Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesehatan adalah suatu keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual
maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara
sosial dan ekonomis. Kesehatan merupakan salah satu hal yang sangat penting
bagi semua manusia karena tanpa kesehatan yang baik, maka setiap manusia akan
sulit dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Kesehatan juga merupakan hak asasi
manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan
cita-cita bangsa Indonesia. Perwujudan kesehatan sebagai hak asasi manusia di
Indonesia salah satunya dengan adanya unit pelayanan kesehatan, salah satu unit
kesehatan tersebut berupa puskesmas (Depkes RI, 2009).
Salah satu fasilitas atau unit kesehatan dari pemerintah/puskesmas yang
menyediakan layanan kesehatan dan menyelenggrakan upaya kesehatan tingkat
pertama atau lebih mengutamakan upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan
penyakit, dimana dalam sistem kesehatan nasional memiliki peranan penting
untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah
kerjanya. Sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan tingkat pertama puskesmas
membutuhkan sistem manajemen pelayanan yang baik untuk menciptakan
pelayanan yang paripurna dan berkualitas (Permenkes RI, 2014).
Pelayanan kesehatan merupakan salah satu bentuk pelayanan public yang
menjadi kebutuhan dasar masyarakat dimana setiap individu pernah merasakan
sakit sehingga secara otomatis akan membutuhkan pelayanan kesehatan untuk
menyembuhkan sakitnya. Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang
diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk
emmelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan
penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan
ataupun masyarakat.
Berbicara tentang puskesmas tentunya tidak terlepas dari salah satu
komponen penting yang ketersediaannya berpengaruh dalam keberhasilan
penyelenggaraan upaya pelayanan kesehatan di puskesmas adalah sistem

1
kefarmasian. Pelayanan kefarmasian merupakan salah satu kegiatan di puskesmas
yang menunjang pelayanan kesehatan yang bermutu. Hal tersebut sudah diperjelas
dalam Permenkes Nomor 74 tahun 2016 tentang standar pelayanan kefarmasian di
puskesmas. Dalam menjalankan pelayanan kefarmasian dibutuhkan orang-orang
untuk menjalankannya yaitu tenaga kefarmasian. Tenaga kefarmasian adalah
tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas apoteker dan
tenaga teknis kefarmasian. Fungsi tenaga kefarmasian adalah sebagai pembuat
termasuk pengendali mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan,
penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan obat,
pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan
obat, bahan obat dan obat tradisional (Depkes RI, 2009).
Di puskesmas, untuk pelayanan kefarmasiannya tenaga kefarmasian
berpedoman pada Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) RI Nomor 74 Tahun
2016 dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian, dan melindungi
masyarakat dan pasien dari penggunaan obat yang tidak logis dalam rangka
keselamatan pasien (Permenkes RI, 2016).
Menurut Permenkes No. 74 tahun (2016), standar pelayanan pelayanan
kefarmasian di puskesmas meliputi dua hal penting yaitu pengelolaan sediaan
farmasi dan bahan medis habis pakai dan pelayanan farmasi klinik. Dalam
pelaksanaanya kegiatan kefarmasian di puskesmas terkadang terdapat keluhan
tentang kesalahan terapi obat dikarenakan pemberian jenis obat yang tidak sesuai
atau alasan lainnya. Permasalahan ini terjadi karena pelayanan farmasi klinik yang
belum berjalan dengan baik. Selain itu tuntutan pasien dan masyarakat akan mutu
pelayanan kefarmasian mengharuskan adanya perubahan yang tadinya hanya
berorientasi pada produk menjadi beorientasi pada pasien (Novaryatiin dkk,
2018).
Pelayanan farmasi klinik adalah pelayanan yang secara langsung diberikan
oleh apoteker pada pasien. Tujuan pelayanan farmasi klinik adalah untuk
meningkatkan luaran terapi dan untuk dapat meminimalkan resiko terjadinya efek
samping obat sehingga dapat meningkatkan keselamatan pasien (patient safety)
dan kualitas hidup pasien (quality of life). Oleh karena itu perlu dilakukan

2
kesesuaian standar pelayanan yang bermutu dan berkualitas (Permenkes RI,
2014).
Mutu pelayanan kefarmasian adalah pelayanan kefarmasian yang
menunjukkan tingkat kesempurnaan pelayanan dalam menimbulkan kepuasan
pasien sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata masyarakat. Pasien/masyarakat
menilai pelayanan yang bermutu sebagai layanan yang dapat memenuhi harapan
dan kebutuhan yang dirasakannya. Mutu pelayanan kesehatan yang berhubungan
dengan kepuasan pasien dapat mempengaruhi derajat kesehatan dan kesejahteraan
masyarakat, karena pasien yang merasakan puas akan mematuhi pengobatan dan
mau datang berobat kembali (Pohan, 2006).
Berdasarkan yang telah diuraikan di atas, maka dilakukan penelitian ini
untuk melihat serta mengevaluasi pelayanan farmasi klinik di Puskesmas
Hulonthalangi sehingga dapat meningkatkan keselamatan pasien yang datang
untuk berobat di puskesmas.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana pelayanan farmasi klinik di Puskesmas Hulonthalangi kota
Gorontalo sudah terlaksana sesuai standar dalam peraturan menteri kesehatan
nomor 74 tahun 2016 tentang standar pelayanan kefarmasian di puskesmas?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui pelayanan farmasi klinik di Puskesmas
Hulonthalangi kota Gorontalo sudah terlaksana sesuai standar dalam
peraturan menteri kesehatan nomor 74 tahun 2016 tentang standar
pelayanan kefarmasian di puskesmas.
1.3.2 Tujuan Khusus
1) Untuk mengetahui pelayanan farmasi klinik di Puskesmas
Hulonthalangi kota Gorontalo.
2) Untuk mengetahui tingkat kepuasan pasien terhadap pelayanan farmasi
klinik di Puskesmas Hulonthalangi kota Gorontalo.

3
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Puskesmas
Dapat menjadi tambahan referensi untuk Puskesmas agar dapat lebih
meningkatkan lagi pelayanan farmasi klinik
1.4.2 Bagi Peneliti
Dapat mengaplikasikan standar pelaksanaan pelayanan farmasi
klinik yang telah di pelajari ke kondisi yang ada di dunia kerja
1.4.3 Bagi Intitusi
Dapat dijadikan sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya dan
dapat dijadikan sebagai informasi dan dokumentasi kampus Universitas
Negeri Gorontalo.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar Teori
2.1.1 Puskesmas
Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 75 Tahun 2014 Pasal 1
menjelaskan puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama yang
menyelenggarakan Upaya kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan
Perseorangan (UKP) dengan mengutamakan upaya promotif dan preventif untuk
mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah
kerjanya. Sedangkan menurut Depkes RI (2004) puskesmas adalah unit pelaksana
teknis dinas kesehatan kabupaten atau kota yang bertanggung jawab
menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kesehatan.
Puskesmas merupakan ujung tombak pembangunan kesehatan di Indonesia
dengan tugas melaksanakan kebijakan kesehatan untuk mencapai tujuan
pembangunan kesehatan.
Berdasarkan kemampuan penyelenggaraannya sesuai dengan Peraturan
Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 75 Tahun 2014 Pasal 25, puskesmas
dikategorikan menjadi Puskesmas Non Rawat Inap dan Puskesmas Rawat Inap.
Puskesmas non rawat inap adalah puskesmas yang tidak menyelenggarakan
pelayanan rawat inap kecuali pertolongan persalinan normal. Puskesmas rawat
inap adalah puskesmas yang diberi tambahan sumber daya untuk
menyelenggarakan pelayanan rawat inap sesuai dengan pertimbangan kebutuhan
pelayanan.
Puskesmas atau Pusat Kesehatan Masyarakat bertanggung jawab dalam
menyelenggarakan pembangunan kesehatan sebagai unit pelaksana teknis dinas
kesehatan kabupaten/kota. Fasilitas kesehatan ini merupakan penyelenggara
tingkat pertama dalam upaya kesehatan masyarakat dan perseorangan yang
dilaksanakan secara terpadu, meyeluruh, dan berkesinambungan dengan lebih
mengutamakan upaya promotif (peningkatan kesehatan), preventif (pencegahan
penyakit), kuratif (penyembuhan penyakit), dan rehabilitative (pemulihan
kesehatan), sehingga derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat

5
tercapai. Prioritas yang harus dikembangkan oleh Puskesmas harus diarahkan ke
bentuk pelayanan kesehatan dasar (basic health care services) yang lebih
mengedepankan upaya promosi dan pencegahan (public health service)
(Permenkes RI, 2014; Permenkes RI, 2016; Depkes RI, 2004).
2.1.2 Peran Puskesmas
Puskesmas memiliki peran yang sangat vital sebagai institusi pelaksana
teknis. Puskesmas dituntut memiliki kemampuan manajerial dan wawasan jauh ke
depan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Peran tersebut
ditunjukkan dalam bentuk keikutsertaan puskesmas dalam menentukan kebijakan
daerah melalui sistem perencanaan yang matang dan realistis, tata laksana
kegiatan yang tersusun rapi, serta sistem evaluasi dan pemantauan yang akurat.
Pada masa mendatang, puskesmas juga dituntut berperan dalam pemanfaatan
teknologi informasi terkait upaya peningkatan pelayanan kesehatan secara
komprehensif dan terpadu (Syafrudin, 2009).
2.1.3 Tujuan Puskesmas
Tujuan pembangunan kesehatan yang diselenggarakan puskesmas yang
tertera pada peraturan menteri kesehatan Republik Indonesia nomor 75 tahun
2014 pasal 2 yang mana tujuan dari puskesmas adalah
1. untuk mewujudkan masyarakat yang memiliki perilaku sehat yang
meliputi kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat;
2. untuk mewujudkan masyarakat yang mampu menjangkau pelayanan
kesehatan bermutu;
3. untuk mewujudkan masyarakat yang hidup dalam lingkungan sehat;
4. untuk mewujudkan msayarakat yang memilki serajat kesehatan yang
optimal, baik individu, keluarga dan masyarakat.
2.1.4 Fungsi Puskesmas
Fungsi dan tugas dari puskesmas telah diatur dalam Peraturan Menteri
Kesehatan RI nomor 75 tahun 2014 tentang pusat kesehatan masyarakat, dimana
dalam melaksanakan tugasnya puskesmas menyelenggarakan fungsi yaitu
penyelenggaraan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) tingkat pertama di wilayah
kerjanya dan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) tingkat pertama di wilayah

6
kerjanya. Dalam penyelenggaraan fungsi dari puskesmas, maka puskesmas
berwenang untuk:
1. Melaksanakan perencanaan berdasarkan analisis masalah kesehatan
masyarakat dan analisis kebutuhan pelayanan yang diperlukan
2. Melaksanakan advokasi dan sosialisasi kebijakan kesehatan
3. Melaksanakan komunikasi, infoormasi, edukasi, dan pemberdayaan
masyarakat dalam bidang kesehatan
4. Menggerakkkan masyarakat untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan
masaslah kesehatan pada setiap tingkat perkembangan masyarakat yang
bekerjasama dengan sektor lain terkait.
5. Melaksanakan pembinaan teknis terhadap jaringan pelayanan dan upaya
kesehatan berbasis masyarakat
6. Melaksanakan penibgkatan kompetensi sumber daya manusia puskesmas
7. Memantau pelaksanaan pembangunan agar berwawasan kesehatan
8. Melaksanakan pencatatan, pelapora, dan evaluasi terhadap akses, mutu,
dan cakupan pelayanan kesehatan
9. Memberikan rekomendasi terkait masalah kesehatan masyarakat, termasuk
dukungan terhadap system kewaspadaan dini dan respon penanggulangan
penyakit.
2.1.5 Prinsip Penyelenggaraan Puskesmas
Puskesmas sebagai salah satu fasilitas kesehatan memiliki prinsip dalam
penyelenggaraannya. Prinsip tersebut antara lain (Permenkes, 2014):
1. Paradigma sehat Puskesmas mendorong seluruh pemangku kepentingan
untuk berkomitmen dalam upaya mencegah dan mengurangi risiko
kesehatan yang dihadapi individu, keluarga, kelompok dan masyarakat.
2. Pertanggungjawaban wilayah Puskesmas menggerakkan dan
bertanggungjawab terhadap pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya.
3. Kemandirian masyarakat Puskesmas mendorong kemandirian hidup sehat
bagi individu, keluarga, kelompok dan masyarakat.
4. Pemerataan Puskesmas menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang
dapat diakses dan terjangkau oleh seluruh masyarakat secara adil dan

7
merata tanpa membedakan status sosial, ekonomi, agama, budaya, dan
kepercayaan.
5. Teknologi tepat guna Puskesmas menyelenggarakan pelayanan kesehatan
dengan memanfaatkan teknologi tepat guna yang sesuai dengan kebutuhan
pelayanan, mudah dimanfaatkan dan tidak berdampak buruk pada
lingkungan.
6. Keterpaduan dan kesinambungan Puskesmas mengintegrasikan dan
mengkoordinasikan penyelenggaraan upaya kesehatan perorangan dan
masyarakat lintas program dan lintas sektor serta melaksanakan system
rujukan yang didukung dengan manajemen puskesmas
2.1.6 Pelayanan Puskesmas
Pelayanan kesehatan yang diberikan puskesmas adalah pelayanan
kesehatan menyeluruh yang meliputi (Permenkes, 2014):
a. Kuratif (pengobatan).
b. Preventif (upaya pencegahan).
c. Promotif (peningkatan kesehatan).
d. Rehabilitatif (pemulihan kesehatan).
Pelaksanaan upaya kesehatan di puskesmas harus selalu memperhatikan
mutu dan akses pelayanan kesehatan. Seperti yang telah diamanatkan dalam
Permenkes Nomor 75 Tahun 2014 pasal 7 disebutkan bahwa “Dalam
menyelenggarakan fungsinya, puskesmas berwenang untuk melaksanakan
pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap mutu dan akses pelayanan
kesehatan”
2.2 Standar Pelayanan Kefarmasian
2.2.1 Pengertian
Standar pelayanan kefarmasian adalah tolok ukur yang dipergunakan
sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan
kefarmasian. Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan
bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan
maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien
(Permenkes No. 30, 2014).

8
Pelayanan kefarmasian di Puskesmas merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan dari pelaksanaan upaya kesehatan, yang berperan penting dalam
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Pelayanan kefarmasian
di Puskesmas harus mendukung tiga fungsi pokok Puskesmas, yaitu sebagai pusat
penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, pusat pemberdayaan
masyarakat, dan pusat pelayanan kesehatan strata pertama yang meliputi
pelayanan kesehatan perorangan dan pelayanan kesehatan masyarakat. Pelayanan
Kefarmasian merupakan kegiatan yang terpadu dengan tujuan untuk
mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah obat dan masalah yang
berhubungan dengan kesehatan (Permenkes No. 30, 2014).
2.3 Ruang Lingkup Pelayanan Kefarmasian
Standar pelayanan kefarmasian di Puskesmas meliputi standar pelayanan
farmasi klinik dan standar pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai.
Penyelenggaraan standar pelayanan kefarmasian di Puskesmas harus didukung
oleh sumber daya manusia, sarana dan prasarana yang memadai. Penyelenggaraan
pelayanan kefarmasian di Puskesmas minimal harus dilaksanakan oleh 1 (satu)
orang tenaga apoteker sebagai penanggung jawab, yang dapat dibantu oleh
Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK) sesuai kebutuhan (Kemenkes RI, 2015).
2.3.1 Pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai
Pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai merupakan salah satu
kegiatan pelayanan kefarmasian, yang dimulai dari perencanaan, permintaan,
penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pengendalian, pencatatan dan
pelaporan serta pemantauan dan evaluasi. Tujuan pengelolaan obat dan bahan
medis habis pakai adalah untuk menjamin kelangsungan ketersediaan dan
keterjangkauan obat dan bahan medis habis pakai yang efisien, efektif dan
rasional, meningkatkan kompetensi/kemampuan tenaga kefarmasian, mewujudkan
system informasi manajemen, dan melaksanakan pengendalian mutu pelayanan.
Kegiatan pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai meliputi (Permenkes No.
30, 2014) :
a. Perencanaan kebutuhan obat dan bahan medis habis pakai.

9
Perencanaan merupakan proses kegiatan seleksi obat dan bahan medis
habis pakai untuk menentukan jenis dan jumlah obat dalam rangka
pemenuhan kebutuhan puskesmas.
b. Permintaan obat dan bahan medis habis pakai.
Tujuan permintaan obat dan bahan medis habis pakai adalah memenuhi
kebutuhan obat dan bahan medis habis pakai di puskesmas, sesuai dengan
perencanaan kebutuhan yang telah dibuat. Permintaan diajukan kepada
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang- undangan dan kebijakan pemerintah daerah setempat.
c. Penerimaan obat dan bahan medis habis pakai.
Penerimaan obat dan bahan medis habis pakai adalah suatu kegiatan dalam
menerima obat dan bahan medis habis pakai dari instalasi farmasi
Kabupaten/Kota sesuai dengan permintaan yang telah diajukan.
d. Penyimpanan obat dan bahan medis habis pakai.
Penyimpanan obat dan bahan medis habis pakai merupakan suatu kegiatan
pengaturan terhadap obat yang diterima agar aman (tidak hilang), terhindar
dari kerusakan fisik maupun kimia dan mutunya tetap terjamin, sesuai
dengan persyaratan yang ditetapkan.
Penyimpanan obat dan bahan medis habis pakai dengan
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1) Bentuk dan jenis sediaan
2) Stabilitas (suhu, cahaya, kelembaban)
3) Mudah atau tidaknya meledak/terbakar
4) Narkotika dan psikotropika disimpan dalam lemari khusus.
e. Pendistribusian obat dan bahan medis habis pakai.
Pendistribusian obat dan bahan medis habis pakai merupakan kegiatan
pengeluaran dan penyerahan obat dan bahan medis habis pakai secara
merata dan teratur untuk memenuhi kebutuhan sub unit/satelit farmasi
puskesmas dan jaringannya.

10
f. Pengendalian obat dan bahan medis habis pakai.
Pengendalian obat dan bahan medis habis pakai adalah suatu kegiatan
untuk memastikan tercapainya sasaran yang diinginkan sesuai dengan
strategi dan program yang telah ditetapkan sehingga tidak terjadi kelebihan
dan kekurangan/ kekosongan obat di unit pelayanan kesehatan dasar.
Pengendalian obat terdiri dari:
1) Pengendalian persediaan
2) Pengendalian penggunaan
3) Penanganan obat hilang, rusak, dan kadaluwarsa.
g. Pencatatan, pelaporan dan pengarsipan.
Pencatatan, pelaporan, dan pengarsipan merupakan rangkaian kegiatan
dalam rangka penatalaksanaan obat dan bahan medis habis pakai secara
tertib, baik obat dan bahan medis habis pakai yang diterima, disimpan,
didistribusikan dan digunakan di puskesmas atau unit pelayanan lainnya.
h. Pemantauan dan evaluasi pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai.
Pemantauan dan evaluasi pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai
dilakukan secara periodik dengan tujuan untuk:
1) Mengendalikan dan menghindari terjadinya kesalahan dalam
pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai sehingga dapat
menjaga kualitas maupun pemerataan pelayanan
2) Memperbaiki secara terus-menerus pengelolaan obat dan bahan medis
habis pakai
3) Memberikan penilaian terhadap capaian kinerja pengelolaan
2.3.2 Pelayanan Farmasi Klinik
Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan kefarmasian yang
langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan obat dan bahan
medis habis pakai dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan
mutu kehidupan pasien. Pelayanan farmasi klinik di puskesmas rawat jalan
meliputi Pengkajian dan pelayanan Resep, Pelayanan Informasi Obat (PIO),
Konseling, Visite Pasien (khusus Puskesmas rawat inap), Monitoring Efek
Samping Obat (MESO), Pemantauan Terapi Obat (PTO), dan Evaluasi

11
Penggunaan Obat. Setiap kegiatan pelayanan farmasi klinik, hendaknya
dilaksanakan sesuai standar prosedur operasional yang telah ditetapkan oleh
Kepala Puskesmas. SPO tersebut diletakkan di tempat yang mudah dilihat.
(Permenkes No. 30, 2014; Permenkes No. 74, 2016):
1. Pengkajian dan pelayanan Resep
Pengkajian resep di awali dari seleksi persyaratan administrasi,
persyaratan farmasetik dan persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap
maupun rawat jalan.
Persyaratan administrasi meliputi:
1) Nama, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien.
2) Nama, dan paraf dokter.
3) Tanggal resep.
4) Ruangan/unit asal resep.
Persyaratan farmasetik meliputi:
1) Bentuk dan kekuatan sediaan.
2) Dosis dan jumlah Obat.
3) Stabilitas dan ketersediaan.
4) Aturan dan cara penggunaan.
5) Inkompatibilitas (ketidakcampuran Obat).
Persyaratan klinis meliputi:
1) Ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan Obat.
2) Duplikasi pengobatan.
3) Alergi, interaksi dan efek samping Obat.
4) Kontra indikasi.
5) Efek adiktif.
Penyerahan (Dispensing) dan Pemberian Informasi Obat adalah
kegiatan pelayanan yang diawali dari tahap menyiapkan/meracik Obat,
memberikan label/etiket, menyerahan sediaan farmasi dengan informasi
yang memadai disertai pendokumentasian.

12
2. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Pelayanan Informasi obat adalah pelayanan yang dilakukan oleh
Apoteker untuk memberikan informasi secara akurat, jelas dan terkini
kepada dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien.
Kegiatan ini meliputi:
1) Memberikan dan menyebarkan informasi kepada konsumen secara pro
aktif dan pasif.
2) Menjawab pertanyaan dari pasien maupun tenaga kesehatan melalui
telepon, surat atau tatap muka.
3) Membuat buletin, leaflet, label obat, poster, majalah dinding dan lain-
lain.
5) Melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan dan rawat
inap, serta masyarakat.
6) Melakukan pendidikan dan/atau pelatihan bagi tenaga kefarmasian
dan tenaga kesehatan lainnya terkait dengan obat dan bahan medis
habis pakai.
7) Mengoordinasikan penelitian terkait obat dan kegiatan pelayanan
kefarmasian.
3. Konseling
Konseling adalah suatu proses untuk mengidentifikasi dan
menyelesaikan masalah pasien yang berkaitan dengan penggunaan Obat
pasien rawat jalan dan rawat inap, serta keluarga pasien.
Tujuan yaitu untuk memberikan pemahaman yang benar mengenai
Obat kepada pasien/keluarga pasien antara lain tujuan pengobatan, jadwal
pengobatan, cara dan lama penggunaan Obat, efek samping, tanda-tanda
toksisitas, cara penyimpanan dan penggunaan Obat.
4. Ronde/Visite Pasien
Ronde/visite pasien adalah kunjungan ke pasien rawat inap yang
dilakukan secara mandiri atau bersama tim profesi kesehatan lainnya
terdiri dari dokter, perawat, ahli gizi, dan lain-lain.

13
Tujuannya untuk memeriksa obat pasien, memberikan rekomendasi
kepada dokter dalam pemilihan obat, memantau perkembangan klinis
pasien terkait penggunaan obat.
5. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Monitoring Efek Samping Obat adalah pemantauan setiap respon
terhadap Obat yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada
dosis normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis,
diagnosis dan terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis.
Tujuannya untuk menentukan efek samping obat sedini mungkin,
menentukan frekuensi dan insidensi efek samping obat yang sudah
ditemukan mapuan yang baru ditemukan.
6. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Pemantauan Terapi Obat adalah suatu proses untuk memastikan
bahwa seorang pasien mendapatkan terapi Obat yang efektif, terjangkau
dengan memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek samping.
Tujuannya untuk mendeteksi masalah yang terkait dengan obat dan
memberikan rekomendasi penyelesaian masalah terkait obat.
7. Evaluasi Penggunaan Obat
Evaluasi Penggunaan Obat adalah suatu upaya untuk mengevaluasi
penggunaan Obat secara terstruktur dan berkesinambungan untuk
menjamin Obat yang digunakan sesuai indikasi, efektif, aman dan
terjangkau (rasional).
Tujuannya untuk mendapatkan gambaran pola penggunaan obat pada
kasus tertentu serta melakukan evaluasi secara berkala untuk penggunaan
obat tertentu.
Penyelenggaraan Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas harus
didukung oleh ketersediaan sumber daya kefarmasian, pengorganisasian yang
berorientasi kepada keselamatan pasien, dan standar prosedur operasional sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan. Sumber daya kefarmasian yang
dimaksud meliputi sumber daya manusia dan sarana dan prasarana (Permenkes
No. 30, 2014).

14
Penyelengaraan Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas minimal harus
dilaksanakan oleh 1 (satu) orang tenaga Apoteker sebagai penanggung jawab,
yang dapat dibantu oleh Tenaga Teknis Kefarmasian sesuai kebutuhan. Jumlah
kebutuhan Apoteker di Puskesmas dihitung berdasarkan rasio kunjungan pasien,
baik rawat inap maupun rawat jalan serta memperhatikan pengembangan
Puskesmas. Rasio untuk menentukan jumlah Apoteker di Puskesmas adalah 1
(satu) Apoteker untuk 50 (lima puluh) pasien perhari. Semua tenaga kefarmasian
harus memiliki surat tanda registrasi dan surat izin praktik untuk melaksanakan
pelayanan kefarmasian di fasilitas pelayanan kesehatan termasuk puskesmas,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Semua tenaga
kefarmasian di puskesmas melaksanakan pelayanan kefarmasian berdasarkan
Standar Prosedur Operasional (SPO) yang dibuat secara tertulis, disusun oleh
kepala ruang farmasi dan ditetapkan oleh kepala puskesmas (Permenkes No. 30,
2014).
Sarana yang diperlukan untuk menunjang pelayanan kefarmasian di
Puskesmas meliputi sarana yang memiliki fungsi sebagai ruang penerimaan resep,
ruang pelayanan resep dan peracikan (produksi sediaan secara terbatas), ruang
penyerahan obat, ruang konseling, ruang penyimpanan obat dan bahan medis
habis pakai, ruang arsip (Permenkes No. 30, 2014).
2.3.3 Tujuan Pelayanan Farmasi Klinik
Menurut Permenkes No. 74 (2016), pelayanan farmasi klinik dilakukan
dengan tujuan sebagai berikut:
1. Meningkatkan mutu dan memperluas cakupan Pelayanan Kefarmasian di
Puskesmas.
2. Memberikan Pelayanan Kefarmasian yang dapat menjamin efektivitas,
keamanan dan efisiensi Obat dan Bahan Medis Habis Pakai.
3. Meningkatkan kerjasama dengan profesi kesehatan lain dan kepatuhan
pasien yang terkait dalam Pelayanan Kefarmasian.
4. Melaksanakan kebijakan Obat di Puskesmas dalam rangka meningkatkan
penggunaan Obat secara rasional.

15
2.4 Pengendalian Mutu Pelayanan Kefarmasian
Pengendalian mutu pelayanan kefarmasian merupakan kegiatan untuk
mencegah terjadinya masalah terkait obat atau mencegah terjadinya kesalahan
pengobatan atau kesalahan pengobatan/medikasi (medication error), yang
bertujuan untuk keselamatan pasien (patient safety). Kegiatan pengendalian mutu
pelayanan kefarmasian meliputi (Permenkes No. 30, 2014) :
a. Perencanaan, yaitu menyusun rencana kerja dan cara monitoring dan
evaluasi untuk peningkatan mutu sesuai standar.
b. Pelaksanaan, yaitu:
1) Monitoring dan evaluasi capaian pelaksanaan rencana kerja
(membandingkan antara capaian dengan rencana kerja)
2) Memberikan umpan balik terhadap hasil capaian.
c. Tindakan hasil monitoring dan evaluasi, yaitu:
1) Melakukan perbaikan kualitas pelayanan sesuai standar.
2) Meningkatkan kualitas pelayanan jika capaian sudah memuaskan.
2.5 Kepuasan
2.5.1 Definisi
Menurut Tjiptono dkk. (2011), kata kepuasan (satisfaction) berasal dari
bahasa Latin “satis” (artinya cukup baik, memadai) dan “facio” (melakukan atau
membuat). Kepuasan bisa diartikan sebagai “upaya pemenuhan sesuatu” atau
“membuat sesuatu memadai”. Menurut Pohan (2007), kepuasan pasien adalah
suatu tingkat perasaan pasien yang timbul sebagai akibat dari kinerja layanan
kesehatan yang diperolehnya setelah pasien membandingkannya dengan apa yang
diharapkannya.
2.5.2 Dimensi Tingkat Kepuasan Pasien
Dimensi pelayanan kesehatan yang mempengaruhi Kepuasan pasien terdiri
dari 5 dimensi meliputi Tangibles (Bukti Fisik), Reliability (Kehandalan),
Responsivenes (Ketanggapan), Assurance (Jaminan) dan Emphaty (Empati)
(Tjiptono, 2011):
1. Tangibles (Bukti Fisik) adalah wujud langsung yang meliputi fasilitas
fisik, yang mencakup kemutahiran peralatan yang digunakan, kondisi

16
sarana, kondisi SDM (sumber daya manusia) termasuk penampilan dari
tim kesehatan serta karyawan puskesmas.
2. Reliability (Kehandalan), kehandalan adalah kemampuan untuk
memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera, akurat dan
memuaskan. Reliability menunjukkan kemampuan perusahaan untuk
memberikan pelayanan secara akurat dan handal, bertanggung jawab atas
apa yang dijanjikan, tidak pernah memberikan janji yang berlebihan dan
selalu memenuhi janjinya(7).
3. Responsiveness (Ketanggapan), daya tanggap merupakan kemampuan para
staf untuk membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan
tanggap.
4. Assurance (Jaminan), jaminan meliputi kemampuan, kesopanan dan sifat
dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari bahaya, resiko atau
keragu-raguan.
5. Empathy (Empati/Perhatian/Kepedulian) kepedulian adalah kemudahan
dalam melakukan hubungan, komunikasi yang baik, perhatian pribadi, dan
memahami kebutuhan para pelanggannya.
2.5.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan
Kepuasan pelanggan rumah sakit atau organisasi pelayanan kesehatan
dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain berkaitan dengan (Wijono, 2013):
1. Pendekatan dan perilaku petugas, perasaan pasien terutama saat pertama
kali datang.
2. Mutu informasi yang diterima, seperti apa yang dikerjakan, apa yang dapat
diharap.
3. Prosedur perjanjian.
4. Waktu tunggu.
5. Fasilitas umum yang tersedia.
6. Fasilitas perhotelan yang diterima pasien seperti mutu makanan, privacy,
dan pengaturan kunjungan.
7. Outcome terapi dan perawatan yang diterima.

17
Faktor-faktor dasar yang mempengaruhi kepuasan diantaranya adalah
(Notoatmodjo, 2007) :
a. Pengetahuan
Tingkat pengetahuan seseorang dapat mempengaruhi prilaku individu,
yang mana makin tinggi tingkat pengetahuan seseorang tentang kesehatan,
maka makin tinggi untuk berperan serta.
b. Kesadaran
Bila pengetahuan tidak dapat dipahami, maka dengan sendirinya timbul
suatu kesadaran untuk berprilaku berpartisipasi.
c. Sikap positif
Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup
terhadap suatu stimulus atau objek. Sedangkan salah satu kompensasi dari
sikap yang positif adalah menerima (receiving), diartikan bahwa orang
mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan.
d. Sosial ekonomi
Pelayanan yang diberikan oleh perawat sesuai dengan biaya yang telah
dikeluarkan oleh pasien.Semakin tinggi biaya yang dikeluarkan oleh
pasien maka semakin baik pelayanan yang diberikan.
e. Sistem nilai
Sistem nilai seseorang pasien sangat mempengaruhi seseorang pasien
untuk mempersepsikan pelayanan kesehatan yang diberikan.
f. Pemahaman pasien tentang jenis pelayanan yang akan diterimanya
Tingkat pemahaman pasien terhadap tindakan yang diberikan akan
mempengaruhi tingkat kepuasan seseorang terhadap tindakan.
g. Empati yang ditujukan oleh pemberi pelayanan kesehatan, sikap ini akan
menyentuh emosi pasien. Faktor ini akan berpengaruh terhadap tingkat
kepatuhan pasien (compliance)
2.5.4 Metode Pengukuran Kepuasan
Menurut Philip Kolter dalam mengemukakan beberapa metode yang dapat
digunakan untuk mengukur kepuasan yaitu (Tjiptono, 2014):
1. Sistem Keluhan dan Saran

18
Setiap organisasi jasa yang berorientasi pada pelanggan wajib memberikan
kesempatan seluas-luasnya bagi para pelanggannya menyampaikan saran, kritik,
pendapat, dan keluhan mereka. Media yang digunakan bisa berupa kotak saran
yang diletakkan di tempat-tempa strategi (yang mudah diakses atau sering dilalui
pelanggan), Kartu komerntar (yang bisa diisi langsung maupun yang dikirim via
pos kepada perusahaan), saluran telepon khusus bebas pulsa, website, facebook,
twitter, dan lain-lain. Informasi-informasi yang diperoleh melalui metode ini
dapat memberikan ide-ide baru dan masukan yang berharga kepada perusahaan,
sehingga memungkinkannya untuk bereaksi dengan tanggap dan cepat untuk
mengatasi masalah-masalah yang timbul. Akan tetapi, karena metode ini bersifat
pasif, maka sulit mendapatkan gambaran lengkap mengenai kepuasan atau ketidak
puasan pelanggan. Tidak semua pelanggan yang tidak puas bakal menyampaikan
keluhannya. Sangat mungkin mereka langsung berganti pemasok dan tidak akan
membeli produk/jasa perusahaan yang bersangkutan lagi. Upaya mendapatkan
saran yang bagus dari pelanggan juga sulit diwujudkan dengan metode ini.
Terlebih lagi bila perusahaan tidak memberikan timbal balik dan tindak untu
lanjut yang memadai kepad mereka yang telah bersusah payah menyumbangkan
ide kepada perusahaan.
2. Ghost Shoppingg
Metode ini dilakukan dengan memperkerjakan beberapa orang (ghost
Shopper) untuk berperan atau bersikap sebagai pasien dengan tujuan mengetahui
kelebihan dan kekurangan pelayanan. Selain itu ghost shopper juga dapat
mengamati cara penanganan keluhan.
3. Lost Customer Analysis
Pemberian pelayanan menghubungi para pelanggannya yang telah berhenti
membeli dan beralih pemasok. Hal ini dilakukan untur memperoleh informasi
mengenai penyebab terjadinya hal tersebut. Informasi ini bermanfaat bagi pemberi
pelayanan untuk mengambil kebijakan selanjutnya dalam rangka meningkatkan
kepuasan dan loyalntas pelanggan.

19
4. Survei Kepuasan Pelanggan
Umumnya sebagian penelitian mengenai kepuasan pelanggan
menggunakan metode survei, baik via pos, telepon, e-mail, maupun wawancara
langsung. Melalui survei, perusahaan akan memperoleh tanggapan dan umpan
balik langsung dari pelanggan dan juga memberikan sinyal positif bahwa
perusahaan menaruh perhati an terhadap mereka (Tjiptono, 2011).
Metode survey kepuasan pelanggan dapat dilakukan dengan cara berikut
(Rangkuti, 2003):
1) Pengukuran dapat dilakukan secara langsung melalui pertanyaan kepada
pelanggan dengan ungkapan sangat tidak puas, cukup puas, puas, dan
sangat puas.
2) Responden diberi pertanyaan mengenai seberapa besar mereka
mengharapkan suatu atribut tertentu dan seberapa besar yang mereka
rasakan.
3) Responden diminta untuk menuliskan masalah-masalah yang mereka
hadapi yang berkaitan dengan penawaran dari perusahaan dan diminta
untuk menuliskan perbaikan-perbaikan yang mereka sarankan.
4) Responden diminta meranking elemen atau atribut penawaran berdasarkan
derajat kepentingan setiap elemen seberapa baik kinerja perusahaan pada
masing-masing elemen.
2.6 Analisis Data Tingkat Kepuasan
Tuiuan dilakukannya analisis data adalah untuk memperoleh gambaran
dari hasil penelitian yang telah dirumuskan dalam tujuan penelitian dan
memperoleh kesimpulan secara umum dari penelitian yang merupakan kontribusi
dalam pengembangan ilmu yang bersangkutan (Notoatmodjo, 2010). Berikut
dibawah ini macam-macam analisa data tingkat kepuasan:
1) Importance Performance Analysis (IPA)
Menurut Latu (2000) model Importance Performance Analysis adalah
untuk “mengukur hubungan antara persepsi konsumen dan prioritas peningkatan
kualitas produk/jasa.”. Berkaitan dengan hal tersebut, Martinez (2003)
menyatakan bahwa “Model IPA telah diterima secara umum dan dipergunakan

20
pada berbagai bidang kajian karena kemudahan untuk diterapkan dan tampilan
hasil analisis yang memudahkan usulan perbaikan kinerja”. Lupiyoadi (2015)
menjelaskan bahwa dengan menggunakan metode Importance Performance
Analysis (tingkat kepentingan dan kinerja), perusahaan dapat mengetahui tingkat
kepuasan konsumen, serta hal-hal apa saja yang perlu diperbaiki dan
dipertahankan atas pelayanan yang telah diberikan, sehingga dapat menjadi dasar
untuk meningkatkan kepuasan konsumen. Analisis IPA dipergunakan untuk
membandingkan antara penilaian konsumen terhadapat tingkat kepentingan
terhadap kualitas layanan (Importance) dengan tingkat kinerja kualitas layanan
(Performance).
Kelebihan metode IPA dibanding dengan metode yang lain diantaranya
adalah prosedur dari metode yang digunakan cukup sederhana, pengambil
kebijakan dapat dengan mudah menentukan prioritas kegiatan yang harus
dilakukan dengan sumberdaya yang terbatas, serta metode ini cukup fleksibel
untuk diterapkan pada berbagai bidang (Yola dan Budianto, 2013)
2) Pontential Gain in Customer Value (PGCV)
Menurut Helda Okta Angreni (2016), Indeks Potential Gain in
CustomerValue (PGCV) adalah sebuah metode analisa pemasaran. Indeks PGCV
dapat menyediakan masukan kuantitatif untuk spektrum yang luas dari sebuah
analisis strategis. Dalam analisa PGCV juga melibatkan tingkat performansi
(Performance) dan kepentingan (importance), dapatnya pihak manajemen juga
dapat membangun suatu survey yang dapat mengukur dua hal yang penting yaitu:
a. Persepsi konsumen dari tingkat kepentingan dari suatu pelayanan.
b. Persepsi konsumen atas tingkat performansi kepuasan dari suatu
pelayanan.
Kelebihan dari penggunaan metode indeks PGCV ini adalah
kemampuannya untuk dapat mengetahui atribut yang harus diperhatikan untuk
ditingkatkan berdasarkan nilai potential kepuasan pelanggan sekaligus mengetahui
pelayanan yang tidak terlalu dipentingkan kualitasnya oleh pelanggan sehingga
bagi perusahaan tersebut dapat melakukan efisiensi biaya untuk pelayanan
tersebut (Helda Okta Angreni, 2016).

21
3) Customer Satisfiaction Indeks (CSI)
Analisis data CSI (Customer Satisfiaction Indeks) merupakan indeks untuk
menentukan tingkat kepuasan pelanggan secara menyeluruh dengan pendekatan
yang mempertimbangkan tingkat kepentingan dari atribut-atribut produk atau jasa
yang diukur (Aritonang, 2005).
2.7 Kajian Penelitian yang Relevan
2.7.1 R. Adi Soeprijanto (2018) Pelaksanaan Pelayanan Oleh Tenaga
Kefarmasian Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian Di Puskesmas (Studi Di Puskesmas Kabupaten
Purbalingga)
Berdasarkan penelitian tersebut dijelaskan bahwa apoteker sebagai
penanggung jawab pelayanan kefarmasian di Puskesmas, baik farmasi
klinik maupun pengelolaan obat. Kekurangan obat terjadi karena stok dari
Dinas Kesehatan Kabupaten yang kosong dan adanya obat kadaluwarsa
berasal dari buffer stock provinsi. Teknis pelaksanaan pelayanan
kefarmasian menggunakan pedoman yang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Pengangkatan tenaga kontrak oleh pihak yang tidak
berwenang menyebabkan terjadinya pelanggaran administrasi. Surat Tanda
Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP) merupakan dasar kepastian
hukum bagi tenaga kefarmasian.
Perbedaan dengan penelitian penulis terletak pada yang akan diteliti
yaitu penelitian penulis lebih mengkhususkan pada farmasi klinik
sedangkan peneltian yang dilakukan oleh R. Adi Soeprijanto ini
mencangkup seluruh pelayanan kefarmasian baik pengelolaan obat
maupun farmasi klinik. Kemudian dari metode yang digunakan pada
penelitian penulis menggunakan metode deskriptif kuantitatif sedangkan
penelitian oleh R. Adi Soeprijanto menggunakan metode hukum normatif-
empiris, dengan data sekunder dan data primer. Sumber data sekunder
berupa studi pustaka berbentuk bahan hukum sekunder sedangkan data
primer berupa observasi dan wawancara berbentuk bahan hukum primer.

22
2.7.2 Puput Widha, Prasojo Pribadi, Puspita Septie Dianita (2015)
Gambaran Penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian Di Puskesmas
X Kota Magelang
Penelitian yang dilakukan oleh Puput Widha dkk bertujuan untuk
mengetahui gambaran penerapan pelayanan kefarmasian yang ada di
Puskesmas, berdasarkan pada Pedoman Pelayanan Kefarmasian tahun
2006 dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2009 di Puskesmas
Magelang. Pada penelitian ini dijelaskan bahwa penanggung jawab kamar
obat di Puskesmas cukup baik dengan persentase sebesar 50%, penunjang
pelayanan di Puskesmas baik dengan persentase 100%, pelayanan di
Puskesmas baik dengan persentase 80,52%, penyerahan obat di Puskesmas
cukup baik dengan persentase 68,75%, mutu pelayanan di puskesmas baik
dengan presentase 86,7%, sehingga rata-rata pelayanan kefarmasian di
Puskesmas X Kota Magelang didapatkan persentase sebesar 71,5% yang
berarti pelayanan farmasi di Puskesmas X Kota Magelang baik.
Hal yang membedakan dengan penelitian penulis yaitu penelitian
penulis dilakukan untuk mengevaluasi pelayanan farmasi kliniknya
berdasarkan pedoman sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Puput
Widha dkk ini dilakukan untuk mengetahui gambaran pelayanan
kefarmasian berdasarkan pedoman. Selanjutnya dari segi jenis dan metode
yang digunakan pada penelitian penulis termasuk penelitian deskriptif
kuantitatif sedangkan penelitian Puput Widha dkk termasuk penelitian
deskriptif, dengan menggunakan metode cross sectional.
2.7.3 Trully O.S Rumengan, Jeane Mongie, Nerni O Potalangi, Einstein Z.Z.S
Karundeng (2019) Analisis Pelayanan Kefarmasian Di Puskesmas Desa
Langsot Kecamatan Tareran I Kabupaten Minahasa Selatan
Penelitian yang dilakukan oleh Trully O.S Rumengan dkk bertujuan
untuk mengetahui standar pelayanan kefarmasian di Puskesmas Desa
Langsot Kecamatan Tareran I Kabupaten Minahasa Selatan yang meliputi
pengelolaan sediaan farmasi dan pelayanan farmasi klinik sesuai dengan
Permenkes RI. No 74 tahun 2016. Penelitian ini menjelaskan bahwa

23
standar penelitian di Puskesmas Desa Langsot Kecamatan Tareran I
Kabupaten Minahasa Selatan penunjang pelayanan range penilaian 80%
sudah cukup baik, pengelolaan sediaan farmasi dan bahan medis habis
pakai range penilaian 86% sudah baik dan pelayanan farmasi klinik range
penilaian 95% sudah berjalan baik sesuai pedoman dalam pelayanan
kefarmasian. Berdasarkan Permenkes RI No. 74 Tahun 2016 Puskesmas
Desa Langsot Kecamatan Tareran I Kabupaten Minahasa Selatan belum
menyediakan Apoteker yang bertanggung jawab pada pelayanan
kefarmasian dan dapat dikatakan belum memenuhi standar pelayanan
kefarmasian di Puskesmas.
Adapun yang membedakan penelitian penulis dan penelitian ini yaitu
penelitian penulis termasuk dalam penelitian deskriptif kuantitatif dan
lebih mengkhususkan untuk mengevaluasi pelayanan farmasi klinik
berdasarkan pedoman, data yang dikumpulkan melalui hasil wawancara
mendalam dan kuesioner, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Trully
O.S Rumengan dkk menggunakan metode deskriptif kualitatif dimana
akan menggambarkan secara menyeluruh pelayanan kefarmasian di
Puskesmas Desa Langsot Kecamatan Tareran I Kabupaten Minahasa
Selatan. Data yang dikumpulkan melalui hasil kuesioner ditampilkan
dalam bentuk deskriptif untuk membandingkan dengan standar Permenkes
RI No 74 Tahun 2016.
2.7.4 Larasanty, L.P.F., Wirasuta, I.M.A.G., Sarasmita, M.A., Cahyadi,
M.F., Wirayanti, N.W., Triastuti, N.N.A., Yanti, N.N.D., Wistari,
N.M.A. dan Sudarni, N.M.R. (2018) Pengembangan Kuisioner
Kepuasan Pasien Untuk Pelayanan Farmasi Klinik
Penelitian yang dilakukan oleh Larasanty dkk ini bertujuan untuk
mengembangkan kuisioner penelitian dalam Bahasa Indonesia untuk
mengukur kepuasan pasien terhadap pelayanan kefarmasian pada fasilitas
kesehatan tingkat pertama dan tingkat lanjut terutama mengenai pelayanan
farmasi klinik.

24
Pernyataan – pernyataan dalam kuisioner disusun berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia mengenai
standar pelayanan kefarmasian di pusat kesehatan masyarakat
(Puskesmas), apotek dan rumah sakit. Terdapat 39 pernyataan untuk
kuisioner pelayanan kefarmasian di Puskesmas, 41 pernyataan untuk
kuisioner pelayanan farmasi klinik di apotek maupun di rumah sakit. Uji
validitas menggunakan korelasi momen produk yang menghasilkan nilai r
untuk masing – masing pernyataan > 0,361 (valid). Tes reliabilitas
dilakukan dengan menggunakan uji Cronbach Alpha. Hasil uji Cronbach
Alpha > 0,6 (reliabel) untuk masing – masing item kuisioner. Berdasarkan
uji validitas dan reliabilitas menunjukkan kuisioner kepuasaan pasien
terhadap pelayanan farmasi klinik yang disusun valid dan reliabel.
Perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh Larasanty dkk
dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah penelitian Larasanty
dkk dilakukan di 3 tempat pelayanan kesehatan yaitu di rumah sakit
puskesmas dan apotek sedangkan yang dilakukan oleh peneliti hanya di
puskesmas saja, kuesioner yang di buat oleh larasanty dkk dibagi menjadi
2 yaitu sebelum mendapat pelayanan (harapan) dan sesudah mendapat
pelayanan (persepsi) sedangkan kuesioner yang dibuat peneliti hanya 1
bagian saja yaitu sesudah menerima pelayanan (persepsi) namun selain
kuesioner juga dilakukan wawancara terhadap kepala puskesmas, apoteker
dan tenaga kerja kefarmasian.
2.7.5 Ika Norcahyanti1, Farda Hakimah, Fransiska Maria Christianty
(2020) Evaluasi Pelayanan Kefarmasian Di Puskesmas Kabupaten
Ponorogo
Penelitian yang dilakukan oleh Ika Norahyantil dkk ini merupakan
penelitian observasional menggunakan metode survei. Penelitian
dilakukan pada 31 Puskesmas Kabupaten Ponorogo pada bulan September
hingga November 2019. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
tenaga kefarmasian atau tenaga lain yang bertanggung jawab terhadap
ruang farmasi di Puskesmas Kabupaten Ponorogo, dimana sampel

25
kemudian dipilih menggunakan teknik total sampling. Instrumen yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman daftar tilik yang
dikeluarkan oleh Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik
Kementerian Kesehatan RI Tahun 2008. Pengumpulan data dilakukan
dengan cara observasi dan wawancara kepada responden yang terlebih
dahulu diberikan informasi untuk mengisi informed consent.
Hal-hal yang membedakan antara penelitian yang dilakukan oleh Ika
Norahyantil dkk dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti yaitu
penelitian Ika Norahyantil dkk dilakukan di 31 puskesmas yang ada di
kabupaten Ponorogosedangkan yang dilakukan oleh peneliti hanya 1
puskesmas yang ada di Kota Gorontalo, penelitian Ika Norahyantil dkk
dilakukan dengan mewawancarai semua petugas yang ada di ruang farmasi
yaitu apoteker, TTK dan tenaga kerja lainnya sedangkan penelitian yang
dilakukan peneliti mewawancarai kepala puskesmas, apoteker dan TTK
serta memberikan kuesioner kepada pasien yang datang berobat di
puskesmas tempat penelitian, untuk pemilihan sampel yang dilakukan
peneliti menggunakan teknik simple random sampling, dan pedoman yang
dipakai peneliti yaitu UU Permenkes RI No.74 tahun 2016 tentang standar
pelayanan kefarmasian di puskesmas.
2.7.6 Nelly Murni1, Asriwati, Nur’aini (2020) Pengaruh Penerapan Standar
Pelayanan Kefarmasian Di Puskesmas Terhadap Peningkatan
Kepuasan Pasien
Penelitian yang dilakukan oleh Nelly Murnil dkk bertujuan untuk
mengetahui pengaruh penerapan standard pelayanan kefarmasian di
puskesmas terhadap peningkatan kepuasan pasien di Puskesmas Belawan
Kota Medan. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif
dengan rancangan survey analitik dengan rancangan cross sectional study.
Lokasi penelitian ini dilakukan di Puskesmas Belawan Kota Medan.
Populasi penelitian yaitu seluruh pasien rawat jalan yang berkunjung ke
Puskesmas belawan Kota Medan periode tahun 2019. Jumlah sampel
dalam penelitian ini sebanyak 93 orang diperoleh dengan teknik purposive

26
sampling. Data hasil survei dianalisis dengan menggunakan uji chi-square
dan regeresi logistik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada Ada
pengaruh terhadap semua aspek standar pelayanan kefarmasian.
Perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh Nelly Murnil dkk
dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti yaitu dari tujuan penelitian
yang dilakukan oleh peneliti untuk mengevaluasi pelayanan farmasi klinik
di Puskesmas Hulonthalangi kota Gorontalo sedangkan penelitian Nelly
dkk untuk melihat pengaruh penerapan standar pelayanan kefarmasian,
jenis penelitian yang dilakukan peneliti merupakan penelitian deskriptif
kuantitatif, penentuan jumlah sampel menggunakan teknik simple random
sampling, analisis data menggunakan rumus Customer Satisfaction Index
(CSI) dengan skala pengukuran likert.
2.7.7 Nicola Lombardi, Li Wei, Maisoon Ghaleb, Enrico Pasut, Silvia
Leschiutta, Paolo Rossi dan Maria Grazia Troncon (2018) Evaluasi
pelaksanaan layanan farmasi klinis di bangsal penyakit dalam akut di
Italia

Penelitian yang dilakukan oleh Nicola Lombardi dkk ini bertujuan


untuk mengevaluasi pengaruh strategi komunikasi terstruktur terhadap
tingkat penerimaan intervensi yang dilakukan oleh apoteker klinis yang
melaksanakan layanan farmasi klinis berbasis bangsal yang menargetkan
pasien lanjut usia berisiko tinggi mengalami masalah terkait obat.
Karakteristik intervensi yang dilakukan untuk meningkatkan kesesuaian
resep, signifikansi klinis dan tingkat penerimaan intervensi oleh dokter
dicatat. Studi intervensi farmasi klinis dilakukan antara September 2013
dan Desember 2013 di bangsal penyakit dalam rumah sakit. Apoteker
klinis terlatih memberikan perawatan farmasi kepada 94 pasien berusia di
atas 70 tahun. Apoteker klinis menggunakan alat komunikasi dan
pemasaran berikut untuk mengimplementasikan layanan yang dijelaskan:
Kelebihan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman (SWOT); Tujuan yang
Spesifik, Terukur, Dapat Dicapai, Realistis dan Tepat Waktu (SMART);

27
Kesadaran, Minat, Keinginan, Tindakan (AIDA). Pengumpulan data
dilakukan dengan menggunakan formulir intervensi yang di dalamnya
meliputi: kategori masalah yang berhubungan dengan obat (drug releated
problem), obat yang terlibat, deskripsi intervensi, hasil jenis intervensi dan
penerimaan. Sebelum dilakukan penelitian diujikan terlebih dahulu kepada
30 pasien selama 2 minggu untuk menilai validasi dan reliable dari
formulir. Signifikansi klinis dari intervensi ditentukan dengan skala yang
dikembangkan oleh Spinewine dkk dengan 5 kategori 1). Minor; 2).
Sedang; 3). Mayor; 4). Ekstrim; dan 5). Merugikan.
Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti yakni
penelitian peneliti dilakukan di puskesmas, dari tujuan penelitian peneliti
dimaksudkan untuk mengevaluasi pelayanan farmasi klinik di puskesmas,
pengumpulan datanya menggunakan wawancara, chek list dan kuesioner,
skala yang digunakan yaitu likert 1). Sangat tidak puas; 2). Tidak puas; 3).
Cukup puas; 4). Puas; 5). Sangat puas.
2.7.8 Alshahrani SM, Abosamra SM, Khobrani M (2019) Pelaksanaan
pelayanan farmasi klinis di rumah sakit jiwa tersier di wilayah Aseer,
Arab Saudi: pengalaman 15 bulan.
Penelitian yang dilakukan oleh Alshahrani SM dkk bertujuan untuk
mengevaluasi intervensi apoteker klinis dengan fokus pada penyelesaian
masalah terkait obat (drug releated problems). Penelitian ini merupakan
penelitian prospektif yang dilakukan di rumah sakit kesehatan jiwa tersier
di kota Abha, Arab Saudi. Tim apotek klinik melakukan rotasi klinik
setiap hari untuk memberikan pelayanan apotek klinik. Berdasarkan
penilaian apoteker klinis, drug releated problems yang diidentifikasi dan
dikomunikasikan dengan dokter lain untuk perawatan yang berpusat pada
pasien dan hasil yang dihasilkan diukur. Juga, tingkat penerimaan untuk
intervensi apoteker klinis dievaluasi.
Hasil: Sebanyak 824 DRP teridentifikasi untuk 420 kasus. DRP yang
paling umum dilaporkan ditemukan mengenai Pemantauan Obat
Terapeutik (n = 345, 41,87%) diikuti oleh kebutuhan untuk konseling (n =

28
175, 21,24%), pemilihan obat (n = 180, 21,84%), dosis berlebih atau
kurang (n = 87, 10,6%), reaksi merugikan (n = 20, 2,43%), kepatuhan (n =
14, 1,7%), dan dalam pengobatan (n = 3, 0,36%). Untuk semua DRP yang
teridentifikasi, total 446 intervensi (54,13%) diusulkan dan diterima oleh
dokter.
Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa memperkenalkan
apoteker klinis dalam tim psikiatri meningkatkan optimalisasi terapeutik
dan apoteker klinis adalah anggota tim yang dapat dipercaya.
Yang menjadi perbedaan antara penelitian Alshahrani SM dkk dengan
penelitian yang dilakukan oleh peneliti ialah penelitian Alshahrani SM dkk
lebih fokus ke drug releated problem sedangkan penelitian yang dilakukan
oleh peneliti lebih fokus ke farmasi kliniknya.
2.7.9 Arebu Issa Bilal, Zelalem Tilahun, Gebremedhin Beedemariam,
Belete Ayalneh, Bisrat Hailemeskel dan Ephrem Engidawork (2016)
Sikap dan kepuasan penyedia perawatan kesehatan terhadap layanan
farmasi klinis di Ethiopia: Survei pasca penerapan
Penelitian ini merupakan penelitian dengan menggunakan survei
cross-sectional yang menggunakan kuesioner yang dikelola sendiri
dilakukan di enam wilayah dan administrasi satu kota di negara tersebut.
Dokter, Petugas Kesehatan dan Perawat yang bekerja bersama dengan
lulusan farmasi baru menjadi populasi penelitian. Sebanyak 650
profesional perawatan kesehatan berpartisipasi dalam penelitian ini. Sikap
penyedia layanan kesehatan terhadap peran lulusan dinilai dengan skala
Likert lima poin yang berkisar dari 1 (Sangat Tidak Setuju) hingga 5
(Sangat Tidak Setuju). Data yang di dapatkan dimasukkan, dibersihkan
dan dianalisis menggunakan alat statistik yaitu spss versi 20.
Kesimpulan: Sebagian besar penyedia layanan kesehatan memiliki sikap
positif terhadap layanan, meskipun luas layanan di bawah harapan mereka.
Oleh karena itu, upaya harus dilakukan untuk menyelenggarakan pelatihan
profesional berkelanjutan untuk apoteker dan forum penciptaan kesadaran
untuk profesional perawatan kesehatan lainnya.

29
Yang menjadi perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh Arebu
Issa Bilal dkk ini dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti ialah
peneliti menggunakan metode deskriptif kuantitatif sedangkan penelitian
Arebu Issa Bilal dkk menggunakan metode survey cross sectional.
2.7.10 Ahmad Wildan Miftahur Rizqi (2020) Tingkat Kepuasan Pasien
Terhadap Pelayanan Kefarmasian Di Instalasi Farmasi Puskesmas
Sisir Kota Batu
Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Wildan Miftahur Rizqi ini
bertujuan untuk mengetahui tingkat kepuasan pasien terhadap pelayanan
kefarmasian di instalasi farmasi Puskesmas Sisir Kota Batu. Jenis
penelitan ini merupakan penelitian deskriptf dengan pendekatan
kuantitatif. Cara pengambilan sampel dengan metode non-probability
sampling dengan teknik purposive sampling. Sampel yang diperoleh
sebanyak 100 responden. Metode perhitungan tingkat kepuasan pasien
menggunakan metode Customer Satisfiaction Indeks (CSI). Hasil
penelitian didapatkan tingkat kepuasan pada dimensi kehandalan 78,2%
(puas), ketanggapan 79% (puas), jaminan 81,4% (sangat puas), kepedulian
82,6% (sangat puas), bukti fisik 79,4 (puas). Sehingga dapat dikatakan
pelayanan kefarmasian di Puskesmas Sisir Kota Batu masuk kategori puas
dengan persentase tingkat kepuasan pasien terhadap pelayanan
kefarmasian sebesar 80,12%.
Perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Wildan
Miftahur Rizqi dengan penelitian yang dilakukan peneliti adalah dari segi
tujuan, penelitian yang dilakukan oleh peneliti yaitu untuk mengevaluasi
pelayanan farmasi klinik yang berjalan berdasarkan UU Permenkes No. 74
tahun 2016 tentang standar pelayanan kefarmasian dan mengetahui tingkat
kepuasan pasien terhadap pelayanan farmasi klnik di puskesmas
Hulonthalangi.

30
2.8 Kerangka Berpikir

Evaluasi Pelayanan Farmasi Klinik di


Puskesmas Hulonthalangi Kota Gorontalo

Standar pelayanan Kepuasan Pasien


farmasi klinik

1. Kehandalan
1. Pengkajian resep, penyerahan
2. Ketanggapan
obat, dan pemberian informasi
3. Keyakinan
obat
4. Empati
2. PIO
3. Konseling
4. Visite
5. MESO
6. PTO
7. Evaluasi penggunaan obat

2.8.1 Uraian Kerangka Berpikir


Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan dari pelaksanaan upaya kesehatan, yang berperan penting dalam
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Pelayanan
Kefarmasian merupakan kegiatan yang terpadu dengan tujuan untuk
mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah Obat dan masalah yang
berhubungan dengan kesehatan. Pelayanan kefarmasian meliputi 2 kegiatan yaitu
pengelolaan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai dan kegiatan pelayanan
farmasi klinik (Permenkes No. 74, 2016).
Seiring berkembangnya teknologi pelayanan kefarmasian saat ini beralih
dari drug oriented menjadi patient oriented dengan berasaskan pharmaceutical
care. Kegiatan pelayanan farmasi yang tadinya hanya berfokus pada pengelolaan
produk (drug oriented) harus diubah dan diperluas lagi menjadi berorientasi pada

31
pasien (patient oriented) dan bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup serta
kepuasan pasien.
Pelayanan farmasi klinik merupakan bagian dari Pelayanan Kefarmasian
yang langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan Obat dan
Bahan Medis Habis Pakai dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk
meningkatkan mutu kehidupan pasien. Pelayanan farmasi klinik meliputi
Pengkajian resep, penyerahan obat, dan pemberian informasi obat, PIO
(Pelayanan Informasi Obat), Konseling, Visite, MESO (Monitoring Efek Samping
Obat), PTO (Pemantauan Terapi Obat), dan Evaluasi penggunaan obat
(Permenkes No. 74, 2016).
Dalam menjalankan pelayanan farmasi klinik yang berorientasi pada
pasien (patient oriented) yang bermutu diperlukan penilaian tingkat kepuasan dari
pasien sendiri agar pasien mendapatkan atau menerima pelayanan yang
berkualitas. Tingkat kepuasan pasien merupakan respon evaluative, afektif atau
emosional yang terkait denagn mutu pelayanan yang diberikan puskesmas serta
harapan terhadap pelayanan tersebut. Terdpat lima dimensi mutu untuk menilai
mutu pelayanan, yaitu: (reliability), ketanggapan (responsiveness), jaminan
(assurance), empati (emphaty) dan bukti langsung (tangible). Penilaian dari
kelima dimensi mutu tersebut dapat dilihat dari nilai harapan pasien dan
pelayanan yang dirasakan pasien sehingga dapat diketahui tingkat kepuasan
pasien. Pada penelitian kali ini dilakukan penelitian terkait evaluasi dan tingkat
kepuasan pasien terhadap pelayanan farmasi klinik di ruang farmasi Puskesmas
Hulonthalangi kota Gorontalo.

32
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
dengan pendekatan kuantitatif. Data diperoleh dari hasil wawancara mendalam
untuk mengevaluasi Pelayanan Farmasi Klinik dan kuesioner untuk mengukur
tingkat kepuasan pasien di Puskesmas Hulonthalangi Kota Gorontalo.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Hulonthalangi, Kecamatan
Hulonthalangi Kota Gorontalo pada bulan Maret-April 2021.
3.3 Sampel dan Objek Penelitian
3.3.1 Sampel Penelitian
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kepala Puskesmas
Hulonthalangi, Apoteker, Tenaga Kerja Kefarmasian dan pasien yang
datang berobat di puskesmas Hulonthalangi kota Gorontalo.
Metode yang digunakan dalam dalam menentukan sampel responden
yaitu menggunakan Random sampling atau sampel acak sehingga
responden yang didapatkan dalam peneltiian ini dapat mewakili populasi,
untuk menentukan jumlah sampel digunakan rumus Slivin:
N
n=
1+N (α)2
Keterangan : n = Ukuran sampel
N = Ukuran populasi
α = Persentase kelonggoran ketidak telitian (presesi) karena
kesalahan pengambilan sampel yang masih ditolerir yaitu
sebesar 5% (α = 0,05)

80
n = = 66.66 atau 70 responden
1+80 (0,05)2

33
3.3.2 Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini yaitu apoteker penanggung jawab dan dokumen
standar pelayanan farmasi klinik di Puskesmas Hulonthalangi Kota
Gorontalo.
3.3.3 Objek Penelitian
Objek dalam penelitian ini adalah pelayanan farmasi klinik di
Puskesmas Hulonthalangi kota Gorontalo.
3.4 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh data atau
informasi yang relevan, reliable dan akurat. Metode yang digunakan
sebagai berikut:
3.4.1 Wawancara
Wawancara dengan kepala puskesmas, apoteker, tenaga teknis
kefarmasian, dan pasien terkait dengan prosedur pelayanan farmasi klinik
yang ada di Puskesmas Hulonthalangi Kota Gorontalo berdasarkan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2016
tentang standar pelayanan kefarmasian di puskesmas.
3.4.2 Kuesioner
Merupakan teknik pengumpulan data yang melalui formulir-
formulir yang berisi seperangkat pertanyaan yang diajukan secara tertulis
pada seseorang atau sekumpulan orang untuk mendapatkan jawaban dan
informasi yang dibutuhkan. Data yang diperoleh dalam penelitian ini
didapatkan langsung dari penelitian kuesioner yang ditujukan kepada
responden. Kuesioner terdiri dari 5 kelompok pertanyaan berstruktur
meliputi bukti fisik (tangibles), kehandalan (reliability), daya tanggap
(responsiveness), jaminan (assurance), empati (emphaty) terhadap
kepuasan pasien di Puskesmas Hulonthalangi Kota Gorontalo. Pada
masing-masing sub kelompok pertanyaan diberkan beberapa pertanyaa,
dimana setiap pertanyaan memeiliki skor jumlah skor dihitung berdasarkan
kategorinya.

34
3.4.2.1 Uji Validitas
Uji validitas digunakan untuk mengukur valid atau tidaknya suatu
kuesioner. Suatu kuesioner dikatakan valid jika pertanyaan pada
kuesioner mampu untuk mengungkapkan suatu yang akan diukur
oleh kuesioner tersebut. Masingmasing item dikatakan valid
apabila r hitung > r tabel (Ahmad w., 2020).
3.4.2.2 Uji Reliabilitas
Reliabilitas digunakan untuk mengukur suatu kuesioner yang
merupakan indikator dari variable. Kuesioner dikatkan realiabel
atau handal jika jawaban seorang terhadap pertanyaan adalah
konsisten atau stabil diukur sekali saja. Reliabilitas instrument
penelitian diuji menggunakan rumus koefesien Cronbach’s Alpha.
Jika koefesien alpha lebih besar dari 0,60 maka dinyatakan
instrument penelitian tersebut reliabel atau handal (Ahmad w.,
2020).
3.5 Skala Pengukuran
Skala merupakan suatu prosedur pemberiaan angka atau simbollain kepada
sejumlah ciri dari suatu obyek agar dapa menyatakan karakteristik angka pada ciri
tersebut (Umar, 2003). Penelitian ini menggunakan skala Likert dalam pemberian
angka untuk menilai bebererapa item pertanyaan dari kuisioner. Skala Likert
adalah skala yang dapat dipergunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan
persepsi seseorang atau sekelompok orang mengenai suatu gejala atau fenomena
(Sugiyono, 2012).
Statement yang dicantumkan dalam skala likert harus mencakup banyak
aspek yang relevan dengan sikap terhadap obyek, Bentuk dan susunan kata dalam
statement tidak boleh rancu atau membingungkan responden. Skala Likert yang
digunakan pada penelitian ini terdapat lima alternative jawaban, yaitu:

35
Tabel 3.1 Kategori Skala Likert
Nilai Kategori
1 Sangat tidak puas
2 Tidak puas
3 Cukup puas
4 Puas
5 Sangat puas

3.6 Variabel dan Definisi Operasional Penelitian


Table 3.2 Variabel dan Definisi Operasional
Variabel Definisi Alat Ukur Parameter Indikator
Operasional
Evaluasi Menilai, mengukur Lembar - Berdasarkan
Pelayana dan memperbaiki pedoman standar
n farmasi serta wawancar pelayanan
klinik membandingkan a unutk farmasi
pelayanan farmasi kepala klinik
klinik dilapangan puskesmas - Berdasarkan
dengan standarnya. , apoteker tingkat
dan tenaga kepuasan
kerja pasien
kefarmasia
n; lembar
kuesioner;
lembar
chek list
pelayanan
farmasi
klinik
untuk
wawancar
a apoteker
Standar Standar pelayanan Lembar SOP Puskesmas Standar

36
Pelayana kefarmasian yang pedoman Hulonthalangi Pelayanan
n Farmasi menjadi tolak ukur wawancar dan hasil Kefarmasian
Klinik untuk dipergunakan a unutk wawancara dalam UU
sebagai pedoman kepala dengan apoteker Permenkes
bagi tenaga puskesmas terkait RI No.74
kefarmasian dalam , apoteker kepatuhan SOP tahun 2016
menyelenggarakan dan tenaga serta hasil dan buku
pelayanan kerja wawancara pedoman
kefarmasian. kefarmasia kepala Good
n; lembar Puskesmas Pharmacy
chek list mengenai Practice
pelayanan standar
farmasi pelayanan
klinik farmasi klinik di
untuk Puskesmas
wawancar Hulonthalangi
a apoteker
Kepuasan Respon evaluative, lembar 1. Bukti 1. Sangat
pasien afektif atau kuesioner Langsung Puas =
emosional yang (Tangibles) 81,255%
terkait denagn Tampilan -100%
mutu pelayanan fisik adalah 2. Puas =
yang diberikan penampilan 61,5%-
puskesmas serta dan 80,25%
harapan terhadap kemampuan 3. Kurang
pelayanan tersebut. sarana dan puas =
prasarana 41,75-
fisik harus 60,5%
diandalkan, 4. Sangat
keadaan tidak
lingkungan puas =

37
sekitarnya <40,75%
adalah bukti
dari
pelayanan
yang
diberikan
oleh pemberri
jasa, seperti
fasilitas fisik,
pelengkapan
pegawai, alat-
alat atau
perlengkapan
yang
digunakan
untuk
menyediakan
layanan,
representasi
fisik dari
layanan, serta
fasilitas-
fasilitas
layanan
lainnya untuk
keperluan
layanan.
2. Kehandalan
(reliability)
Kehandalan
merupakan
38
kemampuan
perusahaan
untuk
memberikan
jasa
pelayanan
yang tepat,
akurat,
berkaitan
dengan
kesiapan
petugas setiap
saat
diperlukan,
serta dapat
dihandalkan.
3. Daya tanggap
(responsivene
ss)
Daya tanggap
adalah suatu
kebijakan
untuk
membantu
dan
memberikan
pelayanan
yang cepat
kepasda
pelanggan,
tidak
39
membiarkan
konsumen
menunggu
tanpa adanya
suatu alasan
yang jelas.
4. Jaminan
(assurance)
Sebuah
jaminan atau
kepastian
mencakup
pemberian
informasi
yang jelas,
keramahan,
kesopanan,
keamanan
dan sifat
dapat
dipercaya
yang dimiliki
para staf yang
dapat
menjaminkan
kinerja yang
baik sehingga
menimbulkan
kepercayaan
dan
keyakinan.
40
5. Empati
(emphaty)
Empati meliputi
kemudahan
dalam
melakukan
hubungan,
komunikasi
yang baik,
memberikan
keadilan pada
setiap pelanggan
dan memahami
kebutuhan
pelanggan.
3.7 Tahap Pengolahan dan Analisis Data
3.7.1 Kuesioner
Sumber data dalam penelitian merupakan faktor yang sangat
penting karena sumber data akan menyangkut kualitas dari hasil
penelitian. Data yang digunakan untuk menyusun proposal ini
menggunakan sumber data antara lain data primer yang dimaksud data
primer adalah data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian (tidak
melalui perantara). Dalam penelitian ini untuk mendapatkan data primer
dapat dilakukan dengan cara penyebaran kuesioner langsung kepada
pasien di Puskesmas Hulonthalangi, data dikumpulkan dalam bentuk
kuesioner dirangkum dan dipadukan selanjutnya diolah dengan tahapan
mberikut :
a. Editing merupakan pemeriksaan secara cermat apakah setiap jawaban
telah dijawab secara lengkap oleh responden.
b. Coding merupakan mengklasifikasikan jawaban dari responden
kedalam kategori-kategori melalui pemberian kode.

41
c. Tabulasi merupakan pembuatan tabel dari jawaban-jawaban yang
diperoleh dengan menghitung frekuensi data dari masing-masing
kategori jawaban dan penyusun tabel frekuensi.
d. Analisis data
Analisis data yang digunakan pada menggunakan rumus CSI
(Customer Satisfiaction Indeks). Customer Satisfiaction Indeks
digunakan untuk mengetahui tingkat kepuasan pengguna jasa sejara
menyeluruh dengan melihat tingkat kinerja dan tingkat kepentingan
dari atribut-atribut jasa pelayanan (Aritonang, 2005).
Analisis data ini terdiri dari 4 tahap yaitu:
1) Menentukan Mean Importance Score (MIS) dan Mean Satisfaction
Score (MSS). Nilai ini berasal dari rata-rata kepentingan
(importance) tiap atribut dan rata-rata kepuasan (satisfaction) tiap
atribut.
n

MIS =
∑ Yi
i=1
n
Dimana:
n = Jumlah Pasien (Responden)
Yi = Nilai Kepentingan Atribut Y ke i
n

∑ Xi
MSS= i=1
n
Dimana:
n = Jumlah Pasien (Responden)
Yi = Nilai Kepuasan Atribut X ke i
2) Menghitung Weight Factors (WF), Bobot ini merupakan persentase
nilai Mean Importance Score (MIS) per atribut terhadap Mean
Importance Score (MIS) seluruh atribut

42
Dimana:
MISi = Mean Importance Score
p = Jumlah atribut
1 = Atribut ke-i
3) Menghitung Weight Score (WS), Bobot ini merupakan perkalian
antara Weight Factors (WF) dengan rata-rata tingkat tingkat
kepuasan (Mean Satisfaction Score/MSS).
WSI = WFi X MSSi
4) Menghitung Customer Satisfaction Index (CSI), nilai CSI diperoleh
dengan menggunakan persamaan:
P

CSI = X 100
HS(5)

HS = Highest Scale (Skala Likert tertinggi yang digunakan 5)


Setelah didapat kan nilai Customer Satisfaction Index (CSI) kemudian
nilai yang didapat dilihat kriteria tingkat kepuasan, sebagai berikut:
Tabel 3.3 Kriteria Tingkat Kepuasan
Nilai (CSI) (%) Keterangan (CSI)
81% - 100% Sangat Puas
66% - 80,99% Puas
51% - 65,99% Cukup Puas
35% - 50,99% Kurang Puas
0 - 34,99% Tidak Puas

3.8 Kriteria Inklusi dan Ekslusi


3.8.1 Kriteria Inklusi
Berikut kriteria inklusi pada penelitian ini antara lain:
1. Laki-laki dan perempuan
2. Usia 17-60 tahun
3. Bisa membaca dan menulis
4. Bersedia menjadi responden
3.8.2 Kriteria Ekslusi
Berikut kriteria inklusi pada penelitian ini antara lain:

43
1. Subjek tidak bersedia mengisi kuesioner

44

Anda mungkin juga menyukai