Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan merupakan hak azasi manusia. Setiap orang mempunyai hak untuk
hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya termasuk
didalamnya mendapatkan makanan, pakaian, perumahan, dan pelayanan kesehatan
serta pelayanan sosial lain yang diperlukan (Kemenkes, 2004).
Pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) merupakan salah satu sarana
pelayanan kesehatan masyarakat dimana unit merupakan unit pelaksana teknis dinas
kabupaten/kotayang bertanggungjawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan
di suatu wilayah kerja (Depkes, 2006). Sesuai dengan keadaan geografi, luas
wilayah, sarana perhubungan dan kepadatan penduduk dalam wilayah kerja
puskesmas serta jangkauan pelayanan puskesmas lebih merata dan meluas, sehingga
perlu ditunjang dengan puskesmas pembantu, penempatan bidan desa yang belum
terjangkau oleh pelayanan yang ada serta puskesmas keliling (Depkes, 2006).
Pelayanan kefarmasian di Puskesmas merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan dari pelaksanaan upaya kesehatan, yang berperan penting dalam
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Pelayanan kefarmasian
merupakan kegiatan yang terpadu dengan tujuan untuk mengidentifikasi, mencegah
dan menyelesaikan masalah obat dan masalah yang berhubungan dengan kesehatan.
Tuntutan pasien dan masyarakat akan peningkatan mutu pelayanan kefarmasian,
mengharuskan adanya perluasan dari paradigma lama yang berorientasi kepada
produk (drug oriented) menjadi paradigma baru yang berorientasi pada pasien
(patient oriented) dengan filosofi (pharmaceutical care) (Permenkes, 2016).
Pengelolaan obat merupakan salah satu kegiatan pelayanan kefarmasian, yang
dimulai dari perencanaan, permintaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian,
pengendalian, pencatatan dan pelaporan serta pemantauan dan evaluasi. Tujuannya
adalah untuk menjamin kelangsungan ketersediaan dan keterjangkauan obat yang
efisien, efektif dan rasional, meningkatkan kompetensi/kemampuan tenaga
kefarmasian, mewujudkan sistem informasi manajemen, dan melaksanakan
pengendalian mutu pelayanan (Permenkes, 2014).

1
Untuk menjamin mutu pelayanan kefarmasian kepada masyarakat, pemerintah
telah memberlakukan suatu standar pelayanan kefarmasian di Pukesmas dengan
dikeluarkannya PERMENKES RI Nomor 74 tahun 2016 tentang standar pelayanan
kefarmasian di Puskesmas. Tujuan diberlakukannya standar tersebut adalah sebagai
pedoman pelayanan kefarmasian dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat dalam
pengobatan.
Berdasarkan observasi awal data yang didapatkan bahwa masih terdapat di
Puskesmas Kota Selatan yang belum melaksanakan sesuai dengan aturan yang
berlaku, salah satu yang ditemukan yaitu terjadinya kekosongan obat di gudang
Puskesmas Kota Selatan sehingga tidak terpenuhi kebutuhan pengobatan pasien.
Maka peneliti ingin melakukan penelitian yaitu menganalisis pelayanan kefarmasian
yang disesuaikan dengan PERMENKES RI Nomor 74 tahun 2016 di Puskesmas
Kota Selatan Kota Gororntalo.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah pelayanan kefarmasian yang ada di Puskesmas Kota Selatan Kota
Gorontalo sesuai dengan PERMENKES RI Nomor 74 tahun 2016 ?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini mengetahui pelayanan kefarmasian di
Puskesmas Kota Selatan Kota Gorontalo berdasarkan PERMENKES RI Nomor
74 tahun 2016
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui pengelolaan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai
di Puskesmas Kota Selatan berdasarkan PERMENKES RI Nomor 74 tahun
2016
2. Untuk mengetahui pelayanan farmasi klinik di Puskesmas Kota Selatan
berdasarkan PERMENKES RI Nomor 74 tahun 2016
3. Untuk mengetahui sumber daya kefarmasian di Puskesmas Kota Selatan
berdasarkan PERMENKES RI Nomor 74 tahun 2016

2
4. Untuk mengetahui pengelolaan pengendalian mutu pelayanan kefarmasian di
Puskesmas Kota Selatan berdasarkan PERMENKES RI Nomor 74 tahun
2016
1.4 Manfaat Penelitian
1. Manfaat Bagi Institusi
Penelitian ini diharapakan dapat memberikan informasi berharga bagi
Puskesmas khusunya Puskesmas Kota Selatan
2. Manfaat Akademik
Diharapkan hasil penelitian ini menjadi tambahan kepustakaan untuk
memperkaya pustaka yang sudah ada sehingga dapat dimanfaatkan oleh peserta
didik berikutnya dalam Profesi pendidikan kesehatan.
3. Terhadap Peneliti
Menambah khasanah ilmu, khususnya dalam penerapan ilmu kefarmasian.
4. Manfaat Praktis
Bagi Petugas Kefarmasian dapat diiharapkan hasil penelitian menjadi
tambahan informasi bagi petugas Puskesmas terkait pelayanan kefarmasian
berdasarkan PERMENKES RI Nomor 74 tahun 2016.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Puskesmas
2.1.1 Definisi Puskesmas
Puskesmas dibangun untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar,
menyeluruh, dan terpadu bagi seluruh masyarakat yang tinggal di wilayah
kerjanya. Kunjungan masyarakat pada suatu unit pelayanan kesehatan tidak saja
dipengaruhi oleh kualitas pelayanan tetapi juga dipengaruhi oleh faktor lain
diantaranya: sumber daya manusia, motivasi pasien, ketersediaan bahan dan alat,
tarif dan lokasi. Puskesmas adalah salah satu sarana pelayanan kesehatan
masyarakat yang amat penting di Indonesia. Puskesmas adalah unit pelaksana
teknis dinas kabupaten/kota yang bertanggungjawab menyelenggarakan
pembangunan kesehatan di suatau wilayah kerja (Depkes, 2011).
Puskesmas merupakan kesatuan organisasi fungsional yang
menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat menyeluruh, terpadu, merata
dapat diterima dan terjangkau oleh masyarakat dengan peran serta aktif
masyarakat dan menggunakan hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi tepat guna, dengan biaya yang dapat dipikul oleh pemerintah dan
masyarakat luas guna mencapai derajat kesehatan yang optimal, tanpa
mengabaikan mutu pelayanan kepada perorangan (Depkes, 2009).
1. Tujuan Puskesmas
Tujuan pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas
adalah mendukung tercapainya tujuan pembangunan kesehatan nasional, yakni
meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi orang yang
bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas agar terwujud derajat kesehatan
yang setinggi-tingginya (Trihono, 2010).
2. Fungsi Puskesmas
Puskesmas memiliki wilayah kerja yang meliputi satu kecamatan atau
sebagian dari kecamatan. Faktor kepadatan penduduk, luas daerah, keadaan
geografi dan keadaan infrastruktur lainnya merupakan bahan pertimbangan
dalam menentukan wilayah kerja puskesmas. Untuk perluasan jangkauan

4
pelayanan kesehatan maka puskesmas perlu ditunjang dengan unit pelayanan
kesehatan yang lebih sederhana yang disebut puskesmas pembantu dan
puskesmas keliling. Khusus untuk kota besar dengan jumlah penduduk satu juta
jiwa atau lebih, wilayah kerja puskesmas dapat meliputi satu kelurahan.
Puskesmas di ibukota kecamatan dengan jumlah penduduk 150.000 jiwa atau
lebih, merupakan Puskesmas Pembina yang berfungsi sebagai pusat rujukan bagi
puskesmas kelurahan dan juga mempunyai fungsi koordinasi (Effendi, 2009).
Menurut Trihono (2010) ada tiga fungsi Puskesmas yaitu:
a. Pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan yang berarti
puskesmas selalu berupaya menggerakkan dan memantau penyelenggaraan
pembangunan lintas sektor termasuk oleh masyarakat dan dunia usaha di
wilayah kerjanya, sehingga berwawasan serta mendukung pembangunan
kesehatan.
b. Disamping itu puskesmas aktif memantau dan melaporkan dampak
kesehatan dari penyelenggaraan setiap program pembangunan diwilayah
kerjanya.
c. Khusus untuk pembangunan kesehatan, upaya yang dilakukan puskesmas
adalah mengutamakan pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit
tanpa mengabaikan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan.
Pusat pemberdayaan masyarakat berarti puskesmas selalu berupaya agar
perorangan terutama pemuka masyarakat, keluarga dan masyarakat termasuk
dunia usaha memiliki kesadaran, kemauan dan kemampuan melayani diri sendiri
dan masyarakat untuk hidup sehat, berperan aktif dalam memperjuangkan
kepentingan kesehatan termasuk sumber pembiayaannya, serta ikut menetapkan,
menyelenggarakan dan memantau pelaksanaan program kesehatan.
Pemberdayaan perorangan, keluarga dan masyarakat ini diselenggarakan dengan
memperhatikan kondisi dan situasi, khususnya sosial budaya masyarakat
setempat.
Pusat pelayanan kesehatan strata pertama berarti puskesmas bertanggung
jawab menyelenggarakan pelayanan kesehatan tingkat pertama secara

5
menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Pelayanan kesehatan tingkat
pertama yang menjadi tanggungjawab puskesmas meliputi:
a. Pelayanan kesehatan perorangan adalah pelayanan yang bersifat pribadi
(privat goods) dengan tujuan utama yaitu pemeriksaan, pengobatan
penyakit, perawatan dan pemulihan kesehatan perorangan, tanpa
mengabaikan pemeliharan kesehatan dan pencegahan penyakit. Pelayanan
perorangan tersebut adalah rawat jalan dan untuk puskesmas tertentu
ditambah dengan rawat inap.
b. Pelayanan kesehatan masyarakat adalah pelayanan yang bersifat publik
(public goods) dengan tujuan utama memelihara dan meningkatkan
kesehatan serta mencegah penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan
penyakit dan pemulihan kesehatan. Pelayanan kesehatan masyarakat
tersebut antara lain adalah promosi kesehatan, pencegahan dan
pemberantasan penyakit menular, kesejahteraan ibu dan anak, kebersihan
dan sanitasi lingkungan, pendidikan kesehatan pada masyarakat, perawatan
kesehatan masyarakat, peningkatan gizi, kesehatan jiwa, kesehatan gigi dan
mulut, kesehatan mata, kesehatan sekolah, laboratorium, kesehatan
olahraga, kesehatan usia lanjut, pembinaan pengobatan tradisional.
Menurut Effendi (2009) ada beberapa proses dalam melaksanakan fungsi
tersebut yaitu:
a. Merangsang masyarakat termasuk swasta untuk melaksanakan kegiatan
dalam rangka menolong dirinya sendiri.
b. Memberikan petunjuk kepada masyarakat tentang bagaimana menggali dan
menggunakan sumber daya yang ada secara efektif dan efisien.
c. Memberikan bantuan yang bersifat bimbingan teknis materi dan rujukan
medis maupun rujukan kesehatan kepada masyarakat dengan ketentuan
bantuan tersebut tidak menimbulkan ketergantungan memberikan pelayanan
kesehatan langsung kepada masyarakat.
d. Bekerja sama dengan sektor-sektor yang bersangkutan dalam melaksanakan
program puskesmas.

6
3. Peran Puskesmas
Puskesmas mempunyai peran yang sangat vital sebagai institusi pelaksana
teknis, dituntut memiliki kemampuan manajerial dan wawasan jauh ke depan
untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Peran tersebut ditunjukkan
dalam bentuk keikutsertaan dalam menentukan kebijakan daerah melalui sistem
perencanaan yang matang dan realistis, tata laksana kegiatan yang tersusun rapi,
serta sistem evaluasi dan pemantauan yang akurat. Pada masa mendatang,
puskesmas juga dituntut berperan dalam pemanfaatan teknologi informasi terkait
upaya peningkatan pelayanan kesehatan secara komprehensif dan terpadu
(Effendi, 2009).
2.1.2 Profil Puskesmas Kota Selatan
Puskesmas Kota Selatan merupakan satu kesatuan unit kerja yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan secara prima dan paripurna kepada
seluruh lapisan masyarakat dengan lokasi strategis serta tersedianya sumber daya
manusia yang kompeten dibidangnya dan didukung oleh sarana dan prasarana
yang cukup memadai, puskesmas kecamatan kabila berusaha menjadi pilihan
utama dalam mengatasi masalah kesehatan.
2.1.3 Visi dan Misi Puskesmas Kota Selatan
1. Visi Puskesmas Kota Selatan
“Terwujudnya Pelayanan Kesehatan Yang Optimal
Menuju Masyarakat Sehat Tahun 2022”
2. Misi Puskesmas Kota Selatan
a. Meningkatkan mutu dan kinerja penyelenggaraan upaya kesehatan
b. Menyediakan sumber daya kesehatan yang memadai
c. Memberikan pelayanan yang terstandar kesehatan
d. Memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat
e. Mewujudkan kerja sama lintas sektor dan program
2.2 Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai
Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai merupakan
salah satu kegiatan pelayanan kefarmasian, yang dimulai dari perencanaan,
permintaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pengendalian,

7
pencatatan dan pelaporan serta pemantauan dan evaluasi. Tujuannya adalah
untuk menjamin kelangsungan ketersediaan dan keterjangkauan Sediaan Farmasi
dan Bahan Medis Habis Pakai yang efisien, efektif dan rasional, meningkatkan
kompetensi/kemampuan tenaga kefarmasian, mewujudkan sistem informasi
manajemen, dan melaksanakan pengendalian mutu pelayanan.
Kepala Ruang Farmasi di Puskesmas mempunyai tugas dan tanggung jawab
untuk menjamin terlaksananya pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis
Habis Pakai yang baik.
Kegiatan pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai
meliputi:
1. Perencanaan kebutuhan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis
Pakai
Perencanaan merupakan proses kegiatan seleksi Sediaan Farmasi dan Bahan
Medis Habis Pakai untuk menentukan jenis dan jumlah Sediaan Farmasi dalam
rangka pemenuhan kebutuhan Puskesmas. Tujuan perencanaan adalah untuk
mendapatkan:
a. perkiraan jenis dan jumlah Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai
yang mendekati kebutuhan;
b. Meningkatkan penggunaan Obat secara rasional; dan
c. meningkatkan efisiensi penggunaan Obat.
Perencanaan kebutuhan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai di
Puskesmas setiap periode dilaksanakan oleh Ruang Farmasi di Puskesmas.
Proses seleksi Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai dilakukan
dengan mempertimbangkan pola penyakit, pola konsumsi Sediaan Farmasi
periode sebelumnya, data mutasi Sediaan Farmasi, dan rencana pengembangan.
Proses seleksi Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai juga harus
mengacu pada Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) dan Formularium
Nasional. Proses seleksi ini harus melibatkan tenaga kesehatan yang ada di
Puskesmas seperti dokter, dokter gigi, bidan, dan perawat, serta pengelola
program yang berkaitan dengan pengobatan.

8
Proses perencanaan kebutuhan Sediaan Farmasi per tahun dilakukan secara
berjenjang (bottom-up). Puskesmas diminta menyediakan data pemakaian Obat
dengan menggunakan Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat
(LPLPO).
Selanjutnya Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota akan melakukan kompilasi
dan analisa terhadap kebutuhan Sediaan Farmasi Puskesmas di wilayah kerjanya,
menyesuaikan pada anggaran yang tersedia dan memperhitungkan waktu
kekosongan Obat, buffer stock, serta menghindari stok berlebih.
2. Permintaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai
Tujuan permintaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai adalah
memenuhi kebutuhan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai di
Puskesmas, sesuai dengan perencanaan kebutuhan yang telah dibuat. Permintaan
diajukan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah daerah setempat.
3. Penerimaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai
Penerimaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai adalah suatu
kegiatan dalam menerima Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai dari
Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota atau hasil pengadaan Puskesmas secara
mandiri sesuai dengan permintaan yang telah diajukan. Tujuannya adalah agar
Sediaan Farmasi yang diterima sesuai dengan kebutuhan berdasarkan permintaan
yang diajukan oleh Puskesmas, dan memenuhi persyaratan keamanan, khasiat,
dan mutu.
Tenaga Kefarmasian dalam kegiatan pengelolaan bertanggung jawab atas
ketertiban penyimpanan, pemindahan, pemeliharaan dan penggunaan Obat dan
Bahan Medis Habis Pakai berikut kelengkapan catatan yang menyertainya.
Tenaga Kefarmasian wajib melakukan pengecekan terhadap Sediaan
Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai yang diserahkan, mencakup jumlah
kemasan/peti, jenis dan jumlah Sediaan Farmasi, bentuk Sediaan Farmasi sesuai
dengan isi dokumen LPLPO, ditandatangani oleh Tenaga Kefarmasian, dan
diketahui oleh Kepala Puskesmas. Bila tidak memenuhi syarat, maka Tenaga
Kefarmasian dapat mengajukan keberatan.

9
Masa kedaluwarsa minimal dari Sediaan Farmasi yang diterima disesuaikan
dengan periode pengelolaan di Puskesmas ditambah satu bulan.
4. Penyimpanan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai
Penyimpanan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai merupakan
suatu kegiatan pengaturan terhadap Sediaan Farmasi yang diterima agar aman
(tidak hilang), terhindar dari kerusakan fisik maupun kimia dan mutunya tetap
terjamin, sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
Tujuannya adalah agar mutu Sediaan Farmasi yang tersedia di puskesmas
dapat dipertahankan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
Penyimpanan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai dengan
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a. Bentuk dan jenis sediaan;
b. Kondisi yang dipersyaratkan dalam penandaan di kemasan Sediaan Farmasi,
seperti suhu penyimpanan, cahaya, dan kelembaban;
c. Mudah atau tidaknya meledak/terbakar;
d. Narkotika dan psikotropika disimpan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan
e. tempat penyimpanan Sediaan Farmasi tidak dipergunakan untuk
penyimpanan barang lainnya yang menyebabkan kontaminasi.
5. Pendistribusian Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai
Pendistribusian Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai merupakan
kegiatan pengeluaran dan penyerahan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis
Pakai secara merata dan teratur untuk memenuhi kebutuhan sub unit/satelit
farmasi Puskesmas dan jaringannya.
Tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan Sediaan Farmasi sub unit
pelayanan kesehatan yang ada di wilayah Sub-sub unit di Puskesmas dan
jaringannya antara lain:
a. Sub unit pelayanan kesehatan di dalam lingkungan Puskesmas;
b. Puskesmas Pembantu;
c. Puskesmas Keliling;
d. Posyandu; dan

10
e. Polindes.
Pendistribusian ke sub unit (ruang rawat inap, UGD, dan lain-lain)
dilakukan dengan cara pemberian Obat sesuai resep yang diterima (floor stock),
pemberian Obat per sekali minum (dispensing dosis unit) atau kombinasi,
sedangkan pendistribusian ke jaringan Puskesmas dilakukan dengan cara
penyerahan Obat sesuai dengan kebutuhan (floor stock).
6. Pemusnahan dan penarikan
Pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi, dan Bahan Medis Habis Pakai
yang tidak dapat digunakan harus dilaksanakan dengan cara yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penarikan sediaan farmasi yang tidak memenuhi standar/ketentuan peraturan
perundang-undangan dilakukan oleh pemilik izin edar berdasarkan perintah
penarikan oleh BPOM (mandatory recall) atau berdasarkan inisiasi sukarela oleh
pemilik izin edar (voluntary recall) dengan tetap memberikan laporan kepada
Kepala BPOM.
Penarikan Bahan Medis Habis Pakai dilakukan terhadap produk yang izin
edarnya dicabut oleh Menteri.
Pemusnahan dilakukan untuk Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis
Pakai bila:
a. Produk tidak memenuhi persyaratan mutu;
b. Telah kadaluwarsa;
c. Tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam pelayanan kesehatan atau
kepentingan ilmu pengetahuan; dan/atau
d. Dicabut izin edarnya.
Tahapan pemusnahan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai terdiri
dari:
a. Membuat daftar Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai yang akan
dimusnahkan;
b. Menyiapkan Berita Acara Pemusnahan
c. Mengoordinasikan jadwal, metode dan tempat pemusnahan kepada pihak
terkait;

11
d. Menyiapkan tempat pemusnahan; dan
e. Melakukan pemusnahan disesuaikan dengan jenis dan bentuk sediaan serta
peraturan yang berlaku.
7. Pengendalian Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai
Pengendalian sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai adalah suatu
kegiatan untuk memastikan tercapainya sasaran yang diinginkan sesuai dengan
strategi dan program yang telah ditetapkan sehingga tidak terjadi kelebihan dan
kekurangan/kekosongan Obat di unit pelayanan kesehatan dasar.
Tujuannya adalah agar tidak terjadi kelebihan dan kekosongan Obat di unit
pelayanan kesehatan dasar. Pengendalian Sediaan Farmasi terdiri dari:
a. Pengendalian persediaan;
b. Pengendalian penggunaan; dan
c. Penanganan Sediaan Farmasi hilang, rusak, dan kadaluwarsa.
8. Administrasi
Administrasi meliputi pencatatan dan pelaporan terhadap seluruh rangkaian
kegiatan dalam pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai,
baik Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai yang diterima, disimpan,
didistribusikan dan digunakan di Puskesmas atau unit pelayanan lainnya. Tujuan
pencatatan dan pelaporan adalah:
a. Bukti bahwa pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai
telah dilakukan;
b. Sumber data untuk melakukan pengaturan dan pengendalian; dan
c. Sumber data untuk pembuatan laporan.
9. Pemantauan dan evaluasi pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan
Medis Habis Pakai
Pemantauan dan evaluasi pengelolaan sediaan farmasi dan bahan medis
habis pakai dilakukan secara periodik dengan tujuan untuk:
a. Mengendalikan dan menghindari terjadinya kesalahan dalam pengelolaan
Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai sehingga dapat menjaga
kualitas maupun pemerataan pelayanan;

12
b. Memperbaiki secara terus-menerus pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan
Medis Habis Pakai; dan
c. Memberikan penilaian terhadap capaian kinerja pengelolaan.
Setiap kegiatan pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai,
harus dilaksanakan sesuai standar prosedur operasional. Standar Prosedur
Operasional (SPO) ditetapkan oleh Kepala Puskesmas. SPO tersebut diletakkan
di tempat yang mudah dilihat. Contoh standar prosedur operasional sebagaimana
terlampir.
2.3 Pelayanan Farmasi Klinik
Pelayanan farmasi klinik di Apotek merupakan bagian dari Pelayanan
Kefarmasian yang langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan
dengan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dengan
maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
Pelayanan farmasi klinik meliputi:
1. pengkajian dan pelayanan Resep
Kegiatan pengkajian Resep meliputi administrasi, kesesuaian farmasetik dan
pertimbangan klinis. Kajian administratif meliputi:
a. nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan;
b. nama dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat, nomor telepon dan
paraf; dan
c. tanggal penulisan Resep.
d. Kajian kesesuaian farmasetik meliputi:
e. bentuk dan kekuatan sediaan;
f. stabilitas; dan
g. kompatibilitas (ketercampuran Obat).
h. Pertimbangan klinis meliputi:
i. ketepatan indikasi dan dosis Obat;
j. aturan, cara dan lama penggunaan Obat;
k. duplikasi dan/atau polifarmasi;
l. reaksi Obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping Obat, manifestasi
klinis lain);

13
m. kontra indikasi; dan
n. interaksi.
Jika ditemukan adanya ketidaksesuaian dari hasil pengkajian maka Apoteker
harus menghubungi dokter penulis Resep.
Pelayanan Resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan,
penyiapan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
termasuk peracikan Obat, pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian
informasi. Pada setiap tahap alur pelayanan Resep dilakukan upaya pencegahan
terjadinya kesalahan pemberian Obat (medication error).
Petunjuk teknis mengenai pengkajian dan pelayanan Resep akan diatur lebih
lanjut oleh Direktur Jenderal.

2. Dispensing;

Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian informasi


Obat. Setelah melakukan pengkajian Resep dilakukan hal sebagai berikut:
a. Menyiapkan Obat sesuai dengan permintaan Resep
1) Menghitung kebutuhan jumlah Obat sesuai dengan Resep;
2) Mengambil Obat yang dibutuhkan pada rak penyimpanan dengan
memperhatikan nama Obat, tanggal kadaluwarsa dan keadaan fisik Obat.
b. Melakukan peracikan Obat bila diperlukan
c. Memberikan etiket sekurang-kurangnya meliputi:
1) Warna putih untuk Obat dalam/oral;
2) Warna biru untuk Obat luar dan suntik;
3) Menempelkan label “kocok dahulu” pada sediaan bentuk suspensi atau
emulsi.
d. Memasukkan Obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah untuk Obat
yang berbeda untuk menjaga mutu Obat dan menghindari penggunaan
yang salah. Setelah penyiapan Obat dilakukan hal sebagai berikut:
1) Sebelum Obat diserahkan kepada pasien harus dilakukan pemeriksaan
kembali mengenai penulisan nama pasien pada etiket, cara penggunaan
serta jenis dan jumlah Obat (kesesuaian antara penulisan etiket dengan
Resep);

14
2) Memanggil nama dan nomor tunggu pasien;
3) Memeriksa ulang identitas dan alamat pasien;
4) Menyerahkan Obat yang disertai pemberian informasi Obat;
5) Memberikan informasi cara penggunaan Obat dan hal-hal yang terkait
dengan Obat antara lain manfaat Obat, makanan dan minuman yang
harus dihindari, kemungkinan efek samping, cara penyimpanan Obat dan
lain-lain;
6) Penyerahan Obat kepada pasien hendaklah dilakukan dengan cara yang
baik, mengingat pasien dalam kondisi tidak sehat mungkin emosinya
tidak stabil;
7) Memastikan bahwa yang menerima Obat adalah pasien atau keluarganya;
8) Membuat salinan Resep sesuai dengan Resep asli dan diparaf oleh
Apoteker (apabila diperlukan);
9) Menyimpan Resep pada tempatnya;
10) Apoteker membuat catatan pengobatan pasien dengan menggunakan
Formulir 5 sebagaimana terlampir.
Apoteker di Apotek juga dapat melayani Obat non Resep atau pelayanan
swamedikasi. Apoteker harus memberikan edukasi kepada pasien yang
memerlukan Obat non Resep untuk penyakit ringan dengan memilihkan Obat
bebas atau bebas terbatas yang sesuai.
3. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh
Apoteker dalam pemberian informasi mengenai Obat yang tidak memihak,
dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek
penggunaan Obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat.
Informasi mengenai Obat termasuk Obat Resep, Obat bebas dan herbal.
Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus, rute dan
metoda pemberian, farmakokinetik, farmakologi, terapeutik dan alternatif,
efikasi, keamanan penggunaan pada ibu hamil dan menyusui, efek samping,
interaksi, stabilitas, ketersediaan, harga, sifat fisika atau kimia dari Obat dan
lain-lain.

15
4. Konseling
Konseling merupakan proses interaktif antara Apoteker dengan
pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran
dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan Obat
dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien. Untuk mengawali
konseling, Apoteker menggunakan three prime questions. Apabila tingkat
kepatuhan pasien dinilai rendah, perlu dilanjutkan dengan metode Health
Belief Model. Apoteker harus melakukan verifikasi bahwa pasien atau
keluarga pasien sudah memahami Obat yang digunakan.
5. Pelayanan Kefarmasian di rumah (home pharmacy care)
Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat melakukan
Pelayanan Kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk
kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya.

6. Pemantauan Terapi Obat (PTO)


Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien mendapatkan
terapi Obat yang efektif dan terjangkau dengan memaksimalkan efikasi dan
meminimalkan efek samping.

7. Monitoring Efek Samping Obat (MESO).


Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap Obat yang
merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang
digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau
memodifikasi fungsi fisiologis.
8. Evaluasi Penggunaan Obat
Merupakan kegiatan untuk mengevaluasi penggunaan Obat secara
terstruktur dan berkesinambungan untuk menjamin Obat yang digunakan
sesuai indikasi, efektif, aman dan terjangkau (rasional). Tujuan:
a. Mendapatkan gambaran pola penggunaan Obat pada kasus tertentu.
b. Melakukan evaluasi secara berkala untuk penggunaan Obat tertentu.
Setiap kegiatan pelayanan farmasi klinik, harus dilaksanakan sesuai
standar prosedur operasional. Standar Prosedur Operasional (SPO) ditetapkan

16
oleh Kepala Puskesmas. SPO tersebut diletakkan di tempat yang mudah
dilihat. Contoh standar prosedur operasional sebagaimana terlampir.
2.4 Sumber Daya Manusia
Pelayanan Kefarmasian di Apotek diselenggarakan oleh Apoteker, dapat
dibantu oleh Apoteker pendamping dan/atau Tenaga Teknis Kefarmasian yang
memiliki Surat Tanda Registrasi dan Surat Izin Praktik
Dalam melakukan Pelayanan Kefarmasian Apoteker harus memenuhi
kriteria:
1. Persyaratan Administrasi
a. Memiliki ijazah dari institusi pendidikan farmasi yang terakreditasi
b. Memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA)
c. Memiliki sertifikat kompetensi yang masih berlaku
d. Memiliki Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA)
2. Menggunakan atribut praktik antara lain baju praktik, tanda pengenal.
3. Wajib mengikuti pendidikan berkelanjutan/Continuing Professional
Development (CPD) dan mampu memberikan pelatihan yang
berkesinambungan
4. Apoteker harus mampu mengidentifikasi kebutuhan akan pengembangan
diri, baik melalui pelatihan, seminar, workshop, pendidikan berkelanjutan
atau mandiri.
5. Harus memahami dan melaksanakan serta patuh terhadap peraturan
perundang undangan, sumpah Apoteker, standar profesi (standar
pendidikan, standar pelayanan, standar kompetensi dan kode etik) yang
berlaku.
Dalam melakukan Pelayanan Kefarmasian seorang apoteker harus
menjalankan peran yaitu:
1. Pemberi Layanan; Apoteker sebagai pemberi pelayanan harus berinteraksi
dengan pasien. Apoteker harus mengintegrasikan pelayanannya pada sistem
pelayanan kesehatan secara berkesinambungan.

17
2. Pengambil keputusan; Apoteker harus mempunyai kemampuan dalam
mengambil keputusan dengan menggunakan seluruh sumber daya yang ada
secara efektif dan efisien.
3. Komunikator; Apoteker harus mampu berkomunikasi dengan pasien maupun
profesi kesehatan lainnya sehubungan dengan terapi pasien. Oleh karena itu
harus mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik.
4. Pemimpin; Apoteker diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi
pemimpin. Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian mengambil
keputusan yang empati dan efektif, serta kemampuan mengkomunikasikan
dan mengelola hasil keputusan.
5. Pengelola; Apoteker harus mampu mengelola sumber daya manusia, fisik,
anggaran dan informasi secara efektif. Apoteker harus mengikuti kemajuan
teknologi informasi dan bersedia berbagi informasi tentang Obat dan hal-hal
lain yang berhubungan dengan Obat.
6. Pembelajar seumur hidup; Apoteker harus terus meningkatkan pengetahuan,
sikap dan keterampilan profesi melalui pendidikan berkelanjutan (Continuing
Professional Development/CPD).
7. Peneliti; Apoteker harus selalu menerapkan prinsip/kaidah ilmiah dalam
mengumpulkan informasi Sediaan Farmasi dan Pelayanan Kefarmasian dan
memanfaatkannya dalam pengembangan dan pelaksanaan Pelayanan
Kefarmasian.
2.5 Sarana dan Prasarana
Apotek harus mudah diakses oleh masyarakat. Sarana dan prasarana Apotek
dapat menjamin mutu Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai serta kelancaran praktik Pelayanan Kefarmasian. Sarana dan prasarana
yang diperlukan untuk menunjang Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi
sarana yang memiliki fungsi:
1. Ruang penerimaan Resep
Ruang penerimaan Resep sekurang-kurangnya terdiri dari tempat
penerimaan Resep, 1 (satu) set meja dan kursi, serta 1 (satu) set komputer.

18
Ruang penerimaan Resep ditempatkan pada bagian paling depan dan mudah
terlihat oleh pasien.
2. Ruang pelayanan Resep dan peracikan (produksi sediaan secara terbatas)
Ruang pelayanan Resep dan peracikan atau produksi sediaan secara
terbatas meliputi rak Obat sesuai kebutuhan dan meja peracikan. Di ruang
peracikan sekurang-kurangnya disediakan peralatan peracikan, timbangan
Obat, air minum (air mineral) untuk pengencer, sendok Obat, bahan
pengemas Obat, lemari pendingin, termometer ruangan, blanko salinan
Resep, etiket dan label Obat. Ruang ini diatur agar mendapatkan cahaya dan
sirkulasi udara yang cukup, dapat dilengkapi dengan pendingin ruangan (air
conditioner).
3. Ruang penyerahan Obat
Ruang penyerahan Obat berupa konter penyerahan Obat yang dapat
digabungkan dengan ruang penerimaan Resep.
4. Ruang konseling
Ruang konseling sekurang-kurangnya memiliki satu set meja dan kursi
konseling, lemari buku, buku-buku referensi, leaflet, poster, alat bantu
konseling, buku catatan konseling dan formulir catatan pengobatan pasien.
5. Ruang penyimpanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai
Ruang penyimpanan harus memperhatikan kondisi sanitasi, temperatur,
kelembaban, ventilasi, pemisahan untuk menjamin mutu produk dan
keamanan petugas. Ruang penyimpanan harus dilengkapi dengan rak/lemari
Obat, pallet, pendingin ruangan (AC), lemari pendingin, lemari
penyimpanan khusus narkotika dan psikotropika, lemari penyimpanan Obat
khusus, pengukur suhu dan kartu suhu.
6. Ruang arsip
Ruang arsip dibutuhkan untuk menyimpan dokumen yang berkaitan
dengan pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai serta Pelayanan Kefarmasian dalam jangka waktu tertentu.

19
2.6 Pengendalian Mutu Pelayanan Kefarmasian
Pengendalian mutu Pelayanan Kefarmasian merupakan kegiatan untuk
mencegah terjadinya masalah terkait Obat atau mencegah terjadinya kesalahan
pengobatan atau kesalahan pengobatan/medikasi (medication error), yang
bertujuan untuk keselamatan pasien (patient safety).
Unsur-unsur yang mempengaruhi mutu pelayanan:
1. Unsur masukan (input), yaitu sumber daya manusia, sarana dan prasarana,
ketersediaan dana, dan Standar Prosedur Operasional.
2. Unsur proses, yaitu tindakan yang dilakukan, komunikasi, dan kerja sama.
3. Unsur lingkungan, yaitu kebijakan, organisasi, manajemen, budaya, respon
dan tingkat pendidikan masyarakat.
Pengendalian mutu Pelayanan Kefarmasian terintegrasi dengan program
pengendalian mutu pelayanan kesehatan Puskesmas yang dilaksanakan secara
berkesinambungan. Kegiatan pengendalian mutu Pelayanan Kefarmasian
meliputi:
1. Perencanaan, yaitu menyusun rencana kerja dan cara monitoring dan
evaluasi untuk peningkatan mutu sesuai standar.
2. Pelaksanaan, yaitu: a. Monitoring dan evaluasi capaian pelaksanaan rencana
kerja (membandingkan antara capaian dengan rencana kerja); dan b.
memberikan umpan balik terhadap hasil capaian.
3. Tindakan hasil monitoring dan evaluasi, yaitu: a. melakukan perbaikan
kualitas pelayanan sesuai standar; dan b. meningkatkan kualitas pelayanan
jika capaian sudah memuaskan.

Monitoring merupakan kegiatan pemantauan selama proses berlangsung


untuk memastikan bahwa aktivitas berlangsung sesuai dengan yang
direncanakan. Monitoring dapat dilakukan oleh tenaga kefarmasian yang
melakukan proses. Aktivitas monitoring perlu direncanakan untuk
mengoptimalkan hasil pemantauan.
Contoh: monitoring pelayanan resep, monitoring penggunaan Obat,
monitoring kinerja tenaga kefarmasian.

20
Untuk menilai hasil atau capaian pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian,
dilakukan evaluasi. Evaluasi dilakukan terhadap data yang dikumpulkan yang
diperoleh melalui metode berdasarkan waktu, cara, dan teknik pengambilan data.
Berdasarkan waktu pengambilan data, terdiri atas:
1. Retrospektif: Pengambilan data dilakukan setelah pelayanan dilaksanakan.
Contoh: survei kepuasan pelanggan, laporan mutasi barang.
2. Prospektif: Pengambilan data dijalankan bersamaan dengan pelaksanaan
pelayanan. Contoh: Waktu pelayanan kefarmasian disesuaikan dengan
waktu pelayanan kesehatan di Puskesmas, sesuai dengan kebutuhan.
Berdasarkan cara pengambilan data, terdiri atas:
1. Langsung (data primer): Data diperoleh secara langsung dari sumber
informasi oleh pengambil data. Contoh: survei kepuasan pelanggan terhadap
kualitas pelayanan kefarmasian.
2. Tidak Langsung (data sekunder): Data diperoleh dari sumber informasi yang
tidak langsung. Contoh: catatan penggunaan Obat, rekapitulasi data
pengeluaran Obat.
Berdasarkan teknik pengumpulan data, evaluasi dapat dibagi menjadi:
1. Survei; Survei yaitu pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner.
Contoh: survei kepuasan pelanggan.
2. Observasi; Observasi yaitu pengamatan langsung aktivitas atau proses
dengan menggunakan cek list atau perekaman. Contoh: pengamatan
konseling pasien.
Pelaksanaan evaluasi terdiri atas:
1. Audit; Audit merupakan usaha untuk menyempurnakan kualitas pelayanan
dengan pengukuran kinerja bagi yang memberikan pelayanan dengan
menentukan kinerja yang berkaitan dengan standar yang dikehendaki dan
dengan menyempurnakan kinerja tersebut. Oleh karena itu, audit merupakan
alat untuk menilai, mengevaluasi, menyempurnakan pelayanan kefarmasian
secara sistematis.

21
Terdapat 2 macam audit, yaitu:
a. Audit Klinis; Audit Klinis yaitu analisis kritis sistematis terhadap
pelayanan kefarmasian, meliputi prosedur yang digunakan untuk
pelayanan, penggunaan sumber daya, hasil yang didapat dan kualitas
hidup pasien. Audit klinis dikaitkan dengan pengobatan berbasis bukti.
b. Audit Profesional; Audit Profesional yaitu analisis kritis pelayanan
kefarmasian oleh seluruh tenaga kefarmasian terkait dengan pencapaian
sasaran yang disepakati, penggunaan sumber daya dan hasil yang
diperoleh. Contoh: audit pelaksanaan sistem manajemen mutu.
2. Review (pengkajian); Review (pengkajian) yaitu tinjauan atau kajian
terhadap pelaksanaan pelayanan kefarmasian tanpa dibandingkan dengan
standar. Contoh: kajian penggunaan antibiotik.
2.7 Kajian Yang Relevan
2.7.1 Mulyagustina dkk (2017)
Penelitian sebelumnya tentang “implementasi standar pelayanan
kefarmasian di Apotek Kota Jambi” Metode analisis data dilakukan secara
deskriptif untuk melihat distribusi pelaksanaan standar pelayanan kefamasian.
Data kualitatif disajikan secara deskriptif untuk mengidentifikasi faktor
pendukung dan penghambat. Hasil penelitian diperoleh, berdasarkan survei
pelaksanaan pengelolaan sediaan farmasi, alkes dan BMHP dilakukan oleh
apoteker dibantu TTK, namun pelaksanaannya lebih banyak dilakukan oleh TTK
dibawah tanggung jawab apoteker. Pelayanan farmasi klinis baru berjalan pada
pelayanan resep, PIO dan sebagian konseling. Home pharmacy care, PTO dan
MESO serta dokumentasi klinis belum dilakukan. Berdasarkan hasil wawancara,
faktor pendukung adalah dukungan TTK, dukungan PSA, kehadiran apoteker
dengan jadwal praktik yang teratur, penggunaan sistem informasi teknologi dan
motivasi apoteker. Faktor penghambatnya yaitu faktor pasien dimana ada
keragu-raguan kepada tenaga farmasi, keterbatasan kehadiran apoteker,
kekurangan skill, tidak ada ruang layanan konseling, dan keterbatasan jumlah
SDM farmasi.

22
2.7.2 Cahyono dkk (2015)
Penelitian sebelumnya tentang “pelaksanaan standar pelayanan
kefarmasian pada Apotik di Kabupaten Semarang” Jenis penelitian adalah
deskriptif kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan
wawancara mendalam (indepth interview) pada 6 Apoteker Pengelola Apotik
(APA) sebagai informan utama, satu orang Kepala Seksi Farmasi, Pengawasan
Obat, Makanan dan Minuman (POM) dan satu orang Ketua Ikatan Apoteker
Indonesia (IAI) Cabang Kabupaten Semarang sebagai informan triangulasi.
Analisa data menggunakan metode analisis isi (content analysis). Hasil
penelitian menunjukkan, pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotik
masih menitikberatkan pada administrasi dan pengelolaan obat, belum pada
pelayanan kefarmasian secara menyeluruh. Sebagian besar informan utama
belum memiliki pengetahuan yang memadai tentang Juknis Pelaksanaan Standar
Pelayanan Kefarmasian di Apotik, belum menyediakan SOP/Protap, belum
pernah mendapatkan sosialisasi tentang Juknis Pelaksanaan Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotik. Seluruh informan utama belum pernah mendapatkan
pembinaan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Semarang maupun IAI Cabang
Kabupaten Semarang tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotik secara
menyeluruh. Dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotik belum optimal karena pengetahuan tentang Juknis belum
memadai, SOP/Protap belum ada, belum ada sosialisasi dan pembinaan sesuai
Juknis dari Dinas Kesehatan Kabupaten Semarang maupun IAI Cabang
Kabupaten Semarang.
2.7.3 Dianita dkk (2017)
Penelitian sebelumnya tentang “evaluasi penerapan standar pelayanan
kefarmasian di Puskesmas Kabupaten Magelang Berdasarkan Permenkes RI No.
74 tahun 2016” Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang datanya
diambil dengan metode observasi. Data yang dikumpulkan merupakan data
primer yamg diperoleh dari pengisian lembar checklist berdasarkan pengamatan
langsung di dua Puskesmas yang terdapat Apoteker di apoteknya. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa Puskesmas di Kabupaten Magelang masih

23
belum sesuai dengan Permenkes No. 74 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Puskesmas dalam bidang visite pasien rawat inap serta sarana
dan prasarana yang kurang memadahi.)
2.7.4 Makhdalena dkk (2018)
Penelitian sebelumnya tentang “analisis pelayanan kefarmasian
berdasarkan indikator pelayanan pasien WHO pada Puskesmas Kecamatan yang
belum dan sesudah Terakreditasi di Kota Depok” Analisis data menggunakan uji
Mann-whitney dan Chi-square. Hasil puskesmas kecamatan belum terakreditasi
yang memenuhi rekomendasi WHO untuk waktu penyiapan dan penyerahan obat
(>3 menit) sebesar 77,8% dan yang sudah terakreditasi 100%. Semua puskesmas
kecamatan di Kota Depok tidak ada yang memenuhi rekomendasi WHO untuk
kesesuaian penyerahan obat, pelabelan obat cukup dan pasien dengan
pengetahuan obat yang benar (=100%). Waktu penyiapan dan penyerahan obat
pada puskesmas kecamatan sudah terakreditasi lebih lama secara bermakna dari
yang belum terakreditasi (p<0,05). Kesesuaian penyerahan obat, pelabelan obat
cukup, dan pengetahuan pasien tentang penggunaan obat yang benar antara
puskesmas kecamatan yang belum dan sudah terakreditasi tidak berbeda
bermakna (p>0,05). Kesimpulan menunjukkan pelayanan kefarmasian
berdasarkan indikator pelayanan pasien WHO pada puskesmas kecamatan yang
terkareditasi secara umum tidak berbeda dengan yang belum terakreditasi.
2.7.5 Musdalipah dkk (2017)
Penelitian sebelumnya tentang “analisis pelayanan kefarmasian di
Puskesmas Tosiba Kabupaten Kolaka” Jenis penelitian dilakukan dengan metode
deskriptifdengan pengambilan data secara retrospektif. Sampel penelitian terdiri
dari kepala puskesmas Tosiba, Apoteker dan Asisten Apoteker. Data dianalisis
secara deskriptif dan dijabarkan dalam bentuk narasi. Hasil penelitian
menunjukkan pengelolaan obat dan pengkajian resep pada puskesmas Tosiba
kabupaten Kolaka sudah sesuai dengan standar pelayanan kefarmasian, tetapi
dalam hal sarana dan prasarana belum memadai berdasarkan standar pelayanan
kefarmasian.
2.7.6 Latifah dkk (2016)

24
Penelitian sebelumnya tentang “Penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian
Di Apotek Kota Magelang” Data penelitian diperoleh dari kuesioner kemudian
dilakukan observasi pada 15 apotek di Kota Magelang. Berdasarkan hasil
penelitian menunjukkan bahwa 54% Apotek memiliki lebih dari 1 apoteker, 80%
apotek memiliki lebih dari 1 tenaga teknis kefarmasian, 26% memiliki lebih dari
2 tenaga non kefarmasian, 80% apoteker datang setiap hari ke apotek (6 jam/
hari), 60% Apoteker pernah mengikuti pelatihan kefarmasian, 53% apotek
melakukan pemeriksaan resep, 80% Apoteker dan 20% Tenaga Teknis
Kefarmasian melakukan dispensing,73% apotek melaksanakan Pelayanan
Informasi Obat (PIO) dengan lengkap, 60% apotek melakukan pencatatan
dengan lengkap, 76% melakukan pengarsipan dengan lengkap dan 100% apotek
melakukan pelaporan narkotika dan psikotropika secara reguler setiap bulan.
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan penerapan standar
pelayanan kefarmasian di Apotek Kota Magelang.
2.7.7 Nurfitria dkk (2017)
Penelitian sebelumnya tentang “evaluasi manajemen obat dan kualitas
layanan beberapa farmasi perawatan kesehatan masyarakat publik di indonesia
bandung” Penelitian ini menggunakan desain observasional deskriptif melalui
metode triangulasi untuk mengevaluasi pengelolaan obat dua Puskesmas
(observasi, wawancara dan checklist) dan kuesioner SERVQUAL dengan skala
Likert untuk mengevaluasi kualitas pelayanan yang diberikan kepada 794 pasien
yang memperoleh obat di tiga Puskesmas secara convenience sampling berkaitan
dengan lima dimensi kualitas: bukti langsung, kehandalan, daya tanggap,
jaminan, dan empati. Pengelolaan obat di dua Puskesmas dikategorikan sangat
baik dengan nilai rata-rata seluruh aspek 88,89% dan 89,58%. Hasil analisis
celah menunjukkan nilai celah rata-rata seluruh dimensi kualitas -0,98; daya
tanggap -0,83, kehandalan -0,91, jaminan -0,81, empati -1,47, bukti langsung -
0,89, mengindikasikan bahwa harapan pasien belum terpenuhi. Tingkat kepuasan
pasien terhadap kualitas pelayanan farmasi 79,53 % dan dikategorikan sangat
baik. Penelitian ini memberikan informasi yang berguna bagi Puskesmas bahwa

25
unit farmasi terkait belum dapat memberikan taraf kualitas pelayanan yang
diharapkan oleh pasien dan memerlukan perbaikan dalam berbagai aspek.
2.7.8 Herman dan Susyanty (2012)
Penelitian sebelumnya tentang “kajian praktek kefarmasian oleh apoteker
di Apotek Komunitas” Penelitian potong lintang ini dilaksanakan dalam tahun
2010 pada masing-masing 2 apotek komunitas di 3 kota, yaitu Bandung, DI
Yogyakarta dan Surabaya. Sebagai responden penelitian selain 10 orang
apoteker apotek komunitas juga diambil 6 apoteker dari 6 PT Farmasi, 3
apoteker dari Pengurus Ikatan Apoteker Indonesia dan 6 apoteker dari Dinas
Kesehatan Provinsi dan Kota. Di samping data primer dikumpulkan melalui
wawancara mendalam dan observasi dengan menggunakan daftar tilik di unit
apotek, juga dikumpulkan data sekunder tentang SOP pelayanan farmasi,
dokumentasi monitoring dan kurikulum PT Farmasi. Analisis data secara
kualitatif deskriptif menunjukkan bahwa kualifi kasi apoteker yang memberikan
pelayanan farmasi di apotek komunitas dalam rangka memenuhi ketentuan
Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009, Standard Pelayanan Farmasi di Apotek
dan Good Pharmacy Practice bervariasi. Pada umumnya apoteker memahami
perannya dalam pelayanan farmasi, tetapi untuk melaksanakannya sesuai dengan
standard atau pedoman masih menghadapi berbagai kendala. Hal ini juga diakui
oleh apoteker dari PT Farmasi, Pengurus IAI dan Dinas Kesehatan. Pelaksanaan
sesuai dengan Undang-Undang RI No. 36 tahun 2009, Peraturan Pemerintah No.
51 tahun 2009
2.7.9 Peter dkk (2017)
Penelitian sebelumnya tentang “Penilaian Kepuasan Pasien dengan
Layanan Farmasi di Apotek Komunitas di Negara Bagian Bayelsa Selatan-
Selatan Nigeria” Sekitar 300 responden setuju untuk berpartisipasi setelah
mereka dibuat untuk memahami rincian lengkap penelitian ini. Kuesioner
menangkap data demografis, informasi obat yang disediakan, dan seberapa puas
pasien dengan layanan farmasi yang diberikan. 60% responden melaporkan
bahwa informasi tentang efek samping obat / efek samping diberikan. 60%
melaporkan bahwa informasi tentang makanan yang tidak boleh diambil dengan

26
obat diberikan, 54% melaporkan bahwa informasi tentang interaksi obat-obat
diberikan, 59% melaporkan bahwa informasi tentang apa yang harus dilakukan
ketika efek samping obat / efek samping terjadi diberikan, 59,5% melaporkan
bahwa informasi tentang cara menyimpan obat mereka diberikan, 74,5%
melaporkan bahwa informasi tentang pentingnya / perlunya kepatuhan terhadap
pengobatan diberikan, 70,5% melaporkan bahwa instruksi tentang perlunya
tindak lanjut diberikan. 48% responden menilai kepuasan yang baik dengan
informasi yang diberikan kepada mereka tentang efek samping obat / efek
samping. 33,5% menilai kepuasan yang baik dengan informasi yang diberikan
kepada mereka tentang makanan yang tidak boleh dikonsumsi dengan obat-
obatan, 41,5% menilai kepuasan yang baik dengan informasi yang diberikan
kepada mereka pada interaksi obat-obat, dan 45,5% menilai kepuasan yang baik
dengan informasi tentang apa yang harus dilakukan ketika efek samping obat /
efek samping obat, 40% dinilai puas dengan informasi tentang penyimpanan
obat. Sebagian besar responden melaporkan bahwa obat yang diresepkan
tersedia dan terjangkau. Juga pada data demografis, Pekerjaan, status
perkawinan, pendapatan bulanan dan pendidikan mencatat korelasi statistik.
Informasi obat diberikan dan pasien puas dengan informasi yang diberikan.
Namun, apoteker memerlukan pendidikan berkelanjutan tentang perawatan
pasien dan keterampilan komunikasi.
2.7.10 Hargraves dkk (2010)
Penelitian sebelumnya tentang “Mengevaluasi layanan farmasi rawat
jalan: tinjauan literatur tentang layanan gagal jantung spesialis” Karena jumlah
pasien sebenarnya dapat dirawat mungkin dibatasi oleh keterbatasan waktu dan
sumber daya, identifikasi kelompok pasien yang akan mendapat manfaat
kebanyakan dari layanan farmasi, juga akan bermanfaat. Akhirnya, identifikasi
komponen layanan tertentu direkomendasikan yang memiliki dampak paling
besar pada ukuran hasil, Layanan apotek rawat jalan spesialis belum
didefinisikan dengan baik atau dievaluasi dalam literatur. Studi masa depan
untuk mengevaluasi layanan ini harus menjadi uji coba yang dirancang dengan
baik. Pengembangan basis bukti untuk praktik ini dapat mendukung integrasi

27
farmasi perawatan rawat jalan spesialis layanan ke dalam program terkoordinasi
untuk penyakit kronis pasien.
2.8 Kerangka Pikir

1. Pengelolaan Sediaan Berdasarkan PERMENKES RI


Farmasi dan Bahan Medis Nomor 74 tahun 2016 tentang
Habia Pakai di Puskesmas standar pelayanan kefarmasian
2. Pelayanan Farmasi Klinik di Puskesmas
di Puskesmas
3. Pengelolaan Sumber Daya
Manusia di Puskesmas
4. Pengelolaan Pengendalian
Mutu Pelayanan
Kefarmasian di Puskesmas

1. Usia
2. Jenis Kelamin

Gambar 2.1 Kerangka Pikir


Kerangka pikir dalam penelitian ini disusun berdasarkan masalah yang
akan diteliti yakni kajian pelayanan kefarmasian berdasarkan PERMENKES RI
Nomor 74 tahun 2016 tentang standar pelayanan kefarmasian di Puskesmas
mengenai pengelolaan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai yang
merupakan salah satu kegiatan pelayanan kefarmasian, yang dimulai dari
perencanaan, permintaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian,
pengendalian, pencatatan dan pelaporan. Pelayanan farmasi klinik yang
langsung bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan obat dan bahan
medis habis pakai. Sumber daya kefarmasian yang penyelenggaraan pelayanan
kefarmasian di Puskesmas minimal harus dilaksanakan oleh satu orang tenaga
apoteker sebagai penanggung jawab yang dapat dibantu oleh tenaga teknis
kefarmasian sesuai kebutuhan. Sedangkan pengendalian mutu pelayanan

28
kefarmasian yang mencegah terjadinya masalah terkait obat atau terjadinya
kesalahan pengobatan atau kesalahan pengobatan untuk keselamatan pasien.

29
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitan ini menggunakan metode observasi dengan menggunakan
data primer yang dikumpulkan dengan menggunakan kuisioner dan wawancara
(sebagai data pelengkap) dengan tujuan untuk pengelolaan sediaan farmasi dan bahan
medis habis pakai, pelayanan farmasi klinik, sumber daya kefarmasian dan
pengendalian mutu pelayanan kefarmasian di Puskesmas Kota Selatan Kota
Gorontalo
3.2 Tempat dan Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Kota Selatan Kota Gorontalo dan waktu
pelaksanaannya bulan Juni-Juli tahun 2020.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1 Populasi
Populasi penelitian ini yaitu mencakup masalah yang ada di Pukesmas
Kota Selatan terkait tentang pengelolaan sediaan farmasi dan medis habis pakai,
sumber daya kefarmasian, mutu pelayanannya, dan farmasi kliniknya
3.3.2 Sampel dan Teknik Sampling
Sampel penelitian ini yang digunakan adalah apoteker penanggung jawab
di Puskesmas. Data primer merupakan data yang lebih mengacu pada informasi
yang didapatkan dari sumber utama melalui kuisioner dan wawancara. Tekhnik
sampling yang digunakan yaitu dengan cara simple random sampling.

30
3.4 Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional Penelitian
Variabel Definisi Operasional Alat Skala Parameter
Ukur
Puskesmas Sarana pelayanan Kuisioner Nominal: Puskesmas
kefarmasian tempat Ya/Tidak yang tidak
dilakukan praktek menjalankan
kefarmasian oleh apoteker aturan sesuai
dengan
PERMENKES
RI Nomor 74
tahun 2016
Pengelolaan Pelayanan kefarmasian Kuisioner Nominal: Baik: 76-100%
sediaan memuat tentang, Ya/Tidak Cukup: 56-

farmasi dan perencanaan, permintaan, 75%

penerimaan, Kurang: 56%


bahan
medis habis penyimpanan,
pakai pendistribusian,
pengendalian, pencatatan
dan pelaporan serta
pemantauan dan evaluasi
Pelayanan Bentuk pelayanan dan Kuisioner Nominal: Baik: 76-100%
kefarmasian tanggung jawab langsung Ya/Tidak Cukup: 56-
profesi apoteker dalam 75%
pekerjaan kefarmasian Kurang: 56%
untuk meningkatkan
kualitas hidup pasien.
Sumber Minimal harus Kuisioner Nominal: Baik: 76-100%
daya dilaksanakan oleh 1 Ya/Tidak Cukup: 56-

kefarmasian (satu) orang tenaga 75%


Kurang: 56%
Apoteker sebagai
penanggung jawab, yang
dapat dibantu oleh

31
Tenaga Teknis
Kefarmasian sesuai
kebutuhan
Pengendalia Kegiatan untuk Kuisioner Nominal: Baik: 76-100%
n mutu mencegah terjadinya Ya/Tidak Cukup: 56-

pelayanan masalah terkait Obat atau 75%


Kurang: 56%
kefarmasian mencegah terjadinya
kesalahan pengobatan
atau kesalahan
pengobatan

3.5 Instrumen dan Metode Pengumpulan Data


1. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan yaitu berupa kuisioner yang berisi
karakteristik responden
2. Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan yaitu data diambil menggunakan kuisioner
sistem checklist. Setelah semuanya diisi peneliti melakukan sedikit
wawancara dengan tujuan untuk melengkapi data yang diperoleh kemudian
melakukan kesesuaian dengan standar yang digunakan yaitu PERMENKES
RI Nomor 74 tahun 2016 tentang standar pelayanan kefarmasian di
Puskesmas
3.6 Metode Pengolahan dan Analisis Data
Metode pengolahan data Setelah data sudah terkumpul selanjutnya diolah
menjadi bentuk presentase dan disajikan dalam bentuk diagram atau tabel.
Rumus presentase (Sibagariang, 2010):
f
P= x 100 %
n
Keterangan:
P : Persentase
f : Frekuensi
n : Jumlah sampel

32

Anda mungkin juga menyukai