LANDASAN TEORI
1.1 Citra
Citra adalah repesentasi (gambaran), kemiripan, atau imitasi dari suatu objek. Citra
sebagai keluaran suatu sistem perekaman data dapat bersifat optik berupa foto, bersifat
analog berupa sinyal – sinyal video seperti gambar pada monitor televisi, atau bersifat
digital yang dapat langsung disimpan pada suatu media penyimpanan (Raharja, 2018:
71).
1.1.1 Citra Analog
Citra analog ialah citra yang sifatnya continue, seperti gambar pada monitor
televisi, foto sinar X, foto yang tercetak di kertas foto, lukisan, panorama alam,
hasil CT scan, gambar-gambar yang terekam pada pita kaset, dan lainnya
sebagainya. Citra analog tidak bisa direpresentasikan dalam komputer, sehingga
tidak dapat diproses di komputer secara langsung. Oleh sebab itu, agar citra
analog bisa diproses di komputer, proses konversi analog ke digital harus
dilaksanakan terlebih dahulu. Citra analog dihasilkan dari alat-alat analog,
seperti video kamera analog, kamera foto analog, cam, CT scan, sensor rontgen
untuk foto thorax, sensor gelombang pendek pada sistem radar, sensor
ultrasound pada sistem USG, dan lain-lain (Irawan, 2018: 107).
Citra digital yaitu citra yang dapat diolah oleh komputer (Raharja, 2018:
71). Citra digital berupa gambar dua dimensi yang bisa ditampilkan pada layar
komputer sebagai himpunan/ diskrit nilai digital yang disebut pixel/ picture
elements. Citra digital bisa dibedakan menjadi dua, yaitu raster dan vektor. Pada
umumnya yang disebut dengan citra digital ialah citra digital dalam bentuk raster
atau yang biasa disebut dengan citra bitmap (Hafiz, 2019: 194).
Citra digital dinyatakan dalam suatu larik (array) yang berisi nilai-nilai real
ataupun komplek yang direpresentasikan dengan deret bit tertentu. Sebuah citra
digital bisa diwakili oleh suatu matriks yang terdiri dari M kolom dan N baris,
dimana perpotongan antara kolom dan baris disebut pixel, yakni elemen terkecil
dari suatu citra. Persilangan antara baris dan kolom tersebut disebut dengan
pixel. pixel dari suatu citra a[m,n] adalah nilai yang diberikan pada koordinat
[m,n] dengan {m = 0, 1, 2, …, M - 1} dan {n = 0, 1, 2, …, N – 1} yang dapat
dilihat pada gambar 2.3 (Hidayat, 2017: 59).
2. Citra grayscale adalah citra yang hanya mempunyai satu saluran, sehingga
hanya nilai intensitas yang ditampilkan yang disebut juga grayscale. Karena
gambar jenis ini hanya mempunyai satu saluran, gambar grayscale
mempunyai ruang penyimpanan yang lebih efektif. Gambar jenis tersebut
dinamakan juga gambar 8-bit, karena masing-masing nilai piksel
memerlukan penyimpanan 8-bit. Foto dan gambar hitam-putih yang
ditampilkan di TV hitam-putih sebenarnya memakai gambar skala abu-abu
daripada gambar hitam putih. Namun di kalangan masyarakat, istilah foto
hitam putih dan televisi hitam putih dipakai dalam kehidupan sehari-hari.
3. Citra biner atau citra hitam putih (black and white image) adalah citra yang
hanya memiliki 2 kemungkinan nilai untuk setiap pixel-nya, yaitu 0 atau 1.
Nilai 0 akan tampil sebagai warna hitam sedangkan nilai 1 akan tampil
sebagai warna putih. Maka dari itu jenis citra ini hanya membutuhkan 1-bit
untuk menyimpan nilai pada setiap pixel-nya. Jenis citra ini sering
digunakan untuk masking ataupun segmentasi citra.
Citra adalah gambar pada bidang dwimatra atau fungsi menerus dari
intensitas cahaya pada sektor dwimatra. Citra adalah bentuk informasi visual
sehingga banyak informasi yang bisa digali dari suatu citra. Proses atau tahapan
cara yang dipakai untuk menggali informasi citra itu hingga memperoleh hasil
output yang bisa dipakai dalam kepentingan tertentu disebut sebagai pengolahan
citra digital. Jadi secara garis besar pengolahan citra digital adalah langkah-
langkah teknik dalam mengestimasi karakteristik obyek di dalam citra,
pengukuran ciri yang berhubungan dengan geometri obyek dan menginterpretasi
geometri tersebut (Rianto, 2017: 145).
Pengolahan citra ialah kegiatan memperbaiki mutu citra supaya mudah
diinterpretasi oleh komputer (Zarkasi, 2017: 39). Operasi pengolahan citra ialah
operasi yang dilakukan untuk mentransformasikan sebuah citra menjadi citra
lain (Pranata, 2017: 98). Dengan menggunakan pengolahan citra, salah satu hal
paling penting dari pengolahan citra ialah normalisasi citra yang meliputi
penghapusan noise, kecerahan, ketajaman, dan ukuran citra (Adhitya, 2018: 89).
Pengolahan citra ialah disiplin ilmu yang mempelajari hal-hal yang
berhubungan dengan perbaikan mutu gambar (peningkatan kontras, transformasi
warna, restorasi), transformasi gambar (rotasi, translasi, skala, transformasi
geometrik), melaksanakan pemilihan ciri citra (feature extraction) yang optimal
untuk bertujuan analisis, melaksanakan proses penarikan informasi atau
deskripsi obyek atau pengenalan objek yang terkandung pada citra, melakukan
kompresi atau reduksi data untuk tujuan penyimpanan, transmisi dan waktu
proses data (Sinaga, 2017: 48).
Langkah dalam pengolahan citra digital pada gambar 2.7 diawali dari proses
penangkapan atau pengambilan citra (image acquisition) memakai sensor berupa
kamera, alat pemindai,dll. Kemudian dilanjutkan dengan proses persiapan
(preprocessing) seperti proses perubahan ukuran (image resizing) atau renovasi
kualitas (image enhancement) sebelum pada pada akhirnya dipakai dalam tujuan
tertentu. Langkah lebih dalam yang dilakukan ialah membagi citra kedalam
bagianbagian penyusunya (segmentation). Proses ini dilaksanakan untuk
memisahkan obyek yang diinginkan terpisah dari objek-objek lainnya. Karena
hasil dari proses segmentasi ialah batasbatas antara objek yang hendak diamati
lebih dalam dengan objek-objek lainnya, maka perlu dilakukan pengamatan
lebih dalam (representation dan description )untuk memperlihatkan bahwa
wilayah di dalam batas ialah benar obyek yang diamati. Tahap terakhir dari
pengolahan citra adalah pengenalan dan tafsir (recognition dan interpretation).
Pengenalan ialah proses untuk memberikan label ke sebuah obyek berdasarkan
informasi yang disediakan oleh deskriptornya adapun interpretasi meliputi
pemberian arti ke sebuah rangkaian objek yang dikenali. Namun demikian ada
hal yang tak kalah pentingnya supaya sistem pengolahan citra bisa berkerja
diperlukan basis pengetahuan (knowledge base) mengenai domain permasalahan
yang hendak diselesaikan (Rianto, 2017: 145).
1.2 Sistem pendeteksi
Sistem ialah kumpulan dari elemen-elemen yang berinteraksi untuk mendapat sebuah
tujuan tertentu. Sistem ini menggambarkan sebuah kejadian-kejadian dan kesatuan yang
nyata ialah suatu obyek yang nyata, seperti tempat, benda, dan orang-orang yang benar
ada dan terjadi (Kurnia, 2018: 2).
Sistem merupakan unsur/elemen yang saling berhubungan dan saling memiliki
pengaruh terhadap dalam melakukan kegiatan. Sedangkan pendeteksi asalnya dari kata
deteksi yang artinya merupakan usaha dalam menentukan keberadaan. Sistem Pendeteksi
ialah elemen yang saling berhubungan dalam melaksanakan kegiatan untuk melakukan
keberadaan sebuah celah pada sistem (Muzawi, 2019: 2).
Menurut Kurnia (2018: 2), sistem pendeteksi ialah suatu sistem yang mampu
melakukan pemeriksaan terhadap sebuah hal dengan cara melakukan pengubahan suatu
input yang setelah itu diproses dan memberikan output yang sesuai dengan hasil dari
proses yang dilakukan. Sistem pendeteksi bisa dipakai untuk berbagai masalah, misalnya
pada alat pendeteksi kaca pecah, dimana alat bisa mendeteksi getaran ketika kaca pecah
(Kurnia, 2018: 2). Sedangkan menurut Afrizalansyah (2017: 32), sistem pendeteksi ialah
suatu kinerja dari program yang membentuk sinergi untuk menghasilkan suatu tujuan
yang bermanfaat bagi penggunanya
Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem adalah elemen-
elemen yang saling berhubungan dan dapat memberikan pengaruh. Sistem dibuat untuk
mencapai tujuan tertentu. Sedangkan sistem pendeteksi ialah suatu sistem yang dapat
memeriksa sesuatu berdasarkan input sehingga dari input itu menghasilkan output yang
bermanfaat bagi penggunanya. Dalam penelitian ini, sistem deteksi dibangun untuk
mendeteksi adanya kemiripan antara dua video yang diperbandingkan.
1.3 Histogram
Histogram ialah grafik yang memperlihatkan frekuensi kemunculan masing-masing
nilai gradasi warna. Bila digambarkan pada koordinat kartesian maka sumbu X (absis)
memperlihatkan jenjang warna dan sumbu Y (ordinat) memperlihatkan frekuensi
kemunculan (Kusuma, 2017: 145).
Histogram digunakan untuk memahami informasi frekuensi penggunaan jenjang
keabuan dalam sebuah citra. Ekstraksi fitur histogram ialah salah satu metode ekstraksi
yang bisa dipakai dalam image processing. Metode ekstraksi ini berdasarkan jenjang
keabuan dari citra yang diambil dari histogram citra (Aji, 2019: 2).
Keyframe ialah frame dimana terdapat perubahan yang spesifik didalam animasi atau
video (Erin, 2020: 415). Istilah keyframe sangat sering dijumpai pada aplikasi pengelola
animasi seperti adobe flash, adobe animate, adobe after effect, blender 3D, dan lain-lain.
Meskipun demikian, istilah keyframe tidak hanya mengacu pada keyframe yang ada
dalam aplikasi-aplikasi tersebut, tapi keyframe juga berlaku secara luas untuk semua jenis
video. Sebab setiap video memiliki perubahan spesifik pada tingkatan warna maupun
audio. Letak perbedaan tersebutlah dinamakan sebagai keyframe.
Semakin banyak frame atau keyframe yang disimpan, maka ukuran file video yang
disimpan akan semakin besar. Ukuran video yang besar akan membutuhkan media
penyimpanan yang besar dan memakan waktu yang lama untuk pengiriman data pada
jejaring komputer. Lamanya waktu yang diperlukan untuk mengirimkan data video
melalui jejaring komputer menjadi persoalan utama ketika ini, seiring meningkatnya
kebutuhan akan konten video di internet khususnya dengan semakin populernya media
sosial. Berbagai teknik dan algoritma yang dipakai untuk menyimpan gambar bergerak
menerapkan kompresi berdasarkan keyframe. Kompresi yang dilaksanakan dapat
mengurangi kebutuhan penyimpanan data secara signifikan yang juga berdampak pada
pengurangan waktu pengiriman data dalam jaringan (Suwardi, 2018: 713).
Ekstraksi keyframe ialah teknik penting dalam ringkasan video, pencarian, dan
penalaran sebuah video. Ekstraksi keyframe berdasarkan intra-frame dan inter-frame
dipakai analisis motion histogram. Keyframe yang memuat gerakan yang kompleks
diekstrak dan penting dilaksanakan karena berhubungan dengan frame tetangganya, dan
bisa pula digunakan untuk mewakili aksi dan kegiatan sebuah. Keyframe pertama kali
ditemukan berada pada puncak kurva entropi dan dihitung histogram gerakan dalam
setiap frame video tersebut. Efektivitas pemakaian metode ini divalidasi oleh berbagai
jenis video yang tersedia pada kehidupan nyata (Hariani, 2020: 28).
Gambar 2. 9 Tahapan Ekstraksi Berdasarka Keyframe
(Hariani, 2020: 29)
Algoritma Shingling bekerja dengan cara membuat suatu shingle yang berisi
berbagai kata dengan jumlah yang tetap. Angka yang menentukan jumlah kata dalam satu
shingle tersebut dinamakan gram. Pada setiap shingle dibangkitkan nilai fingerprint.
Proses shingling ini akan memperoleh hasil himpunan yang berisi sejumlah fingerprint.
Himpunan ini kemudian dibandingkan dengan himpunan yang dihasilkan dari dokumen
kedua. Nilai kemiripan didapat dengan cara membagi jumlah fingerprint yang sama
(intersection) dari dua dokumen dengan jumlah fingerprint gabungan (union). Proses
perhitungan itu didefinisikan sebagai berikut (Simanullang, 2020: 37):
|S A ∩S B|
r ( A , B)=
|S A ∪S B|
Algoritma Shingling untuk menghitung tingkat kemiripan video dalam penelitian ini
menggunakan langkah-langkah berikut:
1. Hilangkan redundant pixel pada kedua video.
2. Dimulai dengan pixel pertama, buat satu shingle berisi pixel pertama tersebut sampai
3 pixel berikutnya.
3. Pindah ke pixel kedua, buat shingle berisi pixel kedua dan 3 pixel berikutnya.
4. Lakukan pembentukan shingle sampai dengan 4 pixel terakhir dari keyframe
tersebut.
5. Untuk tiap shingle, bangkitkan nilai fingerprint.
6. Lakukan langkah 1 sampai dengan 5 untuk keyframe kedua.
7. Gunakan rumus nilai kemiripan keyframe Persamaan 1 untuk menghitung nilai
kemiripan keyframe
Proses pembentukan shingle dilaksanakan sesudah proses penghapusan piksel
redundan. Jumlah piksel dalam satu shingle ditentukan oleh nilai gram. Nilai gram
ditentukan oleh inputuser. pada setiap shingle yang terbentuk, dihitung nilai fingerprint.
Pembentukan nilai fingerprint memiliki tujuan untuk memperkecil ukuran
byteshingle yang hendak dibandingkan. Sebagai contoh kalau dalam satu shingle terdapat
20 piksel (variabel gram diberi nilai 20), maka dalam satu shingle terdapat 20 x 3 byte (1
piksel terdapat warna R, G, B) = 60 byte. 60 byte itu kalau dihitung nilai fingerprint
dengan MD5, memperoleh hasil nilai hash 16 byte (128 bit). Membandingkan dua
shingle yang berukuran 16 byte, tentu lebih pesat dari pada membandingkan dua shingle
berukuran 60 byte.
Proses sesudah terbentuk shingle untuk kedua keyframe dan nilai fingerprint untuk
tiap-tiap shingle, yakni menghitung jumlah shingle yang sama pada kedua keyframe
(intersection), dan jumlah integrasi shingle kedua keyframe (union). Nilai kemiripan
didapat dari nilai intersection dibagi dengan nilai union, dikalikan 100 persen.
DAFTAR PUSTAKA
Raharja, Bayu Dwi, and Paulus Harsadi. 2018. "Implementasi Kompresi Citra Digital Dengan
Mengatur Kualitas Citra Digital". Jurnal Ilmiah SINUS 16.2.
Hafiz, Aliy. 2019. "Steganografi Berbasis Citra Digital Untuk Menyembunyikan Data
Menggunakan Metode Least Significant Bit (LSB)". Jurnal Cendikia 17.1.
Hidayat, Arinten Dewi, and Irawan Afrianto. 2017. "Sistem Kriptografi Citra Digital Pada
Jaringan Intranet Menggunakan Metode Kombinasi Chaos Map dan Teknik
Selektif". Ultimatics: Jurnal Teknik Informatika 9.1
Primahayu, Ringga Aulia, Fitri Utaminingrum, and Dahnial Syauqy. 2017. "Sistem
Monitoring Cairan Infus Terpusat Menggunakan Pengolahan Citra Digital". Jurnal
Pengembangan Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer e-ISSN 2548
Suryowinoto, Andy, and Abdul Hamid. 2017. "Penggunaan Pengolahan Citra Digital Dengan
Algoritma Edge Detection Dalam Mengidentifikasi Kerusakan Kontur Jalan". Institut
Teknologi Adhi Tama Surabaya.
Pranata, Andi. 2017. "Pengolahan Citra Berbasis Deteksi Tepi Prewitt Pada Gambar Gigi
Manusia." Eksplora Informatika 6.2.
Rianto, Pawit, and Agus Harjoko. 2017. "Penentuan Kematangan Buah Salak Pondoh Di
Pohon Berbasis Pengolahan Citra Digital". IJCCS (Indonesian Journal of Computing
and Cybernetics Systems) 11.2.
Sinaga, Anita Sindar RM. 2017. "Implementasi Teknik Threshoding Pada Segmentasi Citra
Digital". Jurnal Mantik Penusa 1.2.
Muzawi, Rometdo, Resti Desmawati, and Unang Rio. 2019. "Prototype Sistem Pendeteksi
Jenis Kayu Menggunakan Sensor MQ-6." INOVTEK Polbeng-Seri Informatika 4.1.
Erin, Irbah Fatin Dyas, Nabilah, Tati Haryanti. 2020. "Bahan Ajar 3D Pageflip Berbasis
Representasi Matematis pada Materi Sistem Persamaan Linear Dua Variabel". Jurnal
Pendidikan Matematika Universitas Swadaya Gunung Jati.
Suwardi, Iping Supriana, et al. 2018. "Simulasi Animasi dengan Menggunakan Pendekatan
Diferensial". Seminar Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi
(SEMNASTIK). Vol. 1. No. 1.
Hariani, Siti. 2020. "Sistem Deteksi Cuaca Berdasarkan Analisis Histogram HCL
Menggunakan Algoritma k-Nearest Neighbor (KNN)." Jurnal EECCIS 14.1.
Simanullang, Irwan Saputra. 2020. "Perancangan Aplikasi Deteksi Kemiripan Dokumen Teks
Menggunakan Algoritma Shingling". Jurnal Sistem Komputer dan Informatika
(JSON) 2.1.
Kusuma, Bagus Adhi, Kuat Indartono, and Wiga Maulana Baihaqi. 2017. "Penentuan Tulang
Belakang Berdasarkan Proyeksi Histogram pada Citra Digital X-ray Skoliosis".
Jurnal CITISEE 2017.
Aji, Bagas Bayu. 2019. "Sistem Lampu Lalu Lintas Cerdas Menggunakan Ekstraksi Fitur
Histogram Dengan Klasifikasi Jaringan Saraf Tiruan (JST)". Jurusan Teknik Elektro,
Universitas Islam Indonesia.
Sunandar, Hery. 2017. "Perbaikan kualitas Citra Menggunakan Metode Gaussian Filter".
MEANS (Media Informasi Analisa dan Sistem) 2.1.