Anda di halaman 1dari 61

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam sitem peradilan pidana proses penyidikan merupakan tahap yang

paling krusial, dimana tugas penyidikan yang dibebankan kepada Polri sangat

kompleks, selain sebagai penyidik juga sebagai pengawas serta sebagai

koordinator bagi penyidik PPNS. Kompleksitas tugas penyidik Polri semakin

bertambah seiring dengan bergulirnya reformasi di segala bidang kehidupan di

Indonesia. Penyidik dituntut untuk berhasil mengungkap semua perkara yang

terindikasi telah melanggar hukum yang ditanganinya.

Disamping itu penyidik juga dituntut untuk tidak melanggar Hak Asasi

Manusia (HAM) dalam melaksanakan penyidika terhadap seseorang yang di duga

malakukan tindak pidana. Tantangan lain yang dihadapi oleh penyidik Polri bukan

saja berasal dari keberhasilan meneruskan suatu perkara ke pengadilan melalui

kejaksaan, tetapi juga kemungkinan akan dituntut oleh pihak tersangka dan

keluarganya melalui gugatan pra-peradilan karena kesalahan penyidik polri itu

sendiri.

Kegiatan penyidikan merupakan suatu rangkaian kegiatan

penindakan/upaya paksa, pemeriksaan, penyelesaian dan penyerahan berkas

perkara. Kenyataan dilapangan berdasarkan penelitian awal (observasi) oleh

penulis terutama di wilayah hukum Polres Jombang yang dijadikan wilayah

penelitian dalam penulisan Skripsi ini, pelaksanaan penyidikan tersebut tidak


2

dapat berjalan sebagaimana yang telah di atur dalam KUHAP sehingga

menimbulkan berbagai macam permasalahan pada saat proses penyidikan sedang

berlangsung.

Dengan kondisi-kondisi yang dikemukan diatas, maka dapat dikatakan

bahwa proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Polres Jombang

menghadapi suatu permasalahan yang begitu kompleks, sehingga dalam

pelaksanaannya sulit untuk berjalan dengan baik, sehingga akan menimbulkan

dampak negatif bagi bekerjanya suatu sistem peradilan pidana dalam menciptkan

proses hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dikemukan di atas, maka yang

menjadi fokus pembahasan dalam penelitian ini mengenai pelaksanaan penyidikan

yang dilakukan oleh Polres Jombang dalam sistem peradilan pidana yang

dilakukan oleh pihak Kepolisian Resort Jombang. Proses penyidikan dalam hal ini

mulai dari proses pembuatan laporan polisi, penyidikan, pemanggilan,

penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan, pemberkasan,

hingga penyerahan berkas perkara dan tersangka serta barang bukti (P-21),

sehingga tindakan yang dilakukan oleh penyidik/pemyidik pembantu dalam setiap

upaya atau langkah tindakanya dapat berjalan efektif dan efisien dalam rangka

penegakan hukum (law enforcement). Berdasar latar belakang tersebut maka

dalam skripsi ini akan akan membahas judul : Tinjauan Hukum Dalam Prosedur

Penyidikan Tindak Kejahatan Yang Dilakukan Oleh Penyidik Polres Jombang


3

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam latar belakan

permasalahan maka permasalahan yang menarik untuk dikaji dalam

penulisan skripsi ini adalah bagaimana proses pelaksanaan penyidikan

polres Jombang dalam sistem peradilan pidana?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pembahasan dari rumusan masalah tersebut, akan dicapai

tujuan penelitian dari Skripsi ini, yaitu :

1. Untuk mengetahui Pelaksanaan Penyidikan Polres Jombang dalam Sistem

Peradilan Pidana

2. Untuk menemukan tata cara Penyidikan Polres Jombang dalam Sistem

Peradilan Pidana.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Manfaat teoritis

Memberikan masukan terhadap ilmu pengetahuan hukum yaitu Hukum

Pidana, khususnya dalam memahami tata cara penyidikan dalam sistem

peradilan pidana
4

2. Manfaat praktis

Adapun manfaat praktis dari penelitian ini, bagi peneliti Skripsi khususnya,

adalah memahami masalah tata cara penyidikan dalam sistem peradilan

pidana.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

pendekatan yang bersifat empiris. Pendekatan ini digunakan karena

masalah yang akan dibahas berkaitan dengan realitas sosial dan tingkah

laku dari aparat penyidik dalam pelaksanaan penyidikan itu sendiri.

Tingkah laku manusia yang terlibat dalam suatu proses penyidikan juga

merupakan aplikasi dari norma-norma yang sudah ditetapkan

sebelumnyadalam KUHAP. Pendekatan ini digunakan dengan tujuan dapat

diperoleh gambaran yang jelas dan utuh mengenai latar belakang dan seluk

beluk pelaksanaan penyidikan tindak pidana oleh Polres Jombang,

sekaligus juga untuk mengetahui kendala-kendala yang diharapkan kondisi

yang sesungguhnya tentang bagaimana faktor-faktor hukum dan non-

hukum dalam arti aturan interen dan aturan eksteren Polres Kodiri yang

ikut membentuk perilaku penyidik di lapangan.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dalam penulisan ini adalah di wilayah hukum

Polres Jombang. Adapun alasan memilih likasi penelitian ini adalah karena
5

pertimbangan data statistik jumlah tindak pidana yang terjadi dan

cenderung mengalami peningkatan baik secara kuantitas maupun kualitas,

namun demikian berbanding terbalik dengan jumlah tindak pidana yang

diselesaikan, serta banyaknya permasalahan-permasalahan yang terjadi

selama penyidikan berlangsungyang bertentangan dengan ketentuan yang

telah diatur dalam KUHAP.

3. Populasi dan Sampel

Sehubungan penelitian ini dilaksanakan di wilayah hukum Polres

Jombang, maka populasi penelitian ini meliputi seluruh penyidik Polri di

Polres Jombang, Penyidik di Polsek Jajaran Polres Jombang, unsur

pimpinan Polres, unsur pimpinan Polsek, serta tersangka yang pernah di

sidik baik oleh penyidik Polres Jombang maupun Penyidik Polsek Jajaran

Polres Jombang baik yang sampai ke pengadiln maupun yang tidak sampai

ke pengadilan.

Selanjutnya sampel dalam penelitian ini, mengingat dan

pertimbangan keterbatasan waktu dan dana yang dimiliki oleh penulis,

maka pengambilan sampel dari populasi penelitian ini ditentukan secara

langsung sebagai responden, yang terjadi dari :

1) Lima orang penyidik Polres Jombang;

2) Satu orang penyidik Polsek dari masing-masing Polsek Jajaran Polres

Jombang;

3) Kasat Reskrim Polres Jombang;

4) Kanit Reskrim dari masing-masing Polsek Jajaran Polres Jombang;


6

5) Tersangka yang pernah di sidik oleh Penyidik Polres dan Polsek yang

perkaranya sampai ke pengadilan, sebanyak 20 orang; Tersangka yang

pernah di sidik oleh Penyidik Polres dan Polsek yang perkaranya tidak

sampai ke pengadilan, sebanyak 20 orang.

Adapun teknik pemilihan sampel dalam penelitian ini dilakukan

dengan cara Purposive Sampling1 yaitu dengan penunjukan langsung

oleh peneliti untuk dijadikan sebagai sampel penelitian.

4. Alat Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilihat dari

tujuan penelitian, maka data yang diperlukan adalah data primer dan

data sekunder. Data primer meliputi data yang diperoleh langsung di

lapangan yang berkaitan dengan penyidikan tindak pidana oleh

kepolisian di wilayah hukum Polres Jombang. Sedangkan data sekunder

meliputi peraturan perundang-undangan, pendapat para pakar hukum

pidana dan hukum acara pidana, serta bahan-bahan kepustakaan lainya.

Untuk mendapatkan data tersebut diperoleh melalui ;

(1). Studi Kepustakaan

Studi keputusan bertujuan untuk memperoleh data

sekunder, mencari teori-teori, pandangan-pandangan yang

berhubungan dengan pokok permasalahan yang akan dibahas.

Adapun data sekunder ini mencakup norma atau kaidah dasar,

Peraturan Dasar, Peraturan Perundang-undangan, serta bahan-

1
http://www.pengertianmenurutparaahli.net/pengertian-teknik-purposive-sampling-menurut-para-
ahli/,
7

bahan hukum lainya yang digunakan untuk mendukung data

primer.

(2). Observasi

Pengumpulan data primer dengan mendatangi lokasi

penelitian, kemudian melakukan pengamatan secara langsung

terhadap obyek penelitian guna mengetahui pelaksanaan

penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Polri Polres Jombang.

(3). Wawancara (Interview)

Teknik wawancara dilakukan langsung kepada sampel

penelitian yaitu polisi yang pernah menyidik dan tersangka yang

pernah mengalami langsung proses penyidikan oleh Wawancara

dilakukan dengan menggunakan pedoman/panduan pertanyaan agar

tidak menyipang darai permasalahan yang diteliti.

5. Analisis Data

Data yang telah diperoleh dari hasil penelitian kemudian

dilanjutkan dengan analisis data secara kualitatif yaitu menganalisis

data berdasarkan kualitasnya lalu di deskripsiakan dengan

menggunakan kata-kata sehingga diperoleh bahasa atau paparan dalam

bentuk kalimat yang sistematis dan dapat dimengerti, kemudian ditarik

kesimpulan. Analisis ini digunakan untuk mengolah data yang sifatnya

tidak dapat di ukur yang berwujud kusus-kusus yang dilakuakan

penyididkan oleh penyidik sehingga memerlukan penjabaran melalui

uraian-uraian.
8

F. Sistematika Penulisan Skripsi

Penulisan Skripsi ini dibuat dalam 5 Bab. Yang terdiri dari :

Bab. I PENDAHULUAN, berisi : Latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tunjauan pustaka, metode

penelitian dan pertanggungjawaban sistematika.

Bab. II TINJAU PUSTAKA, Tinjau Pustaka Penyidikan Polres

Jombang dalam Sistem Peradilan Pidana, berisi : Aturan Hukum Pelaksanaan

Penyidikan asas-asas hukum pelaksanaan Penyidikan, dan Model-model

Sistem Peradilan Pidana.

Bab III PEMBAHASAN, Pelaksanaan penyidikan Polres Jombang,

berisi tentang Penyidikan Polri di Polres Jombang, Analisis Hukum

pelaksanaan penyidikan di Polres Jombang dan Kendala-kendala yang

dighadapi dalam pelaksnaan.

Bab IV. PENUTUP, Kesimpulan dan Saran


9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Penyidikan

Penyidikan merupakan tahap awal dari proses penegakan hukum pidana

atau bekerjanya mekanisme sitem peradilan pidana (SPP). Penyidikan mempunyai

kedudukan dan peranan yang sangat penting dan strategis untuk menentukan

berhasil tidaknya proses penegakan hukum pidana selanjutnya. Pelaksanaan

penyidikan yang baik akan menentukan keberhasilan Jaksa Penuntut Umum

dalam melakukan penuntutan dan selanjutnya memberikan kemudahan bagi

hakim untuk menggali/menemukan kebenaran materiil dalam memeriksa dan

mengadili di persidangan.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

memberikan pengertian penyidikan sebagaimana yang di atur menurut Pasal 1

Angka 2 KUHAP, yaitu :

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam han dan


menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari
serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya2.

Dengan demikian penyidikan baru dapat dilaksanakan oleh penyidik

apabila telah terjadi suatu tindak pidana dan terhadap tindak pidana tersebut dapat

dilakukan penyidikan menurut yang diatur dalam KUHAP. Penyidik adalah

pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil

2
Pasal 1 angka 2 KUHAP
10

tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undng-undang untuk melakukan

penyidikan (Pasal 109 butir (1) KUHAP). Untuk dapat menentukan suatu

peristiwa yang terjadi adalah termasuk suatu tindak pidana, menurut kemampuan

penyidik untuk mengidentifikasi suatu peristiwa sebagai tindak pidana dengan

berdasarkan pada pengetahuan hukum pidana.

Dari pengertian di atas, kegiatan penyidikan merupakan upaya paksa yang

meliputi kegiata untuk melakukan pemanggilan, penangkapan, penggeledahan,

dan penyitaan. Kegiatan di dalam penindakan pada dasarnya bersifat membatasi

kebebasan hak-hak seseorang dan perannya. Dalam melaksanakan kegiatan

penyidikan harus memperhatikan norma-norma hukum dan ketentuan-ketentuan

yang mengatur atas tindakan tersebut.

Penyidikan merupakan kegiatan pemeriksaan pendahuluan/awal

(vooronderzoek) yang seyogyanya di titik beratnta pada upaya pencarian atau

pengumpulan “bukti faktual” penangakapan dan penggeledahan, bahkan jika perlu

dapat di ikuti dengan tindakan penahanan tersangka dan penyitaan terhadap

barang atau bahan yang di duga erat kaitanya dengan tindak pida yang terjadi.

Penyidikan adalah suatu tindak lanjut dari kegiatan penyelidikan dengan

adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam pengguanaan upaya paksa

serta pengumpulan bukti permulaan yang cukup guna membuat terang suatu

peristiwa yang patut di duga merupakan tindak pidana.

Menurut R. Soesilo dalam bidang reserse kriminil, penyidikan itu biasa

dibedakan sebagai berikut:


11

1. Penyidikan dalam arti kata luas, yaitu meliputi penyidikan, pengusutan


dan pemeriksaan, yang sekaligus rangkaian dari tindakan-tindakan dari
terus-menerus, tidak ada pangkal permulaan dan penyelesaiannya,

2. Penyidikan dalam arti kata sempit, yaitu semua tindakan-tindakan yang


merupakan suatu bentuk represif dari reserse kriminil Polri yang
merupakan permulaan dari pemeriksaan perkara pidana3.

Dalam bahasa Belanda penyidikan disejajarkan dengan pengertian

opsporing. Menurut Pinto4, menyidik (opsporing) berarti pemeriksaan permulaan

oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditujukan oleh undang-undang segera setelah

mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekadar beralasan, bahwa ada

terjadi sesuatu pelanggaran hukum.

Istilah lain yang dipakai untuk menyebut istilah penyidikan adalah mencari

kejahatan dan pelanggaran yang merupakan aksi atau tindakan pertama dari

penegak hukum yang diberi wewnag untuk itu,dilakukan setelah diketahuinya

akan terjadi atau di duga terjadinya suatu tindak pidan. Penyidikan merupakan

tindakan yang dapat dan harus segera dilakukan oleh penyidik jika terjadi atau

jika ada persangkaan telah terjadi suatu tindak pidana. Apabila ada persangkaan

telah dilakukan kejahatan atau pelanggaran maka harus di usaikan apakah hal

tersebut sesuai dengan kenyataan, benarkah telah dilakukan suatu tindak pidana

dan jika benar demikian siapakah pelakunya.

Penyidikan itu dilakukan untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti

yang pada taraf pertama harus dapat memberikan keyakinan walaupun sifatnya

masih sementara, kepada penuntut umum tentang apa yang sebenarnya terjadi atau

tentang tindak pidana apa yang telah dilakukan serta siapa tersangkanya.
3
R.Soesilo, Taktik dan Teknik Penyidikan Perkara Kriminal, Politeia, Bandung, 1974, hal. 38
4
Pinto, Kriminologi Dan Sistem Peradilan Pidana, kumpulan karangan, buku ke-2, Jogjakarta,
2002, hal. 124
12

Penyidikkan dilakukan untuk kepentingan peradilan, khususnya untuk

kepentingan penuntutan, yaitu untuk menentukan dapat atau tidaknya suatu

tindakan atau perbuatan itu dilakukan penuntutan.

Secara konkrit tindak itu disebut penyidikan dapat diperinci sebagai

tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mendapatkan keterangan tentang :

1. Tindak pidana apa yang telah dilakukan,

2. Kapan tindak pidana itu dilakukan,

3. Di mana tindak pidana itu dilakukan,

4. Dengan apa tindak pidana itu dilakukan,

5. Bagaiman tindak pidana itu dilakukan,

6. Mengapa tindak pidana itu dilakukan dan,

7. Siapa pembuatnya atau yang melakukan tindak pidana itu.

Penyidikan sebagai bagian terpenting dalam Hukum Acara pidana yang

pada pelaksanaannya kerap kali harus menyinggung martabat individu yang dalam

persangkaan kadang-kadang wajib untuk dilakukan. Suatu semboyan penting

dalam hukum Acara Pidana yaitu hakikat penyidikan perkara pidana adalah untuk

menjernihkan persoalan sekaligus menghindarkan orang yang tidak bersalah dari

tindakan yang seharusnya dibebankan padanya. Oleh karena tersebut sering kali

proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik membutuhkan waktu yang

cenderung lama, melelahkan dan mungkin pula dapat menimbulkan beban psikis

diusahakan dari penghentian penyidikan.

Rangkaian tindakan penyidikan adalah segala tindakan atas nama hukum

yang dilakukan oleh Penyidik Polri, mulai dari pemanggilan, pemeriksaan,


13

penangkapan, penahanan, penyitaan, dan tindakan-tindakan lain yang diatur dalam

ketentuan hukum, perundang-undangan yang berlaku hingga proses penyidikan

itu dinyatakan selesai.

Penyidikan mulai dapat di laksanakan sejak dikeluarkanya Surat Perintah

Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang

dalam instansi penyidik, diman penyidik tersebut telah menerima laporan

mengenai terjadinya suatu peristiwa tindak pidana. Maka berdasar surat perintah

tersebut penyidik dapat melakukan tugas dan wewenag dengan menggunakan

taktik dan teknik penyidikan berdasarkan KUHAP agar penyidikan dapat berjalan

dengan lancar serta dapat terkumpulnya bukti-bukti yang diperlukan dan bila telah

dimulai proses penyidikan tersebut maka penyidik harus sesegera mungkin

memberitahukan telah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum.

Adapun kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh penyidik dalam proses

penyidikan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 Angka 2 Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), adalah sebagai berikut :

1. Penangkapan

Pengertian penangkapan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1

ayat 20 KUHAP yaitu :

Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan


sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila
terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau
penuntutan dan peradilan dalam hal serta menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini.
14

Penangkapan yang dilakukan terhadap tersangka diatur dalam

Pasal 18 sampai dengan Pasal 19 KUHAP dan dilakukan untuk

kepentingan penyelidikan atau untuk kepentingan penyidikan.

2. Penggeledahan

Pengertian penggeledahan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1

ayat 17 KUHAP yaitu :

Penggeledahan rumahadalah tindakan penyidik untuk memasuki


rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainya untuk melakukan
tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini.

Penggeledahan yang dilakukan terhadap tersangka diatur dalam

Pasal 32 sampai dengan Pasal 37 KUHAP, untuk kepentingan

penyidikan, penyidik berwenang untuk melakukan penggeledahan

terhadap rumah, pakaian dan badan. Adapun tujuan dilakukan

penggeledahan untuk mendapatkan barang bukti, dan sekaligus untuk

melakukan penangkapan terhadap tersangka.

3. Penyitaan

Pengertian penggeledahan sebagaimana yang diatur dalam Pasal

1 ayat 16 KUHAP yaitu :

Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk


mrngambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaanya
benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak
berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan,
penuntutan dan peradilan.

Dalam pelaksanaan penyitaan yang dilakukan guna kepentingan

secara pidana dapat dilakukan dengan cara-cara yang ditentukan oleh


15

Undang-undang yaitu adanya suatu pembatasan-pembatasan dalam

penyitaan, antara lain keharusan adanya izin ketua Pengadilan Negeri

setempat. Namun dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak

bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk

mendapatkan surat izin telebih dahulu, penyidik dapat melakukan

penyitaan hanya atas benda bergerak, dan untuk itu wajib segera

melaporkan kepada ketua Pengadilan Negeri setempat guna mendapat

persetujuan.

Penyitaan terhadap barang bukti diatur dalam Pasal 38 sampai

dengan Pasal 46 KUHAP dimana penyitaan barang bukti yang

dilakukan oleh penyidik hanya dapat dilakukan dengan surat izin dari

Ketua Pengadilan Negeri setempat.

4. Pemeriksaan

Kegiatan pemeriksaan merupakan salah satu kegiatan

penyidik/penyidik pembantu untuk mendapatkan keterangan dan

kejelasan tentang tindak pidana yang terjadi dan dituangkan dalam

berita acara pemeriksaan untuk melengkapi berkas perkara. Pemriksaan

dilakukan baik terhadap saksi maupun terhadsap tersangka. Dalam

melakukan pemeriksaan terhadap seorang tersangka dengan didampingi

oleh pengacara yang merupakan persyaratan materiil yang sudah di atur

dalam KUHAP.
16

5. Penahanan

Pengertian mengenai penahanan sebagaimana yang diatur dalam

Pasal 1 ayat 21 KUHAP yaitu :

Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat


tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan
penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini.

Penahanan merupan salah satu bentuk perampasan kemerdekaan

bergerak seseorang. Jadi disini terdapat pertentangan antara dua asas

yaitu hak bergerak seseorang yang merupakan hak asasi manusia yang

harus dihormati disatu pihak dan kepentingan ketertiban umum di lain

pihak yang harus dipertahankan untuk orang banyak atu masyarakat

dari perbuatan jahat tersangka.

Pertimbangan dan ketentuan mengenai penahanan yang dilakukan

terhadap tersangka diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 31

KUHAP.

6. Penyerahan Berkas Perkara ke Kejaksaan

Menurut Pasal 8 KUHAP, jika penyidik telah selesai melakukan

penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara kepada

penuntut umum. Penyelesaian dan penyerahan berkas perkara terdiri

dari dua tahap diman pada tahap pertama penyidik menyerahkan berkas

perkara, apabila telah dianggap lengkapmaka penyidik menyerahkan

tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti. Kegiatan ini


17

merupakan akhir dari proses penyidikan tindak pidana yang dilakukan

oleh penyidik.

Setelah diselesaikan proses penyidikan maka penyidik

meyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada penuntut

umum, dimana penuntut umum nantinya akan memeriksa kelengkapan

berkas perkara tersebut apakah sudah lengkap atau belum, bila belum

maka berkas perkara tersebut akan dikembalikan kepada penyidik untu

dilengkapi untuk dilakukan penyidikan tambahan sesuai dengan

petunjuk penuntut umum dan bila telah lengkap yang dilihat dalam

empat belas hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas

pemeriksaan atau penuntut umum telah memberitahukan bahwa berkas

tersebut lengkap sebelum waktu empat belas hari maka dapat di

lanjutkan prosesnya ke persidangan.

Keseluruhan proses penyidikan yang telah dilakukan oleh

penyidik Polres Jombang tersebut kemudian akan dilanjutkan oleh

Kejaksaan dalam hal memepersiapkan penuntutan yang akan diajukan

dalam sidang pengadilan dan selanjutnya penjatuhan vonis kepada

terdakwa yang kesemuanya itu berlangsung dalam suatu sistem

peradilan pidana dalam rangka penegakan hukum pidana.

Sistem peradilan dapat ditinjau dari berbagai segi, pertama segala

sesuatu berkenaan dengan penyelwnggaraan peradilan. Disini, sistem

peradilan akan mencangkup kelembagaan, sumber daya, tatacara,


18

prasarana, dan lain-lain. Kedua, sistem peradilan diartikan sebagai

proses mengadili (memeriksa dan memutus perkara).

Kewenangan kepolisian dalam melaksanakan proses pemeriksaan

perkara pidana dijabarkan dalam Pasal 16 UU No. 2 tahun 2002

Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu:

1. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;


2. Melarang setiap orang untuk meninggalkan atau memasuki tempat
kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;
3. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka
penyidikan;
4. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal;
5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
6. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi;
7. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dalam pemeriksaan perkara pidana;
8. Mengadakan penghentian penyidikan;
9. Menyerahkan bekas perkara kepada penuntut umum;
10. Mengajukan permintaan langsung kepada pejabat imigrasi yang
berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak
atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang
disangka melakukan tindak pidana;
11. Memberi bantuan dan petunjuk penyidikan kepada penyidik
pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik
pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum;
12. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggungjawab.
7. Sistem Peradilan Pidana

Menurut Lily Rasyidi5, ciri suatu sistem adalah :

Lili Rasjidi dan IB Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Mandar
5

Maju, 2003) hal.178


19

a. Suatu kopleksitas elemen yang terbentuk dalam satu kesatuan


interaksi (proses);
b. Masing-masing elemen terkait dalam satu kesatuan hubungan yang
satu sama lain salaing tergantung (interpendence of its parts);
c. Kesatuan elemen yang kompleks itu membentuk satu kesatuan yang
lebih besar, yang meliputi keseluruhan elemen pembentuknya itu
(the whole is more that the sum of its parts);
d. Keseluruhan itu menentukan ciri dari setiap bagian pembentuknya
(the whole determines the nature of its parts);
e. Bagian dari keseluruhan itu tidak dapat di pahami jika ia dipisahkan,
atau dipahami secara terpisah dari keseluruhan itu (the parts cannot
be understood of considered in isolation from the whole);
f. Bagian-bagian itu bergerak secara dinamis, secara mandiri atau
secara keseluruhan dalam keseluruhan (sistem) itu.

Sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah sistem

dalam suatu masyarakat untuk mananggulangi masalah kejahatan.

Menanggulangi adalah usaha mengendalikan kejahatan agar berada

dalam batas-batas toleransi dengan menyelesaikan sebagian besar

laporan maupun keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan

dengan mengajukan pelaku kejahatan ke sidang pengadilan untuk

diputus bersalah serta mandapat pidana, disamping itu ada hal lain yang

tidak kalah penting adalah mencegah terjadinya korban kejahatan serta

mencegah pelaku untuk mengulangi kejahatanya.

Muladi6 menerjemehkan sistem perdilan pidana (criminal

justice sysytem) sebagai suatu jaringan (network) peradilan yang

menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum

pidana materiil, hukum pidana formil, maupun plaksanaan hukum

pidana. Didalam sistem peradilan pidana ini trkandung gerak sistem

6
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1995, hlm.
Ix
20

dari komponen-komponenpendukungnya yaitu kepolisian, kejaksaan,

pengadilan dan pemasyarakatan. Gerak sistem ini secara keseluruhan

dan totalitas berusaha mentransformasikan masukan (imput) menjadi

keluar (output) yang menjadi sasaran kerja sistem peradilan ini, yaitu

sasaran jangka pendek adalah resosialisai pelaku, kejahatan, sasaran

jangka menengah pencegahan kejahatan, dan sasaran jangka panjang

sebagai tujuan akhir adalah kesejahteraan masyarakat.

Apabila membahas mengenai perdilan pidana sebagai suatu

sistem menurut Romli Atmasasmita7, harus dilakukan pendekatan

sistem, yaitu :

a. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan


pidana (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga
Pemasyarakatan);
b. Pengawasan dan pengendalian pengguanaan kekuasaan oleh
komponen perdilan pidana;
c. Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih di utamakan
daripada efisiensi penyelesaian perkara;
d. Pengguanaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan the
administration of justice.

Konsepsi integrated dalam pengertian singkronisasi

sebagaimana dikemukakan oleh Romli Atmasasmita tersebut di atas,

mengadung pengertian the achievement of unification through shared

norm values yang harus tampak dalam penyelenggaraan dan oknum

penyelenggaraan pengadilan pidana. Sehubungan dengan karakter

peradilan pidana dan upaya sistem peradilan pidana yang terpadu, yang

7
Romli Atmasasmita (1), Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2011, hlm. 2.
21

memerlukan pemahaman lebih lajut untuk menumbuhkan sinkronisai

dari segi struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum.

Sitem peradilan pidana akan dianggap efektif apabila pelaku

kejahatan yang dilaporkan atau dikeluhkan masyarakat dapat

diselesaikan dengan diajukannya pelaku kejahatan ke muka pengadilan

dan menerima sanksi pidana, termasuk juga :

a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;

b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat

puas bahwa keadilan telah ditegakan dan yang bersalah telah

dipidana;

c. Berupaya agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak

mengulangi kejahatanya.

Peradilan pidana pidana dikatakan sebagai sistem karena

didalam sistem tersebut bekerja subsistem-subsistem yang mendukung

jalanya perdilan pidana, yaitu pengendalian kejahatan yang terdiri dari

lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan

terpidana.

Dalam kerangka pemahaman tersebut maka kepolisian,

kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan merupakan unsur-unsur

yang membangun sistem tersebut. Masing-masing memang berdiri

sendiri dan mengerjakan pekerjaan yang berbeda-beda, tetapi semuanya

tetap merupakan unsur saja dari satu sitem, yaitu sistem peradilan

pidana, bahkan kalau sistem peradilan pidana diibratkan mesin, maka


22

kita juga dapat mengatakan, bahwa masing-masing bidang itu adalah

ibarat sekrup-sekrup saja dari mesin tersebut.

Loebby Loqman8 membedakan pengertian sistem peradilan

pidana dengan proses pidana. Sitem adalah suatau rangkaian antara

unsur atau faktor yang saling terkait satu dengan lainnya sehingga

menciptakan suatu mekanisme sedemikian rupa sehingga sampai tujuan

dari sistem tersebut. Sedangkan proses perdilan pidana, yakni suatu

proses sejak seseorang di duga telah melakukan tindak pidana, sampai

orang tersebut di bebaskan kembali setelah melaksanakan pidana yang

telah dijatuhkan padanya.

Sesungguhnya proses peradilan pidana maupun sistem peradilan

pidana mengandung pengertian yang ruang lingkupnya berkaitan

dengan mekanisme peradilan pidana. Kelancaran proses peradilan

pidana ditentukan oleh bekerjanya sistem peradilan pidana. Tidak

berfungsinya salah satu subsistem akan mengganggu bekerjanya

subsistem yang lain, yang pada akhirnya menghambat bekerjanya

proses peradilan.

Sistem peradilan pidana terpadu dalam KUHAP merupakan

dasar bagi terselenggaranya proses peradilan pidana yang benar-benar

bekerja dengan baik serta benar-benar memberikan perlindungan

hukum terhadap harkat dan martabat tersangka, terdakwa atau terpidana

sebagai manusia. Sistem peradilan pidana yang dianut oleh KUHAP

melibatkan subsistem pemeriksaan di sidang pengadilan dan subsitem


8
Loebby Loqman, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, FH-UI, Jakarta, 1984, hal. 112
23

pelaksanaan pusat pengadilan. Masing-masing subsitem tersebut dalam

KUHAP dilaksanakan oleh institusi-institusi Kepolisian (subsitem

penyidikan), Kejaksaan (subsistem penuntutan), Pengadilan ( subsistem

pemeriksaan sidang pengadilan), lembaga Pemasyarakatan (subsitem

pelaksanaan putusan pengadilan).

Keempat intitusi pelaksaan dalam sistem peradilan pidana

tersebut seyogyanya lebih mengutamakan kebersamaan serta semangat

kerja yang tulus dan ikhlas serta positif antara aparatur penegak hukum

untuk mengembangkan tugas menegahkan keadilan dalam bingkai

sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system).

Muladi9 mengatakan bahwa makna integrated criminal justice system

adalah singkronisasi atau keserempakan dan keselarasan yang dapat

dibedakan dalam :

a. Singkronisasi struktural (structural syncronization) yaitu

keserampakan dan keselarasan dalam rangka hubungan antara

lembaga penegak hukum.

b. Singkronisasi substansial (substancial sincronization), yaitu

keserempakan dan keselarasan yang bersifat vertiakal dan horizontal

dalam kaitannya dengan hukum positif.

c. Singkronisaasi kultural (cultural sincronization) yaitu keserempakan

dan keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-

sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalanya sistem

peradilan pidana.
9
Muladi, Loc.Cit., hal.16
24

Seharusnya setiap subsistem dalam sistem peradilan pidana tidak

boleh bekerja sendiri-sendiri tanpa memperdulikan subsistem lainya.

Sistem ini merupakan proses yang berkesinambungan. Kendala yang

terjadi pada salah satu subsistem akan memepengaruhi subsistem

lainya. Setiap subsistem dan sistem peradilan pidana memainkan peran

yang spesifik dalam penanggulangan kejahatan, dengan mengerakan

segenap potensi (anggota dan sumberdaya) yang ada di lembaga-

lembaga masing-masing. Aktivitas subsistem ini harus diarahkan pada

pencapaian tujuan bersama sebagaimana yang telah ditetapkan dalam

desain kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy).

Langkah yang penting untuk menjadikan sistem tersebut dapat

bekerja sebagai sistem adalah (1) kesaran sistem, (2) perilaku sistem,

(3) kultur sistem. Hal-hal ini perlu ditekankan, oleh karena pada

akhirnya sistem (dan unsur-unsurnya) hanya dapat beroprasi melalui

(tindakan) manusia. Sejak kita mengetahui bahwa manusia bukan robot

dan mereka mampu membuat pilihan-plihan, maka pembinaan kultur

penting sekali dilakukan. Perilaku mereka yang mengandung unsur-

unsur sistem tersebut perlu diusahakan untuk berangkat dari nilai

persepsi yang sama mengenai tujuan dan bekerjanya sistem.

Sebagai suatu sistem, maka semua komponen dalam sistem

peradilan pidana harus mempunyai kesamaan tujuan secara holistik,

sehingga akan saling mendukung dalam pelaksanaan tugasnya, bukan

untuk saling bertentangan. Dalam kenyataanya masing –masinng


25

subsistem bekerja dengan sendiri-sendiri dengan motivasi kerja yang

beragam. Hal ini menyebabkan ini menyebabkan tidak diindahkanya

adanya suatu keperluan untuk memperoleh satu kebijakan kejahatan

(criminal policy). Kondisi ini memiliki dampak yang sangat

menentukan bagi berfungsinya proses penegakan hukum dan keadilan.

Oleh karena itu, menurut Mardjono Reksodiputro 10, bahwa

komponen-komponen sistem peradilan ini harus bekerja secara terpadu

(integrated) untuk menanggulangi kejahatan. Tidak ketercapainya

keterpaduan dalam kinerja komponen sistem peradilan pidana ini, maka

akan mendatangkan kerugian :

a. Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-

masing instansi sehubungan dengan tugas mereka.

b. Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masing-

masing instansi (sebagai subsistem) ;dan

c. Karena tanggung jawab masing-masing instansi sering kurang jelas

terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas

menyeluruh dari sistem peradilan pidana.

Adapun keterpaduan dalam sistem peradilan pidana bukanlah

diterjemahkan sebagai suatu sistem yang bekerja sama dalam satu unit

atau departemen atau menyatu dalam lembaga tersendiri. Keterpaduan

dalam sistem peradilan pidana lebih ditunjukan sebagai kerjasama dan

koordinasi antara subsistem yang satu dengan subsistem yang lainya


10
Mardjono Reksodiputro , Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana. Kumpulan
Karangan. Buku Ketiga, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas
Indonesia, 2007, hlm. 84
26

dengan prinsip unity in diversity. Setiap subsistem dalam sistem

peradilan pidana memakaikan peran yang sepesifik dalam

penanggulangan kejahatan, dengan mengarahkan segenap potensi

(anggota dan sumber daya) yang ada dalam lembaga masing-masing.

Namun, aktivitas subsistem ini harus diarahkan pada pencapaian tujuan

bersama yang telah ditetapkan dalam desain kebijakan penanggulangan

kejahatan (criminal policy).

Pendekatan keterpaduan ini bertujuan untuk menciptakan strategi

supaya setiap elemen dapat meningkatkan efisiensi kerjanya dan

sekaligus bersatu padu dengan elemen yang lainnya untuk menciptakan

tujuan bersama. Kosekuensi logisnya adalah elemen yang satu dengan

elemen yang lainnya harus saling berhubungan secara struktural dan

mempertahankan kesinambungan tugas mereka. Tidak terjalinya

kerjasama yang erat dan tidak ditemukannya satu persepsi yang sama

mengenai tujuan yang ingin dicapai bersama, maka sistem peradilan

terpadu tidak akan dapat menaggulangi kejahatan.


27

BAB III

PEMBAHASAN

A. Analisis Hukum Pelaksanaan Penyidikan di Polres Jombang

Pasal 1 butir (2) KUHAP “Penyidkan adalah serangkaian tindajkan

penyidik dalam hal dan menuntut cara yang diatur dalam undang-undang ini

untuk mecari serta mengumpulkan bukti yang terdiri dan guna menemukan

tersangkanya”.

Rumusan itu mengandung sekurang-kurangnya tiga unsur sebagai kata

kunci, yakni (1) bukti yang dicari dan dikumpulkan, (2) tindak pidana menjadi

terang , dan (3) tersangka ditemukan.

Kejelasan makna di atas dengan penyelidikan masih tampak tetapi

beratnya sudah berbeda. Pasal 1 butir (5) KUHAP, “Penyelidikan adalah

serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa

yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya

dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.

Sekurang-kurangnya ada empat unsur pokok di dalam kesatuan arti

penyelidikan itu, yakni (1) orang/pejabat yang menjadi penyelidik, (2) tindakan

mencari dan menemukan, (3) dugaan peristiwa, dan (4) berlanjut/ tidak ke tahap

penyelidikan.

Mencari di dalam penyelidikan bertujuan supaya menemukan yang

kemudian menjadi mengumpulkan di dalam penyelidikan, karena sudah ada yang

ditemukan, tetapi belum terkumpul. Untuk itu, berarti penyelidik tidak ditugaskan
28

mengumpul, tetapi ia sudah tahu itu ada. Walau mungkin masih tercerai-berai,

tentu saja mengumpul itu bisa dan baik dilakukan, waktu bukan yang utama.

Sasaran temuan penyelidik adalah dugaan delik telah meningkat menjadi terang,

ada delik dan ada tersangka di dalam penyidikan. Terang, karena sudah ada

terkumpul bukti kualitas hukum, yang sebelumnya dalam penyelidikan masih

sedang dicari-cari.

Pasal 1 butir (1) KUHAP, “penyidik adalah pejabat polisi Negara

Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tentu yang diberi wewenang

oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”.

Berdasarkan pasal tersebut penyidik adalah (1) Pejabat Polisi Negara

Repiblik Indonesia, (2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tentu yang diberi wewenang

khusus oleh undang-undang.

Pasal 17 Peraturan Pemeruntah Nomor 27 Tahun 1983, “Penyidikan

menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-

undang tertentu sebagaimana dimaksud dallam Pasal 284 ayat (2) KUHAP

dilaksanakan oleh penyidik, jaksa, dan pejabat penyidik yang berwenang lainya

berdasarkan perundang-undangan”.

Berdasar PP Nomor 27 Tahun 1983, maka penyidik terdiri dari (1)

penyidik, (2) jaksa, dan (3) pejabat penyidik yang berwenang lainya berdasarkan

peraturan perundang-undangan.

Leden Marpaung, SH berpendapat mengenai pengaturan penyidik

pada KUHAP dan PP Nomor 27 Tahun 198311 :

11
Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan dan Penyidikan) Bagian
Pertama Edisi Kedua , Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hal. 57
29

Dalam hal aparat “penyidik” sebagaimana diatur Pasal 1 butir (1)


tercantum dua penyidik, yakni pejabat polisi Negara RI dan atau
pejabat pegawai negeri sipil tertentu, Pasal 1 butir (1) KUHAP jo.
Pasal 6 ayat (1) KUHAP Rumusan tersebut, seyogianya ditambah
dengan ‘aparat Negara tertentu yang diberi kewenangan oleh undang-
undang’. Dengan demikian, rumusan itu menjadi lengkap dan tepat,
sesuai denagn kenyataan sebagaimana dirumuskan oleh Pasal 17 PP
Nomor 27 Tahun 1983.

Dengan adanya PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil), akan membatu

pelaksanaan Penyidik Polri dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya.

Nikolas Simanjuntak, dalam bukunya “Acara Pidana Indonesia dalam

Sirkus Hukum”12, menjabarkan PPNS yang biasa menjadi penyidik, antara lain :

No. Nomor UU Materi Pokok Masalah Pidana Pejabat Penyidik

1 5 Tahun 1983 Zona Ekonomi Eksklusif Perwira TNI AL

Indonesia

2 5 Tahun 1990 Konserfasi Sumber Daya Hayati 1.Perwira TNI AL

dan Ekosistem (SDHE) 2.PPNS bidang

SDHE
3 5 Tahun 1992 Benda Cagar Budaya PPNS Diknas

4 14 Tahun 1992 Lalu Lintas PPNS Dishub

5 21 Tahun 1992 Pelayaran 1. Perwira TNI AL

2. PPNS Dishub
6 9 Tahun 1992 Imigrasi PPNS Imigrasi

7 23 Tahun 1997 Pengelolaan Lingkungan Hidup 1. Perwira TNI AL

2. PPNS Dishub
8 22 Tahun 1997 Narkotika PPNS di

beberapa
12
Nikolas Simanjuntak, Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum, Penerbit: Ghalia
Indonesia, 2009
30

departemen yang

lingkup tugas

dan tanggung

jawabnya

mengurus bahan

untuk narkotika

9 41 Tahun 1999 Kehutanan PPNS Kehutanan

10 16 Tahun 2000 Perubahan Kedua atas UU No. 6 PPNS Ditjen

Tahun 1983 tentang Ketentuan Pajak

Umum dan Tatacara Perpajakan

11 18 Tahun 2000 Perubahan Kedua atas UU No. 8 PPNS Ditjen

Tahun 1983 tentang Pajak Pajak

Pertambahan Nilai Barang dan

Jasa dan Pajak Penjualan atas

Barang Mewah

12 26 Tahun 2000 Pengadilan Hak Asasi Manusia 1. Penyidik Ad

Hoc

2. Jaksa Agung RI
13 20 Tahun 2001 Pemberantasan Tindak Pidana Jaksa Agung RI

Korupsi

14 19 Tahun 2002 Hak Cipta PPNS Ditjen

HAKI

15 30 Tahun 2002 Komisi Pemberantasan Korupsi Penyidik KPK

16 25 Tahun 2003 Tindak Pidana Pencucian Uang Penyidik Pusat

Pelaporan dan
31

Analisis

Transaksi

Keuangan

(PPATK)

17 31 Tahun 2004 Perikanan 1. Perwira TNI AL

2. PPNS

Perikanan
18 32 Tahun 2004 Pemerintah Daerah (Pidana Tamtib/Tibun

Perdata)

19 17 Tahun 2006 Kepabeanan (Bea Cukai) PPNS Bea Cukai

20 11 Tahun 2008 Informasi dan Transaksi PPNS bidang

Elektronik Teknologi

Informasi dan

Transaksi

Elektronik

22 18 Tahun 2008 Pengelolaan Sampah PPNS Bidang

Persampahan

Namun yang perlu menjadi catatan pada tabel di atas ada beberapa

undang-undang yang mengalami perubahan, diantaranya sebagai berikut :

a. Undang-Undang Nomor 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan diubah menjadi Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu

Litas dan Angkutan Jalan.


32

b. Undang-Undang Nomor 9 tahun 1992 tentang keimigrasian diubah dengan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang

Keimigrasian, kemudian diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 6

Tahun 2011 tentang Keimigrasian.

c. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika diubah menjadi

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

d. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2003 tentang Komisi Pemberantasan

Yindak Pidana Korupsi diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-

Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 3

Tahun 2010 tentang Pencabutan Peraturan atas undang-undang Nomor 30

Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Ruang lingkup wewenang ,tugas, dan kewajiban penyidik menjadi

tampak lebih luas jangkauannya daripada penyidik. Prosedur tetap bagi

penyidik tidak diatur dalam satu bab tersendiri di dalam KUHAP, tetapi

aturan itu ada tersebar di berbagai pasal dan ayat yang relevan dengan

tindakan yang akan dilakukannya.

Namun, dari makna pengertian itu menampakkan adanya penyelidikan

menjadi bagian tugas perbantuan dari dan kepada penyidikan.


33

“Nama res untuk penyidik disebut dengan sandi “reserse”, tetapi dalam

praktiknya, yang diketahui masyarakat umum tentang reserse berarti polisi

urusan kriminal atau kejahatan berat”.

Dari definisi-definisi yang telah dijabarkan, semua polisi yang orangnya

terlembaga di dalam kepolisian RI (Polri) adalah ‘boleh’ dan biasa menjadi

penyelidik , bahkan mungkin boleh dikatakan bahwa fungsi utama menjadi

seorang polisi adalah untuk menyelidik. Di dalam ketentuan yang berlaku saat

ini, Pasal 4 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI dinyatakan bahwa

tujuan Polri adalah,

Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan

keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanaya keamanan dan

ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya

perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta

terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi

manusuia.

Bilamana saja terjadi dugaan tidak tertib dan tegaknya hukum yang

dinyatakan dalam undang-undang itu, maka tentulah menjadi pertama-tama

tugas dari setiap orang yang menjadi Polisi RI, dan tentu itu bermakna sangat

luas, menjangkau tidak hanya untuk pelaksanaan hukum acara pidana. Tetapi,

dugaan tidak tertib dan tegaknya hukum itu wajib bagi setiap polisi untuk

menyelidikinya dengan tanpa melanggar HAP.


34

Sadjijono13 dalam bukunya memahami Hukum Kepolisian

menjabarakan kewajiban dan larangan setiap anggita Polri, Kewajiban

anggota POLRI dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat

a. Setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, UUD 1945, Negara dan
Pemerintah;
b. Mengutamakan kepentingan Negara di atas kepentingan pribadi atau
golongan serta menghindari segala sesuatuyang dapat merugikan
kepentingan Negara;
c. Menjunjung tinggi kehormatan dan martabat Negara, Pemerintah, dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia;
d. Menyimpan rahasia Negara dan/atau rahasia jabatan dengan sebaik-
baiknya;
e. Hormat-menghormati antara pemeluk agama;
f. Menjunjung tinggi hak asasi manusia;
g. Mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik yang
berhubungan dengan tugas kedinasan maupun yang berlaku secara
umum;
h. Melaporkan kepada atasanya apabila mengetahui ada hal yang dapat
membahagiakan dan/atau merugikan Negara/Pemerintah;
i. Bersikap dan bertingkah laku sopan santun terhadap masyarakat;
j. Berpekaian rapu dan pantas.

Kewajiban anggota POLRI dalam pelaksanaan tugas :

a. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan dengan sebaik-

baiknya kepada masyarakat,

b. Memperhatikan dan menyelesaaikan dengan sebaik-baiknya laporan

dan/atau pengaduan masyarakat;

c. Menaati sumpah atau janji anggota Kepolisian Negara Repoblik

Indonesia serta sumpah atau janji jabatan berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku;

d. Melaksanakan tugas sebaik-baiknya dengan penuh kesadaran dan rasa

tanggungjawab;
13
Sadjijono, Memahami Hukum Kepolisian. PT LaksBang Persindo. Yogyakarta, 2010, hal.94
35

e. Memelihara dan meningkatkan keutuhan, kekompakan, persatuan, dan

kesatuan Kepolisian Negara Repoblik Indonesia;

f. Menaati segala peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan

yang berlaku;

g. Bertindak dan bersikap tegas serta berlaku adil dan bijaksana terhadap

bawahanya;

h. Membimbing bawahanya dalam melaksanakan tugas;

i. Memberikan contoh dan teladan yang baik terhadap bawahanya;

j. Mendorong semangat bawahanaya untuk meningkatkan prestasi kerja;

k. Memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan

karier;

l. Menanti ketentuan jam kerja;

m. Menggunakan dan memelihara suasana kerja yang baik.

Laranagan anggota POLRI dalam kehidupan bernegara dan

bermasyarakat :

a. Melakukan hal-hal yang dapat menemukan kehormatan dan martabat

Negara, pemerintah, atau Kepolisian Negara Republik Indonesia;

b. Melakukan kegiatan politik praktis;

c. Mengikuti aliran yang dapat menimbulakan perpecahan atau mengancam

persatuan dan kesatuan;

d. Bekerjasama dengan orang lain di dalam atau di luar lingkunagn kerja

dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi, golongan, atau


36

pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan

kepentingan Negara;

e. Bertindak selaku perntara bagi pengusaha atau golongan untuk

mendapatkan pekerjaan atau perasaan dari kantor/instansi Kepolisian

Negara Republik Indonesia demi kepentingan pribadi;

f. Memiliki saham/modal dan perusahaan yang kegiatan usahanya berda

dalam ruang lingkup kekuasaanya;

g. Bertindak sebagai pelindung di tempat perjudian, prostitusi, dan tempat

hiburan;

h. Menjadi penagih piutang atau menjadi pelindung orang yang punya utang;

i. Menjadi perantara/makelar perkara;

j. Menelantarkan keluarga.

Larangan anggota POLRI dalam pelaksanaan tugas

a. Membocorkan rahasia kepolisian;

b. Meninggalkan wilayah tugas tanpa izin pimpinan;

c. Menghindari tanggungjawab dinas;

d. Mengunakan fasilitas Negara untuk kepentingan pribadi;

e. Menguasai barang milik dinas yang bukan diperuntukan bagianya;

f. Mengontrakkan/menyewakan rumah dinas;

g. Menguasai rumah dinas lebih dari 1 (satu) unit;

h. Mengalihkan rumah dinas kepada yang tidak berhak;

i. Menggunakan barang bukti untuk kepentingan pribadi;

j. Berpijak dalam perkara pidana yang sedang ditangani;


37

k. Memanipulasi perkara;

l. Membuat opini negatif tentang rekan sekerja, pimpinan, dan/atau kesatuan;

m. Mengurusi, mensponsor, dan/atau mempengaruhi petugas dengan pangkat

dan jabatan dalam penerimaan calon anggota Kepolisian Negara Republik

Indonesia;

n. Mempengaruhi proses penyidikan untuk kepentingan pribadi sehingga

mengubah arah kebenaran materiil perkara;

o. Malakukan upaya paksa penyidikan yang bukan kewenangannya;

p. Melakukan rindakan yang dapat mengakibatkan, menghalangi, atau

mempersulit salah satu pihak yang dilayaninya sehingga mengakibatkan

kerugian bagi pihak yang dilayaninya;

q. Menyalahgunakan wewenang;

r. Menghambat kelancaran pelaksanaan tugas kedinasan;

s. Bertindak sewenang-wenagnya terhadap bawahanya;

t. Menyalahgunakan barang, uang, atau surat berharga milik dinas;

u. Memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, meminjamkan,

atu menghilangkan barang, dokumen, atau surat berharga milik dinas

secara tidak sah;

v. Memasuki tempat yang dapat mecemarkan kehormatan atau martabat

kepolisian Negara Republik Indonesia, kecuali Karena tugasnya;

w. Melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apapun untuk kepentingan

pribadi,golongan, atau pihak lain;


38

x. Memakai perhiasan secara berlebihan pada saat berpakaian dinas

Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Asas praduga tak bersalah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (“KUHAP”) dan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman (“UU Kekuasaan Kehakiman”).

Dalam KUHAP, asas praduga tak bersalah dijelaskan dalam Penjelasan

Umum KUHAP butir ke 3 huruf c yaitu :

“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan,dituntut dan atau


dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah
sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan
memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Sedangkan dalam UU Kehakiman, asas praduga tak bersalah diatur

dalam Pasal 8 ayat (1), yang berbunyi :

“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan di tuntut, atau


dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggab tidak bersalah sebelum
ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah
memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Yahya harahap menyatakan bahwa14 :

“Tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki


hakikat martabat. Dia harus dinilai sebagai subyek, bukan obyek. Yang
diperiksa bukan manusia tersangka. Perbuatan tindak pidana yang
dilakukannyalah yang menjadi obyek pemeriksaan. Ke arah kesalahan
tindak pidana yang dilakukan pemeriksaan ditunjukan. Tersangka harus
ianggap tidak bersalah, sesuai denagn asas prduga tak bersalah sampai
diperoleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap”.

Selengkapnya, simak artikel Dasar Hukum Pelaksanaan Rekomendasi

oleh Penyidik. Dalam artikel Asas Praduga Tak Bersalah Tidak Bisa Diartikan

14
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan
Dan Penuntutan, Sinar Grafika,Jakarta, 2009, hal. 34
39

Secara Letterlijik, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Trisakti Prof. Andi

Hamzah berpendapat bahwa asas presumption of innocent (praduga tidak

bersalah) tidak bisa diartikan secara letterlijik (apa yang tertulis). Menurutnya,

kalau asas tersebut diartikan secara letterlijik, maka tugas kepolisian tidak akan

bisa berjalan. Prof. Andi berpandangan, presumption of innocent adalah hak-

hak tersangka sebagai manusia diberikan. Hak-hak yang dia maksud misalnya

kawin dan cerai, ikut pemilihan dan sebagainya.

Dalam proses penyidikan terdapat rasio ideal jumlah penyidik Polri

yakni 1:200, dimana artinya satu orang penyidik mengkover sekitar 200 orang.

Namun yang terjadi dalam Polres Jombang ada sekitar 1.800.000 jumlah

penduduk dengan jumlah penyidik hanya terdapat 42 orang, dimana jika kita

lihat dalam rasio 1 orang penyidik di Polres Jombang harus mengcover sekitar

42.857 orang, yang mana sangat tidak ideal. Sehingga sering menjadikan beban

bagi para penyidik di Polres Jombang. Dan dengan jumlah yang sangat banyak

tersebut sering banyak laporan yang tidak bisa selesai.

Kesadaran masyarakat juga diperlukan saat melakukan pelapoaran,

karena sering juga ditemukan para pelapor tersebut tidak hadir ketika

diperlukan oleh para penyidik. Sebagai contoh ketika si A melaporkan suatu

perkara dan kemudian ditangani para penyidik untuk dilakukan penyidikan.

Harusnya masyarakat paham akan lalu lintas perkara, karena setiap perkara

yang dilaporkan tidak bisa diselesaikan tanpa adanya bantuan dari si pelapor

tersebut.
40

B. Penyidikan Polres Jombang dalam Sistem Peradilan Pidana pada

masa depan

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981) dibedakan mengenai pengertian istilah “Tersangka” dan

“Terdakwa”. Perbedaan tersebut dapat ditemukan pada Pasal 1 angka 14 dan 15

KUHAP yang menentukan bahwa :

“Tersangka adalah seseorang yang karena perbuatanya atau keadaannya,

berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”

(Pasal 1 angka 14 KUHAP).

“Tersangka adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili

di sidang pengadilan”.(Pasal 1 angka 15 KUHAP).

Dari ketentuan diatas dapatlah dijabarkan bahwa apabila seorang diduga

melakukan suatu tindak pidana kemudian dilakukan penyidikan oleh pihak

kepolisian dan selanjutnya berkas perkara (BAP) diserahkan kepada

Jaksa/Penuntut Umum maka status orang tersebut masih sebagai “tersangka”

sedangkan apabila perkara itu telah dilimpahkan ke pengadilan untuk diperiksa,

dituntut dan diadili maka berubahlah status “tersangka” itu menjadi “terdakwa”.

Apabila kita perbandingkan penyebutan istilah “tersangka” atau

“terdakwa” ini maka dalam ketentuan Wetboek van Strafvordering Belanda (Ned.

Sv.) kedua istilah tersebut tidak dibedakan, akan tetapi hanya disebut dalam satu

istilah saja yaitu “verdachte”. Pada ketentuan Pasal 27 ayat (1) Ned. Sv. Istilah

“tersangka” ditafsirkan secara lebih luas dan lugas yaitu dipandang sebagai orang
41

karena fakta-fakta atau keadaan-keadaan menunjukkan ia patut diduga bersalah

melakukan suatu tindak pidana.

Akan tetapi dalam praktek peradilan perbedaan kedua istilah tersebut

tampaknya bukan merupakan perbedaan prinsipal dan kalau boleh dikatakan

menurut asums penulis perbedaan tersebut sifatnya “semu” belaka karena ternyata

diatur dalam bagian yang sama yakni Bab VI tentang Tersangka dan Terdakwa

mulai Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 KUHAP.

Terlepas semua itu, dalam membahas koteks tersangka/terdakwa yang

paling penting dikedepankan adalah mengenai hak-haknya baik dari tingkat

penyidikan sampai tingkat peradilan.

Menurut penulis KUHAP memberikan jaminan terhadap hak-hak

tersangka/terdakwa antara lain sebagai berikut,yaitu :

1. Hak untuk dengan segera mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik,

diajukan ke Penuntut Umum dan perkaranya dilimpahkan ke

pengadilan untuk diadili (Pasal 50 ayat (1),(2), dan (3) KUHAP).

2. Hak agar diberitahukan secara jelas dengan bahasa yang dimengerti

olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya dan didakwakan

pada waktu pemeriksaan (Pasal 51 butir (a) dan (b) KUHAP).

3. Hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik dan

kepada hakim pada waktu tingkat penyidikan dan pengadilan (Pasal

52 KUHAP).

4. Hak untuk mendapatkan juru bahasa (Pasal 53 ayat (1) KUHAP.


42

5. Hak untuk mendapatkan Bantuan Hukum guna kepentinagan

pembelaan selama dan waktu dan setiap tingkat pemeriksaan (Pasal54

KUHAP).

6. Hak untuk memilih Penasihat Hukumnya sendiri (Pasal 55 KUHAP)

serta dalam hal tidak mampu berhak didampingi Penasihat Hukum

secara Cuma-Cuma/prodeo sebagaimana dimaksudkan ketentuan

Pasal 56ayat (1) dan (2) KUHAP.

7. Hak tersangka apabila ditahan untuk dapat menghubungi Penasihat

Hukum setiap saat diperlukan dan hak tersangka/terdakwa warga

Negara asing untuk menghubungi dan berbicara dengan perwakilan

negaranya (Pasal 57 ayat (1) dan (2) KUHAP).

8. Hak tersangka atau terdakwa apabila ditahan untuk menghubungi dan

menerima kunjungan dokter pribadinya (Pasal 58 KUHAP).

9. Hak agar diberitahukan kepada keluarganya atau orang lain yang

serumah dengan tersangka/terdakwa apabila ditahan untuk

memperoleh bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya dan

hak berhubungan dengan keluarga sesuai maksud di atas (Pasal 59

dan Pasal 60 KUHAP).

10. Hak tersangka atau terdakwa secara langsung atau dengan perantaraan

Penasihat Hukumnya menerima kunjungan sanak keluarganya guna

kepentingan pekerjaan atau kekeluargaan (Pasal 62 KUHAP).

11. Hak tersangka atau terdakwa mengirim dan menerima surat dengan

Penasihat Hukumnya (Pasal 62 KUHAP).


43

12. Hak tersangka atau terdakwa menghubungi dan menerima kunjungan

rohaniawan (Pasal 63 KUHAP).

13. Hak agar terdakwa diadili di sidang pengadilan secara terbuka untuk

umum (Pasal 64 KUHAP).

14. Hak tersangka atau terdakwa untuk mengajukan saksi dan ahli yang a

de charge (Pasal 64 KUHAP).

15. Hak tersangka atau terdakwa agar tidak dibebani kewajiban

bembuktian (Pasal 66 KUHAP).

16. Hak tersangka atau terdakwa mendapatkan ganti kerugian dan

rehabilitas (Pasal 68 jo Pasal 95 ayat (1) jo Pasal 97 ayat (1) KUHAP).

17. Hak terdakwa mengajukan kebenaran tentang tidak berwenang

mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima tau surat

dakwaan harus dibatalkan (Pasal 156 ayat (1) KUHAP).

18. Hak terdakwa untuk mengajukan banding, kasasi dan melakukan

Peninjauan kembali (Pasal 67 jo Pasal 233, Pasal 244 dan Pasal 263

ayat (1) KUHAP).

1. Penyidik dan Penyelidik

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dengan tegas

membedakan istilah “Penyidik” atau “opsporing/iterogation” dan

“Penyelidik”. Pada ketentuan Bab I tentang Ketentuan Umum Pasal 1

angka 1 disebutkan bahwa “penyidik” adalah pejabat polisi Negara

Republik Indonesia ayau pejabat pegawai negeri sipil tentu yang diberi

wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.


44

Jadi, dapat dikatakan secara tegas bahwasanya fungsi dan ruang

lingkup “penyidik” adalah untuk melakukan “penyidikan”.

Apakah yang dimaksudkan dengan “penyidikan” itu ?

Menurut de Pinto, menyidik (opsporing) berarti “pemeriksaan

permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-

undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang

sekedar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum15”.

Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 Kitab Undang-

undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa “penyidikan” itu adalah

serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur

dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang

dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan

guna menemukan tersangkanya.

Dr. Andi Hamzah, S.H16, secara global menyebutkan beberapa

bagian Hukum Acara Pidana yang menyangkut penyidikan adalah :

1) Ketentuan tentang alat-alat penyidikan.

2) Ketentuan tentang diketahuinya terjadinya delik.

3) Pemeriksaan di tempat kejadian.

4) Pemanggilan tersangka atau terdakwa.

5) Penahanan sementara.

6) Penggeledahan.

7) Pemeriksaan dan interogasi.

15
Pinto, Loc.Cit., Hal. 124
16
Andi Hamzah, Azas-azas Hukum Pidana, Rineka cipta, Jakarta, 2004, hal. 53
45

8) Berita Acara (penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan di tempat).

9) Penyitaan.

10) Penyampingan perkara.

11) Pelimpahan perkara kepada Penuntut Umum dan pengembaliannya

kepada penyidik untuk disempurnakan.

Adapun mengenai “penyelidik” menurut ketentuan Pasal 1 angka 5

KUHAP adalah orang yang melakukan “penyelidikan” yaitu serangkaian

tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang

diduga sebagai tindak pidana guna menemukan dapat atau tidaknya

dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

Dari batasan ini dapat disimpulkan bahwa tampak jelas hubungan

erat antara tugas dan fungsi “penyidik” dan penyelidik”. Titik taut

hubungan tersebut menurut Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-undang

Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa penyelidikan bukanlah merupakan

fungsi yang berdiri sendiri, terpisah dari fungsi penyidikan, melainkan

hanya merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi

penyidikan, yang mendahului tindakan lain yaitu penindakan yang berupa

penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat,

pemanggilan; tindakan pemeriksaan, penyelesaian dan penyerahan berkas

perkara kepada Penuntu Umum.

Akan tetapi walaupun titik taut tersebut begitu erat, hal itu bukan

berarti antara “penyidik” dan “penyelidik” tidak mempunyai perbedaan.

Perbedaan tersebut, ada! Hal ini tampak dalam hal personalia, yaitu kalau
46

“penyidik” itu terdiri dari polisi Negara Republik Indonesia dan pegawai

negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang,

sedangkan penyelidik hanya terdiri dari polisi negara saja, sebagaimana

ditentukan Pasal 6 KUHAP.

Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (2) KUHAP dan Peraturan

Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP dapat

disebutkan bahwa syarat kepngkatan pejabat polisi Negara Republik

Indonesia itu sekurang-kurangnya Pembantu Latnan Dua Polisi, sedangkan

bagi pegawai negeri yang diberi wewenang penyelidikan adalah yang

berpangkat sekurang-kurangnya Pengatur Muda Tingkat 1/Gol II b atau

yang disamakan denagn itu.

Apabila dalam suatu daerah tidak terdapat pejabat penyidik

berpangkat Pembantu Letnan Dua ke atas maka Komando Sektor

Kepolisian yang berpangkat Bintang di bawah Pembantu Letnan Dua

Polisi karena jabatan adalah penyidik.

Penyidik pejabat polisi Negara tersebut diangkat oleh Kepala

Kepolisian Republik Indonesia yang dapat melipahkan wewenang tersebut

kepada pejabat polisi lain.

Sedangkan terhadap penyidik pegawai negeri sipil diangkat oleh

Menteri Kehakiman RI atas usul departemen yang membawahi pegawai

tersebut. Wewenang pengangkatan ini dapat dilimpahkan (didelegasikan)

pula oleh Menteri Kehakiman RI sebagaimana ditentukan Kepmenkeh RI

No. M.08UM.01.06 Tahun 1983 tentang pelimpahan wewenang


47

pengangkatan penyidik pegawai negeri sipil. Sebelum pengangkatan

tersebut dilakukan Menkah RI terlebih dahulu meminta pertimbangan

Jaksa Agung RI dan Kepala Kepolian RI.

Dan sekarang yang patut dikedepankan adalah apa dan bagaimana

fungsi dan wewenag penyelidik dan penyidik itu?

Berdasarkan ketentuan Pasal 5 KUHAP maka dapat diperinci

mengenai fungsi dan wewenang penyelidik adalah :

1. Apabila dilihat dari fungsi dan wewenang penyelidik berdasarkan

hukum dapat berupa :

a. Menerima laporan atau pengaduan;

b. Mencari keterangan dan barang bukti;

c. Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menyatakan serta

memeriksakan tanda pengenal diri; dan

d. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung

jawab.

2. Apabila dilihat dari fungsi dan wewenang penyelidik berdasarkan

perintah penyidik dapat berupa;

a. Penagkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan

penyitaan;

b. Pemeriksaan dan penyitaan surat;

c. Mengambil sidik jari dan memotret seorang; dan

d. Membawa dan menghadapkan seorang kepda penyidik.


48

Sedangkan menurut ketentuan Pasal 7 KUHAP maka fungsi dan

wewenang penyidik dapat berupa :

1. Penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia karena

kewajibannya mempunyai wewenang ;

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya

tindak pidana;

b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;

c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal

dari tersangka;

d. Melakukan penangkapan, penahanan , penggeledahan dan penyitaan,

e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f. Mengabil sidik jari dan memotret seorang;

g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka

atau saksi,

h. Medatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya

dengan pemeriksaan perkara;

i. Mengadakan penghentian penyidikan ;

j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

2. Penyidik pejabat negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus

oleh undang-undang, berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (2)

mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi

dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya


49

berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP.

3. Jaksa/Penuntut Umum

Pada ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

dibedakan pengertian istilah antara “Jaksa” dan “ Penuntut Umum”.

Ketentuan Bab 1 tentang Ketentuan Umum Pasal 1 angka 6 KUHAP

menegaskan bahwa :

a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini

untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan

pengadilan yang tetap memperoleh kekuatan hukum tetap.

b. Penuntut Umum adalah jakasa yang diberi wewenang oleh undang-

undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan

hakim.

Dari batasan tersebut di atas dapat disebutkan bahwa pengertian

“jaksa” dihubungkan dengan aspek jabatan sedangkan pengertian

“penuntut umum” berhubungan dengan aspek “fungsi” dalam melakukan

suatu penuntutan dalam persidangan.

Di Indonesia, sejak berlakunya KUHAP maka Jaksa/Penuntut

Umum tidak berwenang melakukan penyidikan perkara oleh karena hal ini

merupakan wewenang dari kepolisian dan pegawai negeri sipil tertentu

yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Maka oleh karena itu,

Dr. Andi Hamzah, S.H. dengan bertitik tolak dari optic tugas dan

wewenang penuntut umum menyebutkan bahwa Indonesia menganut


50

“system tertutup” artinya tertutup kemungkinan jaksa atau penuntut umum

melakukan penyidikan meskipun dalam arti insidental dalam perkara-

perkara berat khususnya dari segi pembuktian dan masalh teknik

yuridisnya.

Mengenai system tertutup ini lebih detail menyebutkan :

“Mungkin Indonesia satu-satunya Negara di dunia menganut system

tertutup demikian, dan juga pemisahan yang tajam antara penyidikan dan

penuntutan. Menurut penelitian penulis terhadap hukum acara pidana yang

berlaku di berbagai negara, tidak satupun yang menganut sistem ini.

Amerika Serikat misalnya menganut system terbuka. Artinya pada

umumnya polisilah yang melakukan penyidikan . tetapi dalam hala-hal

tertentu, jaksa public attorney dapat terjun langsung dalam penyidikan

perkara. Hal ini dapat disimpulkan dari tulisan Weston dan Wells sebagai

berikut :

“the prosecuting attorney is the key law enforcement officer in the


particular area over which he has jurisdiction. In the area the
potentialities of the office are limited only by the intelligence, skill,
and legal and political capacity of the incumbent. In the
formidable list of duties often assigned to thus public official, the
interest of the state is almost entirely in his hands. He is a quasi-
judical officer who determines from his own investigation , or
evidence submitted to him by police or others, whether a criminal
has been committed...17”.

Akan tetapi, menurut penulis sebenarnya Indonesia tidak menganut

secara murni system tertutup. Dalam hal-hal tertentu dapat saja penyidikan

17
Weston dan Kenneth Wells, criminal evidence for police New Jersey: Prentice-Hall Inc, 1986,
hal. 72
51

dilakukan oleh pihak kejaksaan. Dalam praktek peradilan di Indonesia

berdasarkan ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP beserta penjelasannya

serta Pasal 32 huruf b Undang-undang Nomor 5 tahun 1991 (LNRI 1991-

59; TLNRI 3451) tentang Kejaksaan Republik Indonesia maka terhadap

perkara-perkara khususnya Tindak Pidana Ekonomi (Undang-undang

Nomor 7 drt Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan

Tindak Pidana Ekonomi) dan Tindak Pidana Korupsi (Undang-undang

Nomor 3 Tahun 1971) masih dimungkinkan penyidikan dilakukan oleh

Kejaksaan.

Selaku lembaga yang menjadikan “fungsi” penuntutan maka

berdasarkan ketentuan Pasal 14 KUHAP Penuntut Umum mempunyai

wewenang :

a. Menerima dan memerikasa berkas perkara penyidikan dari penyidik

atau penyidik pembantu;

b. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekuarangan pada penyidikan

dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4),

dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan

dari penyidik;

c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau

penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah

perkaranya dilimpahkan ke pengadilan;

d. Membuat surat dakwaan;

e. Melimpahkan perkarake pengadilan;


52

f. Menyampingkan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan

hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat

pengadilan,baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang

pada sidang yang telah ditentukan ;

g. Melakukan penuntutan ;

h. Menuntut perkara demi kepentiangan hukum;

i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab

sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini.

j. Melaksanakan penetapan hakim.

Apabila jaksa telah menerima berkas perkara dari penyidik segera

mempelajari dan meneliti dan dalam tenggan waktu 7 (tujuh hari wajib

memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah

lengkap atau belum. Sedangkan pengertian “meneliti” menurut ketentuan

Pasal 138 ayat (1) KUHAP adalah tindakan Penuntut Umum dalam

mempersiapkan penuntutan apakah orang atau benda yang tersebut dalam

hasil penyidikan telah sesuai ataukah telah memenuhi syarat pembuktian

yang dilakukan dalam rangka pemberian petunjuk kepada penyidik.

Menurut ketentuan Pasal 138 ayat (2)KUHAP apabila menurut penelitian

Penuntut Umum berkas perkara belum lengkap maka Penuntut Umum

harus segera mengembalikan berkas disertai petunjuk dan di dalam waktu

14 (empat belas) hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus

segera menyampaikan kembali berkas itu kepada Penuntut Umum.


53

Setelah Penuntut Umum beranggapan bahwa penyidikan telah

lengkap maka Penuntut Umum segera menentukan apakah berkas itu

sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidaknya dilimpahkan ke

pengadilan. Jika Penuntut Umum beranggapan bahwa hasil penyidikan

dapat dilakukan penuntutan maka dibuat surat dakwaan (Pasal 140 ayat (1)

KUHAP).

Akan tetapi apabila Penuntut Umum berpendapat sesuai Pasal 140

ayat (2) huruf a KUHAP, bahwa :

a. Tidak terdapat cukup bukti, atau

b. Peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana (kejahatan

atau pelanggaran) atau

c. Perkara ditutup demi hukum.

Maka Penuntut Umum menghentikan penuntutan dan menuangkan

hal tersebut dalam suatu penetapan.

Dalam perkara yang cukup bukti dilimpahkan ke pengadilan maka

jaksa menentukan perkara itu akan diajukan dengan Acara Singkat atau

Acara Biasa.

Apabila perkara tersebut diajukan dengan Acara Singkat (Pid. S)

maka perkara tersebut baru diregester dan mendapatkan nomor perkara

apabila telah disidangkan, karena dalam Acara Singkat dimungkinkan

tidak jadi disidangkan dan perkara tersebut dikembalikan kepada

kejaksaan.
54

Sedangkan bila Penuntut Umum melimpahkan perkara ke

Pengadilan Negeri dengan Acara Biasa (Pid. B) maka perkara tersebut

deregister dan mendapatkan Nomor Perkara kemudian Ketua Pengadilan

Negeri akan mempelajari apakah perkara yang dilimpahkan itu termasuk

wewenag pengadilan yang dipimpinnya ataukah bukan. Jika Ketua

Pengadilan berpendapat bahwa perkara tersebut tidak termasuk wewenang

pengadilan yang dipimpinya, tetapi termasuk wewenang Pengadilan

Negeri lain, Ketua Pengadilan Negeri menyatakan surat pelimpahan

perkara tersebut kepada pengadilan Negeri lain yang dianggap berwenang

mengadilinya dengan surat penetapan. Jikalau pelimpahan perkara tersebut

termasuk wewenangnya maka Ketua Pengadilan Negeri menunjuk hakim

yang akan menyidangkan perkara tersebut.

Hakim yang ditunjuk ialah Majelis Hakim atau Hakim Tunggal

sebagaiman ditentukan dalam penjelasan Pasal 152 ayat (1) KUHAP.

Menurut Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan

pada prinsipnya susunan Pengadilan Negeri dalam memeriksa dan

mengadili perkara-perkara tersebut berupa suatu majelis atau tim terdiri

dar seorang ketua dan 2 (dua) orang Hakim Anggota dan seorang Panitera

Pengganti.

Dalam praktek peradilan biasa terjadi untuk perkara Pidana Biasa

(Pid. B) dilakukan dengan Hakim Majelis dan untuk pemeriksaan dengan

Acara Singkat (Pid. S) dilakukan dengan Hakim Tunggal setelah

Pengadilan Negeri tersebut mendapat izin khusus dari Mahkamah Agung


55

RI. Sedangkan dalam tingkat banding jelas disebutkan pemeriksaan dalam

tingkat banding dilakukan oleh Pengadilan Tinggi dengan Sekurang-

kurangnya tiga orang hakim sebagaiman ditentukan Pasal 138 ayat (1)

KUHAP.

4. Penasehat Hukum

Dengan bertitik tolak bahwa Kitab Undang-undang Hukum Acara

Pidana lebih memperhatikan hal asasi maka eksistensi Penasihat Hukum

dalam mendampingi tersangka atau terdakwa dirasakan penting sifatnya.

Sebelum berlakunya KUHAP maka dikenal istilah pembela, advokat,

procureur (pokrol) atau pengacara.

Akan tetapi, setelah berakhirnya masa peralihan KUHAP pada

tanggal 31 Desember 1983, sebutan resmi dalam persidangan pidana bagi

pengacara, advokat, pokrol adalah Penasihat Hukum Istilah ini, kalau

boleh dikatakan, rupa-rupanya diambil dari istilah (Penasihat Hukum”

dalam ketentuan Bab VII tentang Bantuan Hukum Pasal 35 sampai dengan

Pasal 38 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-

ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Dalam Praktek, sebelum mendampingi seorang terdakwa di

persidangan maka Penasihat tersebut harus mendapatkan “Surat Kuasa

Khusus” dari terdakwa yang kemudian didaftarkan yang kemudian

didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang menyidangkan

perkara itu. Untuk mendapatkan bantuan hukum secara Cuma-Cuma maka


56

terdakwa itu harus membuktikan dirinya tidak mampu bardasarkan surat

keterangan dari pamong praja.

Berdasarakan ketentuan Pasal 56 KUHAP maka Penasihat Hukum

sangat diperlukan oleh karena pasal tersebut menyebutkan adanya

kewajiban bagi pejabat untuk menunjuk Penasihat Hukum bagi terdakwa

yang diancam pidana mati atau ancaman pidana lima tahun atau lebih, juga

bagi mereka yang tidak mampu . Apabila dalam suatu Pengadilan Negeri

tidak terdapat seorang Penasihat Hukum yang berkedudukan di tempat itu

maka dapat ditunjuk orang lain yang ahli hukum asal bukan hakim yang

berdasarkan ketentuan Pasal 250 ayat (5) HIR.

Pancasila adalah lima sila yang merupakan hasil kristalisasi budaya

bangsa yang kemudian dijadikan sebagai dasar negara dan idiologi bangsa.

Karenanya, nilai-nilai pancasila harus tetap dijaga, dilestarikan dan

dilaksanakan dalam berbagai sendi kehidupan berbangsa dan bernegara,

termasuk di dalamnya dalam kegiatan penyidikan.

Penyidikan di Indonesia di masa depan tidak boleh bertentangan

dengan nilai-nilai luhur pancasila dan harus tetap berlandaskan pancasila,

karena pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum negara.

Pancasila secara syah merupakan dasar negara Indonesia sebagaimana

tertuang dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4.

Bangsa Indonesia tidak boleh melupakan sejarah, dimana pancasila

merupakan cerminan visi dan misi negara kita, yang harus tetap

dipertahankan18. Dan benar kiranya, bahwa jika penyidikan di masa depan


18
Kaelan, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Jogjakarta, 2004, Hal. 12
57

tetap berpegang teguh dan berlandaskan pancasila, maka tujuan negara kita

akan dapat terwujud dengan baik.

Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan teknologi yang sangat

pesat sangat berpengaruh terhadap berbagai sendi kehidupan, termasuk di

dalamnya mengenai jenis dan motif kejahatan yang terjadi. Para penyidik

juga harus memahami hal tersebut, sehingga mau tidak mau mereka harus

menguasai teknologi. Teknologi bisa dijadikan alat untuk melakukan

kejahatan bagi siapa saja yang tidak sadar hukum, dan penyidik dapat

menggunakannya sebagai alat pengendali dan pemberantas kejahatan, salah

satunya sebagai penunjang penyidikan.


58

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan dalam Skripsi ini maka dapat ditarik

kesimpulan bahwa:

1. Pelaksanaan proses penyidikan di Polres Jombang belum bisa dibilang

sudah sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan, karena dalam

penerapanya masih terdapat kekurangan-kekurangan diantaranya

kurangnya jumlah penyidik di Polres Jombang, Kurangnya kesadaran

masyarakat tentang lalu lintas perkara khususnya pelapor perkara,

banyaknya jumlah laporan yang masuk dibandingkan jumlah penyidik

yang ada.

2. Di masa yang akan datang, nilai-nilai luhur pancasila dan teknologi harus

benar-benar dipahami oleh para penyidik yang kemudian dijadikan dasar

penyidikan, sehingga visi dan misi negara dapat terlaksana dan proses

penyidikan tidak terhambat.


59

B. Saran

Berdasarkan rumusan masalah dan pembahasan dalam Skripsi ini maka

perlu kiranya disampaikan beberapa saran berikut ini :

1. Untuk penyidik

Hendaknya pancasila tetap dijadikan dasar dan idiologi dalam melakukan

penyidikandan teknologi juga diterapkan sebagai basis penyidikan.

2. Untuk pelapor Para pelapor harusnya lebih sadar akan lalu lintas perkara,

sehingga dapat lebih mambantu para penyidik untuk menuliskan berkas-

berkas penyidikan, dimana jika penyidik membutuhkan data lain yang

diperlukan dalam penyidikan pelapor harusnya hadir dalam penyidikan.


60

DAFTAR PUSTAKA

Adami Chazawi. 2017. Pelajaran Hukum Pidana. P.T. RajaGrafindo Persada.

Bambang Poernomo. 1992. Hukum Pidana. Permata Press.

Bismar Siregar. 1983. Hukum Acara Pidana. Binacipta Bandung.

Gosita, Arif. 1983. Masalah Korban Kejahatan. Akademika Presindo, Jakarta.

Kanter dan Sianturi, 1982. Pelajaran Hukum Pidana. Reflika Aditama.

Lamintang. 1984. Hukum Penintensier Indonesia. Armico, Bandung.

Legen Marpaung, 1991. Unsur-Unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum. Sinar


Grafika, Jakarta.

Maidin Gultom, 2006. Kenakalan Anak, Reflika Aditama.

Muladi, 1985. Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung.

Muladi dan Arief, 1992. Teori-Teori dsn Kebijakan Pidana. Alumni, Bandung.

Moeljatno, 1987. Pelajaran Hukum Pidana. Reflika Aditama.

Romli Atmasasmita, Romli. 1983. Problema Kenakalan Anak. Armico Bandung.

Rusli Effendy, Rusli. 1989. Asas-Asas Hukum Pidana. Lembaga Penerbitan


Universitas Muslim Indonesia. Ujung Pandang.

Subekti. 1984. Perlindungan Hak Asasi Manusia. P.T. Pradnya Paramita.

Sthepen Hurwits, 1982. Kriminologi. Bina Aksara, Jakarta.

Satochid Kartanegara, 1986. Pelajaran Hukum Pidana. Laksana.


61

Wirjono Prodjodikoro, 1986. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Eresco,

Bandung.

----------, 1991. Teori Hukum, Hasanuddin University Press. Ujung Pandang.

Anda mungkin juga menyukai