Anda di halaman 1dari 100

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

UJI DISOLUSI, UJI DIFUSI (in–vitro) DAN


PENETAPAN KADAR TABLET RANITIDIN
GENERIK DAN GENERIK BERMEREK

SKRIPSI

RESHA ADRIANA PUTRI


1112102000099

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
JULI/2016
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

UJI DISOLUSI, UJI DIFUSI (in–vitro) DAN


PENETAPAN KADAR TABLET RANITIDIN
GENERIK DAN GENERIK BERMEREK

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
Farmasi

Resha Adriana Putri


1112102000099

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
JULI/ 2016
iii
ABSTRAK

Nama : Resha Adriana Putri


Program Studi : Farmasi
Judul Skripsi : Uji Disolusi, Uji Difusi (in–vitro) dan Penetapan Kadar
Tablet Ranitidin Generik dan Generik Bermerek.

Ranitidin Hidroklorida adalah obat antagonis reseptor histamin (ARH2) yang


digunakan untuk memblok aksi dari neurotransmitter histamin pada sel parietal
lambung sehingga menurunkan produksi asam lambung. Ranitidin termasuk
Biopharmaceutical Classification System (BCS) kelas III, yaitu kelarutan yang
tinggi tetapi mempunyai permeabilitas yang rendah. Penelitian ini bertujuan untuk
menilai mutu sediaan Tablet Ranitidin yang beredar di Indonesia melalui
penetapan kadar, uji disolusi dan difusi terbanding. Metode pengambilan sampel
yang digunakan adalah Purposive Sample. Sampel yang digunakan berjumlah 4 ,
1 sampel generik, 3 sampel lainnya adalah tablet ranitidin bermerek. Uji disolusi
dan penetapan kadar dilakukan sesuai Farmakope Indonesia IV dianalisis dengan
spektrofotometer UV dan penetapan kadar menggunakan KCKT (Kromatografi
Cair Kinerja Tinggi).Pengujian difusi in-vitro dengan menggunakan dengan Sel
Franz. Hasil uji memiliki mutu dan kualitas yang baik didukung dengan terpenuhi
persen pelepasan obat Q45> 80 + 5 % yaitu inovator, generik,bermerek obat A dan
obat B berturut- turut adalah 99,59% ± 1,288, 100,705% ± 1,183, 94,19% ±1,024
dan 97,278% ± 1,561 dan penetapan kadar tidak kurang dari 90,0% dan tidak
lebih dari 110,0% dari jumlah yang tertera pada etiket yaitu inovator, generik,
obat A dan obat B berturut–turut adalah 98,55% ± 0,578, 102,01% ± 1,364,
93,465% ± 5,041 dan 97,049% ± 3,08. Hasil uji difusi inovator, generik, dan obat
bermerek A dan B adalah 48,287% ± 0,055, 60,168% ± 0,309, 33,796 % ± 0,067
dan 49,418 % ± 0,748. Hasil analisis secara statistik uji disolusi menunjukan
adanya perbedaan bermakna antara sampel uji dan untuk pengujian difusi tablet
tidak terdapat perbedaan bermakna tiap tablet uji dengan signifikansi >0,05,
namun hal ini tidak menurunkan mutu dan kualitas sampel uji.
Kata Kunci : KCKT, Profil Disolusi, Ranitidin Tablet, Sel Franz

v
ABSTRACT

Name : Resha Adriana Putri


Program Study : Farmasi
Title : Dissolution, Diffusion Test (in–vitro) and Assay of
Generic and Branded Generic of Ranitidine Tablet.

Ranitidine hydrochloride is a histamine receptor antagonist drugs (HRA2) which


is used to block the action of the neurotransmitter histamine in the gastric parietal
cells so it can reducing the production of stomach acid. Ranitidine including the
Biopharmaceutical Classification System (BCS) class III, high solubility but has a
low permeability. This study aims to assess the quality of preparations Ranitidine
Tablets are available in Indonesia through the assay, dissolution testing and
diffusion comparison. The sampling method used in this research was purposive
sampling. 1 sample was generic ranitidin, while the other 3 were branded generic
and inovator ranitidin. The dissolution test and the assay performed in accordance
Indonesian Pharmacopoeia IV analyzed by UV and assay uses HPLC (High
Performance Liquid Chromatography). Testing diffusion in-vitro using the Franz
Diffusion Cells. The test results have good quality supported by percent drug
release Q45> 80+5% is an innovator, generic, branded drug A and drug B
respectively is 99.59% ± 1.288, 100.705% ± 1.183, 94.19% ±1.024 and 97.278%
± 1.561 and assay not less than 90.0% and not more than 110,0% of the amount
listed on the label is an innovator, generic, drug A and drug B respectively is
98.55% ± 0.578, 102.01% ± 1.364, 93.465% ± 5.041 dan 97.049% ± 3.08. Result
of difufusion test of inovator, generic and branded generic A dan B is 48.287% ±
0.055, 60.168% ± 0.309, 33.796 % ± 0.067 dan 49.418 % ± 0.748. Results of
statistical analysis of dissolution test showed significant differences between the
test sample and for the diffusion test tablet is not significantly different each
tablets test with a significance of> 0.05, but this does not reduce the quality of the
test sample.

Keyword : Cell Diffusion Franz, Dissolution Profil, HPLC, Ranitidine Tablet

vi
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, rasa syukur serta pujian senantiasa kita haturkan kehadirat


Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta segala
anugerah-Nya berupa kesehatan, pemikiran dan ide sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini, untuk memenuhi salah satu syarat menempuh ujian
akhir guna memperoleh gelar sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehtan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Adapun judul skripsi ini adalah “Uji Disolusi, Uji Difusi
(in–vitro) dan Penetapan Kadar Tablet Ranitidin Generik dan Generik
Bermerek”.

Pada penyelesaian penelitian dan penyusunan skripsi ini, penulis mendapat


bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan rasa
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mengarahkan, yaitu
kepada :

1. Kedua orang tua, ibunda tersayang Relawati dan ayahanda Sudadi, yang
selalu memberikan kasih sayang, doa yang tak pernah putus, semangat serta
dukungan baik moril dan materil.
2. Bapak Drs. Umar Mansur, M.Sc.,Apt selaku pembimbing I dan Supandi,
M.Si.,Apt selaku pembimbing II, yang telah meluangkan waktu, tenaga dan
pikiran serta dengan sabar membimbing dan memberikan saran sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
3. Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Dr.Nurmeilis, M.Si.,Apt selau Ketua Program Studi Farmasi Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
5. Bapak/Ibu Dosen Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta atas ilmu dan
pengetahuan selama penulis menempuh pendidikan.

vii
6. Pihak Dinas Pendidikan Provinsi Riau yang telah memberikan bantuan
beasiswa kepada penulis sehingga dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang
S1.
7. Seluruh Staf labor: Ibu Rani Hesti Ningrum, Kak Lisna, Kak Rahmadi, Kak
Eris, Kak Anis, Kak Walid, Kak Yaenab dan Kak Tiwi, yang selalu membagi
pengetahuan, membantu dan memberikan masukan kepada penulis selama
melakukan penelitian di laboratorium.
8. Kakak dan adik-adikku tersayang Resti Ayu Pratiwi dan Tri Handoyo Adi
Putra serta seluruh keluarga besar atas semangat, pengertian, dukungan dan
doa yang tiada henti kepada penulis.
9. Teman seperjuangan Zaenab Salsabila dan Yunnica Sri Hapsari atas
masukan, bantuan, kesabaran dan semangat selama masa penelitian hingga
penyusunan skripsi.
10. Sahabat-sahabat terbaikku: Elsa, Lilis, Rani, Youlan, Rema, Nufus, Ani atas
kebersamaan dan kesediaanya mendengar keluh kesah penulis.
11. Tulip’s family: Afra, Umay, Uyuy, Eha dan Pipit yang sudah seperti keluarga
kedua dan telah membuat penulis merasa nyaman berada di Ciputat selama
lebih kurang 4 tahun ini.
12. Teman-teman seperjuangan Farmasi angkatan 2012 khususnya kelas BD atas
kebersamaan, serta berbagi suka dan duka selama perkuliahan, terimakasih
atas kebersamaan kita selama 4 tahun ini.
13. Seluruh pihak yang banyak membantu penulis dalam penelitian dan
penyelesaian skripsi baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak
dapat penulis sebutkan satu-persatu.

Semoga Allah SWT membalas kebaikan semua pihak yang telah


membantu. Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih terdapat banyak
kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Penulis mengharapkan kritik dan
saran dari pembaca untuk perbaikan dalam pembuatan skripsi.

Ciputat, 29 Juli 2016

Penulis

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. ii


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................ iv
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................v
ABSTRAK ............................................................................................................ vi
ABSTRACT ......................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS
AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ...............................................x
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................xv

BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................................1


1.1 Latar Belakang .................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................3
1.3 Hipotesa ..................................................................................................3
1.4 Tujuan Penelitian....................................................................................3
1.5 Manfaat Penelitian .................................................................................4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................5


2.1 Ranitidin ..........................................................................................................5
2.2 Sediaan Tablet ................................................................................................6
2.3 Kategori Obat ..................................................................................................7
2.4 Penetapan Kadar ..............................................................................................8
2.4.1 Pengertian Umum KCKT ..................................................................10
2.4.2 Instrumen KCKT ...............................................................................10
2.4.2.1 Wadah Fase Gerak pada KCKT ................................................11
2.4.2.2 Fase Gerak pada KCKT .............................................................11
2.4.2.3 Pompa pada KCKT....................................................................12
2.4.2.4 Penyuntikan Sampel pada KCKT ..............................................13
2.4.2.5 Kolom pada KCKT....................................................................13
2.4.2.6 Fase Diam pada KCKT..............................................................13
2.4.2.7 Detektor pada KCKT ................................................................14
2.4.2.8 Komputer, Integrator atau Rekorder ..........................................14
2.5 Uji Disolusi ..................................................................................................14
2.5.1 Pengertian Disolusi ...........................................................................14
2.5.2 Proses Disolusi .................................................................................15
2.5.3 Metode Uji Disolusi ..........................................................................16
2.5.4 Alat Untuk Uji Disolusi.....................................................................18
2.5.5 Spektrofotometer ...............................................................................18
2.5.5.1 Instrument Spektrofotometer .....................................................17
2.5.5.2 Prinsip Kerja ..............................................................................20

xi
2.5.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Laju Disolusi ...........................20
2.6 Uji Difusi .....................................................................................................22
2.6.1 Definisi Difusi ...................................................................................22
2.6.2 Pengujan Difusi Obat .......................................................................22
2.7 Metode Sampling .........................................................................................26
2.7.1 Definisi Sampel .................................................................................26
2.7.2 Teknik Pengambilan Sampel .............................................................26

BAB 3 METODE PENELITIAN ........................................................................28


3.1 Alur Penelitian .............................................................................................28
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ......................................................................28
3.3 Bahan dan Alat ............................................................................................28
3.3.1 Bahan .................................................................................................28
3.3.2 Alat ....................................................................................................28
3.4 Prosedur Kerja .............................................................................................28
3.4.1 Pemilihan Sampel .............................................................................28
3.4.2 Penentuan Panjang Gelombang .........................................................29
3.4.3 Pembuatan Kurva Kalibrasi .............................................................29
3.4.3.1 Kurva Kalibrasi Penetapan Kadar ...........................................29
3.4.3.2 Kurva Kalibrasi Penetapan Disolusi .......................................30
3.4.3.3Kurva Kalibrasi Penetapan Difusi ................................................. 30
3.4.4 Uji Akurasi ....................................................................................31
3.4.5 Penetapam Kadar Ranitidin Farmakope Indonesia ......................31
3.4.6 Uji Disolusi ...................................................................................32
3.4.7 Uji Difusi ........................................................................................33
3.4.7.1 Uji Difusi Melewati Membran Usus ........................................33
3.4.7.2 Penetapan kadar Cuplikan (Spektrofotometer).........................34
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................35
4.1 Pengambilan Sampel .......................................................................................35
4.2 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Ranitidin HCl.............................36
4.3 Kurva Kalibrasi................................................................................................38
4.4 Penetapan Kadar Sampel..................................................................................38
4.5 Uji Disolusi Sampel.........................................................................................40
4.5.1 Hasil Uji Disolusi..............................................................................40
4.5.2 Analisa Statistik Pelepasan Ranitidin HCl........................................44
4.6 Uji Difusi..........................................................................................................46
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................49
5.1 Kesimpulan…...................................................................................................49
5.2 Saran ........................................................................................................50
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................51
LAMPIRAN..........................................................................................................54

xii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi Pelarut ...................................................................... 11


Tabel 2.2 Fase Diam yang Sering Digunakan pada HPLC ........................ 13
Tabel 4.1 Data Hasil Akurasi 3 Konsentrasi Larutan Baku ....................... 36
Tabel 4.2 Kadar Ranitidin HCl dari Obat Uji ............................................. 36
Tabel 4.3 Data Rata-rata Persen Ranitidin HCl yang Terlepas dari
Keempat Merek Obat) ............................................................... 39
Tabel 4.4 Data Uji Disolusi Menit ke-45 dari Keenam Tablet Uji ............ 39
Tabel 4.5 Hasil Uji Mann-Whitney Data Pelepasan Ranitidin HCl dari
obat Inovator, Generik, Obat A dan Obat B................................ 42
Tabel 4.6 Jumlah Persen Difusi Tablet Ranitidn dari Keempat Merek Uji. 43

xiii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Diagram Blok Sistem KCKT secara umum ............................. 10


Gambar 2.2 Grafik Tiga Koordinat Selektivitas Pelarut ............................. 11
Gambar 2.3 Ilustrasi Skema Proses Disolusi dari Bentuk Sediaan Padat .... 15
Gambar 2.4 Alat Uji Disolusi ....................................................................... 16
Gambar 2.5 Diagram Skematis Spektrofotometer UV-Visible .................... 18
Gambar 2.6 Sel Difusi Sederhana ................................................................ 22
Gambar 2.7 Sel Difusi untuk Permeasi melallui Lapisan Kulit yang
Diisolasi .................................................................................. 22
Gambar 2.8 Franz Diffusion Cells .............................................................. 23
Gambar 4.1 Kurva Hubungan Antara Panjang Gelombang dan Absorbansi
dari Standar Ranitidin HCl dalam Aquadest ........................... 33
Gambar 4.2 Kurva Hubungan Antara Panjang Gelombang dan Absorbansi
dari Standar Ranitidin HCl dalam Dapar Fosfat....................... 34
Gambar 4.3 Profil Disolusi Keempat Merek Obat ....................................... 40
Gambar 4.4 Grafik Persentase Difusi Tablet Ranitidin HCl ....................... 44

xiv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Bagan Alur Penelitian .............................................................. 55


Lampiran 2 Alat Uji Disolusi ...................................................................... 56
Lampiran 3 Spektrofotometer ..................................................................... 56
Lampiran 4 Timbangan Analitik ................................................................. 56
Lampiran 5 pH meter .................................................................................. 57
Lampiran 6 Ultra Sonikator ........................................................................ 57
Lampiran 7 Diffusion Tester ....................................................................... 57
Lampiran 8 Alat Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) ..................... 58
Lampiran 9 Sertifikat Analisis Standar Ranitidin HCl ............................... 59
Lampiran 10 Sertifikat Analisis Metanol Grade HPLC ................................ 60
Lampiran 11 Sertifikat Buffer Natrium Dihidrogen Phosphat ..................... 61
Lampiran 12 Pemilihan Sampel Tablet Ranitidin ........................................ . 62
Lampiran 13 Kurva Kalibrasi Ranitidin HCl dalam Aquadest ..................... 63
Lampiran 14 Kurva Kalibrasi Ranitidin HCl dalam Dapar Fosfat ............... 63
Lampiran 15 Kurva Kalibrasi Ranitidin HCl dalam Fase Gerak Metanol:
ammonium Asetat .................................................................... 64
Lampiran 16 Prosedur Pembuatan Ammonium Asetat 0,1 M, Dapar Fosfat
pH 7,4 dan larutan Induk .......................................................... 64
Lampiran 17 Data Kurva Kalibrasi Ranitidin HCl dalam Aquadest ............ 65
Lampiran 18 Data Kurva Kalibrasi Ranitidin HCl dalam Dapar Fosfat ........ 66
Lampiran 19 Data Kurva Kalibrasi Ranitidin HCl dalam Fase Gerak ......... 66
Lampiran 20 Data Penetapan Kadar dari Keempat Merek Tablet Ranitidin
HCl .......................................................................................... 66
Lampiran 21 Hasil Kromatogram Penetapan Kadar Tablet Uji Ranitidin ... 67
Lampiran 22 Uji Difusi Tablet Ranitidin HCl Inovator, Generik, Obat A
dan Obat B ............................................................................... 69
Lampiran 23 Uji Pelepasan Tablet Salut Ranitidin HCl Inovator ................ 71
Lampiran 24 Uji Pelepasan Tablet Salut Ranitidin HCl Generik ................. 71
Lampiran 25 Uji Pelepasan Tablet Salut Ranitidin HCl Obat A .................. 71
Lampiran 26 Uji Pelepasan Tablet Salut Ranitidin HCl Obat B ................... 72
Lampiran 27 Analisa Statistik Pelepasan Ranitidin HCl dari Tablet Uji ....... 72
Lampiran 28 Analisa Statistik Difusi Ranitidin HCl dari Tablet Uji ............. 81
Lampiran 29 Contoh Perhitungan Penetapan Kadar....................................... 85

xv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ranitidin adalah ARH2 (Antagonis Reseptor Histamin 2). Obat ini
termasuk golongan yang digunakan untuk memblok aksi dari
neurotransmiter histamin pada sel parietal dilambung sehingga
menurunkan produksi asam (Goodman and Gilman, 2002). Baik dokter
umum maupun spesialis akan sering meresepkan obat ini untuk indikasi
ulkus duodenum, ulkus lambung dan hipereksresi gastrointestinal (GI)
patologikal. Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan tahun 2004
terkait dispepsia menempati urutan ke–15 dari 50 penyakit dengan pasien
rawat inap terbanyak di Indonesia dengan proporsi 1,3% dan menempati
urutan ke 35 dari 50 penyakit penyeabab kematian, sehingga dapat
dikatakan penyakit–penyakit yang mengidentifikasikan penggunaan
ranitidin ini prevalensinya cukup tinggi, sehingga penggunaannya juga
cukup tinggi. Berdasarkan survei literatur pada buku ISO (Informasi
Spesialite Obat) tahun 2016 Tablet Ranitidin diproduksi oleh berbagai
pabrik dengan harga yang berbeda–beda sehingga karena hal ini sampel
obat ini dipilih untuk dilakukan pengujian bahwa kualitas tidak berbanding
lurus dengan harga.
Kebijakan Pemerintah menyangkut peningkatan akses obat telah
ditetapkan antara lain dalam Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan (SKN) dan Kebijakan Obat Nasional (KONAS). Dalam upaya
pelayanan kesehatan, ketersediaan obat dalam jenis yang lengkap, jumlah
yang cukup dan terjamin khasiat, aman, dan bermutu dengan harga
terjangkau serta mudah diakses adalah sasaran yang harus dicapai tertuang
dalam keputusan Menteri Kesehatan RI No. 189/Menkes/SK/III/2006. Di
Indonesia telah diberlakukan program JKN atau BPJS, dimana produk
generik berlogo (OGB) adalah obat yang ditargetkan pemerintah untuk
meningkatkan keterjangkauan pelayanan kesehatan bagi masyarakat luas
khususnya dalam hal daya beli obat (Puspitasari, 2006). Menurut

1
2

penelitian Angela, 2015 angka peresepan obat generik pada pasien BPJS
rawat jalan di salah satu RSUP dinyatakan terdapat kenaikan dengan rata–
rata peresepan mencapai 72,82 %. Dari hasil studi tersebut dapat dikatakan
pelayanan program JKN berhasil menekan biaya pengeluaran pasien
terhadap obat khususnya terhadap terapi jangka panjang. Namun, sejalan
dengan ini juga diperlukan publikasi dan informasi mutu obat generik,
karena kurangnya pengetahuan masyarakat seputar obat generik dan obat
paten merupakan salah satu faktor penyebab obat generik dipandang
sebelah mata. Disisi lain pandangan masyarakat yang memandang obat
paten sebagai obat bagus tentu tidak sepenuhnya salah, tetapi menganggap
obat generik sebagai obat kelas bawah dan bermutu rendah ini tidak benar.
Pandangan rendah terhadap obat generik jelas menimbulkan masalah
dalam pelayanan kesehatan di tanah air (Rantetasak K, 2011).
Dalam hal penentuan mutu kualitas obat generik dan bermerek dapat
dinilai dari respon terapetik. Umumnya, produk tablet mengalami suatu
rangkaian proses, meliputi disintegrasi produk obat yang diikuti pelepasan
obat, disolusi obat dalam media aqueous, dan absorpsi melewati membran
sel menuju sirkulasi sistemik dan menimbulkan respon terapetik (Shargel
dan Kanfer, 2005).
Ranitidin Hidroklorida, merupakan salah satu obat yang sangat
mudah larut dalam air dan termasuk Bioclassification System Class (BSC)
III, sehingga memerlukan uji ekivalensi in-vitro. Untuk itu pada penelitian
ini dilakukan uji disolusi terbanding yang merupakan suatu metode fisika
yang penting sebagai parameter dalam pengembangan mutu sediaan obat
yang didasarkan pada pengukuran kecepatan pelepasan dan pelarutan zat
aktif dari sediaannya. Uji disolusi digunakan untuk uji bioavailabilitas
secara in-vitro, karena hasil uji disolusi berhubungan dengan ketersediaan
hayati obat dalam tubuh (Banakar,1992). Uji disolusi terbanding dapat
digunakan untuk memastikan kualitas dan sifat–sifat produk obat dengan
perubahan minor dalam formulasi atau pembuatan setelah izin pemasaran.
Uji difusi juga dibutuhkan untuk memprediksi penyerapan in-vivo
suatu sediaan obat. Terutama untuk obat dengan BCS Class III, meskipun

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


3

kemampuan kelarutannya tinggi tapi tidak dapat menggambarkan bahwa


obat akan memiliki absorbsi yang baik sehingga berdampak terhadap
bioavailabilitas obat. Uji difusi dapat digunakan untuk memperoleh
parameter kinetik transpor obat melalui membran usus (Deferme, 2008).
Selain parameter diatas pada penelitian ini juga membandingkan
kualitas obat generik dan obat bermerek melalui penetapan kadar zat aktif
dimana ketiga parameter ini sesuai dengan panduan Farmakope Indonesia
yang dapat digunakan untuk mengevaluasi sistem pendistribusian obat
yang telah beredar.
Dalam penelitian ini menggunakan tablet ranitidin baik generik dan
obat bermerek yang miliki expired date yang sama dan penarikan sampel
diambil berdasarkan lama penyimpanan produk lebih dari satu 1 tahun di
Apotik.

1.2 Perumusan Masalah


Apakah terdapat perbedaan profil disolusi, difusi dan kadar zat aktif
antara tablet Ranitidin HCl generik dan generik bermerek ?

1.3 Hipotesa
Tidak terdapat perbedaan bermakna antara tablet Ranitidin generik
dan generik bermerek baik dari segi profil disolusi , difusi dan jumlah
kadar zat aktif yang terkandung.

1.4 Tujuan Penelitian


1. Membandingkan kualitas dan mutu tablet ranitidin generik dan
generik bermerek.
2. Menilai perbedaan profil disolusi, difusi dan penetapan kadar
terbanding antar produk uji.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


4

1.5 Manfaat Penelitian


Penelitian ini berdasarkan hasil analisa eksperimental yang
diharapkan:
1. Peningkatan penggunaan obat generik dan sebagai sumber informasi
bagi masyarakat akan kualitas obat generik yang diresepkan.
2. Memberikan informasi kepada dokter, apoteker dan tenaga kesehatan
tentang kualitas tablet generik dan generik bermerek sehingga,
membantu dalam memujudkan program kesehatan yang diselenggaran
oleh pemerintah.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ranitidin (Farmakope IV, 1995)


Struktur Ranitidin :

Sumber: Ditjen POM (1995)

Nama :N [2-[[[5- (dimethylamino) methyl] - 2 -furanyl] methyl]


thio] ethyl]-N'-methyl-2-nitro-1,1-ethenediamine,HCl.
Rumus Molekul : Ranitidin hidroklorida mengandung tidak kurang 97,5%
dan tidak lebih dari 102,0% C13H22N4O3S. HCl, dihitung
terhadap zat yang telah dikeringkan.
Bobot Molekul : 350.87
Pemerian : Serbuk hablur, putih sampai kuning pucat; praktis tidak
berbau; peka terhadap cahaya dan kelembaban.
Titik Lebur : Melebur pada suhu lebih kurang 1400 disertai peruraian.
Polimorfisme : Ranitidin HCl memiliki polimorfisme
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air 1 gr dalam 1,5 mL; cukup
larut dalam etanol 1 gr dalam 6 mL alkohol, dan sukar
larut dalam kloroform.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, dan tidak tembus cahaya.

Ranitidin merupakan obat golongan antagonis reseptor histamin 2


yang bekerja menghambat produksi asam dengan cara berkompetisi secara
reversibel dengan histamin untuk berikatan dengan reseptor histamin 2
pada membran basolateral sel-sel parietal. Obat ini diindikasikan terutama
untuk mempercepat penyembuhan ulser lambung dan duodenal, untuk
pengobatan GERD tanpa komplikasi dan untuk profilaksis ulser stres
(Goodman and Gilman, 2002). Obat ini dapat digunakan sebagai terapi

5
6

swamedikasi untuk gejala mual dan perih akibat gangguan keseimbangan


asam lambung pada orang dewasa atau anak–anak diatas 12 tahun.
Efek antagonis reseptor histamin 2 yang paling menonjol adalah
pada sekresi asam basal, selain itu adalah supresi produksi asam yang
distimulasi oleh makanan, gastrin, hipoglikemia atau stimulasi vagus, yang
walaupun efeknya tidak begitu besar tetapi tetap signifikan. Oleh karena
itu obat–obat ini terutama efektif dalam menekan sekresi asam dimalam
hari (nokturnal), yang menggambarkan aktivitas utama sel parietal basal,
sehingga menjadi terapi tambahan pada refluks esofagus yang menerima
Pompa Proton Inhibitor (PPI) karena pasien tetap memproduksi asam
lambung dimalam hari sehingga akan bermanfaat bila diberikan antagonis
reseptor histamin 2 tambahan dimalam hari (Goodman and Gilman,
2002).
Antagonis reseptor histamin 2 diabsorbsi dengan cepat setelah
pemberian oral, dengan konsentrasi puncak dalam serum dicapai dalam 1
sampai 3 jam. Obat ini hanya sebagian kecil yang terikat dengan protein
yaitu 10-19%. Berdasarkan data pada tahun 2000 dari Wolfie and Sachs,
Ranitidin memiliki ketersediaan hayati 50%, waktu paruh 1,6 hingga 2,4
jam, durasi memberikan efeknya mencapai 8 jam dan potensi relatifnya 5-
10 (Goodman and Gilman, 2002).

2.2 Sediaan Tablet


Tablet adalah sediaan padat mengandung bahan obat dengan atau
tanpa bahan pengisi (Farmakope Indonesia edisi IV (1995) ). Tablet adalah
sediaan padat yang mengandung dosis tungggal dari satu atau lebih zat
aktif (British Pharmacopoiea (2009) ).
Beberapa persyaratan yang harus dimiliki oleh sediaan tablet yang
baik, antara lain :
1. Sifat Fisik Tablet
Penetuan Sifat fisik suatu tablet dapat dinilai melalui uji
keseragaman bobot tablet yang merupakan indikator awal keseragaman
kandungan/ kadar zat aktif. Kedua, uji ukuran tablet, dalam hal ini dilihat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


7

diameter tablet. Ketiga uji kekuatan mekanik tablet dalam hal ini termasuk
kekuatan/ kekerasan tablet, kerapuhan tablet, kekuatan tarik dan brittle
fracture index dan keempat adalah uji waktu hancur tablet dengan
menggunakan instrumen disintegrator tablet (Farmakope Indonesia edisi
IV (1995)).
2. Penetapan Kadar
Penetapan kadar zat aktif bertujuan untuk mengetahui apakah kadar
zat aktif yang terkandung didalam suatu sediaan sesuai dengan yang
tertera pada etiket dan memenuhi syarat seperti yang tertera pada masing-
masing monografi. Bila zat aktif obat tidak memenuhi syarat maka obat
tersebut tidak akan memberikan efek terapi dan juga tidak layak untuk
dikonsumsi (Syamsuni, 2007).
3. Uji Disolusi
Disolusi adalah suatu proses perpindahan molekul obat dari bentuk
padat ke dalam larutan suatu media. Uji ini dimaksudkan untuk
mengetahui banyaknya zat aktif yang terlarut dan memberikan efek terapi
di dalam tubuh. Kecepatan absorbsi obat tergantung pada pemberian yang
dikehendaki dan juga harus dipertimbangkan frekuensi pemberian obat
(Syamsuni, 2007).

2.3 Kategori Obat


Dalam Peraturan Menteri Kesehatan tahun 2010 ada 3 kategori obat
yaitu obat paten, obat generik, obat generik bermerek atau bernama
dagang. Obat paten adalah obat yang masih memiliki hak paten. Obat
generik adalah obat dengan nama resmi Internasional Non Propietary
Names (INN) yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia atau buku
standar lainnya untuk zat berkhasiat yang dikandungnya. Obat generik
bermerek/ bernama dagang adalah obat generik dengan nama dagang yang
menggunakan nama milik produsen obat yang bersangkutan
(Permenkes,2010).
Menurut UU No.14 Tahun 2001 paten adalah hak eksklusif yang
diberikan Negara kepada investor kepada hasil invesinya dibidang

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


8

teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan innesinya


tersebut atau memberikan persetujuann kepada pihak lain untuk
melaksanakannya. Masa berlaku paten di Indonesia adalah 20 tahun.
Selama 20 tahun itu, perusahaan farmasi tersebut memiliki hak ekslusif di
Indonesia untuk memproduksi obat yang dimaksud.
Pada prinsipnya, tidak ada perbedaan dalam hal mutu, khasiat dan
keamanan antara obat generik dengan obat bermerek maupun obat paten
dengan kandungan zat aktif yang sama karena produksi obat generik juga
menerapkan Cara Produksi Obat yang Baik (CPOB), seperti halnya obat
bermerek maupun obat paten. Namun, masyarakat masih memandang
sebelah mata obat generik padahal kualitas dan keamanannya setara
dengan obat bermerek dan obat paten (Kemenkes RI, 2013).
Obat generik dipasarkan dengan harga jauh lebih murah dari obat
paten. Obat generik ini dipasarkan dengan harga jual yang
mengesampingkan biaya penelitian dan pengembangan, studi–studi klinis
dan promosi yang menjadi sebab tingginya harga obat paten. Namun
demikian, disamping obat generik, ada obat generik yang disebut sebagai
obat generik bermerek (branded). Harga jual obat generik bermerek ini
biasanya lebih mahal karena harga tersebut ditentukan oleh kebijakan
perusahaan farmasi yang memproduksinya. Selisih harga ini timbul karena
obat generik bermerek biasanya dikemas lebih memadai dan dilakukannya
promosi yang gencar. Obat generik merupakan pilihan terbaik untuk
mendapatkan obat yang efektif dengan harga yang sesuai dan efisien
(Kemenkes RI, 2013).

2.4 Penetapan Kadar Tablet


Penetapan kadar zat aktif bertujuan untuk mengetahui apakah kadar
zat aktif yang terkandung didalam suatu sediaan sesuai dengan yang
tertera pada etiket dan memenuhi syarat seperti yang tertera pada masing-
masing monografi. Bila zat aktif obat tidak memenuhi syarat maka obat
tersebut tidak akan memberikan efek terapi dan juga tidak layak untuk
dikonsumsi (Farmakope Indonesia IV, 1995)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


9

Penetapan kadar zat aktif ini dapat dilakukan dengan berbagai


macam metode sesuai dengan kriteria dari setiap monografi zat aktif. Pada
penetapan kadar tablet Ranitidin dapat dilakukan dengan :
1. Farmakope Indonesia Edisi Keempat Tahun 1995
Tablet Ranitidin ditetapkan kadar dengan menggunakan Instrumen
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. Dalam metode ini menggunakan Fase
Gerak campuran metanol P-Amonium asetat 0,1 M (70 : 30), sistem
kromatografi yang digunakan dilengkapi dengan detektor UV pada
panjang gelombang 322 nm dan kolom 4,6 nm x 20 cm sampai 30 cm
berisi bahan pengisi L1. Laju alir lebih kurang 2 ml/menit. Larutan Baku
dibuat dengan menimbang ranitidin BPFI dalam fase gerak hingga kadar
lebih kurang 0,112 mg atau setara 0,100 mg per mL. Larutan uji dibuat
dengan menimbang seksama lebih kurang 112 mg dan dimasukan kedalam
labu ukur 100 mL, larutan dan encerkan dengan fase gerak. Masukan 1,0
mL larutan kedalam labu tentukur 10 mL dan encerkan hingga tanda batas
dengan fase gerak. Sampel disuntikkan secara terpisah dengan volume
yang sama (lebih kurang 10 mikroliter).

2. British Pharmacopoeia 2014


Tablet Ranitidin penetapan kadar menggunakan Liquid
Chromatography. Kondisi kromatografi yang digunakan ialah dengan
kolom staintless steel ukuran 10 cm x 4,6 mm yang berisi octadecylsilyl
amorphous organosilica polymer 3,5 mikrometer (C18). Fase geraknya
menggunakan sistem gradien dengan kecepatan alir 1,5 mL per menit
dengan temperatur 35 derajat. Panjang gelombang yang digunakan 230 nm
dengan jumlah injeksi 20 mikroliter. Fase gerak yang digunakan
menggunakan buffer fosfat, fase gerak pertama terdiri dari 2 : 98
asetonitril dan buffer dan fse gerak kedua 22 asetonitril dan 78 buffer.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


10

3. International Jurnal of PharmTech Research Pallavi Salve et,.al


2010
Didalam jurnal ini menawarkan metode estimasi khususnya
penetapan kadar untuk tablet Ranitidin menggunakan metode yang simple
dengan Spektrofotometer Uv-Visible. Instrumen yang digunakan alam
penelitian ini adalah Shimadzu Uv-Visible spektrofotometer model 100
(Japan). Pelarut yang digunakan adalah air destilasi. Tablet uji yang
digunakan adalah 20 tablet yang diserbukan kemudian ditimbang setara
150 mg Ranitidin, kemudian dilarutkan kedalam 100 mL air destilasi.
Hasil campuran disonikasi selama 15 menit dan disaring denagn kertas
whatman 41. Diambil aliquot sebanyak 0,1 mL dan dilarutkan kedalam 10
mL air destilasi untuk mendapatkan konsentrasi uji 15 mcg/mL kemudian
pengukuran kadar dilakukan dengan panjang gelombang 131,5 nm dengan
air destilasi sebagai blanko.
Dalam penelitian ini penetapan kadar Tablet Ranitidin HCl
menggunakan KCKT sesuai prosedur yang terdapat di Farmakope
Indonesia.

2.4.1 Pengertian Umum KCKT


Kromatografi adalah istilah umum unutk berbagai cara pemisahan
berdasarkan partisi cuplikan antara fase yang bergerak, dapat berupa gas
atau zat cair, dan fase diam, dapat berupa zat cair atau zat padat (Johnson,
1991).

2.4.2 Instrumen KCKT


Instrumen KCKT pada dasarnya terdiri atas delapan komponen
pokok yaitu : wadah fase gerak, sistem penghantaran fase gerak, alat unutk
memasukan sampel, kolom, detektor, wadah penampung buangan fase
gerak, tabung penghubung, dan suatu komputer atau integrator atau
perekam.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


11

Gambar 2.1 Diagram Blok Sistem KCKT secara umum.


Sumber : https://www.google.co.id/urlleonardalvint.blogspot.com (sudah dimodifikasi)

2.4.2.1 Wadah fase


Wadah fase gerak harus bersih dan lembam (inert). Wadah yang
dapat digunakan bisa berupa wadah pelarut kosong ataupun labu
laboraturium. Biasanya bervolume 1-2 liter pelarut.

2.4.2.2 Fase Gerak pada KCKT


Fase gerak sebelum digunakan harus di degassing (penghilangan
gas) karena adanya gas akan mengacaukan analisis. Pemilihan fase gerak
harus dengan kemurnian yang tinggi dan lebih baik yang menggunakan
pelarut HPLC grade. Dan sebelum digunakan fase gerak harus disaring
terlebih dahulu untuk memastikan tidak ada pengotor yang bisa
menyebabkan gangguan kecil pada kromatografi (Sudjadi, 2007).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


12

Gambar 2.2 Grafik Tiga Koordinat Slektivitas Pelarut


Sumber : http://pubs.rsc.org/ (sudah dimodifikasi)

Tabel 2.1 Klasifikasi pelarut


Group Pelarut
I Aliphatic eter, teatramethylguanidine, hexamethyl
phosphoric acid amide
II Aliphatic alcohols
III Pyridine derivatives, tetrahydrofuran, amides (except
formamide), glycol ethers, sulfoxides
IV Glycols, benzyl alcohol, acetic acid, formamide
V Methylene chloride, ethyolene chloride
VI Tricresyl phosphate, aliphatic ketones and esters,
polyethers, dioxane, Sulfones, nitriles, propylene
carbonates
VII Aromatic hydrocarbons, halo-subtituted aromatic
hydrocarbon, nitro compounds, aromatic ethers
VIII Fluroalkanol, m-cresol, watre (chloroform)
Sumber : James M. Miller idalam Chromatography Concepts and Contras

2.4.2.3 Pompa pada KCKT


Syarat pompa yang cocok digunakan untuk KCKT adalah pompa
harus inert terhadap fase gerak. Pompa yang digunakan harus mampu
memberikan tekanan sampai 5000 psi dan mampu mengalirkan fase gerak
dengan kecepatan alir 3 mL/ menit. Penggunaan pompa bertujuan untuk

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


13

menjamin proses penghantaran fase gerak berlangsung secara tepat,


reproduksibel, konstan, dan bebas dari gangguan. Ada 2 jenis pompa
dalam KCKT yaitu : pompa dengan tekanan konstan, dan pompa dengan
aliran fase gerak yang konstan, yang lebih sering digunakan adalah pompa
dengan aliran fase gerak yang konstan (Sudjadi, 2007).

2.4.2.4 Penyuntikan Sampel pada KCKT


Sampel diinjeksikan kedalam fase gerak dibawah tekanan menuju
kolom menggunakan alat penyuntik yang terbuat dari tembaga tahan karat
dan katup teflon yang dilengkapi dengan keluk sampel (sampel loop)
internal atau eksternal(Sudjadi, 2007).

2.4.2.5 Kolom pada KCKT


Kolom merupakan jantung dari instrumen HPLC karena proses
pemisahan terjadi disini. Ukuran kolom untuk analisis berkisar antara
panjang 10–25 cm dan diameter dalam 2 hingga 9 mm (Brown and
DeAntonis, 1997). Ada dua jenis kolom pada KCKT yaitu kolom
konvensional dan kolom mikrobor (Sudjadi, 2007).

2.4.2.6 Fase Diam pada KCKT


HPLC hanya beberapa material yang ditemukan untuk digunakan
secara luas sebagai fase diam yaitu silika, polimer sintetis seperti stiren-
divinilbenzen kopolimer, dan beberapa polisakarida. Teori HPLC
mengatakan bahwa semakin kecil diameter maka semakin tinggi efikasi
pemisahan dan tekanan kolom akan meningkat jika panjang kolom
diperkecil.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


14

Tabel 2.2 Fase Diam yang Sering Digunakan pada HPLC


Komposisi Kimia Limit

Silica Larut pada ph > 8


Zirconia
Styrene-divinilbenzen
Polysakarida Compresible
Polimers
Sumber : James M. Miller idalam Chromatography Concepts and Contras

2.4.2.7 Detektor pada KCKT


Detektor pada KCKT dikelompokkan menjadi 2 golongan yaitu:
detektor universal (yang mampu mendeteksi zat secara umum, tidak
bersifat spesifik, dan tidak bersifat selektif) seperti detektor indeks dan
detektor spektrometri massa dan golongan detektor yang spesifik yang
hanya akan mendeteksi analit secara spesifik dan selektif, seperti detektor
UV-Vis, detektor flouresensi, dan elektrokimia (Hamilton dan Sewell,
1997).

2.4.2.8 Komputer, Integrator atau Rekorder


Alat pengumpul data seperti komputer, integrator dan rekorder
dihubungkan ke detektor. Alat ini akan menangkap sinyal elektronik dari
detektor dan memplotkannya kedalam kromatogram sehingga dapat
dievaluasi oleh analis. (Brown dan DeAntonis, 1997).

2.5 Uji Disolusi


Studi disolusi obat memberikan indikasi yang sama dengan
bioavailabilitas obat. (Shargel et al., 2005).
2.5.1 Pengertian Disolusi
Disolusi didefinisikan sebagai proses suatu zat padat masuk kedalam
pelarut menghasilkan suatu larutan. Disolusi merupakan salah satu kontrol
kualitas yang dapat digunakan untuk memprediksi bioavailabilitas, dan
dalam beberapa kasus dapat sebagai pengganti uji klinik untuk menilai

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


15

bioekivalen. Hubungan kecepatan disolusi in–vitro dan bioavailabilitasnya


dirumuskan dalam bentuk IVIVC (in-vitro–in-vivo corelation). Kinetika
uji disolusi in–vitro memberi informasi yang sangat penting untuk
meramalkan availabilitas obat dan efek terapeutiknya secara in–vivo.
Persyaratan uji disolusi pertama sekali dicantumkan dalam NF XIII (1970)
dan USP XVIII (1970) untuk satu macam kapsul dan 13 macam tablet.
Persyaratan yang dimaksud disini bukan hanya persyaratan untuk nilai Q
(jumlah obat yang terlarut dalam waktu yang ditentukan) saja, tetapi juga
termasuk prosedur pengujian, medium disolusi dan peralatan serta
persyaratan pengujiannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses
disolusi tablet, diantaranya kecepatan pengadukan, temperatur pengujian,
viskositas, pH, komposisi medium disolusi, dan ada atau tidaknya bahan
pembasah (Sulaiman, 2007).
Dalam sistem biologi pelarutan obat dalam media ”aqueous”
merupakan suatu bagian penting sebelum kondisi sistemik. Laju pelarutan
obat dengan kelarutan dalam air sangat kecil dari bentuk sediaan padat
yang utuh atau terdisintegrasi dalam saluran cerna sering mengendalikan
laju absorbsi sistemik obat. Absorpsi sistemik suatu obat dari saluran cerna
atau tempat ekstravaskular lain tergantung pada dinding usus, kecepatan
pengosongan lambung, pergerakan saluran cerna dan aliran darah ke
tempat absorpsi (Shargel et al., 2005).

2.5.2 Proses Disolusi Tablet


Bila suatu tablet atau sediaan obat dimasukkan ke dalam beker yang
berisi air atau dimasukkan kedalam saluran cerna (saluran gastrointestin),
obat tersebut mulai masuk kedalam larutan dari bentuk padatnya. Kalau
tablet tersebut tidak dilapisi polimer dan matriks padat maka akan
mengalami disintegrasi menjadi partikel-partikel yang halus.
Disintegrasi merupakan proses obat melarut yang berada dalam
bentuk larutan, harus segera diabsorbsi (terdapat dalam tubuh).
Disintegrasi adalah pecahnya tablet menjadi partikel-partikel kecil atau

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


16

granul. Sedangkan granul atau partikel kecil menjadi partikel halus disebut
deagregasi (Lachman et al., 1994).
Efektifitas dari suatu tablet dalam melepaskan zat aktif untuk
diabsorpsi sistemik bergantung pada laju disintegrasi dari bentuk sediaan
dan deagregasi dari granul-granul tersebut. Tetapi yang biasanya lebih
penting adalah laju disolusi dari obat padat tersebut (Martin et al., 1993).

Gambar 2.3 Ilustrasi Skema Proses Disolusi dari Bentuk Sediaan Padat
Sumber : Wagner, 1971 dalam Biopharmaceutics and Relevant Pharmacokinetics”, First
Edition, Drug Intelligence Publication, Hamilton, Ilinois (sudah dimodifikasi).

2.5.3 Metode Uji Disolusi


Metode untuk menetapkan laju disousi zat aktif dari sediaan menurut
FI IV yakni metode basket dan metode dayung.
a) Metode Basket
Metode ini disebut juga metode Alat 1, pada metode ini menunjukan
suatu upaya membatasi posisi bentuk sediaan untuk memberikan
kemungkinan maksimum suatu antar permukaan solid–cairan yang tetap.
Namun, terdapat kekurangan yaitu kecenderungan zat bergerak
menyumbat kasa basket, sangat peka terhadap gas terlarut dalam media
disolusi, kecepatan aliran yang kurang memadai ketika partikel
meninggalkan basket dan mengapung dalam media dan kesulitan
konstruksi jika diupayakan metode yang diotomatisasi (Siregar ,2010).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


17

b) Metode Dayung
Metode ini disebut juga metode Alat 2, yang pada dasarnya terdiri
atas batang dan daun pengaduk yang merupakan dayung berputar dengan
dimensi tertentu sesuai dengan radius bagian dalam labu dengan dasar
bundar. Metode ini dapat mengatasi berbagai kekurangan dari Alat tipe 1
dan dapat pula untuk diterapkan sistem automatisasi (Siregar, 2010).

a) b)
Gambar 2.4 Alat Uji Disolusi
Sumber : Journal of Applied Pharmaceutical Science 01 (03); 2011: 50-56

Metode uji disolusi untuk Tablet Ranitidin terdapat beberapa


sumber, diantaranya yaitu:
1. U.S. Pharmacopeial Convention 2006
Uji disolusi untuk tablet Ranitidin terdapat dua metode yaitu USP
aparatus 2 (paddle) dan USP aparatus 3 (Bio-Dis). Tablet Rantidin yang
diuji dengan USP aparatus 2 dilakukan dalam 900 mL medium disolusi
dalam hal ini aquadest dengan kecepatan putar 50 rpm dengan temperatur
37 ±0,5 0C. Pengambilan sampel dilakukan pada menit 5, 10,15, 30, 45,
dan 60 dalam pengambilam diambil sebanyak 4 mL, kemudian sampel
yang diambil disaring dengan saringan 0,45 mikrometer. Metode kedua
yaitu dengan USP aparatus 3 dilakukan dalam 250 mL medium disolusi
dengan temperatur 37 ±0,5 0C. Ukuran mesh yang digunakan untuk bagian
atas dan bawah adalah 420 oleh Rohrd et,.al. USP aparatus 2 medium
disolusi untuk ranitidin tablet adalah aquadest. Agitasi yang digunakan
dalam tube adalah 5, 15 dan 25 dpm. Pengambilan sampel sebanyak 4 mL
pada menit ke 5, 10, 15, 30, 45 dan 60. Dan disaring dengan membran
filter 0,45 mikrometer.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


18

2. Farmakope Indonesia Edisi IV 1995


Prosedur penetapan jumlah ranitidin yang terlarut (disolusi) dengan
mengukur filtrat larutan uji yang menggunakan medium disolusi 900 mL
air, dengan alat tipe 2 dan kecepatan adukan 50 rpm selama 45 menit.
Larutan filtrat yang diambil jika perlu diencerkan dengan air dan ukur
serapan larutan baku Ranitidin Hidroklorida BPFI dalam media yang sama
pada panjang gelombang serapan maksimum lebih kurang 314 nm.
Toleransi dalam waktu 45 menit harus tidak kurang dari 80% (Q) dari
jumlah yang tertera pada etiket.

2.5.4 Alat untuk Uji Disolusi


Alat utama yang digunakan untuk penetapan laju disolusi zat aktif
dari sediaanya terdiri atas dua jenis, yakni :
a) Alat Pendisolusi Zat Aktif, adalah alat untuk melepaskan dan
melarutkan zat aktif dalam media. Alat ini disebut alat uji
disolusi.
b) Alat Untuk Analisa Konsentrasi Zat Aktif, setelah zat aktif
terlarut dalam medium disolusi kemudian diambil sampelnya
pada beberapa titik waktu yang telah ditetapkan atau pada satu
titik waktu seperti uji disolusi pada umumnya di Farmakope
Indonesia Edisi IV. Metode ini disebut metode disolusi satu
titik. Dalam Farmakope Indonesia Edisi IV, alat analisis yang
digunakan adalah spektrofotomoter, spektrofluometer atau
kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) (Siregar, 2010)

2.5.5 Spektrofotometer (Sudjadi. 2007)


Spektrofotometer UV-Visible adalah alat yang umum digunakan di
laboraturium kimia. Alat ini biasanya digunakan untuk analisa kimia
kuantitatif, namun dapat juga digunakan untuk analisa kimia semi
kualitatif.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


19

2.5.5.1 Instument Spektrofotometer


Spektrofotometer adalah alat yang terdiri dari spektrometer dan
fotometer. Spektrometer menghasilkan sinar dengan panjang gelombang
tertentu dan fotometer mengukur intensitas sinar. Suatu spektrofotometer
tersusun dari sumber spektrum yang kontinyu, monokromator, sel
pengabsorbsi untuk sampel serta blanko dan suatu alat untuk mengukur
perbedaan absorbsi antara sampel dengan balnko tersebut.

Gambar 2.5 .Diagram Skematis Spektrofotometer UV-Visible


Sumber : https://wanibesak.wordpress.com

Komponen–komponen meliputi sumber–sumber sinar,


monokromator dan sistem optik, yaitu:
a) Sumber–sumber lampu; lampu deuterium digunakan untuk daerah
UV pada panjang gelombang dari 190–350 nm, sementara lampu
halogen kuarsa atau lampu tungsten digunakan untuk daerah visibel
(pada panjang gelombang antar 350–900 nm)
b) Monokromator, digunakan untuk mendispersikan sinar kedalam
komponen–komponen panjang gelombangnya yang selanjutnya
akan dipilih oleh celah (slit). Monokromator berputar sedemikian
rupa sehinga kisaran panjang gelombang dilewatkan pada sampel.
c) Optik–optik, dapat didesain untuk memecahkan sumber sinar
sehingga sumber sinar melewati 2 kompartemen, dan sebagaimana
dalam spektrofotometer berkas ganda (double beam), suatu larutan
blanko dapat digunakan dalam suatu kompartemen untuk
mengkoreksi pembacaan atau spektrum sampel, yang paling sering
digunakan sebagai blanko dalam spektrofotometri adalah semua
pelarut yang digunakan untuk melarutkan sampel atau pereaksi.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


20

2.5.5.2 Prinsip Kerja


Prinsip kerja Spektrofotometer UV-Visible berdasarkan pada
fenomena penyerapan sinar oleh spesi kimia tertentu di daerah ultra
lembayung (ultra violet) dan sinar tampak (visible).
Interaksi radiasi dengan suatu spesi dapat berupa penyerapan
(absorbsi), pemendaran (luminesensi), pancaran (emisi) dan
penghamburan (scattering), tergantung pada sifat materi. Pada
spektrofotometri UV-Vis, interaksi yang diamati adalah adanya absorbsi
pada panjang gelombang tertentu didaerah Uv-Vis, oleh spesi kimia yang
dianalisa.
Persamaan yang digunakan yaitu Lambert dan Beer: A = a.b.c
Nilai absorban (A) berbanding lurus terhadap konsentrasi analit (c).
Besaran a adalah suatu konstanta, sehingga jika tebal sel (b) dibuat konstan
maka nilai absorban (A) hanya bergantung pada c. Jika nilai A dialurkan
terhadap nilai c maka sesuai persamaan diatas akan diperoleh kurva
berbentuk suatu garis lurus yang disebut kurva kalibrasi.

2.5.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Laju Disolusi


1) Faktor Fisika yang Berpengaruh pada Uji Pelarutan In-vitro
a) Pengadukan, kondisi pengadukan akan sangat berpengaruh pada
kecepatan disolusi yang dikontrol difusi dengan ketebalan lapisan
difusi berbanding terbalik pada kecepatan putaran pengadukan.
Kecepatan pengadukan mempunyai hubungan dengan tetapan
kecepatan disolusi (Shargel et al, 2005).
b) Suhu, umumnya semakin tinggi suhu medium akan semakin
banyak zat aktif yang terlarut. Suhu medium dalam percobaan harus
dikendalikan pada keadaan yang konstan umumnya dilakukan pada
suhu 37oC, sesuai dengan suhu tubuh manusia. Adanya kenaikan suhu
selain dapat meningkatkan gradien konsentrasi juga akan
meningkatkan tetapan difusi, sehingga akan menaikkan kecepatan
disolusi (Shargel et al., 2005).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


21

c) Medium Kelarutan, sifat medium larutan akan mempengaruhi uji


pelarutan. Medium larutan hendaknya tidak jenuh obat. Medium yang
terbaik merupakan persoalan tersendiri dalam penelitian. Beberapa
peneliti telah menggunakan cairan lambung yang diencerkan, HCL 0,1
N, dapar fosfat, cairan lambung tiruan, air dan cairan usus tiruan
tergantung dari sifat produk obat dan lokasi dalam saluran pencernaan
dan perkiraan obat yang akan terlarut (Shargel et al., 2005).
d) Wadah, ukuran dan bentuk dapat mempengaruhi laju dan tingkat
kelarutan. Untuk mengamati kemaknaan dari obat yang sangat tidak
larut dalam air mungkin perlu wadah berkapasitas besar (Shargel et
al., 2005).
e) Vibrasi, vibrasi torsional adalah variasi berkala dari rpm dalam
batas kecil dan merupakan masalah dini dalam motor pengaduk.
Vibrasi ini dapat menyebabkan perubahan dalam pola aliran media
disolusi. Selain itu juga dapat memasukkan energi yang tidak
dikehendaki pada sistem dinamik dimana keduanya mengakibatkan
perubahan dalam laju disolusi. Adanya vibrasi eksternal yang
merupakan suatu variabel eksternal yang secara serius dapat
mengubah data setiap sistem disolusi. Farmakope Indonesia IV
menyatakan bahwa bagian dari alat, termasuk lingkungan tempat alat
diletakan tidak dapat memberikan getaran, goncangan atau getaran
signifikan yang melebihi gerakan akibat putaran alat pengaduk
(Siregar, 2010).
2) Faktor yang Berkaitan dengan Sifat Fisikokimia Obat
Sifat–sifat fisikokimia dari obat yang mempengaruhi laju
disolusi meliputi kelarutan, bentuk kristal, bentuk hidrat solvasi dan
kompleksasi serta ukuran partikel. Sifat–sifat fisikokimia lain seperti
kekentalan serta keterbatasan atau berperan pada permasalahan yang
umum pada disolusi dalam hal terbentuknya flokulasi dan
aglomerasi (Wagner, 1971).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


22

3) Faktor yang Berkaitan dengan Formulasi Sediaan


Formulasi sediaan berkaitan dengan bentuk sediaan, bahan
pembantu dan cara pengolahan (prossesing). Pengaruh bentuk
sediaan pada laju disolusi tergantung pada kecepatan pelepasan
bahan aktif yang terkandung didalamnya. Secara umum laju disolusi
akan menurun menurut urutan sebagai berikut: suspensi, kapsul,
tablet, dan tablet salut. Secara teoritis disolusi bermacam sediaan
padat tidak selalu urutan dan masalahnya sama, karena di antara
masing-masing bentuk sediaan padat tersebut akan ada perbedaan
baik ditinjau dari segi teori maupun peralatan uji disolusi (Wagner,
1971).

2.6 Uji Difusi Tablet


2.6.1 Definsi Difusi
Difusi bebas atau transpor pasif suatu zat melalui cairan, zat padat,
atau melalui membran adalah salah satu proses yang sangat penting dalam
ilmu farmasi (Martin,1983).
Difusi didefinisikan sebagai suatu proses perpindahan massa
molekul suatu zat yang dibawa oleh gerakan molekuler secara acak dan
berhubungan dengan adanya perbedaan konsentrasi aliran molekul melalui
suatu batas, misalnya suatu membran polimer, merupakan suatu cara yang
mudah untuk menyelidiki proses difusi (Martin, 1983).

2.6.2 Pengujian Difusi Obat


Metode uji difusi ini menerapkan hukum Fick, Menurut hukum Fick
I, molekul obat berdifusi dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah.

J=

J atau fluks menggambarkan jumlah obat yang melewati suatu


membran tiap satu satuan luas pada waktu tertentu. Besarnya fluks
berbanding lurus dengan gradien kadar dC/dx dan koefisien difusi obat
dalam membran, D.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


23

J=-D

Tanda negatif pada persamaan menggambarkan bahwa proses difusi


terjadi dalam arah yang berlawanan dengan kenaikan konsentrasi, yang
mana D diketahui sebagai koefisien difusi (satuan = cm2/det). Koefisien
difusi adalah ukuran laju permeabilitas dari molekul melintasi suatu area.
Jadi difusi terjadi dalam arah penurunan konsentrasi difusan. Difusi akan
berhenti jika tidak terdapat lagi gradien konsentrasi.
Sejumlah metode percobaan dan bejana difusi telah banyak
dilaporkan dalam pustaka. Salah satunya adalah bejana difusi dengan
konstruksi sederhana, ini salah satu metode uji yang terbaik untuk
penelitian difusi. Alat ini terbuat dari gelas, plastik tembus pandang, atau
bahan polimer, mudah dirakit dan dibersihkan, dan dapat memungkinkan
untuk melihat cairan, bisa juga dilengkapi pengaduk berputar. Pada alat ini
terdapat dua kompartemen yaitu donor dan reseptor yang disekat oleh
membran. Sampel diambil dibagian kompartemen reseptor dan ditetapkan
kadarnya menggunakan metode analitik seperti KCKT, Spektrofotometer
UV, florometri atau massa dibawah kondisi yang terkendali (Sinco, 2006)

Gambar 2.6 Sel difusi sederhana


Sumber : Buku Martin Farmasi Fisika dan Ilmu Farmasetika Ed V : 2006, hal : 394

Biber dan Rhodes mengembangkan metode 3 kompartemen Plexigas


untuk digunakan dengan membran sintetik maupun membran biologis
terisolasi. Obat dibiarkan agar berdifusi dari kedua kompartemen donor ke
reseptor.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


24

Gambar 2.7 sel difusi unutk permeasi melaui laisan kulit yang diisolasi.
Sumber : Buku Martin Farmasi Fisika dan Ilmu Farmasetika Ed V : 2006, hal : 395

Uji difusi secara in–vitro dilakukan untuk mengetahui profil difusi


dari suatu produk obat. Uji difusi ini dapat digunakan untuk memperoleh
parameter kinetik transpor obat melalui membran usus, serta mempelajari
pengaruh bahan obat terhadap profil transpor obat (Deferme, 2008).
Menurut buku Jennifer tahun 2000, dikatakan bahwa untuk pengujian
kemampuan absorbsi obat oral secara in-vitro terdapat 3 metode yaitu
dengan Franz Diffusion Cells, Flow-through dan Ussing Chamber.
Dalam penelitian ini menggunakan Franz Diffusion Cells, metode
pengujian transport dengan sel difusi tipe vertikal mempunyai beberapa
keuntungan dibandingkan tipe side by side yaitu membutuhkan volume
kompartemen donor yang lebih kecil, membutuhkan luas membran
transport lebih kecil, dan kemungkinan kebocoran membran kulit asli lebih
kecil, sedangkan kerugiannya adalah tidak adanya pengadukan di
kompartemen donor dan pengadukan di kompartemen reseptor kadang-
kadang kurang homogen.

Gambar 2.8. Franz Diffusion Cells

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


25

Sumber : http://www.particlesciences.com/ (sudah dimodifikasi)


Metode yang paling umum menggunakan desain ruang terbuka
seperti sistem sel difusi Franz dan dapat digunakan dengan membran
sintetik, suatu konstruksi jaringan, atau sampel biologis, seperti kulit
mayat. Membran memisahkan kompartemen donor yang berisi produk uji
dari kompartemen reseptor diisi dengan media aseptor. Fosfat Buffered
Saline (PBS) cenderung medium aseptor pilihan pertama, meskipun
mungkin tidak selalu memenuhi persyaratan untuk metode in–vitro
(Tecnical Brief, 2009).
Untuk medium aseptor dapat digunakan dapar–air untuk obat yang
larut air seperti PBS atau media hidro–alkohol seperti isopropanol. PBS
50:50 untuk obat yang kurang larut air (Tecnical Brief, 2009).
Dalam studi permeasi in–vitro menggunakan jaringan usus hewan
yang dipotong, dimana membran usus ini akan ditempatkan antar
kompartemen donor dan reseptor. Menurut penelitian, Devendra yang
menggunakan Franz Diffusion Cells dalam evaluasi tablet thiocolchicoside
mengatakan bahwa daerah efektif epitel usus adalah 1,54 cm2. Kemudian
untuk media transportasi adalah Hank’s Balanced Salt Solution buffer pH
7,4. Kemudian larutan sampel sebanyak 2,5 mL (2mg/mL) ditempatkan
dikompartemen donor dan 18,5 mL buffer diisi ke dalam kompartemen
akseptor. Media akseptor terus–menerus diaduk dan percobaan dilakukan
pada suhu 370C. Sampel yang telah diambil secara berkala, namun tetap
harus mempertahankan volume kompartemen akseptor dengan menambah
media yang baru.
Dalam pengujian profil absorbsi obat ini jika hasil dari obat yang
melewati membran kurang dari 20% maka dapat dikatakan obat tersebut
termasuk kelompok low absorbstion, jika lebih dari 80% maka obat
tersebut termasuk kelompok dengan good absorbtion dan jika obat berapa
pada range 20-80% maka termasuk kelompok obat dengan intermediet
absorbtion (Jennifer, 2000).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


26

2.7 Metode Sampling


2.7.1 Definisi Sampel
Sampel adalah bagian (subset) dari populasi yang dipilih dengan cara
tertentu hingga dianggap dapat mewakili populasinya (Sastroasmoro,
2008)
2.7.2 Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel dibagi atas 2 kelompok besar, yaitu:
1. “Probability Sampling”
Prinsip probability sampling adalah bahwa setiap subjek dalam
populasi (terjangkau) mempunyai kesempatan yang sama untuk terpilih
atau untuk tidak terpilih sebagai sampel penelitian.
Jenis probability sampling yaitu:
- Sampel Random Sederhana
- Sample Random Sitemik, ditentukan bahwa dari seluruh subjek yang
dapat dipilih, setiap subjek nomor kesekian dipilih sebagai sampel.
- Sampel Random Strata, populasi dibagi strata–strata (sub–populasi),
kemudian pengambilan sampel dilakukan dalam setiap strata baik secara
simple random, variabel yang sering digunakan (umur, ras, jenis kelamin).
- Sampel Clauster, yaitu sistem penarikan sampel secara acak pada
kelompok individu dalam populasi yang terjadi secara alamiah, misal
berdasarkan wilayah (kota, kecamatan, kelurahan).
2. Non-Propabiliti Sampling
Definisi Non-probability Sampling adalah teknik pengambilan
sampel yang tidak memberi peluang atau kesempatan sama bagi setiap
unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel. Teknik
Sampling Nonprobality ini meliputi : Sampling Sistematis, Sampling
Kuota, Sampling Insidental, Purposive Sampling, Sampling Jenuh, dan
Snowball Sampling.
1. Sampling Sistematis, pengertian Sampling
Sistematis adalah teknik pengambilan sampel berdasarkan
urutan dari anggota populasi yang telah diberi nomor urut.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


27

2. Sampling Kuota, pengertian Sampling Kuota adalah teknik untuk


menentukan sampel dari populasi yang mempunyai ciri-ciri tertentu
sampai jumlah kuota yang diinginkan.
3. Sampling Insidental, pengertian Sampling Insidental adalah teknik
penentuan sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja atau apa saja
yang secara kebetulan atau insidental dapat digunakan sebagai sampel, bila
dipandang cocok sebagai sumber data.
4. Purposive Sampling, pengertian Purposive Sampling adalah teknik
penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Sampel digunakan
untuk penelitian kualitatif atau penelitian yang tidak melakukan
generalisasi.
5. Sampling Jenuh (Sensus), pengertian Sampling Jenuh teknik
penentuan sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel.
Hal ini sering dilakukan bila jumlah populasi relatif kecil, kurang dari 30
orang, atau penelitian yang ingin membuat generalisasi dengan kesalahan
yang sangat kecil.
6. Snowball Sampling, pengertian Snowball Sampling adalah teknik
penentuan sampel yang mula–mula jumlahnya kecil, kemudian
membesar. Dalam penentuan sampel, pertama–tama dipilih satu atau dua
sampel, tetapi belum lengkap terhadap data yang diberikan, maka peneliti
mencari sampel lain yang dipandang lebih tahu dan dapat melengkapi data
yang diberikan oleh dua sampel sebelumnya.
Dalam penelitian ini pemilihan sample dilakukan dengan metode
purposive sampling , dimana sampel dikelompokkan menjadi 3 yaitu
generik 1 sample yang sering diresepkan , generik bermerek 2 sampel dan
inovator. Setiap sampel dipilih berdasarkan no bacht dan tanggal expired
date yang mendekati sama serta didukung dengan informasi produk yang
banyak beredar dipasaran sehingga mendapatkan produk yang sering
digunakan oleh masyarakat.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Alur Penelitian (lampiran)


3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Peneltian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia Medisinal,


Laboratorium Penelitian I, Laboraturium Penelitian II dan Laboraturium
Penelitian Sediaan Padat Program Studi Farmasi FKIK Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada bulan April hingga Juli 2016.

3.3 Bahan dan Alat


3.3.1 Bahan
Ranitidin Baku Pembanding (Saraca Laboratories Limited-India),
Tablet Ranitidin Generik, Tablet Ranitidin Bermerek aquadest, aquabidest,
Amonium-asetat P 0,1 M, metanol for HPLC (Merck), dan PBS (Phosphat
Buffer Saline) (pH-7.4).

3.3.2 Alat
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (Ultramate 3000 Dionex) yang
terdiri dari pompa, autosampler, kolom, detektor, dan program kompter
PC, Spektrofotometer (Hitachi U-2910), disolusion tester (Erweka) ,
timbangan analitik (KERN ACJ/AC5) , alat–alat gelas, mikropipet, pH meter
(Navi), termometer, sonikator (Elmasonic), vakum, labu tentukur, pipet
tetes, syringe dan filter.
3.4 Prosedur Kerja
3.4.1 Pemilihan Sampel
Sampel obat yang dilakukan penelitian adalah tablet Ranitidin yang
diambil di apotek yang ditemukan dibeberapa apotek dengan masa expired
date yang mendekati sama atau dalam jangka waktu yang lebih dari satu
tahun dan dalam batch yang sama tiap sampel uji, sehingga dapat
meminimalisir faktor kesalahan luar yang dapat menurunkan mutu obat.

28
29

Untuk sampel uji yang digunakan dibagi menjadi 3 kelompok yaitu


produk inovator, generik, generik bermerek. Obat inovator adalah obat
yang merupakan obat paten dari tablet Ranitidin HCl yaitu Zantac (Glaxo
Smithkline) yang sekarang menjadi Tablet generik bermerek PMA di
Indonesia, tablet generik adalah tablet yang dengan nama resmi yang
ditetapkan di buku standar dalam penelitian ini menggunakan Ranitidin
HCl (SOHO), tablet generik bermerek atau bernama dagang adalah obat
yang menggunakan nama milik produsen obat yang mengeluarkan dalam
penelitian ini menggunakan 2 tablet generik bermerek yaitu tablet A
(Ulceranin, Otto) dan tablet B (Rantin, Kalbe Farma).

Keterangan Kemasan Bacht Expired Harga


Date
Inovator Strip 749E15 Mei Rp.150.000 /40 tab
2017
Generik Strip 46J4114 Jan Rp. 19.091/ 100
2018 tab
Bermerek A Strip 4C6660 Sep Rp.20.000 /40 tab
2017
Bermerek B Strip 32B390 Agt Rp.180.000 /40 tab
2017

3.4.2 Penentuan Panjang Gelombang


Sebanyak 100 mg Ranitidin Baku dilarutkan kedalam 100 ml
aquadest. Kemudian disaring dan diencerkan hingga diperoleh konsentrasi
akhir 10 µg per ml. Larutan akhir di scan dengan spektrofotometri pada
panjang gelombang 200–800 nm dengan aquadest sebagai blanko.

3.4.3 Pembuatan Kurva Kalibrasi


3.4.3.1 Kurva Kalibrasi Penetepan Kadar
Penyiapan sampel untuk penentuan panjang gelombang dilakukan
pengenceran dengan beberapa konsentrasi sehingga diperoleh konsentrasi
dengan kisaran 20–120 mcg/ml (20, 40, 60, 80, 100, dan 120 mcg/mL)
Ranitidin dalam fase gerak metanol : P–amonium asetat 0,1 M (70:30)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


30

hingga garis tanda kemudian masing–masing konsentrasi diinjeksikan ke


KCKT dengan 20 µL, dan kecepatan alir 2 mL/ menit dan diukur dengan
panjang gelombang 322 nm.
Setelah itu dianalisis regresi perbandingan luas puncak terhadap
konsentrasi Ranitidin dari masing–masing konsentrasi dan dibuat kurva
kalibrasi dengan persamaan garis regresi linier (y = a + bx). Dihitung
koefisien korelasi (R) dari kurva tersebut.

3.4.3.2 Kurva Kalibrasi Disolusi


Penyiapan sampel untuk penentuan panjang gelombang dilakukan
pengenceran dengan beberapa konsentrasi sehingga diperoleh konsentrasi
dengan range 0 - 25 mcg/ml (0, 5, 10, 15, 20 dan 25 mcg/mL) Ranitidine
dalam medium disolusi yaitu aquadest. Setelah dibuat seri konsentrasi
maka langsung diukur absorbansi disetiap konsentrasi dengan
Spektrofotometer UV-Visible.
Setelah itu dianalisis besarnya serapan dibandingkan konsentrasi
Ranitidin dari masing - masing pengenceran konsentrasi dan dibuat kurva
kalibrasi dengan persamaan garis regresi linier (y = a + bx). Dihitung
koefisien korelasi (R) dari kurva tersebut.

3.4.3.3 Kurva Kalibrasi Difusi


Penyiapan sampel untuk penentuan panjang gelombang dilakukan
pengenceran dengan beberapa konsentrasi sehingga diperoleh konsentrasi
dengan kisaran 20–25 mcg/ml (0, 5, 10, 15, 20 dan 25 mcg/mL) Ranitidin
dalam medium kompartemen reseptor yang digunakan yaitu dapar fosfat
pH 7,4. Setelah dibikin seri konsentrasi maka langsung diukur absorbansi
disetiap konsentrasi dengan Spektrofotometer UV-Visible. Setelah itu
dianalisis besarnya serapan dibandingkan konsentrasi Ranitidin dari
masing–masing pengenceran konsentrasi dan dibuat kurva kalibrasi
dengan persamaan garis regresi linier (y = a + bx). Dihitung koefisien
korelasi (R) dari kurva tersebut.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


31

3.4.4 Uji Akurasi


Larutan Ranitidin dengan 3 konsentrasi disuntikan 20 µg/ml ke
KCKT, diulangi sebanyak tiga kali. 3 konsentrasi yang dipilih adalah
konsentrasi terendah, sedang dan tinggi (50, 70, 90 ppm) dari kurva
kalibrasi. Nilai dihitung perolehan kembali dari masing-masing
konsentrasi dan nilai perolehan kembali dihitung dengan cara
membandingkan konsentrasi yang didapat dengan konsentrasi yang
sebenarnya dikalikan dengan 100% (Farmakope Indonesia Ed.IV, 1995).

3.4.5 Penetapan Kadar Tablet Ranitidin (Farmakope Indonesia IV, 1995)

Penetapan kadar dilakukan dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi


(KCKT).

Kondisi Optimum KCKT, kondisi optimum yang digunakan untuk


menganalisa Zat Aktif Ranitidin sebagai berikut: (Farmakope Indonesia
IV, 1995)

Pembuatan fase gerak, dibuat dengan campuran metanol P-amonium


asetat 0,1 M (70:30), saring dan awudarakan larutan ini sebelum
digunakan. Pembuatan dapar amonium asetat 0,1 M dilakukan dengan
melarutkan amonium asetat 1,7089 gr kedalam 1000 mL aquadest aduk
hingga homogen.

Pembuatan Larutan Baku, ditimbang seksama sejumlah Ranitidin HCl


BPFI larutkan dalam fase gerak, jika perlu diencerkan bertahap dengan
fase gerak hingga kadar lebih kurang 0,112 mg (setara dengan 0,100 mg
ranitidin basa) per ml.

Pembuatan Larutan Uji, masukan 10 tablet ke dalam 250 ml fase gerak.


Kocok dan campur sampai tablet hancur sempurna dan kemudian disaring,
setlah itu dilakukan pengenceran bertahap dan kuantitatif dengan fase

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


32

gerak hingga diperoleh larutan dengan kadar yang sama dengan larutan
baku.

Pengaturan sistem Kromatografi, Kromatograf cair kinerja tinggi


dilengkapi dengan detektor 322 nm dan kolom 4,6 mm x 20 cm sampai 30
cm berisi bahan pengisi L1. Laju alir lebih kurang 2 ml per menit.
Kromatografi dilakukan terhadap Larutan baku, kemudian direkam
kromatogram dan diukur respons puncak seperti tertera pada Prosedur:
faktor ikutan puncak ranitidin hidroklorida tidak lebih dari 2,0 jumlah
lempeng teoritis ditentukan dari puncak ranitidin hidroklorida tidak kurang
700 dan simbangan baku relatif pada penyuntikan ulang tidak lebih 2 %.

Prosedur Suntikan secara terpisah sejumlah volume sama (lebih kurang 10


µl) Larutan baku dan Larutan uji ke dalam kromatograf, rekam
kromatogram dan ukur respons puncak utama.

3.4.6 Uji Disolusi Tablet Ranitidin (Farmakope Indonesia, IV 2014)


Berdasarkan Farmakope Indonesia IV metode dayung berputar
digunakan untuk mempelajari pelepasan obat dari Tablet Ranitidin HCl.
Medium disolusi yang digunakan adalah aquadest sebanyak 900 ml
dilakukan pada suhu 370C ± 0,50, dengan kecepatan putaran 50 rpm. Setiap
tablet dimasukan kedalam alat, hilangkan gelembung udara dari
permukaan sediaan yang diuji dan jalankan alat. Diambil cuplikan dalam
interval waktu 0, 5, 10, 15, 25, 35 dan 45 pada bagian tengah antara
permukaan media disolusi dengan bagian atas alat dayung. Setiap sampel
pada interval tertentu diambil 10 ml kemudian digantikan kembali dengan
medium yang baru untuk menjaga volume agar tetap konstan. Sample
yang diambil disaring dengan filter atau Whatman paper 42, kemudian
diencerkan dengan air hingga kadarnya 0,01 mg per ml dan absorban
dihitung pada 314 nm dengan menggunakan spektrofotometer.
Standar Ranitidin disiapkan dengan melarutkan 50 mg Ranitidin
Standar dalam distilated water dengan pengenceran yang tepat dan
absorbansi yang terukur. Sehingga, Ranitidine HCl yang terlarut dari
sampel dapat dihitung dan dibandingkan.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


33

Pengujian dilakukan hingga 3 tahap kecuali bila hasil pengujian


memenuhi tahap S1 6 tablet uji dengan tiap unit sediaan tidak kurang
Q+5%, S2 rata-rata dari 12 unit (S1+S2) adalah sama dengan atau lebih
besar dari Q dan tidak ada satu unit sediaan yang lebih kecil dari Q-15 %
dan S3 rata-rata dari 24 unit (S1 + S2 + S3) adalah sama dengan atau lebih
besar dari Q, tidak lebih dari 2 unit sediaan yang lebih kecil dari Q -15%
dan tidak lebih dari sau unit oun yang lebih kecil dari Q -25%.Toleransi
dalam waktu 45 menit harus larut tidak kurang dari 80% (Q) C13H22N4O3
dari jumlah yang tertera pada etiket.

3.4.7 Uji Difusi Tablet Ranitidin


3.4.7.1 Uji Difusi Melewati Membran Usus secara in vitro
Pengujian profil difusi tablet Ranitidin dilakukan dengan
menggunakan Franz Diffusion Cells. Berdasarkan pengujian sebelumnya
tentang evaluasi tablet Thiolchicoside uji permeabilitas ini dilakukan
dalam dapar pH 7,4 yang disesuaikan dengan pH usus ( Davendra, 2013 ).
Larutan sampel sebanyak 2,5 ml (2 mg/mL) ditempatkan
dikompartemen donor dan 18,5 mL dapar diisi ke dalam kompartemen
aseptor. Pada bagian kompartemen aseptor dilakukan pengadukan dengan
menggunakan magnetic stirrer dan suhu dijaga tetap 370C dengan
mengalirkan air terus-menerus sambil dipanaskan di penangas ( Davendra,
2013 ).
Mengacu pada penelitian Chandra, 2014 yang menggunakan Franz
Diffusion Cells dalam mengukur permeabilitas obat ciprofloxacin yang
termasuk BSC Class III, pemilihan membran yang digunakan pada
penelitian ini adalah lambung atau membran usus dari kambing. Menurut
Candra luas membran yang diterima untuk difusi adalah 3,90 cm2.
Membran ditempatkan diantara dua kompartemen dan dipastikan
menutupi seluruh chamber dan membran tetap kontak dengan cairan
reseptor.
Chamber aseptor secara peroidik disampling untuk mengetahui
komponen yang telah terpenetrasi kejaringan selama 4 jam pada menit 0,

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


34

30, 60, 90, 120, 180, 210, dan 240 diambil 3 mL dan ditambahkan juga
sejumlah larutan dapar fosfat pH 7,4 dengan volume yang sama.
Kemudian larutan tersebut diencerkan dan dianalisis dengan mengunakan
spektrofotometer pada panjang gelombang maksimum ( Davendra, 2013 ).

3.4.7.2 Penetapan Kadar Cuplikan Menggunakan Spektrofotometri


Penetapan dilakukan terhadap cairan yang tertampung sebagai
konsentrasi akhir. Pertama dipipet 3,0 mL yang tertampung dalam gelas
kimia dan diukur serapan pada panjang gelombang maksimum. Dan
dihitung kadar zat aktif dengan menggukan kurva kalibrasi yang didapat.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengambilan Sampel


Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah Purposive
Sampling. Teknis Pengertian Purposive Sampling adalah teknik penentuan
sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2007). Sampel yang
digunakan adalah tablet Ranitidin HCl 150mg yang dikelompokkan menjadi
3 yaitu obat inovator, obat generik berlogo dan obat generik bermerek setiap
sampel terdiri atas 40 tablet. Kriteria pemilihan sampel berdasarkan yang
paling banyak ditemui dipasaran dengan syarat memiliki tahun kadar luarsa
yang mendekati sama dan memiliki masa simpan satu tahun di apotek
sehingga meminimalisir faktor kesalahan luar dan agar kualitas obat yang
dibandingkan setara tanpa ada pengaruh tempat dan waktu penyimpanan
yang diduga dapat mempengaruhi mutu dan kualitas tablet yang diuji yang
menimbulkan data menjadi bias.

Menurut data dari buku ISO Farmakope tentang tablet Ranitidin


yang tersedia di Indonesia terdapat 26 produk, dengan jumlah tablet generik
3 dan generik bermerek 23. Apabila jumlah sampel kurang dari 100 maka
sampel yng diambil antara 20-25% atau lebih (Arikunto, 2010). Setidak-
tidaknya pengambilan setiap sampel sebesar 25% dari setiap subpopulasi,
untuk perhitungan dapat dilihat pada lampiran 12. Namun, dikarenakan
produk yang ditemukan dipasaran hanya 6 produk maka pemilihan sampel
sesuai dari data survei yang paling sering ditemui sehingga, setiap sampel
uji merupakan produk yang sering digunakan oleh masyarakat. Setiap
subpopulasi dipilih merek yang paling sering digunakan dan diresepkan,
informasi ini didapatkan dengan melakukan survei pada beberapa Apotik
yang ada di Jakarta Timur. Sampel yang diperoleh dari beberapa apotek
dikarenakan ketersediaan jenis merek disetiap apotik.

35
36

4.2 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Ranitidin HCl

Panjang gelombang maksimal merupakan panjang gelombang yang


memiliki nilai absorbansi paling besar. Penetuan panjang gelombang
maksimum yang dilakukan saat penelitian ini adalah menggunakan
spektrofotometer UV-Vis. Ranitidin HCl dapat ditetapkan dengan
menggunakan spektrofotometer UV-Vis, karena Ranitidin HCl memiliki
gugus kromofor dan ausokrom C=C dan C-NHCH3, sehingga senyawa ini
dapat menyerap radiasi pada daerah ultraviolet (Moffat et al,. 2005).
Panjang gelombang maksimum ditentukan dengan mengukur nilai
absorbansi dari larutan standar Ranitidin HCl dalam aquadest konsentrasi 10
ppm, dalam fosfat pH 7,8 konsentrasi 10 ppm dan dalam fase gerak metanol
: p-amonium asetat pada panjang gelombang 200-400 nm. Panjang
gelombang maksimum diperoleh dari kurva hubungan antara panjang
gelombang dan absorban. Kurva tersebut ditunjukkan oleh Gambar 4.1, 4.2
dan 4.3.
absorbansi

313,3

panjang gelombang
Gambar 4.1 Kurva hubungan antara panjang gelombang dan absorban dari
standar Ranitidin HCl dalam aquadest konsntrasi 10 ppm

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


37

absorbansi

313,6

panjang gelombang

Gambar 4.2 Kurva hubungan antara panjang gelombang dan absorban dari
standar Ranitidin HCl dalam Fosfat pH 7,8 konsentrasi 10 ppm
absorbansi

322 nm

panjang gelombang

Gambar 4.3 Kurva hubungan antara panjang gelombang dan absorban dari
standar Ranitidin HCl dalam Fase Gerak Metanol:Amonium Asetat
0,1 M konsentrasi 10 ppm

Kurva diatas menunjukkan bahwa panjang gelombang maksimum


dari standar Ranitidin HCl dalam medium aquadest adalah 313,3 nm dan
dalam fosfat pH 7,8 adalah 313,6 nm. Menurut FI IV (1995) dan USP edisi
35 (2012), Ranitidin HCl dalam air memberikan panjang gelombang
maksimum 314 nm. Jika merujuk dari kedua sumber maka panjang

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


38

gelombang yang diperoleh mengalami pergeseran batokromik sebesar 0,7


nm untuk medium aquadest dan 0,4 nm untuk medium fosfat pH 7,8.
Pergeseran tersebut dapat terjadi karena adanya pengaruh pelarut yang
digunakan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Moffat et al., (2005) bahwa
pelarut sering memberikan pengaruh besar pada kualitas dan bentuk dari
spektrum, hal ini dikaitkan dengan perubahan pH dari pelarut yang
digunakan.

4.3 Kurva Kalibrasi


Kurva kalibrasi standar Ranitidin HCl dalam medium aquadest
dihasilkan garis lurus dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,9997,
persamaan regresi linier yang diperoleh adalah y = 0,0516x + 0,0059
berdasarkan persamaan y = a + bx, maka diperoleh nilai a (intercept)=
0,0059 dan b (slope)= 0,0516. Kurva kalibrasi standar ranitidin dalam
medium fosfat pH 7,8 dihasilkan garis lurus dengan koefisien korelasi (r)
sebesar 0,9999, Persamaan regeresi linier yang diperoleh adalah y = 0,0431x
+ 0,0029, berdasarkan persamaan y = a + bx, maka diperoleh nilai a
(intercept) = 0,0029 dan b (slope) = 0,0029 dan untuk kurva kalibrasi
penetapan kadar dengan menggunakan medium fase gerak metanol:
ammonium asetat 0,1 M (70:30) dihasilkan garis lurus dengan koefisien
korelasi (r) sebesar 0,9996, persamaan regresi linier yang diperoleh adalah y
= 0,8015x + 4,2959, berdasarkan persamaan y = a + bx, maka diperoleh
nilai a (intercept) = 4,2959 dan b (slope) = 0,8015. nilai tersebut memenuhi
syarat linearitas yaitu r ≥ 0,999 (Snyder, Kirkland dan Glajch, 1997).

4.4 Penetapan Kadar Tablet Ranitidin HCl

Penetapan kadar bertujuan untuk menjamin efikasi, keamanan dan


mutu obat yang beredar. Penetapan kadar ini merupakan salah satu syarat
yang ditetapkan oleh Farmakope Indonesia IV, sehingga penetapan kadar
tablet salut Ranitidin HCl dilakukan dengan menggunakan metode yang
tercantum dalam FI IV untuk tablet Ranitidin HCl.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


39

Penetapan kadar dilakukan dengan kromatorafi Cair Kinerja Tinggi,


dengan kondisi optimun sesuai dengan persyaratan dari Farmakope
Indonesia. Saat melakukan pengujian terdapat sedikit parameter pengaturan
sistem kromatografi dimana menurut Farmakope Indonesia IV menjelaskan
untuk menggunakan kolom dengan ukuran 4,6 x 20–30 cm dengan pengisi
L1 namun karena keterbatasan ukuran kolom yang tersedia sehingga
digunakan kolom dengan ukuran 4,6 x 15 cm.
Data hasil penetapan kadar ini didukung dengan pengujian akurasi,
hasil uji akurasi menunjukan bahwa metode yang digunakan memiliki
ketepatan yang cukup baik dengan nilai akurasi berada pada kisaran 80-
120% sesuai dengan yang disyaratkan. Nilai ini menunjukan kemampuan
metode untuk memberikan ketepatan pengukuran terhadap analit
berdasarkan angka perolehan kembali. Uji Akurasi dilakukan pada 3
konsentrasi larutan baku rendah, sedang dan tinggi yaitu pada 50 µg/mL,
70µg/mL dan 90 µg/mL dilakukan sebanyak 3 kali untuk masing-masing
konsentrasi. Untuk pengujian senyawa obat, akurasi diperoleh dengan
membandingkan hasil dari respon alat terhadap larutan baku yang dianalisa
oleh instrument dengan kadar sesungguhnya dari konsentrasi larutan baku
yang dibuat.
Tabel 4.1 Data Hasil Uji Akurasi 3 Konsentrasi Laturan Baku

Konsentrasi Luas Puncak Kons. Alat % diff Akurasi


50 43,821 49,310 1,379 98,620
50 43,783
50 44,135
70 61,109 70,843 1,204 101,204
70 61,335
70 61,805
90 78,441 92,429 2,699 102,699
90 79,879
90 79,501

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


40

Tabel 4.2 Kadar Ranitidin HCl dari Sampel Uji

Kadar Rata- rata


Kadar (%) SD RSD
Merek (mg) (%)

149,88 99,9
Generik 152,24 101,49 100,705 1,183 1,176
151,05 100,7
141,16 94,1
Obat A
(Generik 142,37 94,9 94,19 1,024 1,087
Bermerek)
140,33 93,6
145,05 96,70
Obat B
(Generik 144,98 96,65 97,27 1,561 1,605
Bermerek)
147,72 98,48
148,21 98,8
Inovator
(Generik 150,76 100,5 99,594 1,288 1,293
Bermerek)
149,20 99,5
Keterangan : Inovator , Generik dan Generik Bermerek Obat A dan Obat B

Hasil penetapan kadar menunjukan bahwa obat bermerek A, B,


inovator dan generik memenuhi persyaratan yang tercantum dalam
Farmakope Indonesia IV untuk tablet salut Ranitidin HCl yaitu mengandung
Ranitidin HCl tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari 110,0% dari
jumlah yang tertera pada etiket. Hasil penetapan kadar ini dapat
menggambarkan bahwa semua tablet uji memiliki kemampuan efikasi yang
sama dalam hal menimbulkan efek farmakologi.

4.5 Uji Disolusi Tablet Ranitidin


4.5.1 Hasil Uji Disolusi Tablet Ranitidin
Disolusi didefinisikan sebagai proses suatu zat padat masuk kedalam
pelarut sehingga menghasilkan suatu larutan. Uji ini dimaksudkan untuk
mengetahui banyaknya zat aktif yang terlarut dan memberikan efek terapi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


41

didalam tubuh (Syamsuni,2007). Pengujian ini merupakan salah satu kontrol


kualitas yang dapat digunakan untuk memprediksi bioavailabilitas serta
dapat sebagai penganti uji klinik untuk menilai bioekivalen dan untuk
membedakan faktor–faktor formulasi yang mempengaruhi bioavailabilitas
obat.
Uji disolusi dilakukan dengan menggunakan metode yang ditetapkan
Farmakope Indonesia IV. Metode uji Tablet Salut Ranitidin terdapat
beberapa sumber, selain FI IV ada juga metode yang dikeluar kan oleh USP,
dimana dalam USP terdapat dua metode uji yaitu menggunakan aparatus 2
(paddle) dan aparatus 3 (Bio-Dis). Baik metode FI IV dan USP memiliki
metode yang sama dengan uji disolusi USP yang menggunakan aparatus 2
(paddle), yang membedakan metode kedua dari USP yaitu aparatus dan
jumlah medium yang digunakan. Pemilihan metode Farmakope Indonesia
IV dikarenakan merupakan suatu Buku Panduan Resmi sebagai rujukan
dalam pengujian mutu sediaan farmasetik yang berlaku di Indonesia.
Alat disolusi yang digunakan untuk uji disolusi sampel yaitu alat tipe
2 atau tipe dayung dengan kecepatan 45 putaran per menit selamat 45 menit.
Jumlah pengadukan dan sifat pengaduk mempengaruhi hidrodinamika
sistem, sehingga mempengaruhi laju pelepasan obat. Kecepatan pengadukan
harus dipertahankan karena peningkatan pengadukan akan mempertipis
stagnant layers yang terbentuk serta akan memperluas permukaan partikel
yang kontak dengan pelarut sehingga berdampak pada peningkatan
kecepatan pelarutan obat (Shargel.,2004).
Media yang digunakan juga mempengaruhi uji disolusi, kelarutan
dan jumlah obat dalam sediaan harus dipertimbangkan. Media yang
digunakan hendaknya tidak jenuh dengan obat, biasanya digunakan suatu
volume media yang lebih besar dari volume yang diperlukan untuk
melarutkan obat secara sempurna. Dengan mempertimbangkan kelarutan
obat Ranitidin yang sangat larut air maka medium yang digunakan untuk uji
disolusi yaitu aquadest sebanyak 900 mL. Aquadest dipilih sebagai medium
berdasarkan metode pengujian yang tertera di Farmakope Indonesia.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


42

Suhu medium diatur mengikuti suhu tubuh yaitu 37 ± 0,5 0C.


Kondisi suhu harus dijaga selama uji disolusi, hal ini dimaksudkan bila
terjadi kenaikan suhu selain dapat meningkatkan gradien konsentrasi (Cs)
juga meningkatkan energi kinetika molekul obat yang berkaitan dengan
tetapan difusi (D), sehingga berpengaruh pada peningkatan kecepatan
pelarutan obat (Shargel et al., 2004).
Sampel disolusi diambil pada menit ke 5, 10, 15, 30, 45 dan 60. Pada
saat pengambilan sampel, cairan medium diganti dengan medium yang baru
pada suhu dan volume yang sama. Hal ini dimaksudkan agar pengujian
disolusi berada dibawah kondisi yang tidak jenuh dengan kondisi pengujian
tanpa adanya pengaruh gradien konsentrasi. Sampel dilakukan pengenceran
10x dan diukur serapannya pada panjang gelombang 313,3 nm dan dihitung
kadarnya dengan menggunakan persamaan regresi y=0,0516x + 0,0059.
Hasil disolusi keempat sampel diplot dalam bentuk grafik pada gambar 4.3.

Tabel 4.3 Data Rata-Rata Persen Ranitidin HCl yang Terlepas dari Keempat
Merek Obat.

Waktu Rata-rata Kadar Disolusi Obat (%)


(menit) Inovator Generik Obat A Obat B

5 14,239 38,710 46,465 13,849


10 38,555 69,040 79,775 35,971
15 59,725 93,116 88,295 59,716
30 91,701 99,957 92,741 89,886
45 98,555 102,014 93,465 97,049
60 98,642 100,013 91,504 99,416
Keterangan : Inovator , Generik dan Generik Bermerek (Obat A dan Obat B)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


43

Tabel 4.4 Data Uji Disolusi Menit ke-45 dari keenam Tablet Uji

Obat Kadar (%)/ Tablet Uji Rata-


rata
1 2 3 4 5 6
GB Generik 100,53 102,50 103,27 103,16 100,10 102,54 102,02
GM Obat A 95,715 95,244 94,885 85,709 99,807 89,430 93,465
Obat B 93,067 97,337 99,619 94,299 101,23 96,747 97,049
Inovator 99,452 98,372 98,509 97,664 98,605 98,727 98,56
Keterangan : GB (Generik Berlogo) dan GM (Generik Bermerek).

Persyaratan uji disolusi menurut Farmakope Indonesia IV yaitu hasil


pengujian memenuhi tahap S1 6 tablet uji dengan tiap unit sediaan tidak
kurang Q+5%, S2 rata-rata dari 12 unit (S1+S2) adalah sama dengan atau
lebih besar dari Q dan tidak ada satu unit sediaan yang lebih kecil dari Q-
15% dan S3 rata-rata dari 24 unit (S1 + S2 + S3) adalah sama dengan atau
lebih besar dari Q, tidak lebih dari 2 unit sediaan yang lebih kecil dari Q-
15% dan tidak lebih dari satu unit pun yang lebih kecil dari Q-25%.
Toleransi dalam waktu 45 menit harus larut tidak kurang dari 80% (Q)
C13H22N4O3 dari jumlah yang tertera pada etiket.
Atas dasar penerimaan yang dikeluarkan oleh Farmakope Indonesia
IV, maka obat Inovator, generik , obat bermerek A dan obat bermerek B
dari tablet Ranitidin HCl memenuhi persyaratan disolusi sebagaimana yang
telah ditetapkan karena tidak ada satu tablet pun yang kurang dari Q+5%.
Berdasarkan nilai Q45 yang diperoleh dari produk inovator, generik, obat A
dan obat B berturut-turut adalah 98,55%, 102,01%, 93,465 % dan 97,049 %.
Rata–rata kadar obat generik pada menit ke-45 lebih besar diantara ketiga
sampel uji, hal ini sejalan dengan kadar obat yang terlepas pada 5 menit
pertama juga memiliki kadar yang paling besar diantara ketiga obat lainnya.
Dengan demikian obat generik memiliki laju pelepasan awal yang paling
cepat diantara tiga obat lainnya, sehingga waktu yang dibutuhkan obat ini
unutk menimbulkan efek lebih cepat.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


44

120

% Kumulatif Pelepasan Ranitidin HCl


Kadar
Disolusi Obat
100
(%) Inovator

80 Kadar
Disolusi Obat
(%) Generik
60
Kadar
40 Disolusi Obat
(%) Obat A
20 Kadar
Disolusi Obat
0 (%) Obat B
0 20 40 60 80
Waktu (menit)

Gambar 4.3 Profil Disolusi Keempat Merek Obat


Keterangan : Inovator , Generik dan Generik Bermerek (Obat A dan Obat B)

Dari grafik pada gambar 4.3 dapat dilihat hasil uji disolusi semua
produk yang diuji memiliki profil disolusi yang memiliki pola yang mirip.
Profil disolusi tersebut khas untuk pola profil disolusi produk tablet
immediate release. Kadar obat yang terlepas antar sampel tidak serupa dapat
dilihat terjadi perlonjakan tajam pada menit kesepuluh oleh tablet generik
dan dapat dilihat kadar zat aktif yang dilepaskan dari sampel generik
ternyata lebih besar dibandingkan ketiga sampel uji.
Ada banyak faktor yang dapat menjadi penyebab perbedaan profil
disolusi antara obat inovator dan generiknya, antara lain formulasi, cara
pembuatan tablet, jumlah dan jenis eksipien yang dipakai (Jones D.
fasttrack, 2008 dan Augsburger L, 2008). Oleh sebab itu, sifat akhir suatu
sediaan, seperti ketersediaan hayati dan stabilitasnya, sangat bergantung
pada eksipien yang dipilih, jumlah eksipien yang dipakai, dan interaksinya
dengan zat aktif atau sesama eksipien.

4.5.2 Analisa Statistik Pelepasan Ranitidin HCl


Hasil uji disolusi yang diperoleh kemudian dilakukan analisa
statistik untuk melihat apakah terdapat perbedaan profil pelepasan Ranitidin
HCl dari keempat merek obat. Analisa statistik dilakukan dengan
membandingkan persen Ranitidin HCl yang terlepas tiap waktunya. Hasil
uji normalitas Kolmogorov-Smirnov menunjukan bahwa data persen kadar

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


45

Ranitidin HCl yang terlepas terdistribusi normal (p ≥ 0,05). Setelah


dilakukan uji normalitas, dilakukan uji homogenitas Levene. Hasil uji
homogentias menghasilkan data tidak terdistribusi secara homogen. Oleh
karena itu analisa dilanjutkan dengan uji non-parametrik Kruskal-Wallis.
Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukan nilai signifikansi p < 0,05 pada menit
5–45 dan hanya pada waktu ke–60 p >0,05 sebesar 0,591 yang artinya
hampir disetiap menit pengambilan sampel persen kadar yang terlepas pada
menit 5–45 dari keempat merek obat, memiliki perbedaan yang bermakna,
untuk mengetahui letak perbedaan tersebut, maka dilanjutkan dengan
analisa menggunakan uji Mann-Whitney. Hasil analisa dengan
menggunakan uji Mann-Whitney dapat dilihat pada tabel 4.5.

Tabel 4.5. Hasil Uji Mann-Whitney Data Persen Pelepasan Ranitidin HCl dari
Obat Inovator, Generik , Obat Bemerek A dan Obat Bermerek B.
Waktu Berbeda Secara Bermakna Tidak Berbeda Secara
(p≤0,05) Bermakna
(p≥0,05)
Menit 5 Inovator dengan Generik Inovator dengan Obat B
Inovatro dengan Obat A Generik dengan Obat A
Generik dengan Obat B
Obat A dengan Obat B
Menit 10 Inovator dengan generik Inovator dengan Obat B
Inovator dengan Obat A
Generik dengan Obat B
Generik dengan Obat A
Obat A dengan Obat B
Menit 15 Inovator dengan Generik Inovator dengan Obat B
Inovator dengan Obat A
Generik dengan obat A
Generik dengan Obat B
Obat A dengan Obat B
Menit 30 Inovator dengan Generik Inovator dengan Obat A
Generik dengan Obat B Generik dengan obat A
Inovator dengan Obat B
Generik dengan obat A
Menit 45 Inovator dengan Generik Inovator dengan Obat A
Generik dengan Obat B Generik dengan obat A
Inovator dengan Obat B
Menit 60 Inovator dengan Generik
Inovator dengan Obat A
Generik dengan obat A
Generik dengan Obat B

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


46

Obat A dengan Obat B


Inovator dengan Obat B

Seperti hasil dari Kruskal-Wallis tidak ada perbedaan yang bermakna


pada menit ke–60. Secara keseluruhan hasil analisa statistik menunjukan
bahwa ada perbedaan bermakna profil disolusi keempat obat uji. Mulai dari
menit ke-45 data menunjukkan tidak berbeda bermakna antara sampel uji
inovator dengan obat A dan generik dengan obat A, meskipun terdapat
perbedaan setiap sampel uji memiliki mutu dan kualitas yang baik dilihat
dari persen pelepasan obat pada menit ke–45 dimana setiap sampel uji
telah memenuhi persyaratan pelepasan tablet yaitu diatas 85%.

4.6 Uji Difusi Tablet Ranitidin


Uji Difusi terhadap Tablet Ranitidin dilakukan untuk melihat
kemampuan zat aktif melintasi membran usus dari perbedaan formulasi
antar setiap merek tablet uji dan untuk melihat formulasi dari merek uji
yang mana yang memberikan persentasi difusi yang tinggi yang berbanding
lurus dengan bioavailabilitas obat. Pengujian difusi ini dilakukan dengan
menggunakan franz diffusion cell. Pemilihan metode ini berdasarkan alat
yang tersedia di Prodi Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan
didukung dengan adanya pengujian difusi tablet dengan menggunakan
metode yang sama oleh Chandra, 2014. Persentase kumulatif difusi melalui
membran usus kambing dengan luas area difusi sebesar 2 cm2 dengan
volume kompartemen reseptor yaitu dapar fosfat pH 7,4 sebanyak 18,5 ml
dan volume kompartemen donor 2,5 ml.
Uji difusi menggunakan usus kambing karena mudah didapat dan
telah digunakan pada penelitian sebelumnya pada obat ciprofloxacin yang
sama- sama BSC Class III. Usus kambing yang digunakan berasal dari Pasar
Ciputat, Banten. Usus kambing yang digunakan berupa usus segar yang
diambil langsung kemudian direndam NaCl fisiologis agar tetap baik
sebelum digunakan.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


47

Tabel 4.6 Jumlah Persen Difusi Tablet Ranitidin dari Keempat Merek Uji

Waktu % difusi rata-rata Bobot mg Terdifusi

Inovator Generik Obat A Obat B Inovator Generik Obat A Obat B


5
2,615 7,343 3,533 5,326 3,923 11,014 5,300 7,989
15
3,766 8,546 5,664 12,073 5,650 12,819 8,496 18,109
30
5,284 15,052 7,897 20,867 7,927 22,578 11,845 31,301
60
10,054 22,322 10,733 25,492 15,081 33,483 16,099 38,238
75
13,971 25,438 12,033 29,625 20,956 38,157 18,050 44,438
90
16,608 28,674 16,783 33,271 24,912 43,012 25,174 49,906
120
24,119 35,748 21,913 37,114 36,179 53,621 32,870 55,672
180
43,483 50,899 31,551 45,039 65,226 76,348 47,326 67,558
210
48,287 60,168 33,796 49,418 72,430 90,251 50,695 74,126
Keterangan : Inovator , Generik dan Generik Bermerek (Obat A dan Obat B)

% DIFUSI TABLET RANITIDIN


70
60
50
% dufisi obat

40
30
20
10
0
0 50 100 150 200 250
-10
waktu (menit)
Inovator
Paten Generik
Generik obatA A
Obat Obat
Obat B B

Gambar 4.4 Grafik Persetase Difusi Tablet Ranitidin HCl

Dari hasil difusi Ranitidin HCl selama 3 jam pada Tabel 4.5 dapat
dilihat bahwa nilai persentase dan jumlah difusi zat aktif melalui membran

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


48

usus kambing tertinggi dihasilkan oleh tablet generik yaitu 60,168% yang
diikuti Obat B yaitu 49,418 %, kemudian obat inovator yaitu 48,287 dan
yang nilai terendah adalah Obat A yaitu 33,796%. Nilai tersebut
menunjukan kadar Ranitidin yang terdapat dalam reseptor. Ranitidin yang
berdifusi sebagian tertinggal dalam jaringan membran usus kambing yang
digunakan sebagai membran. Oleh karena itu, jumlah total Ranitidin yang
berdifusi sebenarnya lebih besar dari nilai yang terukur dalam cairan
reseptor (Anggraeni, 2013). Nilai difusi ini dapat menggambarkan
bioavalabilitas obat, semakin tinggi nilai difusi maka semakin tinggi
bioavalibalitasnya yang berpengaruh terhadap efektivitas obat, karena
terkait dengan sifat zat aktif ranitidin sendiri permeabilitas rendah sehingga
data uji disolusi belum bisa menggambarkan kemmpuan zat aktif yang
mencapai reseptor.

Dari hasil pengolahan data menggunakan statistik SpSS 21


menunjukan bahwa hasil persentase difusi Ranitidin pada terdistribusi
normal, namun datanya tidak terdistribusi secara homogen. Analisa
dilanjutkan dengan menggunakan Kruskal Wallis, berdasarkan data dari ini
signifikansi >0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa data tidak berbeda
secara bermakna.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Keempat obat memenuhi persyaratan penetapan kadar dan uji disolusi


sebagaimana yang ditetapkan FI IV, sehingga keempat obat uji
memiliki kualitas dan mutu yang baik. Dimana hasil penetapan kadar
dari produk inovator, generik berlogo, generik bermerek (obat A dan
obat B) berturut–turut adalah 99,59% ± 1,288, 100,705% ± 1,183,
94,19% ±1,024 dan 97,278% ± 1,561 yang nilainya tidak kurang dari
90,0% dan tidak lebih dari 110,0% dari jumlah yang tertera pada etiket.
Persen pelepasan Ranitidin HCl pada jam ke 45 dari produk inovator,
generik berlogo, generik bermerek (obat A dan obat B) berturut- turut
adalah 98,55% ± 0,578, 102,01% ± 1,364, 93,465% ± 5,041 dan
97,049% ± 3,08 sehingga memenuhi persyaratan FI IV dimana Q45 >80
+5 %.

2. Hasil pengujian difusi tablet Ranitidin dari produk inovator, generik,


obat A dan obat B berturut- turut adalah 48,287% ±0,055, 60,168%
±0,309, 33,796% ±0,067 dan 49,418% ±0,748.

3. Hasil perbandingan uji penetapan kadar, disolusi dan difusi dilihat


dengan analisa statistik dimana hasil analisa statistik untuk uji disolusi
menunjukan ada perbedaan bermakna dengan signifikansi <0,05, dan
untuk hasil analisa statistik difusi tidak ada perbedaan bermakna antar
setiap sampel uji dengan signifikansi >0,05. Meskipun nilai persen
disolusi antar sampel tidak identik hal ini tidak mengurangi mutu dan
kualitas tablet uji sehingga semua sampel uji dapat dikatakan
berkualitas dan bermutu baik.

4. Hasil dari semua pengujian keempat tablet uji memenuhi persyaratan


yang ditetapkan, dari ketiga pengujian yang dilakukan Tablet Ranitidin
HCl generik berlogo memiliki nilai pengukuran paling besar diantara

49
50

ketiga tablet uji lainnya baik penetapan kadar dengan nilai 100,705% ±
1,183, uji disolusi Q45 102,01% ± 1,364 dan uji difusi 60,168% ±0,309.
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa tidak ada korelasi antara kualitas
dan harga.

5.2 Saran

1. Untuk penelitian berikutnya, dikarenakan keterbatasan sarana pada saat


pengujian disarankan untuk dapat melakukan prosedur pengujian sesuai
metode yang ditetapkan FI IV sehingga mendapatkan hasil yang lebih
valid.

2. Sebaiknya dilakukan pengambilan sampel yang lebih banyak sehingga


dapat mewakili kualitas setiap sub populasi uji.

3. Diharapkan para dokter tidak perlu ragu lagi dalam memberikan resep
tablet Ranitidin HCl 150 mg generik karena tidak ada perbedaan mutu
antara tablet Ranitidin HCl 150 mg generik dengan generik bermerek
dalam hal terpenuhinya syarat baku menurut Farmakope Indonesia IV.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


DAFTAR PUSTAKA

Anggraeni, Y.(2013). Profil Difusi Natrium Diklofenak dari Sediaan Patch ke


Gingiva Sapi. Lembaga Penelitian dan Pengembangan kepada Masyarakat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.


Jakarta: Rineka Cipta.

Augsburger L, Hoag S, editors. Pharmaceutical Dosage Froms–Tablets Volume


1. 3rd ed. New York: Infroma Healthcare; 2008.

Balitbang Kemenkes RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta:


Balitbang Kemenkes RI

Banakar, U.V.,(1992) Pharmaceutical Dissolution Testing, New York : Marcel


Dekker Inc.,

BPOM, (2004). Pedoman Uji Bioekivalensi, available at www. Pom.go.id/ publik/


hukum_perundangan/pdf/HK.0005.3.1 818.

British Pharmacopoeia. (2009). British Pharmacopoeia. I&II. London : Medicines


and Healthcare Regulatory.

British Pharmacopoeia. (2014). British Pharmacopoeia. I&II. London : Medicines


and Healthcare Regulatory.

Brown, P dan DeAntonis, K. (1997). High Performance Liquid Chromatography.


New Jersey: Prentice Hall Inc.

Chakraborti, Chnadra Kanti, Subhashreee Sahoo,& Pradipta Kumar Behera.


(2014). Role of different biodegeradable polymers on the permeability of
ciprofloxacin. India; Journal of Advanced Pharmabeutical Technology &
Research. 5 (3).

Dash, S., Murthy, P.N, Nath, L., Chowdhury, P. (2010). Kinetik Modeling on
Drug Release from Controlled Drug Delivery System. Acta Poloniae
Pharmaceutics-drug Reseaerch, 67 (3), 217-223.

Devendra Singh, Pankaj Kumar Sharmadan udai Vir Singh Sara. (2013).
Development, optimization and evaluation of solid dosage form of
Thiocolchicoside by using absorption enhancers. Scholars Research
Library Der Pharmacia Lettre, 2013, 5 (3):405-414.

Deferme, S., Annaert, P., & Augustijns, P. (2008). In vitro screening models to
assess intestinal drug absorption and metabolism. Drug absorption studies:
In situ, in vitro and in silico models. Springer (pp. 182-215).

51
52

Depkes RI. (2006). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 189/
Menkes/SK/III/2006. Kebijakan Obat Nasional.

Ditjen POM (1995). Farmakope Indonesia. Edisi Kelima . Jakarta: Departemen


Kesehatan R.I.

Erlitha, Angela. (2015). Evaluasi Pelaksanaan Pelayanan Resep Obat Generik


Pada Pasien BPJS Rawat Jalan DI RSUP. Prof.DR.R.D Kandou Manado
Periode Januari-Juni 2014.Dalam : Pharmacom Jurnal Ilmiah Farmasi-
UNSRAT 4 (4) : 64.
Gandjar, G.H., dan Rohman, A., (2007). Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar:
Yogyakarta.

Goodman and Gilman. (2002). Dasar Farmakologi Terapi. Jakarta. EGC: Vol 2.

Hamilton, R. J. dan Sewell, P. A. (1977). Introduction to High Performance


Liquid Chromatography. Liverpool: Chapman and Hall Ltd

Harmita. (2006). Analisis Fisikokimia. Departemen Farmasi FMIPA UI.

Jennifer B., Dressman. (2000). Oral Drug Absorbstion Predicted and Assessment.
New York : Marcel Dekker, Inc.

Johnson, L.E. dan Stevenson, R. (1991). Dasar Kromatografi Cair. Alih Bahasa
Kosasih Padmawinata. Penerbit ITB. Bandung.

Jones, D. Fasttrack. 2008. Pharmaceutics : Dosage Form and Design. London :


Pharmaceutical Press.

Kazakevich, Y., dan R. LoBrutto. (2007). Method Validation. In : LoBrotto, R.,


dan T. Patel., Edotors. HPLC for Pharmaceutical Scientist, New Jersey :
John Wiley & Sons, Inc.

Lachman, L., Liebermann, H.A. dan J.I. Kanig. (1994). Teori dan Praktek
Farmasi Industri, Edisi Ketiga. Jakarta: UI Press.

Meyer, V.R. (2004). HPLC A Practical User’s Guide, 2nd Edition. New Jersey:
John Wiley & Sons, Inc.

Mouzam, I., Dehghan, M. H. G,. Asif S., Sahuji, T., Chudiwal, P. (2011).
Development of a Novel Floating Ring Capsule-Type Dosage Form for
Stomach Spesific Delivery. Saudi Phamaceutical Journal.

Pallavi, Salve et al,. (2010). Simple Validated Spectroscopic Method for


Estimation of Ranitidine From Tablet Formulation.India ; International
Journal of PharmTech Reseaech CODEN (USA) ; 2 (3);2071-2074

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


53

Permenkes. (2010). Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas


Pelayanan Kesehatan Pemerintah. Jakarta :Menteri Kesehatan Republik
Indonesia.

Puspitasari, Ika. (2006). Cerdas Mengenali Penyakit dan Obat. Yogyakarta:


Penerbit B-First.

Ritger, P.L,. dan Peppas, N. A. (1986). A Simple Equation for Description of


Solute Release II. Fickian and Anomalous Release from Swellable
Devices. Journal of Controlled Release, 5, 37-42.

Sastroasmoro, S., (2008). Pemilihan Subyek Penelitian. Dalam: Sastroasmoro, S.,


Ismael, S., ed. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: CV.
Sagung Seto.

Shargel, L., and Kanfer, I. (2005), Generic Drug Product Development : Solid
Oral Dossage Form, Marcel Dekker Inc, New York.

Siepmann ,J. Dan Peppas, N.A.(2001). Modeling of Drug Release From Delivery
System Based on Hydroxypropyl methylcellulose (HPMC). Advanced
Drug Delivery Reviews, 28;139-157.

Sinko, Patrick J. (2006). Farmasi Fisika dan Ilmu Farmasetika Martin Ed V.


Jakarta : EGC.

Situmorang, Mangasa. (2011). Gambaran Pengetahuan Mahasiswa Bidan


Pendidik D-IV USU terhadap obat generik dan Obat generik bermerek.
Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Siregar, Charles.(2010). Teknologi Farmasi Sediaan Tablet Dasar-dasar Praktis.


Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Snyder, L.R., J.J. Kirkland, and J.L. Glajch. (1997). Practical HPLC Method
Development. 2 nd Edition. New York: John Willey & Sons, Inc. p. 119-
144.

Sudjadi. (2007). Kimia Farmasi Analisis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sulaiman, T.N.S. (2007). Teknologi dan Formulasi Sediaan Tablet, Cetakan


Pertama. Yogyakarta: Mitra Communications Indonesia.

Syamsuni, H.A. (2007). Ilmu Resep. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Technical Brief. (2009).Development Validation of In Vitro Release Testing


Methods for Semisolid Formulation. 3894 Courtney Street Bethlehem
USA, PA .10. 18017-8920.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


54

The United State Pharmacopoeial Convention. (2006). The United States.


Pharmacopoeia (USP).

Wagner,J.G., Pennarowski, M., (1971), “Biopharmaceutics and Relevant


Pharmacokinetics”, First Edition, Drug Intelligence Publication, Hamilton,
Ilinois, 115-120.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Lampiran 1. Bagan Alur Penelitian

Produk Ranitidin
Inovator, Generik,
bermerek PMA dan
PMDN .

Pembuatan Ranitidin
Purposive Sampling Larutan BPFI
Ranitidin

Pengukuran Panjang Gelombang


Maksimal UV-Visible

Pembuatan Kurva Kalibrasi

Linearitas Akurasi

Sampel

Uji Difusi Uji


Disolusi

Penetapan Kadar
dengan KCKT

Spektro UV- Spektro


UV-
Visible
Visible
Analisa
Statistik

55
56

Lampiran 2. Alat Uji Disolusi (Erweka)

Lampiran 3. Spektrofotometer (Hitachi)

Lampiran 4. Timbangan Analitik (KERN ACJ/AC5)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta|


57

Lampiran 5. pH meter (Navi)

Lampiran 6. Ultra Sonikator (Elmasonic)

Lampiran 7. Diffusion Tester (Sel Franz)

b c

keterangan : a. Rangkaian alat franz diffusion cell; b.membran usus kambing; c.


Kompartemen donor dan reseptor (tampak samping).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta|


58

Lampiran 8. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (Ultimate 3000)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta|


59

Lampiran 9. Sertifikat Analisis Standar Ranitidin HCl

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta|


60

Lampiran 10. Sertifikat Analisis Metanol Grade HPLC

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta|


61

Lampiran 11. Sertifikat Buffer Natrium Dihidrogen Fosfat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta|


62

Lampiran 12. Pemilihan Sampel Tabler Ranitidin

Perushaan yang Ketersediaan


Status obat No Produk obat
memproduksi di pasaran
1 Ranitidin Soho √
Generik berlogo 2 Ranitidin Indofarma -
3 Ranitidin hexpharm -
1 Radin Dexa medica -
2 Ranticid Kimia farma √
3 Ranivell Novell pharma -
4 Ranin Pharos -
5 Ranilex Molex ayus -
6 Rancus Mersifarma -
7 Renatac fahrenheit -
8 Rantin Kalbe farma √
9 Ratinal Gracia -
10 Scanarin Tempo Scan -
11 Tricker Meprofarm -
Generik bermerek -
12 Tyran Pyridam
13 Triocid Zenith -
14 Zantadin Soho -
15 Zantifar Ifars -
16 Zenti Zenith -
17 Zumaran Sandoz √
18 Ultiran Heroic -
19 Ulceranin Otto √
20 Wiacid Landson -
21 Xeradin Mestika -
22 yekaradin yekatria -
23 Zantac Glaxo Smithkline √

Generik berlogo  3 x 25% = 0,75 ( 1 sampel)

Generik bermerek  22 x 25% = 5 sampel

Generik yang tersedia dipasaran  4 x 25 % = 1 ( 1 sampel)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta|


63

Lampiran 13. Kurva Kalibrasi Ranitidin HCl dalam Medium Aquadest

Kurva Kalibrasi Ranitidin dalam Aquades


1,4

1,2

1
absorbansi

0,8 y = 0,0516x + 0,0059


R² = 0,9995
0,6
R = 0,9997
0,4

0,2

0
0 5 10 15 20 25 30
konsentrasi (ppm)

Lampiran 14. Kurva Kalibrasi Ranitidin HCl dalam Medium Buffer Fosfat pH 7,8

Kurva Kalibrasi Ranitidin dalam Medium Fosfat


1,2

0,8
y = 0,0431x + 0,0029
absorbansi

R² = 0,9997
0,6 R = 0,9999

0,4

0,2

0
0 5 10 15 20 25 30
Konsentrasi (ppm)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta|


64

Lampiran 15. Kurva Kalibrasi Ranitidin HCl dalam fase gerak


metanol:ammonium asetat (70:30)

Kurva Kalibrasi Ranitidin dalam Medium Metanol:


Amonium Asetat 70:30)
120

100

80
Luas Area

60 y = 0,8015x + 4,2959
R² = 0,9994
40 R = 0,9996

20

0
0 20 40 60 80 100 120 140
konsentrasi (ppm)

Lampiran 16. Prosedur Pembuatan Amounium Asetat0,1 M dan Buffer Fosfat pH


7,8

Larutan Prosedur
Amonium Asetat 0,1 M Sebanyak 1,7089 gram Amonium
Asetat ditimbang, kemudian dilarutkan
dalam aquadestilata sebanyak 1 liter.
Fosfat pH 7,8 Sebanyak 0,58 gram kalium
dihidrogen fosfat (Monobasic
Potassium Phospate) ditimbang, dan
8,86 gram Natrium Fosfat anhidrat
(dibasic sodium phosphate anhydrous,
kemudian dilarutkan dengan 1000 mL
aquadestilata dan di adjust dengan
10% asam fosfat atau Natrium
Hidroksida hingga pH 7,8.
Larutan baku (kurva kalibrasi) dalam Ditimbang 50 mg Ranitidin HCl,
aquadestilata dilarutkan dalam labu ukur 50 mL
aquadest sehinga diperoleh larutan
dengan konsentrasi 1000 ppm.
Kemudian dilaukan pengenceran
bertingkat unutk mendapatkan
konsentrasi 0, 5, 10, 15, 20 dan 25
ppm dengan mengambil sejumlah

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta|


65

larutan baku 1000 ppm dan


melarutkannya dengan aquadest
sejumlah tertentu.
Larutan baku (kurva kalibrasi) dalam Ditimbang 50 mg Ranitidin HCl,
Dapar fosfat pH 7,4 dilarutkan dalam labu ukur 50 mL
dapar fosfat sehinga diperoleh larutan
dengan konsentrasi 1000 ppm.
Kemudian dilaukan pengenceran
bertingkat unutk mendapatkan
konsentrasi 0, 5, 10, 15, 20 dan 25
ppm dengan mengambil sejumlah
larutan baku 1000 ppm dan
melarutkannya dengan dapar fosfat pH
7,4 sejumlah tertentu.
Larutan baku (kurva kalibrasi) dalam Dibuat fase gerak dengan
aquadestilata perbandingan metanol : ammonium
asetat 70:30. Kemudian ditimbang
ranitidin 50 mg kemudian dilarutkan
dalam larutan fase gerak 50 mL
sehingga diperoleh konsentasi 1000
ppm, Kemudian dilaukan pengenceran
bertingkat unutk mendapatkan
konsentrasi 20, 40, 60, 80, 100 dan
120 ppm dengan mengambil sejumlah
larutan baku 1000 ppm dan
melarutkannya dengan dapar fosfat pH
7,4 sejumlah tertentu.

Lampiran 17. Data Kurva Kalibrasi Ranitidin HCl dalam Aquadestilata

Konsentrasi Absorbansi
0 0
5 0,270
10 0,513
15 0,788
20 1,050
25 1,282

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta|


66

Lampiran 18. Data Kurva Kalibrasi Ranitidin HCl dalam Dapar Fosfat pH 7,8

Konsentrasi Absorbansi
0 0
5 0,215
10 0,436
15 0,654
20 0,872
25 1,069

Lampiran 19. Data Kurva Kalibrasi Ranitidin HCl dalam Medium Metanol:
Amonium Asetat (70:30)

Konsentrasi Luas Area


20 20,8014
40 35,9844
60 52,7299
80 67,9413
100 83,4484
120 101

Lampiran 20. Data Penetapan Kadar dari Keempat Merek Tablet Salut Ranitidin
HCl

Merek Luas C (ppm) Kadar Kadar Rata- SD RSD


Area (mg) (%) rata (%)
Obat A 104,710 125,15 141,164 94,1 94,19 1,024 1,087
105,566 126,21 142,367 94,9
104,116 124,41 140,330 93,6
Obat B 89,8350 106,62 145,051 96,7 97,28 1,561 1,605
89,7940 106,57 144,982 96,6
91,4100 108,58 147,720 98,5
Generik 123,624 148,70 149,879 99,92 100,71 1,183 1,176
125,510 151,05 152,246 101,5
124,557 149,87 151,050 100,7
Inovator 92,3437 109,74 148,208 98,8 99,59 1,288 1,293
93,8628 111,64 150,763 100,5
92,9337 110,48 149,201 99,5

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta|


67

Lampiran 21. Hasil Kromatogram Penetapan Kadar Tablet Ranitidin

sampel waktu retensi luas area tinggi puncak asimetrisitas


1 1,727 92,343 575,8264 3,71
2 1,720 93,862 542,9015 3,34
3 1,733 92,934 556,6786 4,03
Rata-
rata 1,727 93,046 558,4688
RSD 0,386% 0,765% 2,961%

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta|


68

sampel waktu retensi luas area tinggi puncak asimetrisitas


1 1,687 123,624 703,38 3,61
2 1,713 125,51 677,44 4,34
3 1,727 124,557 731,36 4,02
Rata-
rata 1,709 124,56 704,059
RSD 1,19% 0,943% 3,83%

sampel waktu retensi luas area tinggi puncak asimetrisitas


1 1,733 104,71 553,2017 2,61
2 1,707 105,566 555,8432 4,05
3 1,700 104,116 549,8035 4,21
Rata-
rata 1,713 104,7973 552,9494
RSD 1,029% 0,7289% 0,548%

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta|


69

sampel waktu retensi luas area tinggi puncak asimetrisitas


I 1,72 89,835 539,32 4,36
2 1,713 89,794 505 4,44
3 1,733 91,41 569,59 3,97
Rata-
rata 1,722 90,346 537,971
RSD 0,59% 0,9213% 6,01%

Lampiran 22. Uji Difusi Tablet Ranitidin HCl Merek A,B,C dan D

Wakt % kumulatif Tablet A Bobot Kumulatif (mg) Tablet B


u 1 2 Rata- SB Rata- SB
rata 1 2 rata
0 -0,062 -0,062 0,0622 0 -0,093 -0,093 -0,093 0
5 3,4688 3,5976 3,5332 0,091 5,203 5,396 5,299 0,136
15 5,6426 5,6849 5,6638 0,029 8,464 8,5275 8,496 0,045
30 7,7769 8,0159 7,8965 0,169 11,665 12,024 11,845 0,254
60 10,381 11,084 10,733 0,497 15,571 16,626 16,099 0,746
75 11,995 12,072 12,033 0,054 17,99 18,108 18,050 0,083
90 16,686 16,879 16,783 0,136 25,03 25,318 25,174 0,204
120 21,792 22,035 21,913 0,171 32,69 33,052 32,870 0,256
180 31,434 31,668 31,551 0,165 47,150 47,502 47,327 0,249
210 33,748 33,844 33,796 0,067 50,623 50,766 50,695 0,101

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta|


70

waktu % kumulatif Tablet B Bobot Kumulatif (mg) Tablet A


1 2 Rata- SB 1 2 Rata- SB
rata rata
0 0,0685 0,0731 0,0707 0,003 0,1028 0,1096 0.1061 0,005
5 5,2031 5,449 5,326 0,173 7,8047 8,1735 7,989 0,260
15 11,8985 12,248 12,073 0,247 17,847 18,372 18,109 0,371
30 20,750 20,985 20,868 0,166 31,125 31,477 31,301 0,249
60 25,129 25,856 25,492 0,514 37,693 38,784 38,238 0,771
75 29,227 30,0232 29,625 0,562 43,840 45,034 44,437 0,844
90 32,725 33,817 33,271 0,772 49,087 50,726 49,906 1,158
120 36,521 37,707 37,114 0,838 54,782 56,561 55,672 1,257
180 44,497 45,580 45,039 0,765 66,746 68,370 67,558 1,148
210 48,889 49,947 49,418 0,748 73,333 74,920 74,126 1,122

waktu % kumulatif Tablet Generik Bobot Kumulatif (mg) Tablet


C
1 2 Rata- SB 1 2 Rata- SB
rata rata
0 0,06224 -0,06224 -0,06224 0,088 -0,093 -0,093 -0,093 0
5 7,05295 7,632425 7,342691 0,409 10,579 11,45 11,014 0,615
15 8,41293 8,678596 8,545766 0,188 12,619 13,018 12,82 0,282
30 14,8727 15,23057 15,05162 0,253 22,309 22,85 22,58 0,382
60 22,3388 22,30574 22,32227 0,023 33,508 33,46 33,48 0,034
75 25,2985 25,57755 25,43805 0,197 37,948 38,37 38,16 0,298
90 28,7803 28,56862 28,67448 0,149 43,170 42,85 43,01 0,226
120 35,6792 35,81607 35,74762 0,096 53,519 53,72 53,62 0,142
180 50,8698 50,92778 50,89878 0,040 76,305 76,391 76,35 0,060
210 59,9490 60,38637 60,16769 0,309 89,924 90,579 90,25 0,463

waktu % kumulatif Tablet Paten Bobot Kumulatif (mg) Tablet D


1 2 Rata- SB 1 2 Rata-rata SB
rata
0 0,496 0,4958 0,4958 0,00 0,7436 0,7436 0,7436 0
5 2,722 2,5077 2,615 0,151 4,0835 3,7616 3,92255 0,228
15 3,730 3,8027 3,7665 0,051 5,5953 5,7041 5,6497 0,077
30 5,2398 5,3297 5,2848 0,063 7,8597 7,9946 7,92715 0,095
60 10,000 10,107 10,054 0,075 15,000 15,161 15,0805 0,114
75 13,941 14,001 13,971 0,042 20,911 21,001 20,956 0,064
90 16,564 16,653 16,608 0,063 24,846 24,979 24,9125 0,094
120 24,048 24,19 24,12 0,100 36,072 36,28 36,176 0,147
180 43,511 43,456 43,484 0,038 65,267 65,184 65,2255 0,059
210 48,248 48,326 48,287 0,055 72,372 72,489 72,4305 0,083

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta|


71

Lampiran 23. Uji Pelepasan Tablet Salut Ranitidin HCl Inovator

wakt Kadar (%) Rata- SD RSD


u Tablet rata
1 2 3 4 5 6
5 14,47 14,08 14,17 14,24 14,23 14,24 14,23 0,129 0,907
10 38,85 38,89 38,59 38,37 38,43 38,19 38,55 0,277 0,718
15 60,89 59,48 59,65 59,33 59,68 59,31 59,72 0,592 0,991
30 93,18 91,71 91,18 91,57 91,15 91,41 91,70 0,757 0,825
45 99,45 97,66 98,37 98,61 98,51 98,73 98,55 0,578 0,587
60 97,77 99,06 98,89 98,69 98,67 98,78 98,64 0,451 0,458

Lampiran 24. Uji Pelepasan Tablet Salut Ranitidin HCl Generik

wakt Kadar (%) Rata- SD RSD


u Tablet rata
1 2 3 4 5 6
5 38,61 37,99 37,93 38,13 41,52 38,09 38,71 1,39 3,6
10 71,70 68,58 68,84 68,38 68,62 68,12 69,04 1,33 1,92
15 94,79 92,75 93,86 92,86 92,79 91,64 93,12 1,08 1,16
30 101,15 100,34 100,28 99,55 100,35 98,04 99,96 1,06 1,06
45 100,52 102,50 103,27 103,16 102,54 100,1 102,01 1,36 1,34
60 105,19 98,80 98,41 98,67 98,84 100,17 100,01 2,60 2,60

Lampiran 25. Uji Pelepasan Tablet Salut Ranitidin HCl Merek A

waktu Kadar (%) Rata- SD RSD


Tablet rata
1 2 3 4 5 6
5 48,96 58,38 36,64 49,54 38,267 46,98 46,465 8,021 17,3
10 82,29 89,43 69,83 80,59 75,2 81,29 79,775 6,668 8,36
15 86,46 93,15 85,60 86,75 87,2 90,59 88,295 2,934 3,32
30 90,66 96,29 93,29 92,34 88,27 95,59 92,741 3,017 3,30
45 95,71 95,24 94,89 85,70 99,81 89,43 93,465 5,041 5,40
60 95,58 93,5 95,09 81,99 96,81 86,06 91,504 6,029 6,60

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta|


72

Lampiran 26. Uji Pelepasan Tablet Salut Ranitidin HCl Merek B

wa Kadar (%) Rata- SD RS


ktu Tablet rata D
1 2 3 4 5 6
5 16,872 15,244 14,779 9,663 11,639 14,895 13,85 2,6 0,19
10 32,292 34,430 39,013 33,724 36,885 39,479 35,97 2,9 8,2
15 51,951 58,034 61,538 57,586 64,154 65,032 59,72 4,8 8,2
30 87,210 88,384 92,099 87,755 92,652 91,214 89,89 2,4 2,6
45 93,067 97,337 99,619 94,299 101,23 96,747 97,05 3,1 3,1
60 98,128 103,96 106,12 93,466 103,37 91,763 99,42 5,9 5,9

Lampiran 27. Analisa Statistik Pelepasan Ranitidin HCl dari Tablet

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Menit_5 Menit_10 Menit_15 Menit_30 Menit_45 Menit_60

N 24 24 24 24 24 24

Mean 28,315738 55,835268 75,212872 94,055690 102,577282 100,392000


Normal
Std. 15,3742267 19,6922892 16,1509711 5,2190628 6,4871057 7,4340605
Parametersa,b
Deviation

Most Absolute ,272 ,297 ,240 ,225 ,141 ,196

Extreme Positive ,272 ,297 ,236 ,225 ,062 ,154


Differences Negative -,206 -,234 -,240 -,104 -,141 -,196

Kolmogorov-Smirnov Z 1,331 1,454 1,176 1,102 ,691 ,958

Asymp. Sig. (2-tailed) ,058 ,029 ,126 ,176 ,726 ,318

a. Test distribution is Normal.

b. Calculated from data.

Test of Homogeneity of Variances


Levene Statistic df1 df2 Sig.

Menit_5 6,972 3 20 ,002


Menit_10 5,480 3 20 ,006
Menit_15 7,313 3 20 ,002
Menit_30 3,970 3 20 ,023
Menit_45 18,439 3 20 ,000
Menit_60 11,757 3 20 ,000

Keterangan : Signifikansi menit 5-60 < 0,05 , data tidak terdistribusi homogen
sehinnga analisa statistik dilanjutkan dengan analisis nonparametrik
Kruskal Wallis.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta|


73

Kruskal Wallis Test

Ranks
OBAT N Mean Rank

zantac 6 5,50

generik 6 16,83

Menit_5 obat bermerk A 6 20,17

obat bermerek B 6 7,50

Total 24
zantac 6 7,50
generik 6 15,67
Menit_10 obat bermerk A 6 21,33
obat bermerek B 6 5,50
Total 24
zantac 6 6,50
generik 6 20,83
Menit_15 obat bermerk A 6 16,17
obat bermerek B 6 6,50
Total 24
zantac 6 9,67
generik 6 20,50
Menit_30 obat bermerk A 6 13,00
obat bermerek B 6 6,83
Total 24
zantac 6 5,50
generik 6 11,50
Menit_45 obat bermerk A 6 13,33
obat bermerek B 6 19,67
Total 24
zantac 6 9,67

generik 6 11,67

Menit_60 obat bermerk A 6 13,83

obat bermerek B 6 14,83

Total 24

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta|


74

Test Statisticsa,b
Menit_5 Menit_10 Menit_15 Menit_30 Menit_45 Menit_60

Chi-Square 18,187 19,447 18,587 12,527 12,247 1,913


df 3 3 3 3 3 3
Asymp. Sig. ,000 ,000 ,000 ,006 ,007 ,591

a. Kruskal Wallis Test


b. Grouping Variable: OBAT

Keterangan : Signifikansi <0,05 pada menit 5-45 data berbeda secara signifikan
analisa dilanjutkan dengan analisis nonparametrik Mann Whitney.

Mann Whitney Test

Ranks
OBAT N Mean Rank Sum of Ranks

zantac 6 3,50 21,00

Menit_5 generik 6 9,50 57,00

Total 12
zantac 6 3,50 21,00
Menit_10 generik 6 9,50 57,00
Total 12
zantac 6 3,50 21,00
Menit_15 generik 6 9,50 57,00
Total 12
zantac 6 3,50 21,00
Menit_30 generik 6 9,50 57,00
Total 12
zantac 6 3,50 21,00
Menit_45 generik 6 9,50 57,00
Total 12
zantac 6 5,67 34,00

Menit_60 generik 6 7,33 44,00

Total 12

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta|


75

Test Statisticsa
Menit_5 Menit_10 Menit_15 Menit_30 Menit_45 Menit_60

Mann-Whitney U ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 13,000


Wilcoxon W 21,000 21,000 21,000 21,000 21,000 34,000
Z -2,882 -2,882 -2,882 -2,882 -2,882 -,801
Asymp. Sig. (2-tailed) ,004 ,004 ,004 ,004 ,004 ,423
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,002b ,002b ,002b ,002b ,002b ,485b

a. Grouping Variable: OBAT


b. Not corrected for ties.

Keterangan : Signifikansi < 0,05 obat inovator dan generik berbeda bermakna

Ranks
OBAT N Mean Rank Sum of Ranks

zantac 6 3,50 21,00

Menit_5 obat bermerk A 6 9,50 57,00

Total 12
zantac 6 3,50 21,00
Menit_10 obat bermerk A 6 9,50 57,00
Total 12
zantac 6 3,50 21,00
Menit_15 obat bermerk A 6 9,50 57,00
Total 12
zantac 6 5,67 34,00
Menit_30 obat bermerk A 6 7,33 44,00
Total 12
zantac 6 5,50 33,00
Menit_45 obat bermerk A 6 7,50 45,00
Total 12
zantac 6 5,50 33,00

Menit_60 obat bermerk A 6 7,50 45,00

Total 12

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta|


76

Test Statisticsa
Menit_5 Menit_10 Menit_15 Menit_30 Menit_45 Menit_60

Mann-Whitney U ,000 ,000 ,000 13,000 12,000 12,000


Wilcoxon W 21,000 21,000 21,000 34,000 33,000 33,000
Z -2,882 -2,882 -2,882 -,801 -,961 -,961
Asymp. Sig. (2-tailed) ,004 ,004 ,004 ,423 ,337 ,337
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,002b ,002b ,002b ,485b ,394b ,394b

a. Grouping Variable: OBAT


b. Not corrected for ties.

Keterangan : Signifikansi mulai dari menit 30-60 > 0,05, obat Inovator dan obat
bermerek A tidak berbeda bermakna

Ranks
OBAT N Mean Rank Sum of Ranks

zantac 6 5,50 33,00

Menit_5 obat bermerek B 6 7,50 45,00

Total 12
zantac 6 7,50 45,00
Menit_10 obat bermerek B 6 5,50 33,00
Total 12
zantac 6 6,50 39,00
Menit_15 obat bermerek B 6 6,50 39,00
Total 12
zantac 6 7,50 45,00
Menit_30 obat bermerek B 6 5,50 33,00
Total 12
zantac 6 3,50 21,00
Menit_45 obat bermerek B 6 9,50 57,00
Total 12
zantac 6 5,50 33,00

Menit_60 obat bermerek B 6 7,50 45,00

Total 12

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta|


77

Test Statisticsa
Menit_5 Menit_10 Menit_15 Menit_30 Menit_45 Menit_60

Mann-Whitney U 12,000 12,000 18,000 12,000 ,000 12,000


Wilcoxon W 33,000 33,000 39,000 33,000 21,000 33,000
Z -,961 -,961 ,000 -,961 -2,882 -,961
Asymp. Sig. (2-tailed) ,337 ,337 1,000 ,337 ,004 ,337
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,394b ,394b 1,000b ,394b ,002b ,394b

a. Grouping Variable: OBAT


b. Not corrected for ties.

Keterangan : signifikansi > 0,05 pada menit 5-30 dan 60 obat Inovator dan obat
bermerek B tidak berbeda bermakna.

Ranks
OBAT N Mean Rank Sum of Ranks

generik 6 4,83 29,00

Menit_5 obat bermerk A 6 8,17 49,00

Total 12
generik 6 3,67 22,00
Menit_10 obat bermerk A 6 9,33 56,00
Total 12
generik 6 8,83 53,00
Menit_15 obat bermerk A 6 4,17 25,00
Total 12
generik 6 8,50 51,00
Menit_30 obat bermerk A 6 4,50 27,00
Total 12
generik 6 5,50 33,00
Menit_45 obat bermerk A 6 7,50 45,00
Total 12
generik 6 5,67 34,00

Menit_60 obat bermerk A 6 7,33 44,00

Total 12

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta|


78

Test Statisticsa
Menit_5 Menit_10 Menit_15 Menit_30 Menit_45 Menit_60

Mann-Whitney U 8,000 1,000 4,000 6,000 12,000 13,000


Wilcoxon W 29,000 22,000 25,000 27,000 33,000 34,000
Z -1,601 -2,722 -2,242 -1,922 -,961 -,801
Asymp. Sig. (2-tailed) ,109 ,006 ,025 ,055 ,337 ,423
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,132b ,004b ,026b ,065b ,394b ,485b

a. Grouping Variable: OBAT


b. Not corrected for ties.

Keterangan : signifikan > 0.05 pada menit 5, 30-60 , obat generik dan bermerek A
tidak berbedda secara bermakna.

Ranks
OBAT N Mean Rank Sum of Ranks

generik 6 9,50 57,00

Menit_5 obat bermerek B 6 3,50 21,00

Total 12
generik 6 9,50 57,00
Menit_10 obat bermerek B 6 3,50 21,00
Total 12
generik 6 9,50 57,00
Menit_15 obat bermerek B 6 3,50 21,00
Total 12
generik 6 9,50 57,00
Menit_30 obat bermerek B 6 3,50 21,00
Total 12
generik 6 3,50 21,00
Menit_45 obat bermerek B 6 9,50 57,00
Total 12
generik 6 5,67 34,00

Menit_60 obat bermerek B 6 7,33 44,00

Total 12

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta|


79

Test Statisticsa
Menit_5 Menit_10 Menit_15 Menit_30 Menit_45 Menit_60

Mann-Whitney U ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 13,000


Wilcoxon W 21,000 21,000 21,000 21,000 21,000 34,000
Z -2,882 -2,882 -2,882 -2,882 -2,882 -,801
Asymp. Sig. (2-tailed) ,004 ,004 ,004 ,004 ,004 ,423
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,002b ,002b ,002b ,002b ,002b ,485b

a. Grouping Variable: OBAT


b. Not corrected for ties.

Keterangan : Siginikansi < 0,05 kecuali pada menit 60 , obat genrik dan bermerek
B berbeda secara bermakna.

Ranks
OBAT N Mean Rank Sum of Ranks

obat bermerk A 6 9,50 57,00

Menit_5 obat bermerek B 6 3,50 21,00

Total 12
obat bermerk A 6 9,50 57,00
Menit_10 obat bermerek B 6 3,50 21,00
Total 12
obat bermerk A 6 9,50 57,00
Menit_15 obat bermerek B 6 3,50 21,00
Total 12
obat bermerk A 6 8,17 49,00
Menit_30 obat bermerek B 6 4,83 29,00
Total 12
obat bermerk A 6 5,33 32,00
Menit_45 obat bermerek B 6 7,67 46,00
Total 12
obat bermerk A 6 6,00 36,00

Menit_60 obat bermerek B 6 7,00 42,00

Total 12

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta|


80

Test Statisticsa

Menit_5 Menit_10 Menit_15 Menit_30 Menit_45 Menit_60

Mann-Whitney U ,000 ,000 ,000 8,000 11,000 15,000


Wilcoxon W 21,000 21,000 21,000 29,000 32,000 36,000

Z -2,882 -2,882 -2,882 -1,601 -1,121 -,480

Asymp. Sig. (2-tailed) ,004 ,004 ,004 ,109 ,262 ,631

Exact Sig. [2*(1-tailed ,002b ,002b ,002b ,132b ,310b ,699b


Sig.)]

a. Grouping Variable: OBAT


b. Not corrected for ties.

Keterangan : Signifikansi > 0,05 pada menit 30-60 , obat bermerek A dan obat
bermerek B tidak berbeda secara bermakna.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta|


Lampiran 28. Hasil Analisa Statistik Uji Difusi Tablet Ranitidin

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

menit_0 menit_5 menit_15 menit_30 menit_60 menit_75 menit_90 menit_120 menit_180 menit_210

N 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8
Mean ,242770 4,704253 7,512311 12,275126 17,150220 20,266852 23,834116 29,723678 42,743073 47,922322
Normal Parametersa,b
Std. Deviation ,2475874 1,9419334 3,3538016 6,5386561 7,3318213 7,9628799 7,8328851 7,2446361 7,5195803 10,0231598

Absolute ,378 ,216 ,207 ,243 ,296 ,284 ,313 ,294 ,288 ,263

Most Extreme Differences Positive ,378 ,216 ,207 ,243 ,296 ,284 ,313 ,278 ,180 ,170

Negative -,233 -,137 -,155 -,154 -,259 -,236 -,227 -,294 -,288 -,263

Kolmogorov-Smirnov Z 1,070 ,610 ,586 ,686 ,837 ,804 ,884 ,833 ,814 ,744

Asymp. Sig. (2-tailed) ,202 ,851 ,883 ,734 ,485 ,537 ,414 ,492 ,522 ,638

a. Test distribution is Normal.


b. Calculated from data.

81
82

Kruskal-Wallis Test

Ranks
OBAT N Mean Rank

inovator 1 6,00

generik 2 5,00

menit_0 obatbermerekA 2 1,50

obatbermerekB 2 4,50

Total 7
inovator 1 1,00
generik 2 6,50
menit_5 obatbermerekA 2 2,50
obatbermerekB 2 4,50
Total 7
inovator 1 1,00
generik 2 4,50
menit_15 obatbermerekA 2 2,50
obatbermerekB 2 6,50
Total 7
inovator 1 1,00
generik 2 4,50
menit_30 obatbermerekA 2 2,50
obatbermerekB 2 6,50
Total 7
inovator 1 1,00
generik 2 4,50
menit_60 obatbermerekA 2 2,50
obatbermerekB 2 6,50
Total 7
inovator 1 3,00
generik 2 4,50
menit_75 obatbermerekA 2 1,50
obatbermerekB 2 6,50
Total 7
inovator 1 1,00
generik 2 4,50
menit_90
obatbermerekA 2 2,50
obatbermerekB 2 6,50
83

Total 7
inovator 1 3,00
generik 2 4,50
menit_120 obatbermerekA 2 1,50
obatbermerekB 2 6,50
Total 7
inovator 1 3,00
generik 2 6,50
menit_180 obatbermerekA 2 1,50
obatbermerekB 2 4,50
Total 7
inovator 1 3,00

generik 2 6,50

menit_210 obatbermerekA 2 1,50

obatbermerekB 2 4,50

Total 7
Test Statisticsa,b

menit_0 menit_5 menit_15 menit_30 menit_60 menit_75 menit_90 menit_120 menit_180 menit_210

Chi-Square 4,071 5,679 5,679 5,679 5,679 5,679 5,679 5,679 5,679 5,679

df 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3

Asymp. Sig. ,254 ,128 ,128 ,128 ,128 ,128 ,128 ,128 ,128 ,128

a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable: OBAT

Keterangan : Signifikansi >0,05 data tidak berbeda secara signifikan.

84
Lampiran 28. Contoh Perhitungan
1. Penetapan Kadar
 Timbang setara :
Mg zat aktif
x bobot total 10 tablet (mg).
𝑚𝑔 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑧𝑎𝑡 𝑎𝑘𝑡𝑖𝑓 10 𝑡𝑎𝑏𝑙𝑒𝑡

Contoh: 10 tablet Ranitidin 150 mg, timbang setara 100 mg.


100 𝑚𝑔
x 2000 mg = 133,34 mg
1500 𝑚𝑔

 Persen kadar :
Kadar (mg) = kons (ppm) x Vol. Larutan x Faktor pengenceran
𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 (𝑚𝑔)
Kadar (%) = 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑒𝑟𝑎 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑒𝑡𝑖𝑘𝑒𝑡 (𝑚𝑔) x 100%

Contoh :
Kadar mg Obat A = 125, 14 x 0,05 L x 2 = 141, 2 mg
141,2 𝑚𝑔
Kadar (%) = x 100 mg = 94,11 %
150 𝑚𝑔

2. Uji Disolusi dan Ujid Difusi


 Faktor Koreksi (FK) =
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑟𝑎𝑠𝑖 (𝑝𝑝𝑚)𝑥 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑐𝑎𝑖𝑟𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑝𝑙𝑖𝑛𝑔 (10 𝑚𝑙)
𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑚𝑒𝑑𝑖𝑢𝑚 𝑑𝑖𝑠𝑜𝑙𝑢𝑠𝑖 (9000 𝑚𝑙)
 Mg zat terdisolusi atau difusi =
Konsentrasi (ppm) + FK x vol. Medium disolusi (L) x Faktor
pengenceran.
= 2,374 x 10 mL
Contoh : FK = 0,0264 ( menit 5)
900 𝑚𝐿

Mg zat terdisolusi / difusi pada menit ke-10 = (6,339 + 0,0264 ) x 0,9 L x


10 = 57,288 mg
57,288 𝑚𝑔
% terdisolusi atau terdifusi pada menit ke-10 = x 100 %= 38,19%
150 𝑚𝑔

85

Anda mungkin juga menyukai