerajaan di tempat yang lain.
Pada awal abad ke-19 kerajaan Siak Sri Inderapura berhasil
menaklukkan Langkat di mana ketika itu yang berkuasa adalah Kejeruan
Tuah Hitam maka untuk menjamin kesetiaan Langkat kepada Siak, maka
putra kerajaan Langkat yang bernama Nobatsyah dan Raja Ahmad dibawa
ke Siak untuk dinikahkan dengan putri-putri kerajaan Siak. Salah satu dari
keturunan mereka yang bernama Tengku Musa dinobatkan menjadi raja
Langkat berkedudukan di Tanjung Pura.
Seperti kerajaan-kerajaan lainnya, kerajaan Langkat juga tidak luput
dari perang saudara. Perang saudara yang sering disebutkan adalah antara
Nobatsyah (Raja Bendahara) dengan Raja Ahmad. Setelah mereka
dinikahkan di Siak, tidak berapa lama kemudian mereka dipulangkan dan
menjadi penguasa Langkat secara bersamaan. Dapat diketahui bahwa
sebelum 1865 struktur pemerintahan kerajaan Langkat masih sangat
sederhana. Menurut laporan John Anderson selaku wakil pemerintahan
Inggris di Penang ketika mengunjungi Langkat pada tahun 1823, Siak belum
mengangkat Raja untuk Langkat namun telah memberikan gelar “Raja
Muda” kepada Ahmad dan gelar “Bendahara” kepada Nobatsyah yang
masing-masing memiliki istana yang berdekatan. Mungkin Siak membiarkan
mereka berduel siapa yang menang akan diangkat menjadi raja. Tapi
menurut Anderson bahwa pengikut Ahmad lebih banyak dan lebih

92
berwibawa.
Akhirnya antara Nobatsyah dan Raja Ahmad terjadi peperangan dalam
memperebutkan kekuasaan. Dalam perang saudara yang terjadi, Nobatsyah
tewas sehingga Raja Ahmad tampil sebagai penguasa tunggal, yang
kemudian diakui oleh Siak. Setelah Raja Ahmad berkuasa, maka ia memberi
otonomi luas kepada kejeruan-kejeruan kecil di wilayah kekuasaan
Langkat.23
Dalam pada itu, keturunan-keturunan mereka yang lain menguasai
wilayah-wilayah di sekitar Langkat seperti kejeruan Stabat, Bingai, Selesai
dan lain-lain. dengan demikian, kerajaan Langkat menjadi besar dan luas
wilayahnya lebih disebabkan pada pembagian kekuasaan antara keturunan-
keturunan raja Langkat, masing-masing dari mereka mendapat otoritas
untuk mengelola wilayahnya masing-masing. Setelah Raja Ahmad
meninggal maka kemudian digantikan oleh putranya Tengku Musa yang
ketika itu masih tinggal bersama Ibunya di Siak.
Setelah pemerintahan sultan Musa, sistem pemerintahan di kesultanan
Langkat dilaksanakan berdasarkan sistem otonomisasi wilayah. Kekuasaan
sultan tidak mencampuri urusan-urusan wilayah yang ditaklukkannya, tetapi
memberikan kebebasan kepada setiap kejeruan (kecamatan) untuk
mengatur daerahnya sendiri. Namun untuk beberapa daerah strategis dan
vital untuk sumber kekayaan kesultanan, seperti Bandar-bandar pelabuhan
akan ditempatkan orang-orang perwakilan Sultan.24
Pada masa Kesultanan Langkat, wilayah teritorial terkecil yang berada
dalam satu pemerintahan kejeruan disebut “Kampung”. Sedangkan
“kejeruan” adalah pemerintahan yang membawahi beberapa kampung
yang dikepalai oleh seorang kepala kejeruan dengan gelar “datuk”. Datuk
sebagai penguasa dalam satu kejeruan memerintah di daerahnya atas
nama Sultan. Wilayah yang setingkat dengan kejeruan adalah wilayah
pesisir sebagai pusat Bandar perhubungan air dan juga pusat perdagangan.
Biasanya sebagai penguasa di daerah ini ditempatkan tokoh-tokoh dari

23
Tim Peneliti Fakultas Sastra USU., h. 64-65
24
Pemerintahan Propinsi Tingkat I Sumatera Utara, Sumatera Utara Dalam Lintasan
Sejarah, Medan, 1995, h. 105.

93
pusat kesultanan sebagai wakil Sultan. Mereka yang menduduki jabatan
ini adalah berstatus bangsawan, seperti “tengku”. Tetapi bisa juga dari
golongan rakyat biasa atau orang kepercayaan Sultan yang bergelar Datuk
Syahbandar.25
Pada tahun 1857, Belanda mengikat perjanjian persahabatan dengan
Aceh sebagai dua bangsa yang merdeka. Dalam perjanjian tersebut diakui
bahwa Deli, Langkat, dan Serdang berada di bawah pertuanan Aceh. Tetapi
hanya beberapa bulan kemudian, pada hari Senin 1 Februari 1858 Belanda
mengikat perjanjian dengan Siak (Tractaat Siak). Salah satu isi perjanjian
tersebut disebutkan bahwa kerajaan Siak Sri Inderapura serta daerah
taklukannya mengaku berada di bawah kedaulatan Belanda dan menjadi
bagian dari Hindia-Belanda. Adapun bagian dari kerajaan Siak adalah
meliputi: Negeri Tanah Putih, Bangko, Kubu, Bilah, Panai, Kualuh, Asahan,
Batu Bara, Bedagai, Padang, Serdang, Percut, Perbaungan, Deli, Langkat
dan Tamiang. Dengan politik Devide et Impera Belanda berhasil mengatasi
penetrasi dan melemahkan kekuatan Aceh dan Siak serta menanamkan
kekuasaannya secara nyata pada kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur,
hingga pada tahun 1942 Jepang berhasi menduduki Indonesia (Hindia-
Belanda).
Pada masa pemerintahan Jepang, raja-raja di Sumatera Timur
ditugaskan untuk membantu pelaksanaan kebijaksanaan politik pemerintah
Jepang, di mana raja atau sultan hanya bertugas mengurus persoalan
adat istiadat saja.26 Dengan demikian raja-raja yang diangkat oleh
pemerintah Belanda sebelumnya termasuk para pegawainya masih tetap
menjalankan tugas-tugasnya sesuai dengan garis-garis yang telah
ditetapkan Jepang.

E. Dimensi Intelektual
Berdasarkan data yang didapatkan bahwa sebelum tahun 1900,
Kesultanan Langkat belum memiliki lembaga pendidikan formal. Pendidikan

Ibid., h. 104-105.
25

Tim Peneliti Fakultas Sastra USU., h. 29.


26

94
yang dilaksanakan masih dengan pendidikan non formal, yaitu dengan
belajar kepada guru-guru agama ataupun ahli-ahli dalam bidang tertentu.
Bagi keluarga kerajaan juga diberikan pendidikan yang seperti ini. Para
guru-guru itu diundang ke istana untuk memberikan ceramah dan
pengajaran kepada raja beserta keluarganya. Ketika itu dinamika intelektual
khususnya dalam bidang pendidikan belum menjadi fokus perhatian para
sultan. Nampaknya mereka masih sibuk dengan masalah politik yang terjadi,
yaitu berkaitan dengan perluasan wilayah kekuasaan dan lain sebagainya.
Hal tersebut menjadikan dinamika intelektual di Langkat tidak berkembang
dengan baik dan kurang mendapat perhatian. Baru, setelah sultan Abdul
Aziz menjadi sultan Langkat, lembaga pendidikan formal yang dinamakan
maktab (baca: madrasah) dapat berdiri dan menjadi pusat pendidikan
agama bagi masyarakat Langkat.
Kondisi Kesultanan Langkat saat itu dalam bidang pendidikan lebih
mempelajari ilmu agama, apalagi saat itu agama Islam sudah masuk ke
wilayah Nusantara. Saat itu, sudah menjadi tradisi masyarakat Melayu
Langkat untuk menyerahkan anak-anaknya kepada guru untuk mengaji Al-
Qur’an. Selain itu, anak laki-laki diwajibkan untuk belajar ilmu bela diri.
Dengan berdirinya Madrasah Al-Masrullah tahun 1912, madrasah
Aziziah pada tahun 1914 dan Madrasah Mahmudiyah tahun 1921, maka
Langkat menjadi salah satu dari tempat yang dituju oleh pencari-pencari
ilmu dari berbagai daerah. Disebutkan bahwa selain dari masyarakat
Langkat yang belajar pada kedua maktab tersebut, maka banyak pelajar-
pelajar yang datang dari dalam dan luar pulau Sumatera, seperti Riau,
Jambi, Tapanuli, Kalimantan Barat, Malaysia, Brunei dan lain sebagainya.27
Pada awalnya madrasah (maktab) ini hanya disediakan untuk anak-
anak keturunan raja dan bangsawan saja, namun pada perkembangannya
maktab ini memberikan kesempatan kepada siapa saja untuk dapat belajar
dan menuntut ilmu. Beberapa tokoh nasional yang pernah belajar di maktab

27
A. Kadir Ahmadi, Sejarah Perkembangan Pendidikan Jama’iyah Mahmudiyah, Terbitan
Khusus Pengurus Besar Jama’iyah Mahmudiah Li Thalabil Khairiyah, Tanjung Pura-Langkat,
1985, h. 14-15.

95
ini antara lain adalah Tengku Amir Hamzah dan Adam Malik (mantan wakil
presiden RI).
Dalam biografinya Adam Malik meyebutkan bahwa Madrasah Al-
Masrullah termasuk lembaga yang mempunyai bangunan bagus dan modern
menurut ukuran zaman tersebut. Di mana masing-masing anak dari
keluarga berada (kaya) mendapat kamar-kamar tersendiri. Sistem
pendidikan yang dijalankan pada sekolah ini sama seperti sistem sekolah
umum di Inggris, di mana anak laki-laki usia 12 tahun mulai dipisahkan
dari orang tua mereka untuk tinggal di kamar-kamar tersendiri dalam
suasana yang penuh disiplin. Fasilitas-fasilitas olah raga juga disediakan
di sekolah tersebut seperti lapangan untuk bermain bola dan kolam renang
milik Kesultanan Langkat.28
Ketiga lembaga pendidikan tersebut didirikan oleh sultan Abdul Aziz
yang kemudian diberi nama dengan perguruan Jam’iyah Mahmudiyah. Pada
tahun 1923 perguruan Jam’iyah Mahmudiyah telah memiliki 22 ruang
belajar, 12 ruang asrama, disamping berbagai fasilitas lainnya seperti 2
buah Aula, sebuah rumah panti asuhan untuk yatim piatu, kolam renang,
lapangan bola dan sebagainya. Untuk meningkatkan mutu pendidikan pada
perguruan Jam’iyah Mahmudiyah, maka tenaga pengajarnya sebagian besar
merupakan guru-guru yang pernah belajar ke Timur tengah seperti Mekkah,
Medinah dan Mesir. Mereka semua dikirim atas biaya sultan setelah
sebelumnya diseleksi terlebih dahulu, hingga sekitar tahun 1930 siswa-
siswa yang belajar di perguruan ini sekitar 2000 orang yang berasal dari
berbagai macam daerah.29
Selanjutnya Sultan Abdul Azis kemudian mendirikan lembaga
pendidikan umum bagi masyarakat Langkat yaitu sekolah HIS dan Sekolah
Melayu, yang banyak memberikan materi-materi pelajaran umum.
Mengenai gaji-gaji guru dan biaya perawatan bangunan semuanya
ditanggung oleh pihak Kesultanan Langkat, dalam hal ini dapat dikatakan

28
Adam Malik, Mengabdi Repoblik, (Adam dari Andalas), Cet. Ketiga, Gunung Agung,
Jakarta, 1982, h. 2.
29
A. Kadir Ahmadi, Sejarah Perkembangan., h. 16-17.

96
bahwa segala biaya yang berkaitan dengan fasilitas-fasilitas pendidikan di
Langkat ditanggung sepenuhnya oleh pemerintahan kerajaan.
Memang pada awal tahun 1900-an Pemerintahan Belanda telah
mendirikan sekolah Langkatsche School30 (baca: Sekolah Belanda). Namun
penerimaan siswanya masih sangat terbatas, di masa itu yang diterima
hanya anak-anak bangsawan dan dan anak pegawai Ambtenaar Belanda
serta orang-orang kaya yang berharta, dalam bahasa pengantarnya
lembaga pendidikan ini menggunakan bahasa Belanda. Selain itu didirikan
juga ELS (Europese Logare School) dan untuk anak-anak keturunan Cina
didirikan Holland Chinese School atau HCS.
Bagi masyarakat yang ingin memperdalam ajaran agama melalui buku-
buku Islam, dalam hal ini Tuan guru Babussalam Syekh Abdul Wahab Rokan
telah menerbitkan dan mencetak buku-buku yang bertemakan masalah-
masalah keislaman, antara lain: buku Aqidah Islam, Kitab Sifat Dua Puluh,
Adab Az-Zaujain dan lain-lain, karena di Babussalam pada saat itu telah
ada mesin cetak, yang dibeli guna untuk menerbitkan buku-buku yang
ditulis oleh Syekh Abdul Wahab sendiri. Mesin cetak tersebut sebagian
besar didanai oleh Sultan Musa.
Berkaitan dengan masalah intelektual, Kesultanan Langkat memiliki
seorang Amir Hamzah yang dikenal sebagai seorang penyair, sastrawan
dan pahalawan Nasional. Ia lahir pada tanggal 28 Februari 1911 di Tanjung
Pura, berasal dari keturunan Sultan Langkat, ayahnya yang bernama Tengku
Pangeran Adil adalah cucu dari sultan Musa. Pendidikannya diawali setelah
ia menamatkan sekolahnya di Tanjung Pura, Amir Hamzah dikirim orang
tuanya ke MULO di Medan. Setelah satu tahun di Medan ia dipindahkan ke
MULO Jakarta. Setelah tamat di MULO Jakarta, ia melanjutkan
pendidikannya di A.M.S. Bagian ketimuran di Solo. Pada saat di Jawa ia
banyak terlibat organisasi pergerakan kemerdekaan Indonesia yaitu
Gerakan Indonesia Muda bersama dengan Bung Karno, Bung Hatta, dan
M. Yamin. Amir juga aktif menulis artikel di Majalah Timbul serta editor di
majalah Pujangga Baru, di samping itu ia juga menjadi tenaga pengajar di

T.M. Lah Husni., Buku Biografi., h. 5.


30

97
Taman Siswa dan Perguruan Muhammadiyah. Pada saat di Jawa ia banyak
menerbitkan sajak-sajak yang terhimpun dalam Buah Rindu dan Nyanyian
Sunyi. Menurut Shafwan Hadi Umri (ketua Dewan Kesenian Sumatera
Utara) Amir Hamzah dalam sajak-sajaknya banyak terinspirasi dengan sajak-
sajak Li Tai Po (Tiongkok), Basho (Jepang), Rav-Das (India) dan Umar
Khayyam di Persia.
Melihat pergerakan Amir Hamzah di Jawa, maka Belanda meminta
kepada sultan Mahmud yang saat itu berkuasa untuk menyuruh Amir Hamzah
Pulang ke Langkat, dengan ancaman jika Amir Hamzah tidak menghentikan
kegiatannya maka Kerajaan Langkat akan dihancurkan Belanda. Kesultanan
Langkat yang pada saat itu telah dikendalikan oleh Pemerintahan Belanda
tidak dapat berbuat banyak kecuali meminta Amir Hamzah pulang ke
Langkat untuk menghentikan kegiatannya di Jawa. Amir Hamzah dengan
terpaksa akhirnya menuruti permintaan pamannya Sultan Mahmud. Ketika
tiba di Langkat ia diserahkan tugas sebagai ketua umum pengurus besar
Maktab Jam’iyah Mahmudiyah. Di Langkat Amir Hamzah sempat menuliskan
sajak-sajak seperti Insaf dan Sebab Dikau. Namun sajak-sajaknya lebih
banyak bertemakan kebencian dan keputusasaan. Hingga pada tahun 1946
Amir Hamzah diculik dan dibunuh oleh pihak yang mengaku sebagai pejuang
RI karena dituduh sebagai kaki tangan penjajah Belanda.

98
BAGIAN KELIMA

FALSAFAH HIDUP MASYARAKAT


MELAYU PADA MASA
KESULTANAN LANGKAT

A. Falsafah Adat Orang Melayu


Falsafah sebagai sebuah nilai bagi seseorang atau kelompok
masyarakat berfungsi menjadi alat atau cara untuk sebuah tindakan, oleh
karenanya maka falsafah orang Melayu yang merupakan bangsa Austronesia
di semenanjung Tanah Melayu1 memiliki nilai-nilai dasar universal. Orang-
orang Austronesia tersebut terdapat di Malaysia, Thailand, Filipina dan
Madagaskar yang lazimnya berbahasa Melayu, mayoritas beragama Islam
dan berkebudayaan Melayu.2 Umumnya mata pencaharian orang Melayu
yakni menangkap ikan, tetapi ada juga yang bermata pencaharian lain,
seperti berburu, berladang, berternak dan bermacam-macam kerajinan
tangan3, sebagaimana yang terjadi dalam sejarah Kesultanan Langkat.

1
Usman Abdullah, Kata Sambutan Walikota Langsa dalam Acara Festival Rentak
Budaya Melayu di kota Langsa, 29 September 2018.
2
Ibid.
3
Bungaran Antonius Simanjuntak, Melayu Pesisir dan Batak Pengunungan: Orientasi
Nilai Budaya (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2010), h. 12

99
Istilah Melayu merupakan istilah yang dekat dengan alam oleh
karenanya selain orang Melayu beragama Islam, alam mempunyai
kedudukan dan pengaruh penting dalam adat Melayu, ternyata dari fatwa
adat sendiri yang menyatakan bahwa alam hendaklah dijadikan guru. Yang
dimaksud dengan adat sebenar adat adalah yang tidak lapuk karena hujan
dan tak lekang karena panas biasanya ketentuan-ketentuan alam atau
hukum alam, atau kebenarannya yang datang dari Tuhan Yang Mahakuasa.
Oleh karena itu adat Melayu falsafahnya berdasarkan kepada ketentuan-
ketentuan dalam alam, maka adat Melayu itu akan tetap ada selama alam
ini ada.4
Secara umum falsafah adat orang Melayu yang sebahagian besar
memiliki kesamaan nilai-nilai dasar yang universal bagi adat orang Melayu
Langkat. Artinya melayu Langkat merupakan salah satu dari bahagian suku
Melayu yang ada di Provinsi Sumatera Utara dan memiliki konsep falsafah
hidup yang sama dengan suku melayu lainnya.
Adapun nilai-nilai dasar yang universal itu antara lainnya hakekat hidup,
hakekat kerja, hakekat kehidupan manusia dalam ruang waktu, hakekat
hubungan manusia dengan alam, dan hakekat hubungan manusia dengan
manusia.5
Pertama; Hidup dalam Falsafah Melayu. Tujuan hidup bagi orang
Melayu adalah untuk berbuat jasa. Kata pusaka orang Melayu mengatakan
bahwa “hidup berjasa, mati berpusaka”. Jadi orang Melayu memberikan
arti dan harga yang tinggi terhadap hidup. Untuk analogi terhadap alam,
maka pribahasa yang dikemukakan adalah: “Gajah mati meninggakan
gading, Harimau mati meninggalkan belang, Manusia mati meninggakan
nama”.
Pengertian yang dapat ditarik pada falsafah tersebut, bahwa orang
Melayu itu hidupnya jangan seperti hidup hewan yang tidak memikirkan
generasi selanjutnya, dengan segala yang akan ditinggalkan setelah mati.

4
http://ijhadwalataksaloke.blogspot.com/2015/06/falsafah-hidup-masyarakat-
melayu.html. diakses pada tanggal 13 Juni 2018.
5
Ibid

100
Karena itu orang Melayu bekerja keras untuk dapat meninggalkan,
mempusakakan sesuatu bagi anak cucunya dan masyarakatnya.
Mempusakakan bukan maksudnya hanya dibidang materi saja, tetapi juga
nilai-nilai adatnya. Oleh karena itu semasa hidup bukan hanya kuat mencari
materi tetapi juga kuat menunjuk mengajari anak cucunya sesuai dengan
norma-norma adat yang berlaku.
Ungkapan adat juga mengatakan; “Pulai bertingkat naik meninggalkan
ruas dan buku, manusia bertingkat turun meninggakan nam dan pusaka”.
Dengan adanya kekayaan segala sesuatu dapat dilaksanakan, sehingga
tidak mendatangkan rasa malu bagi dirinya ataupun keluarganya.6
Kedua, Kerja dalam Falsafah Melayu. Sejalan dengan makna hidup
bagi orang Melayu, yaitu berjasa kepada kerabat dan masyarakatnya, kerja
merupakan kegiatan yang sangat dihargai. Kerja merupakan keharusan.
Kerjalah yang dapat membuat orang sanggup meninggalkan pusaka bagi
anak kemenakannya. Dengan hasil kerja dapat dihindarkan “hilang warna
karena penyakit, hilang bangsa karena tidak beremas’. Artinya harga diri
seseorang akan hilang karena miskin, oleh sebab itu bekerja keras salah
satu cara untuk menghindarkannya. Dengan adanya kekayaan segala
sesuatu dapat dilaksanakan sehingga tidak mendatangkan rasa malu bagi
dirinya atau keluarganya.7
Orang Melayu disuruh untuk bekerja keras, sebagaimana yang
diungkapkan juga oleh fatwa adat, “ Kayu hutan bukan andalas, Elok dibuat
untuk lemari, Tahan hujan berani berpanas, Begitu orang mencari rezeki”.
Pesan yang dapat diambil dari falsafah ini adalah etos kerja. Artinya, anak-
anak muda yang punya tanggungjawab di kampung disuruh merantau.
Mereka pergi merantau untuk mencari apa-apa yang mungkin dapat
disumbangkan kepada kerabat dikampung, baik materi maupun ilmu. Misi
budaya ini telah menyebabkan orang Melayu terkenal dirantau sebagai

6
Ibid. Banyaknya seremonial adat seperti perkawinan dan lain-lain membutuhkan
biaya. Dari itu usaha yang sungguh-sungguh dan kerja keras sangat diutamakan Orang
Melayu. Selanjutnya bahwa nilai hidup yang baik dan tinggi telah menjadi pendorong bagi
orang Melayu untuk selalu berusaha, berprestasi, dinamis, kreatif dan inovatif
7
Ibid. Banyaknya seremonial adat itu seperti perkawinan membutuhkan biaya. Dari
itu usaha yang sungguh-sungguh dan kerja keras sangat diutamakan.

101
makhluk ekonomi ulet.8
Ketiga, “Waktu dalam Falsafah Melayu”. Bagi orang Melayu waktu
berharga merupakan pandangan hidup orang Melayu. Orang Melayu harus
memikirkan masa depannya dan apa yang akan ditinggalkannya serta bekal
apa yang dibawa sesudah mati. Mereka dinasehatkan untuk selalu
menggunakan waktu untuk sesuatu yang bermakna. Dimensi waktu, masa
lalu, masa sekarang, dan yang akan datang merupakan ruang waktu yang
harus menjadi perhatian bagi orang Melayu. “Melihat contoh ke yang sudah”.
“Bila masa lalu tak menggembirakan dia akan berusaha memperbaikinya.
Duduk meraut ranjau, tegak meninjau jarah merupakan manifestasi untuk
mengisi waktu dengan sebaik-baiknya pada masa sekarang. Membangkit
batang terandam merupakan refleksi dari masa lalu sebagai pedoman
untuk berbuat pada masa sekarang. Sedangkan mengingat masa depan
adat berfatwa;”hemat sebelum habis,sediakan payung sebelum hujan”.
Keempat.” Alam dalam Falsafah Melayu”. Pepatah adat menyebutkan:
“Menyimak alam, mengkaji diri” Nilai ini mengajarkan agar dalam
merancang dan melaksanakan pembangunan, haruslah diawali dengan
penelitian yang cermat terhadap alam dan semua potensi yang ada (sumber
daya alam), serta mengkaji pula kemampuan diri (sumber daya manusia).
Melalui kajian inilah dibuat rancangan yang diharapkan dapat memenuhi
harapan semua pihak. Orangtua-tua mengakatan: “menyimak alam luar
dan dalam, mengkaji diri untuk mengukur kemampuan sendiri”; atau
dikatakan: “mengkaji alam dengan mendalam, diri diukur dengan jujur”. 9
Nilai tersebut memberi peluang terjalinnya hubungan kerjasama
dengan berbagai pihak yang dianggap ahli dan berkemampuan, termasuk
pemodal luar sepanjang tidak merugikan masyarakat dan menjatuhkan
harkat, martabat, tuah dan marwahnya. Orangtua-tua mengatakan: bila

8
Ibid. Etos kerja keras yang sudah merupakan nilai dasar bagi orang Melayu
ditingkatkan lagi oleh pandangan ajaran Islam yang disabdakan Nabi saw: “‘i’mallidunyaka
kaanaka tamuusu abada, wa’mal li akhiratika tamuutu ghada” Jadi masyarakat dituntut
bekerja keras seakan-akan dia hidup untuk selama-lamanya, dia harus beramal terus
seakan-akan dia akan mati besok.
9
Ibid.

102
tidak mampu, cari yang mampu; bila tidak pandai, cari yang pandai; bila
tidak tahu, cari yang tahu; atau dikatakan: untuk membangun yang
berfaedah, jangan malu merendah (maksudnya, untuk mewujudkan
pembangunan, jangan malu-malu menggunakan tenaga luar yang dianggap
patut dan layak). Dengan demikian, pembangunan dapat berjalan tanpa
memaksakan diri bila benar-benar tidak memiliki daya dan kemampuan.
Perhatian orang Melayu terhadap alam sekitarnya sangat tinggi. Orang
Melayu selalu menjaga keseimbangan dan harmonisasi alam tersebut,
sehingga alam merupakan bagian dari tata kehidupan mereka. Seperti
dalam ungkapan berikut:

“kalau terpelihara alam lingkungan,


banyak manfaat dapat dirasakan:
ada kayu untuk beramu
ada tumbuhan untuk ramuan
ada hewan untuk buruan
ada getah membawa faedah
ada buah membawa berkah
ada rotan penambah penghasilan”.

Selanjutnya membangun jangan merusak, membina jangan menyalah.


Nilai ini mengajarkan, agar dalam merancang dan melaksanakan
pembangunan jangan sampai menyalahi ketentuan agama dan nilai-nilai
budaya dan norma-norma sosial masyarakatnya. Agama dan budaya
hendaklah dijadikan ruh, teraju, pucuk jala pumpunan ikan dalam
merancang pembangunan. Karenanya, para perancang dan pelaksana
pembangunan haruslah memahami seluk beluk agama dan budaya serta
norma-norma sosial masyarakatnya, agar pembangunan itu benar-benar
bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat. Orangtua mengingatkan:

“bila membangun tidak senonoh, hasil tak ada masyarakat bergaduh”;


atau dikatakan:

103
“apabila membina tidak semenggah, lambat laun menjadi musibah”.10
Ungkapan adat menegaskan:

“adat membangun negeri, jangan lupakan diri;


adat membangun desa, jangan lupakan agama;
adat membangun masyarakat, jangan tinggalkan adat”

Ungkapan lain mengatakan: dalam melaksanakan pembangunan,


agama dimuliakan, budaya diutamakan, adat dikekalkan. Selanjutnya
dikatakan:

“apabila agama tidak dipakai,


alamat masyarakat akan meragai (sengsara dunia akhirat);
apabila budaya tidak dipandang,
alamat negeri ditimpa malang;
apabila adat tidak diingat, lambat laun sengsaralah umat.”11

Ungkapan adat juga mengatakan:

“apabila pembangunan hendakkan berkah,


agama jangan dipermudah;
apabila membina hendak bermanfaat, jangan sekali meninggalkan adat.

Ungkapan yang lain menjelaskan:

“apabila alam sudah binasa,


balak turun celaka tiba
hidup melarat terlunta-lunta
pergi ke laut malang menimpa
pergi ke darat miskin dan papa

Ibid
10

Ibid
11

104
apabila alam menjadi rusak,
turun temurun hidup kan kemak
pergi ke laut di telan ombak
pergi ke darat kepala tersundak
hidup susah dada pun sesak
periuk terjerang nasi tak masak

siapa suka merusak alam,


akalnya busuk hatinya lebam
siapa suka membinasakan alam,
akal menyalah hati pun hitam

siapa suka merusak lingkungan,


tanda hatinya sudah menyetan”

B. Falsafah Hidup Melayu Langkat


Perkembangan kerajaan Aru sebagai muasal dari terbentuknya
kerajaan Kesultanan Langkat merupakan Kerajaan Melayu yang sangat
maju di masanya. Kerajaan kesultanan Langkat terkenal sebagai Kerajaan
Islam Melayu, sebagaimana yang dijelaskan oleh Bungaran bahwa penduduk
Melayu Langkat yang berada di kawasan Sumatera Timur merupakan
percampuran dari berbagai suku bangsa.12 Ketika pada abad ke-13 Kerajaan
Aru masih berdiri, terjadi proses pengislaman ke daerah-daerah pedalaman,
yaitu Karo, Simalungun, Padang Lawas. Sehingga sering disebut memeluk
agama Islam sama dengan masuk Melayu.13
Seiring penjelasan tersebut, maka sudah dipastikan seluruh lini
kehidupan kerajaan Kesultanan Langkat secara mendasar dan universal
yang terbentuk dalam konsep falsafah hidup Melayu berasal dari nilai-nilai
ajaran Islam. Falsafah hidup14 melayu Langkat yang terpelihara dalam

12
Bungaran Antonius Simanjuntak, Melayu Pesisir., h. 12
Ibid
13

14
Falsafah berarti anggapan, gagasan, dan sikap batin yang paling dasar yang dimiliki
oleh orang atau masyarakat; pandangan hidup. Lihat https://www.apaarti.com/
falsafah.html. diakses pada tanggal 18 September 2018.

105
budaya-melayu dapat dijadikan bukti dasar utama kemajuan Kesultanan
Langkat. Oleh karenanya budaya melayu dalam kerajaan Kesultanan Langkat
bersumberkan dari nilai-nilai ajaran Islam sebagai identitas yang sangat
melekat. Bukti sejarah dapat dilihat dari dokumen kepemimpinan Sultan
Musa tentang budaya-melayu yang tetap menjaga harmonisasi keragaman,
artinya walaupun masyarakat Langkat majemuk akibat kunjungan berbagai
suku dan agama namun tetap menjaga suasana dalam kerukunan.
Kerukunan tersebut berasal dari resam,15 menurut Bungaran bahwa setiap
pendukung kebudayaan Melayu, walaupun berada di manapun, pasti
mempunyai resam (perasaan) yang sama.16 Resam ini tercermin di dalam
setiap gerak kehidupan orang Melayu.17
Masa Kerajaan Langkat dari kepemimpinan Raja Syahdan hingga Raja
Abdul Aziz kehidupan masyarakat dan pimpinan kerajaan senantiasa
menjadikan budaya Melayu bersumberkan dari nilai-nilai ajaran Islam.
Berkaitan dengan itu maka dapat dikatakan falsafah budaya-Melayu adalah
berbahasa Melayu, beradat istiadat Melayu, dan beragama Islam.
Pertumbuhan kerajaan Kesultanan Langkat tidak terlepas dari falsafah
Melayu bersendikan hukum agama Islam atau sebuah ketentuan dan hukum
harus bersandarkan Al-Qur’an. Agama Islam sebagai falsafah hidup budaya
Melayu telah menjadikan Kesultanan Langkat maju dan mewarnai
perkembangan zaman ketika itu.
Menurut Haz bahwa dengan falsafah hidup Melayu kerajaan Langkat
dikenal sebagai orang Melayu yang sangat cerdik, pintar dan manusia
yang memiliki tata aturan diri bersopan-santun jika dibandingkan dengan
warga negera lainnya.18 Umumnya falsafah hidup Melayu yang direpleksikan
oleh masyarakat Melayu Langkat dimasa Kesultanan Langkat berasal dari
proses pendidikan dalam keluarga atau proses pendidikan dalam lembaga
pendidikan keagamaan semisal Jam’iyah Mahmudiyah. Selanjutnya Haz

Resam itu artinya perasaan.


15

Bungaran Antonius Simanjuntak, Melayu Pesisir., h. 12


16

Ibid.
17

Wawancara dengan Bapak Haz, tanggal 14 Juni 2018.


18

106
menegaskan bahwa untuk menjaga falsafah hidup Melayu 19 di lembaga
pendidikan Mahmudiyah mereka senantiasa mempelajari bahasa Melayu
dan berusaha memperluas pengetahuan mereka dan juga memperdalami
bahasa Arab.20
Falsafah hidup Melayu yang lahir dari nilai-nilai dasar universal ajaran
Islam hingga menjadi konsepsi dalam kesatuan sosial masyarakat Melayu
Langkat merupakan cara, alat dan tujuan Kesultanan Langkat dan
masyarakatnya secara bersama memelihara dan mengutuhkan orientasi
budaya Melayu. Oleh karenanya disadari bahwa falsafah hidup Melayu
sejalan dengan fungsinya sebagai gagasan yang bersifat solutif terhadap
respon dari kebutuhan dan tuntutan zaman Kesultanan Langkat hingga
masyarakat Langkat kini.
Pertumbuhan kerajaan Langkat dengan falsafah hidup Melayu
bercirikan Islam merupakan jati diri yang tak dapat dipisahkan. Sehingga
semangat menyebarkan Islam oleh Kerajaan Kesultanan Langkat dirasakan
oleh kolega dagang-dagang lainnya.21 Menurut Zainal hubungan dagang
Kesultanan Langkat hingga menjadi kerajaan yang terkaya Melayu
dimasanya dikarenakan mereka sangat enerjik dan penuh keinginan untuk
maju.22 Kebiasaan nenek moyang dari kesultanan Langkat dalam hal;
berdagang dan berani mengarungi lautan, jarang terlibat dalam soal
kriminal, sangat suka kepada tegaknya hukum melekatnya diri dari aspek
kesenian membawa mereka sebagai suku atau kelompok masyarakat yang

19
Falsafah sangat demikian penting sebagai perkembangan hidup budaya Melayu,
dan mengenal Melayu berdasarkan falsafah hidupnya merupakan hal-hal yang tidak
dapat dipisahkan.
20
Wawancara dengan Bapak Haz, tanggal 14 Juni 2018.
21
Perdagangan pada masa dahulu telah mengalami kemajuan dengan adanya
pelabuhan-pelabuhan di pantai timur Sumatera. Pada tahun 1814-1815 seluruh Sumatera
Timur mengekspor 2.846 pikul lada ke Penang, dan pada tahun 1822 mengekspor lada
hingga mencapai 30.000 pikul. lihat Bungaran Antonius Simanjuntak, Melayu Pesisir., h.
12
22
Wawancara Zainal, tanggal 18 Juli 2018. Sebagai tambahan bahwa sewaktu masa
kolonial dulu, ada beberapa komoditi yang menghasilkan banyak pemasukan bagi Sultan
Langkat yaitu antara lain: Karet, Kelapa sawit, kopi dan minyak. Pada periode tahun
1920-1930-an permintaan untuk komoditi industri karet dan minyak meningkat, hal ini
mengakibatkan naiknya harga karet dan minyak saat itu. Dengan otomatis maka Sultan

107
disegani oleh yang lainnya.
Secara umum Melayu Langkat dan Melayu lainnya memiliki persamaan
dalam hal falsafah hidup dan mereka memiliki kebudayaan pantai yang
bercorak perkotaan dan kegiatannya dalam bidang perdagangan dan
kelautan. Menurut Bungaran yang membedakan Melayu yang satu dengan
yang lainnya hanya bidang bahasa, yakni dalam cara pengucapannya
(dialek).23 Perbedaan dialek timbul karena adanya percampuran dengan
bahasa-bahasa dari suku bangsa lain.24 Tetapi makna pengucapan demikian
tidak membedakan arti dan prisinpil falsafah-falsafah Melayu yang
berkembang di tengah-tengah masyarakatnya.
Sejarah masyarakat melayu Langkat merupakan tempat masyarakat
majemuk dari berbagai suku dan agama sehingga adaptasi dan asimilasi-
sosial25 yang terjadi membawa ke arah perubahan masyarakat dari
masyarakat tradisional berpindah ke masyarakat modern yang rasional, di
kabupaten Langkat. Walaupun demikian halnya dalam kehidupan sehari-
hari masyarakat Langkat masih menjaga dan memelihara terciptanya
kerukunan sebagaimana warisan budaya melayu yang sudah berlangsung
sejak dahulu. Artinya masyarakat Melayu Langkat tetap menjaga falsafah
hidup Melayu dan tetap memposisikan diri mereka sebagai orang Melayu
yang identik dengan budaya Islam.
Budaya Melayu yang terdapat di Kabupaten Langkat dalam sejarahnya
sangat memberikan inspirasi kepada generasi kini. Gambaran tersebut

Langkat yang memegang konsesi tanah menjadi sangat kaya dari usaha kerjasama
(kontrak) dengan perkebunan milik orang Eropa. Kilang minyak di pangkalan Brandan
menjadi salah satu penyumbang terbesar untuk pemasukan bagi Sultan Langkat. Lihat
http://srilangkatku.blogspot.com/2014/02/sejarah-singkat-langkat.html. diakses pada
tanggal 15 Juni 2018. Dikutip dari tulisan Tengku Luckman Sinar, Sejarawan Melayu
Langkat.
23
Bungaran Antonius Simanjuntak, Melayu Pesisir., h. 11
24
Ibid
25
Asimilasi dapat terjadi apabila memenuhi sejumlah persyaratan. Pertama, adanya
kelompok manusia berbeda kebudayaan. Kedua, secara individu perindividu sebagai
anggota kelompok tadi saling bergaul dan intensif dalam waktu yang lama. Ketiga,
kebudayaan kelompok manusia tersebut masing-masing berubah dan saling menyesuaikan
diri. Lihat Abdullah Idi, Dinamika Sosiologis Indonesia: Agama dan Pendidikan dalam
Perubahan Sosial (Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara, 2015), h. 55

108
dapat diperhatikan banyaknya sejumlah falsafah-falsafah hidup Melayu
dijadikan dasar utama mendukung kehidupan bersosial dan bernegara.
Menurut Mutholib selaku Budayawan Langkat menuturkan bahwa Melayu
itu bukan rupa, bukan kulit, bukan bahasa dan bukan orang, akan tetapi
Melayu itu Alam, Melayu itu Dunia, Melayu itu Pemikiran Ketuhanan, Melayu
itu budaya yang memerintah.26
Munculnya Kerajaan Melayu Langkat dengan corak falsafah hidup
budaya Melayu dengan corak keIslaman, paling tidak membawa pengaruh
yang signifikan terhadap perkembangan dan kebudayaan Islam khususnya
di daerah Langkat. Suku bangsa Melayu langkat mempunyai falsafah di
dalam hidupnya, antara lainnya menurut Bungaran bahwa Melayu itu Islam,
maka sifatnya universal dan demokratis bermusyawarah. Melayu itu
berbudaya, maka sifatnya nasionalis. Melayu itu beradat maka sifatnya
regional dalam Bhineka Tunggal Ika. Melayu itu berturai maka sifatnya
mengutamakan ketenteraman dan kerukunan. Melayu itu berilmu, maka
sifatnya berkepribadian menuju keilmuan.27
Seiring penjelasan di atas maka falsafah hidup Melayu sebagai bagian
pendukung pembangunan kejayaan Kesultanan Langkat tetap harus digali
dan dipelihara keberadaannya dalam budaya Melayu Langkat terkini.

C. Ciri-ciri Budaya Melayu dalam Falsafah Hidup Melayu pada Masa


Kesultanan Langkat
Hasil penuturan Zainal dan Haz, terkait dengan falsafah hidup melayu
Langkat di masa Kesultanan Langkat yang terpelihara dalam budaya Melayu
dapat diperhatikan pada ciri-ciri budaya melayu itu sendiri, di antaranya:
1. Peluang kesultanan Langkat mengatur sistem pemerintahannya dalam
aspek keagamaan dan sosial-budaya berdampak kepada kebebasan
Raja mengeluarkan kebijakan sesuai semangat nilai-budaya melayu
Langkat. Gambaran tersebut dapat dilihat pada ciri-ciri budaya Melayu
dalam falsafah hidup melayu bahwa seseorang disebut Melayu apabila

Wawancara Bapak Mutholib di Medan, Tanggal 20 Juni 2018.


26

Bungaran Antonius Simanjuntak, Melayu Pesisir., h. 13


27

109
ia beragama Islam, berbahasa melayu dalam sehari-harinya, dan
beradat istiadat Melayu. Sebagaimana falsafah tersebut berbunyi “adat
Melayu itu bersendikan hukum syarak, syarak bersendikan kitabullah”.
Oleh karenanya masa Kesultanan Langkat hingga kini memahami orang
melayu adalah etnis secara kultural bukan genealogis.28
2. Dibangunnya lembaga tarikat Babussalam oleh Raja Musa memperlihat
bahwa falsafah hidup orang melayu itu harus berpijak pada yang Esa.
Artinya setiap manusia Melayu dalam menjalankan kehidupan sehari-
hari setelah berusaha ia tetap menerima takdir, pasrah dan selalu
bertawakkal kepada Allah Swt.
3. Masyarakat melayu dimasa Kesultanan Langkat banyak melakukan
interaksi sosial dengan kalangan orang di luar Langkat. Kondisi ini
menunjukkan bahwa pengalaman menuju perubahan yang lebih baik
menjadi hal terpenting bagi masyarakat Langkat ketika itu, maka
falsafah hidup yang selalu mementingkan penegakan hukum menjadi
ciri khas melayu langkat.
4. Diseganinya kerajaan Melayu Langkat sebagai kerajaan Islam di
Sumatera Timur oleh kalangan kolega dagang, disebabkan bahwa
kesultanan Langkat memegang falsafah hidup yang mengharuskan
setiap manusia melayu mengutamakan budi dan bahasa, hal ini
menunjukkan sopan-santun dan tinggi peradaban orang Melayu.
5. Alasan dibangunnya lembaga pendidikan Mahmudiyah di masa
Kesultanan Langkat menunjukkan bahwa falsafah hidup orang melayu
harus mengutamakan pendidikan dan ilmu.
6. Falsafah hidup melayu sangat berkaitan erat dengan budaya-melayu,
oleh karenanya ciri-ciri tersebut dapat diperhatikan pada setiap orang
melayu jika bercakap tidak kasar, berbaju menutup aurat, menjauhkan
pantangan larangan dan dosa dan biar mati dari pada menanggung
malu dirinya atau keluarganya, karena bisa menjatuhkan marwah
keturunannya sebaliknya tidak dengan kasar mempermalukan orang
lain.

Genealogis adalah persamaan keturunan darah.


28

110
7. Falsafah hidup masyarakat melayu di masa Kesultanan Langkat adalah
kegiatan musyawarah dan mufakat sebagai sendi kehidupan sosial
kemasyarakatan melayu Langkat. Gambaran tersebut dapat
diperhatikan pada acara perkawinan, kematian, selamatan mendirikan
rumah dan lain-lain. Falsafah musyawarah dan mufakat ini merupakan
ciri khas yang harus dipelihara terlebih terhadap kalangan kerabat
atau handai taulan.
8. Kemajemukan masyarakat Langkat dengan sejumlah keragaman suku
dan etnis yang senantiasa berdampingan dengan rukun sangat
dipengaruhi oleh falsafah hidup melayu yang ramah dan terbuka kepada
tamu, keramahtamahan dan keterbukaan orang Melayu terhadap segala
pendatang (tamu) terutama yang beragama Islam.29

D. Falsafah-Falsafah dalam Kesultanan Langkat


Hidupnya falsafah-falsafah masyarakat Melayu dalam sejarah
Kesultanan Langkat mengandung arti berlakunya kepercayaan masyarakat
Melayu Langkat pada sisi kehidupan yang paling dasar dan universal. Sebab,
dengan adanya falsafah-falsafah tersebut masyarakat dapat mencari solusi,
memberikan argumentasi dan alasan yang tepat dalam menjalankan
kehidupan bagi masyarakat Melayu, baik dalam beragama, berbudaya,
bersosial, maupun berpengetahun.
Adalah sasuatu yang penting untuk memahami dan mengenal falsafah
hidup masyarakat Melayu Langkat dalam sejarah Kesultanan Langkat karena
falsafah hidup masyarakat Melayu merupakan pandangan hidup mereka
terhadap dunianya. Pandangan hidup ini menjadi azas dalam keputusan
yang mereka perbuat setiap harinya, dan juga untuk mencari tahu tujuan

29
Hasil wawancara dengan Bapak Zainal, tanggal 12 Juni 2018, dan Bapak Haz pada
tanggal 14 Juni 2018. Beliau menambahkan bahwa Melayu dalam arti kata yang sebenarnya
yaitu kepribadian dari batinnya yang patut kita warisi bukan hanya bersandar akan
tubuh fisikalnya saja yang menjadi takrif akan arti Melayu itu. Inilah fitrah kita orang
Melayu mewarisi akan nilainya sebagai Melayu dari mereka keturunan kita yang hebat
ketika dahulu.

111
dalam kehidupan masyarakat Melayu Langkat dalam kesehariannya.30
Sejarah merupakan guru yang membimbing dan mengarahkan masa
depan, maka petuah-petuah yang ada dalam budaya Kesultanan Langkat
dapat menjadi inspirasi masyarakat Langkat terkini. Keinginan mengetahui
hal-hal tentang pengalaman bathin maka kesultanan Langkat menyediakan
lembaga Babussalam sebagai sarananya. Lalu masyarakatnya
diperintahkan atau dianjurkan mengerjakan sesuatu, maka kesultanan
menyediakan aturan dari agama Islam sebagai solusinya. Selanjutnya
bagaimana pengharapan masyarakat Melayu Langkat untuk masa yang
akan datang, kesultanan Langkat menyediakan lembaga pendidikan
Jamaiyah Mahmudiyah dan Masjid Azizi sebagai tempat mengadu.
Demikianlah simbol-simbol filosofi sosial keagamaan sejarah masyarakat
Melayu Langkat di masa Kesultanan Langkat.
Seiring penjelasan di atas, maka sejarah Kesultanan Langkat dalam
menjalankan pemerintahannya sangat terikat dengan falsafah hidup
masyarakat Melayu Langkat. Oleh karena itu, ketika Hindia-Belanda
memberikan kebebasan bagi Kesultanan Langkat menjalankan adat dan
istiadat kehidupan berbudaya masyarakatnya merupakan pengakuan
identitas yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Kesultanan Langkat yang
dikenal dengan adat-istiadat Melayu, bahasa Melayu, dan agama Islam
merupakan simbol sejarah yang hingga kini patut untuk dilestarikan.
Menurut Zainal bahwa ketiga hal tersebut (adat-sitiadat, bahasa Melayu,
agama Islam) merupakan kepribadian orang Melayu Langkat.31 Artinya
adat-istiadat Melayu Langkat bersendikan syarak dan syarak bersendikan
kitabullah menjadi dasar bagi setiap individu Melayu Langkat dalam
kehidupan hariannya.
Penjelasan di atas menyiratkan norma sopan-santun dan tata pergaulan
orang Melayu, terlebih ketika acara-acara berlangsung di dalam Kerajaan
Kesultanan Langkat mengenai ungkapan, pepatah, perumpamaan, pantun,
syair. Seiring penjelasan tersebut, sudah menjadi inspirasi bagi masyarakat
Langkat bahwa Adat Bersandikan Syarak dan Syarak Bersandikan Kitabullah

Wawancara dengan Bapak Zainal, tanggal 18 Juli 2018.


30

Wawancara Zainal, tanggal 12 Juli 2018 di Pangkalan Brandan.


31

112
telah menjadi dasar masyarakat Melayu Langkat menjalani kehidupan sosial
mereka baik antara sesama masyarakat Melayu Langkat maupun
masyarakat lainnya terlebih terhadap orang asing semisal bangsa Hindia-
Belanda, Cina, Delhi ketika dalam sejarah Kesultanan Langkat.
Falsafah Adat Bersandikian Syarak, dan Syarak Bersandikan Kitabullah
merupakan alasan yang sangat mendasar bahwa wilayah Langkat dijuluki
sebagai Kota Islam. Ketika Falsafah tersebut terbentuk di tengah-tengah
mayoritas penduduknya yang menganut agama Islam, dan sangat kental
akan budaya Islamnya32 maka kehadiran Islam sebagai agama pada
kenyataannya tidak hanya bersifat kerohanian saja melainkan juga
membawa konsepsi konsepsi kemasyarakatan, kebudayaan, kesenian, dan
bahkan politik-kenegaraan. Oleh karenyanya dalam sejarah Kesultanan
Langkat dikenal dengan istilah penyebutan “Islam itu adalah Melayu dan
Melayu itu adalah Islam”. Gambaran bukti sejarah tersebut merupakan
keberhasilan kesultanan Langkat menciptakan dasar-dasar agama Islam
sebagai budaya hidup sehari-hari masyarakat Melayu.
Falsafah masyarakat Melayu di masa Kesultanan Langkat dapat ditarik
sebuah pengantar kalimat yang sangat begitu memukau dituliskan oleh
T.H.M Lah Husny,33 antara lainnya:
1. Melayu itu Islam, yang sifatnya universal dan demokratis
bermusyawarah.
2. Melayu itu berbudaya, yang sifatnya nasional dalam bahasa, sastra,
tari, pakaian, tersusun dalam tingkah laku.
3. Melayu itu beradat, yang sifatnya regional (kedaerahan)dalam bhineka
tunggal ika, dengan tepung tawar, balai pulut kuning dan lain-lain yang
mengikat tua dan muda.
4. Melayu itu berturai, yaitu tersusun dalam masyarakat yang rukun tertib34
mengutamakan ketenteraman dan kerukunan, hidup berdampingan

32
M. Kasim Abdurrahman, Studi Sejarah Masjid Azizi Tanjung Pura-Langkat-Sumatera
Utara (Jakarta Selatan: Najm, 2011), h. 107.
33
Buku Butir Butir Adat Melayu Pesisir Sumatera Timur yang disusun oleh T.H.M. Lah
Husny.
34
Rukun tertib yang dimaksudkan puak melayu adalah keadilan dan kebenaran yang
harus dapat dirasa dan dilihat.

113
dengan harga menghargai timbal balik, bebas tapi terikat dalam
masyarakat.
5. Melayu itu berilmu, artinya pribadi yang diarahkan kepada ilmu
pengetahuan dan ilmu kebathinan (agama dan mistik), agar bermarwah
dan disegani orang, untuk kebaikan umum.35
Kebijakan-kebijakan pemerintahan Kesultanan Langkat dengan
mengambil falsafah kehidupan sosial budaya keberagamaannya dikarenakan
beberapa hal antara lainnya:
1. Islam tidak bertentangan dengan masyarakat yang berperikemanusiaan
dan yang ber-Tuhan di kalangan masyarakat Melayu Langkat
2. Budaya tidak bertentangan dengan masyarakat Melayu yang ingin
beradab dan mengingkat lahiriah dan batiniah.
3. Adat tak bertentangan dengan peradaban masyarakat Melayu Langkat
yang ada rasa kekeluargaan, bukan individualistis.
4. Berturai tak bertentangan dengan masyarakat Melayu Langkat yang
tahu harga diri, yang ingin kebenaran, keadilan dan kemakmuran yang
merata dalam kehidupan.
5. Berilmu tak bertentangan dengan masyarakat Melayu Langkat yang
ingin maju untuk kepentingan diri dan masyarakatnya. Bukti tersebut
dapat diperhatikan Masjid Azizi dan Lembaga pendidikan Mahmudiyah
merupakan simbol pengabdian pada Allah, manusia dan lingkungan,
untuk kebahagiaan diri sekarang dan pada nantinya.
Sejumlah falsafah-falsafah kehidupan masyarakat Melayu pada masa
Kesultanan Langkat tidak terlepas dari penerapan syariat Islam oleh
Kesultanan. Kalangan guru-guru agama Islam selain dijadikan sebagai
sosok yang mengeluarkan patuah-patuah dalam bentuk nasehat-nasehat
kepada Sultan mereka juga dimintai pendapatnya berkaitan dengan
permasalahan hukum Islam.
Falsafah Melayu yang terdapat dalam pemerintahan Sultan Langkat
juga hidup sebagai sistem kehidupan masyarakat melayu Langkat, seluruh

Sebagaimana hal juga yang dituliskan oleh Bungaran Antonius Simanjuntak, Melayu
35

Pesisir., h. 12-13.

114
warga yang berada dalam perlindungan Sultan Langkat terikat dengan
adat Resam Melayu. Adat ini sebagian besar dipengaruhi oleh agama Islam.
Maksudnya, kebiasaan-kebiasaan yang tidak sesuai dengan yang diajarkan
atau yang diatur dalam agama Islam berangsur-angsur akan dihilangkan.
Jadi falsafah hidup yang tertuang dalam adat resam36 melayu adalah adat
dan kebiasaan masyarakat melayu yang telah diislamisasi. Oleh karena
itu, peran guru-guru agama cukup besar dalam menginternalisasi falsafah
nilai-nilai Islam ke dalam masyarakat Langkat.

36
Artinya perasaan. Resam ini tercermin di dalam setiap gerak kehidupan orang Melayu.
Lihat Bungaran Antonius Simanjuntak, Melayu Pesisir., h. 12.

115
116
BAGIAN KEENAM

REVOLUSI SOSIAL DI
KESULTANAN LANGKAT DAN
KONTRIBUSI KESULTANAN
LANGKAT UNTUK NKRI

A. Latar Belakang Revolusi Sosial


Dalam mewujudkan suatu negara baru bukanlah suatu hal yang mudah,
apalagi di wilayah bakal negara baru tersebut terdapat kerajaan-kerajaan
yang telah lama berkuasa. Ketika kerajaan-kerajaan tersebut harus
bergabung dan berada di bawah satu kekuasaan negara baru, sebagian di
antaranya menyatakan tidak setuju. Akibatnya, muncullah revolusi sosial
mengikis bentuk-bentuk kekuasaan lama dan menciptakan bentuk dan
sistem baru. Peristiwa seperti ini pun terjadi setelah Negara Republik
Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Salah satu peristiwa
revolusi sosial tersebut terjadi di Langkat.
Langkat adalah salah satu wilayah yang disebutkan dalam peristiwa
revolusi sosial. Di sana, banyak raja-raja dan diturunkan dan dibunuh.
Raja yang ada di Langkat adalah bangsa Melayu. Revolusi sosial di Langkat
adalah suatu proses perubahan yang tidak banyak diketahui oleh rakyat,

117
begitu pula dengan penyebabnya. Yang diketahui oleh rakyat hanyalah
raja-raja yang diturunkan dari jabatannya. Akibat revolusi sosial di Sumatera
Timur, 34 orang keluarga Sultan Langkat dibunuh dan bangsa Melayu yang
terlibat dalam pemerintahan kesultanan menjadi sasaran dari peristiwa
revolusi sosial.1
Berakhirnya Kesultanan Langkat di tangan revolusi sosial adalah dalam
suasana yang sangat memilukan. Hampir semua kerajaan di Sumatera
mengalami kekacauan yang luar biasa pada bulan Maret 1946, tidak
terkecuali sultan, keluarga sultan, para petinggi kerajaan, cerdik pandai,
bahkan rakyat kesultanan Islam dibantai habis-habisan. Banyak dari
kerajaan tersebut hanya tinggal nama semata, dan puing-puing sisa
keberadaan sejarah dan kejayaan masa silam. Di Asahan, dikabarkan telah
jatuh korban jiwa sebanyak 15 ribu orang, demikian juga pada tempat-
tempat lainnya, di Langkat dinyatakan sebagai tempat pembantaian paling
parah. Dengan demikian berakhirlah riwayat kesultanan Sumatera Timur,
termasuk Kesultanan Langkat.
Pada saat terjadi proklamasi kemerdekaan Indonesia, Kesultanan
Langkat mendukung sepenuhnya terhadap Pemerintah Republik Indonesia.
Demi eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sangat
diharapkan dan telah lama ditunggu kehadirannya tersebut, Kesultanan
Langkat menyerahkan kekuasaannya kepada Pemerintah Indonesia. Gelar
kesultanan pada Kesultanan Langkat memang tetap ada dan berlangsung
terus, tapi sejak saat ini dia tidak memiliki kekuasaan lagi, karena kekuasaan
tersebut telah diserkan kepada Pemerintah Republik Indonesia. Berlakukan
situasi “Kesultanan tanpa Kekuasaan (Raja tanpa kerajaan dan rakyat).”
Dalam mewujudkan suatu Negara baru hasil perjuangan bangsa yang
dicetuskan pada tanggal 17 Agustus 1945, bukanlah hal yang mudah
semudah apa yang direncanakan. Terlebih lagi di Negara tersebut telah
ada dan telah beratus tahun tumbuh yakni negara-negara kerajaan yang

1
Andika Bakti, “Konstruksi Melayu Saat Revolusi Sosial Sumatera Timur Di Kesultanan
Langkat Dalam Surat Kabar (Analisis Framing tentang Konstruksi Melayu Saat Revolusi
Sosial Sumatera Timur di Kesultanan Langkat dalam Surat Kabar Pandji Ra’jat)”, https://
jurnal.usu.ac.id. Dilihat pada 12 September 2018.

118
telah lama berkuasa dan mempunyai wewenang secara otonomi sendiri.
Tiba-tiba saja kerajaan-kerajaan ini harus dipaksakan untuk bergabung
dan berada di bawah satu kekuasaan rakyat dalam satu negara republik,
pastilah hal ini tidak disetujui oleh kerajaan-kerajaan tersebut. Maka satu-
satunya jalan untuk mewujudkan hal tersebut diatas adalah dengan jalan
revolusi dengan secara paksa mengikis habis bentuk-bentuk lama dan
menciptakan bentuk dan sistem baru sesuai dari yang direncanakan. Seperti
yang terjadi pada revolusi sosial di Sumatera Timur dan Langkat
mempunyai Latar belakang sebagai berikut:
1. Adanya kendala yang dialami dalam mewujudkan Pengumuman
Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 serta upaya pembentukan
Pemerintah RI dengan Komite Nasionalnya di Sumatera Timur
disesabkan Para Raja dan Sultan kerajaan menolak dan tidak
mendukung sama sekali, kalau pun mendukung sifatnya kamuflase
belaka. Hal ini dapat dibuktikan ketika Dr. M.Amir selaku anggota panitia
persiapan Kemerdekaan Indonesia yang pada tanggal 3 September
1945, mengundang tokoh-tokoh Tyou SangiKai (badan Permusyaratan
sejenis DPR ala Jepang) yang anggotanya adalah Para Raja dan Sultan
se Sumatera Timur serta Amtenaren dimana mereka menolak untuk
mendukung pemerintahan RI di Sumatera Timur, satu satunya sultan
yang mendukung adalah Tengku Syarif Kasim Sri Indrapura Kerajaan
Siak.
2. Informasi tentang gagalnya kebijakan yang ditempuh oleh Mr. T.M.
Hasan dan Dr. M.Amir pada point di atas telah diketahui oleh pemuda
dan Rakyat, sudah tidak menjadi rahasia umum lagi sehingga
menimbulkan emosi terpendam bagi rakyat.
3. Setelah diumumkan secara resmi oleh Syou Tyouskan Kaka
Gunseikanbu Tashuro Nakasima Gubnur Militer Jepang untuk Sumatera
Timur dalam siding Tyou Sangi Kai pada tanggal 24 Agustus 1945 di
Medan membentuk Panitia penyambutan (comite van onstvangst) dalam
menyambut kedatangan tentara sekutu (tentara Inggris dan Belanda)
untuk kembali menjajah Indonesia. Panitia ini di ketuai Sultan Mahmud
Abdul Azis dan Dr. Mansyur sebagai wakil ketua.

119
4. Mr.T.Hasan telah menyadari kekeliuran selama ini untuk mewujudkan
proklamasi 17 Agustus 1945 di Sumatera Timur dan pembentukan
Pemerintahan RI Sumatera Timur serta pembentukan Komite Nasional
tertunda sampai 30 hari. Dengan terbentuknya Barisan Pemuda yang
merupakan tulang punggung pemerintah Ri di Sumatera Timur, maka
tanggal 3 Oktober 1946 dengan resmi diumumkan Pemerintah RI
Provinsi Sumatera dengan Gubernur dan wakil Mr.T.M.Hasan dan Dr.
M. Amir. Dan hari itu juga ditetapkan pengangkatan staf gubernur para
presiden se Sumatera, antara lain: Tengku Nya Arif residen Aceh,
Luat Siregar residen Wali Kota Medan, Tengku Hafas residen Sumatera
Timur, dr.F.L. Tobing Residen Tapanuli, Dr. M.Syafei Residen Sumatera
Barat, Ir. Indra Cahaya Residen Bengkulu, Dr. Amiruddin residen Riau,
Mr. Abbas residen Lampung, M.A. Ayarief residen Bangka Belitung dan
Dr.A.K Gani residen Sumatera Selatan. Serta keesokan harinya tanggal
4 oktober 1945, Gubernur Sumatera untuk pertama sekali
mengeluarkan pernyataan sebagai berikut: “ semangat rakyat Indonesia
dewasa ini sesudah perang pasifik adalah sangat berbeda sekali dengan
semangat sebelum perang pasifik”.
5. Keberadaan tentara Inggris dan Belanda dibawah komando Brigjen
TED Kelly telah memperburuk suasana, dengan sengaja melakukan
teror dan provokasi memancing terjadinya bentrok dan pertempuran
di Kota Medan. Dengan hasutan Nica Raja-Raja dan Sultan Se-
Sumatera Timur telah dibentuk pula organisasi PADI (Persatuan Anak
Deli Islam) dengan ketuanya Dr.T.Mansyur, Raja Kaimsyah Sinaga,
T.hafas dan OK.Ramli. Melalui PADI dibentuk pula pasukan ke 5 (vijfd
kolone) yang dipersenjatai pihak NICA. Adanya Maklumat tanggal 1
Desember 1945 yang ditanda tangani bersama Mayjen H.M Chambers
Panglima Inggris dan Jenderal Tanabe Panglima tentara Jepang di
Sumatera dengan isi Maklumat yaitu:
a. Segala tempat-tempat, kota-kota yang belum diduduki tentara Inggris
mesti diserahkan kembali kepada tentara Jepang.
b. Tentara Jepang akan menjaga pengawalan dan keamanan dengan
jumlah tentara yang telah ditentukan.

120
c. Tentara Jepang melaksanakan perintah sipil. Dengan dikeluarkannya
maklumat tersebut, jelas bahwa Inggris tidak mengakui kedaulatan
RI, tentulah menimbulkan kemarahan Rakyat.
Usaha terakhir dilakukan Gubernur Sumatera tanggal 3 Februari 1946
dengan mengundang para sultan, raja-raja dan Sibayak-Sibayak se
Sumatera dan hasilnya tidak merubah paham politik raja-raja yang
memihak kepada Nica.

B. Terjadinya Revolusi Sosial


Berdasarkan permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah Provinsi
Sumatera dan Barisan Pemuda serta latar belakang sebagaimana dijelaskan
di atas, emosi dan kemarahan Rakyat tidak terbendung. Maka pada 3
Maret 1946 terjadilah apa yang disebut revolusi sosial di Sumatera Timur.186
Rakyat menuntut agar membubarkan pemerintahan istimewa (Sistem
kerajaan di Sumatera Timur) serta mendirikan pemerintahan dari rakyat
untuk rakyat. Revolusi sosial ini ditujukan kepada orang-orang dan golongan
yang ternyata berkhianat kepada bangsa dan tanah air Indonesia, rakyat
mulai menyerang istana Raja-raja Deli, Langkat, Asahan, Siantar, Tanah
Karo dan lain-lain. Sementara itu Sultan Deli yang berada di Istana Maimun

2
Sultan Langkat, Tuanku Azwar Abdul Jalil Rahmatsyah sempat memaparkan sejarah
singkat Revolusi Sosial 1946. Revolusi Sosial Sumatera Timur merupakan gerakan sosial
dalam melenyapkan kebaradaan Kesultanan dan Kerajaan Melayu. Revolusi ini dipicu
gerakan kaum Komunis yang berusaha menghapuskan sistem kerajaan dengan alasan
antifeodalisme dengan melibatkan sejumlah orang secara terorganisir. Dalam peristiwa
itu, terjadi pembunuhan sejumlah Sultan dan keluarganya, golongan menengah pro
republik dan pimpinan lokal administrasi Rebublik Indonesia. Seperti yang terjadi di
Kesultanan Kualuh, salah satu Kerajaan Melayu yang berada di Tanjung Pasir, Kabupaten
Labuhanbatu Utara (Labura) pada 3 Maret 1946 lalu. Sultan Kualuh, Tuanku Al Hadji
Moehammad Sjah diseret saat sedang salat malam di rumahnya oleh sekelompok orang,
kemudian di bawa ke kawasan Kuburan Cina, sebuah komplek perkuburan etnis Tionghoa.
Kelompok orang bersenjata tajam juga membawa Tengku Mansyoer Sjah gelar Tengku
Besar, putera Sultan Kualuh ke lokasi yang sama. Demikian juga Tengku Dirman Sjah, adik
kandung Tengku Mansyoer Sjah. Ketiganya kemudian disiksa lalu ditinggalkan begitu saja
dalam keadaan sekarat. Beruntung, pada pagi hari seorang nelayan yang sedang melintas
menemukan ketiganya kemudian membawa ke para korban ke istana untuk mendapatkan
perawatan. Sekitar pukul 11 siang, datang sekelompok orang berbeda menjemput
ketiganya dengan alasan akan membawa ke rumah sakit. Sejarawan Melayu Tengku

121
dapat terlindungi dari amukan rakyat dengan digelarnya revolusi sosial
dikerenakan Istana Maimun berada dalam pendudukan serdadu Inggris di

Haris Abdullah Sinar dalam sebuah literatur mengatakan, para petinggi Kesultanan Kualuh
tersebut dibunuh saat azan sedang berkumandang.”Saat hendak dibunuh, Tuanku sempat
berkata; Bila kalian hendak membunuh kami, tunggulah Obang (azan) selesai
dikumandangkan dan izinkan kami sembahyang sekejap,” pinta Tuanku saat itu. Permintaan
tersebut tidak dikabulkan. Sultan Kualuh dan kedua puteranya tewas dibunuh. Peristiwa
serupa juga terjadi di Kesultanan Panai, Kota Pinang, Negeri Padang Tebing Tinggi dan
Kesultanan Bilah yang menewaskan Tuanku Hasnan. Kesultanan Langkat juga mengalami
nasib serupa. Tidak sedikit perempuan keluarga Kesultanan diperkosa dihadapan orangtua
dan keluarganya. Sedangkan lelaki dibantai dengan sadis. Akibatnya, Kesultanan Langkat
banyak kehilangan petinggi kerajaan dan sejumlah pakar. Dalam peristiwa ini, seorang
sastrawan Tengku Amir Hamzah, Pangeran Langkat Hulu dan Wakil Pemerintah Republik
Indonesia saat itu, turut terbunuh. Peristiwa pembunuhan Tengku Amir Hamzah terjadi
pada 7 Maret 1946. Dalam peristiwa itu, Tengku Amir Hamzah dan sejumlah petinggi
Kesultanan Langkat dijemput paksa menggunakan truk terbuka oleh sekelompok orang
kemudian di kumpulkan di Jalan Imam Bonjol, Binjai. Bersama tahanan lainnya, Tengku
Amir Hamzah disiksa kemudian dibunuh di perladangan di kawasan Kuala Begumit oleh
Mandor Iyang Wijaya yang tidak lain adalah pelatih kesenian silat kuntau Istana Langkat.
Sebelum melakukan pembunuhan, algojo mengabulkan dua permintaan Tengku Amir
Hamzah. Pertama; Tengku Amir Hamzah minta penutup matanya dibuka karena ingin
menghadapi ajal dengan mata terbuka. Kedua; Tengku Amir Hamzah meminta waktu
untuk salat sebelum hukuman dijatuhkan. Pembantaian dan pembunuhan juga terjadi di
Negeri Padang, salah satu Kerajaan Melayu di Tebing Tinggi pada 3 Maret 1946. Dalam
peristiwa ini, cucu Tengki Tebing Pangeran, Tengku Sortia, tewas ditangan sekelompok
orang.
Peristiwa terjadi saat Tengku Sortia sedang sholat di rumahnya di kawasan Tongkah,
perkebunan tembakau milik kerajaan Negeri Padang, bersama isterinya Puang Maimunah.
Perkebunan Tongkah berada diantara Kabupaten Simalungun dan Serdang Bedagai
(Sergai). Tengku Sortia diseret dari rumah kemudian dibunuh. Jasadnya dihanyutkan ke
sungai tidak jauh dari rumahnya. Di malam yang sama, 3 Maret 1946, Kesultanan Asahan
di Tanjung Balai juga mengalami nasib serupa. Sebelum azan Shubuh berkumandang,
Tengku Muhammad Yasir menyambut sang ayah di rumahnya yang baru tiba dari istana
setelah bersiaga akibat tersiar khabar akan terjadi penyerangan. Rumah Cucu Sultan
Asahan X ini berada di lingkungan Istana Kesultanan Asahan, di lingkaran Kota Raja
Indra Sakti yang ditengahnya terhampar lapangan hijau. Tengku Muhammad Yasir yang
saat itu masih berusia 15 tahun, melihat sejumlah orang mengendap-endap kea rah
istana saat membukakan pintu untuk ayahnya. Karena takut, Tengku Muhammad Yasir
kemudian masuk ke dalam rumah bersama ayahnya. Pukul 6 pagi, Istana Kesultanan
Asahan diserang sekelompok orang. Sultan Asahan saat itu, Tuanku Sjaiboen Abdoel
Djalil Rachmatsjah, berhasil melarikan diri melalui pintu belakang istana. Satu jam kemudian,
sekelompok orang datang ke rumah Tengku Muhammad Yasir dan membawa ayahnya.
Tengku Muhammad Yasir tidak turut di bawa karena sedang menderita sakit pada bagian

122
mana pasukan sekutu menempatkan markas mereka di istana Maimun,
sehingga gerakan revolusi sosial ini tidak sanggup menyerang Istana
Maimun.
Pada hari itu juga setelah digelarnya revolusi sosial wakil gubernur
Sumatera tanggal 5 Maret 1946 mengeluarkan pernyataan sebagai berikut
dengan tiba-tiba rakyat di seluruh Sumatera Timur telah bertindak
menegakkan revolusi sosial yang maha hebat.
1. Tindakan rakyat yang menyapu bersih segala musuh-musuh Negara
RI di dalam negeri saya ucapkan terima kasih dengan perasaan syukur,
dengan harapan segala tindakan diperhitungkan laba dan ruginya dan
dilakukan dengn prikemanusiaan untuk menghindarkan korban revulusi
sosial sedikit mungkin.
2. Kepada rakyat diharapkan tetap aman dan bekerja ditempatnya masing-
masing seperti biasa agar pemerintah RI berjalan lancar, saya yakin
yang tidak berdosa kepada bangsa dan tanah air tidak akan mendapat
gangguan dari pihak manapun.
3. Kepada bangsa asing untuk tidak mencampuri revolusi sosial bersikap
tidak memihak dan loyal terhadap Negara RI.
4. Dalam situasi yang genting ini perlu diambil tindakan yang luar biasa,
susunan dan cara kerja pemerintah Provinsi Sumatera akan dirubah
sesuai dengan Undang-Undang dasar dan keinginan rakyat.
Sehubungan dengan itu pemerintah keresidenan sumatera Timur, mulai
hari ini 5 Maret 1946 dilaksanakan oleh M.Yunus Nasution sebagai
Residen Sumatera Timur menggantikan T.hafas. dalam tugasnya M.
Yunus Nasution dibantu oleh Badan Pekerja Komite Nasional Sumatera

kaki yang mengalami pembusukan hingga mengeluarkan aroma tidak sedap. Pasca
penangkapan ayahnya, Tengku Muhammad Yasir menyelamatkan diri ke rumah kakak
sepupunya, Tengku Haniah. Ternyata, Tengku Muhammad Yasir tidak menemukan
seorangpun lelaki di rumah itu. Semua telah ditangkap sekelompok orang. Dokumen
Belanda memperkirakan, pembantaian di wilayah Kesultanan Asahan tahun 1946 menelan
korban mencapai 1.200 orang. Belum lagi di sejumlah Kerajaan Melayu dan Kesultanan di
Sumatera Timur lainnya. Banyak kerangka korban yang terkubur tak beraturan di Sungai
Londir. Bahkan ada di dinding-dinding tanah. http://beritasumut.com/peristiwa/
Mengenang-70-Tahun-Revolusi-Sosial-Sumatera-Timur.

123
Timur dan Badan Persatuan Perjuangan (Volksvront) serta membantu
Mr. Luat Siregar dalam menyusun kembali pemerintah RI di daerah-
daerah.
Revolusi sosial sudah menjalar mulai dari Langkat sampai ke Kualuh
dan Rantau Perapat, pasukan Jepang yang berada di daerah memang
tidak mencampuri sama sekali.Gejolak revulusi sosial diawali tanggal 3
Maret 1946 pukul 20.00 wib dengan menculik beberapa tokoh feodalis
Kerajaan Langkat yang dianggap sebagai pengkhianat bangsa semuanya
diculik bahkan beberapa orang dibunuh di antaranya adalah Sekretaris
Sultan Langkat Datuk M.Jamil yang sangat radikal memihak pada
Pemerintahan Kolonial Belanda, ketika akan dibawa ia mencoba membela
diri serta menghadang rombongan yang akan memasuki istana, akhirnya
Datuk Jamil tewas dibunuh. Dalam penyerangan yang mengatas namakan
rakyat ini dipelopori oleh tokoh Partai Komunis PKI Langkat yaitu Usman
Parinduri, Marwan, Sanusi dan Arifin Enesri serta dilapisi baris kedua dari
tokoh Pesindo Langkat, sementara itu pihak Partai MASYUMI Langkat
memang tidak ikut campur tangan sama sekali, malam itu juga partai
Masyumi yang dikoordinir oleh Pimpinannya Syekh H.Abdullah Afifuddin
dan Syekh Abdurrahim Abdullah berkumpul di Masjid Azizi sebanyak lebih
300 orang anggota Masyumi berkurung di Masjid Azizi untuk tidak
mencampuri kegiatan revolusi sosial ini yang di gelar malam itu.
Sebab antara Masyumi dengan PKI memang bersebrangan jalan dan
bersebrangan ideologi. Masyumi adalah partai Islam yang berlandaskan
Kitabullah dan Sunnah Rasul dan memang dilarang untuk merampok apalagi
membunuh orang-orang yang memang belum tentu bersalah. Sementara
PKI adalah Partai Komunis memang tidak mengenal agama sama sekali
dengan dapat demikian menghalalkan segala cara demi kepentingan pribadi
ataupun kelompok. Yang sangat menyedihkan serta menyayat hati adalah
sifat kebinatangan dari beberapa tokoh PKI ini di antaranya Usman Parinduri
dan Marwan dalam melakukan penyerangan di Istana Sultan Langkat di
samping mengambil kesempatan merampok atau menjarah perhiasan
emas milik permaisuri dan putri Sultan Mahmud bahkan memperkosa dua
orang putri Sultan Mahmud. Inilah makna dan hikmah dari revolusi sosial

124
di atas suatu perjuangan suci dalam menegakkan kemerdekaan Negara
Republik Indonesia yang menjiwai proklamasi 17 Agustus 1945.
Pada tanggal 3 Maret 1946 pukul 20.00 malam itu juga dilakukan
penangkapan kepada Sultan Mahmud Abdul Azis selaku Sultan Langkat
beserta keluarganya di istana Sultan Langkat di Tanjung Pura, Sultan
Mahmud serta putra mahkotanya T.Musa dan permaisurinya dilakukan
tahanan rumah, sementara para pembesar kerajaan dan pengawal diculik
bahkan dibunuh di tempat, sehingga banyak memakan korban di pihak
kerabat istana Sultan Langkat termasuk Mr. Darus Umar seorang komponis
kerajaan Langkat yang hingga kini tidak tahu di mana pusaranya. Beberapa
hari kemudian tanggal 6 Maret 1946 Sultan Mahmud beserta permaisuri
dan putra Mahkotanya T. Musa diculik oleh tokoh PKI ini dan dibawa ke
Batang Serangan, karena kantor perkebunan Batang Serangan ini
merupakan Markas PKI. Serta beberapa hari kemudian Sultan Mahmud
beserta permaisuri dan putra mahkotanya T.Musa dijemput oleh kelompok
Volkvront dan dibawa ketahanan Brastagi. Perampokan dan Penjarahan
harta benda milik Sultan dari istananya di Tanjung Pura tidak mengherankan
lagi, tokoh pergerakan yang mengatas namakan amarah rakyat tentulah
mencari kepentingan dan keuntunga pribadi di dalam suatu kesempatan
yang sangat berarti bagi mereka. Apakah wajar dari satu kesalahan
beberapa pembesar negeri Kesultanan Langkat yang tidak mendukung
berdirinya sebuah Negara republik hasil keringat dari Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945, lalu orang yang berada di sekitarnya yang
memang tidak mengerti sama sekali ikut menjadi korban penculikan,
pembunuhan, dan pemerkosaan. Apakah demikian rencana sebuah revolusi
digelar, orang-orang yang tidak bersalah ikut rantan menjadi korban. Namun
itulah resiko dari suatu revolusi. Sementara itu Bung Karno dalam suatu
kesempatan pernah berpidato “revolusi kita adalah revolusi nasional dan
bukan revolusi sosial yang saling menghancurkan”.
Setelah beberapa hari terjadinya revolusi sosial di istana Sultan Langkat
dengan korban keluarga besar Sultan Mahmud, maka oleh Volkfront Langkat
di antaranya, Amar Hanadiah, Ibnu Ja’Far Syekh. H. Abdullah Afifuddin,
Syekh H. Abdurrahim, Mahmuddin, dan lain lain mengevaluasi dari

125
keuntungan pribadi seperti Arifin Esneri, Usman Parinduri, Marwan, dan
Sanusi ditangkap oleh Volkfront. Kepada Arifin Esneri ditugaskan jika
kesalahan ingin dimaafkan lakukan hukum tembak kepada pelaku pemerkosa
putri Sultan Langkat. Oleh Arifin Esneri membujuk ketiga temannya Usman
Parinduri dan Marwan untuk bersama ke Batang Serangan dalam
melaksanakan satu tugas, tanpa ada kecurigaan keduanya mengikuti ajakan
Arifin Esneri, sesampai di Tanjung Selamat keduanya dibunuh oleh Arifin
Esneri dengan tembakan pistol.
Tengku Amir Hamzah semasa hidupnya ketika masih menjadi
mahasiswa di Jakarta dikenal oleh Sastrawan teman seangkatannya sebagai
raja Penyair Pujangga Baru. Di dalam dunia penyair dan sastrawan beliau
termasuk angkatan tahun 20-an, karena kemampuan beliau
mempermainkan kata dengan kalimat sastranya dalam karya puisi yang
diciptakan yang terkadang puisinya dianggap misteri, namun ada yang
beranggapan Amir Hamzah beraliran sufi. Dalam aktivitasnya ketika
menuntut ilmu di Pulau Jawa, beliau termasuk orang pergerakan dalam
menuju Indonesia merdeka, ketika pulang ke kampung halaman di negeri
Langkat diawal kemerdekaan beliau diangkat menjadi asisten residen
wilayah Langkat dalam sebuah Negara Republik Indonesia. Namun sayang
seperti pepatah Melayu mengatakan tuah ada celaka menanti, fitnah
menerpa dirinya ia pun dituduh sebagai pengkhianat bangsa yang akhirnya
hidup diterpa hukuman pancung tanpa terlebih dahulu diadili dalam suatu
Mahkamah Pengadilan benar ia bersalah atau tidak. Tengku Amir Hamzah
dengan panggilan kecilnya Tengku Bungsu lahir di Tanjung Pura pada
tanggal 11 Februari 1911 dari pasangan ayah dan bundanya T. Pangeran
Adil dan T. Mah Jiwa. Amir Hamzah masih keturunan dan pewaris dari
tahta Kerajaan Langkat. Kakek kandungnya adalah Tengku Hamzah atau
Tengku Sulung putra tertua dari Tengku Musa (Sultan Musa). Sejak kecil
ia telah diajarkan tentang nilai luhur budaya adat Melayu dan nilai Islam.
Ia mulai menapaki jenjang pendidikan di HIS Tanjung Pura, kemudian
melanjutkan ke MULO Medan hanya satu tahun lalu meneruskannya ke
MULO Jakarta. Usai dari Mulo Jakarta Amir Hamzah melanjutkan pendidikan
AMS ketimuran Solo. Selama berada di Solo beliau aktif dalam pergerakan

126
kebangsaan menuju Indonesia merdeka, ketika itu pergerakan kebangsaan
ini masih bersifat kedaerahan seperti adanya Jong Ambon, Jong Celebes,
Jong Java, Jong Batavia, Jong Sumatera, Jong Bataksbon, dan lain
sebagainya.
Atas kesadaran dan kesepakatan mereka bersama organisasi
kedaerahan tersebut dilebur menjadi satu dengan nama gerakan Indonesia
Muda. Ketika dilaksanakan kongres Indonesia Muda di Solo tanggal 29
Desember 1930 sampai 2 Januari 1931, Amir Hamzah terpilih sebagai
ketua delegasi Solo. Setelah menamatkan pendidikan AMS di Solo, beliau
melanjutkan ke Perguruan Tinggi di Jakarta yaitu di Sekolah Hakim Tertinggi
Recht Hoge School (RHS) Jakarta tahun 1932. Ketika di Jakarta inilah Amir
Hamzah mulai aktif dalam kancah politik bersama kaum pergerakan dan
tokoh Pemuda Nasional seperti Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir, Rustam
Efendi, Syafruddin Prawiranegara, Armin Pane serta Sutan Takdir Ali
Syahbana teman satu kamarnya rumah kontrakan di jalan Sabang Jakarta.
Tahun pertama pendidikannya di RHS ibunya meninggal dunia, namun
tidak menurunkan semangatnya untuk belajar. Sambil kuliah ia juga aktif
menulis di Majalah Timbul dan Majalah Pujangga Baru bersama teman
dekatnya Sutan Takdit Ali Syahbana, Armin Pane dan Achdiat Kartamiharja.
Di samping tulisan sastra dan puisi ia juga menulis artikel politik yang
mengarah pada kritikan tajam terhadap pemerintahan Belanda, namun
dalam tulisan ia selalu menggunakan nama samaran. Ketika pendidikannya
berada tahun ketiga ayahnya T. Pangeran Adil wafat, biaya perkuliahan
pun terputus, terpaksa Amir Hamzah menjadi guru honorer di Perguruan
Taman Siswa dan Perguruan Muhammadiyah Jakarta demi menunjang
biaya perkuliahan.
Pada hal sekolah-sekolah Belanda yang ada di Jakarta menawarkan
padanya untuk menjadi guru dan akan diberi beasiswa melanjutkan studi
ke Nederland. Namun Amir Hamzah menolaknya, ia lebih senang menjadi
guru di sekolah kebangsaan negeri seperti Taman Siswa dan Perguruan
Muhammadiyah. Beberapa bulan setelah wafat ayahnya T Pangeran Adil,
oleh Sultan Langkat mengambil alih tanggung jawab biaya perkuliahan
Amir Hamzah. Gerak gerik aktivitas politik organisasi pergerakan dan tulisan

127
tajamnya di majalah Timbul dan Pujangga Baru, diketahui oleh
pemerintahan Belanda lalu melaporkan hal tersebut kepada Tengku
Mahmud Abdul Azis selaku sultan Langkat agar Amir Hamzah ditegur dan
dinasehati. Kemudian Sultan Langkat mengirim surat agar Amir Hamzah
pulang sejenak halamannya di Tanah Langkat. Sesampai di Kerajaan
Langkat di hadapan kerabat Kesultanan Amir mendapat teguran keras dari
Sultan Mahmud yang merupakan pamannya sendiri, ia diberi dua pilihan
terus kuliah dan dibiayai oleh sultan serta menghentikan aktivitas politiknya
atau terus berpolitik dan Kerajaan Langkat mendapat masalah dengan
pemerintahan Belanda. Pilihan yang sangat berat bagi Amir Hamzah yang
akhirnya ia kembali ke Jakarta meneruskan kuliah namun secara sembunyi-
sembunyi ia terus aktif berpolitik dalam menentang Pemerintahan Belanda.
Ia selalu berkonsultasi mencurahkan perasaan dan hati yang sedang dilanda
keresahan untuk menghentikan perjuangan karena rintangan Sultan Langkat
ini terutama kepada kekasihnya sendiri yaitu Ilik Sundari seorang gadis
Solo juga ikut dalam dunia pergerakan.
Gerak-gerik Amir Hamzah selama di Jakarta tetap diawasi oleh
pemerintahan Belanda dan mengirim surat teguran kers kepada Sultan
Langkat yang akhirnya Amir Hamzah terpaksa panggil Pulang dan
menghentikan kuliahnya yang belum selesai. Amir Hamzah pun dinikahkan
dengan putri Sultan Mahmud yaitu Tengku Kamaliah sehingga dengan
terpaksa aktivitas politiknya terkubur, karena ia harus menetap di Tanjung
Pura. Amir pun mendapat jabatan baru sebagai Raja Muda dengan gelar
Tengku Pangeran Indra Putra Kesultanan Langkat. Sejak itu pula
semangatnya hilang jiwanya seakan mati lalu terhimpunalah puisi puisinya
dalam kumpulan puisi masing-masing buah rindu, nyanyi sunyi, dan setanggi
Timur. Ketika Amir Hamzah dipaksa pulang ke Langkat menghentikan kuliah
dan cita-cita politiknya menuju Indonesia merdeka lalu dipaksa menikah
dengan putri pamannya adalah orang yang dianggap berjasa dalam
hidupnya, maka sejak itu pula dirinya terbelenggu, dia pasrahkan jiwanya
dan jasadnya untuk kepentingan paman sekaligus mertuanya Sultan
Mahmud. Dirinya bagai boneka yang dipermainkan, ia benar-benar frustasi,
perjuangan mencapai Karier kehidupan, perjuangannya mencapai

128
kemerdekaan, dan perjuangannya mencapai cinta dengan gadis Solo Ilik
Sundari harus hancur begitu saja, yang terpikir di hatinya adalah kematian
dan maut. Oleh sebab itu ketika tanggal 24 Oktober 1945 tim khusus
pemerintahan republik yang dipimpim oleh DR. M. Amir Wakil Gubernur
Sumatera melakukan perundingan mengangkat Amir Hamzah sebagai
asisten residen wilayah Langkat, ia juga pasrah tanpa banyak protes, karena
ini bukan kemauannya sang mertua. Lebih lengkap perundingan tersebut
menghasilkan kesepakatan:
1. Bahwa Kesultanan Langkat di bawah perlindungan dan naungan
pemerintahan Republik Indonesia, yaitu Gubernur Provinsi Sumatera.
2. Tengku Amir Hamzah diangkat dan ditetapkan menjadi asisten dari
pemerintah RI untuk wilayah Langkat berkedudukan di Kota Binjai.
Maka tanggal 26 oktober 1945 oleh Gubernur Sumatera dikelurakanlah
surat keputusan penetapan dan pengangkatan Amir Hamzah sebgai asisten
residen wilayah Langkat dan tanggal 29 Oktober 1945 dilaksanakan
pelantikannya di Istana Sultan Langkat di Tanjung Pura.
Belum tiga bulan jabatan itu dipikulnya, pada tanggal 31 Desember
1945 Amir Hamzah mendapat teguran keras dari residen Sumatera Timur
M. Yunus Nasution yang mengantikan T. Hafas bahwa Amir dituduh masih
menjalin hubungan dengan pemerintahan Belanda (Nica) yang ada di
Medan, antara lain tuduhan tersebut:
1. Tanggal 1 Desember 1945 T. Amir Hamzah bersama Datuk M. Jamil
sekretaris Sultan Langkat menemui Dr. AJ Oranje Van Der Beck residen
Hindia Belanda (Nica) “ comite van ontvangst” oranje boven Sumatera
Timur bertempat di Hotel Boer (Darma Deli) Medan.
2. Tanggal 7 Desember 1945 pukul 07.00 wib di depan istana Sultan
Langkat di Binjai, sudah terpasang spanduk yang berisikan selamat
datang buat pemerintahan NICA.
3. Pembentukan pasukan ke-5 yang dipimpin oleh Raja Ngena Sitepu
Kepala Polisi Luhak Langkat Hulu Kerajaan Langkat serta persenjataan
mendapat bantuan oleh Ch.Ovan Der Plank kepal polisi istimewa Balanda
Sumatera Timur Medan.
M. Yunus Nasution selaku residen Sumatera Timur memberi

129
peringatan keras kepada Amir Hamzah dan diberi waktu memperbaiki sikap,
jika masih tetap melakukan hubungan dengan pemerintah Belanda maka
kedudukan sebagai asisten residen wilayah Langkat akan dicopot.
Sebenarnya Amir Hamzah mencoba untuk memperbaiki, namun dibelakang
beliau ada satu figur yang sangat mempengaruhi aktivitasnya di samping
Sultan Langkat adalah Datuk M. Jamil yang sangat kontra pada republik
dan terus menjilat pada NICA. Amir Hamzah adalah sosok manusia yang
sedikit tertutup, sehingga prinsipnya sulit untuk dimengerti. Terlebih lagi
ketika dia harus pulang ke Langkat dipaksa menikah dengan T. Kamaliah
sementara cintanya masih bersemi dengan seorang gadis Solo bernama
Iil Sundari, sehingga jiwa dan semangatnya sebagai seorang repbuliken
dalam perjuangannya di Jakarta kandas di tengah jalan terlebih lagi karier
pendidikannya tidak mencapai hasil puncak. Sebab itu pula jiwanya seakan
mati, hidupnya ia pasrahkan pada kepentingan politik Sultan Langkat,
ketegasan dan tekadnya punah. Di saat Amir Hamzah mendapat peringatan
dari residen Sumatera Timur, dia tidak membantah sama sekali yang terpikir
di hati dan jiwanya adalah mati dan memanggil maut.
Situasi politik di Langkat ketika itu semakin genting, Amir Hamzah
dianggap tidak mampu bertindak tegas sebagai seorang bupati (asisten
residen), peringatan keras yang pernah diberikan kepadanya dianggap
seakan tidak diindahkan. Maka tanggal 3 Maret 1945, ketika ia bersama
istri dan anak tunggalnya T. Tahura Alautiah yang masih kecil akan pulang
ke Tanjung Pura sembari menunggu mobil jemputan, sekira pukul 17.00
wib sebuah kendaraan menjemputnya di rumah Binjai yang semula
dianggap adalah mobil jemputan. Namun setelah dilihatnya beberapa
pemuda pergerakan, ia pun berpesan kepada istrinya agar anak mereka
dipelihara dengan penuh kasih dan apa yang terjadi jangan timbulkan
kedendaman. Jauh sebelumnya Amir Hamzah telah mempunyai firasat
akan terjadi sesuatu pada dirinya, karenanya ia selalu menulis rangkaian
puisinya yang selalu mengundang maut dan keputusasaan, bagi mereka
yang mengertilah yang mampu menerjemahkan puisinya penuh misteri
itu. Beberapa pemuda tersebut dengan paksa membawa Amir Hamzah
sementara istri dan anaknya tidak dibawa serta. Saat itu pula Amir Hamzah

130
di bawa ke markas pemuda di Binjai untuk selanjutnya dipindahkan ke
sebuah tempat di kebun Lada Binjai. Dan beberapa hari kemudian ia
dipindahkan sebgai tawanan ke sebuah gudang di Perkebunan Tembakau
Kuala Begumit arah pedalaman Binjai. Dua hari setelah Amir Hamzah diculik
yakni tanggal 5 maret 1945 pukul 16.00 diadakan rapat kilat yang dihadiri
Komite Nasional, tokoh Volksvront dan dihadiri juga utusan dari Kesultanan
Langkat rapat dipimpin oleh M.Yunus Nasution Residen Sumatera Timur
dan M. Saleh Umar residen diperbantukan Gubernur Sumatera, maka rapat
pun mengambil keputusan sebagai berikut:
1. Memecat dan memberhentikan dengan tidak hormat Tengku Amir
Hamzah dari jabatannya selaku asisten residen Republik Indonesia
wilayah Langkat.
2. Menghapuskan daerah keistimewaan Kerajaan Langkat dari Negara
RI.
Maka sebagai penggantinya untuk sementara diangkatlah M. Nasib
Nasution yang sangat ambisi menggantikan jabatan Amir Hamzah ketika
itu masih menjabat ketua Komite Nasional Langkat Hulu yakni pada hari itu
juga tanggal 5 Maret 1946. Beberapa hari kemudian karena situasi politik
yang semakin memanas untuk sementara kepemimpinan pemerintah
daerah diambil alih oleh militer oleh panglima divisi IV/TRI maka diganti
M.Nasib Nasution ketika itu menjabat pelaksana Bupati Langkat dengan
mayor Wiji Alfisah komandan Batalyon 1 TRI di 25 Maret 1945 yang
merupakan keputusan Sidang KNI Sumatera Timur di Medan maka Mayor
Wiji Alfisah digantikan oleh Adnan Nur Lubis Sebagai Bupati Langkat berada
di wilayah Aceh, sehingga tidak aktif melaksanakan aktivitasnya sebagai
bupati oleh residen Sumatera Timur mengangkat Sutan Naposo
Parlindungan sebagai Pelaksana Bupati tahun 1948. Dalam tahun yang
sama Matseh ditunjuk sebagai pejabat Bupati Langkat disebabkan Sutan
Naposo Parlindungan meninggal dunia. Beberapa hari kemudian di tahun
1948 diangkatlah H.OK. Salamuddin sebagai bupati definitif oleh gubernur
militer daerah Langkat, Tanah Karo, dan Aceh.
Barangkali tuduhan yang begitu tajam dihadiahkan kepada Amir
Hamzah sebagai seorang pengkhianat bangsa memang tidak pada

131
tempatnya. Semenjak remaja ketika ia melangakah ke tanah Jawa,
kemudian merantau ke Solo sampai kembali kuliah ke Jakarta, ia telah
berbuat banyak dalam pergerakan kebangsaan. Di kota Solo ia
menggabungkan diri di organisasi Indonesia muda, bahkan ketika
dilaksanakan konfrensi bahasa di Solo untuk menentukan bahasa persatuan
Indonesia maka Amir Hamzah salah seorang peserta yang mengusulkan
Bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan yang digunakan hingga sampai
saat ini. Ketika kuliah di Jakarta Amir Hamzah bergabung dengan organisasi
pergerakan bersama bung Karno, Bung Hatta, Sutan Syahrir. Prof. M. Yamin,
Sutan Takdir Ali Syahbana, Rustam Efendi, Armen Pane dan lain-lain. Ketika
biaya kuliahnya terhenti disebabkan meninggalnya kedua orang tuanya
demi untuk menanggulangi biaya perkuliahannya ia melamar menjadi guru
di Taman Siswa dan perguruan Muhammadiyah, di mana kedua perguruan
ini tempatnya tokoh-tokoh pergerakan, lalu kenapa ia harus menolak ketika
perguruan sekolah Belanda mengajaknya bergabung bahkan ia ditawarkan
beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke Negara Belanda. Sambil kuliah
dan mengajar Amir Hamzah menulis artikel di Majalah Timbul dan Pujangga
Baru, penanya sangat tajam dalam mengkritik pemerintahan Hindia Belanda
sehingga Belanda meminta Sultan Langkat untuk menghentikan segala
aktivitas politik Amir Hamzah yang akhirnya Amir Hamzah dipaksa pulang
ke Langkat serta dinikahkan dengan putri Sultan Mahmud. Diawal
Kemerdekaan ia diangkat menjadi asisten residen wilayah Langkat, Amir
Hamzah dalam melaksanakan tugasnya selalu mendapat tekanan baik dari
Sultan Mahmud sang mertua yang sangat dipengaruhi oleh Datuk M. Jamil
maupun dari pemerintahan republik terutama tokoh penting PKI, PNI dan
Gerindo sehingga pada bulan Februari 1946 secara diam-diam ia telah
membuat pengunduran diri dari jabatan asisten residen belakangan ia di
fitnah sebagai kaki tangan Belanda dan pengkhianat bangsa. Disebabkan
Adnan Nur Lubis sangat berambisi menggantikan Amir Hamzah atas
persetujuan KNI Langkat. Tanggal 19 Maret 1946 diperhitungkan pukul
23.15 Wib Amir Hamzah bersama 18 orang tokoh aristocrat Melayu dan
tokoh-tokoh pasukan ke V yang ditangkap tanggal 3 Maret 1946 lalu ditawan
bersama-sama Amir Hamzah dijemput dari tawanan di gudang perkebunan

132
tembakau Kuala Begumit dibawa ke suatu tempat lebih kurang 1 km jaraknya
ke arah Stabat. Maka diperhitungkan dini hari pukul 1.15 wib tanggal 20
Maret 1946 Amir Hamzah bersama 18 orang pada Datuk dan Tengku lainnya
dieksekusi dipancung mati di sebuah lubang. Lalu dikuburkan tidak jauh
dari lubang tersebut. Beberapa hari sebelum terjadi eksekusi terhadap
diri Amir Hamzah Bung Hatta mengrimkan surat kepada Gubernur Sumatera
agar Amir Hamzah dapat diselamatkan. Namun sayang surat tersebut
terlambat sampai dan ketika itu juga Gubernur Sumatera Mr. T.M. Hasan
tidak berada di Medan.
Beberapa bulan setelah kematian Amir Hamzah, Bung Karno melakukan
kunjungan kerja di Medan, begitu Bung Karno tiba di Medan langsung
bertanya kepada T.M Hasan dan Dr. Amir “mana Amir Hamzah”, T. M.
Hasan diam tak menjawab hanya pandangannya tertuju pada Dr. Amir
yang hanya tertunduk diam.
Beberapa tahun kemudian kerangka Amir Hamzah dipindahkan dan
dimakamkan di pekuburan Masjid Azizi Tanjung Pura. Salah seorang
sahabatnya yakni Maria Ulfah saat menjadi Menteri Sosial di Tahun 1947
lalu berkunjung ke Medan. Dalam kunjungan tersebut diundang pula para
janda dan kebetulan hadir T. Kamalilah istri Amir Hamzah”, spontan Maria
Ulfah kembali bertanya “ apa janda Amir Hamzah, maksud Janda itu apa.”
Suami saya dijemput pada tanggal 3 Maret 1946 dan tidak pernah kembali,
kabarnya ia dibunuh,” keduanya saling berpelukan dan bertangisan.
Kemudian dengan sedikit kesal bercampur emosi Maria Ulfah menjelaskan
“rasa-rasanya tidak mungkin ada orang yang sampai hati membunuh Amir,
saya tahu betul bagaimana perjuangannya di Jakarta, saya salah satu di
antara para sahabat seperjuangannya, dia sangat cinta kepada rakyat
yang mana saja, tingkah dan sikapnya tidak sedikitpun menunjukkan ke
feodalannya dia ditunjuk sebagai asisten residen Langkat atas saran Bung
Karno kepada Gubernur Sumatera T.M Hasan ketika itu.” Riskannya seorang
Amir Hamzah seorang berjiwa repbuliken menjabat sebagai asisten residen
Langkat justru diculik dan diekskusi oleh orang-orang yang berjiwa republik
dengan cara yang sangat kejam mati dengan leher dipancung, tanpa terlebih
dahulu diadili di depan mahkamah hakim dalam satu persidangan, ada

133
apa sebenarnya yang terjadi, apakah ada unsur iri hati atau unsur balas
dendam dari seorang atau sekelompok dengan mengatasnamakan rakyat
lalu menggelar suatu aktivitas dengan dalih revolusi sosial, lalu menculik,
merampok, membunuh, dan memperkosa, siapa sesungguhnya di belakang
revolusi sosial.
Berakhirnya Kesultanan Langkat di tangan revolusi sosial adalah dalam
suasana yang sangat memilukan. Hampir semua kerajaan di Sumatera
mengalami kekacauan yang luar biasa pada bulan Maret 1946, tidak
terkecuali sultan, keluarga sultan, para petinggi kerajaan, cerdik pandai,
bahkan rakyat kesultanan Islam dibantai habis-habisan. Banyak dari
kerajaan tersebut hanya tinggal nama semata, dan puing-puing sisa
keberadaan sejarah dan kejayaan masa silam. Di Asahan, dikabarkan telah
jatuh korban jiwa sebanyak 15 ribu orang, demikian juga pada tempat-
tempat lainnya, di Langkat dinyatakan sebagai tempat pembantaian paling
parah. Dengan demikian berakhirlah riwayat kesultanan Sumatera timur,
termasuk Kesultanan Langkat.
Ada beberapa pihak yang menjadi otak Revolusi Sosial yang terjadi di
Sumatera Timur. Pendeta Juandaha Raya Purba Dasuha, menyebutkan
dalam artikelnya yang berjudul “Revolusi Sosial Berdarah di Simalungun
Tahun 1946”, menyebutkan bahwa otak dibalik serangkaian pembantaian
bengis yang luar biasa terjadi di SumateraTimur adalah mereka yang
tergabung dalam “Markas Agung yang dilaksanakan Volksfront dengan
pimpinan utamanya Sarwono Sastro Sutardjo, Zainal Baharuddin, M.
SalehUmar, Nathar Zainuddin, dan Abdul Karim MS. Mereka inilah orang-
orang yang bekerja di balik layar. Laskar yang berperan dalam aksi ini
adalah Pesindo, Napindo, Ken Ko Ku Tui Sin Tai (Barisan Harimau Liar),
Barisan Merah (PKI), Kaikyo Seinen Teishintai (Hizbullah), dan didukung
oleh buruh Jawa dari perkebunan serta kaum tani.” Dengan demikian maka
gerakan ini cukup tangguh untuk meluluhlantakkan semua kerajaan Islam
di Sumatera Timur.
Tahun 1946 adalah sejarah kelam Kesultanan Langkat. Masyarakat
Langkat membumihanguskan Kerajaan Langkat dan membunuh orang-
orang yang dianggap antek-antek penjajah. Dalam hal ini keluarga kerajaan

134
tak luput dari pembunuhan tersebut. Ada dua hal yang membuat masyarakat
membakar istana-istana kesultanan Langkat, pertama; mereka
beranggapan bahwa Kesultanan Langkat telah mendukung pemerintahan
Belanda, dalam usaha penjajahan di Indonesia. Kedua; membakar istana-
istana kesultanan Langkat, agar pemerintah Belanda tidak menggunakannya
dalam mempertahankan diri dari para pejuang kemerdekaan, begitu juga
para pejuang membakar sumur minyak di Pangkalan Berandan tahun 1947
karena khawatir akan dikuasai oleh Belanda.
Kurang dapat dipastikan tentang keikutsertaan Dr. Amir dibalik
terjadinya revolusi sosial tersebut. Dr. Amir memang diketahui sebagai
orang yang konsern dengan paham sosialis, tidak begitu jelas tentang
keberpihakannya dalam peristiwa ini, ada literatur yang mengatakan bahwa
Dr. Amir berperan dalam mengatur perjalanan Teuku Mohamad Hassan
sebagai gubernur Sumatera keluar dari Sumatera Timur untuk
mempermudah usaha penghancuran kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur.
Berbeda halnya dengan literatur lain yang mengatakan sebaliknya, justru
hal itu yang membuat Dr. Amir terpaksa hengkang dari Sumatera Timur
ke beberapa tempat, seperti Sabang, Gorontalo, Palu,Makassar, dan
Belanda.3
Sebagai seorang politisi, Dr. Amir ini berambisi juga untuk menjadi
gubernur. Dipahami bahwa dia berkeinginan untuk menggulingkan Gubernur
aktif Tengku Muhammad Hasan, untuk hal ini dimanfatkannya ketua PKI
Sumatera Timur Luat Siregar untuk membikin kerusuhan. Kemudian ada
logika dan momen empuk yang bisa dimanfaatkan untuk mempengaruhi
orang banyak, yaitu Sultan dan keluarganya sudah berkawan dekat dengan
Belanda selama ini, sementara Belanda adalah bangsa penjajah yang harus
diusir dari Indonesia ini. Sikap sultan ini dipahami melawan kehendak rakyat
dan bangsa Indonesia. Dengan hal ini keterlibatan Dr. Amir dipertanyakan
dalam gerakan revolusi sosial ini.

3
Tulisan Dr. J. J. van de Velde mengenai Amir kurun 1945-1946 ini dikirimkan oleh
Tengku Mansoer Adil Mansoer. http://www.lenteratimur.com/author/tengku-mansoer-
adil-mansoer di Belanda dalam bahasa Belanda dan diterjemahkan ke dalam Bahasa
Melayu/Indonesia oleh Anna Kharisma dari Sastra Belanda Universitas Indonesia.

135
Kedekatan sultan dengan Belanda ini dijadikan alasan untuk
mempersamakan sultan dengan Belanda. Sewaktu Wilhelmina (Ratu
Belanda) datang ke Medan, raja-raja ini senang, dan sultanlah sebagai
ketua panitia penyambutan. Meskipun peristiwa ini terjadi sebelum
Indonesia merdeka, namun ingatan orang masih segar tentang peristiwa
tersebut, dan komunitas ini menjadikannya sebagai konsumsi politis untuk
menuduh sultan-sultan ini adalah orang yang tidak menginginkan
kemerdekaan, karena dia dituduh sebagai pihak pendukung Belanda untuk
tetap menjajah Indonesia. Pengkondisian seperti ini membuat posisi
kesultanan ini dalam keadaan sulit, dan tidak bisa membela diri, bahkan
tidak memiliki kesempatan untuk membela diri.4

Foto Revolusi Sosial di Kesultanan Langkat5

C. Kontribusi Kesultanan Langkat dalam Penguatan Ke-


Indonesia-an
Kontribusi Kesultanan Langkat dalam Penguatan Ke-Indonesiaan dapat
disebutkan beberapa hal sebagai berikut:

4
Hasil wawancara dengan Zainal AK di rumahnya pada hari Rabu tanggal 15 Agustus
2018 di rumahnya.
5
http://beritasumut.com/peristiwa/Mengenang-70-Tahun-Revolusi-Sosial-Sumatera-
Timur

136
1. Proklamasi Kemerdekaan
Tidak benar tentang adanya pandangan segelintir orang yang
mengatakan bahwa Kesultanan Langkat berpihak kepada Belanda dalam
mempertahankan penjajahannya di Indonesia. Sejarah memperlihatkan
bahwa Kesultanan Langkat memang dekat dengan pihak kolonial Belanda,
namun kedekatan tersebut tidak dapat dimaknai sebagai bentuk dukungan
Kesultanan Langkat kepada Belanda supaya mereka tetap menjajah
Indonesia. Kedekatan tersebut hanyalah sebatas kerjasama dagang dalam
bidang perminyakan dan perkebunan yang terbangun dalam kurun waktu
yang cukup lama selama ini. Kedekatan tersebut adalah suatu keharusan
yang harus dilaksanakan, dengan pertimbangan;
a. Tidak dapat dipungkiri bahwa Belanda sudah berkuasa di Indonesia ini
sejak masa yang lama (3 1/2 abad), dan mereka adalah negara kuat,
karenanya tidak mudah untuk mengusir dan mengalahkan mereka.
b. Indonesia saat itu belum berdiri, sementara kekuasaan yang ada adalah
terdiri dari kekuasaan kerajaan-kerajaan yang otonom tersebar di
seluruh daerah Indonesia, maka pihak kerajaanlah yang dapat bertindak
waktu itu untuk memikirkan kesejahteraan rakyatnya.
c. Rakyat Indonesia waktu itu masih berada dalam ketertinggalan dan
kebodohan, karenanya tidak mampu untuk mengolah sendiri hasil
tambang dan hasil buminya, karenanya diperlukan kerja sama dengan
pihak lain.
d. Belanda saat itu adalah negara yang sudah maju, pemilik ilmu
pengetahuan yang tinggi dan pemilik alat-alat teknologi yang canggih,
karenanya mereka mampu mengolah sumber daya alam yang ada di
Indonesia ini, seperti perminyakan dan pertanian.
e. Belanda pantas diterima sebagai mitra dalam mengelola sumber daya
alam Indonesia dengan ketentuan bagi hasil yang berimbang, karenanya
pihak Kesultanan memperoleh keuntungan yang dipergunakan untuk
kepentingan kesultanan dan kemakmuran rakyatnya.
f. Atas pertimbangan tersebut maka pantas dibangun kemitraan, dalam
rangka kerjasama yang langgeng, dan saling menguntungkan.

137
Kemitraan Belanda dengan Kesultanan Langkat tidak terkait dengan
masalah politik. Tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran Belanda ke
Indonesia adalah dalam rangka politik, yaitu untuk melakukan penjajahan,
menguras hasil kekayaan Indonesia semaksimal mungkin untuk dibawa
kenegaranya, dan menguasai Indonesia. Berbeda halnya dengan
Kesultanan Langkat sebagai orang Indonesia yang lahir, hidup, besar, dan
akan mati serta dimakamkan di Indonesia, pastilah cinta terhadap tanah
tumpah darahnya sendiri. Kesultanan Langkat memiliki nasionalisme yang
kuat, dan hal itu diterjemahkan dalam nuansa kebaikan dan kemajuan
Kesultanan Langkat yang berbeda dengan tafsiran segelintir orang yang
tidak sepaham dengannya.
Pihak Kesultanan Langkat sependapat dengan rakyat Indonesia dalam
menperjuangkan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Hal ini dapat dilihat
pada peristiwa-peristiwa beriku:
a. Kesultanan Langkat menyerahkan kekuasaannya kepada pemerintah
Indonesia
Pada saat terjadi Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (RI),
Kesultanan Langkat mendukung sepenuhnya terhadap Pemerintah RI. Demi
eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sangat diharapkan
dan telah lama ditunggu kehadirannya tersebut, kesultanan langkat
menyerahkan kekuasaannya kepada Pemerintah Indonesia. Gelar
kesultanan pada Kesultanan Langkat memang tetap ada dan berlangsung
terus, tapi sejak saat ini dia tidak memiliki kekuasaan lagi, karena kekuasaan
tersebut telah diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia. Berlaku
situasi “Kesultanan tanpa Kekuasaan (Raja tanpa kerajaan dan rakyat).”

b. Kesultanan Langkat Membantu Pemerintah Indonesia


Di samping dukungan moril, Kesultanan Langkat memberi dukungan
materil kepada Pemerintah Indonesia. Sultan Mahmud sebagai sultan yang
secara resmi menjabat pada Kesultanan Langkat saat itu membantu
Pemerintah Indonesia sebanyak 10.000 Gulden untuk keperluan modal
dalam perjuangan. Meskipun Indonesia sudah dimerdekakan, namun upaya
perjuangan yang besar masih sangat dibutuhkan karena suasana belum

138
kondusif, dan pihak Belanda pun masih banyak berkeliaran di Indonesia,
bahkan isu akan kembalinya Belanda pun masih muncul. Bantuan ini sangat
bermanfaat bagi Pemerintah untuk memperkokoh perjuangannya dalam
mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang baru
diproklamirkan.

2. Bahasa Indonesia
Jauh sebelum Indonesia merdeka rakyat Indonesia telah memiliki
perasaan dan sikap nasionalisme yang sama. Meskipun Indonesia terdiri
dari kepulauan yang terpisah-pisah antara satu sama lain, bahkan
berjauhan, juga memiliki pluralitas suku bangsa dan agama yang jumlahnya
cukup banyak dan berbeda-beda, namun rakyat Indonesia bersatu dalam
komitmen kebersamaan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Hal
ini terlihat secara jelas pada komitmen; tanah air, bangsa, dan Bahasa
Sumpah Pemuda yang diikrarkan tanggal 28 Oktober 1928, sebagai berikut;

Pertama: Kami putra dan putri Indonesia, mengakui bertumpah darah


yang satu, tanah air Indonesia.
Kedua: Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu,
bangsa Indonesia.
Ketiga: Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan,
bahasa Indonesia.

Salah satu dari 3 (tiga) poin Sumpah Pemuda tersebut, yakni poin
ketiga adalah tentang bahasa. Secara jelas terlihat dalam redaksinya
berbunyi; “Ketiga: Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa
persatuan, bahasa Indonesia.” Meskipun bangsa Indonesia memiliki jumlah
bahasa suku masing-masing yang berbeda dan jumlahnya cukup banyak,
namun rakyat Indonesia bersatu pada bahasa, yaitu menjadikan Bahasa
Melayu menjadi Bahasa Indonesia.
Kesultanan Langkat dipahami memiliki andil besar dalam penetapan
Bahasa Melayu untuk dinyatakan sebagai Bahasa Indonesia secara resmi.
Dalam kenyataan yang ada sampai saat ini Bahasa Melayu ini dinyatakan

139
sebagai Bahasa Nasional bangsa Indonesia. Meskipun para pejuang
kemerdekaan itu banyak dari berbagai penduduk Nusantara dan sangat
sedikit yang berasal dari dari Langkat, proklamator kemerdekaan RI. Bukan
suku Melayu, Presiden RI. Tidak pernah dari suku melayu, suku terbanyak
di Indonesia ini juga bukan suku Melayu, tapi Bahasa yang dinyatakan
sebagai Bahasa resmi Negara Indonesia itu adalah Bahasa Melayu.
Meskipun perannya tidak diketahui secara jelas, saat proses Sumpah
Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 itu berjalan, Amir Hamzah ikut
bergabung di sana. Amir Hamzah dinyatakan baru berusia 16 tahun atau
17 tahun. Artinya ia memang masih dalam usia belia sebagai seorang
pemuda yang sudah mulai ikut dalam pergerakan-pergerakan yang ada di
Pulau Jawa, dia pada waktu itu memiliki status sebagai pelajar, dan sedang
berada atau menetap di Solo. Sewaktu diadakan “Kongres Bahasa”, Amir
Hamzah diketahui sebagai ketua panitia karena waktu itu dia sedang
menjabat sebagai “Ketua Indonesia Muda” di Solo. Diperkirakan Amir
Hamzah sebagai seorang sastrawan turut menyarankan supaya bahasa
Melayu itu dinyatakan sebagai bahasa Indonesia, dan kawan-kawannya,
seperti Armin Pane, Sanusi Pane, Rustam Efendi, dan yang lainnya, turut
mendukung sarannya tersebut.
Berikutnya dipahami bahwa bahasa Melayu ini sudah dikenal dan
memasyarakat di kalangan bangsa Indonesia. Seiring dengan selat Malaka
sebagai lalu lintas pelayaran internasional yang terbilang sibuk dari sejak
jaman kolonial Belanda di Indonesia, maka bahasa yang digunakan di sini
adalah bahasa Melayu, misalnya Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand
dan sebagainya. Dari aspek penggunaannya dapat dikatakan bahwa bahasa
Melayu itu sebagai penyumbang bahasa yang signifikan secara nasional.
Waktu itu bahasa Melayu (Indonesia) lebih top dibanding dengan bahasa
Jawa, atau Bahasa-bahasa suku lainnya di Indonesia, maka dalam
perbincangan kongres Bahasa tersebut pun mudah menggolkannya.
Di samping kesadaran penggunaan bahasa Melayu ini lebih
memasyarakat di Indonesia maka peran Amir Hamzah turut mempengaruhi
pensuksesan ide dan tercapainya kesepakatan bahwa bahasa Melayu itu
menjadi bahasa Indonesia. Jumlah orang pada komunitas tersebut lebih

140
banyak orang Jawa, dan jumlah penduduk pun lebih banyak orang Jawa,
konsentrasi pergerakan perjuangan pun lebih terlihat ada di Pulau jawa,
bahkan jumlah tokoh-tokoh Indonesia Muda pun lebih banyak orang Jawa,
namun peran Amir Hamzah sebagai seorang ahli bahasa ini dipahami
memiliki nilai tambah untuk meyakinkan publik dalam mensukseskan ide
bahasa Indonesia resmi tersebut.
Jika penetapan Bahasa Melayu ini menjadi bahasa Indonesia dianalisis,
maka hal ini bisa dilihat dari berbagai sudut pandang, di antaranya;
Berdasar Sensus Penduduk (SP) tahun 2010, dinyatakan ada sebanyak
1.320 suku bangsa di Indonesia. Penduduk Indonesia yang tersebar luas
sejak dari Sabang sampai Merauke, dan dari Miangas sampai Pulau Rote
(Sabang sebagai daerah terbarat, Merauke sebagai daerah paling Timur,
Miangas sebagai daerah terdepan dan Pulau Rote sebagai daerah terluar
Indonesia) dengan pluralitas penduduk dalam aspek suku bangsa ini telah
bersepakat membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sungguh luar biasa ternyata kebhinekaan Indonesia telah teruji sampai
saat ini.
Pluralitas suku bangsa ini menjadi sangat menakjubkan lagi di saat
diketahui bahwa di dalamnya juga terdapat keanekaragaman bahasa.
Indonesia ternyata adalah negara kedua dengan jumlah bahasa daerahnya
terbanyak di dunia, yaitu 742 bahasa, sementara negara terbanyak pertama
ditempati oleh Papua Nugini dengan bahasa daerah sebanyak 867 bahasa.
Sungguh benar bahwa bahasa daerah Indonesia itu cukup kaya, meskipun
ada kemiripan antara satu sama lain, yang pasti semunya dapat dibedakan
dan dapat diidentifikasi.
Sekedar contoh, penyebutan bahasa Daerah dalam suku bangsa yang
ada di Indonesia ini dapat dikemukakan pada ungkapan “Apa Kabar ?”6
Dari aspek jumlah penduduk jumlah suku bangsa dihubungkan kepada
jumlah bahasa baerah serta persentasenya terlihat tidak ada perimbangan
antara satu sama lain di Indonesia. Hal ini dapat dilihat sebagai berikut;
6
Peu Haba? Boa Kaba? Kengken Kabare? Ahado Kabar? Aga Kareba? Berembe Kabare?
Teembe Bawo Mui? Kayapa Habar? Hapa Bilita? Walolo Habari? Umba Susi Kareba? Narai
Kabar? Piye Kabare? Dha~ramma Kabara? Kune Kebar? Kumaha Damang? Nuapa Karena?
On Me?

141
Jumlah dan Persentase Suku Bangsa di Indonesia

Jika hal ini kita analisis maka akan terlihat bahwa komposisi jumlah
suku Melayu terbilang kecil, namun bisa mendominasi tampilnya bahasa
Melayu menjadi bahasa resmi Indonesia. Jumlah suku Melayu di Indonesia
terbilang kecil, yaitu 5.365.399, setara dengan 2,27 % penduduk Indonesia,
namun bahasanya diterima menjadi bahasa Nasional Indonesia, sementara
ada suku yang jumlah penduduknya jauh lebih besar, seperti suku Jawa,
Sunda, dan Batak, tapi tidak diakomodasi bahasanya untuk menjadi bahasa
nasional seperti terlihat pada tabel di atas.

142
Dari aspek jumlah penduduk dihubungkan kepada jumlah bahasa yang
dimiliki padanya ternyata tidak memiliki keseimbangan. Dari total 742 jumlah
bahasa daerah yang ada di Indonesia ini ternyata untuk masyarakat
penduduk pulau Jawa sebagai jumah penduduk terbanyak, yaitu 123 juta
penduduk, hanya memiliki bahasa daerah yang tidak lebih dari 20 (dua
puluh) bahasa. Berbeda halnya dengan daerah Papua Barat yang jumlah
penduduknya hanya 2 (dua) juta saja, tetapi mempunyai bahasa yang
cukup banyak, yaitu 271 bahasa. Indikasi yang muncul adalah semakin
banyak penduduk akan semakin kecil jumlah bahasanya, tetapi semakin
sedikit jumlah penduduk menjadi semakin banyak jumlah bahasanya.

3. Sastra Indonesia
Dinamika perkembangan sastra Indonesia turut diramaikan oleh putra
Kesultanan Langkat, Tengku Amir Hamzah. Ia dikenal dengan “Raja Penyair
Melayu”. Dari aspek asal usul, beliau terlahir dari keturunan bangsawan
Melayu. Oleh HB Jassin (1986), atas kepiawiannya dalam bidang sastra ini
memberi julukan kepadanya dengan “Raja Penyair Pujangga Baru”.
Diketahui bahwa sejak usia Amir Hamzah menginjak 19 tahun, tepatnya
pada tahun 1930, puisinya sudah mulai diterbitkan di media.7
Sesuai latar belakang daerahnya, terkadang karya-karyanya
dipandang terlalu Melayu. Para kritikus sastra memberi banyak tanggapan
kepadanya, di antaranya pandangan tentang karya-karyanya dinilai kurang
moderen akibat konten yang sarat dengan muatan melayu tersebut. Hal
ini sangat terasa bila dibanding dengan sastrawan lain, seperti Chairil
Anwar. Amir Hamzah, di mana dia sering terkooptasi dengan ke-
Melayuannya, sementara ke-Indonesiaannya terkurangi.Teeuw (1979)
memberi julukan kepadanya sebagai “penutup tradisi Melayu” kurang
mendukung terhadap prestasinya untuk terkategori sebagai penyair modern.
Berbeda halnya dengan apresiasi Chairil Anwar (1945) sendiri yang
memandang “Melayunya” bahasa puisi Amir Hamzah bukan sebagai
kekurangan kepadanya, tetapi justru sebagai kelebihan dan kekuatannya

7
Kratz, E. Ulrich, New Poem By Amir Hamzah, (Indonesia Circle 21: 1980), hlm. 263

143
sebagai seorang penyair. Dia sangat kagum terhadap puisi-puisi Amir
Hamzah tersebut. A.H. Johns juga merasakan dengan peka dan menaggapi
secara sensitif tentang kemelayuan Amir Hamzah dalam karya-karyanya
ini. Hal ini dituliskannya pada karyanya dengan judul; “Amir Hamzah, Malay
Prince, Indonesia Poet”. Di sini dia dengan jelas membedakan Amir Hamzah
yang seorang suku Melayu dengan seorang penyair yang berbahasa Melayu
Indonesia.8
Dalam dinamika Pujangga Baru yang tercatat selama 9 (Sembilan)
tahun, puncaknya adalah Amir Hamzah dengan menyodorkan prosa lyris,
sajak-sajak lepas, 2 (dua) ikatan sajak; “Buah Rindu”, Nyanyian Sunyi”,
Salinan dari banyak sastrawan timur yang kesohor, dipadukannya pada
“Setanggi Timur”. Sebagai analisis dari teman segenerasinya, mereka
mengatakan Amir Hamzah diperkirakan dipengaruhi oleh penyair-penyair
sufi, dan Parsi. Khusus pada “Nyanyian Sunyi”, dia telah meneriakkan sajak-
sajak dengan bahasa yang murni dan baru, dengan ciri khasnya yang
lebih bebas dan leluasa, kalimatnya padat, kritikannya tajam, sehingga
bersinar cemerlang bagi munculnya gerakan bahasa puisi baru. Komposisi
seperti ini menjadikan puisi-puisinya berbeda dengan tradisi bahasa puisi
lama.
Para pengamat puisi Amir Hamzah, di samping memberi masukan,
juga menyadari betapa totalitasnya Amir Hamzah pada kedalaman rasa
individualitasnya, dan kepekaan batin yang sangat sensitif, serta religiusitas
yang dimilikinya. Hal ini dapat dicontohkan pada konten sifat religiusitas
yang ditampilkan seperti ditulis oleh Md. Salleh Yaafar (1995) setelah
menelitinya dengan pendekatan kebahasaan. Namun di sisi lain, terdapat
perbedaan di antara ilmuan sastra ini, dalam pengkategorian puisi-puisi
Amir Hamzah tersebut untuk dinyatakan sebagai puisi yang sarat menukil
tentang “percintaan duniawi” semata, atau juga sebagai “percintaan
seorang sufi dengan Tuhannya. Sehingga mendekatkan hubungan yang
fana dan baqa sebagai sesuatu yang wajar serta dapat terjadi atau sesuatu

8
Teeuw, A, Modern Indonesia Literature, (The Hague: 1979, Martinus Nijhoff
(Terjemahan KITLV, 10), Edisi I, 1967), hlm. 103.

144
yang dikhotomis di luar nalar dan sulit untuk dipersentasikan.9 Amir Hamzah
tidak dapat dipungkiri sebagai sastrawan besar yang telah mengukir
prestasi pada pentas sejarah di masanya.

4. Penyumbang Tokoh Nasional dan Internasional


Ada banyak tokoh nasional dan internasional yang pernah punya akses
dengan Langkat, di antaranya adalah:
a. Amir Hamzah

Amir Hamzah

Gelar Pahlawan Nasional diberikan kepada Amir Hamzah setelah


Presiden mengeluarkan SK Nomor 106/TK/Tahun 1975 tanggal 3 November
1975, tentang Penetapan Gelar Pahlawan Nasional.
Pada konsideran Menimbang disebutkan: Bahwa untuk menghargai
tindak kepahlawanannya yang cukup mempunyai mutu dan nilai perjuangan
dalam suatu tugas perjuangan untuk membela Negara dan Bangsa, perlu
menganugerahkan/menetapkan Gelar Pahlawan Nasional kepada mereka
yang namanya tersebut dalam Lampiran Surat Keputusan ini.
SK Presiden tersebut merujuk kepada Surat Menteri Sosial RI/Ketua
Badan Pembina Pusat No. K. 286/BPPP/X/74 tanggal 25 Oktober 1974 dan
surat No. L. 238/BPPP/IX/1975 tanggal 9 September 1975, tentang Usul
9
Alisjahbana, Sutan Takdir, Amir Hamzah Penyair Besar Antara Dua Zaman dan Uraian
Nyanyi Sunyi, (Jakarta:1979, Dian Rakyat), hlm.12.

145
Penganugerahan/Penetapan Gelar Pahlawan Nasional kepada Sultan Agung
Angyokrokusumo dkk (3 orang).
Sebelum SK tersebut, tampaknya penting juga nilai sebuah surat dari
Duta besar RI di Prancis dan Spanyol Letjen TNI A. Tahir kepada Sekjen
Departeman Sosial/Ketua Harian Badan Pembina Pahlawan Pusat. Surat
tanggal 24 Februari 1975 itu menjawab surat tertuju tanggal 31 Januari
1975. Isi balasan surat itu menyatakan Amir Hamzah bukan dan tidak
pernah menjadi kaki tangan CVO. Daerah Langkat di mana Amir Hamzah
tinggal adalah daerah de facto RI, dan belum dimasuki Belanda. Yang
dimaksud CVO mungkin adalah Centrale Verkooporganisatie van
Ondernemings land bouw producten, yang dibentuk dengan Ordonantie
Staatsblad 1947 No. 140 tanggal 4 Agustus tahun 1947. Ini semacam
organisasi yang menagih dan menyelesaikan utang dari Belanda.
Sebagaimana dimaklumi, pada waktu itu saya adalah pemimpin
perjuangan kemerdekaan di Sumut dan Komandan Tentara. Jadi dalam
ingatan saya Tengku Amir Hamzah bukan seorang pengkhianat perjuangan,
ujar Letjen A Tahir.10 Sampai tahun 2010, ada 156 orang yang dinyatakan
sebagai pahlawan Nasional di Indonesia, maka salah satu dari mereka
adalah Amir Hamzah. Hal ini terlihat pada daftar nama Pahlawan Nasional
yang dirilis oleh Kementerian Sosial pada bulan Januari 2010, dan diakses
pada tanggal tanggal 7 November 2012. Nama Amir Hamzah terdapat
pada urutan ke 86, dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional sesuai Kepres
Nomor: 106/TK/1975 yang ditetapkan pada tanggal 3 Nepember 1975.11
Sebagaimana layaknya Pahlawan Nasional, Nama Amir Hamzah dikenal
bukan hanya di Langkat, dan Indonesia tetapi juga di Belanda dan tingkat
internasional. Di samping Amir Hamzah telah turut membesarkan
Kesultanan Langkat, ia juga turut meramaikan karya sastra Indonesia,
dan juga Pergerakan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Semua ini

10
https://narakata.com/2017/04/16/pernah-diusulkan-menjadi-pahlawan-nasional-
amir-hamzah-diangkat-chairil-ditolak/, dan juga
11
https://min.wikipedia.org/wiki/Pahlawan_Nasional_Indonesia.,diakses pada tanggal
23 Agustus 2018.

146
membuat namanya dikenal banyak orang, sekaligus menjadikannya sebagai
tokoh nasional.
Nama lengkapnya adalah Tengku Amir Hamzah Pangeran Indera
Putera. Ia lahir pada tanggal 28 Pebruari 1911 di kota kecil tanah Melayu
yang bernama Tanjung Pura Kabupaten Langkat Sumatera Utara, ayahnya
bernama Tengku Haji Adil dengan gelar Tengku Pangeran Bendhara Paduka
Raja yang merupakan anak saudara Sultan Langkat yang tuan Sultan Abdul
Aziz Abdul Jalil Rahmadsyah.
Semasa kecil Amir Hamzah belajar di Langkat, kemudian dilanjutkan
ke Pulau Jawa. Pertama sekali, dia belajar di Sekolah Rendah, setelah itu
yang dalam istilah Belanda disebut Hollands Inlandse School (HIS) di Tanjung
Pura Langkat, setelah tamat dilanjutkannya ke Sekolah Menengah Tingkat
Pertama Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di kota Medan, belum
tamat dari sekolah ini, dia pindah ke MULO yang ada di ibu kota, Jakarta.
Sesudah menyelesaikan studinya di tempat tersebut, pada tahun 1930 dia
melanjutkannya ke Sekolah Menengah Tingkat Atas Algemeene Middelbare
School (AMS) di Kota Solo. Kemudian direncanakan akan dilanjutkan ke
Sekolah Hakim Tinggi di Jakarta, namun untuk yang terakhir ini belum
sampai dilaksanakan karena dia segera pulang untuk memenuhi panggilan
Sultan Langkat, karena dia akan dinikahkan dengan seorang putri sulung
raja tersebut yang bernama Tengku Puteri Kamaliah. Dengan hal ini Amir
Hamzah kembali meninggalkan Pulau Jawa.
Semasa di Surakarta, Amir Hamzah menjalin hubungan cinta dengan
seorang teman kelasnya Ilik Sundari. Kedua insan ini saling mencintai,
bahkan sewaktu Amir Hamzah sudah berada di Jakarta pun dalam rencana
melanjutkan studi ke Sekolah Hakim Tinggi, mereka masih jalan terus
dekat. Akhirnya percintaan ini kandas sewaktu Amir Hamzah pulang untuk
memenuhi panggilan Sultan Langkat, tinggal menetap di Langkat, dan
akhirnya menikah di sana.
Amir Hamzah mulai berkarya sejak masih masa remaja. Banyak dari
karyanya tidak mencantumkan tanggal, namun dapat diperkirakan bahwa
yang paling awal itu adalah sewaktu dia berangkat pertama sekali ke pulau
Jawa. Hal ini dikenal dan berpengaruh pada karyanya yang tercermin dari

147
latarbelakangnya; Melayu asli sebagai sukunya, Islam sebagai
agamanya, Kekristenan yang hidup berdampingan dengannya dan ciri
khas Sastra Timurnya. Ia telah menulis sekitar 50-an puisi, yang terdiri
dari 18 buah kategori puisi prosa, dan selebihnya sebagai karya lain,
termasuk di dalamnya beberapa terjemahan. Pada tahun 1932 bersama
teman-teman yang lain, ia turut berperan mendirikan majalah
sastra Poedjangga Baroe. Lewat majalah ini, ia banyak mengaktualisasikan
dirinya, Banyak dari puisi-puisinya diterbitkan dalam dua koleksi besar,
yaitu; “Nyanyi Sunyi” pada tahun 1937 dan “Buah Rindu” pada tahun 1941.
Semua karya ini dimuat pada Poedjangga Baroe, belakangan diterbitkan
menjadi sebuah buku.
Kepulangan Amir Hamzah sekaligus turut memperkokoh Kesultanan
Langkat. Mengawali kariernya, ia mulai diberi jabatan Pembantu Setia
Usaha di Pejabat Kesultanan Langkat di Tanjung Pura, setelah beberapa
bulan mengabdi di sana dan mulai menimba ilmu dan pengalaman tentang
pengelolaan dan siyasah Kesultanan Langkat maka dia pun dinikahkan
dengan Tengku Puteri Kamaliah yang diselenggarakan dalam upacara adat
kebesaran kerajaan yang cukup meriah, sekaligus pada saat itu beliau
dianugerahi gelar kebangsawanan “Tengku Pangeran Indera Putera” secara
langsung dikukuhkan oleh Sultan Langkat. Saat ini Amir Hamzah sudah
mulai menjadi birokrat kesultanan.
Karier Amir Hamzah dengan cepat melejit. Tak lama setelah
melangsungkan pernikahan, Amir Hamzah pun diberi kepercayaan baru
dan dilantik menjadi Wakil Kepala Luhak Langkat Hilir di Tanjung Pura,
kemudian dinaikkan lagi jabatannya menjadi Kepala Luhak Teluk Haru di
Pangkalan Brandan, dia senantiasa berada pada posisi jabatan penting,
sampai pada jabatan terakhirnya sebagai Kepala Luhak Langkat Hulu.
Kesultanan Langkat sangat mengapresiasi kehadirannya pada pengelolaan
kesultanan.
Karier Amir Hamzah cukup cemerlang, namun usianya tidak terlalu
panjang. Setelah Indonesia merdeka terjadilah gerakan Revolusi Sosial
yang merata di seluruh daerah Indonesia. Gerakan ini terindikasi
ditunggangi oleh komunisme secara terselubung, mereka sukses menggaet

148
hati rakyat dengan membawa slogan anti kolonial Belanda. Secara umum
Belanda telah kalah, lebih jauh mereka berhasil juga menciptakan kebencian
terhadap pihak-pihak yang bersahabat dengannya, dalam hal ini
termasuklah sultan-sultan yang ada di Indonesia Timur. Dengan mudah
gerakan ini menyatu bersama rakyat menggelinding dengan sangat
kejamnya menghancurkan kesultanan dan semua simbol-simbol yang ada
padanya. Gerakan ini dengan sangat mudah menghancurkan seluruh
kesultanan yang ada di Indonesia Timur pada tanggal 3 Maret 1946. Dalam
hal ini tidak terkecuali Kesultanan Langkat yang di dalamnya ada Amir
Hamzah. Amir Hamzah pun meninggal dunia pada masa ini.
Amir Hamzah wafat dengan sangat tragis. Tanggal 4 Maret 1946,
terdengar nyaring himbauan kelompok pemuda sembari masuk istana,
bendera kerajaan diturunkan, lagu “Darah Rakyat” menggema, secara serta
merta mereka merusak ruangan istana kerajaan, sementara petinggi
Kesultanan Langkat hanya terdiam membiarkan saja barisan gerakan yang
mengatasnamakan rakyat itu berbuat semaunya. Dalam saat yang singkat,
istana Kesultanan Langkat itu menjadi puing dan rata dengan tanah.
Langkah berikutnya adalah penangkapan sultan, dan keluarga,
termasuk Amir Hamzah. Mereka dituduh telah bersekongkol dengan
penjajah Belanda, lalu mereka ditangkap satu persatu. Penangkapan ini
terjadi pada tanggal 7 Maret 1946 oleh Laskar yang menamakan diri dengan
Laskar Pesindo, Amir Hamzah diciduk dan diangkut dengan mobil pick up
dan dibawa ke Jalan Bonjol Binjai, kemudian dibawa lagi ke Kuala Begumit.
Untuk sementara waktu, di tempat inilah mereka dikumpulkan dan menjadi
tahanan.
Areal Kuala Begumit inilah menjadi saksi bisu tentang betapa kejamnya
Tentara Rakyat Revolusi Sosial ini menghabisi nyawa Amir Hamzah. Pakaian
Amir Hamzah dilucuti dan diganti dengan goni, dia dan tahanan lainnya
disuruh menggali lubang yang akan menjadi kuburan mereka sendiri, satu
persatu mereka ditutup matanya, dan tangannya diikat kuat ke belakang.
Oleh algojo Mandor Iyang Wijaya, pelatih kesenian dan silat kuntau di
Istana Langkat kesayangan Amir Hamzah bertindak menjadi eksekutor
mereka, dan ia telah bersiap untuk menghabisi mereka semua.

149
Sebelum menjalani eksekusi Amir Hamzah memiliki dua permintaan
yang seraya serta merta mereka kabulkan. Pertama, ia meminta supaya
tutup matanya dibuka karena dia ingin menghadapi ajalnya dengan mata
terbuka. Kedua, ia mohon diberi waktu untuk menunaikan salat terlebih
dahulu. Usai permintaan ini dikabulkan, maka Amir Hamzah sang Pujangga
legendaris itu pun telah tiada, karena ajal telah datang menjemputnya,
kepalanya putus terpisah dari bandannya. Akhirnya dia menghembuskan
nafas terakhir, dan tutup usia pada umur 35 tahun.
Indikasi kuat memperlihatkan bahwa kuburan massal di tempat
eksekusi adalah tempat bersemayamnya Amir Hamzah bersama para
keluarga Kesultanan Langkat. Pada bulan Nopember 1949, ada inisiatif
penggalian kembali kuburan massal di Kuala Begumit tersebut. Seorang
dari mereka diperkirakan adalah kerangka Amir Hamzah, sebuah cincin
emas bermata nilam, berwarna bunga kecubung, dan sebuah jimat yang
terbuat dari benda timah milik Amir Hamzah yang ada padanya menjadi
petunjuk kuat bahwa ini adalah benar kerangka Amir Hamzah. Sewaktu
dilakukan pemeriksaan perkara di pengadilan, Mandor Iyang Wijaya
mengaku perbuatannya telah melakukan pemancungan atas leher puluhan
manusia di Kuala Begumit, di antara mereka termasuk Amir Hamzah.
Selanjutnya kerangka Amir Hamzah pun dibawa ke Tanjung Pura, diurus
secara layak berdasar agama Islam, dan dimakamkan di sebelah Masjid
Azizi Tanjung Pura, Langkat, bersebelahan dengan makam ibu dan
bapaknya.

b. Adam Malik
Adam Malik adalah seorang peraih gelar Pahlawan Nasional. Gelar ini
diberikan kepadanya tanggal 6 Nopember tahun 1988 sesuai Keppres Nomor
107/TK/1998. Dalam rilis Kementerian sosial terdapat nama beliau pada
urutan 105 dari 156 Pahlawan Nasional yang ada sampai tahun 2010.
Meski bukan kelahiran Langkat, namun Adam Malik Batubara
diperkirakan pernah belajar di Langkat. Dikabarkan bahwa Adam Malik
adalah seorang yang pernah bersekolah di Langkat miliknya Sultan Langkat,
dia diakui seorang santri yang cerdas dan memiliki akhlak mulia. Suatu

150
ketika sewaktu ia hendak menjadi Wakil Presiden, dia kampanye dan datang
ke Langkat untuk menjumpai beberapa orang tokoh, termasuk guru-gurunya
untuk meminta restu, di sana dia bertemu dengan Haji Abdurrahim (gurunya
sewaktu bersekolah di sana pada Madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah).
Bukan hanya pada waktu itu saja, jauh sebelumnya pun ia sudah sering
menjumpai Haji Abdurrahim tersebut. Ia termasuk pihak yang turut
membela Imaduddin saat ditahan oleh Pihak yang berwajib atas perintah
Pangkomkamtib Sudomo karena ceramah-ceramahnya yang dianggap
menyimpang.
Nama lengkapnya adalah H. Adam Malik Batubara, lahir di
Pematangsiantar, Sumatera Utara pada 22 Juli 1917 M., dan wafat di
Bandung, Jawa Barat pada 5 September 1984 M., pada usia 67 tahun. Ia
pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri, dan juga pernah menjadi
Wakil Presiden Republik Indonesia yang ketiga. Atas pengabdiannya yang
paripurna di negara ini, maka ia dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional
Indonesia lewat Keppres Nomor 107/TK/1998 pada tanggal 6 November
1998.
Adam Malik adalah anak ketiga dari seorang pengusaha kaya Abdul
Malik Batubara dengan ibunya Salamah Lubis. Semasa kecil, Adam Malik
bersekolah di Hollandsch-Inlandsche School di Pematang Siantar. Kemudian
ia melanjutkan sekolahnya ke Madrasah Sumatera Thawalib Parabek
di Bukittinggi.

c. Anak Cucu Keturunan Kesultanan Langkat (Tokoh Internasional)


Salah seorang dari cucu Sultan Musa menjadi tokoh internasional.
Dikabarkan bahwa Sultan Slangor Malaysia memiliki silsilah dari Sultan
Musa, yaitu melalui perkawinana dari salah seorang cucu sultan Musa.
Dahulu pernah terjadi, seorang dari Sultan Slangor meminang anak
perempuan dari Sultan Aziz, lalu mereka menikah, dan dari sinilah lahir
anak cucu dan keturunan Sultan Musa yang bertempat tinggal di Slangor.
Anak cucu serta keturunan Sultan Musa yang hidup pada Kesultanan Slangor
ini pun ada yang menjadi sultan pada Kesultanan Slangor tersebut untuk
menggantikan kedudukan ayahnya.

151
Demikian juga halnya dengan Kesultanan Kedah, dan Perak. Lewat
perkawinan anak cucu kedua kesultanan ini dengan anak cucu Kesultanan
Langkat menjadikan keturunan Kesultanan Langkat ada pada Kesultanan
Kedah dan Perak Malaysia. Sampai saat ini hubungan anak cucu Kesultanan
Langkat dengan Malaysia tertutama Slangor, Kedah, dan Perak masih
memiliki kedekatan.
Sewaktu terjadi revolusi sosial di Langkat maka keturunan raja-raja
Melayu Langkat ini banyak yang berlindung ke Malaysia. Sewaktu api gelora
revolusi sosial membakar habis Kesultanan Langkat, banyak dari pihak
keluarga yang melarikan diri ke Malaysia, mereka menetap dan berlindung
di sana. Kesultanan Malaysia ini pun menerima dan melindungi mereka
dengan baik. Sampai sekarang, mereka dan keturunan mereka berintegrasi
pada Kerajaan yang ada di Malaysia.
Indikasi pertemuan silsilah ini terlihat pada pertemuan budanyanya.
Masjid besar yang ada di Kedah mirip dengan masjid raya Azizi yang ada
di Tanjung Pura. Baik bentuk, demikian juga dengan karya seni yang ada
pada masjid tersebut memperlihatkan kedua masjid ini susah dibedakan.
Bedanya hanya pada menaranya, yaitu Masjid Azizi memiliki satu menara,
sementara di Kedah ada empat menara, dan halaman masjid Azizi lebih
luas dari masjid Kedah tersebut. Tidak heran di saat anak-anak Langkat di
bawa ke sana maka mereka berkata bahwa masjid itu (masjid Kedah)
adalah masjid mereka.
Perkawinan menjadi momen pertukaran budaya kedua kesultanan
tesebut. Sewaktu Sultan Aziz meminang anak raja Sultan Kedah, dan
perkawinan pun berlangsung maka pada saat itu juga Sultan Kedah
meminta gambar Masjid Azizi tersebut untuk keperluan rencana
pembangunan masjid Kesultanan yang ada di Kedah. Karya seni masjid
Azizi inipun diadopsi oleh Sultan Kedah dalam pembangunan masjid
kerajaaan Kedah ini. Baik ornament, seni ukir, bentuk dan topokrasi kedua
masjid ini pun terlihat sangat mirip.
Integrasi ini terjadi tidak hanya sebatas perkawinan, tetapi juga migrasi.
Meskipun hubungan keluarga Kesultanan Malaysia dengan Langkat sudah
terasa tipis namun respon positif yang diperlihatkan Kesultanan Malaysia

152
terhadap masyarakat Langkat membuat arus migrasi masyarakat Langkat
ke Malaysia terbilang banyak. Sekarang ini ada banyak sekali masyarakat
asal Langkat yang berdomisili dan menetap di Malaysia (terutama Slangor,
Kedah dan Perak).
Ada upaya untuk memberi kemudahan bagi masyarakat Langkat yang
ada di Slangor oleh pihak kesultanan. Sewaktu informan (Zainak AK) pergi
ke Slangor, oleh sekretaris kesultanan dikatakan, “Tolong carikan dulu tanah
di Langkat sekitar 100 Ha. atau lebih, dengan posisi dekat dengan garis
pantai. Zainal AK. menjawab, Tuanku, untuk apa tanah seluas itu di Langkat.
Dia menjawab, kita akan buat perkebunan, yang akan kita tanami dengan
pohon naga, harga buah naga ini di Malaysia cukup mahal, dan yang paling
luas punya kebun naga ini di Malaysia adalah sekretaris kerajaan yang
meminta dicarikan tanah 100 ha. di Langkat ini, lalu dia mengatakan;
“Kasihan dengan orang Langkat ini, mereka yang banyak bekerja di kebun
naga miliknya orang Langkat, jadi kalau kebun ini kita buat di Langkat
maka mereka tidak perlu jauh-jauh meninggalkan istri, anak, dan
keluarganya untuk datang ke Malaysia ini”. Inilah gambaran perhatian yang
diberikan oleh Kesultanan yang ada di Malaysia kepada masyarakat Langkat.
Dahulu masih ada kunjungan antar kedua keturunan kesultanan ini.
Misalnya setahun sekali, dalam rangka ziarah mereka datang ke Langkat,
bahkan suatu ketika mereka sengaja membawa tim sepak bola ke Langkat
untuk mengadakan pertandingan persahabatan dengan Persatuan Sepak
bola Langkat (PSL) di Langkat. Hal ini selalu dilakukan, namun sekarang
tradisi itu sudah hilang, dan komunikasi pun mulai terputus. Hubungan
batin antar Kesultanan ini masih tetap terasa sampai sekarang ini, namun
wujud implementasinya sudah mulai hilang.

5. Peci Hitam sebagai Pakaian Nasional


Khusus peci hitam dinyatakan sebagai pakaian Nasional adalah berupa
andil dari Kesultanan Langkat. Sewaktu Sumpah Pemuda telah
dipermaklumkan secara umum ke publik, Soekarno waktu itu masih berada
dalam semangat dan hiruk pikuk pergerakan perjuangan kemerdekaan di
sekitar Jakarta dan Solo, maka pada waktu itu diperbincangkan juga tentang

153
“Pakaian Nasional”. Muncul tanggapan bahwa, blankon tak cocok, sorban
tak cocok, waktu itu Amir Hamzah memakai peci hitam, dia sedang berada
di sekitar Bung Karno, lalu Bung Karno tertarik dengan peci hitam yang
dipakai oleh Amir Hamzah, terus Bung Karno menunjuk peci hitam yang
dipakai Amir Hamzah tersebut dan mempertegasnya sebagai pakaian
Nasional yang diikuti dengan penerimaan komunitas yang ada di sana.
Meskipun sederhana, namun peci hitam ala Langkat tersebut telah diakui
oleh bangsa Indonesia sebagai pakaian Nasional.12
Boleh saja ada banyak bentuk peci hitam, akan tetapi peci hitam ala
Kesultanan Langkat lah yang dinyatakan sebagai peci hitam Pakaian Nasional
tersebut. Meskipun sesama peci hitam, namun dalam kenyataan, peci hitam
ini bervariasi bentuknya, hal ini bisa dilihat dari aspek tinggi dan rendahnya,
juga bisa dilihat dari bulat dan ovalnya, bahkan bisa dilihat dari segi pekat
hitam, atau pudar warnanya. Peci hitam Kesultanan Langkat itu memiliki
kekhasan tersendiri.
Belakangan, Bung Karno mensosialisasikan peci hitam pakaian nasional
tersebut. Di samping menyampaikan kepada rekan-rekan sesana kaum
pergerakan pada pertemuan tersebut, peci hitam yang berasal dari
Kesultanan Melayu Langkat ini pun di pakai oleh Bung Karno. Tradisi ini
juga diikuti oleh yang lain, maka dikenal sampai sekarang bahwa peci
hitam itu adalah pakaian Nasional Indonesia.
Saat pelaksanaan Kongres Partai Nasional Indonesia (PNI) tahun 1928,
Soekarno memakai peci hitam dan menganjurkan kepada partainya untuk
mengenakannya. Dalam pidatonya dia menyampaikan; “… Kita memerlukan
sebuah simbol dari kepribadian Indonesia. Peci yang memiliki sifat khas
ini, mirip yang dipakai oleh para buruh bangsa Melayu, adalah asli milik
rakyat kita. Menurutku, marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai
peci ini sebagai lambang Indonesia merdeka.” Sejak itu, Soekarno selalu
mengenakan peci hitam saat tampil di depan publik.
Hal ini sejalan dengan tulisan George Quinn dalam The Learner’s

12
Hasil wawancara dengan Fachruddin Ray di rumahnya pada hari Selasa tanggal 3
Juli 2018.

154
Dictionary of Today’s Indonesia yang mendeskripsikan peci hitam, lalu
mencontohkannya kepada Soekarno. “Soekarno sat in the courtroom
wearing white trousers, a white jacket and a black cap (Soekarno duduk
di depan sidang pengadilan, memakai celana putih, jas putih, dan peci
hitam).”13
Peci hitam sebagai pakaian nasional Indonesia tersebut sudah
terpublikasi di kancah internasional. Hal ini terlihat pada pemberian hadiah
kehormatan oleh Presiden Republik Indonesia kepada Kepala Negara Asing
berupa Peci Hitam. Misalnya, sewaktu Presiden Republik Indonesia
mengadakan kunjungan kenegaraan ke Afganistan pada hari Senin tanggal
29 Januari 2018, setelah terlebih dahulu sudah mendapatkan hadiah berupa
kopiah khas Afganistan, Presiden Joko Widodo pun balik memberikan hadiah
kehormatan kepada Presiden Afganistan berupa songkok atau Peci Hitam
khas Indonesia.14

6. Peninggalan Sejarah
Peninggalan sejarah Kesultanan Langkat yang berfungsi sebagai
kontribusi budaya dan pelajaran sejarah bagi generasi bangsa yang masih
bisa ditemukan sampai saat ini di antaranya adalah:
a) Museum Langkat
Museum ini berdiri pada tahun 1905 pada masa kesultanan Langkat.
Dahulu, museum ini berfungsi sebagai Gedung Kerapatan atau Gedung
Pengadilan. Sebagaimana layaknya Gedung Pengadilan, maka di tempat
inilah persengketaan diajukan, dipaparkan, dan diuji kebenarannya
berdasarkan argumentasi dan keabsahan data pendukungnya, akhirnya
hakim menyimpulkan dan memberi keputusan terhadap setiap persoalan

13
Ditemukan pada memoar, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang
ditulis Cindy Adams., lihat https://travel.kompas.com/read/2014/06/09/1554590/
Presiden.Soekarno. Hadir.di.Madame. Tussauds.Hongkong., didown-load pada hari Minggu
tanggal 2 September 2018.
14
http://jabar.tribunnews.com/2018/01/30/jokowi-hadiahkan-peci-simbol-pejuangan-
sukarno-ke-presiden-afghanistan., didown-load pada hari Minggu tanggal 2 September
2018.

155
yang diajukan kepadanya. Gedung ini menjadi saksi tentang keperdulian
Kesultanan Langkat terhadap penegakan hokum dan keadilan.
Mengingat fungsi Gedung Pengadilan ini sudah tidak maksimal lagi
maka dirubah menjadi museum. Gedung ini sudah tidak difungsikan lagi
sebagaimana layaknya Gedung Pengadilan yang dibutuhkan saat ini, dan
pada tahun 2003 oleh Pemda setempat, gedung ini dirintis untuk menjadi
Musem Daerah. Dengan cara ini Gedung ini tetap fungsuinal dalam bentuk
penggunaan yang lain.
Museum mini ini terletak di jalan Tengku Amir hamzah yang tidak
seberapa jauh dari Masjid Azizi. Bentuk museum ini adalah bulat, dan di
dalamnya terdapat ruangan-ruangan kecil berbentuk segi tiga, yang
dahulunya digunakan sebagai tempat untuk orang-orang yang melakukan
kesalahan sebelum dijatuhi hukumannya. Keberadaan gedung ini dalam
kiprahnya terus diusahakan untuk melengkapi benda-benda khazanah
peninggalan sejarah, dan juga beberapa benda-benda budaya dari
beberapa etnis dari Kabupaten Langkat, seperti, Melayu, Karo, dan Jawa.
Gedung ini memiliki luas sekitar 1500 M. Setelah Indonesia merdeka,
Gedung ini sudah pernah direnovasi, namun dalam rangka mempertahankan
nilai-nilai kesejarahan maka renovasi tersebut dilakukan dengan tetap
mempertahankan bentuk keasliannya.

b) Gerbang Kerajaan Darul Aman


Gerbang Kerajaan Darul Aman adalah bagian yang masih tersisa dari
istana Kesultanan Langkat yang sungguh megah tersebut. Saat terjadinya
Revolusi Sosial, gedung ini dihancurkan oleh massa secara membabi buta
beserta menangkap dan membunuh secara sadis seluruh penghuninya.
Secara keseluruhan Gedung ini musnah tanpa tersisa kecuali secuil yang
terkait dengannya, di antaranya adalah Gerbang Kerajaan Darul Aman.
Gerbang Kerajaan Darul Aman ini ada dua. Gerbang Pertama terletak
di pinggir jalan, di depan rumah penduduk. Gerbang Kedua, letaknya di
pinggir jalan juga, tapi sekarang sudah dialihfungsikan menjadi gerbang
sekolah Madrasah Aliyah Negeri 2 Tanjung Pura. Gedung istana Kesultanan
Darul Aman ini telah hancur pada tahun 1946 saat terjadinya Revolusi

156
Sosial di Langkat.

c) Parit Istana
Selain dari gerbang seperti dikemukakan di atas, di depannya ada
parit istana Darul Aman. Dari dahulu sampai sekarang ini, tempat ini
berfungsi sebagai parit, hanya saja dahulu sebagai parit/ saluran
pembuangan air yang sesungguhnya pembuangan air kerajaan Darul Aman,
dan hal ini terlihat jelas dari bentuknya yang memiliki ukiran yang khas
Melayu Langkat, dengan bangunannya yang kokokh.

d) Dapur Kerajaan Darus Salam


Tidak jauh dari tempat ini, juga ditemukan dapur kerajaan Darus
Salam (Kesultanan Langkat). Di tempat ini terlihat tembok-tembok yang
panjang, dan tembok inilah yang difungsikan sebagai dapur pada masa
kerajaan Darul Aman. Sekarang tembok ini tidak terurus dan tidak berfungsi
lagi, tetapi hanya dijadikan oleh masyarakat sebagai tempat menaman
sayur-sayuran. Sekarang tempat ini berada di belakang salah satu Sekolah
Dasar di Tanjung Pura, dahulu tempat ini berupa pemukinan di mana
masyarakat kerajaan Darus Salam bermukim, sekarang telah berdiri SD
Negeri Nomor: 050729 Tanjung Pura.

157
158
BAGIAN KETUJUH

PENUTUP

Awal terbentuknya Kesultanan Langkat bermula dari Kerajaan Aru


yang berpusat di Besitang. Rajanya bernama Dewa Syahdan yang
kekuasaannya diperkirakan antara tahun 1500 sampai 1580 M. Kerajaan
Aru I merupakan kerajaan Islam yang telah berdiri pada pertengahan abad
ke-13, dan merupakan kerajaan yang cukup masyhur pada masa itu. Masa
kejayaan Kesultanan Langkat dicapai pada masa kekuasaan Sultan Musa.
Kekayaan Kesultanan Langkat adalah ladang minyak, yang merupakan yang
pertama di Indonesia, termasuk perkebunan. Kedua sumber tersebut
menjadikan Kesultanan Langkat tergolong kesultanan terkaya di Asia
Tenggara hingga pada masa kolonial Belanda.
Agama Islam merupakan pedoman dan dasar pengambilan keputusan
dan kebijakan di Kesultanan Langkat. Oleh karena itu pula Kesultanan
Langkat menjadi identik dan atau disebut Kesultanan Melayu. Masyarakat
yang mayoritas beragama Islam dalam berbagai dinamika kehidupannya
telah mencerminkan perilaku keislaman yang kuat, walaupun di sana-sini
masih terdapat kepercayaan-kepercayaan peninggalan Hindu, Animisme,
dan lain sebagainya. Dalam kehidupan sosial keagamaan, ibadah-ibadah
praktis dapat ditemukan dinamika masyarakat Langkat, seperti salat

159
berjamaah, mengaji di langgar, dan pengajian-pengajian agama, yang
banyak bertemakan akidah dan tasawuf.
Tarekat Naqsabandiyah merupakan salah satu tarekat yang
berkembang di Langkat. Sejalan dengan itu, terdapat pula beberapa
pengajian keagamaan yang dibentuk oleh istri sultan, yaitu Maslurah.
Sedangkan pusat peribadatan di wilayah Langkat adalah Masjid Azizi.
Suasana keislaman menjadi warna Kesultanan Langkat; terlihat hidupnya
tradisi Islam, terkikisnya bid’ah, dan terlaksananya hukum Allah serta tidak
ada pula stratifikasi ras. Hal ini dikarenakan masyarakat Langkat yang
memegang teguh ajaran-ajaran syariat Islam.
Dalam masyarakat dikenal kelas sosial yang membedakan keturunan
bangsawan dan rakyat biasa. Golongan bangsawan adalah keturunan raja-
raja yang dikenali dengan gelar-gelar tertentu, seperti tengku, sultan dan
datuk. Dalam hal ini peninggalan Hinduisme masih melekat pada
masyarakat. Bahkan sisa-sisa pelapisan sosial lama masih nampak dalam
masyarakat melayu saat ini. Misalnya masih ditemukan sekelompok orang
yang berasal dari keturunan sultan-sultan dulu, mereka biasanya dipanggil
dengan gelar tengku. Lalu, bekas pegawai kesultanan dengan keturunannya
biasanya dipanggil dengan gelar Datuk. Sedangkan keturunan tengku dan
datuk kebanyakan dipanggil dengan gelar Wan. Dengan adanya pelapisan
sosial pada masyarakat, maka keturunan raja dan aristokrat di Langkat
mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk hidup makmur dibandingkan
dengan rakyat biasa. Mereka masing-masing diberi jabatan dan diberi
kekuasaan untuk mengatur atau mengelola kejeruan-kejeruan (kecamatan)
di daerah Langkat. Pembagian kekuasaan dan hasil daerah membuat
golongan bangsawan Langkat dapat hidup berkecukupan dalam bidang
materi. Ini berbeda dengan golongan rakyat biasa yang harus membayar
pajak (upeti/blasting) dari hasil pertanian dan perkebunannya kepada
kesultanan. Namun ada dari rakyat biasa yang dapat hidup mewah dan
berkecukupan dan biasanya mereka adalah tuan-tuan tanah atau orang-
orang kepercayaan sultan.
Dalam bidang pendidikan, Kesultanan Langkat lebih memilih untuk
mengajarkan ilmu agama, apalagi saat itu agama Islam sudah masuk ke

160
wilayah Nusantara. Saat itu, sudah menjadi tradisi masyarakat Melayu
Langkat untuk menyerahkan anak-anaknya kepada guru untuk mengaji Al-
Qur’an. Selain itu, anak laki-laki diwajibkan untuk belajar ilmu bela diri.
Dengan berdirinya Madrasah Al-Masrurah tahun 1912, Madrasah Aziziah
tahun 1914, dan Madrasah Mahmudiyah tahun 1921, maka Langkat menjadi
salah satu dari tempat yang dituju oleh pencari-pencari ilmu dari berbagai
daerah. Disebutkan bahwa selain dari masyarakat Langkat, banyak juga
pelajar-pelajar yang datang dari dalam dan luar Pulau Sumatera, seperti
Riau, Jambi, Tapanuli, Kalimantan Barat, Malaysia, Brunei dan lain
sebagainya.
Kesultanan Langkat berakhir dengan adanya revolusi sosial pada 1946.
Hampir semua kerajaan di Sumatera mengalami kekacauan pada Maret
1946. Revolusi sosial hampir menyasar semua kalangan kesultanan, mulai
dari sultan, keluarga sultan, para petinggi kesultanan, cerdik pandai, hingga
rakyat kesultanan menjadi korban dan banyak yang meninggal dunia. Ada
dua hal yang membuat masyarakat membakar istana-itana kesultanan
Langkat, Pertama, mereka beranggapan bahwa Kesultanan Langkat telah
mendukung pemerintahan Belanda, dalam usaha penjajahan di Indonesia;
dan kedua, agar pemerintah Belanda tidak menggunakannya untuk
mempertahankan diri dari para pejuang kemerdekaan. Selain itu, para
pejuang membakar sumur minyak di Pangkalan Berandan tahun 1947
karena khawatir akan dikuasai oleh Belanda.
Pada saat terjadi proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia,
Kesultanan Langkat mendukung sepenuhnya terhadap Pemerintah Republik
Indonesia. Kesultanan Langkat menyerahkan kekuasaannya kepada
Pemerintah Indonesia. Gelar Kesultanan pada Kesultanan Langkat memang
tetap ada dan berlangsung terus, tetapi tidak lagi memiliki kekuasaan karena
kekuasaannya telah diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia.
Dalam konteks ini, berlaku bagi Kesultanan Langkat sebagai “Kesultanan
tanpa Kekuasaan (Raja tanpa kerajaan dan rakyat).”
Membuka kembali sejarah Kesultanan Langkat dan mengkajinya bukan
saja sebagai upaya merekonstruksi masa lalu tetapi juga dapat menyajikan
data, informasi, dan pelajaran berharga bagi generasi-generasi di masa

161
mendatang. Informasi mengenai kerajaan-kerajaan dalam lintasan sejarah
di Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu warisan budaya yang
sangat beragam dan mengandung inspirasi berlimpah. Sehubungan dengan
itu, adalah suatu keharusan bagi berbagai kalangan untuk memeliharanya.
Pengungkapan sejarah dan informasi ini akan membawa warna yang sangat
menarik bagi daerah Langkat mengenai khazanah sejarahnya, warisan
budayanya, dinamika sosial keagamaaannya, termasuk politik dan
ekonominya. Hal ini setidaknya dapat secara khusus dijadikan pelajaran
bagi masyarakat Kabupaten Langkat dan masyarakat umum lain terkait
kehidupan sosial-keagamaan Islam untuk masa yang akan datang. Dalam
konteks ini, Pemerintah Daerah, baik Kabupaten Langkat maupun Provinsi
Sumatera Utara perlu melakukan upaya pelestarian, pemeliharaan, dan
pemanfaatan warisan sejarah dan khazanah kebudayaan agama tersebut
bagi pembangunan bangsa dan penguatan karakter generasi yang akan
datang.
Kepada Pemerintah Kabupaten Langkat sebagai salah satu kabupaten
di Sumatera Utara yang memiliki sejarah kerajaan dengan corak keIslaman
yang sangat kuat, yakni Kesultanan Langkat-dikenal masyarakat luas sebagai
Kerajaan Melayu-diperlukan program strategis dan upaya sistematis untuk
menjadikan kajian sejarah kesultanan ini menjadi menarik, bukan bagi
para pengkaji sejarah tetapi juga bagi masyarakat umum. Kajian sejarah
Kesultanan Langkat dapat dilakukan dari berbagai sudut pandang, seperti
antropologi, sosiologi, linguistik, arkeologi, filologi, dan juga keagamaan.
Kepada Pemerintah Daerah, baik tingkat Kabupaten Langkat maupun
Provinsi Sumatera Utara diperlukan usaha serius dan terus menerus untuk
melestarikan dan memelihara warisan sejarah dan khazanah kebudayaan
Islam yang terdapat dalam sejarah Kesultanan Langkat. Berbagai
peninggalannya seperti seni arsitektur Islam yang terdapat di masjid,
madrasah, serta bangunan-bangunan pemerintahan di Kesultanan Langkat
perlu segera dijadikan menjadi situs budaya dan agama bagi Indonesia.
Terlebih jika dilihat fakta sosial-keagamaan saat ini bahwa materi dan
corak keIslaman yang melekat pada Kesultanan Langkat berdampak besar
pengaruhnya terhadap masyarakat Melayu Kabupaten Langkat secara
khusus, dan masyarakat luas lainnya secara umum.[]

162
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, M. Kasim. Studi Sejarah Masjid Azizi Tanjung Pura-Langkat-


Sumatera Utara (Jakarta Selatan: Najm, 2000)
Agustono, Budi. “Kehidupan Bangsawan Serdang 1887-1946”, dalam Tesis
S2 belum diterbitkan. Yogyakarta: Pascasarjana Universitas Gadjah
Mada, 1993.
Ahmadi, Abdul Kadir. Sekilas Layang Adat Perkawinan Melayu Langkat ,
(Tanjung Pura-Langkat: Pustaka Babusalam, 1992) h. 12
Ahmadi, Kadir. Sejarah Perkembangan Pendidikan Jama’iyah Mahmudiyah,
Terbitan Khusus Pengurus Besar Jama’iyah Mahmudiah Li Thalabil
Khairiyah, Tanjung Pura-Langkat, 1985
Aka, Zainal Arifin. Riwayat Tengku Amir Hamzah: Cinta Tergadai, Kasih
Tak Sampai, Langkat: Dewan Kesenian Langkat, 2002
——————————, Langkat dalam Sejarah dan Perjuangan
Kemerdekaan (Medan, Mitra Medan, 2002).
Ali, M. Daud. The Position of Islamic Law in the Indonesian Legal System,
dalam Islam and Society in Southeast Asia, edited by Taufiq
Abdullah, et. all, (Singapore: ISEAS, 1983)
Alisjahbana, Sutan Takdir. Amir Hamzah Penyair Besar Antara Dua Zaman
dan Uraian Nyanyi Sunyi, (Jakarta:1979, Dian Rakyat.
Arnold, Thomas W. The Preaching of Islam: a history of the propagation
of the Muslim faith, (London: Constable, 1913).
Azra, Azyumardi. Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah Wacana dan
Kekuasaan, (Bandung: Rosdakarya, 1999.
Basarshah II, Sultan Serdang Tuanku Luckman Sinar. Bangun Dan Runtuhnya
Kerajaan Melayu di Sumatera Timur, Yayasan Kesultanan Serdang.
Medan, 2006)
Bruinessen, Martin Van. Tarekat Naqsabandiyah Di Indonesia, Mizan,
Bandung, 1992

163
Daly, Peonah. Hukum Perkawinan Islam: suatu studi perbandingan dalam
kalangan ahlus-Sunnah dan negara-negara Islam, Cet. I, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1988)
Hasjim, Tengkoe. Riwajat Toean Sjeh Abdoel Wahab Toean Goeroe Besilam
dan Keradjaan Langkat (Medan: H. Mij. Indische Drukkerij, t.t.),
Hooker, MB. The Challenge of Malay Adat Law in The Realm of Comparative
Law, The International and Comparative Law Querterly, Vol. 22,
No. 3 (Juli.1973)
Husin, Djohar Arifin. Sejarah Kesultanan Langkat (Medan: t.p, 2013), h.
16.; Zainal Arifin, Langkat dalam Sejarah dan Perjuangan
Kemerdekaan (Medan: Mitra Medan, 2013), h. 26. Lihat Zainal
Arifin, Jama’iyah Mahmudiyah Setelah 100 Tahun (Medan: Mitra
Medan, 2013)
Husni, T.M Lah. Biografi-Sejarah Pujangga Nasional Tengku Amir Hamzah,
Penerbit Husni, Medan, 1971
Lapidus, Ira M. A History of Islamic Societies, second edition, (United
Kingdom, Cambridge University Perss, 2002), hlm. 383-384.
Lev, Daniel S. Islamic courts in Indonesia A Study in the Political Bases of
Legal Institutions, (Berkeley, Los Angeles, London: University of
California Press, 1972)
Malik, Adam. Mengabdi Repoblik, (Adam dari Andalas), Cet. Ketiga, Gunung
Agung, Jakarta, 1982, h. 2.
O’Malley, William Joseph. “Perkebunan 1830-1940: Ikhtisar” dalam Anne
Booth, William J.O’Malley, dan Anna Wiedemann (Ed.), Sejarah
Ekonomi.
Perret, Daniel. “Kolonialisme dan Etnisitas” (2010), yang merujuk pada R.
Djajadiningrat dalam buku “Atjehsch-Nederlandsch Woordenboek”
(1934), mengatakan bahwa dalam bahasa Aceh “Haro” atau “Karu”
berarti suasana bergejolak dan rusuh di sebuah wilayah.
Rustam, Laporan Penelitian: Syekh Abdullah Afifuddin Langkat (Studi
Pemikiran dan Perkembangan Gerakan (Medan, LP2M IAIN SU)

164
Said, A. Fuad. Syekh Abdul Wahab Rokan, Tuan Guru Babussalam, Pustaka
Babussalam, Cetakan III, Medan, 1983
——————-, Hakikat Tarikat Naqsabandiah, Pustaka Al-Husna Baru,
Jakarta, 2005
Samantho, Ahmad Y. Oman Abdurrahman et.all. Peradaban Atlantis
Nusantara: Berbagai Penemuan Spektakuler yang Makin
Meyakinkan Keberadaannya (Jakarta, Ufuk Press: 2011.
Simanjuntak, Bungaran Antonius. Melayu Pesisir dan Batak Pengunungan:
Orientasi Nilai Budaya (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2010.
Sinar, T. Luckman Beberapa Catatan tentang Perkembangan Islam di
Sumatera Utara, paper dalam seminar dakwah Islam se-Sumatera
Utara, tgl. 29-31 Maret 1981. Lihat juga harian Analisa tgl. 10
April 1981.
—————————-, Bangun Dan Runtuhnya Kerajaan Melayu Di Sumatera
Timur, (Medan: Penerbit Yayasan Kesultanan Serdang, 2006)
—————————, Sari Sejarah Serdang, Lembaga Pnelitian Fakultas
Hukum USU, 1971
—————————-, Sejarah Medan Tempo Doeloe (Medan: Perwira,
2005)
Teeuw, A, Modern Indonesia Literature, (The Hague: 1979, Martinus Nijhoff
(Terjemahan KITLV, 10), Edisi I, 1967).
Tim Peneliti Fakultas Sastra USU (J. Fachruddin Daulay, Nazief Chatib,
Farida Hanum Ritonga, A. Samad Zaino, Jeluddin Daud), Sejarah
Pemerintahan Kabupaten Daerah Tingkat II Langkat, Stabat, 1995.
Tim Survai, Monografi Kebudayaan Melayu Di Kabupaten Langkat, (Proyek
Pengembangan Permuseuman Sumatera Utara: Medan 1980).
Ulrich, Kratz, E. New Poem By Amir Hamzah, (Indonesia Circle 21: 1980)
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2000
Zuhdi, Sulaiman. Langkat dalam Kilatan Selintas Jejak Sejarah dan
Peradaban (Stabat, Stabat Medio, 2013)

165
Informan:
Wawancara dengan Bapak Basri di selesai, tanggal 15 Juli 2018.
Wawancara dengan Bapak Haz tanggal 19 April 2018.
Wawancara dengan Bapak Zainal tanggal 7 Juli 2018.
Wawancara dengan Bapak Zainal tanggal 7 Juli 2018.
Wawancara dengan Bapak Zainal, tanggal 22 Agustus 2018 di Tanjung
Pura.
Wawancara dengan cucunya Usmanidar (guru di Jamaiyah) di Jamaiyah
pada hari Rabu tanggal 15 Agustus 2018.
Wawancara dengan Drs. Mukhlis, MA., mantan Ketua Sekolah Tinggi Agama
Islam Jamaiyah Mahmudiyah, di kantornya pada hari Selasa tanggal
10 Juli 2019.
wawancara dengan Fachruddin Ray di rumahnya pada hari Selasa tanggal
3 Juli 2018.
Wawancara dengan Haz, tanggal 18 Juli 2018.
wawancara dengan Zainal AK di rumahnya pada hari Rabu tanggal 15
Agustus 2018 di rumahnya.
Wawancara dengan Zainal AK, di rumahnya di Pangkalan Berandan Langkat
pada hari Rabu tanggal 15 Agustus 2018.
wawancara dengan Zainal Ak. (Budayawan Kabupaten Langkat) pada hari
Rabu tanggal 15 Agustus di rumahnya.
Wawancara dengan Zainal tanggal 5 Juni 2018.
wawancara dengan Zainal, tanggal 18 Agustus 2018 di Stabat.
Wawancara dengan Zainal, tanggal 28 Juli 2018.
Wawancara dengan Zainal, tanggal 3 Juni 2018.
Wawancara dengan Zainal, tanggal 3 Juni 2018. Wawancara Ray, tanggal
2 Juni 2018.

166
Website:
http://digilib.unimed.ac.id/18328/6/8.%203103121062%20BAB%20I.pdf.,
di down-load pada hari Selasa tanggal 28 Agustus 2018.
http://digilib.unimed.ac.id/18328/6/8.%203103121062%20BAB%20I.pdf.,
di down-load pada hari Selasa tanggal 28 Agustus 2018.
http://www.lenteratimur.com/author/tengku-mansoer-adil-mansoer/> di
Belanda dalam bahasa Belanda dan diterjemahkan ke dalam Bahasa
Melayu/Indonesia oleh Anna Kharisma dari Sastra Belanda
Universitas Indonesia.
https://min.wikipedia.org/wiki/Pahlawan_Nasional_Indonesia., diakses pada
tanggal 23 Agustus 2018.
http://archive.lenteratimur.com/2011/06/aru-dahulu-langkat-kemudian/.
Diakses pada tanggal 2 Juli 2018
http://tenteraislam.blogspot.com/2012/09/mengenal-ulama-terkemuka-
sumatera-timur.html., di down-load pada hari Selasa tanggal 28
Agustus 2018.
https://visitlangkat.wordpress.com/2014/10/02/sejarah-kerajaan-langkat/
. Diakses tanggal 30 Agustus 2018.
http://shahrirkamil.blogspot.com/2015/08/syeikh-abdullah-afifuddin-
langkat.html., di down-load pada hari Selasa, tangal 28 Agustus
2018., juga Hasil wawncara dengan cucunya Yaumul Khair, di
Jamaiyah Mahmudiyah pada hari Rabu tanggal 15 Agustus 2018,
juga Hasil wawancara dengan Zainal AK, di Rumahnya Pangkalan
Berandan pada hari Rabu tanggal 15 Agustus 2018.
http://datokzulanhar.blogspot.com/2016/10/pohon-langkat.html. diakses
pada tanggal 18 Juli 2018.
https://narakata.com/2017/04/16/pernah-diusulkan-menjadi-pahlawan-
nasional-amir-hamzah-diangkat-chairil-ditolak/, dan juga
http://jabar.tribunnews.com/2018/01/30/jokowi-hadiahkan-peci-simbol-
pejuangan-sukarno-ke-presiden-afghanistan., didown-load pada
hari Minggu tanggal 2 September 2018.

167
168
INDEKS

A.H. Johns 144


Abdul Aziz 48
Aceh 33, 36, 68
Aceh Tamiang 33, 44
Aceh Timur 79
Adam Malik 51, 59, 96, 150
Aeliko Janszoon Zijlker 68
Al-Masrurah 59
Amir Hamzah 97, 130, 140
Asia Tenggara 43
Austronesia 99

Bahorok 33, 44
Belanda 38, 76
Bendahara Raja Badiuzzaman 27
Besilam 62
Besitang 19, 20, 159
Beteshti Petrolium Maskapai 69
Binjai 44, 130

Cina 35

Darul Aman 157


Datuk 160
Dewa Sakti 24, 27, 28

169
Dewa Syahdan 19, 20, 24, 159
Dr. Amir 75

Europese Logare School 58, 97

Fachruddin Ray 2
Falsafah Melayu 100, 115

Gerindo 74

Haji Musa Alhamdainsyah 33


Heuristik 12
Hindia Belanda 48
Historiografi 13, 14
Holland Chinese School 58, 97
Holland Indonesian School 58
Hukum Islam 6

Islam Melayu 5, 6

Jacobus Nienhuys 70
Jamaiyah Mahmudiyah 58, 61, 112
John Anderson 72, 90

Kabupaten Langkat 2, 4
Kal J. Pelzer 71

170
Kampung Babussalam 7
Kejeruan Hitam 29
Kejeruan Tuah Hitam 92
Kerajaan Aceh 80
Kerajaan Aru 19, 20, 21, 22, 105, 159
Kerajaan Langkat 42, 84
Kesultanan 148
Kesultanan Asahan 7
Kesultanan Langkat
2, 5, 6, 8, 9, 10, 27, 40, 47, 69, 70, 137, 143, 152, 159, 161
Kesultanan Melayu 159
Kolonial Belanda 74, 159
Kuala Begumit 150
Kublai Khan 21
Kuta Buluh 19

Laksemana Cheng Ho 23
Langgar 85
Langkat 29, 31, 33, 36, 54, 61, 88, 109, 117, 140
Langkatsche School 97
Laskar Pesind 149

Madrasah 34, 59, 66


Madrasah Al-Masrurah 161
Madrasah Aziziah 161
Madrasah Jamaiyah Mahmudiyah 58
Madrasah Mahmudiyah 161
Malikulsaleh 21
Marco Polo 21
Masjid 3
Masjid Azizi 7, 51, 52, 55, 84, 112, 114, 124, 133, 150

171
Masjid Raya Stabat 85
MASYUMI 124
Matoa 18
Melayu 4, 5, 6, 17, 50, 75, 90, 99, 143
Melayu Deli 82
Melayu Langkat 112
MULO 97, 147

Nasionalisme 74
Nobatsyah 30, 32, 92
Nusantara 2, 50, 60, 161

Observasi 14

Partai Nasional Indonesia (PNI) 154


Peci hitam 155
Perguruan Jama’iyah Mahmudiyah 96
PKI 124, 132, 135
PNI 132

Raja Ahmad 27, 30, 31, 38, 42, 92


Raja Bingei 44
Raja Kahar bin Panglima Dewa Syahdan 27
Raja Kejuruan Hitam 27
Raja Kerajaan Haru 19
Raja Langkat 50
Raja Musa 34, 37, 110
Raja Syahdan 106
Republik 130

172
Revolusi Sosial 118, 135, 157

Samudera Pasai 21
Sejarah sosial 9
Selat Malaka 22
Seneca Oil Company 69
Serikat Islam 74
Siak 30, 31, 36, 38
Stabat 31, 32, 57
Sulaiman Zuhdi 6
Sultan Abdul Aziz 43, 54, 55
Sultan Bilah 76
Sultan Iskandar Muda 80
Sultan Langkat 67, 76, 132
Sultan Mahmud 128
Sultan Mahmud Abdul Azis 120
Sultan Mansyur Shah 22
Sultan Musa 5, 15, 33, 36, 37, 41, 42
Sumatera Timur
2, 5, 7, 22, 37, 43, 60, 70, 75, 80, 91, 94, 110, 119, 123, 135
Sumatera Utara 1, 16
Syekh Abdul Wahab Rokan 52, 55, 61, 97
Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawy 65
Syekh Mohammad Ziadah 65, 66
Syekh Sulaiman Zuhdi 86

Tahlilan 58
Tamiang 22, 33
Tanjung Balai Asahan 76
Tanjung Pura 57, 65, 73, 84, 157
Tarekat Naqsabandiyah 51, 52, 84, 87, 160

173
Tengku 160
Tengku Abdul Azis 38
Tengku Amir Hamzah 59, 76, 96
Tengku Luckman Sinar 21
Tengku Mahmud 73
Tengku Muhammad Hasan 76, 135
Tengku Musa 32, 92
Tengku Musa Abdul Jalil Rahmadsyah Al-Halidy Al-Mu 42
Tengku Puteri Kamaliah 148
Tengku Syarif Kasim 119
Tentara Republik Indonesia 76
Teuku Mohamad Hassan 135
Timur Tengah 81
Tionghoa 21, 53
Tradisi 6
Tuan guru Babussalam syekh Abdul Wahab Rokan 97
Tuan Guru Besilam 37
Tuanku Zainal Abdidin 30

Van der Wal 70


Volkfront 126
Volksvront 131

Zainal Arifin AKA 18


Zijlker 68

174
BIODATA PENULIS

Pagar, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara, Medan.
Selain Guru Besar ia juga menjabat sebagai Ketua LP2M di kampus tersebut.

Fatimah Zuhrah, lahir 28 Februari 1976 di Dolok Masihul, Sumatera Utara.


Saat ini merupakan peneliti pada LP2M UIN-SU Medan, pernah mengukuti
Short Course Research Methodology di Leiden University, tahun 2015. Kursus
yang lain juga pernah diikuti pada tahun 2013 di Vreijt University,
Amsterdam, dan di Melbourne University 2005-2006 tentang Training on
Strengthening Research Capacity Building. Tahun 2005 ia berkesempatan
ke negeri Kanggoru untuk mengikuti Introductory Academic Program,
Partnership in Educatian and Training di Australian National University (ANU),
Canberra.

Shiyamu Manurung, merupakan peneliti pada LP2M UIN-SU Medan,


kelahiran 8 Agustus 1979 di Desa Penggalangan, Sumatera Utara. Selain
peneliti, ia juga mengajar di beberapa kampus swasta di Medan yaitu,
STAI Al-Hikmah Tebing Tinggi, STAI Panca Budi Medan, Dosen STAI Abdur
Rauf Singkil, serta Dosen di Universitas Al-Muslim di Pematang Lhoksukon
Aceh. Ia juga aktif mengisi pengajian di Majlis Taklim di Kota Medan sampai
saat ini.

Masmedia Pinem, M.Ag., lahir di Kabanjahe, Tanah Karo, Sumatera Utara


8 Mei 1973. Putra kedua dari empat bersaudara ini merupakan peneliti di
Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama sejak 2010. Pendidikan
Dasarnya di Kampungnya, SMP lanjut ke Pondok Pesantren Darul Arqom
Kerasaan, Simalungun. Setelah selesai dari Pondok melanjutkan Aliyah ke
Ranah Minang, tepatnya di KMM Kauman Padangpanjang, 1989-1992,
sekolah yang pernah dipimpin oleh tokoh besar bangsa ini yaitu Prof. Dr.
Buya HAMKA. Pascatamat Aliyah, sempat pontang-panting di Jakarta
selama setahun menjadi kuli kasar yaitu ‘kernet bus’ Jakarta-Bandung.

175
Tahun 1993 melanjutkan kuliah Perbandingan Agama di Universitas
Muhammadiyah Surakarta, selesai tahun 1998. Selesai kuliah sambil
mengajar di Pondok Shobron UMS, sembari kuliah S2 di IAIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta 2000-2003. Blessing indisguisse setelah PNS, bisa kuliah S3
dengan biaya mandiri di tahun 2013 di Universitas Padjadjaran Bandung,
alhamdulillah selesai tahun 2018. Selain meneliti, saat ini ia juga menjadi
tenanga pengajar di Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA.

Dede Burhanudin, lahir di Garut, 4 Mei 1967. Peneliti Balai Litbang Agama
Jakarta, sebelumnya peneliti Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan
Badan Litbang dan Diklat. Studi di KOKAR/SMKI (Konservatori Karawitan/
Sekolah Menengah Karawitan Indonesia) Bandung tahun 1987. UNINDRA
Jakarta Tahun 1993 S-1 Sejarah, th 2006 Magister di Universitas Kristen
Indonesia (UKI) Jakarta di Fakultas Ilmu pendidikan dan keguruan
konsentrasi seni Kontemporer keagamaan. Tahun 2018 menyelesaikan
pendidikan doktoral di FIB/Filologi UNPAD Disertasi membahas Citra
Perempuan Dalam Wawacan Nyi Zaojah: Edisi Teks dan analisa Nilai-nilai
Keislaman. Karya tulis yang sudah dipublikasikan antara lain: Dendang
Syarir-syair Rhoma Irama, Pustaka Izfam, Jakarta, 2012, Carios Babad
Sumedang, Jurnal Lektur Keagamaan, Jakarta, 2012, Tembang dalam
Tradisi Orang Sunda: Kajian Naskah Guguritan Haji Hasan Mustapa, Jurnal
Lektur Keagamaan, Jakarta, 2013, Rumah Ibadah bersejarah, Puslitbang
Lektur Khasanah Keagamaan, Jakarta, 2013, Karya Ulama di Lembaga
Pendidikan Keagamaan di Sulawesi Tengah, dkk, Buletin Al-Turas 2014,
Ensiklopedi Pemuka Agama Nusantra , Puslitbang Lektur Khazanah
Keagamaa, Jakarta, 2016, Inskripsi Keagamaan Nusantara di Palu Sulawesi
Tengah, Jurnal Lektur Keagamaan, Jakarta, 2016, Klenteng Kuno Boen Bio
di Surabaya (Nilai dan Makna Ajaran Khonghucu) Jurnal Lektur Keagamaan,
Jakarta , tahun 2017, Vihara Dhanagun dan Komunikasi Budaya di Kota
Bogor, Jawa Barat, Jurnal Lektur Keagamaan, Jakarta, 2018, The Religious
Meaning Of Islamic Inscription In Kota Tinggi Cemetery, Siak, Riau Province.
Heritage Of Nusantara: International Journal Of Religious Literature, Jakarta,
2017, , Potret Khazanah Keagamaan Pattani dan Indonesia, Lintas Budaya

176
PT. RANESS MEDIA RANCAGE (2020)121-133, Tradisi Ziarah Dalam Katolik
(JKBH) Jurnal Kajian Budaya Humaniora Vol 2, No 1, (2020) 1-9, Kiprah
K.H. Hasyim Mujadi Dalam Khazanah Kagamaan dan Bernegara Lintas
Budaya PT. RANESS MEDIA RANCAGE (2020) 29-48, dll.

Asep Saefullah, lahir di Kuningan pada Oktober 1971. Pendidikan S1 dan


S2 diselesaikan di IAIN (skr. UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta; S1 Jurusan
Sejarah Kebudayaan Islam (SKI), tamat 1997, dan S2 Prodi. Sejarah
Peradaban Islam (SPI), tamat 2000. Pada tahun 2000, selama enam bulan,
mengikuti Program “Pembibitan Calon Dosen IAIN/STAIN Se-Indonesia
Angkatan XIII” di IAIN (skr. UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. S3-nya
diselesaikan di Fakiltas Ilmu Budaya (FIB) UNPAD Bandung-Jatinangor,
Kosentrasi Filologi pada 2018.

177
REVIEWER LITBANG DIKLAT PRESS
1. Prof. H. Abd. Rachman Mas’ud, Ph.D
2. Prof. Dr. H. M. Atho Mudzhar
3. Prof. Dr. Ridwan Lubis
4. Prof. Dr. Oman Fathurrahman
5. Prof. Dr. Imam Tholhah
6. Prof. Dr. H. Moh. Isom, M.Ag
7. Dr. Choirul Fuad Yusuf
8. Prof. Dr. M. Adlin Sila, M.A.
9. Dr. H. Agus Ahmad Safei
10. Dr. Kustini
11. Arif Zamhari, Ph.D
12. Dr. Anik Farida
13. Dr. Fakhriati

178

Anda mungkin juga menyukai