Anda di halaman 1dari 13

PENGAWASAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK

DI RUMAH SAKIT: UPAYA MENCEGAH DAN


MENGENDALIKAN RESISTENSI ANTIBIOTIK
Helmia Farida
Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro/Tim PPRA RS Dr. Kariadi, Semarang
Corrresponding Author: helmia.f@fk.undip.ac.id

ABSTRACT
Imprudent antibiotic use in a hospitals is one of the most frequent
factors causing microbial resistance to antibiotics. Therefore, the
antiiotic use in a hospital should be monitored and controlled. These
include quality of antibiotic use, quantity of antibiotic use, antibiotic
felivery to patients, and the shifts in hospital antibiogram patterns.
The Ministry of Health of Republic Indonesia recommends that a
national standard for monitoring and controlling of antibiotic use in
hospitals need to be implemented consistently in order to develop a
national-wide data that are comparable and reliable.

ABSTRAK
Penggunaan antibiotik secara tidak bijak di rumah sakit merupakan
penyebab penting munculnya problem resistensi pathogen terhadap
antibiotik. Oleh sebab itu penggunaan antibiotik di suatu rumah
sakit harus diawasi dan dikendalikan. Pengawasan dan pengendalian
penggunaan antibiotik pada tingkat rumah sakit sebagai upaya
mengendalikan problem resistensi antibiotik meliputi aspek kualitas,
kuantitas, pemberian kepada pasien, perubahan peta medan kuman.
Kementrian Kesehatan RI merekomendasikan penggunaan metode
pengukuran yang seragam untuk pengamatan kualitas, kuantitas, dan

1
pemberian antibiotik kepada pasien, serta peta medan kuman agar
dapat dianalisis di tingkat nasional.

A. PENDAHULUAN
Penemuan antibiotik penisilin dan penggunaannya secara
komersial pada tahun 1940an telah menyelamatkan ribuan nyawa
dari kematian akibat infeksi. Tetapi, hanya beberapa bulan kemudian
sudah muncul strain bakteri yang resisten terhadap penisilin. Kejadian
yang sama terulang pada antibiotik-antibiotik baru yang ditemukan
pada periode-periode berikutnya seperti kloramfenikol, tetrasiklin,
eritromisin dsb. Strain yang resisten terhadap antibiotik tersebut
sudah muncul hanya dalam beberapa bulan setelah obat digunakan
secara komersial.1, 2 Peningkatan penggunaan antibiotik merupakan
penyebab utama munculnya resistensi antibioik melalui mekanisme
selective pressure.3, 4 Oleh karena itu, strategi utama mencegah dan
mengendalikan problem resistensi antibiotik adalah pengaturan
penggunaan antibiotik.
Walaupun penggunaan antibiotik terbesar terjadi pada industri
peternakan (80%), tetapi intensitas penggunaan pada suatu populasi
terbatas dan berisiko di rumah sakit jauh lebih tinggi, sehingga upaya
mengendalikan resistensi antibiotik di rumah sakit menjadi sangat
penting. Sangat krusial bagi rumah sakit untuk mengembangkan
sistem terpadu untuk memperbaiki penggunaan antibiotik untuk
mengurangi insidensi dan penyebaran resistensi antibiotik di dalam
rumah sakit,1, 5 di samping pengawasan efek terapetik dan efek
samping antibiotik pada tingkat individu pasien. Hal ini diperlukan
karena antibiotik yang diberikan kepada seorang pasien tidak hanya
menimbulkan suatu akibat bagi pasien tersebut (efek terapetik, efek
samping), tetapi juga dapat menimbulkan efek berupa problem
resistensi antibiotik pada lingkungannya (pada tingkat ruang, rumah
sakit, regional, bahkan internasional). Karena alasan tersebut,
maka antibiotik menjadi satu-satunya obat yang harus dipantau
penggunaannya secara intens. Tulisan ini membatasi pembahasan

2
pada pengawasan penggunaan antibiotik di rumah sakit dalam konteks
pencegahan dan pengendalian resistensi antibiotik di rumah sakit.
Upaya ini perlu dilaksanakan secara terpadu dan berkesinambungan
melalui surveilans, edukasi petugas dan kerja sama antarberbagai
unit di dalam rumah sakit.

B. PENGAWASAN KUALITAS PENGGUNAAN ANTIBIOTIK


Terapi antibiotik berbeda dengan bentuk farmakoterapi lain.
Terapi antibiotik tidak hanya melibatkan karakteristik seorang pasien
dan obatnya, tetapi juga melibatkan karakteristik patogen penyebab
infeksi. Aktivitas antibiotik tidak hanya berefek pada pasien (efek
terapetik dan efek toksik), tetapi juga pada flora komensal pada tubuh
pasien.4 Oleh karena itu dalam meresepkan suatu antibiotik dokter
seharusnya tidak hanya menimbang kesembuhan pasien, tetapi juga
harus mempertimbangkan efek terhadap flora komensal pada tubuh
pasien yang berperan penting dalam penyebaran strain resisten di
dalam suatu rumah sakit.3
Untuk mengawasi kualitas penggunaan antibiotik di rumah
sakit maka perlu dilakukan evaluasi atau audit kualitas penggunaan
antibiotik. Terdapat beberapa kriteria untuk mengevaluasi pengguna-
an antibiotik. Kriteria Kunin dulu paling banyak digunakan karena
sederhana dan mudah, yang mengklasifikasikan kualitas penggunaan
antibiotik dalam 3 kategori, yaitu tepat (appropriate), mungkin tepat
(probably appropriate), dan tidak tepat (inappropriate). Klasifikasi
ini didasarkan pada harga, toksisitas, dosis, dan ada tidaknya
indikasi penggunaan. Karena kriteria tersebut dipandang kurang
spesifik, kemudian dilakukan modifikasi oleh banyak peneliti lain,
dengan menambahkan indikator lain seperti interval pemberian,
rute, konsentrasi dalam serum, lama pemberian, waktu pemberian,
biaya, toksisitas, luasnya spektrum, kesesuaian dengan hasil kultur,
kelengkapan catatan medik, dsb.3
Di antara kriteria evaluasi kualitas penggunaan antibiotik yang
cukup lengkap dan spesifik memuat informasi di atas adalah kriteria

3
yang digunakan Gyssens dkk (1992)6 dan kemudian disempurnakan
oleh Van der Meer–Gyssens (2001)7. Beberapa peneliti menambahkan
kriteria konsentrasi obat dalam serum untuk obat-obat dengan
range dosis terapi yang sempit.8-10 Kementerian Kesehatan RI
merekomendasikan penggunaan kriteria van der Meer-Gyssens agar
dapat diperoleh keseragaman metode sehingga dapat dianalisis
secara nasional.11
Audit kualitas penggunaan antibiotik di rumah sakit dilakukan
melalui surveilans secara berkala dengan jumlah pasien yang cukup
pada berbagai ruang perawatan agar menghasilkan data yang
representatif bagi rumah sakit tersebut. Audit kualitas penggunaan
antibiotik juga dilakukan apa bila ada kasus sporadik maupun
letupan (outbreak) kasus infeksi oleh patogen multiresisten terhadap
antibiotik.11
Pelaksanaan audit kualitas penggunaan antibiotik dilakukan
dengan menggunakan data dari rekam medik pasien serta dari catatan
pemberian obat oleh perawat. Dalam metode yang diterapkan van
der Meer-Gyssens,7 terlebih dahulu dicek kecukupan informasi yang
dibutuhkan untuk menilai kualitas penggunaan antibiotik, seperti
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang. Selanjutnya,
resep antibiotik yang ditulis dokter dinilai apakah telah tepat
indikasi pemberiannya, jenis (kelas/golongan) antibiotik, lama/durasi
pemberian, dosis- interval-rute, serta saat pemberian antibiotik.
Dasar penilaian adalah pedoman penggunaan antibiotik (PPAB) dan
kebijakan antibiotik (antibiotic policy) yang digunakan di rumah sakit
tersebut. Penilai (reviewer) sebaiknya lebih dari 1 (satu) orang yang
dapat berasal dari klinisi dari bidang spesialisasi yang bersangkutan,
dokter spesialis penyakit infeksi, atau komite/tim yang ditunjuk
direktur rumah sakit untuk memantau penggunaan antibiotik
dengan menggunakan metode/kriteria yang disepakati. Bila terdapat
perbedaan yang besar di antara reviewer maka dapat dilakukan diskusi
untuk masing-masing kasus yang berbeda penilaiannya tersebut.11
Dengan metode yang digunakan van der Meer-Gyssens di atas,
kualitas penggunaan antibiotik digolongkan menjadi 7:

4
• Kategori VI : data tidak lengkap sehingga penggunaan
antibiotik tidak dapat dinilai
• Kategori V : tidak ada indikasi pemberian antibiotik
• Kategori IV D : tidak tepat pilihan antibiotik karena ada antibiotik
lain dengan spektrum lebih sempit
• Kategori IV C : tidak tepat pilihan antibiotik karena ada antibiotik
lain yang lebih murah
• Kategori IV B : tidak tepat pilihan antibiotik karena ada antibiotik
lain yang lebih aman
• Kategori IV A : tidak tepat pilihan antibiotik karena ada antibiotik
lain yang lebih efektif
• Kategori III B : pemberian antibiotik terlalu singkat
• Kategori III A : pemberian antibiotik terlalu lama
• Kategori II C : tidak tepat rute pemberian antibiotik
• Kategori II B : tidak tepat interval pemberian antibiotik
• Kategori II A : tidak tepat dosis pemberian antibiotik
• Kategori I : tepat waktu pemberian (timing)
• Kategori 0 : penggunaan antibiotik bijak

Metode yang digunakan van der Meer–Gyssens (2001) ini


merupakan penyempurnaan dari metode yang digunakan Gyssens
dkk (1992), yaitu dengan adanya penambahan penilaian waktu
(timing) pemberian antibiotik. Aspek timing ini penting pada kasus-
kasus profilaksis bedah karena pencegahan infeksi daerah operasi
(IDO) secara signifikan dapat ditekan bila antibiotik profilaksis bedah
diberikan pada timing yang tepat, yaitu dalam 30-60 menit sebelum
insisi. Hal ini agar kadar obat mencapai puncak selama periode
operasi.11 Pemberian dapat diulang apabila operasi telah berlangsung
lebih dari 3 jam (dan kelipatannya) karena setelah interval waktu
tersebut kadar antibiotik dalam darah sudah turun atau terjadi
perdarahan masif (lebih dari 1500 cc pada pasien dewasa).
Area lain yang sangat perlu menerapkan timing pemberian
antibiotik adalah kasus-kasus di mana terapi harus diberikan segera,
dan keterlambatan pemberian antibiotik kepada pasien berdampak
langsung pada peningkatan angka kematian seperti pada sepsis12

5
dan pneumonia13. Penilaian timing pemberian antibiotik juga dapat
diterapkan untuk mengukur lama waktu yang dibutuhkan bagi
seorang pasien untuk mendapat antibiotik sejak mulai dirawat
dengan diagnosis infeksi sampai mendapatkan antibiotik tersebut,
sehingga bermanfaat untuk memantau indikator kualitas perawatan
(quality of care indicators) di rumah sakit.14

Gambar 1. Alur Van der Meer–Gyssens11

6
C, PENGAWASAN KUANTITAS PENGGUNAAN ANTIBIOTIK
Penelitian menunjukkan ada hubungan yang kuat antara jumlah
(kuantitas) penggunaan antibiotik dengan meningkatnya populasi
strain bakteri yang resisten terhadap antibiotik tersebut dan antibiotik
lain yang memiliki mekanisne kerja dan/ atau struktur yang mirip.
Oleh karena itu perlu dipantau kuantitas penggunaan antibiotik
secara berkala sebagai bagian dari kewaspadaan akan terjadinya
letupan (outbreak) patogen multiresisten.15-18
Untuk memperoleh data yang baku dan dapat diperbandingkan
dengan data di tempat lain, maka badan kesehatan dunia (WHO)
menganjurkan klasifikasi penggunaan antibiotik menurut Anatomical
Therapeutic Chemical (ATC) Classification dan pengukuran jumlah
penggunaan antibiotik dengan defined daily dose (DDD) sehingga
disebut sebagai ATC/DDD index.5, 11 Defined daily dose (DDD) adalah
dosis harian rata-rata antibiotik yang digunakan pada orang dewasa
untuk indikasi utamanya. Perlu ditekankan di sini bahwa DDD
adalah unit baku pengukuran, bukan mencerminkan dosis harian
yang sebenarnya diberikan kepada pasien (prescribed daily doses
atau PDD). Dosis untuk masing-masing individu pasien bergantung
pada kondisi pasien tersebut (berat badan,berat penyakit, lokasi
infeksi, dll). Kuantitas penggunaan DDD selanjutnya dapat dianalisis
berdasarkan jumlah pasien rawat inap (DDD per admission), DDD
untuk tiap 100 pasien (DDD/100 patient bed day), atau DDD/1000
pasien/ hari. Pemilihan cara analisis didasarkan pada korelasi /
hubungan yang paling kuat dengan perubahan pola resistensi bakteri
patogen terhadap antibiotik.19
Penghitungan DDD ini memiliki kelemahan, yaitu kurang akurat
bila diterapkan pada pasien anak karena dosis dihitung berdasarkan
berat badan. DDD juga kurang akurat bila proporsi pasien yang
membutuhkan pengurangan dosis (misalnya pasien dengan penyakit
ginjal kronik) cukup besar. Selain itu, teknik penghitungan DDD
relatif agak rumit, tetapi saat ini telah tersedia beberapa aplikasi
untuk membantu menghitung DDD index, seperti yang tersedia

7
secara online di https://www.whocc.no/atc_ddd_index/ atau http://
amu-tools.org/amctool/amctool.html. Kelebihan DDD adalah peng-
ukurannya tidak membutuhkan data penggunaan antibiotik pada
tingkat individu pasien.20
Cara lain untuk mengukur penggunaan antibiotik adalah dengan
Days of Therapy (DOTs). Menurut Infectious Disease Specialist
Association (IDSA) DOT lebih direkomendasikan karena memiliki
kelebihan dibandingkan DDD, yaitu meniadakan bias pengukuran yang
terjadi pada pasien anak (di mana dosis dihitung berdasarkan berat
badan), dan pada pasien yang mendapat pengurangan dosis (misalnya
karena penyakit ginjal kronik). DOTs adalah jumlah hari di mana
pasien mendapat antibiotik selama masa rawat di rumah sakit. Cara
penghitungan DOTs sebenarnya lebih mudah, tetapi membutuhkan
data penggunaan antibiotik pada tingkat individu pasien. Apa bila
pasien mendapatkan lebih dari satu antibiotik dalam waktu yang
sama, maka jumlah hari dihitung untuk masing-masing antibiotik
tsb.20 Audit kuantitas penggunaan antibiotik dilakukan secara berkala
bersamaan dengan audit kualitas penggunaan antibiotik.

D. PENGAWASAN PELAKSANAAN PEMBERIAN ANTIBIOTIK


Penelitian di Semarang dan Surabaya14, 21 mendapatkan bahwa
terdapat perbedaan signifikan antara jumlah antibiotik yang
diresepkan dokter dalam rekam medis dengan jumlah yang diberikan
oleh perawat kepada pasien, dengan rerata selisih mencapai 30%21.
Perbedaan ini sebagian besar disebabkan masalah ketersediaan
antibiotik sehingga instalasi farmasi membutuhkan waktu lebih
lama untuk mengadakan obat tersebut dan mengirimkan ke ruang
perawatan pasien. Penyebab lain adalah keterlambatan saat memulai
pelaksanaan pemberian antibiotik karena dibutuhkan waktu untuk
memperoleh persetujuan penggunaan antibiotik yang direstriksi.
Tampaknya hal ini merupakan masalah spesifik di negara berkembang,
sehingga penting sekali dilakukan pula pengawasan tentang selisih
waktu antara peresepan antibiotik oleh dokter sampai realisasi

8
pemberian kepada pasien sebagai salah satu indikator kualitas
perawatan (quality of care indicators).14 Data untuk ini dapat diambil
dari catatan rekam medik dan rekam pemberian antibiotik.11,22
Aspek lain yang perlu dipantau dalam praktek pemberian
antibiotik adalah perlakuan setelah rekonstitusi antibiotik injeksi.
Fungsi ini merupakan salah satu tugas dari farmasi rumah sakit yang
dilaksanakan oleh petugas farmasi rumah sakit di ruang perawatan
pasien.11, 22

E. PETA MEDAN KUMAN


Peta medan kuman adalah profil kepekaan patogen-patogen
penyebab infeksi di suatu rumah sakit yang disusun, dianalisis dan
disosialisasikan secara berkala (tiap 6 bulan/1 tahun). Pergeseran
pola kepekaan menjadi salah satu indikator penggunaan antibiotik di
suatu rumah sakit dan merupakan salah satu indikator kinerja kunci
(key performance indicator) pelaksanaan program pengendalian
resistensi antibiotik di rumah sakit tersebut. Penggunaan antibiotik
yang terlalu banyak atau penggunaan secara tidak bijak berdampak
pada perburukan profil peta medan kuman, dan sebaliknya,
pengurangan penggunaan antibiotik serta penggunaan yang bijak
akan memperbaiki profil peta medan kuman11, 22, sehingga peta
medan kuman di rumah sakit dapat digunakan sebagai salah satu
bentuk pengawasan penggunaan antibiotik.

F. PENUTUP
Rumah sakit merupakan tempat dengan penggunaan antibiotik
paling intensif. Penggunaan antibiotik di rumah sakit merupakan
penyebab utama munculnya problem resistensi antibiotik. Konsumsi
antibiotik oleh seorang pasien tidak hanya mempengaruhi pasien
tersebut, melainkan juga dapat mempengaruhi pasien lain di rumah
sakit tersebut melalui transmisi bakteri, yang dapat meluas menjadi
suatu kejadian luar biasa (KLB). Oleh karena itu penggunaan antibiotik
perlu diatur dan diawasi, secara khusus secara berkala melalui

9
program pengendalian resistensi antibiotik. Bentuk pengawasan
yang perlu dilakukan meliputi kualitas dan kuantitas penggunaan
antibiotik, pemberian antibiotik, dan perubahan peta medan kuman.
Sistem pengawasan dan pelaporan sebaiknya diseragamkan
di tingkat regional/nasional agar dapat menjadi bahan evaluasi
kebijakan antibiotik pada suatu regional atau negara. Untuk itu
perlu dipilih format pengawasan dan pelaporan yang layak serta
kebijakan pendukung oleh pimpinan rumah sakit untuk menjamin
kontinuitasnya.1, 5, 11

G. DAFTAR PUSTAKA
1. [World Health Organization’s strategy to contain resistance
to antimicrobial drugs]. Revista panamericana de salud
publica = Pan American journal of public health 2001,
10(4):284-294.
2. Okeke IN, Laxminarayan R, Bhutta ZA, Duse AG, Jenkins P,
O’Brien TF, Pablos-Mendez A, Klugman KP: Antimicrobial
resistance in developing countries. Part I: recent trends and
current status. Lancet Infect Dis 2005, 5(8):481-493.
3. Kolar M, Urbanek K, Latal T: Antibiotic selective pressure and
development of bacterial resistance. Int J Antimicrob Agents
2001, 17(5):357-363.
4. Gyssens IC: Quality measures of antimicrobial drug use.
International journal of antimicrobial agents 2001, 17(1):9-
19.
5. Barlam TF, Cosgrove SE, Abbo LM, MacDougall C, Schuetz
AN, Septimus EJ, Srinivasan A, Dellit TH, Falck-Ytter YT,
Fishman NO et al: Executive Summary: Implementing an
Antibiotic Stewardship Program: Guidelines by the Infectious
Diseases Society of America and the Society for Healthcare
Epidemiology of America. Clin Infect Dis 2016, 62(10):1197-
1202.

10
6. Gyssens IC, van den Broek PJ, Kullberg BJ, Hekster Y, van der
Meer JW: Optimizing antimicrobial therapy. A method for
antimicrobial drug use evaluation. J Antimicrob Chemother
1992, 30(5):724-727.
7. van der Meer JW, Gyssens IC: Quality of antimicrobial drug
prescription in hospital. Clin Microbiol Infect 2001, 7 Suppl
6:12-15.
8. Bertino JS, Jr., Rodvold KA, Destache CJ: Cost considerations
in therapeutic drug monitoring of aminoglycosides. Clinical
pharmacokinetics 1994, 26(1):71-81.
9. Nakamura T, Wakaki N, Kimura Y, Goto N, Masada M:
[Bayesian forecasting of plasma vancomycin concentration
using time-dependent pharmacokinetics]. Yakugaku zasshi:
Journal of the Pharmaceutical Society of Japan 1996,
116(11):876-883.
10. Tam VH, Moore GE, Triller DM, Briceland LL: Vancomycin peak
serum concentration monitoring. Journal of intravenous
nursing: the official publication of the Intravenous Nurses
Society 1999, 22(6):336-342.
11. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia: Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
2015 tentang Program Pengendalian Resistensi Antimikroa
di Rumah Sakit In. Edited by Indonesia KKR, vol. 08/ 2015.
Jakarta; 2015.
12. Rhodes A, Evans LE, Alhazzani W, Levy MM, Antonelli M,
Ferrer R, Kumar A, Sevransky JE, Sprung CL, Nunnally ME et
al: Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for
Management of Sepsis and Septic Shock: 2016. Intensive
Care Med 2017, 43(3):304-377.
13. Marrie TJ, Wu L: Factors influencing in-hospital mortality
in community-acquired pneumonia: a prospective study
of patients not initially admitted to the ICU. Chest 2005,
127(4):1260-1270.

11
14. Farida H, Rondags A, Gasem MH, Leong K, Adityana A, Broek
PJvd, Keuter M, Natsch S: Development of quality indicators
to evaluate antibiotic treatment of patients with CAP in
Indonesia.
15. Pena C, Pujol M, Ardanuy C, Ricart A, Pallares R, Linares J,
Ariza J, Gudiol F: Epidemiology and successful control of a
large outbreak due to Klebsiella pneumoniae producing
extended-spectrum beta-lactamases. Antimicrob Agents
Chemother 1998, 42(1):53-58.
16. Mascarello M, Simonetti O, Knezevich A, Carniel LI,
Monticelli J, Busetti M, Schincariol P, Torelli L, Luzzati R:
Correlation between antibiotic consumption and resistance
of bloodstream bacteria in a University Hospital in North
Eastern Italy, 2008-2014. Infection 2017, 45(4):459-467.
17. Sedlakova MH, Urbanek K, Vojtova V, Suchankova H, Imwensi
P, Kolar M: Antibiotic consumption and its influence on the
resistance in Enterobacteriaceae. BMC research notes 2014,
7:454.
18. Joseph NM, Bhanupriya B, Shewade DG, Harish BN:
Relationship between Antimicrobial Consumption and the
Incidence of Antimicrobial Resistance in Escherichia coli
and Klebsiella pneumoniae Isolates. Journal of clinical and
diagnostic research : JCDR 2015, 9(2):Dc08-12.
19. Brady M, Cunney R, Murchan S, Oza A, Burns K: Klebsiella
pneumoniae bloodstream infection, antimicrobial resistance
and consumption trends in Ireland: 2008 to 2013. European
journal of clinical microbiology & infectious diseases : official
publication of the European Society of Clinical Microbiology
2016, 35(11):1777-1785.
20. Mertz D: Antibiotic Use and Antimicrobial Resistance
in a Multi-level Model. Comparing Days of Therapy and
Defined Dailyy Doses (DDD) as Risk Factors for Antimicrobial
Resistance in a Multi-level Model. Ontario: Mc Master
University; 2011.

12
21. Hadi U, Duerink DO, Lestari ES, Nagelkerke NJ, Keuter
M, Huis In’t Veld D, Suwandojo E, Rahardjo E, van den
Broek P, Gyssens IC: Audit of antibiotic prescribing in two
governmental teaching hospitals in Indonesia. Clin Microbiol
Infect 2008, 14(7):698-707.
22. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
2406/MENKES/PER/XII/2011 tentang Pedoman Umum
Penggunaan Antibiotik. In. Edited by Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia, vol. 2406/MENKES/PER/XII/2011.
Jakarta; 2011.

13

Anda mungkin juga menyukai