Anda di halaman 1dari 2

Dinasti Umayyah: Periode Awal (41-64H)

Bani Umayyah adalah kekhalifahan Islam pertama setelah masa Khulafaur Rasyidin yang memerintah
dari 661 M sampai 750 M di Jazirah Arab dan sekitarnya. Diakhir masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib,
umat islam mulai bergejolak sehingga muncul menjadi tiga kekuatan politik yang dominan yaitu  Syiah,
Muawiyah, dan Khawarij. . 

Perintisan dinasti Umayyah dilakukan oleh Muawiyyah dengan cara menolak membaiat Ali, berperang
melawan Ali, dan melakukan perdamaian (tahkim) dengan pihak Ali yang secara politik sangat
menguntungkan Muawiyyah. Setelah kaum Khawarij berhasil membunuh Ali r.a pada tahun 661 M.

Jabatan setelah Ali dipegang oleh putranya Hasan bin Ali selama beberapa bulan. Namun, karena tidak
didukung oleh pasukan yang kuat, sedangkan pihak Muawiyyah kuat akhirnya Muawiyyah membuat
perjanjian dengan Hasan bin Ali, yang berisi bahwa penggantian pemimpin akan diserahkan kepada
umat Islam setelah pemerintahan Muawiyyah berakhir. Perjanjian ini terjadi pada tahun 661 M. (41 H)
Dan tahun itu disebut 'Ammul Jama'ah atau tahun Jama'ah karena perjanjian ini mempersatukan umat
Islam kembali menjadi satu kepemimpinan politik yaitu Muawiyyah.

Dinasti Umayyah berkuasa hampir satu abad, tepatnya selama 90 tahun, dengan empat belas khalifah.
Namun diantara sebagian mereka tidak mampu menjalankan tugasnya sebagai khalifah dengan baik,
bukan hanya lemah tetapi juga memiliki moral yang buruk.

Masa pemerintahan Bani Umayyah terkenal sebagai suatu era agresif, dimana perhatian tertumpu
kepada usaha perluasan wilayah dan penaklukan, yang terhenti sejak zaman Khulafa ar-Rasyidin
terakhir.

Hanya dalam jangka waktu 90 tahun, banyak bangsa di penjuru empat mata angin beramai-ramai masuk
kedalam kekuasaan Islam, yang meliputi tanah Spanyol, seluruh wilayah Afrika Utara, Jazirah Arab,
Suriyah, Palestina, separuh daerah Anatolia, Irak, Persia, Afganistan, India dan negeri-negeri yang
sekarang dinamakan Turkmenistan, Uzbekistan dan Kirgiztan yang termasuk Sovyet Rusia.

Memasuki kekuasaan masa Muawiyah yang menjadi awal kekuasaan Bani Umayyah, pemerintah yang
bersifat demokratis berubah menjadi monarchi heridetis (kerajaan turun temurun). Kekhalifahan
Muawiyah diperoleh dengan kekerasaan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara
terbanyak.

Sukses kepemimpinan secara turun-temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya
untuk meyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Muawiyah mencontoh monarchi di Persia dan
Bizantium. Dia memang menggunakan istilah khalifah, namun dia memberikan interprestasi
(Penafsiran) baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutkan khalifah
Allah dalam pengertian penguasa yang diangkat oleh Allah.
Ibu kota negara dipindahkan Muawiyah dari Madinah ke Damaskus, tempat ia berkuasa menjadi
gubernur sebelumnya. Khalifah-khalifah besar dinasti Bani Umayyah ini adalah

1. Muawiyah bin Abi Sufyan (661-680 M),


2. Abd al-Malik bin Marwan (685-705 M),
3. al-Walid bin Abd Malik (705-715),
4. Umar bin Abdul Aziz (71720 M) dan
5. Hisyam bin Abd al-Malik (724-743 M).

Pada masa pemerintahannya, Bani Umayyah telah banyak membuat kebijakan politik, diantaranya:

Pertama, pemindahan  pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus. Keputusan  ini didasarkan pada
pertimbangan politik dan alasan  keamanan.

Kedua, Muawiyah memberi penghargaan kepada orang-orang  yang  berjasa dalam perjuangannya
mencapai puncak kekuasaan. Seperti Amr bin Ash ia angkat kembali menjadi Gubernur di Mesir, Al-
Mughirah bin Syubah yang diangkat menjadi Gubernur di Persia.

Pada periode awal pemerintahannya sebagai khalifah, ia merumuskan sebuah tujuan yang jelas dalam
pemerintahannya, yaitu menekan pemerintahan Byzantium dengan cara mengepung Konstantinopel,
sekaligus sebagai upaya untuk menguasainya. Dalam mewujudkan tujuannya, Muawiyah menerapkan
beberapa kebijakan penting, antara lain:

1. Memperhatikan peran industri kapal di Mesir, dan Syam, dengan memilih tenaga kompeten
untuk mengerjakan pembuatan kapal. Tentu saja hal ini bertujuan untuk memperkuat angkatan
laut Islam dan mampu mengarungi Laut Mediterania dengan cepat.

2. Memperkuat benteng-benteng pertahanan daerah pesisir Mesir, dan Syam. Hal ini dilakukan
agar daerah-daerah itu mampu menghadapi serangan angkatan laut Byzantium sekaligus
menjadi pangkalan militer angkatan laut Islam.

3. Menguasai pulau-pulau yang terletak di sebelah Timur Laut Mediterania. Rencana ini dimulai
dengan menguasai pulau Siprus, dan Rhodes. Pengembangan kekuasaan ini sebagai langkah
awal untuk mencapai Konstantinopel

Anda mungkin juga menyukai