PENDAHULUAN
2
mengkonsumsi buah dan sayur, 50% daging dan ikan , 46% telur, 26% ASI dan susu
formula, 11% susu formula dan 8% keju (SDKIIndonesia,2012).
Menurut World Health Organization (WHO)/ United Nations Children’s Fund
(UNICEF, 2013), lebih dari 50% kematian anak balita terkait dengan masalah kurang
gizi, dan dua pertiga diantara kematian tersebut terkait dengan pola pemberian makan
yang kurang tepat pada bayi dan anak, seperti tidak dilakukan IMD dalam satu jam
pertama setelah lahir dan pemberian MP-ASI yang terlalu cepat atau terlambat.
Keadaan ini akan membuat daya tahan tubuh bayi lemah, sering sakit dan akan
mengalami gagal tumbuh.
Kejadian gizi kurang memang harus dideteksi secara dini melalui pemantauan
tumbuh kembang balita. Hasil pengumpulan data Provinsi Gorontalo pada tahun
2015 diketahui bahwa presentase balita dengan gizi kurang mencapai 18,8% dengan
kasus gizi kurang tertinggi adalah Kabupaten Boalemo sebesar 30,8% dan tertinggi
kedua Kabupaten Gorontalo sebesar 19,8% dan pada tahun 2016 presentasi kasus
gizi kurang tertinggi di Kabupaten Pohuwato sebesar 23,46% dan terendah Kota
Gorontalo sebesar 13,8%. (PSG Provinsi Gorontalo, 2016).
Data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Gorontalo tentang gizi yaitu berdasarkan
BB/U (Berat Badan/Umur) pada tahun 2016 di puskesmas Limboto Barat gizi buruk
sebanyak 29 balita (1,0%) dan gizi kurang sebanyak 200 balita (9,2%) dari 2200
balita pada tahun 2017 di puskesmas Limboto Barat gizi buruk sebanyak 14 balita
( 0,6%) dan gizi kurang 147 (6,6) dan pada tahun 2018 di puskesmas Limboto Barat
gizi buruk 13 balita (0,6%) dan gizi kurang 102 (4,6%) dari 2228 balita. (Dinas
Kesehatan Kabupaten Gorontalo, 2018).
Berdasarkan data Puskesmas Limboto Barat tentang laporan gizi tahun 2019
hingga bulan juli balita gizi kurang 172 (11,1%) balita dan gizi buruk 35 (2,2%) dari
1549 balita dan sebanyak 367 balita yang berusia 6-24 bulan. Menurut data dari Balai
KB Kecamatan Limboto Barat tahun 2018 bahwa di Limboto Barat tahapan
kesejahteraan keluarganya yaitu keluarga prasejahtera sejumlah 41 keluarga,
3
keluarga sejahtera 1 sejumlah 275 keluarga, keluarga sejahtera 2 sejumlah 90
keluarga, dan keluarga sejahtera 3 sejumlah 24 keluarga.
Penelitian Sari Maiyanti 2011, menunjukan ada hubungan tingkat
kesejahteraan keluarga dengan status gizi pada balita yaitu tingkat kesejahteraan
keluarga mempengaruhi tumbuh kembang anak dan status gizi melalui kesiapan
keluarga dalam hal mengasuh anak dan kemampuan keluarga untuk memenuhi
kebutuhan zat gizi balita. Berdasarkan hasil penelitian status gizi pada balita
digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan (tingkat kemiskinan) di suatu
daerah. Semakin banyak jumlah kurang sejahtera di suatu daerah (tingkat
kemiskinannya tinggi) maka semakin banyak juga balita yang menderita kurang gizi.
Hasil dari penelitian Rizky Eka Sakti, dkk tahun 2017 mengatakan bahwa ada
hubungan pola pemberian MP-ASI dengan status gizi. Hal ini menunjukan bahwa
lebih banyak anak yang berstatus gizi buruk/kurang yang mendapatkan MP-ASI
tidak diberikan dengan pola yang baik, diberikan sesuai umurnya, frekuensinya,
jenisnya dan cara pemberiannya dan hal-hal itulah yang mempengaruhi atau
penyebab terjadinya gizi kurang/buruk. Keadaan status gizi yang kurang baik
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu pengetahuan ibu, tingkat
pendidikan ibu, tingkat kesejahteraan keluarga dan pola pemberian MP-ASI, tingkat
pendapatan, jumlah anggota keluarga, penyediaan pangan (Wirjatmadi, 2016).
Dari hasil uraian diatas, maka peneliti ingin mengetahui hubungan
kesejahteraan keluarga dan pola pemberian MP-ASI dengan status gizi pada balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Limboto Barat.
4
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat diidentifikasikan masalah
dalam penelitian ini adalah :
1. Data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Gorontalo tentang gizi yaitu berdasarkan
BB/U (Berat Badan/Umur) pada tahun 2018 di puskesmas Limboto Barat gizi
buruk 13 balita (0,6%) dan gizi kurang 102 (4,6%) dari 2228 balita.
2. Berdasarkan tentang laporan gizi tahun 2019 hingga bulan juli balita gizi
kurang 172 (11,1%) balita dan gizi buruk 35 (2,2%) dari 1549 balita dan
sebanyak 367 balita yang berusia 6-24 bulan.
3. Data dari Balai KB Kecamatan Limboto Barat tahun 2018 bahwa di Limboto
Barat tahapan kesejahteraan keluarganya yaitu keluarga prasejahtera sejumlah
41 keluarga, keluarga sejahtera 1 sejumlah 275 keluarga, keluarga sejahtera 2
sejumlah 90 keluarga, dan keluarga sejahtera 3 sejumlah 24 keluarga.
5
2. Diketahui pola pemberian MP-ASI di wilayah kerja Puskesmas Limboto Barat.
3. Diketahui status gizi balita di wilayah kerja Puskesmas Limboto Barat.
4. Diketahui hubungan tingkat kesejahteraan keluarga dengan status gizi balita di
wilayah kerja Puskesmas Limboto Barat ditinjau dari Status Gizi Balita.
5. Diketahui hubungan pola pemberian MP-ASI dengan status gizi balita di
wilayah kerja Puskesmas Limboto Barat.
6
d. Bagi Peneliti
Meningkatkan pengetahuan serta mendapatkan gambaran mengenai tingkat
kesejahteraan keluarga dan keberhasilan pemberian MP-ASI dengan status
gizi balita dan selanjutnya bisa dijadikan pedoman atau pegangan peneliti
dalam menjalankan pengabdiannya sebagai tenaga kesehatan dimasyarakat.
e. Bagi Peneliti Selanjutnya
Sebagai bahan tambahan atau masukan pengetahuan dan informasi serta
perkembangan penelitian selanjutnya
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
8
h. Melepaskan dan mengenakan pakaian sendiri
i. Menggambar garis lurus
4. 37-60 Bulan
a. Melompat-lompat dengan 1 kaki, menari dan berjalan lurus.
b. Menggambar 3 bagian seperti kepala, badan, tangan/kaki.
c. Memegang polpen dan menggambar tanda silang atau lingkaran
d. Menangkap bola kecil dengan kedua tangannya
e. Menghitung menggunakan jari
f. Mampu berpakaian sendiri tanpa dibantu
g. Menggosok gigi tanpa bantuan
9
Karena hal tersebut pemerintah memandang perlu untuk memberikan suatu
pelayanan yang menunjang pertumbuhan dan perkembangan balita secara
menyeluruh terutama pada aspek mental dan sosial. Perkembangan seorang anak
tidak akan maksimal tanpa dukungan atau optimalnya pertumbuhan. Salah satu
indikator untuk melihat pertumbuhan fisik anak adalah dengan melihat status gizi
anak dalam hal ini balita. (Soetjiningsih, 2015).
Ditandai dengan kurangnya berat badan menurut umur anak (BB/U). Anak
dengan gizi kurang dapat diakibatkan oleh kekurangan makan atau karena anak
tersebut pendek. Status gizi tersebut tidak memberikan indikasi spesifik tentang
karakteristik masalah gizi yang diderita (akut, kronis atau akut-kronis), tapi secara
umum mengindikasikan adanya gangguan gizi.Salah satu cara untuk menentukan
status gizi dengan membandingkan Berat Badan dan Tinggi Badan.
IMT = BB(kg)/TB2 (dalam meter). (Kemenkes RI 2018)
Untuk Perempuan : Kurus : < 17 kg/m2
Normal : 17 – 23 kg/ m2
Kegemukan : 23 – 27 kg/m2
Obesitas : > 27 kg/m
Untuk Laki-laki : Kurus : < 18 kg/m2
Normal : 18 – 25 kg/m2
Kegemukan : 25 – 27 kg/m2
Obesitas : > 27 kg/m2
Tanda-tanda atau petunjuk yang dapat memberikan indikasi tentang keadaan
keseimbangan antara asupan (intake) zat gizi dan kebutuhan zat gizi oleh tubuh untuk
berbagai proses biologis. Tanda-tanda tersebut antara lain antropometri (ukuran
tubuh manusia; BB/U, TB/U, BB/TB), biokimia gizi (kadar hemoglobin darah, kadar
vitamin A serum, kadar ekskresi yodium dalam urine), tanda-tanda klinis (tanda-
tanda kurang gizi berat seperti marasmus, kwasiorkor, atau marasmus-kwasiorkor),
dan konsumsi makanan. LILA = Lingkar Lengan Atas = Mid Upper Arm
10
Circumference (MUAC) Salah satu indikator yang digunakan untuk melihat status
gizi dengan cara mengukur lingkar lengan atas. (Depkes RI 2017)
11
Indikator BB/TB (Berat Badan/ Tinggi Badan) merupakan pengukuran
antropometri yang terbaik karena dapat menggambarkan secara sensitive dan spesifik
status gizi saat ini atau masalah gizi akut. Berat badan berkolerasi linear dengan
tinggi badan, artinya dalam keadaan normal perkembangan berat badan akan
mengikuti pertambahan tinggi badan pada percepatan tertentu. Dengan demikian
berat badan normal akan proporsional dengan tinggi badan. BB/TB baik untuk
menilai status gizi saat ini terutama bila data umur yang akurat sulit diperoleh.
(WHO & Unicef, 2013)
Tabel 1. Penilaian Status Gizi Balita
N
Indeks yang dipakai Batas Pengelompokan Sebutan Status Gizi
o
1 < -3 SD Gizi buruk
2 -3 s/d <-2 SD Gizi kurang
BB/U
3 -2 s/d +2 SD Gizi baik
4 > +2 SD Gizi lebih
5 < -3 SD Sangat Pendek
6 -3 s/d <-2 SD Pendek
TB/U
7 -2 s/d +2 SD Normal
8 > +2 SD Tinggi
9 < -3 SD Sangat Kurus
1 -3 s/d <-2 SD Kurus
0
1 BB/TB -2 s/d +2 SD Normal
1
1 > +2 SD Gemuk
2
Sumber : Nungki Fidiantoro, 2013
12
status gizi balita jika keluarga tersebut tidak sejahtera maka dalam pemenuhan
kebutuhan gizi balita dalam pertumbuhan dan perkembangan balita terhambat,
apabila keluarga tersebut sejahtera maka pemenuhan kebutuhan terpenuhi dengan
baik dan anak akan tumbuh dan berkembang dengan baik.
2. Pola Pemberian Makanan
Konsumsi makanan oleh keluarga bergantung pada takaran dan jenis pangan
yang dibeli, cara olah, distribusi dan dalam keluarga. Hal ini bergantung pada
pendapatan, agama, adat kebiasaan dan tingkat pendidikan. Di Negara Indonesia
yang jumlah pendapatan sebagian rendah adalah golongan rendah dan menengah
akan berdampak pada pemenuhan bahan makanan terutama makanan yang bergizi.
Pola pemberian makan sangat penting untuk mengetahui apa yang dimakan o dan
hal ini dapat berguna untuk mengukur status gizi dan menemukan faktor diet yang
dapat menyebabkan masalah gizi. Kurangnya jumlah makanan yang dikonsumsi baik
secara kualitas maupun kuantitas dapat menurunkan status gizi. Anak yang
makanannya tidak cukup maka daya tahan tubuhnya akan melemah dan mudah
terserang penyakit.
3. Pengetahuan Tentang Gizi
Pengetahuan ibu tentang gizi dalam berbagai bahan makanan yang
mengandung gizi, kegunaan makanan bagi kesehatan keluarga dapat membantu ibu
memilih bahan makanan yang harganya murah akan tetapi nilai gizinya tinggi.
Kurangnya pengetahuan ibu tentang gizi berakibat pada rendahnya anggaran untuk
belanja pangan dan mutu serta keanekaragaman makanan yang kurang. Keluarga
lebih banyak membeli barang karena pengaruh kebiasaan promosi artikel dan
lingkungan. Selain itu gangguan gizi juga disebabkan karena kurangnya kemampuan
ibu menerapkan informasi tentang gizi dalam kehidupan sehari-hari.
4. Tingkat Pendidikan Ibu
Pendidikan sangat berpengaruh dalam penerimaan informasi tentang gizi.
Masyarakat dengan pendidikan rendah akan lebih mempertahankan tradisi-tradisi
13
yang berhubungan dengan makanan sehingga suusah menerima informasi baru
dibidang gizi. Selain itu tingkat pendidikan juga ikut menentukan mudah tidaknya
seseorang menerima suatu pengetahuan. Semakin tinggi tingkat pendidikan
seseorang, maka semakin mudah menyerap informasi akan diterima termasuk
pendidikan dan informasi gizi yang mana dengan pendidikan gizi tersebut akan
tercipta pola kebiasaan yang sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan
memudahkan seseorang atau masyarakat menyerap informasi dan
mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya
dalam hal kesehatan dan perbaikan gizi. Tingkat pendidikan dapat disederhanakan
menjadi pendidikan tinggi (tamat SMA - lulusan PT) dan pendidikan rendah (tamat
SD - tamat SMP). Hal ini sesuai dengan kebijakan pemerintah untuk daerah wajib
belajar 12 tahun.
5. Jumlah Anggota Keluarga
Seandainya anggota keluarga bertambah, maka pangan untuk setiap anak
berkurang.Usia 1-6 tahun merupakan masa yang paling rawan. Kurang energi protein
berat akan sedikit dijumpai pada keluarga yang jumlah anggota keluarganya ebih
kecil.
6. Tingkat Pendapatan
Tingkat pendapatan akan mengarah pada kemiskinan sebagai penyebab gizi
kurang berada pada posisi pertama pada kondisi yang aman dimasyarakat. Batas
kriteria UMR (upah minimum regional) menurut BPS untuk daerah kecil seperti
pedesaan adalah Rp. 2.100.000.
7. Penyediaan Pangan
Penyediaan pangan yang cukup diperoleh melalui produksi pangan dalam
menghasilkan bahan makanan pokok, lauk pauk, sayur-sayuran dan buah-buahan.
Posyandu adalah program untuk menambah informasi tentang nutrisi pada. Adapun
informasi ntersebut berupa makanan pengganti ASI yang biasa didapat dari
Puskesmas setempat. Penyebab masalah gizi yang pokok ditempat paling sedikit dua
14
pertiga dunia adalah kurang cukupnya pangan untuk pertumbuhan normal, kesehatan,
dan kegiatan normal.Kurang cukupnya pangan berkaitan dengan ketersediaan pangan
dalam keluarga. Tidak terjadinya pangan dalam keluarga yang terjadi terus menerus
akan menyebabkan terjadinya penyakit kurang gizi.
8. Keterjangkauan Pelayanan Kesehatan
Keterjangkauan terhadap pelayanan kesehatan dasar mempengaruhi statuzs
gizi balita. Anak balita sulit dijangkau berbagai kegiatan perbaikan gizi dan
kesehatan lainnya karena tidak dapat datang sendiri ketempat berkumpul yang
ditentukan tanpa diantar. Beberapa aspek pelayanan kesehatan dasar yang berkaitan
dengan status gizi antara lain, imunisasi, pertolongan persalinan, penimbangan anak,
pendidikan kesehatan anak, serta sarana kesehatan seperti posyandu, puskesmas,
rumah sakit, praktek bidan dan dokter. Semakin tinggi jangkauan masyarakat
terhadap sarana pelayanan kesehatan dasar tersebut, semakin kecil risiko terjadinya
masalah gizi seperti kurang gizi.
9. Keadaan Infeksi
Keadaan infeksi (bakteri, virus dan parasit) dengan kejadian malnutrisi
berhubungan erat. Ditekankan bahwa terjadi interaksi yang sinergi antara malnutrisi
dengan penyakit infeksi. Penyakit infeksi akan mengakibatkan gangguan gizi melalui
beberapa cara yaitu menghilangkan bahan makanan melalui makanan akan
dimuntah-muntah dan diare. Selain itu penyakit infeksi seperti infeksi saluran
pernapasan dapat juga menurunkan nafsu makan. Proses patologis bermacam-
macam, baik secara sendiri-sendiri maupun bersamaan yaitu, penurunan asupan zat
gizi akibat kurangnya nafsu makan, menurunnya absorbs dan kebiasaan mengurangi
makan pada saat sakit, peningkatan kehilangan cairan/zat gizi akibat diare, mual
muntah dan perdarahan terus menerus serta mengingkatnya kebutuhan baik dari
pengingkatan kebutuhan akibat sakit dan parasit yang terdapat dalam tuubuh.
15
2.3 Landasan Teori MP-ASI
2.3.1 Definisi Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI)
Makanan pendamping ASI adalah makanan atau minuman yang memiliki
kandungan zat gizi, guna memenuhi kebutuhan gizi selain dari air susu ibu diberikan
pada bayi atau anak usia 6-24 bulan (DepKes RI, 2015). Pemberian MP-ASI
merupakan proses tadaptasi dari asupan yang berbasis susu menuju ke makanan yang
semi padat. Proses menelan mengalami perkembangan dari refleks menghisap
menjadi menelan makanan atau motorik oral yang tercipta bukan cairan dengan
memindahkan makanan dari lidah bagian depan ke lidah bagian belakang atau dalam
mulut (Menurut Chomaria, 2014)
Saat bayi berusia 6 bulan atau lebih, sistem pencernaan bayi sudah relative
sempurna serta ada enzim-enzim pemecah protein seperti asam lambung, pepsin,
lipase, amilase tercipta sehingga akan diproduksi sempurna dan bayi siap menerima
MP-ASI yang sesuai dengan usianya (Gibney, 2013). Semakin meningkat umur
bayi, kebutuhan asupan zat gizi semakin bertambah karena proses perttumbuhan dan
perkembangan, sedangkan ASI yang dihasilkan kurang memenuhi kebutuhan gizi.
MP-ASI merupakan makanan peralihan dari ASI kemakanan keluarga. Pengenalan
dan pemberian MP-ASI harus sesuai tahapan dilakukan secara bertahap baik waktu,
bentuk, maupun jumlah, sesuai dengan kemampuan pencernaan bayi atau anak
(Sutomo, 2015).
Sel-sel disekitar usus belum siap menerima asupan zat gizi yang ada dalam
makanan yang diberikan, sehingga makanan yang masuk dapat menyebabkan reaksi
imun dan bisa terjadi gangguan alergi. Menunda dalam pemberian MP-ASI hingga 6
bulan lebih melindungi bayi dari obesitas. Bahkan pada kasus tertentu pemberian
MP-ASI dini dapat menyebabkan penyumbatan saluran percernaan dan harus
dilakukan pembedahan oleh dokter (Gibney, 2013). Gejala bayi siap menerima MP-
16
ASI ditandai bayi yang lebih rewel dari biasanya, rentan waktu menyusui menjadi
lebih sering, terlihat antusias ketika melihat orang disekitar sedang makan. Ciri lain,
bayi mulai memasukkan tangan kemulut, mulai bisa didudukkan dan mampu
menegakkan kepalanya serta reflek bayi dalam menelan mulai membaik.
Perkembangann fungsi percernaan bayi perlu diperhatikann. Ketiika kemampuan
reflek menelan belum berkembang dengan baik dan bayi belum bisa menegakkan
kepalanya sebaiknya pemberian MP-ASI ditunda terlebih dulu hingga bayi siap.
17
pencernaannya sudah sempurna, (3)Mengurangi resiko terkena alergi dari berbagai
varian MP-ASI yang diberikan, (4)Melindungi dari Obesitas.
18
dan bersifat instan dan beredar dipasaran untuk menambah energy dan zat-zat
gizi esensial pada bayi.
Berdasarkan Departemen Kesehatan RI tahun 2016, macam makanan
pendamping ASI adalah sebagai berikut :
a. Makanan Lumat
Diberikan umur mulai 6 bulan, seperti bubur, biscuit yang dilumatkan, bubur
kacang hijau, pisang lumat dan tomat saring.
b. Makanan Lembik
Diberikan setelah makanan lumat sampai usia 12 bulan seperti nasi tim balita,
bubur campur, biscuit, bubur kacang hijau, pisang, papaya, jeruk, dll.
c. Makanan Keluarga
Diberikan umur 12 bulan keatas, makanan sama dengan makanan keluarga
tetapi dipilih dari jenis makanan yang lunak dan tidak pedas.
Pedoman pemberian makan pada bayi usia 6-24 bulan :
a. Umur 6-8 bulan
Tekstur : Mulai dengan bubur halus, lembut, cukup kental, dilanjutkan bertahap
menjadi lebih kasar
b. Umur 9-11 bulan
Tekstur : Makanan yang dicincang halus atau disaring kasar, ditingkatkan
semakin kasar sampai makanan bisa dipegang/diambil dengan tangan.
c. Umur 12-24 bulan
Tekstur : Makanan keluarga, bila perlu masih dicincang atau disaring kasar
(Rulina Suradi, 2013).
Menurut Departemen Kesehatan RI tahun 2014, skema yang disarankan untuk
pemberian MP-ASI secara bertahap :
a. Tahap I
19
Makanan Lumat yang halus (umumnya terdiri dari satu jenis makanan) :
misalnya sereal selain gandum (untuk menghindari berkembangnya alergi
terhadap gluten), sayuran masak yang dilumatkan, produk olahan susu.
b. Tahap II
Makanan yang dihaluskan dan bergumpal : contohnya daging cincang, ikan,
keju, sayuran dan buah.
c. Tahap III
Finger Food (makanan yang dapat dipegang dengan jari, diberikan mulai
sekitar 7 bulan) : misalnya biscuit bayi, roti bakar yang dipotong sebesar jari,
potongan keju keras, buah atau sayuran.
20
i. Kacang tanah, bisa menyebabkan alergi atau pemicu anaphylactic shock atau
pembengkakan pada tenggorokan sehingga bayi susah bernafas
j. Seringkali telur memicu alergi, berikan bertahap dengan porsi kecil liat
reaksinya. Jika tidak menimbulkan alergi telur bisa diberikan. (Marmi, 2012)
21
Usia 0-6 bulan : hanya diberikan ASI saja.
Usia 6-8 bulan : diberikan ASI dan makanan lumat berseling.
Usia 9-11 bulan : diberikan ASI dan makanan lembik berseling.
Usia 12-23 bulan : diberikan ASI dan makanan keluarga.
Usia 24-59 bulan : diberikan makanan keluarga.
Jumlah takaran yang dianjurkan dapat dilihat ditabel dibawah ini :
Tabel 3. Takaran Konsumsi Makanan Anak yang Dianjurkan
Kelompok Umur Bentuk Makanan Frekuensi Makan
0-6 bulan ASI Eksklusif Sesering mungkin
6-12 bulan Makanan Lumat/lembek 3x sehari
6-12 sendok makan
1-3 tahun Makanan Keluarga 3x sehari
1.1 ½ piring
nasi/pengganti
2-3 potong lauk hewani
1.2 potong lauk
nabati
½ mangkuk sayur
2-3 potong buah-buahan
1 gelas susu
4-6 tahun 1.3 piring 3x sehari
nasi/pengganti
2-3 potong lauk hewani
1-2 potong lauk nabati
1.1 ½ mangkuk
sayur
2-3 potong buah-buahan
1.2 Gelas susu
Sumber : Nurul Azmi, 2013
Anjuran makan untuk anak sesuai anjuran DepKes, 2015 adalah :
Usia 0 - 6 Bulan
Diberikan air susu ibu (ASI) sesuai keinginan anak, paling sedikit 8 kali sehari pada
pagi, siang maupun malam hari.
Usia 6 - 9 Bulan
Pemberian makan yang dianjurkan pada usia 6-9 bulan adalah :
1. Pemberian ASI masih diteruskan
22
2. Mulai memberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI), seperti bubur susu,
pisang, papaya lumat halus, air jeruk, air tomat saring dan lain-lain secara
bertahap sesuai dengan pertambahan umur.
3. Berikan bubur tim lumat dengan kuning telur, ayam, ikan, tempe, tahu, daging,
sapi, wortel, bayam, kacang hijau, santan dan minyak.
4. Setiap hari diberikan :
a. Usia 6 bulan : 2 x 6 sdm peres
b. Usia 7 bulan : 2-3 x 7 sdm peres
c. Usia 8 bulan : 3 x 8 sdm peres
Usia 9 – 12 Bulan
Pemberian makan yang dianjurkan pada usia 9 – 12 bulan adalah :
1. Pemberian ASI masih diteruskan
2. MP-ASI diberikan lebih padat dan kasar seperti bubur nasi, nasi tim, nasi
lembek.
3. Tambahkan telur, ayam, ikan, tempe, tahu, bayam, santan, kacang hijau,
santan, minyak.
4. Setiap diberikan :
a. Usia 9 bulan : 3 x 9 sdm peres
b. Usia 10 bulan : 3 x 10 sdm peres
c. Usia 11 bulan : 3 x 11 sdm peres
d. Berikan makanan selingan 2 kali sehari diantara waktu makan seperti buah,
biscuit, kue.
Usia 12 – 24 Bulan
Pemberian makan yang dianjurkan pada usia 12 – 24 bulan adalah :
1. Pemberian ASI masih diteruskan.
2. Berikan makanan keluarga secara bertahap sesuai dengan kemampuan anak.
3. Porsi makan sebanyak 1/3 orang dewasa yang terdiri dari nasi, lauk pauk, sayur
dan buah.
23
4. Berikan makanan selingan yang mengandung zat gizi sebanyak 2 kali sehari
diantara waktu makan.
5. Makanan sebaiknya bervariasi
Usia Lebih dari 24 Bulan
Pemberian makan yang dianjurkan pada usia lebih dari 24 bulan adalah :
1. Berikan makanan keluarga 3 kali sehari sebanyak 1/3 – ½ porsi makan dewasa
yang terdiri dari nasi, lauk pauk, sayur dan buah.
2. Berikan makanan selingan yang mengandung zat gizi sebanyak 2 kali sehari
diantara waktu makan.
2.3.8 Frekuensi Pemberian MP-ASI
Pola makan bayi sebenarnya tidak ada acuan pastinya, karena waktu makan
bayi dan istrahat bayi belum teratur seperti orang dewasa, karenanya gunakan pola
makan sehari sebagai berikut. Berikan ASI sekehendak atau semuanya bayi. Jika
menggunakan susu formula pengganti ASI, berikan 5 kali sehari dengan takaran
180-220 ml untuk bayi usia 4-5 bulan. Untuk bayi usia 6 bulan, berikan 5 kali sehari
dengan takaran susu 210-240 ml setiap kali minum. Tambahkan satu kali bubur susu
atau satu kali bubur buah atau pure sayuran (Marmi, 2012).
Table 4.Pedoman pemberian makan pada bayi usia 6-24 bulan :
Umur Frekuensi Jumlah/kali makan
6-8 bulan 2-3x/hari, ASI tetap diberikan. Mulai dengan 2-3
Tergantung nafsu makannya, sdm/kali ditingkatkan
dapat diberikan 1-2x selingan bertahap sampai
setengah mangkok / 125
ml.
9-11 bulan 3-4x/hari, ASI tetap diberikan. Setengan mangkok / 125
Tergantung nafsu makannya, ml
dapat diberikan 1-2x selingan.
12-24 bulan 3-4 kali/hari, ASI tetap ¾ sampai 1 mangkok
diberikan. (175-250 ml)
Tergantung nafsu makannya,
dapat diberikan 1-2x selingan.
Sumber: Rulina Suradi, 2013
Table 5.Jadwal Pemberian Makanan Tambahan
Umur Macam Makanan Pemberian selama 24 Jam
6 bulan ASI atau Sesuka bayi
formula adaptasi 3x 180-200 ml
24
Bubur susu 4x 40-50g bubuk
Jus Buah 1x 50-100 ml
ASI atau Sesuka bayi
formula adaptasi 2x 200-250 ml
7-12 bulan Bubur susu 2x 40-50 g bubuk
Nasi Tim 1x 40-50 g bubuk
Jus Buah 1-2x 50-100 ml
ASI atau Sesuka bayi
formula adaptasi 2x 200-250 ml
13-24 bulan Bubur susu 2x 40-50 g bubuk
Nasi Tim 2x 40-50 g bubuk
Jus Buah 1-2x 50-100 ml
Sumber : DepKes, 2014
25
maupun spiritual yang diliputi rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir
batin yang memungkinkan setiap warga Negara untuk mengadakan usaha-usaha
pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri,
rumah tangga serta masyarakat (Rambe, 2012).
Kesejahteraan dapat dilihat dari 2 sisi yaitu kesejahteraan individu dan
kesejahteraan sosial. Kesejahteraan individu adalah suatu cara mengaitkan
kesejahteraan dengan pilihan-pilihan obyektif dengan kehidupan pribadinya.
Sedangkan kesejahteraan sosial merupakan cara mengaitkan kesejahteraan dengan
pilihan sosial secara obyektif yang diperoleh dengan cara menghitung jumlah
kepuasan seluruh individu dalam masyarakat (Badrudin, 2012). Menurut Undang-
Undang Nomor 11 tahun 2009, kesejahteraan sosial adalah kondisi bisa dipenuhinya
kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan
mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.
Adapun kesejahteraan masyarakat adalah suatu kondisi yang memperlihatkan tentang
keadaan kehidupan masyarakat dapat dilihat dari standar kehidupan masyarakat
(Badrudin, 2012)
2.4.2 Indikator Kesejahteraan Keluarga Menurut BKKBN
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN, 2014) menentukan
Indikator tingkat kesejahteraan keluarga dikelompokkan menjadi 5 (lima) tahapan,
adapun indikatornya sebagai berikut:
a. Enam Indikator tahapan Keluarga Sejahtera I (KS I) dengan kriteria sebagai
berikut :
1. Pada umumnya anggota keluarga makan 2 kali sehari atau lebih.
2. Anggota keluarga memiliki pakaian berbeda dirumah, pergi, bekerja atau
sekolah.
3. Rumah yang ditempati keluarga mempunyai atap, lantai dan wc
4. Bila ada anggota keluarga yang sakit dibawa ke sarana kesehatan.
26
5. Bila pasangan usia subur ingin ber KB pergi sarana pelayanan
kontrasepsi.
6. Semua anak umur 7-15 tahun dalam keluarga bersekolah.
b. Delapan indikator Keluarga Sejahtera II (KS II), meliputi :
1. Pada umumnya anggota keluarga melaksanakan ibadah agama.
2. Paling kurang sekali seminggu seluruh anggota keluarga makan lauk
daging, ikan atau telur.
3. Seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian
baru dalam setahun.
4. Luas lantai paling kurang 8 m² untuk tiap penghuni.
5. Tiga bulan terakhir anggota keluarga dalam keadaan sehat dan
6. Ada seorang atau lebih anggota keluarga yang bekerja untuk memperoleh
penghasilan.
7. Anggota keluarga umur 10 – 60 bisa, bisa baca tulis latin.
8. PUS dengan anak hidup 2 atau lebih saat ini memakai alat kontrasepsi.
c. Keluarga sejahtera tahap III, meliputi :
1. Keluarga berupaya meningkatkan pengetahuan agama.
2. Sebagian penghasilan keluarga ditabung dalam bentuk uang dan
barang.
3. Keluarga makan bersama paling kurang sekali sehari untuk
berkomunikasi.
4. Keluarga sering ikut dalam kegiatan masyarakat dilingkungsn tempat
tinggal.
5. Keluarga memperoleh informasi dari surat kabar, majalah, televisi atau
radio
d. Keluarga sejahtera tahap III Plus, meliputi :
1. Keluarga dengan teratur dengan suka rela memberikan sumbangan
materil untuk kegiatan sosial.
27
2. Anggota keluarga ada yang aktif sebagai pengurus pengumpulan sosial,
yayasan atau institusi masyarakat.
2.4.4 Prinsip Tingkat Kesejahteraan Keluarga
Adapun 5 tahapan tingkat kesejahteraan keluarga yaitu sebagai berikut:
a. Tahapan Keluarga Pra Sejahtera (KPS).
Keluarga yang tidak memenuhi salah satu dari 6 indikator Keluarga Sejahtera I
(KS I) atau indikator kebutuhan dasar keluarga (basic needs).
b. Tahapan Keluarga Sejahtera I
Keluarga mampu memenuhi 6 indikator tahapan KS I, tetapi tidak memenuhi
salah satu dari 8 indikator Keluarga Sejahtera II atau indikator kebutuhan
psikologis (psychological needs).
28
Dikutip dari Biro Pusat Statistik Indonesia dalam Taufik, 2017 menerangkan
bahwa guna melihat tingkat kesejahteraan rumah tangga suatu wilayah ada beberapa
point yang dapat dijadikan ukuruan, antara lain adalah:
a. Tingkat pendapatan keluarga.
Menurut BPS (Badan Pusat Statistik) pendapatan adalah seluruh penghasilan
yang diterima baik sektor formal maupun non formal terhitung dalam jangka waktu
tertentu. Tingkat pendapatan yang tinggi akan memberi peluang yang lebih besar
bagi rumah tangga untuk memilih pangan yang lebih baik dalam jumlah maupun
mutu gizinya. Pada sisi lain, rendahnya pendapatan akan menyebabkan orang tidak
mampu membeli kebutuhan pangan serta memilih pangan yang bermutu gizi kurang
serta tidak beragam.
29
terhadap konsumsi pelayanan sosial (pendidikan, kesehatan dan gizi) merupakan alat
kebijakan penting dalam strategi pemerintah secara keseluruhan untuk mengurangi
angka kemiskinan dan memperbaiki kesejahteraan penduduk Indonesia.
d. Kondisi perumahan serta fasilitas yang dimiliki dalam rumah tangga.
Adapun kriteria tempat tinggal yang dinilai ada 5 item yaitu jenis atap rumah,
dinding, status kepemilikan rumah, lantai dan luas lantai. Adapun Fasilitas tempat
tinggal yang dinilai terdiri dari 12 item, yaitu pekarangan, alat elektronik, pendingin,
penerangan, kendaraan yang dimiliki, bahan bakar untuk memasak, sumber air
bersih, fasilitas air minum, cara memperoleh air minum, sumber air minum, WC dan
jarak WC dari rumah.
30
Sedang (Rp. 1.000.000-Rp. 5.000.000)
Tinggi ( > Rp. 5.000.000)
Non Permanen
3 Keadaan tempat tinggal Semi Permanen
Permanen
Kurang
4 Fasilitas tempat tinggal Cukup
Lengkap
Kurang
5 Kesehatan Anggota Keluarga Cukup
Bagus
Sulit
Kemudahan mendapatkan pelayanan
6 Cukup
kesehatan
Mudah
Sulit
Kemudahan memasukan anak ke
7 Cukup
jenjang pendidikan
Mudah
Sulit
Kemudahan mendapatkan fasilitas
8 Cukup
transportasi
Mudah
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2013
31
c. Potensi regional (sumber daya alam, lingkungan dan insfra struktur) yang
mempengaruhi perkembangan struktur kegiatan produksi.
d. Kondisi kelembagaan yang membentuk jaringan kerja produksi dan pemasaran
pada skala regional dan global.
Prinsip-prinsip kesejahteraan adalah:
a. Kepentingan masyarakat yang lebih luas harus didahulukan dari kepentingan
individu.
b. Kerugian yang besar tidak dapat diterima untuk menghilangkan yang lebih
kecil. Manfaat yang lebih besar tidak dapat dikorbankan untuk manfaat yang
lebih kecil. Sebaliknya, hanya yang lebih kecil harus dapat diterima atau
diambil untuk menghindarkan bahaya yang lebih besar, sedangkan manfaat
yang lebih kecil dapat dikorbankan untuk mandapatkan manfaat yang lebih
besar.
32
2.5 Kajian Relevan
Untuk memperjelas posisi penulis dalam penelitian maka penulis menyertakan
hasil dan pembahasan dari penelitian sebelumnya yakni:
Table 7. Kajian Relevan
Peneliti Judul Metode Hasil Perbedaan Persamaan
Mulazimah Hubungan Penelitian ini Terdapat Variabel bebas Menggunakan
, 2017 pendapatan adalah hubungan di tambahkan metode yang
keluarga dengan penelitian yang pola sama.
status gizi balita analitik bermakna pemberian Variabel bebas
Desa observasional antara makanan pendapatan
Ngadiluwih dengan pendapatan tambahan, keluarga /
Kecamatan metode dengan status lokasi kesejahteraan
Ngadiluwih pendekatan gizi Balita p = penelitian, keluarga
Kabupaten Cross 0,019 (p < sampel dilihat dari
Kediri sectional. 0,05). penelitian. pendapatan
keluarga. Dan
variable terikat
status gizi
balita.
Sari Hubungan Penelitian Berdasarkan Variabel bebas Menggunakan
maiyanti, Kesejahteraan menggunakan uji analisis di tambahkan metode yang
Lutfi Keluarga rancangan didapatkan pola sama.
Nurdian dengan Status deskriptif nilai t hitung pemberian Variabel bebas
Asnindari, Gizi Balita di dengan sebesar 0,344 makanan kesejahteraan
2010 RW 2 metode Cross dengan taraf tambahan, keluarga. Dan
Kelurahan Sectiona. signifikan lokasi variable terikat
Ngampilan Metode 0,032 penelitian, status gizi
Yogyakarta pengumpulan sehingga dapat sampel balita.
Tahun 2010 data dengan disimpulkan penelitian.
kuisioner. bahwa ada
Jumlah sampe hubungan
30 balita dan tingkat
ibu teknik kesejahteraan
sampel total keluarga
sampling. dengan status
Analisa data gizi balita
Kendall’s Tau yang
ditunjukan
dengan nilai
taraf
signifikan
hitung lebih
kecil dari taraf
kesalahan 5%
(0,05)
Risky Eka Hubungan Pola Jenis Hasil Variabel bebas Menggunakan
Sakti, dkk, Pemberian MP- penelitian penelitian di tambahkan metode yang
33
2013 ASI Dengan observasional menunjukkan kesejahteraan sama.
Status Gizi analitik hubungan keluarga, Variabel bebas
Anak Usia dengan desain frekuensi lokasi pola
6-23 Bulan di yaitu cross- pemberian penelitian, pemberian
Wilayah Pesisir sectional MP-ASI sampel makanan
Kecamatan study. dengan status penelitian. tambahan. Dan
Tallo Kota gizi (BB/U) variable terikat
Makassar Tahun didapatkan status gizi
2013 nilai balita
siginifikan (p
value =
0,000),
hubungan
umur
pemberian
MP-ASI
pertama kali
dengan status
gizi anak
(BB/U) tidak
signifikan ( p
value =
0,748),
hubungan
pemberian
jenis MP-ASI
sekarang
dengan status
gizi anak
(BB/U) tidak
signifikan (p
value =
0,620),
hubungan
jumlah
konsumsi
energi dengan
status gizi
anak (BB/U)
tidak
siginifikan (p
value = 0,570)
dan hubungan
jumlah
konsumsi
protein dengan
status gizi
anak (BB/U)
tidak
siginifikan (p
value =
34
0,388).
35
2.6 Kerangka Teori
Berdasarkan tinjauan teori yang telah di bahas sebelumnya, peneliti
merangkumnya dalam kerangka teori berikut ini :
36
2.7 Kerangka Konsep
Keterangan :
: Variabel Independen
: Variabel Dependen
: Hubungan
Gambar 2. Kerangka Konsep
37
BAB III
METODE PENELITIAN
38
Sumber: Data Operasional, 2019
3.4 Populasi dan Sampel
3.5.1 Populasi
Populasi dalam penelitian adalah seluruh balita usia 6-24 bulan yang ada di
Wilayah Kerja Puskesmas Limboto Barat, yaitu sebanyak 367 Balita.
3.2.2 Sampel
Tehnik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan Accidental
Sampling. Accidental Sampling adalah tehnik penentuan sampel berdasarkan
kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan/accidental bertemu dengan
peneliti dapat digunakan sebagai sampel, bila dipandang orang yang kebetulan
ditemui itu cocok dengan kriteria/sumber data. (Sugyono, 2015)
Beberapa alasan pengambilan sampel oleh peneliti adalah :
a. Kemampuan peneliti dilihat dari waktu, tenaga dan
b. Sempit luasnya wilayah pengamatan dari setiap subyek, karena hal ini
menyangkut banyak sedikitnya dana
c. Lebih mudah dalam penyebaran kuesioner karena sudah ditentukan jumlahnya.
Sampel yang digunakan dihitung dengan menggunakan rumus solvin
(Notoadmodjo, 2012) sebagai berikut :
N
n= 2
1+ N (d )
Keteragan :
n = besar sampel
N = besar populasi
d2 = tingkat signifikan (d= 0.1)
367
n=
1+ 367(0.12 )
367
= 4.67 = 78
39
Dari hasil di atas sampel yang digunakan sebanyak 78 balita dengan kriteria
sampel :
1. Kriteria Inklusi
a. Bertempat tinggal di Kecamatan Limboto Barat
b. Keluarga yang terdata memiliki balita yang berusia 6-24 bulan
c. Bersedia menjadi responden
2. Kriteria Ekslusi
a. Responden yang tidak berada di tempat saat pengambilan data
b. Balita umur 6-24 bulan dengan penyakit penyerta serta penyakit kogenital
40
3. Entry, dilakukann setelah seluruh kuesioner terisi dan diberi kode,
selanjutnya dilakukan pemprosesan data, agar data yang sudah di-entry dapat
dianalis
4. Cleaning, yaitu kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di-entry apakah
ada kesalahan atau tidak.
41
3.8 Etika Penelitian
Peneliti mengajukan permohonan ijin kepada Camat atau Kepala Puskesmas
Limboto Barat untuk mendapatkan persetujuan.
1. Informed Consent (Lembar Persetujuan Peneliti)
Sampel harus mendapat informasi secara lengkap tentang tujuan penelitian
yang dilakukan, mempunyai hak bebas berpartisipasi atau menolak menjadi
responden. Juga dicantumkan bahwa data yang diperoleh akan digunakan
pengembangan ilmu (Nursalam, 2015).
2. Anonimity (Tanpa Nama)
Untuk menjaga kerahasiaan, peneliti tidak akan mencantumkan nama
responden tapi memberi kode tertentu sebagai tanda keikutsertaannya.
3. Confidentility (Kerahasiaan)
Peneliti menjamin kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun
masalah-masalah lainya.
42
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
4.1.1 Sejarah Puskesmas Limboto Barat
Puskesmas Limboto Barat merupakan Unit Pelayanan Kesehatan Dinas
Kesehatan Pemerintah Kabupaten Gorontalo yang berada di desa Yosonegoro
Kecamatan Limboto Barat yang membawahi 10 Desa meliputi : Desa Yosonegoro,
Desa Pone, Desa Ombulo, Desa Daenaa, Desa Padengo, Desa Haya-Haya, Desa
Hutabohu, Desa Huidu, Desa Huidu Utara, Desa Tunggulo.
Puskesmas Limboto Barat dipimpin oleh Aswin Mootalu, SKM., Tenaga
kesehatan pada Puskesmas Buhu sebanyak 70 orang, terdiri dari tenaga medis
sebanyak 3 orang (dokter umum : 2 dan dokter gigi : 1) Tenaga perawat dan bidan 35
orang, tenaga gizi 3 orang, kesehatan lingkungan 2 orang, kesehatan masyarakat 16
orang, sarjana farmasi 2 orang, tenaga administrasi 9 orang, supir 1 orang dan tenaga
cleaning service 2 orang.
4.1.2 Sarana dan Prasarana
Sarana di Puskesmas Limboto Barat meliputi 1 unit Puskesmas, 7 unit
Puskesmas Pembantu, 3 unit Poskesdes, dan di dukung oleh 20 pos posyandu yang
tersebar di 10 desa binaan.Adapun sarana penunjang meliputi :1 Unit Mobil
Ambulans, 5 Unit kenderaan Roda dua.
Puskesmas Limboto Barat pada tahun 2017 telah melaksanakan Akreditasi
Puskesmas dan mendapatkan Predikat Utama dan juga berdasarkan Penilaian Kinerja
Puskesmas pada tahun 2018 oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Gorontalo, Puskesmas
Limboto Barat merupakan Puskesmas dengan kinerja baik.
4.2 Hasil Penelitian
4.2.1. Karakteristik Responden
Tabel 9. Karakteristik Responden
Jenis Karakteristik n Presentasi (%)
Berdasarkan Usia Ibu
19-25 tahun 36 46,2
26-32 tahun 34 43,6
33-39 tahun 8 10,3
Total 78 100
Berdasarkan Pendidikan Ibu
Pendidikan dasar 31 39,7
Pendidikan tinggi 47 60,3
Total 78 100
Berdasarkan Pekerjaan Ibu
Ibu bekerja 54 69,2
Ibu tidak bekerja 24 30,8
Total 78 100
Berdasarkan Jenis Kelamin Bayi
Laki-laki 36 46,4
Perempuan 42 53,8
Total 78 100
Berdasarkan Usia Bayi
6-15 bulan 55 70,5
16-24 bulan 23 29,5
Total 78 100
Sumber : Olahan data primer 2019
Pada table 9 karakteristik responden menunjukan responden berdasarkan usia
dari 78 responden sebanyak 36 responden (46,%) berusia 19-25 tahun, sebanyak 34
responden (43,6%) berusia 26-32 tahun, sebanyak 8 responden (10,3%) berusia 33-
39 tahun yang berada di Puskesmas Limboto Barat.
Berdasarkan pendidikan ibu dari 78 responden sebanyak 31 responden
(39,7%) berpendidikan dasar terdiri dari SD sebanyak 20 orang dan SMP sebanyak
11 orang, pada kelompok pendidikan tinggi sebanyak 47 responden (60,3%) terdiri
dari SMA sebanyak 23 orang dan sarjana sebanyak 22 orang yang berada di Wilayah
Kerja Puskesmas Limboto.
Responden berdasarkan pekerjaan dari 78 responden sebanyak 54 responden
(69,2%) ibu bekerja terdiri dari honorer sebanyak 8 orang, guru sebanyak 4 orang,
pedagang sebanyak 5 orang, pns sebanyak 1 orang , sebanyak 24 responden (30,8%)
tidak bekerja sebagai ibu rumah tangga yang berada di Puskesmas Limboto Barat.
44
Karakteristik Responden berdasarkan pekerjaan dari 78 responden sebanyak
54 responden (69,2%) ibu bekerja terdiri dari honorer sebanyak 8 orang, guru
sebanyak 4 orang, pedagang sebanyak 5 orang, pns sebanyak 1 orang , sebanyak 24
responden (30,8%) tidak bekerja sebagai ibu rumah tangga yang berada di
Puskesmas Limboto Barat.
Responden berdasarkan jenis kelamin bayi dari 78 responden sebanyak 36
responden (46,4%) berjenis kelamin laki-laki, sebanyak 42 responden (53,8%)
berjenis kelamin perempuan yang berada di Puskesmas Limboto Barat dan
karakteristik responden berdasarkan usia bayi dari 78 responden sebanyak 55
responden (70,5%) berusia 6-15 bulan, sebanyak 23 responden (29,5%) berusia 16-
24 bulan yang berada di Puskesmas Limboto Barat.
45
Berdasarkan tabel 15 diketahui pola pemberian MP-ASI dari 78 responden
sebanyak 50 responden (64,1%) pola pemberian MP-ASI tidak sesuai, sebanyak 27
responden (35,9%) pola pemberian MP-ASI sesuai yang berada di Puskesmas
Limboto Barat.
3. Status Gizi Bayi
Tabel 12. Status Gizi Bayi
Status Gizi n Presentasi (%)
Kurang 26 33,3
Baik 52 66,7
Total 78 100
Sumber : Olahan data primer 2019
Berdasarkan tabel 12 diketahui status gizi bayi dari 78 responden sebanyak 54
responden (66,7%) berada pada status gizi yang baik, sebanyak 26 responden
(33,3%) berada pada status gizi yang kurang yang berada di Puskesmas Limboto
Barat.
46
(50,0%). Berdasarkan hasil uji Chi-square didapatkan nilai p-value = 0.000 dapat
disimpulkan bahwa nilai p-value 0,000 < dari nilai =0,05 yang artinya ada
hubungan yang signifikan antara kesejahteraan keluarga dengan status gizi balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Limboto Barat.
2. Hubungan Pola Pemberian MP-ASI dengan Status Gizi Balita
Tabel 14. Hubungan pola pemberian ASI dengan status gizi balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Limboto Barat
Status Gizi Balita
4.3 Pembahasan
1. Karakteristik Responden
Faktor usia juga berpengaruh kaitannya dengan pengalaman dan pengetahuan
seseorang. Semakin muda usia ibu menikah dan sudah memiliki anak, maka sedikit
juga pengalaman dan pengetahuan yang responden dalam hal mengasuh anaknnya.
47
Dari tidak berpengalamannya ibu maka anak akan diasuh oleh neneknya sehingga
anak akan diberikan MP-ASI sebelum 6 bulan. Pada penelitian ini yang mendominasi
yaitu kategori 19-25 tahun sebanyak 36 responden (46,2%), kemudian kategori 26-32
tahun sebanyak 34 responden (43,6%) dan pada kategori 33-39 tahun sebanyak 8
responden (10,3%). Yang dapat dilihat dari segi pola pemberian MP-ASI banyak
yang tidak sesuai karena pola asuh yang diasuh oleh nenek memberikan MP-ASI
sebelum usia 6 bulan.
Pengetahuan ibu tentang gizi dalam berbagai bahan makanan, kegunaan
makanan bagi kesehatan keluarga dapat membantu ibu memilih bahan makanan yang
harganya tidak begitu mahal akan tetapi nilai gizinya tinggi. Selain itu gangguan gizi
juga disebabkan karena kurangnya kemampuan ibu menerapkan informasi tentang
gizi dalam kehidupan sehari-hari (Wirjatmadi, 2016). Namun semakin tinggi
pendidikan ibu semakin banyak juga kesibukan ibu sehingga anak tidak diperhatikan,
dan kebutuhan bayi akan susah terpenuhi.
Tingkat pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan ibu karena
dalam hal ibu yang berpendidikan akan lebih mudah menyerap informasi dan akan
diaplikasikan dalam kehidupannya. Bagi ibu yang berpendidikan dasar juga
mempengaruhi status gizi balita karena kurangnya pengetahuan ibu sehingga dalam
pola pemberiannya kadang tidak memperhatikan zat gizi pada makan bayinya.
Kemudian Faktor ibu bekerja dan ibu tidak bekerja, didominasi oleh ibu bekerja
sebanyak 54 responden (69,2%) dalam hal ini ibu yang bekerja tidak mengasuh
anaknya secara langsung, memperngaruhi pada status gizi balita karena bayi dalam
frekuensi pemberiannya sesuai namun makanan yang diberikan tidak dihabiskan, dan
ibu yang bekerja selalu menitipkan anaknya pada neneknya.
Berdasarkan karakteristik yang ada berdasarkan usia bayi dapat dilihat
didominasi oleh bayi usia 6-15 bulan sebanyak 55 responden (70,5) kemudian usia
16-24 bulan 23 responden (29,5) ini untuk melihat tekstur yang diberikan seusia
dengan usia bayi atau tidak karena dalam pemberian MP-ASI tekstur makanan juga
48
memperngaruhi status gizi balita. Jika bayi diberikan makanan tidak sesuai usianya
maka akan terjadi gangguan percernaan, seperti diare.
2. Hubungan Tingkat Kesejahteraan dengan Status Gizi Balita di Wilayah
Kerja Puskesmas Limboto Barat
Berdasarkan hasil uji analisis diketahui hubungan kesejahteraan keluarga
dengan status gizi balita di Wilayah Kerja Limboto Barat dari 78 responden yang
memiliki tingkat kesejahteraan pra-sejahtera dengan status gizi kurang sebanyak 21
responden (26,9%) dan 13 responden (16,7%) memiliki status gizi baik sedangkan
responden yang memiliki tingkat kesejahteraan sejahtera dengan status gizi kurang
sebanyak 5 responden (6,4%) dan yang memiliki status gizi baik sebanyak 40
responden (50,0%). Berdasarkan hasil uji Chi-square didapatkan nilai p-value =
0.000 dapat disimpulkan bahwa nilai p-value 0,000 < dari nilai =0,05 yang artinya
ada hubungan yang signifikan antara kesejahteraan keluarga dengan status gizi balita
di Wilayah Kerja Puskesmas Limboto Barat.
Keluarga Sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan atas
perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan materiil yang
layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi,
selaras dan seimbang antar anggota dan antar keluarga dengan masyarakat dan
lingkungan (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 52 tahun 2009). Menurut
Abriyanti (2014), keluarga sejahtera adalah keluarga yang dapat melaksanakan
fungsi keluarga dengan terpadu dan serasi, keluarga berfungsi sebagai fungsi
kegamaan, kebudayaan, cinta kasih, perlindungan, reproduksi, sosialisasi dan
pemeliharaan lingkungan.
Menurut hasil observasi peneliti penyebab dari status gizi kurang pada balita
yaitu dapat disebabkan karena status pekerjaan responden yang sebagian besar
sebagai ibu rumah tangga, pencari nafkah dalam keluarga hanya suami, hal tersebut
mempengaruhi tingkat pendapatan keluarga, belum lagi jika jumlah anak dalam
49
keluarga lebih dari satu akan membutuhkan cadangan makanan yang le bih banyak
maka pendapatan keluarga harus dicukupkan dengan jumlah anaknya.
Dari hasil wawancara kepada responden, responden mengatakan bahwa
mereka harus mengatur penghasilan mereka dengan kebutuhan sehari-harinya, bukan
hanya untuk kebutuhan makan, tetapi kebutuhan lain seperti membeli pakaian dan
kebutuhan lain yang tak terduga bahkan tidak jarang responden harus mengutang
untuk memenuhi kebutuhannya, jadi dari penghasilan yang responden dapatkan harus
dibagi lagi dengan menutupi hutang yang kemarin. Maiyanti (2011) menjelaskan
bahwa faktor kesejahteraan keluarga akan mempengaruhi kemampuan keluarga
untuk memenuhi kebutuhan zat gizi, disamping itu tidak hanya berpengaruhi pada
pemilihan macam makanan tambahan dan waktu pemberiannya tetapi juga pada
kebiasaan hidup sehat dan kualitas sanitasi lingkungan.
Faktor penyebab lainnya dari gizi kurang yaitu faktor pendidikan ibu
berdasarkan table 10 dari 78 responden sebanyak 31 responden (39,7%)
berpendidikan dasar dan berpendidikan tinggi sebanyak 47 responden (60,3).
Menurut hasil yang peneliti dapatkan ada 2 responden yang tingkat kesejahteraan
yaitu sejahtera tetapi ibu tidak memiliki pengetahuan tentang gizi anak dan kesehatan
yang baik. Orangtua yang tidak memiliki pengetahuan gizi dan kesehatan yang baik
akan mempengaruhi status gizi balita, karena dalam pola asuh yang diberikan pada
balita orangtua malah sembarang memberi makan pada anak tanpa memperhatikan
gizi dari makanan tersebut. Kemudian dilihat dari pola pemberian yang tidak sesuai
bayi diberikan MP-ASI kurang dari 6 bulan sehingga bayi sering mengalami
gangguan pencernaan.
Kemudian 3 dari 5 responden yang termasuk tingkat kesejahteraan yang
sejahtera mengalami kurang gizi menurut dari hasil kuesioner pada 1 responden pola
pemberian sudah sesuai. Hasil wawancara lebih mendalam Peneliti kepada responden
bahwa anaknya diberi makan setiap hari 3 kali namun anaknya tidak menghabiskan
makanannya, dilihat dari faktor genetic bahwa responden juga terlihat kurus sehingga
50
menurun kepada anaknya. Responden mengatakan member makan 3 kali sehari
karena diselingi dengan cemilan atau biscuit bayi. Walaupun bayi pola pemberiannya
sesuai namun makanannya tidak disukai sehingga makanannya tidak dihabiskan dan
juga ada faktor dari dalam tubuh yang mengganggu penyerapan makanan dalam
tubuh. Kemudian 2 responden lainnya yang mengalami kurang gizi dipengaruhi dari
faktor paritas ibu, karena mengurus anak yang baru lahir anak yang masih butuh
perhatian dalam pola makannya sering terabaikan karena mengurus anak yang paling
kecil, sehingga dalam pemberian MP-ASI responden hanya memberikan
makanannya saja tanpa memperhatikan cara makan dari anaknya.
Penyebab lain yang peneliti temukan dilapangan adalah peran ibu digantikan
oleh neneknya sehingga asupan gizi balita masih kurang, neneknya beranggapan
bahwa ibu dari balita masih kurang memiliki pengalaman untuk merawat anaknya
karena masih terlalu muda sehingga dalam merawat anak sering diambil alih oleh
neneknya, karena rata-rata usia ibu berada pada usia 19-25 tahun sebanyak 36
responden (46,2%).
Berdasarkan hasil uji analisis Chi-square didapatkan nilai p-value adalah
0.000 dengan nilai =0,05 yang artinya ada hubungan yang signifikan antara
kesejahteraan keluarga dengan status gizi balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Limboto Barat. Hal ini sejalan dengan penelitian Abriyani (2011) tentang hubungan
tingkat kesejahteraan keluarga dengan status gizi balita di dusun Puluhan Argomulyo
Sedayu Bantul Yogyakarta dengan hasil penelitian nilai p-value =0.002 < dari nilai
=0,05 menunjukkan ada hubungan bermakna secara statistic antara tingkat
kesejahteraan keluarga dengan status gizi balita di Dusun Puluhan Argumulyo
Sedayu Bantul Yogyakarta.
Menurut penelitian Rozali (2016), faktor yang mempengaruhi kesejahteraan
keluarga antar lain adalah faktor ekonomi (yang dapat mempengaruhi kesejahteraan
keluarga adalah kemiskinan), hal ini dikarenakan kemiskinan selalu dikaitkan dengan
faktor ekonomi dengan pendapatan, pemenuhan kebutuhan hidup dan ketersediaan
51
sumber-sumber ekonomi itu sendiri. Meskipun ibu yang tidak bekerja memiliki
banyak waktu untuk merawat anaknya tetapi jika ibu memiliki pengetahuan yang
kurang dalam mengasuh anaknya dapat mempengaruhi status gizinya.
Pola pengasuhan pada tiap ibu berbeda karena dipengaruhi oleh faktor yang
mendukung antara lain : latar belakang pendidikan ibu, pekerjaan ibu, tingkat
kesejahteraan keluarga jumlah anak dan sebagainya. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kesejahteraan keluarga adalah : faktor dari dalam keluarga itu sendiri
(faktor mikro) seperti : rendahnya derajat kesehatan, sempitnya ilmu pengetahuan,
kurang memadai keterampilan, terbatasnya penguasaan teknologi, dan terbatasnya
pemilik modal. Faktor yang kedua yaitu : faktor dari luar keluarga (lingkungan
makro) seperti : kurangnya peluang berusaha dan meningkatkan pendapatan, masih
adanya nilai-nilai budaya yang kurang mendukung upaya kualitas keluarga, dan
terbatasnya akses sumber pembangunan dan pelayanan pembangunan. (BKKBN,
2016)
Hubungan tingkat kesejahteraan keluarga dengan status gizi balita adalah
dimana kesejahteraan keluarga sangat mempengaruhi status gizi balita, karena jika
keluarga termasuk keluarga pra sejahtera maka dalam pemenuhan gizi balita serta
pertumbuhan dan perkembangan balita terhambat, namun apabila keluarganya
sejahtera maka dalam pemenuhan kebutuhannya terpenuhi dengan baik dan anak-
anaknya akan tumbuh dan berkembang dengan baik. (Maiyanti, 2011)
3. Hubungan Pola Pemberian MP-ASI dengan Status Gizi Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Limboto Barat
Berdasarkan hasil uji analisis diketahui hubungan pola pemberian MP-ASI
dengan status gizi balita di Wilayah Kerja Puskesmas Limboto Barat dari 78
responden yang memiliki pola pemberian MP-ASI tidak sesuai dengan status gizi
kurang sebanyak 16 responden (20,5%) dan yang memiliki status gizi baik sebanyak
12 responden (15,4%) sedangkan responden yang memiliki pola pemberian MP-ASI
sesuai dengan status gizi kurang sebanyak 10 responden (12,8%) dan yang memiliki
52
status gizi baik sebanyak 40 responden (51,3%). Berdasarkan hasil uji Chi-square
didapatkan nilai p-value = 0,001 dapat disimpulkan bahwa nilai p-value 0,001 < dari
nilai =0,05 yang artinya terdapat hubungan yang signifikan antara pola pemberian
MP-ASI dengan status gizi balita di Wilayah Kerja Puskesmas Limboto Barat.
Menurut Depkes RI (2015), makanan pendamping ASI adalah makanan atau
minuman yang mengandung zat gizi, diberikan pada bayi berusia 6-24 bulan untuk
memenuhi kebutuhan gizi selain dari air susu ibu. Menurut Chomaria (2014),
pemberian MP-ASI merupakan proses transisi dari asupan yang berbasis susu
menuju ke makanan yang semi padat. Proses menelan berkembang dari refleks
menghisap menjadi menelan makanan (motorik oral) yang berbentuk bukan cairan
dengan memindahkan makanan dari lidah bagian depan ke lidah bagian belakang.
Berdasarkan hasil penelitian rata-rata pola pemberian MP-ASI berada pada
kategori tidak sesuai sebanyak 28 responden (65,4%) dengan status gizi balita kurang
16 responden (20,5%) dan yang memiliki status gizi baik sebanyak 12 responden
(15,5%). Pada anak usia 6-24 bulan selain ASI bayi sudah bisa diberikan makanan
pendamping ASI. Asumsi peneliti bahwa penyebab balita yang mengalami kurang
gizi disebabkan karena rendahnya tingkat pengetahuan ibu tentang makanan
pendamping ASI, peneliti mendapatkan bahwa kebanyakan ibu memberikan
makanan pendamping ASI terlalu dini pada usia kurang dari 6 bulan, pemberian
makanan MP-ASI terlalu dini dapat menyebabkan bayi menderita diare, disebabkan
juga freekuensi pemberian MP-ASI yang diberikan dalam jumlah yang berlebihan
serta jenis pemberian makanan pendamping ASI yang kurang diperhatikan.
Pemberian MP-ASI haruslah sesuai dengan waktu dan jenis yang sesuai, jika anak
diberikan makanan pendamping ASI terlalu dini akan berdampak bagi kesehatannya
baik diwaktu sekarang maupun mendatang, seperti rusaknya sistem pencernaan pada
anak.
Didapatkan hasil rata-rata pada kategori sesuai terdapat 10 balita yang
mengalami kurang gizi, dari kuesioner yang dibagikan didapatkan bahwa 9 balita
53
yang berstatus kurang gizi namun tingkat kesejahteraan keluaraganya termasuk Pra-
Sejahtera. Dari hasil wawancara bahwa responden memberi makan sesuai frekuensi
yaitu 3 kali sehari namun makanan tersebut tidak dihabiskan oleh anaknnya,
kemudian ada juga responden yang memberikan jumlah dari makanan yang diberikan
dicukupkan dengan kecukupan keluarga makanan harus dibagi dengan keluarga.
Kemudian 1 responden yang berstatus kurang gizi namun tingkat kesejahteraannya
sejahtera ini dikarekan faktor genetic, pola pemberiannya sudah sesuai namun ada
faktor dari dalam tubuh yang mengganggu penyerapan makanan anak tersebut.
Berdasarkan fakta dilapangan peneliti menemukan bahwa penyebab dari
kurang gizi yaitu dari pola asuh yang dilimpahkan kepada nenek bayi, sehingga
nenek member makan bayi sebelum 6 bulan tanpa memperhatikan kandungan gizi
dari makanan tersebut. Peneliti juga menemukan beberapa balita yang diberikan
makanan tepung beras dengan alasan agar pertumbuhan berat bayi lebih cepat
bertambah. Pemberian MP-ASI pada anak haruslah sesuai dengan usia, frekuensi,
jenis dan tekturnya. Jika anak diberikan MP-ASI terlalu dini akan berdampak buruk
di waktu sekarang dan di waktu mendatang karena pemenuhan gizi pada balita bukan
hanya gizi makro maupun gizi mikro yang akan berguna bagi pertumbuhan balita di
masa sekarang dan di masa mendatang.
Menurut hasil temuan peneliti dapatkan bahwa, beberapa responden tidak
mengenalkan MP-ASI sesuai usianya, contohnya seperti pada usia 6-8 bulan mulai
dengan bubur halus lembut dan cukup kental di lanjutkan secara bertahap, usia 9-11
bulan makanan yang dicincang halus atau disaring kasar, dan usia 12-24 bulan yaitu
makanan keluarga. Pengenalan makanan seperti ini sangat penting bagi balita. Jika
tidak sesuai dengan usia anak, akan merusak system pencernaan sehingga membuat
bayi tidak mau makan dan bayi termasuk pada balita kurang gizi.
Berdasarkan hasil uji analisis Chi-square didapatkan nilai p-value = 0,001
dengan nilai =0,05 yang artinya ada hubungan yang signifikan antara pola
pemberian makanan pendamping ASI dengan status gizi balita di Wilayah Kerja
54
Puskesmas Limboto Barat, penelitian sejalan dengan penelitian Sakti (2013), tentang
hubungan pola pemberian MP-ASI dengan status gizi anak usia 6-23 bulan di
Wilayah Pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar di dapatkan nilai p-value = 0,000 <
dari nilai =0,05 yang artinya ada hubungan pola pemberian MP-ASI dengan status
gizi anak usia 6-23 bulan di Wilayah Pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar.
Menurut penelitian Nurseha (2017), tentang hubungan pengetahuan gizi dan
pola pemberian makanan pendamping ASI terhadap status gizi pada umur 6-59 bulan
di Wilayah Kerja Puskesmas Sealong Kecamatan Sekadau Hilir Kabupaten Sekadu
hasil penenlitian didapatkan bahwa usia pemberian MP-ASI yang tidak baik <6 bulan
mempunyai peluang 1,35 kali terjadi wasting (kurus) dibandingkan dengan usia
pemberian MP-ASI yang baik usia 6 bulan.
Menurut penelitian Septiana (2014), gizi kurang pada anak dapat diatasi bila
ibu atau keluarga memiliki pengetahuan yang baik tentang gizi dan kesehatan, orang
tua yang memiliki yang kurang tentang gizi cendrung tidak memperhatikan
kandungan zat gizi dalam makanan keluarganya terutama untuk balita serta
kebersihan makanan yang disantap yang akan mempengaruhi status gizinya.
Departemen kesehatan menyatakan dari hasil survei menunjukkan bahwa
penyebab terjadinya gangguan tumbuh kembang bayi dan anak usia 6 sampai 24
bulan di Indonesia adalah rendahnya mutu MP-ASI dan ketidak sesuaian pola asuh
yang diberikan sehingga beberapa zat gizi tidak dapat mencukupi kebutuhan energi
dan zat mikro (DepKes, 2014). Secara mendasar ada dua faktor yang mempengaruhi
status gizi dan pertumbuhan bayi, yaitu intake gizi dan adanya penyakit infeksi.
Kedua faktor ini mempunyai hubungan secara sinergis dimana zat gizi yang kurang
dapat menyebabkan daya tahan tubuh rendah sehingga mudah terkena infeksi,
sebaliknya infeksi penyakit dapat menyebabkan kekurangan gizi. selain konsumsi
makanan dan penyakit infeksi, juga dapat dipengaruhi oleh faktor genetik atau
keturunan. Meskipun anak balita mempunyai pola makan dengan tingkat konsumsi
55
energi yang baik, tapi bila anak balita tersebut mempunyai faktor genetik atau
keturunan kurus, maka status gizinya juga tidak dapat lebih baik. (Soekirnan, 2013)
56
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Penelitian ini berjudul “Hubungan Kesejahteraan Keluarga dan Pola
Pemberian MP-ASI dengan Status Gizi pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Limboto Barat” dengan jumlah responden 78 responden sehingga dapat disimpulkan
sebagai berikut :
1. Tingkat kesejahteraan keluarga di Wilayah Kerja Puskesmas Limboto Barat
berada pada kategori sejahtera sebanyak 44 responden (56,4%).
2. Pola pemberian MP-ASI di Wilayah Kerja Puskesmas Limboto Barat berada
pada kategori Pola Pemberian MP-ASI tidak sesuai yang dilihat dari usia,
frekuensi, jenis makanan dan tekstur sebanyak 51 responden (65,4%).
3. Status Gizi di Wilayah Kerja Puskesmas Limboto Barat berada pada kategori
status kurang gizi berdasarkan BB/U sebanyak 52 responden (66,7%)
4. Ada hubungan yang signifikan antara tingkat kesejahteraan keluarga dengan
status gizi balita di Wilayah Kerja Puskesmas Limboto Barat.
5. Ada hubungan yang signifikan antara pola pemberian MP-ASI dengan status
gizi balita yang ditinjau berdasarkan BB/U di Wilayah Kerja Puskesmas
Limboto Barat.
5.2 Saran
1. Bagi Instansi Kesehatan
Semoga penelitian ini dapat menjadi acuan atau masukan pada instansi
kesehatan dalam memberikan pengetahuan kepada masyarakat khususnya ibu
yang mempunyai bayi atau balita.
2. Bagi Instansi Pendidikan
Penelitian ini semoga dapat menjadi bahan proses belajar mengajar mengenai
bagaimana mengatasi masalah gizi pada masyarakat yautu dengan
memperbaiki tingkat kesejahteraan keluarga dan pemberian MP-ASI.
3. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan motivasi bagi masyarakat
setempat untuk mengerti dan memahami pentingnya tingkat kesejahteraan
keluarga dan pola pemberian MP-ASI tepat waktu sehinggah anak bebas dari
masalah gizi.
4. Bagi Peneliti
Meningkatkan pengetahuan serta memperluas wawasan dan mendapatkan
gambaran mengenai tingkat kesejahteraan keluarga dan pola pemberian MP-
ASI dengan status gizi balita dan selanjutnya bisa dijadikan pedoman atau
pegangan peneliti dalam menjalankan pengabdiannya sebagai tenaga
kesehatan dimasyarakat.
5. Bagi Peneliti Selanjutnya
Dapat menambah variabel lainnya untuk mendukung penelitian selanjutnya
sehingga dapat di temukan gambaran lainnya gambaran mengenai tingkat
kesejahteraan keluarga dan pola pemberian MP-ASI dengan status gizi balita.
45