Anda di halaman 1dari 27

LINK AND MATCH DALAM PENDIDIKAN ISLAM

MAKALAH REVISI

Dipresentasekan dalam Seminar Kelas


Mata Kuliah Isu-isu Pendidikan Islam Kontemporer
Semester III Tahun Akademik 2011/2012

Oleh
RAMLIATI
NIM : 80100211113

Dosen Pemandu:
Dr. H. Ibnu Sulaiman, M.Ag
Dr. Muhammad Yaumi, M. Hum.,M.A

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR
2012

1
1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini banyak lontaran kritik terhadap sistem pendidikan yang pada da-

sarnya mengatakan bahwa perluasan kesempatan belajar cenderung telah menyebab-

kan bertambahnya pengangguran tenaga terdidik dari pada bertambahnya tenaga pro-

duktif yang sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja. Kritik ini tentu saja beralasan

karena data sensus penduduk memerhatikan kecenderungan yang menarik bahwa

proporsi jumlah tenaga pengangguran lulusan pendidikan yang lebih tinggi ternyata

lebih besar dibandingkan dengan proporsi pengangguran dari lulusan yang lebih ren-

dah1. Dengan kata lain, persentase jumlah penganggur tenaga sarjana lebih besar di-

bandingkan dengan persentase jumlah pengganggur lulusan SMA atau jenjang

pendidikan yang lebih rendah.

Namun, kritik tersebut juga belum benar seluruhnya karena cara berpikir yang

digunakan dalam memberikan tafsiran terhadap data empiris tersebut cenderung

menyesatkan. Cara berpikir yang sekarang berlaku seolah-olah hanya memerhatikan

pendidikan sebagai satu-satunya variabel yang menjelaskan masalah pengangguran.

Cara berpikir seperti itu cukup berbahaya, bukan hanya berakibat pada penyudutan

sistem pendidikan, tetapi juga cenderung menjadikan pengangguran sebagai masalah

yang selamanya tidak dapat terpecahkan.

Berdasarkan keadaan tersebut, penjelasan secara konseptual terhadap masa-

lah-masalah pengangguran tenaga terdidik yang dewasa ini banyak disoroti oleh ma-

syarakat, sangat diperlukan. Penjelasan yang bersifat konseptual diharapkan mampu

Ace Suryadi dan H.A.R. Tilaar, Analisis Kebijakan Pendidikan: Suatu Pengantar (Bandung:
1

Rosdakarya, 1993), h. 134.


2

mendudukkan permasalahan pada proporsi yang sebenarnya, khususnya tentang fung-

si dan kedudukan sistem pendidikan dalam kaitannya dengan masalah ketenaga-

kerjaan.

Berangkat dari asumsi bahwa bertambahnya tingkat pengangguran disebabkan

karena kegagalan sistem pendidikan, maka diperlukan adanya pendekatan-pendekatan

tertentu dalam pendidikan dan konsep Link and Match perlu dihidupkan kembali

dalam sistem pendidikan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka ada beberapa pertanyaan terkait kon-

sep link and macth dalam pendidikan, yaitu:

1. Bagaimana konsep dasar Link and Match dalam pendidikan?

2. Pendekatan-pendekatan apa saja yang digunakan untuk mewujudkan Link and

Match dalam pendidikan?

3. Bagaimana hubungan antara pendidikan dan ketenagakerjaan?


3

II. PEMBAHASAN

A. Konsep Link and Match

Pada mulanya, sebelum ada pendidikan melalui sekolah seperti sekarang, pen-

didikan dijalankan secara spontan dan langsung dalam kehidupan sehari-hari. Anak-

anak petani langsung mempelajari pertanian dengan langsung bekerja di sawah, anak-

anak nelayan langsung mempelajari kelautan dan perikanan langsung mengikuti

orang dewasa menangkap ikan. Selagi mempelajari pekerjaan yang dilakukan,

mereka sekaligus juga belajar tentang nilai-nilai dan norma-norma yang berhubungan

dengan pekerjaannya. Dilihat secara demikian, maka pendidikan pada dasarnya

merupakan sesuatu yang kongkret, spontan, dan tidak direncanakan tetapi langsung

berhubungan dengan keperluan hidup. Dengan kata lain, dalam situasi yang belum

mengenal sistem sekolah, sifat pendidikan pada dasarnya selalu bersifat linked and

matched.2

Konsep Link and Match telah dikumandangkan sejak tahun 1990-an. Saat itu

wacana yang muncul Perguruan Tinggi hanya sekedar menyiapkan lulusan yang siap

training, siap dimodifikasi, dan siap ditambahkan ilmu. Padahal tuntutan para

pengguna lulusan Perguruan Tinggi adalah siap pakai, siap bekerja, dan sebagainya.

Intinya industri tidak ingin hanya sekedar terkena beban kembali, dengan biaya yang

cukup tinggi, untuk selain memberi gaji pada karyawan juga harus mengeluarkan

dana yang cukup besar untuk kembali melatih. 3 Konsep keterkaitan dan kesepadanan

(Link and Match) antara dunia pendidikan dan dunia kerja yang dicetuskan mantan

2
http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2011/03/Terbentuknya-Budaya-Agama-disekolah.html,
diakses, tanggal, 15 Oktober 2012.
Mahmud Imrona, Link and Match, http://Mahmud-Imrona.blogspot.com/Search/Label/Link
3

and Match, Diakses Tanggal 05 Januari 2008


4

Mendiknas Prof. Dr. Wardiman perlu dihidupkan lagi. Konsep itu bisa menekan

jumlah pengangguran lulusan perguruan tinggi yang semakin hari semakin

bertambah.4

Selanjutnya Soemarso, Ketua Dewan Pembina Politeknik dan juga dosen UI

mengatakan bahwa konsep Link and Match antara lembaga pendidikan dan dunia ker-

ja dianggap ideal. Jadi, ada keterkaitan antara pemasok tenaga kerja dengan peng-

gunanya. Menurut Soemarso, dengan adanya hubungan timbal balik membuat

perguruan tinggi dapat menyusun kurikulum sesuai dengan kebutuhan kerja. Contoh

nyata Link and Match dengan program magang. Perbaikan magang, dimaksudkan

agar industri juga mendapatkan manfaat. Selama ini ada kesan yang mendapatkan

manfaat dari magang adalah perguruan tinggi dan mahasiswa, sedangkan industri ke-

bagian repotnya.5

Di sisi lain, produk dari Perguruan Tinggi menghasilkan sesuatu yang amat

berharga dan bukan hanya sekedar kertas tanpa makna, yaitu produk kepakaran, pro-

duk pemikiran dan kerja laboratorium. Produk-produk ini masih sangat jarang dilirik

oleh industri di Indonesia. Produk kepakaran yang sering dipakai adalah yang bersifat

konsultatif. Tetapi produk hasil laboratorium belum di akomodasi dengan baik.

Menjalankan Link and Match bukanlah hal yang sederhana. Karena itu, ide-

alnya, ada tiga komponen yang harus bergerak simultan untuk menyukseskan prog-

ram Link and Match yaitu perguruan tinggi, dunia kerja (perusahaan) dan pemerintah.

Dari ketiga komponen tersebut, peran perguruan tinggi merupakan keharusan dan

4
Wardiman, Keterkaitan Dan Kesepadanan (Link And Match) (Jakarta: Mendiknas, 2010),
h.ii.
5
http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2011/04/Search-label-kurikulum.html, diakses,
tanggal, 15 Oktober 2012.
5

syarat terpenting. Kreativitas dan kecerdasan pengelola perguruan tinggi menjadi

faktor penentu bagi sukses tidaknya program tersebut.

Ada beberapa langkah penting yang harus dilakukan suatu perguruan tinggi

untuk menyukseskan program Link and Match. Perguruan tinggi harus mau melaku-

kan riset ke dunia kerja. Tujuannya adalah untuk mengetahui kompentensi (keahlian)

apa yang paling dibutuhkan dunia kerja dan kompetensi apa yang paling banyak

dibutuhkan dunia kerja.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan salah satu perguruan tinggi di Indone-

sia diketahui, keahlian (kompentensi) yang paling banyak dibutuhkan dunia kerja

adalah kemampuan komputasi (komputer), berkomunikasi dalam bahasa Inggris dan

kemampuan akuntansi.

Selain itu, perguruan tinggi juga harus mampu memprediksi dan mengantisi-

pasi keahlian (kompetensi) apa yang diperlukan dunia kerja dan teknologi sepuluh ta-

hun ke depan. Seharusnya perguruan tinggi mulai menjadikan kompetensi yang dibu-

tuhkan dunia kerja sebagai materi kuliah di kampusnya. Dengan demikian, diharap-

kan, lulusan perguruan tinggi sudah mengetahui, minimal secara teori, tentang

kompetensi apa yang dibutuhkan setelah mereka lulus.

Meskipun demikian, perguruan tinggi tidak harus menyesuaikan seluruh ma-

teri kuliahnya dengan kebutuhan dunia kerja. Sebab, harus ada materi kuliah yang

berguna bagi mahasiswa yang termotivasi untuk melanjutkan studi ke jenjang strata

yang lebih tinggi.6

Langkah penting lainnya, perguruan tinggi harus menjalin relasi dan mencip-

takan link dengan banyak perusahaan agar bersedia menjadi arena belajar kerja (ma-

6
http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2011/04/Teori-teori-tentang-motivasi.html, diakses,
tanggal, 15 Oktober 2012.
6

gang) bagi mahasiswa yang akan lulus. Dengan magang langsung (on the spot) ke du-

nia kerja seperti itu, lulusan tidak hanya siap secara teori tetapi juga siap secara prak-

tik.

Jika program Link and Match berjalan baik, pemerintah juga diuntungkan de-

ngan berkurangnya beban pengangguran (terdidik). Karena itu, seyogianya pemerin-

tah secara serius menjaga iklim keterkaitan dan mekanisme implementasi ilmu dari

perguruan tinggi ke dunia kerja sehingga diharapkan program Link and Match ini

berjalan semakin baik dan semakin mampu membawa manfaat bagi semua pihak.7

Manfaat yang dapat dipetik dari pelaksanaan Link and Match sangat besar.

Karena itu, diharapkan semua stakeholders dunia pendidikan bersedia membuka ma-

ta dan diri dan mulai bersungguh-sungguh menjalankannya. Perguruan tinggi harus

lapang dada menerima bidang keahlian (kompentensi) yang dibutuhkan dunia kerja

sebagai materi kuliah utama. Perusahaan juga harus membuka pintu selebar-lebarnya

bagi mahasiswa perguruan tinggi yang ingin magang (bekerja) di perusahaan tersebut.

Sedangkan Pemerintah harus serius dan tidak semata memandang program Link and

Match (keterkaitan dan kesepadanan) sebagai proyek belaka.

Secara tradisional teori kependidikan menekankan tiga tujuan instruksional

pokok: kognitif, afektif dan psikomotorik. Banyak orang berpendapat bahwa sisi afek-

tif dari pendidikan adalah yang paling penting. Seperti ditekankan oleh Paola friere,

suatu konsep pendidikan, dimana otak manusia hanya seperti rekening bank tidak

berlaku atau sesuai lagi. Tujuan yang lebih berkaitan dengan proses menyadarkan

orang bahwa kemampuan berpikir dan menentukan identitas diri sekarang ini jauh

http://kabar-pendidikan.blogspot.com/search-label-otonomi-daerah.html, diakses, tanggal,


7

15 Oktober 2012.
7

lebih penting.8 Pendidikan dan pembelajaran adalah proses bukan produk akhir.9 Ivan

Illich pernah mengatakan bahwa kita tidak boleh mengijinkan pendidikan formal

mengganggu proses belajar terus menerus.10 Tidak selayaknya orang berhenti dari

proses belajar sesudah pendidikan formal selesai.11

B. Pendekatan dalam Mewujudkan Link and Match

1. Pendekatan Sosial

Pendekatan sosial merupakan pendekatan yang didasarkan atas keperluan ma-

syarakat pada saat ini. Pendekatan ini menitik beratkan pada tujuan pendidikan dan

pada pemerataan kesempatan dalam mendapatkan pendidikan.12

Menurut A.W. Gurugen dalam Djumberansyah Indar pendekatan sosial meru-

pakan pendekatan tradisional bagi pembangunan pendidikan dengan menyediakan

lembaga-lembaga dan fasilitas demi memenuhi tekanan-tekanan untuk memasukan

sekolah serta memungkinkan pemberian kesempatan kepada peserta didik dan orang

tua secara bebas.13 Sebagai contoh penerapan pendekatan ini adalah diterapkannya

sistem ganda melalui kebijakan Link and Match.

8
http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2011/05/Pengertian-motivasi-berprestasi.html,
diakses, tanggal, 15 Oktober 2012.
9
http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2011/04/Label-metode-pembelajaran.html, diakses,
tanggal, 15 Oktober 2012.
10
http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2011/05/Pengertian-dan-hakikat-disiplin-
belajar.html, diakses, tanggal, 15 Oktober 2012.
11
Sindhunata, Menggegas Paradigma Baru Pendidikan: Demokrasi, Otonomi, Civil Society,
Globalisasi (Yogyakarta: Kanisius, 2000), h. 130.
12
Husaini Usman, Manajemen: Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara,
2006), h. 56.
13
Djumberansyah Indar, Perencanaan Pendidikan Strategi dan Implementasinya (Surabaya:
Karya Aditama, 1995), h. 30.
8

Menurut Bohar Soeharto perencanaan sosial adalah proses cara menjelaskan

dan memecahkan masalah yang berhubungan dengan masyarakat atau berhubungan

dengan aspek sosial dari kehidupan individu untuk mencapai tujuan secara efektif dan

efisien.14

Pendekatan yang dikemukakan Geruge ini bersifat tradisional dimana peneka-

nan ini didasarkan kepada tujuan untuk memenuhi tuntutan atau permintaan seluruh

individu terhadap pendidikan pada tempat dan waktu tertentu dalam situasi pere-

konomian, politik, dan kebudayaan yang ada pada waktu itu. Ini berarti bahwa sektor

pendidikan harus menyediakan lembaga-lembaga pendidikan serta fasilitas untuk

menampung seluruh kelompok umur yang ingin menerima pendidikan.15

Pendekatan sosial dalam perencanaan pendidikan sebagaimana dimaksud di-

atas, pernah dituang secara tepat dalam Robbins Comunitte on Higher Education di

Inggris pada tahun 1963 dengan alasan pemilihan pendektan ini bahwa: ”All young

person qualified by ability and attaint ment to pursue a full time course in higher

education should have the opportunity to do so”16

Selanjutnya dalam pendekatan ini ada beberapa kelemahan dalam pendekatan

ini diantaranya adalah sebagai berikut:


1. Pendekatan ini mengabaikan masalah alokasi dalam skala nasional, dan
secara samar tidak mempermasalahkan besarnya sumber daya pendidikan
yang dibutuhkan. Karena beranggapan bahwa penggunaan sumberdaya
pendidikan yang terbaik adalah untuk segenap rakyat Indonesia.
2. Pendekatan ini mengabaikan kebutuhan ketenagakerjaan (Man Power
Planning) yang diperlukan dimasyarakat sehingga dapat menghasilkan
lulusan yang sebenarnya kurang dibutuhkan masyarakat.

14
Bohar Soeharto, Perencanaan Sosial Kasus Pendekatan (Bandung: Armico, 1991), h. 28.
http://kabar-pendidikan.blogspot.com/Search-label-budaya-sekolah.html, diakses, tanggal,
15

15 Oktober 2012.
16
http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2011/04/Pendekatan-perencanaan-pendidikan.html,
diakses, tanggal, 15 Oktober 2012.
9

3. Pendekatan ini cenderung hanya menjawab pemerataan pendidikan saja


sehingga kuantitas lebih diutamakan dari pada kualitasnya.17

2. Pendekatan Ketenagakerjaan

Pendekatan yang dipakai dalam penyusunan perencanaan pendidikan suatu

negara sangat tergantung kepada kebijakan pemerintah yang sedang dilaksanakan.18

Karenanya wajar jikalau timbul pendekatan yang berbeda-beda antara bebera-

pa negara dan juga terjadi perbedaan dalam pendekatan perencanaan antara berbagai

periode pembangunan dalam satu negara. Dalam kebijakan pemerintah (sebut saja

kebijakan lima tahunan), disana tergambar secara jelas harapan-harapan yang akan

dan harus dipenuhi oleh sektor pendidikan. Dengan kata lain kebutuhan akan pendi-

dikan yang akan menjadi sasaran dalam perencanaan selalu dijadikan penuntun atau

bisa dikatakan sebagai kebijakan awal perencanaan.19

Di dalam pendekatan ketenagakerjaan ini kegiatan-kegiatan pendidikan di-

arahkan kepada usaha untuk memenuhi kebutuhan nasional akan tenaga kerja pada ta-

hap permulaan pembangunan tentu saja memerlukan banyak tenaga kerja dari segala

tingkatan dan dalam berbagai jenis keahlian.

Dalam keadaan ini kebanyakan negara mengharapkan supaya pendidikan

mempersiapkan dan menghasilkan tenaga kerja yang terampil untuk pembangunan,

baik dalam sektor pertanian, perdagangan, industri dan sebagainya.20 Untuk itu, pe-

Syaefudin Sa’ud dan Abin Syamsuddin Makmun, Perencanaan Pendidikan Suatu


17

Pendekatan Komprehensif (Cet. II; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h. 236.


18
http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2011/04/Pendekatan-Perencaanaan-Pendidikan.html,
diakses, tanggal, 15 Oktober 2012.
19
http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2011/04/Pengembangan-desain-Perencaanaan.html,
diakses, tanggal, 15 Oktober 2012.
20
Jusuf Enoch, Dasar-Dasar Perencanaan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 90.
10

rencana pendidikan harus mencoba membuat perkiraan jumlah dan kualitas tenaga

kerja dibutuhkan oleh setiap kegiatan pembangunan nasional.

Dalam hal ini, perencana pendidikan dapat menyakinkan bahwa penyediaan

fasilitas dan pengarahan arus peserta didik benar-benar didasarkan atas perkiraan

kebutuhan tenaga kerja tadi. Akan tetapi metode-metode untuk memperkirakan kebu-

tuhan tenaga kerja perlu ditetapkan terlebih dahulu sesuai dengan kepentingan dan

kondisi negara yang bersangkutan. Salah satu metode misalnya bukan hanya sekedar

memerhatikan kebutuhan saja tetapi perlu meneliti berbagai jenis tenaga yang terlatih

yang diperlukan oleh negara atas dasar perbandingan atau ratio yang seimbang, mi-

salnya perbandingan antara insiyur dan teknisi ahli.

Pendidikan ketenagakerjaan ini sering dipergunakan oleh negara-negara yang

sudah berkembang ataupun negara yang teknologinya sudah maju, dimana setiap

waktu diperlukan jenis keahlian yang baru. Ahli teknologi modern dengan mencip-

takan teori dan sistem yang baru dengan sendirinya mendorong teknologi untuk ber-

kembang secara pesat. Dan hal ini, menyebabkan pula timbulnya kebutuhan akan

tenaga ahli dari jenis yang baru untuk menangani atau mengelolanya.

Negara-negara yang mempergunakan pendekatan ketenagakerjaan mengarah-

kan kegiatan-kegiatan pendidikannya secara teratur kepada usaha untuk memenuhi

tuntutan dunia lapangan kerja dalam segala bidang. Para ahli ekonomi mengharapkan

agar ada keseimbangan antara penambahan lapangan kerja dengan peningkatan pen-

dapatan nasionl. Penambahan lapangan kerja akan meningkatkan pendapatan nasio-

nal, pendapatan nasional yang telah ditingkatkan akan memberi peluang untuk mem-

perluas lapangan kerja. Ini berarti penyerapan tenaga kerja akan lebih banyak.
11

Perencana pendidikan diminta untuk merencanakan kegiatan/usaha pendidi-

kan sedemikian rupa sehingga menjamin setiap individu, tentunya seorang lulusan

lembaga pendidikan dapat terjun ke masyarakat dengan suatu kemampuan untuk

menjadi seorang pekerja yang produktif. Dengan kata lain, sistem pendidikannya ha-

rus menghasilkan lulusan dari berbagai tingkat dan jenis yang siap pakai.21

Dalam pendekatan keperluan akan tenaga kerja (manpower approach), jumlah

tenaga kerja yang dibutuhkan dihitung dari jumlah pendapatan nasional yang direnca-

nakan atau yang diperhitungkan akan dicapai. Dengan kata lain, anak didik melalui

sistem pendidikan harus disiapkan menjadi tenaga kerja, dan perencanaan mengenai

keperluan akan tenaga kerja harus diintegrasikan secara menyeluruh ke dalam pe-

rencanaan ekonomi. Jadi, dalam merencanakan keprluan tenaga kerja, perkembangan

ekonomi dimasa depan dianggap sebagai variabel yang independen karena dianggap

sebagai tujuan atau target yang ditetapkan secara tersendiri.

Menurut pendekatan ini, perhitungan kebutuhan tenaga kerja dan perencanaan

pendidikan yang ditujukan kearah pembentukan tenaga kerja dianggap sebagai pra-

syarat bagi pertumbuhan ekonomi yang secara struktural seimbang dan sebagai pra-

syarat bagi sistem pendidikan yang fungsional. Kebutuhan akan tenaga kerja semata-

mata dari pertumbuhan ekonomi di masa depan dianggap relevan bagi alokasi tenaga

kerja yang efisien dan bagi penggunaan secara optimal sumber-sumber yang tersedia

pada sistem pendidikan.

Cara pendekatan persoalan pendidikan seperti ini dapat dikaitkan sebagai pen-

dekatan ekonomi uni-dimensional atau pendekatan pendidikan yang ditujukan kepada

http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2011/10/Penarikan-Rekruitmen-Sumber-Daya-
21

Manusia-SDM.html, diakses, tanggal, 15 Oktober 2012.


12

pasaran kerja, dimana pembiayaan-pembiayaan pendidikan diperlakukan sebagai

pengeluaran konsumsi dan bukan sebagai pengeluaran investasi.22

Dalam teorinya pendekatan ini lebih mengutamakan keterkaitan lulusan sis-

tem pendidikan dengan tuntutan akan kebutuhan tenaga kerja, didalam pendekatan ini

juga mempunyai kelemahan, dimana ada tiga kelemahan yang paling utama, yaitu;
1) Mempunyai peranan yang terbatas dalam perencanaan pendidikan, karena pen-
dekatan ini mengabaikan keberadaaan sekolah umum karena hanya akan meng-
hasilkan pengangguran saja, pendekatan ini lebih mengutamakan sekolah mene-
ngah kejuruan untuk memenuhi kebutuhan kerja.
2) Menggunakan klasifikasi rasio permintaan dan persediaan.
3) Tujuan dari pada pendekatan ini hanyalah untuk pemenuhan kebutuhan tenaga
kerja, disisi lain tuntutan dunia kerja berubah-ubah sesuai dengan cepatnya pe-
rubahan zaman.23

Blaug dan Faure menyimpulkan bahwa masalah pengangguran dikalangan ter-

didik dapat ditekan dengan memperbaiki sistem dan perencanaan pendidikan yang

baik. Perlu kita cermati sebenarnya peningkatan pengangguran bukan semata-mata

kesalahan dunia pendidikan, peningkatan pengangguran di karenakan sempitnya lapa-

ngan kerja. Sempitnya lapangan kerja disebabkan pemerintah yang kurang bisa mem-

buka lapangan kerja yang baru.

Perbaikan sistem dan perencanaan pendidikan, bukan berarti pendidikan harus

melahirkan atau meluluskan lulusan yang siap pakai. Kalau yang dimaksud dengan

siap pakai ialah kemampuan lulusan yang mengenali dan menguasai permasalahan

rutin serta mampu mengaplikasikan ilmunya; maka bukan pada tempatnya, hal itu di-

belajarkan pada pendidikan formal yang ada sekarang ini.

22
Sindhunata (ed), Pendidikan Kegelisahan Sepanjang Zaman (Yogyakarta: Kanisius, 2001),
h. 17.
23
Husaini Usman, Manajemen: Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara,
2006), h. 59.
13

Perencanaan pendidikan di Indonesia selain menggunakan pendekatan sosial

juga menggunakan pendekatan ketenagakerjaan. Disadari dengan benar bahwa tanpa

tenaga pembangunan yang ahli, terampil dan sesuai dengan lapangan kerja tidak

mungkin pembangunan nasional dapat berjalan dengan lancar.24

Namun dalam kenyataannya masih banyak hambatan-hambatan dalam usaha

menyusun perencanaan pendidikan dengan menggunakan pendekatan ketenagakerja-

an ini, khususnya di negara berkembang seperti Indonesia.

C. Pendidikan dan Ketenagakerjaan

Titik singgung antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi adalah produk-

tivitas kerja, dengan asumsi bahwa semakin tinggi mutu pendidikan, semakin tinggi

produktivitas kerja, semakin tinggi pula pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi

suatu masyarakat. Anggapan ini mengacu pada teori Human Capital. Teori Human

Capital menerangkan bahwa pendidikan memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan

ekonomi karena pendidikan berperan di dalam meningkatkan produktivitas kerja.25

Teori ini merasa yakin bahwa pertumbuhan suatu masyarakat harus dimulai

dari prodiktivitas individu. Jika setiap individu memiliki penghasilan yang tinggi ka-

rena pendidikannya juga tinggi, pertumbuhan masyarakat dapat ditunjang karenanya.

Teori Human Capital ini menganggap bahwa pendidikan formal sebagai suatu inves-

tasi, baik bagi individu maupun bagi masyarakat. Dari teori ini, timbul beberapa mo-

del untuk mengukur keberhasilan pendidikan bagi pertumbuhan ekonomi, misalnya

24
http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2011/03/Perencanaan-dan-Pengelolaan.html,
diakses, tanggal, 15 Oktober 2012.
25
http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2011/04/Hakikat-Pengembangan-Sumber-Daya.html,
diakses, tanggal, 15 Oktober 2012.
14

dengan menggunakan teknik cost benefit analysis, model pendidikan tenaga kerja dan

lain sebagainya.

Namun dalam kenyataannya, asumsi-asumsi yang digunakan oleh teori

Human Capital tidak selalu benar. Hal ini terbukti dari hasil penelitian Cammings

bahwa di Indonesia ternyata menunjukkan kecenderungan yang tidak berbeda antara

negara maju dan negara berkembang, yaitu bahwa pendidikan formal hanya membe-

rikan kontribusi kecil terhadap status pekerjaan dan penghasilan lulusan pendidikan

formal dibandingkan dengan faktor-faktor luar sekolah.26

Teori Human Capital dianggap tidak berhasil, maka muncullah teori baru se-

bagai koreksi terhadap teori sebelumya, yaitu teori kredensialisme. Teori ini me-

ngungkapkan bahwa struktur masyarakat lebih ampuh dari pada individu dalam men-

dorong suatu pertumbuhan dan perkembangan. Pendidikan formal hanya dianggap

sebagai alat untuk mempertahankan status quo dari para pemenang status sosial yang

lebih tinggi. Menurut teori ini perolehan pendidikan formal tidak lebih dari suatu

lambang status (misalnya melalui perolehan ”ijazah” bukan karena produktivitas)

yang memengaruhi tingginya penghasilan.

Dua teori yang dikemukan diatas, masing-masing memiliki kaitan erat dengan

fungsi sistem pendidikan yang diungkap oleh Sayuti Hasibuan. Menurutnya, fungsi

sistem pendidikan dalam kaitannya dengan ketenagakerjaan meliputi dua dimensi

penting, yaitu: 1). Dimensi kuantitatif yang meliputi fungsi sistem pendidikan dalam

pemasok tenaga kerja terdidik dan terampil sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja

yang tersedia, 2). Dimensi kualitatif yang menyangkut fungsinya sebagai penghasil

26
Williams Cammings, Studi Pendidikan dan Tenaga Kerja pada Beberapa Industri Besar di
Indonesia, Jakarta: Pusat Penelitian BP3K.
15

tenaga terdidik dan terlatih yang akan menjadi sumber penggerak pembangunan atau

sebagai driving force.27

Sistem pendidikan sebagai suatu sistem pemasok tenaga kerja terdidik lebih

banyak di ilhami oleh teori Human Capital. Sistem pendidikan memiliki arti penting

dalam menjawab tuntutan lapangan kerja yang membutuhkan tenaga kerja terampil

dalam berbagai jenis pekerjaan. Penyediaan tenaga kerja terdidik tidak hanya harus

memenuhi kebutuhan akan suatu jumlah yang dibutuhkan. Akan tetapi, yang lebih

penting ialah jenis-jenis keahlian dan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan

dunia industri. Teori Human Capital percaya bahwa pendidikan memiliki anggapan

lapangan kerja yang membutuhkan kecakapan dan keterampilan tersebut juga sudah

tersedia.

Fungsi pendidikan sebagai penghasil tenaga penggerak pembangunan (driving

force) cenderung lebih sesuai dengan teori Kredensialisme. Sistem pendidikan harus

mampu membuka cakrawala yang lebih luas bagi tenaga yang dihasilkan, khususnya

dalam membuka lapangan kerja baru. Pendidikan harus dapat menghasilkan tenaga

yang mampu mengembangkan potensi masyarakat dalam menghasilkan barang dan

jasa termasuk cara-cara memasarkannya. Kemampuan ini amat penting dalam rangka

memperluas lapangan kerja dan lapangan usaha. Dengan demikian, lulusan sistem

pendidikan tidak bergantung hanya kepada lapangan kerja yang telah ada yang pada

dasarnya sangat terbatas, akan tetapi mengembangkan kesempatan kerja yang masih

potensial.

Teori Kredensialisme merasa yakin bahwa pelatihan kerja merupakan medan

yang strategis dalam menjembatani antara pendidikan dengan kebutuhan lapangan

27
Sayuti Hasibuan, Changing Manpower Requirements in The Face of Non-Oil Growth,
Labor Force Growth and Fast Tehnological Change, (Jakarta: Bappenas, 1987), h. 5.
16

kerja. Jika ada masalah ketidaksesuaian, hal ini dianggap sebagai ”gejala persediaan”

(supply phenomina), yaitu ketidaksesuaian antara pendidikan dan lapangan kerja yang

diungkapkan sebagai gejala ketidakmampuan sistem pendidikan dalam menghasilkan

lulusan yang mudah dilatih atau yang dapat membelajarkan diri agar menjadi tenaga

terampil sesuai dengan kebutuhan pasar.28

Ketidaksesuaian tersebut mungkin juga dapat dianggap sebagai gejala permin-

taan (demand phenomina), yaitu ketidaksesuaian tersebut tidak semata-mata disebab-

kan oleh sistem pendidikan itu sendiri, tetapi lapangan kerja juga belum memung-

sikan sistem pelatihan kerja secara optimal. Jika ketidaksesuaian antara keterampilan

kerja dengan kebutuhan dunia industri dianggap sebagai demand phenomina, sistem

pelatihan kerja juga harus merupakan bagian yang integral di dalam industri atau

perusahaan. Dalam hubungan dengan hal tersebut, dunia industri akan berfungsi

sebagai training ground. Jika industri atau perusahaan sudah berfungsi sebagai

training ground, produktivitas tenaga kerja secara langsung merupakan kontrolnya.29

Pelatihan dalam industri atau perusahaan ialah tempat yang paling tepat untuk

dapat menghasilkan tenaga kerja yang siap pakai (ready trained), sementara sistem

pendidikan formal secara maksimal harus mampu menghasilkan tenaga potensial atau

yang memiliki kecakapan dasar yang dapat dikembangkan lebih jauh di dunia kerja.

Sekat-sekat yang ada antara pendidikan, pelatihan dan tenaga kerja seperti yang kita

alami dewasa ini, setidak-tidaknya secara konseptual tidak terjadi dalam masyarakat

industri modern. Diperlukan program yang terintegrasi antara dunia pendidikan dan

28
http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2011/10/Pelatihan-dan-Pengembangan-SDM.html,
diakses, tanggal, 15 Oktober 2012.
29
http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2011/04/Hakikat-Pengembangan-Sumber-Daya.html,
diakses, tanggal, 15 Oktober 2012.
17

pelatihan yang dibutuhkan oleh dunia industri. 30 Program-program pelatihan tidak

hanya dilaksanakan di dalam industri, tetapi sistem pendidikan sekolah dan luar

sekolah harus menyelenggarakan program pelatihan yang relevan dengan kebutuhan

dunia kerja.

Dalam kaitan ini perlu ada refungsionalisasi SISDIKNAS yang membuka diri

terhadap keterlibatan penuh dari masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan na-

sional. Dengan sistem yang seperti itu, bukan berarti akan menghilangkan pengang-

guran, tentu saja masalah pengangguran akan selalu ada karena berbagai sebab eko-

nomis ataupun non-ekonomis namun masalah pengangguran setidaknya dapat dimini-

malisir.

Fungsi pendidikan sebagai pemasok tenaga kerja terdidik dan terlatih dapat di-

uji berdasarkan kemampuannya dalam memenuhi jumlah angkatan kerja yang dibu-

tuhkan oleh lapangan kerja yang telah ada atau yang diperkirakan tersedia dalam su-

atu sistem ekonomi. Untuk menguji kemampuan ini diperlukan perbandingan antara

persediaan angkatan kerja yang dihasilkan oleh sistem pendidikan dan latihan dengan

kebutuhan tenaga kerja dalam lapangan kerja yang ada menurut kategori tingkat

pendidikan pekerja.

Terjadinya kelebihan persediaan tenaga kerja berpendidikan dasar ini disebab-

kan oleh masih banyak tersedianya lapangan kerja pada sektor tradisional dan sektor

informal pada saat struktur tenaga kerja telah mulai bergeser ke tingkat pendidikan

yang lebih tinggi. Keadaan ini didukung oleh kenyataan bahwa kelebihan persediaan

tenaga kerja terjadi pada tingkat-tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dan yang

30
H.A.R. Tilaar, Manajemen Pendidikan Nasional (Cet IV; Bandung: Rosdakarya, 1999), h.
178.
18

menjadi akibatnya pengangguran tenaga terdidik atau lulusan Perguruan Tinggi akan

terus bertambah setiap tahun.

Salah satu sebab kesenjangan supply dan demand pendidikan tinggi ialah ke-

senjangan antara keinginan mahasiswa (dan dorongan orang tua serta persepsi masya-

rakat) dengan kebutuhan akan tenaga kerja. Mahasiswa lebih menyenangi program

studi profesional seperti ahli hukum dan ekonomi dibanding dengan program tek-

nologi maupun pertanian. Gejala ini terjadi juga di negara industri maju dan sangat

kuat di negara berkembang. Sebaliknya kebutuhan akan tenaga kerja yang banyak

ialah di bidang industri dan pertanian.

Angka partisipasi dan bertambahnya lulusan Perguruan Tinggi belum dengan

sendirinya meningkatkan produktivitas kerja karena adanya pengangguran sarjana

yang semakin meningkat. Data pendidikan nasional menunjukkan kecenderungan

sebagai berikut: 1). Semakin tinggi jenjang pendidikan semakin besar kemungkinan

terjadinya pengangguran; 2). Pada tingkat pendidikan SLTP kebawah cenderung

terdapat kekurangan tenaga kerja terdidik; 3). Tamatan SLTA cenderung untuk

menganggur dan jumlahnya semakin besar; 4). surplus lulusan Perguruan Tinggi

cenderung berlipat ganda dari tahun ke tahun.

Gambaran mengenai kesenjangan supply dan demand lulusan pendidikan ting-

gi kita buka terletak pada angka absolutnya, karena sebenarnya kita masih keku-

rangan tenaga lulusan Perguruan Tinggi. Kekurangan ini masih dipersulit lagi dengan

adanya ”mis-match” jenis keahlian yang diproduksi oleh pendidikan tinggi kita.

Menurut Darlaini Nasution SE ada tiga faktor mendasar yang menjadi pe-

nyebab masih tingginya tingkat pengangguran di Indonesia. Ketiga faktor tersebut

adalah, ketidaksesuaian antara hasil yang dicapai antara pendidikan dengan lapangan
19

kerja, ketidakseimbangan demand (permintaan) dan supply (penawaran) dan kualitas

Sumber Daya Manusia (SDM) yang dihasilkan masih rendah. Ia menjelaskan,

lapangan pekerjaan yang membutuhkan tenaga kerja umumnya tidak sesuai dengan

tingkat pendidikan atau keterampilan yang dimiliki.31

Umumnya perusahaan atau penyedia lapangan kerja membutuhkan tenaga

yang siap pakai, artinya sesuai dengan pendidikan dan keterampilannya, namun

dalam kenyataan tidak banyak tenaga kerja yang siap pakai tersebut. Justru yang

banyak adalah tenaga kerja yang tidak sesuai dengan job yang disediakan.

Salah satu faktor yang mengakibatkan tingginya angka pengangguran di

negara kita adalah terlampau banyak tenaga kerja yang diarahkan ke sektor formal

sehingga ketika mereka kehilangan pekerjaan di sektor formal, mereka kelabakan dan

tidak bisa berusaha untuk menciptakan pekerjaan sendiri disektor informal. Justru

orang-orang yang kurang berpendidikan bisa melakukan inovasi menciptakan kerja,

entah sebagai joki yang menumpang di mobil atau joki payung kalau hujan.

Meski ada kecenderungan pengangguran terdidik semakin meningkat namun

upaya perluasan kesempatan pendidikan dari pendidikan menengah sampai

pendidikan tinggi tidak boleh berhenti. Akan tetapi, pemerataan pendidikan itu harus

dilakukan tanpa mengabaikan mutu pendidikan itu sendiri.

Karena itu, maka salah satu kelemahan dari sistem pendidikan kita adalah

sulitnya memberikan pendidikan yang benar-benar dapat memupuk profesionalisme

seseorang dalam berkarier atau bekerja. Saat ini pendidikan kita terlalu menekankan

pada segi teori dan bukannya praktek. Pendidikan seringkali disampaikan dalam

bentuk yang monoton sehingga membuat para siswa menjadi bosan.

31
http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2011/10/Artikel-Pengertian-Perencanaan-sdm.html,
diakses, tanggal, 15 Oktober 2012.
20

Di negara-negara maju, pendidikkan dalam wujud praktek lebih diberikan

dalam porsi yang lebih besar. Di negara kita, saat ini ada kecenderungan bahwa para

siswa hanya mempunyai kebiasaan menghapal saja untuk pelajaran-pelajaran yang

menyangkut ilmu sosial, bahasa, dan sejarah atau menerima saja berbagai teori,

namun sayangnya para siswa tidak memiliki kemampuan untuk menggali wawasan

pandangan yang lebih luas serta cerdas dalam memahami dan mengkaji suatu

masalah. Sedangkan untuk ilmu pengetahuan alam para siswa cenderung hanya

diberikan latihan soal-soal yang cenderung hanya melatih kecepatan dalam berpikir

untuk menemukan jawaban dan bukannya mempertajam penalaran atau melatih

kreativitas dalam berpikir.

Contohnya seperti seseorang yang pandai dalam mengerjakan soal-soal mate-

matika bukan karena kecerdikan dalam melakukan analisis terhadap soal atau kepan-

daian dalam membuat jalan perhitungan tetapi karena dia memang sudah hapal tipe

soalnya. Kenyataan inilah yang menyebabkan sumber daya manusia kita ketinggalan

jauh dengan sumber daya manusia yang ada di negara-negara maju. Kita hanya pan-

dai dalam teori, tetapi gagal dalam praktek dan dalam profesionalisme pekerjaan

tersebut. Rendahnya kualitas tenaga kerja terdidik kita juga adalah karena terlampau

melihat pada gelar tanpa secara serius membenahi kualitas dari kemampuan di bidang

yang kita tekuni.

Sehingga karena hal inilah maka para tenaga kerja terdidik sulit bersaing de-

ngan tenaga kerja asing dalam usaha untuk mencari pekerjaan. Salah satu penyebab

pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi adalah karena kualitas pendidikan

tinggi di Indonesia yang masih rendah. Akibatnya lulusan yang dihasilkan pun kua-

litasnya rendah sehingga tidak sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat.
21

Pengangguran terdidik dapat saja dipandang sebagai rendahnya efisiensi eksternal

sistem pendidikan. Namun bila dilihat lebih jauh, dari sisi permintaan tenaga kerja,

pengangguran terdidik dapat dipandang sebagai ketidakmampuan ekonomi dan pasar

kerja dalam menyerap tenaga terdidik yang muncul secara bersamaan dalam jumlah

yang terus berakumulasi.

Sebagai solusi pengangguran, berbagai strategi dan kebijakan dapat ditempuh,

misalnya setiap pengangguran diupayakan memiliki pekerjaan yang layak bagi

kemanusiaan artinya produktif dan remuneratif sesuai Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945

dengan partisipasi semua masyarakat Indonesia. Lebih tegas lagi dijadikan penang-

gulangan pengangguran menjadi komitmen nasional.

Untuk itu diperlukan dua kebijakan, yaitu kebijakan makro dan mikro (khu-

sus). Kebijakan mikro (khusus) dapat dijabarkan dalam beberapa poin: Pertama, pe-

ngembangan mindset dan wawasan penganggur, berangkat dari kesadaran bahwa

setiap manusia sesungguhnya memiliki potensi dalam dirinya namun sering tidak

menyadari dan mengembangkan secara optimal. Dengan demikian, diharapkan setiap

pribadi sanggup mengaktualisasikan potensi terbaiknya dan dapat menciptakan kehi-

dupan yang lebih baik, bernilai dan berkualitas bagi dirinya sendiri maupun masya-

rakat luas.32

Kepribadian yang matang, dinamis dan kreatif memiliki tujuan dan visi yang

jauh ke depan, berani mengambil tantangan serta mempunyai mindset yang benar. Itu

merupakan tuntutan utama dan mendasar di era globalisasi dan informasi yang sangat

kompetitif dewasa ini dan di masa-masa mendatang. Perlu diyakini oleh setiap orang,

kesuksesan yang hakiki berawal dari sikap mental kita untuk berani berpikir dan

32
http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2011/10/Hakikat-Pengembangan-Sumber-Daya.html,
diakses, tanggal, 15 Oktober 2012.
22

bertindak secara nyata, tulus, jujur matang, sepenuh hati, profesional dan bertanggung

jawab.33 Kebijakan ini dapat diimplementasikan menjadi gerakan nasional melalui

kerja sama dengan lembaga pelatihan yang kompeten untuk itu.

III. PENUTUP

Kesimpulan

1. Konsep Link and Match (keterkaitan dan kesepadanan) merupakan konsep keter-

kaitan antara lembaga pendidikan dengan dunia kerja, atau dengan kata lain Link

and Match ini adalah keterkaitan antara pemasok tenaga kerja dengan penggu-

nanya. Dengan adanya keterkaitan ini, maka pendidikan sebagai pemasok tenaga

kerja dapat mengadakan hubungan-hubungan dengan dunia usaha/industri.

2. Dengan link and match ini suatu lembaga khususnya Perguruan Tinggi bisa me-

ngadakan kerja sama dengan pihak lain khususnya dengan perusahaan atau in-

dustri agar mahasiswa bisa magang di perusahaan tersebut. Perguruan tinggi harus

mau melakukan riset ke dunia kerja. dengan adanya Link and Match tersebut

Perguruan Tinggi dapat mengetahui kompentensi (keahlian) apa yang paling di-

33
http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2011/10/Pelatihan-dan-Pengembangan-SDM.html,
diakses, tanggal, 15 Oktober 2012.
23

butuhkan dunia kerja dan kompetensi apa yang paling banyak dibutuhkan dunia

kerja. Selain itu, Perguruan Tinggi juga akan dapat memprediksi dan mengan-

tisipasi keahlian (kompetensi) apa yang diperlukan dunia kerja dan teknologi sepu-

luh tahun ke depan. Dan yang lebih penting Perguruan Tinggi harus menjalin

relasi dan menciptakan link dengan banyak perusahaan agar bersedia menjadi are-

na belajar kerja (magang) bagi mahasiswa yang akan lulus. Dengan magang

langsung (on the spot) ke dunia kerja seperti itu, lulusan tidak hanya siap secara

teori tetapi juga siap secara praktik.

3. Adapun pendekatan yang digunakan untuk mewujudkan Link and Match adalah

pendekatan sosial dan pendekatan ketenagakerjaan. Pendekatan sosial merupakan

pendekatan yang didasarkan atas keperluan masyarakat yang mana pendekatan ini

menitik beratkan pada tujuan pendidikan dan pemerataan kesempatan dalam

mendapatkan pendidikan. pendekatan sosial merupakan pendekatan tradisional

bagi pembangunan pendidikan dengan menyediakan lembaga-lembaga dan fasili-

tas demi memenuhi tekanan-tekanan untuk memasukkan sekolah serta memung-

kinkan pemberian kesempatan kepada peserta didik dan orang tua secara bebas.

Pendekatan ketenagakerjaan merupakan pendekatan yang mengutamakan kepada

keterkaitan lulusan sistem pendidikan dengan tuntutan terhadap tenaga kerja pada

berbagai sektor pembangunan dengan tujuan yang akan dicapai adalah bahwa

pendidikan itu diperlukan untuk membantu lulusan memperoleh kesempatan kerja

yang lebih baik sehingga tingkat kehidupannya dapat diperbaiki.

4. Pendidikan formal dianggap sebagai penentu dalam menunjang pertumbuhan eko-

nomi, dan titik temu antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi adalah produk-

tivitas kerja, dengan asumsi bahwa semakin tinggi mutu pendidikan, semakin ting-
24

gi produktivitas kerja, semakin tinggi pula pengaruhnya terhadap pertumbuhan

ekonomi suatu masyarakat. Anggapan ini mengacu pada teori Human Capital yang

menerangkan bahwa pendidikan memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan

ekonomi karena pendidikan berperan di dalam meningkatkan produktivitas kerja.

DAFTAR PUSTAKA

Cammings, Williams, Studi Pendidikan dan Tenaga Kerja pada Beberapa Industri
Besar di Indonesia, Jakarta: Pusat Penelitian BP3K.
Enoch, Jusuf. 1992, Dasar-Dasar Perencanaan, Jakarta: Bumi Aksara
Hasibuan, Sayuti. 1987, Changing Manpower Requirements in The Face of Non-Oil
Growth, Labor Force Growth and Fast Tehnological Change, Jakarta:
Bappenas.
http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2011/03/Perencanaan-dan-Pengelolaan.html,
diakses, tanggal, 15 Oktober 2012.
http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2011/03/Terbentuknya-Budaya-Agama-diseko-
lah.html, diakses, tanggal, 15 Oktober 2012.
http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2011/04/Hakikat-Pengembangan-Sumber-Da-
ya.html, diakses, tanggal, 15 Oktober 2012.
http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2011/04/Hakikat-Pengembangan-Sumber-Da-
ya.html, diakses, tanggal, 15 Oktober 2012.
http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2011/04/Label-metode-pembelajaran.html, di-
akses, tanggal, 15 Oktober 2012.
http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2011/04/Pendekatan-Perencaanaan-Pendidi-
kan.html, diakses, tanggal, 15 Oktober 2012.
http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2011/04/Pendekatan-perencanaan-pendidi-
kan.html, diakses, tanggal, 15 Oktober 2012.
25

http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2011/04/Pengembangan-desain-Perencaana-
an.html, diakses, tanggal, 15 Oktober 2012.
http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2011/04/Search-label-kurikulum.html, diakses,
tanggal, 15 Oktober 2012.
http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2011/04/Teori-teori-tentang-motivasi.html, di-
akses, tanggal, 15 Oktober 2012.
http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2011/05/Pengertian-dan-hakikat-disiplin-bela-
jar.html, diakses, tanggal, 15 Oktober 2012.
http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2011/05/Pengertian-motivasi-berprestasi.html,
diakses, tanggal, 15 Oktober 2012.
http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2011/10/Artikel-Pengertian-Perencanaan-
sdm.html, diakses, tanggal, 15 Oktober 2012.
http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2011/10/Hakikat-Pengembangan-Sumber-Da-
ya.html, diakses, tanggal, 15 Oktober 2012.
http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2011/10/Pelatihan-dan-Pengembangan-SDM.
html, diakses, tanggal, 15 Oktober 2012.
http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2011/10/Pelatihan-dan-Pengembangan-
SDM .html, diakses, tanggal, 15 Oktober 2012.
http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2011/10/Penarikan-Rekruitmen-Sumber-Daya-
Manusia-SDM.html, diakses, tanggal, 15 Oktober 2012.
http://kabar-pendidikan.blogspot.com/Search-label-budaya-sekolah.html, diakses,
tanggal, 15 Oktober 2012.
http://kabar-pendidikan.blogspot.com/search-label-otonomi-daerah.html, diakses,
tanggal, 15 Oktober 2012.
Imrona, Mahmud, Link and Match, http://Mahmud-Imrona.blogspot.com/Search/
Label/Link and Match, Diakses Tanggal 05 Januari 2008
Indar, Djumberansyah. 1995. Perencanaan Pendidikan Strategi dan Implementasinya.
Surabaya: Karya Aditama.
Limongan, Andreas, Masalah Pengangguran di Indonesia, Diakses Tanggal 07 Janu-
ari 2008.
Sa’ud, Syaefudin dan Abin Syamsuddin Makmun, Perencanaan Pendidikan Suatu
Pendekatan Komprehensif , Cet. II; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006.
Sa’ud, Udin Syaefudin dan Abin Syamsuddin Makmun, 2006. Perencanaan Pendidi-
kan Suatu Pendekatan Komprehensif . Bandung: Remaja Rosdakarya. Cet II.
Sindhunata (ed), 2001, Pendidikan Kegelisahan Sepanjang Zaman, Yogyakar-
ta:Kanisius.
Sindhunata (ed). 2000, Menggegas Paradigma Baru Pendidikan: Demokrasi, Otono-
mi, Civil Society, Globalisasi, Yogyakarta: Kanisius.
Soeharto, Bohar. 1991, Perencanaan Sosial Kasus Pendekatan, Bandung: Armico.
26

Suryadi, Ace dan H.A.R. Tilaar. 1993, Analisis Kebijakan Pendidikan: Suatu Pe-
ngantar, Bandung: Rosdakarya.
Tilaar, H.A.R. 1999, Manajemen Pendidikan Nasional, Bandung: Rosdakarya. Cet
IV.
Usman, Husaini. 2006, Manajemen: Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan, Jakarta:
Bumi Aksara.
Wardiman, Keterkaitan Dan Kesepadanan (Link And Match), Jakarta: Mendiknas,
2010.

Anda mungkin juga menyukai