Anda di halaman 1dari 7

International Missionary Council (IMC)

Pendahuluan
Pada abad XIX, gerakan oikumene menjadi lebih meluas dan lebih intensif serta
memperlihatkan lebih banyak segi-segi baru daripada di abad-abad sebelumnya. Pertama,
jiwa pengabaran injil itu lebih hidup dan lebih giat, serta mulai berhasil membentuk
gereja-gereja yang muda hampir di seluruh benua. Kedua, alat-alat perhubungan dan
pengangkutan semakin banyak dan lancar. Karena perhubungan menjadi lebih baik maka
dengan mudah diadakan pertemuan-pertemuan internasional.
Pertumbuhan industri dan perdagangan menimbulkan banyak persoalan-persoalan
baru yang di hadapi. Banyak orang yang pindah ke kota-kota dan kepusat perindustrian.
Seperti dalam hal perburuhan, umpamanya sosialisme dan marxisme mulai berkembang.
Pada abad ini tedapat peranan optimisme mengenai pekabaran injil.
Pada pertengahan abad XIX, muncul satu kegiatan baru dibidang oikumene.
Secara serentak suara-suara dari Skotlandia, Inggris, Jerman, Swiss dan Amerika,
mengemukakan perlunya ada satu persekutuan dari orang-orang yang memegang
kepercayaan pada Injil. Sehingga pada 1846 didirikanlah di London satu badan yang
bernama “Evangelical Alliance”. Konferensi tersebut secara antusias menjunjung gagasan
keesaan gereja. Menurut mereka azas dari persekutuan itu adalah hal terpenting yang
mereka miliki bersama. Evangelical Alliance berencana untuk mengadakan rapat sekali
dalam setahun, guna meninjau hidup kerohanian dan menstimulir pekabaran injil (PI),
serta membela kebebasan beragama.1
Usaha untuk bekerjasama dalam lapangan PI telah dilakukan dalam skala regional
dan internasional. Beberapa contoh: Konferensi-konferensi nasional yang diadakan dalam
rangka membicarakan hal-hal yang menyangkut PI misalnya adalah di India tahun 1855,
dan di Madras tahun 1900. Selain itu, konferensi-konferensi lain juga bermunculan di
berbagai belahan dunia lainnya seperti di Tiongkok, Afrika selatan bahkan di Kairo.2
Dua peristiwa besar yang turut menunjang lahir dan berkembangnya gerakan
ekumenis adalah peristiwa di Madras tahun 1900 dan konferensi PI internasional yang
diselenggarakan Evangelical Alliance di New York di tahun yang sama. Pada konferensi
di Madras, dua keyakinan mengenai misi dipertama yaitu; bahwa Gereja pada hakikatnya
1
K, Sitompul, Masalah Keesaan Gereja, (Jakarta : Badan Penerbit Kristen, 1990), 9-11
2
Dr, Christiaan De Jonge, Menuju Keesaan Gereja, (Jakarta : PT. BPK. Gunung Mulia, 1996), 8
adalah Tubuh Kristus dan dipanggil untuk memberitakan Injil di segala tempat dan
kepada siapa pun yang belum mendengarnya.3 Hal ini merupakan kewajiban setiap
anggota dari Tubuh Kristus.
Peristiwa Kedua yang cukup menentukan adalah konferensi pekabaran inijl di
New York tahun 1900 yang mulai menggunakan kata ekumenis sebagai temanya. Namun,
sebagian anggota konferensi ini masih memahami ekumenika sesuai dengan Mat 24:14.
Dalam konferensi ini diadakan survey detail area misi dijadikan sasaran PI selama ini dan
yang akan dituju selanjutnya

IMC I, Edinburgh 1910


Dewan Pekabaran Injil International International Missionary Council (IMC),
didirikan pada tahun 1921 di Lake Mohonk, New York dan berpusat di London dan New
York. Ketuanya adalah John Mott, sekretarisnya J. H. Oldham. Para anggotanya
bukanlah terdiri dari perorangan tetapi organisasi-organisasi yang bekerjasama di bidang
pekabaran Injil, seperti dewan-dewan pekabaran Injil nasional yang mulai didirikan di
Edinburgh.
Konferensi Pekabaran Injil Internasional Edinburgh tahun 1910 adalah konferensi
keempat yang diadakan setelah konferensi pekabaran injil internasional di Liverpool
(1860), London (1885) dan New York yang diselenggarakan oleh Evangelical Alliance
(tahun 1900).
Situasi dunia yang melatarbelakangi IMC I di Edinburgh adalah perang Dunia I
(1914-1918)sedangkan pokok-pokok yang dibahas di Edinburgh adalah: 1. Pekabaran
Injil di seluruh dunia; 2. Gereja di lapangan pekabaran Injil; 3. Pendidikan dan
Pengkristenan; 4. Berita Kristen dan agama-agama bukan-Kristen; 5. Persiapan para
pekabaran Injil; 6. Hubungan dengan “pangkal” di dalam negeri; 7. Hubungan dengan
pemerintah; 8. Kerjasama dan keesaan.
Walaupun konferensi pekabaran Injil Internasional di Edinburgh bukan yang
pertama, melainkan yang keempat, namun maknanya jauh lebih besar dari ketiga
konferensi yang sebelumnya. Karena para peserta rela untuk memberi bentuk konkrit
kepada kerjasama di bidang PI dalam suatu wadah yang bersifat permanen.

3
Nicholas Lossky, et.al (ed), Dictionary of The Ecumenical Movement ( Grand Rapids: WCC,1991),690.
IMC I diwarnai oleh semboyan John Mott, “the Evangelization of the World in
this Generation”, yang berisi semangat untuk mengabarkan Injil. Semboyan ini
menyatakan perkiraan realistis mengenai kemungkinan-kemungkinan untuk pekabaran
Injil yang bukan optimisme yang tak beralasan. Semboyan John Mott bertujuan untuk
mengkoordinasikan semangat misioner, uang, tenaga, dan daya seefektif mungkin,
IMC I kemudian memutuskan untuk membentuk Continuation Comitte yang
kemudian menghasilkan lembaga-lembaga yang memfokuskan diri pada pelayanan-
pelayanan pendidikan bagi sekolah-sekolah teologi, penyediaan literatur, dan segala
keperluan bagi penelitian tentang misi seperti; A comitte on the formation of board of
study in Great Britain, A comitte on the Development of training Schools for
Missionaries on the field, A committee of Christian Literature, dan The Committee on
Missionary Survey on Occupation Selain itu dalam Continuating Committee juga mulai
dibicarakan mengenai hubungan Kristen dan Islam dalam misi serta peran perempuan
dalam misi.4

IMC II, Yerusalem 1928


IMC yang ke dua diadakan di Yerusalem tahun 1928 di atas bukit Zaitun. Tempat
ini berada diperbatasan Barat dan Timur. Di sini terkumpul 250 utusan, diantaranya 50
lebih utusan asli daerah-daerah Sending sendiri. Mereka mewakili gereja-gereja yang
telah didirikan di daerah-daerah Sending itu. 5 Konferensi ini berlangsung mulai dari tgl
23 Maret-8 April. Hal yang dibicarakan adalah mengenai pasang surutnya misi gereja
dalam memberikan kesaksian bahwa pernyataan Allah dalam Kristus adalah sesuatu yang
unik dan punya nilai yang spesifik untuk memberikan jawaban terhadap makna dan
persoalan hidup. Hal mengenai PI itu lebih kaji secara dalam. Berbeda dari kekristenan
sebelumnya yang berhubungan dengan kekaisaran dalam perkembangan awal yang
mempunyai sikap keras terhadap agama-agama lain. Maka pertemuan ini bermaksud
untuk menegaskan kembali bahwa misi Kristen itu bukan sekedar sebuah pandangan
teologis. Tapi juga menyangkut kehidupan sebagai persoalan religius termasuk
didalamnya dia memberikan dukungan penuh, menghormati kekuatan-kekuatan vital
4
John R. Mott, “ Continuation Commitee dalam Jurnal The Innternational Review of Missions, Volume 1
no 1 ( New York:IRM,1912), 73.
5
Dr. H. Berkof dan Dr. I. H. Enklaar, Sejarah Gereja, (Jakarta : PT. BPK. Gunung Mulia, 1993), 349-350
yang terdapat dalam agama-agama lain. Di samping itu konferensi ini menekankan
bahwa PI bukan hanya menjadi tanggung jawab yang dilakukan secara perorangan.
Dengan kata lain PI tidak hanya diperuntukkan bagi gereja, tapi diarahkan lebih luas
6
sebagai panggilan untuk dunia.
Di samping itu juga dilakukan pendekatan menyeluruh (comprehensive
approach). Kemudian didirikanlah Comitte on the Christian Approach to the Jews
(Panitia Pendekatan Kristen terhadap orang-orang Yahudi). Gagasan pembentukan komite
ini berasal dari dunia pekabaran injil Anglosaks. Sebenarnya gagasan ini sudah pernah
dipikirkan sebelumnya, seperti di India. Di sana mulai disadari bahwa pemberitaan Injil
kepada petani-petani miskin harus disertai dengan rekonstruksi masyarakat secara
menyeluruh. Juga dikalangan pendidikan pekabaran Injil mulai disadari bahwa
penanaman pemahaman tentang Injil harus terjadi dalam pendekatan secara menyeluruh
terhadap pendidikan dan pembinaan. Semua ini bermuara dalam laporan Yerusalem
mengenai “rural problems” (masalah-masalah pedesaan). Menurut laporan ini, manusia
merupakan kesatuan dan tidak dapat dilepaskan dari akar-akarnya dalam keadaan fisik,
mental dan sosial di mana ia hidup. Oleh sebab itu pekerjaan pekabaran harus mencapai
segala aspek kehidupan.
Comprehensive approach bertolak dari pendapat bahwa injil menyangkut seluruh
manusia, yaitu jiwanya, hubungannya dengan sesama manusia dan dunia sekitarnya. Oleh
sebab itu pekabaran injil tidak boleh membatasi diri pada pemberitaan Firman kepada
orang perorangan. Pekabaran injil juga termasuk termasuk pekerjaan sosial, medis,
pendidikan, singkatnya kegiatan-kegiatan mencakup segala bidang kehidupan. Dengan
demikian comprehensive approach memperlihatkan pemahaman baru mengenai injil dan
pekabaran injil di mana semua kegiatan pekabaran injil yang tradisional mendapat tempat
yang wajar.7
Konferensi Yerusalem tidak hanya dijelajahi oleh Teologi Barat. Dalam
konferensi ini muncul minat untuk melakukan dialog dengan agama-agama lain. pesan
konferensi ini adalah seperti undangan yang ditujukan kepada orang-orang non Kristen
untuk membicarakan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap agama, sebagaimana
6
Dr. Christian De Jonge, Op. Cit, 14-15
7
Humphrey, Milford, The Christian Life and Message in Relation to Non Christian Systems : Report of the
Jerusalem Meeting of The International Missionary Council Vol. 1 (London : Oxford University Press,
1928), V-VII.
termaktub dalam keputusan konsili vatikan II. Pesan konferensi ini juga bukan hanya
bicara mengenai suatu barisan bersama yaitu adanya kerjasama yang terjalin antar umat
beragama untuk melawan sekularisme. Tetapi konferensi ini mengakui adanya nilai-nilai
dalam kebudayaan sekuler.8
IMC III, Tambaram 1938
Pada pertemuan berikutnya, terutama pertemuan di Tambaram gagasan tentang
misi memasuki suatu fase baru. Pengaruh trauma pasca Perang Dunia I, kemudian juga
ditantang oleh munculnya ideologi-ideologi Nazisme, Fasisme dan Marxisme serta
teologi liberal, menghantar gereja kepada suatu kesadaran baru. Pada waktu itu tema-
tema seperti  pertobatan, pengampunan Allah,  kelahiran kembali dan kebenaran muncul
secara menonjol. Tema-tema seperti itu menampilkan kesadaran gereja terhadap fungsi
kehadiran gereja dalam kehidupan bermasyarakat dan bukan hanya bagi gereja itu
sendiri.
Ekumenis di Tambaram dilihat oleh David Bosch sebagai sebuah konferensi yang
mengambil langkah maju sekalipun oleh kalangan evengelikal (diwakili oleh Donald
McGavran), melihat bahwa konferensi tambaram dan  Dewan Gereja-gereja se Dunia
(DGD) telah menyangkal perintah Kristus untuk pergi ke seluruh dunia guna
memberitakan Injil dan membaptiskan.  Kritik Donald McGavran kemudian mendapat
tantangan dari Eugene Smith dengan mengatakan bahwa “konsep Pekabaran Injil Donald
McGavran terlalu memberi perhatian pada keselamatan pribadi dan pada “kekeristenan
statistik” yang mengukur hasilnya dengan angka dan bukan pertumbuhan Rohani”.
Dengan demikian konsep pekabaran Injil dari gerakan ekumenis dan gerakan evangelikal
menjadi sangat menonjolkan perbedaan mengikuti pemahaman teologinya masing-
masing.
Terlepas dari perbedaan konsep ini, namun untuk pertama kali, Lembaga
Penginjilan Sedunia itu merumuskan suatu konsep baru dengan memahami bahwa Gereja
dan Misi sebagai satu kesatuan sebab misi dan gereja itu sendiri berasal dari hakekat
Allah.  Perbedaan-perbedaan dogmatik intern gereja diterima sebagai sesuatu yang tidak
bisa ditolak. Langkah ini kemudian menjadi titik tolak pengembangan konsep misi yang
lebih menyadari bahwa gereja bukanlah menjadi titik tolak ataupun tujuan misi. Karya
8
H, Schuman, Dialog Antarumat Beragama : Membuka Babak Baru dalam Hubungan Antarumat
Beragama, (Jakarta : PT. BPK Gunung Mulia, 2008), 305
penyelamatan Allah itulah yang merupakan sumber gereja dan misi. Sehingga misi berarti
berpartisipasi dalam pengutusan Allah.  Missio Dei menciptakan Missiones ecclesiae.
Gereja bukan lagi yang menjadi pengutus tetapi gerejalah yang diutus dan tidak
meletakan gereja di bawah misi atau sebaliknya misi di bawah gereja. Gereja dan misi
hadir dalam konteksnya dalam kerangka penyelamatan sebagai Missio Dei (Misi Allah)
Pemahaman ini dirumuskan pada konferensi Misi di Willingen (Jerman) tahun 1952
sesudah pengalaman yang mengecewakan terhadap peristiwa Perang Dunia ke-II.
Keesaan gereja-gereja di sadari sebagai bagian dari Misi Allah melalui Kristus. Oleh
karena itu Dewan Gereja-gereja Dunia, yang berdiri tahun 1948, sebagai suatu kemajuan
dari kesadaran tugas dan tanggujawab gereja dalam dunia.  Berhubungan dengan konsep
ini, maka gereja kemudian memahami dirinya bukan hanya sebatas institusi belaka tetapi
gereja sebagai Tubuh Kristus (Efesus 4:12).9

Penutup
Berangkat dari apa yang telah kita lihat bersama dalam IMC I,II dan III, kita dapat
mengamati beberapa hal yaitu:
1. Gerakan keesaan perlu diwujudkan dalam rangka menjawab tugas dan panggilan
Gereja dalam memberitakan Injil dengan paradigma yang terus berkembang. Pertama-
tama mungkin PI dilakukan dalam rangka konversi namun meninjau perkembangan isu
sosial,politik,budaya, dan ekonomi yang terus berkembang, selanjutnya Gereja ditantang
untuk mengembangkan PI yang lebih komprehensif.
2. Tugas ini bukan tugas yang mudah. Dari IMC I-III saja kita sudah melihat bahwa
upaya ini memperoleh tantangan baik dari dalam gereja sendiri maupun dari luar. Salah
satu yang menjadi kendala adalah pihak-pihak yang masih belum mau belajar dari
pengalaman dari orang lain dan mempertahankan pandangannya sendiri.
3. Keesaan gereja tidak dapat berjalan dengan efektif ketika dilakukan secara perorangan.
Missio Dei harus dikumandangkan seluas-luasnya, dan IMClah tempat ini berlangsung.
Apakah gereja harus menjadi gereja yang satu dalam arti organisasi, atau gereja
dapat menjadi satu dalam kesamaan pemahaman akan keberadaan, tugas dan
panggilannya di tengah dunia? Kalau kita memahami gerakan keesaan sebagai upaya

9
Di akses tgl 11Feb 2008 pkl 21.00 WIB, Http://www.ingentaconnect.com/radioph/2001.
yang kedua, artinya kita diajak untuk bersama dengan setiap anggota gereja dalam IMC
mewujudkan persekutuan yang sehati dan sepaham terus menjawab tantangan yang ada
dalam PI dan untuk itulah IMC hadir.

Daftar Pustaka
Sitompul, K. Masalah Keesaan Gereja. Jakarta : Badan Penerbit Kristen, 1990.
Christiaan De Jonge, Dr. Menuju Keesaan Gereja. Jakarta : PT. BPK. Gunung Mulia,
1996.
Lossky ,Nicholas. et.al (ed), Dictionary of The Ecumenical Movement. Grand Rapids:
WCC,1991.
Mott,John.R. “ Continuation Commitee dalam Jurnal The Innternational Review of
Missions, Volume 1 no 1. New York:IRM,1912.

Berkof, Dr. H. dan Enklaar ,Dr. I. H. Sejarah Gereja. Jakarta : PT. BPK. Gunung Mulia,
1993.
Milford, Humphrey. The Christian Life and Message in Relation to Non Christian
Systems : Report of the Jerusalem Meeting of The International Missionary
Council Vol. 1. London : Oxford University Press, 1928.
Schuman, H. Dialog Antarumat Beragama : Membuka Babak Baru dalam Hubungan
Antarumat Beragama. Jakarta : PT. BPK Gunung Mulia, 2008.

Anda mungkin juga menyukai