Anda di halaman 1dari 17

KATA PENGANTAR

            Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan kesempatan pada
penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul [KONSEP DAN FUNGSI MANUSIA DALAM AL-QUR’AN]
tepat waktu.
Makalah ( KONSEP DAN FUNGSI MANUSIA DALAM AL-QUR’AN]
disusun guna memenuhi tugas dosen pada bidang studi/mata kuliah di STIT Al-Khairiyah Citangkil.
Selain itu, penulis juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang
topik makalah.Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada [Bapak] selaku dosen mata
kuliah. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang
ditekuni penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu
proses penyusunan makalah ini.Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.

Cilegon, 13 Januari 2021

Penulis,

KELOMPOK E

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 1
DAFTAR ISI 2
BAB I 3
PENDAHULUAN 3
A. Latar Belakang 3
B. Rumusan Masalah 3
BAB II 4
PEMBAHASAN 4
A. Hakikat Manusia 4
B. Definisi Manusia Menurut Al-Qur’an 5
C. Unsur-unsur dalam diri manusia 7
D. Teori evolusi Darwin dan konsep manusia dalam al-Qur’an 8
E. Definisi Al-Nas 9
F. Penggunaan Kata Al-Nas Dalam Al-Qur’an 9
G. Makna “al-Nas“ di dalam AlQuran 11
BAB III 15
PENUTUP 15
KESIMPULAN 15
SARAN 15

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah manusia dengan segala potensialitasnya. Ia dapat memilih hendak
mendayagunakan potensialitas itu dan kemudian menyempurnakan diri menjadi hamba Tuhan
yang sebenarnya. Sebagaimana seperti yang dijelaskan dalam al-Qur’an bahwa manusia itu
memiliki beberapa redaksi antaranya ialah “al-Nas” yang artinya bahwa manusia itu mempunya
jiwa social. Dengan kata lain bahwa manusia itu saling membutuhkan antar satu sama lain.
Manusia diciptakan dengan bentuk yang paling sempurna dibandingkan makhluk Allah
yang lainnya, karena ia dikaruniai akal dan bentuk yang sempurna yang tidak dimiliki oleh
makhluk lainnya. Ia dapat menggunakan akalnya untuk melakukan apapun yang ia inginkan. Ia
juga dapat membedakan antara baik dan buruk. Hanya saja, manusia juga diberi nafsu oleh Allah
sehingga terkadang nafsunya mengalahkan akalnya.
Manusia dikaruniai oleh Allah berbagai kelebihan, disamping memilki banyak kekurangan
juga. Dalam hal ini, Allah membebaskan manusia untuk beraktivitas dan berusaha sesuai dengan
kemampuan dan keahliannya. ia diperintah untuk melakukan apapun yang ia bisa untuk mencari
karunia Allah.
Sebagai khalifah fil ardl manusia diberikan kewenangan untuk memanfaatkan bumi Allah
sebagai tempat tinggal. Baik buruknya bumi dipercayakan kepada manusia. Oleh karena itu, jika
saat ini bumi semakin tidak bersahabat maka sebenarnya keadaan itu adalah ulah tangan-tangan
usil manusia sendiri. Al-Qur’an telah menjelaskan sifat-sifat baik maupun buruk manusia dalam
ayat-ayatnya dengan berbagai redaksi, diantaranya adalah dengan kata al-nas. Dalam makalah
ini juga akan dijelaskan beberapa hal yang terkait dengan manusia dalam Al-qur’an dengan
redaksi al-nas.
B. Rumusan Masalah
1. Apa hakikat manusia !
2. Bagaimana definisi manusia menurut al-Qur’an !
3. Unsur-unsur dalam diri manusia !
4. Teori evolusi Darwin dan konsep manusia dalam al-Qur’an !
5. Apa Definisi Al-Nas !

3
6. Bagaimana Pengunaan Kata Al-Nas dalam Al-Qur’an !
7. Bagaimana Makna Al-Nas dalam Al-Qur’an !

BAB II
PEMBAHASAN

A. Hakikat Manusia
Manusia adalah makhluk Allah yang paling sempurnah dan sebaik-baik ciptaan yang
dilengkapi dengan akal fikiran. Dalam hal ini Ibn ‘Arabi misalnya melukiskan hakikat manusia
dengan mengatakan bahwa “taka ada makhluk Allah yang lebih bagus dari pada manusia, yang
memiliki daya hidup, mengetahui, berkehendak, berbicara, melihat, mendengar, berfikir dan
memutuskan. Manusia adalah makhluk kosmis yang sangat penting karena dilengkapi dengan
semua pembawaan dan syarat-ayarat yang diperlukan bagi mengemban tugas dan fungsinya
sebagai makhluk Allah dimuka bumi.
Tugas manusia dalam pandangan Islam adalah memakmurkan bumi dengan cara
memanifestasikan potensi Tuhan dalam dirinya. Dengan kata lain manusia sesungguhnya
diperintahkan untuk mengembangkan sifat-sifat Tuhan menurut perintah dan petunjuknya.
Al-Qur’an adalah kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. untuk segenap
manusia. Di dalamnya Allah menyapa akal dan perasaan manusia, mengajarkan tauhid kepada
manusia, menyucikan manusia dengan berbagai ibadah, menunjukkan manusia kepada hal-hal
yang dapat membawa kebaikan serta kemaslahatan dalam kehidupan individual dan sosial
manusia, membimbing manusia kepada agama yang luhur agar mewujudkan diri,
mengembangkan kepribadian manusia, serta meningkatkan diri manusia ke taraf kesempurnaan
insani. Sehingga, manusia dapat mewujudkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Al-Qur’an juga mendorong manusia untuk merenungkan perihal dirinya, keajaiban
penciptaannya, serta keakuratan pembentukannya. Sebab, pengenalan manusia terhadap dirinya
dapat mengantarkannya pada ma’rifatullah, sebagaimana tersirat dalam Surah at-Taariq 86 ayat
5-7.
﴾٧﴿‫الصل ِْب َوالتّ ََرآ ِئ ِب‬ ْ َّ‫﴾ ي‬٦﴿‫﴾ ُخلِ َق ِم ْن َمآ ٍء َدا ِف ٍق‬٥﴿‫ان ِم ّمَ ُخلِ َق‬
ُّ ‫خ ُر ُج ِمنْبَيْ ِن‬ ُ ‫َفل ْيَن ْ ُظ ِرال ْ ِإن ْ َس‬

4
Artinya:“Maka, hendaklah manusia merenungkan, dari apa ia diciptakan. Ia diciptakan dari air
yang terpancar, yang keluar dari antara tulang sulbi dan tulang dada”. (Q.S. at-Taariq [86]: 5-7)

Berkaitan dengan hal ini, terdapat sebuah atsar yang menyebutkan bahwa 


“Barang siapa mengenal dirinya, niscaya ia mengenal Tuhan-nya.”

Di samping itu, Al-Qur’an juga memuat petunjuk mengenai manusia, sifat-sifat dan keadaan
psikologisnya yang berkaitan dengan pembentukan gambaran yang benar tentang kepribadian
manusia, motivasi utama yang menggerakkan perilaku manusia, serta faktor-faktor yang
mendasari keselarasan dan kesempurnaan kepribadian manusia dan terwujudnya kesehatan jiwa
manusia.
Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba melihat sejauh mana hakikat manusia menurut
perspektif Al-Qur’an. Di awal pembahasan, penulis akan memaparkan secara sekilas definisi
manusia dan asal-usul penciptaannya. Semoga tulisan sederhana ini bisa menambah inspirasi
untuk memantapkan kembali eksistensi kita sebagai manusia.

B.  Definisi Manusia Menurut Al-Qur’an


Adanya manusia menurut al-Qur’an adalah karena sepasang manusia pertama yaitu Bapak
Adam dan Ibu Hawa. Disebutkan bahwa, dua insan ini pada awalnya hidup di surga. Namun,
karena melanggar perintah Allah maka mereka diturunkan ke bumi. Setelah diturunkan ke bumi,
sepasang manusia ini kemudian beranak-pinak, menjaga dan menjadi wakil-Nya di dunia baru
itu. Tugas yang amat berat untuk menjadi penjaga bumi. Karena beratnya tugas yang akan
diemban manusia, maka Allah memberikan pengetahuan tentang segala sesuatu pada manusia.
Satu nilai lebih pada diri manusia, yaitu dianugerahi pengetahuan. Manusia dengan segala
kelebihannya kemudian ditetapkan menjadi khalifah dibumi ini. Satu kebijakan Allah yang
sempat ditentang oleh Iblis dan dipertanyakan oleh para malaikat. Dan Allah berfirman: “....Hai
Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama mereka...” (al-Baqarah ayat 33). Setelah
Adam menyebutkan nama-nama itu pada malaikat, akhirya
Malaikatpun tahu bahwa manusia pada hakikatnya mampu menjaga dunia. Dari uraian ini
dapat dipahami bahwa manusia adalah makhluk paling sempurna yang diciptakan Allah SWT.
Dengan segala pengetahuan yang diberikan Allah manusia memperoleh kedudukannya yang
paling tinggi dibandingkan dengan makhluk lainnya. Inipun dijelaskan dalam firman Allah SWT:
5
“.....kemudian kami katakan kepada para Malaikat: Bersujudlah kamu kepada Adam”; maka
merekapun bersujud kecuali Iblis, dia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan
orang-orang yang kafir” (al-Baqarah ayat 34).
Ini menunjukkan bahwa manusia memiliki keistimewaan dibanding makhluk Allah yang
lainnya, bahkan Malaikat sekalipun. Menjadi menarik dari sini jika legitimasi kesempurnaan ini
diterapkan pada model manusia saat ini, atau manusia-manusia pada umumnya selain mereka
para Nabi dan orang-orang maksum. Para nabi dan orang-orang maksum menjadi pengecualian
karena sudah jelas dalam diri mereka terdapat kesempurnaan diri, dan kebaikan diri selalu
menyertai mereka.
Lalu, kenapa pembahasan ini menjadi menarik ketika ditarik dalam bahasan manusia pada
umumnya. Pertama, manusia umumnya nampak lebih sering melanggar perintah Allah dan
senang sekali melakukan dosa. Kedua, jika demikian maka manusia semacam ini jauh di bawah
standar malaikat yang selalu beribadah dan menjalankan perintah Allah SWT, padahal dijelaskan
dalam al-Qur’an Malaikatpun sujud pada manusia. Kemudian, ketiga, bagaimanakah
mempertanggungjawabkan firman Allah di atas, yang menyebutkan bahwa manusia adalah
sebaik-baiknya makhluk Allah. Tiga hal inilah yang menjadi inti pembahasan ini.
Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa manusia memang memiliki kecenderungan untuk
melanggar perintah Allah, padahal Allah telah menjanjikannya kedudukan yang tinggi. Allah
berfirman: “Dan kalau Kami menghendaki sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan
ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang
rendah.............” (al-A’raaf, ayat 176). Dari ayat ini dapat dilihat bahwa sejak awal Allah
menghendaki manusia untuk menjadi hamba-Nya yang paling baik, tetapi karena sifat dasar
alamiahnya, manusia mengabaikan itu.
Ini memperlihatkan bahwa pada diri manusia itu terdapat potensi-potensi baik, namun
karena potensi itu tidak didaya gunakan maka manusia terjerebab dalam lembah kenistaan,
bahkan terkadang jatuh pada tingkatan di bawah hewan. Satu hal yang tergambar dari uraian di
atas adalah untuk mewujudkan potensi-potensi itu, manusia harus benar-benar menjalankan
perintah dan menjauhi larangan-Nya. Dan tentu manusia mampu untuk menjalani ini. Sesuai
dengan firman-Nya: “Allah tidak akan membebani seseorang melainkan dengan
kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikannya) dan ia mendapat siksa (dari kejahatan)
yang dikerjakannya.

6
Ketika berbicara tentang manusia, Al-Qur’an menggunakan tiga istilah pokok. Pertama,
menggunakan kata yang terdiri atas huruf alif, nun, dan sin, seperti kata insan, ins,
naas, dan unaas. Kedua, menggunakan kata basyar. Ketiga, menggunakan kata Bani
Adam dan dzurriyat Adam.
Menurut M. Quraish Shihab, kata basyar terambil dari akar kata yang
bermakna penampakan sesuatu dengan baik dan indah. Dari akar kata yang sama lahir
kata basyarah yang berarti kulit. Al-Qur’an menggunakan kata basyar sebanyak 36 kali dalam
bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna untuk menunjuk manusia dari sudut
lahiriahnya serta persamaannya dengan manusia seluruhnya.
Dengan demikian, kata basyar dalam Al-Qur’an menunjuk pada dimensi material manusia
yang suka makan, minum, tidur, dan jalan-jalan.  Dari makna ini lantas lahir makna-makna lain
yang lebih memperkaya definisi manusia. Dari akar kata basyar lahir makna bahwa proses
penciptaan manusia terjadi secara bertahap sehingga mencapai tahap kedewasaan.
Sementara itu, kata insan terambil dari kata ins yang berarti jinak, harmonis,
dan tampak.  Musa Asy’arie menambahkan bahwa kata insan berasal dari tiga kata: anasa yang
berarti melihat, meminta izin, dan mengetahui; nasiya yang berarti lupa; dan al-uns yang berarti
jinak.
Menurut M. Quraish Shihab, makna jinak, harmonis, dan tampak lebih tepat daripada
pendapat yang mengatakan bahwa kata insan terambil dari kata nasiya (lupa) dan kata naasa-
yanuusu (berguncang).  Dalam Al-Qur’an, kata insaan disebut sebanyak 65 kali.
Kata insaan digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh
totalitasnya, jiwa dan raga. Bahkan, lebih jauh Bintusy Syathi’ menegaskan bahwa makna
kata insaan inilah yang membawa manusia sampai pada derajat yang membuatnya pantas
menjadi khalifah di muka bumi, menerima beban takliif dan amanat kekuasaan.

C.  Unsur-unsur dalam diri manusia


Membahas sifat-sifat manusia tidaklah lengkap jika hanya menjelaskan bagaimana sifat
manusia itu, tanpa melihat gerangan apa di balik sifat-sifat itu. Murtadha Muthahari di dalam
bukunya Manusia dan Alam Semesta sedikit menyinggung hal ini. Menurutnya fisik manusia
terdiri dari unsur mineral, tumbuhan, dan hewan.  Dan hal ini juga dijelaskan di dalam firman
Allah :  Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan memulai

7
penciptaan manusia dai tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang
hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh
(ciptaan)Nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati; (tapi) kamu
sedikit sekali bersyukur. (as-Sajdah ayat 7-9).
Sejalan dengan Muthahari dan ayat-ayat ini, maka manusia memiliki unsur paling lengkap
dibanding dengan makhluk Allah yang lain. Selain unsur mineral, tumbuhan, dan hewan (fisis),
ternyata manusia memiliki jiwa atau ruh. Kombinasi inilah yang menjadikan manusia sebagai
makhluk penuh potensial.
Jika unsur-unsur ditarik garis lurus maka, ketika manusia didominasi oleh unsur fisisnya
maka dapat dikatakan bahwa ia semakin menjauhi kehakikiannya. Dan implikasinya, manusia
semakin menjauhi Allah SWT. Tipe manusia inilah yang dalam al-Qur’an di sebut sebagai al-
Basyar, manusia jasadiyyah. Dan demikianpun sebaliknya, semakin manusia mengarahkan
keingidenannya agar sejalan dengan jiwanya, maka ia akan memperoleh tingkatan semakin
tinggi. Bahkan dikatakan oleh para sufi-sufi besar, manusia sebenarnya mampu melampaui
malaikat, bahkan mampu menyatu kembali dengan sang Khalik. Manusia seperti inilah yang
disebut sebagai al-insaniyyah
Luar biasanya manusia jika ia mampu mengelola potensinya dengan baik. Di dalam dirinya
ada bagian-bagian yang tak dimiliki malaikat, hewan, tumbuhan, dan mineral—satu persatu. Itu
karena di dalam diri manusia unsur-unsur makhluk Allah yang lain ada. Tidak salah bila dikatakan
bahwa alam semesta ini makrokosmos dan manusia adalah mikrokosmosnya.

D.  Teori evolusi Darwin dan konsep manusia dalam al-Qur’an


Bila dilihat secara kasar, maka jelas dua konsep ini akan saling bertolak belakang bahkan
cenderung saling mempersoalkan. Jika Darwin mengatakan bahwa manusia itu ada karena
evolusi makhluk hidup lainnya yang lebih rendah. Maka al-Qur’an dengan jelas menyatakan
bahwa manusia adalah keturunan Adam dan Hawa yang diusir dari surga.
Tentu ini menjadi perdebatan menarik hingga saat ini. Sebagian mengatakan bahwa Darwin
yang benar, teori Darwinlah yang masuk akal. Dan sebagian yang lain menjawabnya dengan
mengatakan bahwa “al-Qur’an-lah yang benar, karena ini titah Tuhan, Tuhan Maha Besar dan
Maha Kuasa, sehingga apa saja bisa dilakukan-Nya, tak terkecuali menciptakan Adam dari tanah
liat dan Siti Hawa dari tulang rusuk kiri Adam. Sedangkan, teori evolusi gagal total ketika
dibenturkan dengan kenyataan bahwa saat inipun makhluk-makhluk purba (semisal komodo,
8
buaya, kura-kura) masih berkeliaran di muka bumi, bukankah jika merunut pada teori evolusi
makhluk-makhluk ini harusnya sudah punah?”
Yang mempertahankan teori evolusi pun balik menyerang, “ jika Adam manusia pertama,
kenapa kami menemukan makhluk yang mirip manusia hidup kira-kira jauh sebelum adanya
Adam. Bagaimana ini dijelaskan?”
Demikianlah seterusnya. Debat semacam ini tak henti-henti dilakukan. Padahal keduanya
sama-sama tak dapat menyimpulkan secara pasti kapan manusia pertama itu ada, tetapi klaim
kebenaran sudah menyebar ke mana-mana.

E. Definisi Al-Nas
Kata al-nas (‫ )الناس‬berasal dari kata ‫االناس‬ (al-unas) yang dihapus hamzahnya, sedangkan huruf
alifnya asli.
Lafaz  al-nas memiliki dua bentuk, yaitu:
▪ Merupakan  bentuk jamak dari lafaz “insan ( muzakkar) atau insaniyyah ( muannas)” .
▪ berasal dari kata al-nas kemudian dihapus hamzah pada lafaz tersebut dan ditambah
dengan alif lam sebagai tanda ma’rifahnya.
Akan tetapi ada sebagian yang berpendapat bahwa lafaz al-nas tidak berasal dari kata “ ‫”اناس‬.
Mereka berpendapat bahwa orang Arab memberikan bentuk tashghir untuk lafaz “‫ ”الناس‬dengan
ungkapan “‫”نويس‬, maka seandainya “‫ ”الناس‬itu berasal dari kata “‫ ”اناسـ‬tentulah lafaz tashghirnya
itu bukan “‫”نويس‬, tetapi “ ‫انيس‬ ”.

F. Penggunaan Kata Al-Nas Dalam Al-Qur’an


Kata al-nas di dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak 241 kali dengan ragam penjelasan yang
bermacam-macam seperti:
Kata al-nas dikaitkan dengan kata iman dan turunannya (bentuk kata lainnya dari akar kata
yang sama) seperti , QS. An-nisa’: 1

9
ً ‫ث ِمن ْ ُه َما ِرجِ االًك َ ِثيْ ًرا َّو ِن َس‬
‫آء ۚ َواتَّ ُق ْوا‬ َّ َ‫اح َداة ٍّوض َخل ََق ِمن ْ َها َز ْو َج َها َوب‬ ِ ‫ْس‬‫َّف ٍ َّو‬، ‫َاستّ ُق ْو َاربُّك ُُم ال َّ ِذ ْي َخل َ َقك ُْم ِ ّم ْن‬
‫يَآيُّها َالن ّ ُ ا‬
﴾١﴿ ‫عل َيْك ُْم َر ِقيْبًا‬ َ ‫َان‬َ ‫آءل ُْو َن ِب ٖه َواال َْر َحا َم ۗ ِإ َّن الل ّ ٰ َه ك‬
َ ‫لل ّ ٰ َه ال َّ ِذ ْي تَ َس‬
Artinya:“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu
dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya
Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah
kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain,
dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi
kamu’’.

▪ Kata al-nas juga sering dikaitkan dengan kata kafir.


Q.S. Al-Baqarah: 161-162

َ ‫عل َيْ ِه ْم ل َْعن َ ُة الل ّ ٰ ِه َو‬


‫﴾ َخلِ ِديْ َن ِفيْ َها‬١٦١﴿ ‫الملل ٰ ِئك َِة َوالن ّ َِاسا َ ْج َم ِعيْ َن‬ ٌ ّ‫ِإ َّن ال َّ ِذيْ َن كَفَ ُر ْو َاو َماتُ ْوا َوتُ ْو َاو ُه ْم كُف‬
َ ‫َار اُول ٰ ِئ َك‬

﴾١٦٢﴿‫ابَوال َ ُه ْميُن ْ َظ ُر ْو َن‬


ُ ‫خ ّف َُف َعن ْ ُه ُم ال َْع َذ‬
َ ُ‫ۚ ال َي‬

Artinya:“Sesungguhnya orang-orang kafir dan mereka mati dalam keadaan kafir, mereka itu
mendapat la'nat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya.Mereka kekal di dalam la'nat
itu; tidak akan diringankan siksa dari mereka dan tidak (pula) mereka diberi tangguh”.

▪ Kata al-nas juga dikaitkan bahwa sebagian besar manusia tidak mengertiSeperti:QS. Yusuf: 68

َ ُ‫عن ْ ُه ْم ِّ ّـِم ْن َش ْي ٍء ِإال َّ حا ََج ًة ِف ْي نَفْ ِسيَ ْعق‬


‫بق ََض َها ۗ َو ِإَن ّـَّٗهلَذ ُْو‬ َ ‫َان يُ ْغ ِن ْي‬ ُ ‫ثا َ َم َر ُه ْم اَبُ ْو‬
َ ‫اه ْم ۗ َما ك‬ ِ ‫َول َم َذا َد َخل ُْو‬
ُ ْ‫ام ْن َحي‬
﴾٦٨﴿‫عل َّ ْمن ٰ ُه َول ٰ ِك َّن اَكءثَ َر الن َّا ِسال َ يَ ْعل َُم ْو َن‬ َ ‫ِعل ٍْم ِل ّ َما‬
Artinya:“Dan tatkala mereka masuk menurut yang diperintahkan ayah mereka, maka (cara
yang mereka lakukan itu) tiadalah melepaskan mereka sedikitpun dari takdir Allah, akan
tetapi itu Hanya suatu keinginan pada diri Ya'qub yang Telah ditetapkannya. dan

10
Sesungguhnya dia mempunyai pengetahuan, Karena kami Telah mengajarkan kepadanya.
akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui’’.

▪ Kata al-nas dikaitkan bahwa sebagian manusiaitu tidak beriman,Seperti:Q.S. Yusuf: 103

﴾١٠٣﴿‫ث ب ُِم ْؤ ِم ِنيْ َن‬ َ ِ ّ ‫َو َمآ اَكْثَ ُر الن‬


َ ‫َاسول َْو َح َر ْص‬
Artinya:“Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman - walaupun kamu sangat
menginginkannya”

▪ Kata al-nas  ketika berserikat dengan kebaikan dan mengutuk kekafiran disebut bersamaan
dengan kata al-malaikah.Seperti QS. Al-Baqarah 161:

َ ‫عل َيْ ِه ْم ل َْعن َ ُة الل ّ ٰ ِه َوال َْم ٓل ٰ ِئك َِة َوالن ّ ِ ا‬


﴾١٦١﴿ۙ ‫َاس ْج َم ِعيْ َن‬ ٌ ‫اِ َّن ال َّ ِذيْ َن كَفَ ُر ْوا َو َماث ُْو َاو ُه ْم ك ُ ّف‬
َ ‫َار اُول ٰ ِئ َك‬
Artinya:“Sesungguhnya orang-orang kafir dan mereka mati dalam keadaan kafir, mereka
itu mendapat la'nat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya”.
▪ Kata Al-nas berserikat dengan kejelekan, kejahatan dan kekafiran yang kemudian masuk
neraka Jahannam , maka kawan berserikatnya adalah dari golongan Jin, aljinnah.Seperti
dalam QS. Hud: 119

﴾١١٩ ﴿ ‫تكَلِ َم ُة َربّ َِك لَا َْملَئَ َّن َج َهن ّ ََم ِم َن ال ْجِ ن ّ َِة َوالن ّ َِاسا َ ْج َم ِعيْ َن‬
ْ ‫اِال َّ َم ْن َّر ِح َم َربُّ َك ۗ َولِ ٰذلِ َك َخل َ َق ُه ْم ۗ َوتَ َّم‬
Artinya:“Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. dan untuk Itulah Allah
menciptakan mereka. kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) Telah ditetapkan: Sesungguhnya
Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka)
semuanya”.
G. Makna “al-Nas“ di dalam AlQuran
a) Surat Al-Baqarah : 8
﴾٨﴿ۘ ‫َو ِم َن الن ّ َِاس َمنْيَ ُق ْو ُلا ٰ َمن َّا بِا لٰل ّـ ِّٰه َوبِال ْيَ ْو ِم الْا ٰ ِخ ِر َو َم ُه ْم ب ُِم ْؤ ِم ِنيْ َن‬
Artinya:“Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan hari
kemudian, pada hal mereka itu Sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman”.

11
Kata al-nas dalam QS.Albaqarah ayat 8 di atas ditafsirkan dalam Fathul Qadir sebagai
bentuk jamak dari kata ‫إنسانـ‬  atau ‫إنسانية‬  dan dengan diikuti huruf   ‫من‬ sebelumnya
menandakan sebagian manusia, karena huruf tersebut faidahnya untuk ‫تبعيض‬. Sehingga,
maknanya dalam ayat ini adalah hanya sebagian manusia saja yang mengatakan beriman
kepada Allah dan hari akhir akan tetapi sebenarnya mereka mengingkari. Jadi bukan semua
manusia.

b) Surat Al-Baqarah: 13

﴿‫الس َف َهآ ُء َول ٰ ِك ّنْال َّ يَ ْع َمل ُْو َن‬


ُّ ‫آءاَل َآ ِإن ّ َُه ْم ُه ُم‬ ُّ ‫َاسَقل ُْوآ اَن ُ ْؤ ِم ُن ك ََمآا ٰ َم َن‬
ُۗ ‫الس َف َه‬ ِ
ُ ّ ‫َواذَا ِقيْ َلل َُه ْم ا ٰ ِمن ُ ْوا ك ََمآ ا ٰ َم َن الن‬
﴾١٣
Artinya:“Apabila dikatakan kepada mereka: "Berimanlah kamu sebagaimana orang-
orang lain telah beriman." Mereka menjawab: "Akan berimankah kami sebagaimana
orang-orang yang bodoh itu telah beriman?" Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-
orang yang bodoh; tetapi mereka tidak tahu”.

Kata “al-nas” dalam surat al-Baqarah: 13 di atas ditujukan kepada orang-orang yang


beriman terhadap kerasulan Muhammad dan wahyu yang diturunkan kepadanya. Jadi, ayat
ini memerintahkan orang-orang munafik untuk beriman dan membenarkan kerasulan
Muhammad sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang beriman sebelumnya.
Alif Lam yang terdapat pada kata “al-nas” di atas bukanlah berarti alif lam yang
menunjukkan bahwa semua manusia termasuk ke dalam golongan manusia yang
diperintahkan oleh Allah untuk dicontoh keimanannya. Allah hanyalah memaksudkan
sebagian golongan saja di antara mereka.
Ar-Razi menjelaskan makna kata “al-nas” di dalam surat Al-baqarah:13 di atas dengan
menguraikan makna yang terdapat pada alif lam yang mengikuti kata tersebut. Ar-Razi
menyatakan bahwa alif lam dalam kata “al-nas” memiliki dua kemungkinan makna
yaitu pertama, jika Alif  lam ‘ahdiyyah maka kata al-nas di sana sudah ditentukan orangnya
yakni Abdullah bin Salam dan keluarganya karena mereka merupakan golongan yang

12
pertama mengimani Rasulullah Saw. Kedua, jika alif lam jinsiyyah, bisa mengandung dua
kemungkinan juga, yaitu orang-orang Aus-Khazraj, dan orang-orang  mukmin.

c) Surat An-Nisa’: 54

َ ٰ‫ ِْنف َْضلِ ٖهۚ َفقَ ْد اٰثَيْنَآ ا ٰ َلاِبْ َر ِهيْ َم ال ْ ِكت‬/ ‫عل ٰى َمآ اٰتٰ ُه ُم الل ُّٰٰـُ ُه‬
ً ‫ب َوال ِْحك َْم َة َو اٰتَيْن َ ُه ْم ُّمل ْكا‬ َ ‫َاس‬ ْ َ‫ا َ ْم ي‬
َ ّ ‫ح ُس ُد ْو َن الن‬
﴾٥٤﴿ ‫ع ِظيْ ًما‬ َ
Artinya:”Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia  yang
Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya kami telah memberikan Kitab dan hikmah
kepada keluarga Ibrahim, dan kami Telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar”.

Mengenai ayat di atas ada dua pendapat terhadap kata “al-nas”


▪ Ibnu Abbas dan mayoritas ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kata “al-
nas” di sini adalah nabi Muhammad Saw. meskipun kata “al-nas” itu pada dasarnya
memiliki makna jama’.
▪ Makna “ al-nas” pada ayat di atas adalah Rasulullah Saw dan orang-orang Mukmin yang
membenarkan serta mengikuti risalah dan ajaran serta mengamalkannya di dalam
kehidupan sehari-hari.
Golongan yang memegang pendapat ini berhujjah bahwa kata “al-nas” merupakan
bentuk jama’, maka membawanya dalam arti jama’ (Rasulullah dan orang-orang
mukmin yang mengikutinya) lebih utama dari pada membawanya kepada arti singular
(Rasulullah Saw).
Pendapat ini pun kemudian dibantah oleh pemegang pendapat pertama.
Penyebutan kata “al-nas” itu bukan selalu menuntut bentuk plural, adakalanya yang
diinginkan dengan penyebutan lafaz “ al-nas” itu adalah untuk kelompok  tertentu dari
manusia, bukan mereka secara keseluruhan.
Hal ini dapat kita lihat di dalam surat Az-zariyat: 56, berkaitan dengan kewajiban
manusia kepada Allah sebagai makhluk ciptaan-Nya:

﴾٥٦﴿‫سال َّ لِيَ ْعبُ ُد ْو َن‬


‫ت ال ْجِ َّن َوال ْ ِإن ْ َ ِإ‬
ُ ‫َو َما َخل َ ْق‬

13
Artinya:“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku”.
Ayat di atas mengandung maksud bahwa seluruh golongan Jin dan manusia
memiliki kewajiban untuk menyembah Allah sebagai khaliq yang telah menciptakan
mereka. Namun, jika yang melaksanakan kewajiban tersebut hanya sebagian kecil dari
manusia seperti nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya saja, maka seolah-olah
mereka itu menempati posisi seperti manusia secara keseluruhannya.
At-Tabari menyatakan di dalam tafsirnya bahwa ahli takwil berbeda pendapat di
dalam memahami maksud lafaz “al-nas” pada ayat di atas.
a. Sebagian mereka berpendapat bahwa yang dimaksud dengan lafaz “al-nas” pada ayat
di atas hanyalah nabi Muhammad Saw saja.
b. Sebagian mereka berpendapat bahwa yang dimaksud dengan lafaz “ al-nas” di sini
adalah nabi Muhammad dan orang-orang beriman yang mengikuti risalah ada
ajarannya.
Az-Zamakhsyari berpendapat bahwa yang dimaksud dengan lafaz “al-nas” di sini
adalah Rasulullah Saw. dan orang-orang mukmin yang mengikuti jalan dan tuntunannya.
Jadi, ayat di atas menjelaskan tentang orang-orang yang tidak memiliki kesucian
batin yang dengki terhadap kerasulan dan kemenangan yang diberikan Allah kepada
nabi Muhammad. Hal serupa juga telah diberikan Allah kepada nabi Ibrahim dan
keluarganya. Allah memberi mereka nikmat yang besar berupa hikmah, kitab dan
kerajaan yang besar. Namun, mengapa orang-orang yang dengki melihat kerasulan
Muhammad dan kemenangannya tidak kagum dan merasa dengki pula terhadap
nikmat-nikmat yang diterima nabi Ibrahim dan keluarganya tersebut.
d)     Surat Al-hujurat: 13 

ۗ ‫إشن اَك َْر َمك ُْم ِعن ْ َد الل ّ ٰ ِه اَتْقَك ُْم‬


َّ ‫يٰآَيُّ َه الن ّ ُ ِإ‬
َ ‫َاسن َّا َخلَقْنٰك ُْم ِ ّم ْن َذك ٍَر َّواُنْثٰى َو َج َعلْنٰك ُْم ُش ُع ْوبًا َوقَبَآ ِئ َللِتَ َع‬
ۗ ‫ارف ُْوا‬
﴾١٣﴿ ‫ع ِليْمٌ َخبِيْ ٌر‬ َ ‫اِ َّن الل ّ ٰ َه‬
Artinya:“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara

14
kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Az-zamakhsyari di dalam tafsirnya Al-Kasysyaf menjelaskan bahwa, di dalam ayat
ini Allah memberitahukan kepada manusia bahwa mereka diciptakan dari asal yang satu,
yaitu Adam dan Hawa. Semua mereka sama di mata Allah, maka tidak ada alasan untuk
berlaku sombong dan berbangga diri antara satu sama lainnya dalam nasab, karena
semuanya berasal dari satu keturunan. Maka, yang menjadi pembeda di antara mereka
adalah sebarapa besar tingkat ketaqwaan mereka kepada Allah Swt.

15
BAB III
PENUTUP
  KESIMPULAN
Manusia adalah manusia dengan segala potensialitasnya. Ia dapat memilih hendak
mendayagunakan potensialitas itu dan kemudian menyempurnakan diri menjadi hamba Tuhan yang
sebenarnya. Sebagaimana seperti yang dijelaskan dalam al-Qur’an bahwa manusia itu memiliki
beberapa redaksi antaranya ialah “al-Nas” yang artinya bahwa manusia itu mempunya jiwa social.
Dengan kata lain bahwa manusia itu saling membutuhkan antar satu sama lain.
Manusia Sebagai khalifah fil ardl manusia diberikan kewenangan untuk memanfaatkan bumi
Allah sebagai tempat tinggal. Baik buruknya bumi dipercayakan kepada manusia. Oleh karena itu, jika
saat ini bumi semakin tidak bersahabat maka sebenarnya keadaan itu adalah ulah tangan-tangan usil
manusia sendiri.
Begitu juga penggunaan kata al-Nas dalam al-Qur’an sebanyak 241 kali dalam ragam
penyebutan maksud yang bermacam-macam. Hal tersebut dapat ditunjukkan oleh suatu ayat dengan
melihat konteks kalimat tersebut atau melihat kolerasi (munasabahnya) dengan ayat-ayat yang lain.
Dalam penunjukan maknanya, walaupun kata al-nas merupakan bentuk plural, namun di dalam
Al-qur’an ia tidak selalu menunjukkan kepada makna plural. Adakalanya ia menunjukkan hanya
kepada satu orang, beberapa kelompok manusia dan adakalanya ia menunjukkan makna untuk
manusia secara keseluruhannya.

SARAN
Dengan adanya uraian makalah diatas penulis mengharapkan agar dapat menambah wawasan
dan pemahaman atas konsep manusia dalam Islam (konsep An-Nas). Dan saaya mengucapkan
trerima kasih kepada pihak yang sudah membantu dalam proses penyusunan makalah ini.

16
DAFTAR PUSTAKA

Abd al-Baqi Muhammad Fuad ‘, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz Al-Qur’an Al-Karim Beirut: Dar al-Fikr,
t.th.
Al-Faruqi Ismail Raj’I,  Islam dan kebudayaan, Bandung: Mizan, 1994
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Depag RI, 2000
Arrazi, Fakhruddin. Mafatihul Ghaib, Maktabah Syamilah. Pustaka Ridwana, 2008.
Asy’arie Musa, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an , Yogyakarta: LESFI, 1992
Asy-Syaukani, Fathul Qadir, Maktabah Syamilah.Pustaka Ridwana, 2008.
At-Thabari Abu Ja’far, jami’ul Bayan Fi Takwilil Quran. Maktabah Syamilah. Pustaka Ridwana, 2008
Az-Zamakhsyari. Al-Kasysyaf. Maktabah Syamilah. Pustaka Ridwana, 2008.
Bintusy Syathi’Aisyah Abdurrahman, Manusia Sensitivitas Hermeneutika Al-Qur’an, terj. M. Adib al-
Arief , Yogyakarta: LKPSM, 1997
http://poetraboemi.wordpress.com/2008/02/20/konsep-manusia-dalam-al-quran
http://www.shvoong.com/humanities/1707858-konsep-manusia-dalam-al-quran
Muthahari, Murthada, Manusia dan Alam Semesta, Jakarta: Lentera, 2002
Najati Muhammad Utsman, Psikologi dalam Al-Qur’an: Terapi Qur’ani dalam Penyembuhan
Gangguan Kejiwaan, Bandung: Pustaka Setia, 2005
Shihab M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung:
Mizan, 2007
Suharto Toto, Filsafat Pendidikan Islam,  Jogjakarta: Ar-Ruzzmedia, 2006
Yusron M.,dkk. Studi Kitab Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: TH Press, 2006

17

Anda mungkin juga menyukai