Anda di halaman 1dari 116

Practicum Teaching Material

Kata Pengantar
Preface

Puji syukur Kami haturkan kepada-Nya, atas segala nikmat, karunia


dan kesempatan untuk menyelesaikan penyusunan Buku Petunjuk
Praktikum Survei Tanah Erosi dan Perencanaan Konservasi (STEPK).
Praktikum ini merupakan rangkaian tak terpisahkan dari matakuliah STEPK
yang mempunyai bobot 2 sks. Praktikum STEPK sudah dilaksanakan sejak
penggabungan mata kuliah Survei Pemetaan Tanah dan kuliah Erosi dan
Konservasi Tanah pada tahun 2009. Selama 5 tahun terakhir materi
praktikum terus mengalami revisi yang disesuaikan dengan perkembangan
dan orientasi keilmuan.
Buku Petunjuk Praktikum Survei Tanah Erosi dan Perencanaan
Konservasi ini merupakan buku panduan teknis dalam melakukan kegiatan
1) survei tanah, 2) pengukuran tingkat bahaya erosi, 3) upaya konservasi
tanah. Materi survei tanah menekankan pada pemahaman teknis
penyusunan satuan pemetaan tanah berdasarkan pada sistem klasifikasi
Soil Taxonomy (USDA) dan World Reference Base (FAO). Setelah materi
survei tanah, pembaca diajak untuk memahami prinsip perencanaan
konservasi berdasarkan tingkat bahaya erosi. Tehnik-tehnik pengukuran
erosi di lapangan dan pemodelan erosi dijabarkan setiap tahap secara detil
dalam buku ini.
Terimakasih kami ucapakan kepada Fakultas Geografi UGM yang
telah membantu proses percepatan penulisan buku ini melalui pendanaan
BOPTN. Ilmu pengetahuan dapat terus berkembang karena adanya
pertukaran informasi dan keterbukaan pemikiran dalam menerima kritik dan
saran. Kami selalu membuka diri terhadap kritik dan saran pada materi buku
ini. Semoga buku ini dapat memberikan inspirasi bagi pembaca untuk
melakukan penelitian-penelitian yang produktif dan bermanfaat.

Yogyakarta, Februari 2017

Penyusun

i
Daftar Isi

Preface ........................................................................................ i
Daftar Isi……….... ....................................................................... ii
BAB I Pendahuluan................................................................ 1
BAB II Deliniasi Bentuklahan.……………................................ 2
BAB III Klasifikasi Tanah USDA............................................... 6
BAB IV Klasifikasi Tanah WRB................................................. 25
BAB V Pembuatan Satuan Peta Tanah................................... 30
BAB VI Identifikasi dan Pengukuran Tipologi Erosi................... 34
BAB VII Identifikasi dan Pengukuran Tipologi Longsor.............. 54
BAB VIII Pemodelan Erosi Menggunakan WATEM/SEDEM...... 59
BAB IX Analisis Ambang Batas Erosi.........……….................... 69
BAB X Pembuatan Peta Morfokonservasi……......................... 76
BAB XI Pemodelan Erosi dan Limpasan Permukaan
Menggunakan Model SWAT…………………………….. 81
BAB XII Penutup….. ................................................................... 93
Bibliography ................................................................................. 94
Glossary ....................................................................................... 97
Index ............................................................................................ 100
LAMPIRAN……………………………………………………………. 101

ii
BAB I Pendahuluan

Praktikum Survei Tanah, Erosi, Perencanaan dan Konservasi


(STEPK) merupakan praktikum yang bertujuan agar pembaca memahami 1)
proses pembuatan satuan pemetaan tanah, 2) interpretasi potensi dan
ancaman yang terdapat pada setiap satuan pemetaan tanah, 3) serta
metode penentuan konservasi suatu lahan. Ketiga tujuan tersebut pada
akhirnya berujung pada keberlanjutan pemanfaatan lahan dan lingkungan.
Tujuan tersebut dapat tercapai secara optimal jika pembaca memiliki
pengetahuan komprehensif terhadap proses pembentukan dan karekteristik
tanah. Kemampuan penilaian karakteristik tanah tidak dapat tercapai tanpa
pemahaman yang mendasar tentang segala proses geomorfologi dan
variasi bentuklahan. Oleh karena itu, pembaca direkomendasikan untuk
memahami terlebih dahulu mengenai konsep dasar ilmu tanah dan
geomorfologi sebelum mengikuti materi buku ini.
Buku Petunjuk Praktikum Survei Tanah, Erosi dan Perencanaan
Konservasi memuat 10 acara praktikum. Materi diawali dengan tehnik
pembuatan satuan pemetaan bentuklahan (BAB II). Hasil pemetaan
bentuklahan akan dijadikan dasar bagi kegiatan survei dan penyusunan
peta-peta pada acara selanjutnya. Dua sistem klasifikasi tanah – Soil
Taxonomy dan WRB (World Reference Base) – diperkenalkan dalam BAB III
dan BAB IV. Pembaca akan diberikan beberapa contoh data hasil
pengamatan lapangan dan hasil analisa laboratorium sebagai bahan latihan
penamaan tanah dengan dua sistem klasifikasi. BAB V menjelaskan metode
penyusunan satuan pemetaan tanah pada satu wilayah yang dapat berupa
konsosiasi, asosiasi, dan kompleks. Hasil akhir dari acara praktikum
tersebut adalah peta tanah tentatif. Bahasan mengenai erosi dijabarkan
pada BAB VI (Identifikasi dan Pengukuran Langsung Berbagai Bentukan
Erosi Tanah dan Jenis Teknik Konservasi), BAB VII (Simulasi Erosi dengan
Metode Demplot), BAB VIII (Pemodelan Erosi Menggunakan Morgan-
Morgan Finney’s (MMF) – Saga), dan BAB IX (Perhitungan Erosi
Diperbolehkan). Tujuan akhir dari materi-materi terkait erosi ini adalah
informasi tingkat bahaya erosi pada satu wilayah. Ketika laju erosi sudah
melampaui nilai erosi yang diperbolehkan maka perlu dilakukan praktek
konservasi yang disesuaikan dengan karakteristik fisik dan sosial ekonomi
masyarakat. Materi terakhir dari buku ini memaparkan tentang proses
penyusunan peta morfo-konservasi. Peta morfo-konservasi mempunyai
peranan yang penting untuk evaluasi efektivitas dan efisiensi praktek
konservasi di daerah kajian (BAB X).
Sistem penilaian pada praktikum ini dibagi menjadi 5 bagian yaitu :
nilai pre test, nilai laporan, nilai keaktifan, nilai tugas dan nilai post test.
Setiap penilaian tersebut memiliki bobot yang berbeda-beda dalam
menentukan nilai setiap mahasiswa.

1
BAB II

BAB II

2.1. Judul
Pembuatan Satuan Pemetaan Bentuklahan
Create Landform Mapping Unit

2.2. Tujuan
1. Memperjelas konsep dan terapan satuan pemetaan
2. Memperjelas konsep beserta aplikasi pendekatan pedogeomorfologi
dalam survei tanah
3. Menganalisa secara keruangan kondisi geomorfologi suatu daerah
kajian

2.3. Alat dan Bahan


1. Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:25.000 (dalam bentuk digital dan
hard copy)
2. Peta kontur DAS Bompon 1:25.000
3. Peta geologi skala 10.000 DAS Bompon
4. Foto Udara DAS Bompon
5. Pola Aliran DAS Bompon
6. Seperangkat komputer
7. Perangkat lunak Arc GIS 10

2.4. Dasar Teori


Thornbury (1957) menyatakan bahwa tanah adalah bagian dari
permukaan bumi yang ditandai oleh lapisan yang sejajar dengan
permukaan, sebagai hasil modifikasi oleh proses-proses fisis, khemis
maupun biologis yang bekerja dibawah kondisi tertentu dan bekerja selama
periode tertentu. Studi tentang bentanglahan (landscape) yang di dalamnya
termasuk studi bentuklahan (landform) merupakan objek utama dalam
geografi. Bentuklahan merupakan pengaruh faktor-faktor struktur, proses
dan stadia (Sartohadi, 2006). Faktor struktur merupakan gambaran dari
faktor topografi dan batuan. Sedangkan faktor proses adalah akibat
pengaruh faktor iklim yang menyebabkan proses geomorfologi dan
pedogen. Faktor stadia merupkan faktor waktu.
Konsep geomorfologi yang dijabarkan oleh Verstappen (1983),
terdapat empat aspek utama dalam geomorfologi yaitu, bentuklahan,
proses, genesis dan lingkungan. Lebih lanjut, Mangunsukardjo (1986)
menjabarkan aspek geomorfologi menjadi:
1. Studi mengenai bentuklahan, atau disebut sebagai morfologi,
mempelajari relief secara umum yang meliputi aspek:
a. Morfografi; yakni aspek-aspek yang bersifat pendeskripsian
bentuk suau daerah, seperti teras sungai, beting gisik, plato.

2
b. Morfometri; yakni aspek-aspek kuantitatif dari suatu daerah,
seperti kemiringan lereng, bentuk lereng, ketinggian, beda
tinggi, bentuk lembah, pola aliran.
2. Studi mengenai proses geomorfologi, yakni proses yang
mengakibatkan perubahan betuklahan dalam waktu pendek serta
proses terjadinya bentuklahan yang mencakup morfogenesa,
mencakup aspek-aspek:
a. Morfo-struktur pasif, meliputi litologi (tipe dan struktur batuan)
yang berhubungan dengan pelapukan
b. Morfo-struktur aktif, berupa tenaga endogen
c. Morfo-dinamik berupa tenaga eksogen yang berhubungan
dengan tenaga angin, air, es gerak masa batuan dan
vulkanisme
3. Studi geomorfologi yang menekankan pada evolusi pertumbuhan
bentuklahan atau morfo-kronologi, menentukan dan mendeskripsikan
bentuklahan dan proses yang mempengaruhinya dari umur relatif
dan umur mutlak
4. Geomorfologi yang mempelajari hubungan dengan lingkungan, studi
ini mempelajari hubungan antara bentuklahan dengan unsur-unsur
batuan, struktur geologi, tanah, air, vegetasi dan penggunaan lahan.
Proses geomorfologi adalah semua proses yang menyebabkan
perubahan konfigurasi permukaan bumi. Relief mengontrol persebaran
tanah di permukaan bumi. Keterdapatan proses tersebut bersamaan dengan
keterdapatan tanah maka semua proses geomorfologi melibatkan tanah
yang menutup permukaan lahan. Proses geomorfologi yang terjadi
menghasilkan variasi profil tanah. Dengan demikian terdapat kesamaan
antara faktor-faktor pembentuk tanah dengan faktor-faktor pembentuk
bentuklahan. Geomorfologi dan tanah tidak dapat dipisahkan satu sama lain
karena mempunyai proses yang sama. Oleh karena itu proses apapun yang
terjadi maka dapat saling terkait di antara keduanya.
Satuan bentuklahan yang merupakan satuan kajian dalam
geomorfologi pada hakekatnya mempunyai faktor-faktor pembentukan yang
mirip dengan faktor-faktor pembentuk tanah. Perbedaannya terletak pada
pengertian bahan induk tanah yang tidak selalu berasal dari batuan induk
yang ada di bawahnya. Hal ini dikarenakan, mungkin bahan induk tanah
berasal dari bahan terangkut dari daerah lain. Interpretasi morfoaransemen
satuan bentuklahan dapat menjawab asal usul bahan induk tanah pada
suatu daerah. Faktor waktu pembentukan satuan bentuklahan juga berbeda
dengan faktor waktu dalam proses pembentukan tanah. Waktu dalam
pembentukan tanah dihitung sejak bahan induk tanah terbentuk (dapat
berarti diendapkan atau merupakan bahan insitu). Faktor iklim dan
organisme pada proses pembentukan tanah tercermin pada proses
geomorfologi pada faktor pembentuk satuan bentuklahan. Proses
geomorfologi (morfodinamik) merupakan hasil interaksi yang kompleks
antara iklim, organisme (termasuk vegetasi didalamnya), dan batuan serta
relief. Pemahaman yang komprehensif mengenai bentuklahan akan dapat

3
menggambarkan persebaran satuan-satuan tanah yang ada di suatu daerah
kajian yang tentunya mempunyai ketahanan/resistensi yang spesifik
terhadap proses erosi.
Peta tanah adalah sebuah peta yang menggambarkan satuan-
satuan tanah yang dikelompok-kelompokkan menurut satuan-satuan
pemetaan tanah. Peta tanah berisi satuan-satuan pemetaan tanah yang
merupakan kesatuan dari satuan pemetaan lahan (satuan lahan) dan
satuan-satuan tanah yang ada di dalamnya dengan komposisinya masing-
masing. Dengan demikian dalam pemetaaan tanah dikenal dua istilah yang
berbeda makna secara tegas namun sering menjadi kerancuan bagi orang
yang belum memahami secara mendalam mengenai pemetaan tanah
(Sartohadi, 2006), yaitu satuan pemetaan lahan (land mapping unit) dan
satuan tanah (soil unit). Gabungan keduanya merupakan satuan pemetaan
tanah (soil mapping unit).
Dalam rangka memperjelas konsep satuan pemetaan lahan tersebut
maka diperlukan sebuah latihan secara langsung mengenai langkah-
langkah penyusunannya. Terkait dengan penyusunan satuan pemetaan
lahan, maka diperlukan sebuah pendekatan yang tepat untuk mendasarinya.
Hingga saat ini kajian mengenai terapan geomorfologi untuk studi pedologi
sudah sangat berkembang serta telah diakui bahwa terdapat korelasi yang
sangat kuat di antara keduanya. Oleh karena itu di dalam acara ini akan
menggunakan pendekatan geomorfologi sebagai dasar dalam penyusunan
satuan pemetaan tanah.

Bentuklahan
Informasi geomorfologis suatu daerah sangat penting untuk diketahui
dan dipahami terutama dalam kaitannya dengan permasalahan lingkungan
yang pernah, sedang dan akan terjadi. Proses-proses geomorfologis yang
mencakup proses 4endogen dan eksogenik yang terjadi pada kala umur
manusia dapat dipahami dan diinterpretasikan dari satuan-satuan
bentuklahan yang menyusun suatu daerah. Analisis morfometri,
morfogenesis, morfokronologi dan morfoaransemen merupakan kunci dalam
memahami proses-proses geomorfologi suatu daerah. Proses-proses
geomorfologi yang terjadi pada suatu daerah dengan laju diatas normal
biasanya merupakan masalah lingkungan yang serius dalam hal
menimbulkan kerugian material dan bahkan jiwa manusia.
Bentuk-bentuk proses geomorfologi yang sering menimbulkan
kerugian bagi kehidupan manusia salah satunya adalah erosi tanah. Proses
erosi sendiri jarang yang menimbulkan kerugian besar dan bahkan jiwa
manusia secara langsung, namun demikian erosi dapat dipandang sebagai
pemicu bencana yang lebih besar yang potensial merugikan kehidupan.
Penurunan kesuburan tanah, sedimentasi pada bangunan bendung,
menurunnya kualitas dan kuantitas sumber air, dan bahkan erosi pada
lokasi-lokasi tertentu dapat bertindak sebagai pemicu terjadinya longsoran
yang potensial menimbulkan kerugian besar pada satu kejadian.

4
Proses erosi tanah oleh tenaga air diawali dengan terjadinya erosi
percik karena tetes hujan yang jatuh langsung ke permukaan tanah. Untuk
selanjutnya, proses erosi akan berubah menjadi erosi lembar, alur, gully,
dan saluran sungai (river channel erosion). Erosi percik hingga erosi alur
pada umumnya hanya mengangkut material tanah dengan ketebalan
maksimum sampai kedalaman 30 cm (Horison A dan bagian atas horison
B). Erosi gully dan saluran sungai proses pengikisan dan pengangkutan
tidak hanya terjadi pada material tanah saja, namun juga material batuan
dasar. Untuk itu maka dalam Survei dan pemetaan erosi, informasi tanah
yang biasanya didapat dari peta tanah saja tidak cukup. Informasi mengenai
batuan dasar dan informasi morfologi yang lengkap juga sangat diperlukan.
Untuk itu pengetahuan mengenai satuan-satuan bentuklahan yang ada di
suatu daerah yang akan dilakukan kajian erosinya perlu dipelajari dan
diketahui, disamping juga pengetahuan mengenai satuan-satuan tanah yang
ada di daerah kajian.

2.5. Hasil Praktikum


1. Satuan pemetaan bentuklahan daerah kajian pada skala 1:25.000
(peta kerja). Hasil ini kemudian dicetak dengan skala peta
menyesuaikan ukuran kertas. (dibuat secara kelompok maks 4
anak/kelompok – mengumpulkan dalam bentuk printout)

2.6. Langkah Kerja Pelaksanaan Praktikum


1. Mengamati secara seksama kondisi umum dan batas daerah kajian
melalui peta RBI;
2. Mengamati dan menggali informasi kondisi geologi (struktur dan
litologi) daerah kajian melalui peta geologi;
3. Melakukan delineasi satuan-satuan morfologi yang berbeda atas
dasar perbedaan pola dan kerapatan kontur, pola aliran, pola
penggunaan lahan (melalui foto udara), dan apabila diperlukan
melakukan analisis toponimi. Delineasi dilakukan secara step-wise
dimulai dari satuan morfologi utama dan diteruskan ke satuan-satuan
morfologi yang lebih rinci;
4. Informasi bentuklahan minimal memuat dua aspek geomorfologi
berupa morfologi dan morfoaransemen.

5
BAB III

3.1. Judul
Penentuan Klasifikasi Tanah Sistem USDA
USDA Soil Classification

3.2. Tujuan
Mahasiswa mampu menentukan sistematika klasifikasi tanah berdasarkan
Soil Taxonomy (USDA)

3.3. Alat dan Bahan


Untuk keperluan peta tentatif satuan pemetaan tanah:
Buku Soil Taxonomy USDA
Untuk keperluan Survei lapangan:
1. Soil test kit
2. Bor tanah, cangkul, sekop
3. Buku munsell
4. Meteran
5. Kamera foto

3.4. Dasar Teori


Klasifikasi tanah adalah pemberian nama satuan-satuan tanah
menurut tingkat kategori tertentu dan berdasarkan sifat-sifat yang
mencirikan atau sifat diagnostic yang ada pada tanah. Sifat-sifat
tersebut dapat dipelajari dari morfologi tanah. Adapun tujuan dari
klasifikasi tanah adalah:
1. Mengorganisasi (menata) pengetahuan kita tentang tanah
2. Mengetahui hubungan masing-masing individu tanah satu sama lain
3. Memudahkan mengingat sifat-sifat tanah
4. Mengelompokkan tanah untuk tujuan-tujuan yang lebih praktis dalam
hal:
 Menaksir sifat-sifatnya
 Menentukan lahan-lahan terbaik (prime land)
 Menaksir produktivitasnya
 Menentukan areal-areal untuk penelitian atau kemungkinan
ekstrapolasi hasil penelitian di suatu tempat
5. Mempelajari hubungan-hubungan dan sifat-sifat tanah yang
baru

SISTEM KLASIFIKASI TANAH USDA


Sistem klasifikasi tanah USDA Soil Taxonomy merupakan sistem
yang baru dikembangkan oleh soil survey staff dari United States
Department of Agriculture melalui beberapa tingkatan perubahan atau

6
penyempurnaan dari sistem USDA lama. Ada 2 hal yang sangat berguna
untuk mempelajari, mengelompokkan tanah dalam suatu tingkat kategori
tertentu dari sistem ini yaitu:
1. Kenyataan dasar untuk menentukan berbagai macam kelas
dalam sistem ini, ialah sifat tanah seperti aslinya yang terdapat di
lapangan, yaitu sifat yang dapat diukur secara kuantitatif;
2. Nomenklatur yang digunakan berdasar pada ciri pokok tanah
yang bersangkutan, konotasi mudah dimengerti dalam banyak bahasa
(dalam bahasa Latin dan Yunani).
Macam sifat tanah yang digunakan sebagai ukuran untuk klasifikasi
tanah meliputi semua sifat fisika, kimia dan biologi. Diantara sifat-sifat yang
paling penting adalah ada atau tidaknya horison7tertentu yaitu horison
diagnostik mencakup horison diagnostik permukaan (epipedon) dan horison
diagnostik bawah permukaan (endopedon).

Macam horison diagnostik


1. Epipedon
Epipedon adalah7horison-horison permukaan. Tidak sama dengan
horison A, mungkin lebih tipis dari horison A, tapi kadang-kadang juga
termasuk sebagian dari horison B.
1. Anthropik : mempunyai kemiripan sifat dengan epipedon Mollic tetapi
mempunyai kandungan P2O5 yang larut dalam 1% asam sitrat
sebesar 1500 milligram per kilogram atau lebih.
2. Folistik : suatu lapisan dari bahan tanah organik yang jenuh air
selama kurang dari 30 hari kumulatif dalam tahun normal (tidak
didrainase)
3. Histik : suatu lapisan dari bahan tanah organik yang jenuh air
selama 30 hari atau lebih, adanya reduksi selama sebagian waktu
dalam tahun normal
4. Melanik : tersusun dari bahan tanah mineral mempunyai sifat andik,
value (dalam kondisi lembab) dan kroma (Munsell) 2 atau kurang.
5. Molik : tersusun dari bahan tanah mineral dengan struktur tanah
berdiameter 30 cm atau kurang, masih terdapat butir batuan yang
halus (<5 mm) yang menyusun ½ volume total, value warna (lembab
= 3 atau kurang, kering = 5 atau kurang), kroma (lembab=3 atau
kurang)
6. Plagen : suatu lapisan permukaan buatan manusia dengan
ketebalan 50 cm atau lebih, pengaruh pemupukan dalam waktu yang
relatif lama.
7. Umbrik : tersusun oleh bahan tanah mineral mirip dengan Molik
namun dengan kejenuhan basa < 50 %
8. Okrik : tidak memiliki salah satu sifat dari tujuh epipedon yang lain,
karena epipedon ini terlampau kering, memiliki value kroma yang
terlalu tinggi, BO yang rendah.

7
B. Endopedon
Endopedon adalah horison-horioson di bawah permukaan.
Endopedon tidak sama dengan horison B, dapat lebih tebal dengan
mencakup bagian bawah horison A dan atau bagian atas horison C.
1. Albik : Horison eluvial berwarna muda
2. Argilik : Horison lempung silikat, kadar lempung sekurang-kurannya
20% lebih banyak daripada epipedon, menampakkan selaput
lempung.
3. Spodik : Horison illuvial seskuiosida amorf dan bahan koloidal, KPK
tinggi, biasanya terbentuk di bawah horison albik.
4. Oksik : tebal sekurang-kurangnya 30 cm, mengandung lempung
lebih besar dari 15% terutama berupa seskuiksida bebas dan
lempung silikat 1:1, KPK rendah, mengandung mineral primer
terlapukkan tidak lebih dari 1%, tidak memenuhi kriteria Argilik dan
natrik
5. Kambik : Tekstur pasir sangat halus, pasir halus geluhan atau lebih
halus, struktur granuleer, gumpal dan tiang, dapat mengalami
gleisasi, horison pada awal perkembangan, menduduki tempat
horison B akan tetapi tanda-tanda iluviasi humus, besi atau lempung
belum mencukupi untuk memenuhi kriteria Argilik atau Spodik
6. Sombrik : Pengatusan lancar, tidak berada di bawah horison Albik,
horison illuvial humus tanpa disertai Al atau Na, seperti horison
Umbrik dalm hal warna dan kejenuhan basa
7. Agrik : Terbentuk langsung di bawah bidang pembajak, debu
lempung dan humus terlonggokk berlapis tebal berwarna gelap
8. Kalsik : Kadar karbonat alkali tanah di atas 15% setara dengan
kalsium karbonat, mengandung paling kurang 5% lebih banyak
karbonat daripada lapisan yang membawahinya, tabal kurang dari 15
cm, dapat terbentuk dalam horison8C atau dapat ditemukan dalam
horison8molik, argilik, natrik atau yang lain.
9. Gipsik : Kaya akan gips sekunder, mengandung sedikitnya 5 % lebih
banyak gips daripada lapisan yang ada di bawahnya, tebal lebih dari
15 cm.
10. Salik : Kaya akan garam terlarutkan sekunder, tebal sedikitnya 15 cm
11. Sulfurik : Horison mineral atau organik dengan pH < 3,5,
mengandung mineral jarosit berupa bercak kuning (Ke3(SO4)2.(OH)6,
sangat beracun bagi tumbuhan.
12. Petrokalsik : Horison kalsik membatu, kekerasan pada skala Mhos 3
atau lebih, hancur jika direndam dalam larutan asam, akan tetapi
tidak hancur dalam rendaman air.
13. Petrogipsik : Horison gipsik tersemen kuaat, tidak rontok dalam
rendaman air, tidak tertembus akar.
14. Plasik : Padas Fe atau Mn tunggal atau tersemen oleh kompleks besi
dan bahan organik, keras tetapi rapuh, berwarna hitam – coklat
kemerahan tua, pelulusan air lambat.

8
Taksonomi tanah USDA terdiri dari enam kategori dengan sifat-sifat
faktor pembeda mulai dari kategori tertinggi ke kategori terendah, sebagai
berikut:

ORDO
Terdiri daari 11 taksa. Faktor pembeda adalah ada tidaknya horison penciri
serta jenis (sifat) dari9horison tersebut.

SUB ORDO
Terdiri dari 53 taksa. Faktor pembeda adalah keseragamann genetik,
misalny ada tidaknya sifat-sifat tanah yang berhubungan dengan pengaruh
air, regim kelembaban, bahan induk utama, pengaruh vegetasi seperti
ditunjukkan oleh adanya sifat-sifat tanah tertentu, tingkat pelapukan bahan
organik.

GREAT GROUP
Pada saat ini dikenal 250 taksa. Faktor pembedanya adalah kesamaan
jenis, tingkat perkembangan dan susunan horison, kejenuhan basa, regim
suhu dan kelembaban, ada tidaknya lapisan-lapisan penciri lain seperti
plinthitte, fragipan dan duripan

SUBGRUP
Ada lebih dari 2400 subgroup, penekanan pada kenampakan atau proses
yang nampak dominan mengontrol arah atau derajad perkembangan tanah.
Ada tiga macam subgroup:
1. Typic subgroup; secara sederhana didefinisikan sebagai satuan
tanah yang tidak punya karakteristik penciri untuk subgroup lain
2. Transitional ke ordo, subordo, atau great group lain
3. Extragrade; kategori ini mempunyai ciri yang tidak mewakili great
group tetapi tidak menunjukkan peralihan ke satuan tanah lain.
Contoh adalah tanah-tanah yang terlalu tebal atau terlalu tipis
(Lithic), terlalu banyak mengandung karbon organik (Humic)

FAMILI
Klasifikasi pada kategori ini ditujukan untuk mengelompokkan tanah dalam
subgroup yang mempunyai kemiripan perwatakan kimia dan fisika yang
mempengaruhi pengelolaan dan pengolahan. Pada beberap tanah
perwatakan yang digunakan pada kategori ini tanpa mempertimbangkan
kepentingannya sebagai indikator pada proses pembentukkan tanah.

Tabel 3.1. Perwatakan yang digunakan sebagai pembeda pada kategori


famili adalah:
1. klas ukuran butir 2. klas mineralogi tanah

9
3. CEC 4. klas kegampingan dan
reaksi tanah
5. klas suhu tanah 6. ketebalan tanah yang dapat
ditembus akar
7. klas penyelimutan, retakan, dan ketahanan agregat.

SERI
Faktor pembedanya adalah jenis dan susunan horison, warna, tekstur,
struktur, konsistensi, reaksi tanah dari masing-masing horison, sifat-sifat
kimia dan mineral masing-masing horison.

Tabel 3.2. Ordo Tanah dan Elemen Pembentuk Nama Tanah


Asal Kata
Elemen
Elemen Arti / Kata
Ordo Pembentuk
Pembentuk Pengingat
Nama
Nama
Alfisols Alf Suku kata tak Al + Fe…. Warna
berarti kemerahan
Andisols And Modified from Hitam/kelam
ando
Aridisols Id L aridus, dry Kering/gurun
Entisols Ent Suku kata tak Recent…. Baru
berarti
Gelisols El L gelare, to Beku
freeze
Histosols Ist Gr histos, tissue Jaringan, bagian dari
makluk hidup
Inceptisols Ept L inceptum, Permulaan
beginning
Mollisols Oll L mollis, soft Lunak
Oxisols Ox F oxide, oxide Oksida
Spodosols Od Gr spodos, wood Arang
ash
Ultisols Ult L ultumus, last Akhir
Vertisols Ert L verto, turn Terbalik

Tabel 3.3. Elemen Pembentuk Nama pada Kategori Sub-Ordo dan Great
Soil Group

Elemen Asal Kata Konotasi

Alb L albus, white Mempunyai horizon albic


Anthr Modified from Gr Terubah oleh manusia

10
anthropos, human
Aqu L aqua, water Jenuh air, dalam kondisi
tereduksi
Ar L arare, to plow Horison tercampur
Arg Modified from argillic Mempunyai horison argillic
horizon; L argilla, white
clay
Calc L calcis, lime Mempunyai horison calcic
Camb L cambiare, to exchange Mempunyai horizon cambic
Cry Gr kryos, icy cold Dingin
Dur L durus, hard Mempunyai duripan
Fibr L fibra, fiber Stadium awal dekomposisi
Fluv L fluvius, river Dataran Aluvial
Fol L folia, leaf Masa dedaunan
Gyps L gypsum, gypsum Mempunyai horison gypsic
Hem Gr hemi, half Stadium menengah
dekomposisi
Hist Gr histos, tissue Jaringan, bagian dari
makhluk hidup
Hum L humus, earth Humus
Orth Gr orthos, true Benar nyata
Per L per, throughout in time Regim kelembaban Perudic
Psamm Gr psammos, sand Tekstur Pasiran
Rend Modified from Rendzina Kandungan karbonat tinggi
Sal L base of sal, salt Mempunyai horison salic
Sapr Gr saprose, rotten Terdekomposisi pada
stadium lanjut
Torr L torridus, hot and dry Regim kelembaban Torric
Turb L turbidis, disturbed Mengalami pengadukan
karena pembekuan air
Ud L udus, humid Regim kelembaban Udic
Ust L ustus, burnt Regim kelembaban Ustic
Vitr L vitrum, glass Mengandung benda gelas
Xer Gr xeros, dry Regim kelembaban Xeric

Tabel 3.4. Identifikasi Ordo Tanah pada Taksonomi Tanah Berdasarkan


Horison Diagnostik, Sifat dan Bahan Tanah
Ordo Horison11diagnostik, Urutan horison genetik
tanah Sifat dan Bahan tanah yang biasanya muncul
Alfisol Horison Argilik (kejenuhan A/E/Bt/C
basa tinggi)
Andisol Epipedon melanic, sifat A/Bw/C
andik
Aridisol Horison Natrik A/Eg/Btn/Bk/By/C

11
Horison Kalsik, Petrokalsik A/Bkm/Ck
Horison Gipsik, Petrogipsik A/Cym/Cy
Horison Argilik A/E/Bt/Ck
Duripan A/B/Cqm
Horison Salic (regim Az/Cz
kelembaban tanah aridik)
Histosol Bahan Histik Oi/Oa/Oe
Mollisol Epipedon Mollic (kejenuhan A/Bt/C
basa tinggi)
Oxisol Horison Oksik A/Bo/Cr
Spodosol Bahan Spodik, horison Oa/E/Bh/Bs/C
placik
Ultisol Argilik (low base saturation) E/Bt/C
Vertisol Slikensides (bidak kilir), A/Css
retakan
Gelisol Bahan Gelik O/Bgjj/Cf
Inceptisol Kambik A/Bw/C
Sumber: Bockheim and Gennadiyev (2000)

Gambar 3.1. Skema Perkembangan Tanah

12
3.5. Hasil Praktikum
1. Tabel penentuan klasifikasi tanah sistem USDA

3.6. Langkah Kerja Pelaksanaan Praktikum


1. Menyiapkan buku Kunci Taksonomi Tanah USDA
2. Membaca dan memahami sistematika taksonomi tanah mulai dari
epipedon, endopedon, sifat-sifat dan bahan tanah; agar dapat
memberikan nama suatu satuan tanah; (untuk langkah ini akan dilatih
menggunakan contoh lembar hasil deskripsi tanah, masing-masing
mahasiswa diwajibkan mampu memberikan nama satuan tanah
tersebut)
3. Menetukan klasifikasi tanah dari data penelitian yang diberikan.

13
Gambar 3.2. Data Hasil Lapangan 1 (Sartohadi, 2001)

14
Gambar 3.3. Data Hasil Analisis Laboratorium 1 (Sartohadi, 2001)

15
Gambar 3.4. Data Hasil Lapangan 2 (Sartohadi, 2001)

16
Gambar 3.5. Data Hasil Analisis Laboratorium 2 (Sartohadi, 2001)

17
Gambar 3.6. Data Hasil Lapangan dan Analisis Laboratorium 3 (Sartohadi,
2001)

18
Gambar 3.7. Data Hasil Lapangan dan Analisis Laboratorium 4 (Sartohadi,
2001)

19
Gambar 3.8. Data Hasil Lapangan dan Analisis Laboratorium 5 (Sartohadi,
2001)

20
Gambar 3.9. Data Hasil Lapangan dan Analisis Laboratorium 6 (Sartohadi,
2001)

21
Gambar 3.10. Data Hasil Lapangan dan Analisis Laboratorium 7 (Sartohadi,
2001)

22
Gambar 3.11. Data Hasil Lapangan dan Analisis Laboratorium 8 (Sartohadi,
2001)

23
Gambar 3.12. Data Hasil Lapangan dan Analisis Laboratorium 9 (Sartohadi,
2001)

24
BAB IV

4.1. Judul
Penentuan Klasifikasi Tanah Sistem WRB (FAO)
WRB Soil Classification

4.2. Tujuan
Mahasiswa mampu menentukan sistematika klasifikasi tanah berdasarkan
World Reference Base for Soil Resources (WRB).

4.3. Alat dan Bahan


Untuk keperluan peta tentatif satuan pemetaan tanah:
Buku Sistem penamaan WRB
Untuk keperluan survei lapangan:
1) Soil test kit
2) Bor tanah, cangkul, sekop
3) Buku munsell
4) Meteran
5) Kamera foto

4.4. Dasar Teori


Tanah diklasifikasikan untuk mempermudah pemahaman mengenai
sifat-sifat tanah. Klasifikasi didasarkan atas perwatakkan tanah yang
dideskripsikan dalam bentuk sifat dan horison penciri, yang semaksimal
mungkin dapat diamati dan diukur di lapangan. Pemilihan sifat dan horison
penciri didasarkan atas hubungannya dengan proses-proses pembentukan
tanah. Pada kategori tinggi, pemilihan kenampakkan penciri didasarkan atas
tingkat kepentingannya untuk tujuan pengelolaan. Definisi dan deskripsi
satuan tanah mencerminkan variasi dalam karakteristik tanah baik secara
vertikal maupun horizontal. Pembuatan peta tanah dari klasifikasi WRB telah
dgunakan sebagai dasa pengembangan WRB agar dapat dimanfaatkan
untuk korelasi tanah secara nternasional.
Klasifikasi WRB dari FAO sering digunakan untuk klasifikasi tanah
selain sistem USDA. Sistem WRB tidak menggunakan parameter iklim untuk
klasifikasi tanah. Sistem WRB dirancang sebagai klasfikasi yang
komprehensif. Sistem WRB memungkinkan orang menerapkan pada sistem
klasifikasi tanah nasional. Sistem WRB mengandung dua kategori:
1. Reference base yang hanya mempunyai 30 grup tanah
2. Sistem WRB yang mengandung kombinasi dari seseri tanah
tambahan sebagai penunjuk (perubah) pada grup tanah sehingga
memungkinkan karakterisasi dan klasifikasi yang tepat pada profil
tanah.
Reference soil harus mencerminkan wilayah satuan tanah utama
sehingga memberi peluang untuk mengetahui secara komprehensif
menyeluruh mengenai tanah yang menyelimuti bumi. reference base pada

25
kategori WRB tidak berarti menggantikan klasifikasi tanah nasional tetapi
lebih untuk membantu dalam komunikasi secara umum pada tingkat
internasional. Hal ini mengisyaratkan bahwa level yang lebih rendah dari
WRB dapat mengadopsi keragaman lokal pada tingkatan negara dan
provinsi. Saat ini kategori pada level yang lebih rendah telah menekankan
pada kenampakan tanah yang penting untuk penggunaan lahan dan
pengelolaan tanah.
Istilah reference base adalah konotatif sebagai fungsi penanda dimana
WRB akan diasumsikan. Satuan-satuan tanahnya harus mencakup sistem
nasional dan ada korelasi dengan sistem nasional yang telah ada. WRB
juga memungkinkan untuk dapat digunakan sebagai alat komunikasi yang
konsisten untuk kompilasi database tanah secara global dan untuk
inventarisasi dan monitoring sumberdaya tanah dunia.
Dalam WRB ada pembeda dibuat berdasarkan penciri khusus, antar
tingkatan dan penciri lainnya. Penciri khusus berdasarkan pada kunci
keterangan dari Reference Soil Groups (RSGs), contohnya Hydragic atau
Plaggic untuk Anthrosols. Penciri antar tingkatan mencerminkan kriteria
diagnostik yang penting dari RSG lainnya. Penciri yang lain tidak
berhubungan dengan penciri khusus dan tidak terhubung dengan RSGs
yang lain. Group ini mencerminkan sifat-sifat tanah seperti warna, kejenuhan
basa, dan sifat fisik dan kimia yang tidak digunakan sebagai penciri khusus
dalam keterangan grup.

Prinsip dan penggunaan penciri dalam sistem WRB


Dua sistem tingkatan yang digunakan untuk level penciri, terdiri atas:
1. Prefix : penciri khusus dan penciri antar tingkatan: rangkaian
penciri antar tingkatan mengikuti RSGs dalam kunci WRB, dengan
pengecualian Arenosols. Antar tingkatan ini diurutkan berdasarkan
penciri akhiran (suffix) tekstur
2. Suffix : penciri lainnya: (1) penciri berhubungan dengan horizon
diagnostik, sifat atau material; (2) penciri berhubungan dengan sifat
kimia; (3) penciri berhubungan dengan sifat fisik; (4) penciri
berhungan dengan sifat mineral; (5) penciri berdasarkan sifat
permukaan; (6) penciri berhubungan dengan sifat tekstur
emncakup kekasaran fragmen; (7) penciri berhungan dengan
warna; (8) penciri yang lain

26
Gambar 4.1. Reference Soil Groups sistem klasifikasi WRB (IUSS, 2007)

Tabel 4.1. Klasifikasi Reference Soil Groups WRB berdasarkan asal proses
No Kelompok Tanah
Reference Soil
Groups
1 Organic Soils Histosols
2 Mineral soils whose formation was conditioned Anthrosols
by human influences (not confined to any
particular region)
3 Mineral soils whose formation was conditioned
by their parent material

27
- Soils developed in volcanic material ANDOSOLS
- Soils developed in residual and shifting
sands ARENOSOLS
- Soils developed in expanding clays VERTISOLS
4 Mineral soils whose formation was conditioned
by the
topography/physiography of the terrain
- Soils in lowlands (wetlands) with level FLUVISOLS
topography GLEYSOLS
- Soils in elevated regions with non-level LEPTOSOLS
topography REGOSOLS
5 Mineral soils whose formation is conditioned CAMBISOLS
by their limited age (not confined to any
particular region)
6 Mineral soils whose formation was conditioned PLINTHOSOLS
by climate: (sub-)humid tropics FERRALSOLS
NITISOLS
ACRISOLS
ALISOLS
LIXISOLS
7 Mineral soils whose formation was conditioned SOLONCHAKS
by climate: arid and semi-arid regions SOLONETZ
GYPSISOLS
DURISOLS
CALCISOLS
8 Mineral soils whose formation was conditioned KASTANOZEMS
by climate: steppes and steppic regions CHERNOZEMS
PHAEOZEMS
9 Mineral soils whose formation was conditioned PODZOLS
by climate: (sub-)humid temperate regions PLANOSOLS
ALBELUVISOLS
LUVISOLS
UMBRISOLS
10 Mineral soils whose formation was conditioned CRYOSOLS
by climate: permafrost regions

Sumber: (IUSS, 2007)

28
Gambar 4.2. Penciri prefix dan suffix dalam sistem WRB, kasus untuk
Cryosols (IUSS, 2007)

Gambar 4.3. Contoh penamaan tanah WRB dengan kunci penciri hingga
suffix (IUSS, 2007)
4.5. Hasil Praktikum
1. Tabel penentuan klasifikasi sistem WRB

4.6. Langkah Kerja Pelaksanaan Praktikum


1. Menyiapkan buku Kunci Taksonomi Tanah WRB
2. Membaca dan memahami sistematika taksonomi tanah mulai
RSGs, sifat-sifat dan bahan tanah serta tambahan prefix dan suffix;
agar dapat memberikan nama suatu satuan tanah; (untuk langkah
ini akan dilatih menggunakan contoh lembar hasil deskripsi tanah,
masing-masing mahasiswa diwajibkan mampu memberikan nama
satuan tanah tersebut)
3. Menetukan klasifikasi tanah dari data penelitian yang diberikan.

29
BAB V

5.1. Judul
Pembuatan Satuan Pemetaan Tanah
Create Soil Mapping Unit

5.2. Tujuan
1. Memberikan pemahaman mengenai satuan-satuan pemetaan
tanah (konsosiasi, asosiasi, komplek dan satuan tak
terpilahkan/undifferenciated).
2. Mahasiswa dapat membuat peta tentatif tanah.

5.3. Alat dan Bahan


Untuk keperluan peta tentatif satuan pemetaan tanah:
1. Peta geomorfologi daerah kajian
2. Buku Soil Taxonomy USDA
Untuk keperluan survei lapangan:
1. Soil test kit
2. Bor tanah, cangkul, sekop
3. Buku munsell
4. Meteran
5. Kamera foto

5.4. Dasar Teori


Persebaran satuan-satuan tanah di permukaan bumi sangat
kompleks sehingga untuk memetakan setiap satuan tanah yang ada
dalam suatu daerah kajian menjadi sangat tidak ekonomis dan
bahkan secara ilmiah juga sulit untuk bisa dilakukan. Untuk itu maka
yang dipetakan dalam pemetaan tanah bukanlah satuan-satuan
tanah yang ada tetapi adalah satuan-satuan lahannya. Untuk
selanjutnya pada setiap satuan lahan yang ada dilakukan identifikasi
satuan-satuan tanah yang ada didalamnya beserta komposisinya
masing-masing. Atas dasar komposisi satuan-satuan tanah yang ada
di dalam satuan lahan yang digunakan sebagai satuan pemetaan
dikenal ada 4 macam satuan pemetaan tanah (SPT), yaitu:

1. Konsosiasi
Satuan pemetaan tanah konsosiasi didominasi oleh satu satuan
tanah dan tanah yang serupa (similar soil unit). Dalam konsosiasi
paling tidak mempunyai 50% satu satuan tanah yang sama dan
25% satuan tanah yang serupa. SPT konsosiasi diberi nama
sesuai dengan satuan tanah yang dominan. Satuan tanah lain

30
yang tidak sejenis dan serupa maksimal mempunyai persentase
25%. Dua satuan tanah dikatakan sebagai tanah yang serupa
apabila mereka hanya berbeda pada satu atau dua kriteria yang
menyebabkan keduanya diklasifikasikan ke dalam kelompok
yang berbeda. Secara umum satuan-satuan tanah yang serupa
mempunyai potensi yang31hampir sama. Sedang dua satuan
tanah dikatakan tidak serupa apabila keduanya mempunyai
perbedaan yang tegas dan lebih dari tiga kriteria yang
menyebabkan keduanya diklasifikasikan ke dalam kelompok
yang berbeda. Satuan-satuan tanah yang tidak serupa
mempunyai potensi terhadap penggunaan tertentu yang berbeda
tegas.

2. Asosiasi
SPT jenis ini mengandung dua atau lebih satuan tanah yang
tidak serupa yang digunakan dalam penamaan SPT dan
mempunyai komposisi yang hampir sama. Satuan-satuan tanah
penyusun SPT ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain kedalam
SPT-SPT yang berbeda karena keterbatasan skala pemetaan.
SPT assosiasi dalam skala pemetaan yang lebih besar dapat
dipisahkan kedalam SPT-SPT konsosiasi yang berbeda.

3. Kompleks
SPT ini mirip dengan SPT asosiasi karena terdapat dua atau
lebih satuan-satuan tanah yang tidak serupa yang digunakan
dalam penamaan SPT, demikian juga komposisi masing-masing
satuan tanahnya serupa dengan SPT asosiasi. Persebaran
satuan tanah yang ada pada SPT ini tidak mengikuti pola tertentu
sehingga dalam skala pemetaan yang lebih besar, satuan-satuan
tanah yang menyusunnya tetap tidak dapat dipisahkan satu
sama lain.

4. Satuan Pemetaan Tak Terpilah (undifferenciated group).


SPT ini mengandung dua atau lebih satuan-satuan tanah tidak
serupa yang menyusun nama SPT. Satuan-satuan tanah yang
ada didalamnya dikelompokkan ke dalam satu SPT yang sama
karena mempunyai kesamaan dalam penggunaan dan
pengelolaan untuk penggunaan yang umum. Persebaran satuan-
satuan tanah di dalam SPT ini tidak secara konsisten mengikuti
pola geografis tertentu.

31
PETA TANAH
Peta tanah menggambarkan penyebaran beberapa satuan
tanah dalam berbagai luas lahan. Peta tanah pada skala tertentu
menggambarkan keadaan tanah dan lahan sesuai dengan nama
petanya. Peta tanah sebagai penggambaran harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
a. Dapat memberi gambaran yang mudah dipandang dan
dimengerti
b. Mengandung unsur-unsur sifat yang dikehendakai
tujuannya
c. Membedakan tegas antara dua atau kebih satuan-
satuan peta yang berlainan
d. Tidak membingungkan bagi yang melihat
Satuan peta tanah (soil mapping unit) tersusun dari unsur-unsur:
a. Satuan tanah
b. Satuan bahan induk
c. Satuan wilayah

Tabel 5.1. Skala Peta Tanah

Jenis peta Skala Satuan peta

Detil 1:5.000 – 1:25.000 Seri (subgrup, tekstur,


drainase), lereng

Semi detil 1:25.000 – 1:100.000 Famili (subgrup,


tekstur, drainase)
bentuk wilayah

Tinjau 1:100.000 – 1: 250.000 Subgrup, bentuk


wilayah,
fisiografi/bahan induk

Eksplorasi 1: 1.000.000 – 1: 2.500.000 Ordo, bentuk wilayah,


bahan induk

Bagan < 1 : 2.500.000 Ordo

Sumber: Sartohadi, 2006

5.5. HASIL PRAKTIKUM

32
Peta tanah semi detil skala 1:25.000 (kelompok, maksimal 4 orang)

5.6. Langkah Kerja Pelaksanaan Praktikum


1. Menyiapkan buku Kunci Taksonomi Tanah;
2. Membaca dan memahami sistematika taksonomi tanah mulai dari
epipedon, endopedon, sifat-sifat dan bahan tanah; agar dapat
memberikan nama suatu satuan tanah; (untuk langkah ini akan
dilatih menggunakan contoh lembar hasil deskripsi tanah,
masing-masing mahasiswa diwajibkan mampu memberikan nama
satuan tanah tersebut);
3. Menyiapkan peta peta satuan lahan daerah kajian;
4. Mengamati dan memahami kembali kondisi geomorfologi daerah
kajian baik morfologi, morfogenesa (proses dan litologi),
morfokronologi dan morfoaransemennya; dengan mengetahui
kondisi geomorfologi akan dapat dilakukan interpretasi satuan
tanah yang mungkin ada pada satuan lahan tertentu;
5. Memberikan nama satuan pemetaan tanah beserta komposisinya
secara tentatif;
6. Cek lapangan;
7. Analisa laboratorium;
8. Cross check antara peta tentatif satuan pemetaan tanah dengan
hasil pengamatan lapangan dan analisa laboraturium; dan
9. Layout peta tentatif tanah pada kertas A3.

33
BAB VI

6.1. Judul
Identifikasi dan Pengukuran Tipologi Erosi untuk Konservasi Tanah
Identification and Measurement of Erosion for Soil Conservation

6.2. Tujuan
1. Mengenali metode metode pengukuran langsung erosi tanah
di lapangan
2. Mampu memprediksi secara kuantitatif laju erosi tanah di satu
satuan lahan
3. Mengenali jenis-jenis teknik konservasi

6.3. Alat dan Bahan


1. Jeruji, tusuk sate
2. Benang
3. Penggaris dan meteran
4. Pisau lapangan dan cetok
5. Ember
6. Plastik sampel
7. Spidol (marker)
8. Kamera foto
9. Seperangkat komputer
10. Surfer

6.4. Dasar teori erosi


Metode pemodelan erosi sudah berkembang dengan baik
hingga saat ini dan dari waktu ke waktu selalu dilakukan revisi
ataupun modifikasi untuk memperoleh hasil prediksi yang realistis
dan mendekati kondisi aktual di lapangan. Dari sekian pemodelan
erosi tanah pasti memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing
sesuai dengan lokasi kajian. Penerapan sebuah pemodelan erosi di
suatu daerah harus mempertimbangkan berbagai aspek, antara lain
ketersediaan data serta kesesuaian model dengan kondisi fisik
daerah kajian.. Hasil dari pemodelan tentunya diperlukan sebuah
validasi ataupun pembanding dengan laju erosi sesungguhnya yang
terjadi di lapangan. Dengan demikian, adanya suatu metode
pengukuran erosi tanah di lapangan menjadi penting untuk dipelajari.
Metode pengukuran erosi di lapangan secara langsung di
lapangan juga dapat digunakan sebagai perkiraan awal tingkat erosi
pada suatu daerah dalam waktu tertentu. Keuntungan utama dari
metode sidik cepat ini adalah karena murah dalam biaya serta

34
sederhana, dapat dilakukan dalam jumlah yang banyak dengan
dengan demikian hasilnya pun dapat lebih meyakinkan (Hudson,
1993). Peralatan ataupun bahan yang dibutuhkan pun relatif mudah
didapat dan sederhana. Metode pengukuran erosi lapangan ini
sangat bermanfaat untuk memberikan gambaran proses erosi yang
terjadi pada petani/pemilik lahan, karena sifat dari metode ini yang
mudah dipahami. Alternatif pengukuran erosi yang dapat digunakan
terdiri dari:

Pengukuran-pengukuran titik (point measurements)


1. Erosion pins
Metode yang paling sering dipakai ini terdiri dari pin yang ditancapkan
(dapat berupa jeruji, bambu, kayu, ataupun besi) ke permukaan
tanah. Prinsip kerja dari metode ini adalah membaca perubahan
permukaan tanah dari ketinggian semula, dapat berupa pengurangan
berarti terjadi erosi ataupun berupa penambahan berarti terdapat
penambahan material (sedimentasi).

Gambar 6.1. Pin erosi (Hudson, 1993)

35
Gambar 6.2. Pin erosi sederhana menggunakan kayu

2. Paint collars (tanda garis berwarna)


Sebuah indikator perubahan kedalaman yang intensif, misalnya pada
dasar saluran atau dasar gully. Metode ini sangat sederhana hanya
dengan memberikan tanda garis dengan cat (warna cerah/mudah
dilihat) yang tidak larut dalam air pada sekeliling batuan, boulder,
akar tanaman, ataupun bangunan yang bersifat stabil.

3. Bottle tops
Contoh lain yang sederhana dalam merekam ketinggian awal dari
tanah hanya dengan cara menancapkan ujung atas dari botol ke
permukaan tanah. Ketika terjadi proses erosi, tanah di dalam botol
dapat menjadi pembanding seberapa dalam telah terjadi kehilangan
tanah di titik tersebut.

36
Gambar 6.3. Penggunaan tutup botol untuk melihat kehilangan tanah

4. Profile meters
Alat yang dibuat sedemikian rupa sehingga dapat menggambarkan
penampang melintang perubahan pernukaan tanah (dapat berupa
pengurangan ataupun penambahan permukaan tanah akibat erosi
dan sedimentasi).

Gambar 6.4. Profile meters (Hudson, 1993)

37
Gambar 6.5. Contoh profile meter di lapangan

Pengukuran 38volumetrik
Prinsip dasar dari metode ini adalah mengukur kehilangan
tanah berdasarkan pengukuran tiga dimensi dari volume.

Gambar 6.6. Rangkaian erosion pins yang disusun membentuk grid


untuk pengukuran erosi rill/gully (Hudson, 1993)

38
Gambar 6.7. Perhitungan penampang melintang dari gully (Hudson,
1993)

Stocking dan Murnaghan (2001) juga memberikan metode


pengukuran kehilangan tanah di lapangan berdasar bukti-bukti erosi
di lapangan. Metode pengukuran ini telah digunakan Setiawan (2007)
sebagai data pembanding hasil pemodelan erosi dengan RMMF
(Rivised Morgan- Morgan Finney), hasil yang diperoleh pun cukup
realistis dan dapat diterima. Perhitungan erosi di lapangan ini harus
didukung oleh data bulk density tanah (ton/m3).Bukti erosi di
lapangan yang dijelaskan oleh Stocking dan Murnaghan (2001)
antara lain:

5. Rills

Gambar 6.8. Rangkaian rill dan interill

39
Gambar 6.9. Penampang melintang rill berbentuk segitiga

Rill merupakan bentukan erosi yang berbentuk cekungan tipis


memanjang dan pada umummnya tegak lurus dengan lereng.
Batasan antara rill dan gully sendiri adalah jika rill dapat diolah atau
diperbaiki hanya dengan peralatan pertanian yang sederhana
(cangkul atau bajak), sedangkan gully harus menggunakan peralatan
berat (bulldozers). Gambar 5. Menunjukkan kenampakan erosi rill
yang berjajar diselingi dengan interrill. Langkah dalam
perhitungannya:

1. Siapkan tabel isian sebagai berikut:


Tabel 6.1. Perhitungan Pengamatan Erosi
Nomor pengamatan Lebar (mm) Kedalaman (mm)
1
2
3

Total pengukuran
Rata-rata
Panjang rill (L) :……...m
Luas Catchment (LC) :……....m2
Nb: semakin banyak jumlah pengamatan akan semakin baik (minimal
20)
2. Ubah satuan lebar dan kedalaman dalam satuan meter (m)
3. Hitung luas penampang melintang rill (A) menyesuaikan bentuk
bidangnya;

40
 segitiga= ½.lebar.kedalaman,
 setengah lingkaran=½.lebar.kedalaman,
 segiempat= lebar.kedalaman
4. Hitung volume tanah yang hilang V (m3)
V=A.L
5. Hitung kehilangan tanah (SL1) dengan cara mengkonversikan
total volume tanah yang hilang (V) ke dalam volume per m 2
dengan cara membaginya dengan luas catchment (LC), maka
----- SL 1 (m3/m2) = V / LC
6. Untuk memperoleh nilai erosi akhir (SL2) maka konversikan SL ke
dalam satuan ton per hektar
SL 2 (t/ha) = SL1 (m3/m2) . BD (t/ha). 104
Nb: BD adalah Bulk Density tanah hasil analisa laboratorium

6. Gully
Bentukan erosi ini merupakan bukti erosi tahap lanjut. Gully
nampak sebagai cekungan dalam yang membentuk saluran, ketika
musim penghujan akan berfungsi sebagai parit alami hasil aliran
permukaan pada waktu musim penghujan. Tidak jarang pula
ditemukan sebagai saluran alami hasil aliran sumber mata air dari
hulu. Gully dapat berkembang terus hingga mencapai dasar batuan
induk, jika sudah mencapai tahap tersebut perkembangan
selanjutnya akan mengarah ke samping. Dalam perhitungannya
bentuk penampang melintang dari gully diasumsikan sebagai bidang
trapesium. Teknik perhitungan kehilangan tanah dari bukti gully sama
dengan pengukuran rill. Hanya saja perlu diperhatikan bahwa ukuran
dari gully bisa mencapai lebar 25 meter dan kedalaman 15 meter.
Studi mengenai perkembangan gully dapat didukung dengan analisa
time series dari foto udara atau citra beresolusi tinggi.

41
Gambar 6.10. Penampang melintang gully

7. Pedestal
Pedestal merupakan sisa lapisan tanah yang ”berdiri” di
sekitar permukaan tanah yang tererosi, pada bagian atasnya
terlindungi oleh material yang resisten (batuan atau akar). Penyebab
utama pembentuknya adalah terjangan butiran-butiran hujan yang
menimpa tanah, pada beberapa bagian permukaan tanah terlindungi
oleh batuan atau akar. Ketika permukaan tanah yang tereosri, bagian
yang tertutupi ini akan terlindungi. Pada tahap selanjutnya pedestal
juga akan terpengaruh oleh erosi lembar (sheet erosion).

Gambar 6.11. Kenampakan pedestal

42
Gambar 6.12. Kenampakan pedestal di lapangan

Perhitungan erosi dengan bukti pedestal:


8. Siapkan tabel seperti di bawah ini;
Penggunaan lahan:
Titik koordinat : X……............ Y……................
Tanggal pengamatan :
Tabel 6.2. Pengamatan Pedestal
Ketinggian pedestal maksimal di
Nomor pengamatan
titik pengamatan
1
2
3

Total pengukuran
Ketinggian rata – rata (mm)
9. Menghitung kehilangan tanah

43
Kehilangan tanah (t/ha) = ketinggian rata-rata pedestal (mm) . BD
(t/m3). 101
Nb: BD adalah bulk density tanah hasil analisa laboraturium

10. Armour layer


Armour layer nampak sebagai konsentrasi partikel tanah
kasar yang tersingkap pada permukaan tanah. Kenampakan ini
membuktikan bahwa partikel tanah yang lebih halus telah tererosi
lebih dulu dan meninggalkan partikel kasar.

Gambar 6.13. Pengamatan armour layer di lapangan

Cara pengamatan dan perhitungan:


1. Gali permukaan tanah pada daerah akumulasi armour
layer yang belum terusik
2. Amati ketinggian armour layer dengan penggaris
3. Ambil segenggam tanah di bawah lapisan armour layer,
amati persentase material kasar yang ada dibanding dengan
material halusnya
4. Siapkan tabel isian seperti di bawah ini;

Tabel 6.3. Pengamatan Armour Layer


Proporsi material
Kedalaman armour
Nomor pengamatan kasar pada lapisan
layer (mm)
atas (%)
1
2

44
3

Jumlah
Rata-rata h %k

Gambar 6.14. Persentase kekasaran batu (sumber: soil survey staff,


2000)

11. Menghitung kedalaman tanah yang dibutuhkan untuk


membentuk armour layer
Total tanah (mm) = h . %k

12. Menghitung kehilangan tanah


Kehilangan tanah (mm) = Total tanah – h

13. Mengkonversi kehilangan tanah dalam t/ha


Total kehilangan tanah (t/ha) = Kehilangan tanah . BD (t/m3). 101
14. Singkapan akar tanaman/pohon
Prinsip perhitungannya adalah mengukur ketinggian dasar akar yang
tersingkap dengan batas tanah semula yang membekas di batang
tanaman. Umur tanaman dapat digunakan sebagai dasar perkiraan
laju erosi per tahun. Cara pengamatan dan perhitungan adalah
menyiapkan tabel seperti di bawah ini:
Penggunaan lahan:
Titik koordinat: X…….......... Y……..........

45
Tanggal pengamatan :
Tabel 6.4. Pengamatan dan Perhitungan Erosi oleh Singkapan Akar
Tanaman
Perbedaan Konversi
Umur
ketinggian ton/hektar Laju erosi
No tanaman/pohon
tanah (A) A . BD . 101 (t/ha/tahun)
(tahun)
(mm) (t/ha)
1
2
3

Jumla
h
Rata-
rata
Nb: BD adalah bulk density hasil pengukuran lapangan

15. Solution notches


Solution notches dapat membantu menentukan ketinggian
tanah awal sebagai akibat dari erosi. Kenampakan ini akan muncul
pada singkapan batuan besar (boulder). Solution notches terbentuk
karena reaksi kimia antara tanah, udara dan batuan. Tanah
permukaan memiliki potensi reaksi kimia yang lebih besar dengan
tanah karena sifat tanah atas yang lebih asam akibat pengaruh
bahan organik yang cenderung tinggi di lapisan atas. Kondisi tersebut
akan mempercepat proses pelapukan pada singkapan batuan.
Pelapukan tersebut akan meninggalkan bekas horisontal yang
disebut notch. Ketika lapisan tanah mulai tererosi, notch pada batuan
tadi akan tampak lebih jelas.
Metode perhitungan dari bukti erosi ini hanya mengalikan
antara perbedaan tinggi dengan BD, namun perlu diketahui pula
waktu yang diperlukan untuk proses erosi di daerah tersebut. Asumsi
waktu yang digunakan adalah mulai dari awal pengolahan tanah di
daerah tersebut hingga sekarang. Cara pengamatan dan
perhitungan:
1. Siapkan tabel seperti di bawah ini:
Tabel 6.5. Pengamatan Solution Notches
Nomer Perbedaan tinggi antara solution notches
dengan permukaan tanah (mm)
1
2

46
3

Total
Rata-rata (mm)

16. Perkirakan laju kehilangan tanah per tahunnya berdasar


asumsi waktu tertentu
Kehilangan tanah (mm/tahun) = Nilai rata-rata (mm) / periode
(tahun)

17. Konversi ke satuan t/ha/tahun


Laju kehilangan tanah (t/ha/tahun) = kehilangan tanah
(mm/tahun) . BD (t/m3). 101
18. Tree mound
Bentukan ini dicirikan dengan kondisi tanah di bawah kanopi
pohon dimana ketinggian tanah tersbut lebih tinggi daripada kondisi
di sekitarnya.

Gambar 6.15. Tree mound di bawah kanopi pohon

Perhitungan :
1. Siapkan tabel sebagai berikut:
Tabel 6.6. Pengamatan Tree Mound
No Perbedaan Konversi ke Umur Kehilangan
tinggi (A) ton/hektar tanaman tanah
(mm) A . BD. 101 (tahun) tahunan

47
t/ha (t/ha/tahun)
1
2
3

Total
Rata-
rata

Gambar 6.16. Persentase Pentupan Kanopi (Arsyad, 1989)

19. Sediment in drain


Bentukan ini merupakan hasil pengangkutan aliran
permukaan yang kemudian terendapkan di saluran air sekitar lahan.
Saluran ini bisa berupa saluran buatan ataupun alami. Material yang
tersedimen ini mempunyai ukuran yang halus.
Perhitungan:

48
1. Siapkan tabel seperti berikut ini:
Tabel 6.7. Pengamatan Sediment in Drain
Nomor Kedalaman sedimen (mm) Lebar saluran (mm)
1
2
3

Total
Rata-rata (D) (L)
Panjang saluran (P) = …..m
Daerah tangkapan (A) =….m2

2. Konversi satuan rata-rata kedalaman dan lebar ke satuan meter


3. Hitung luas penampang melintang (Ap)
Ap (m2) = D x L
20. Hitung volume sedimen (V)
V (m3) = Ap . P
21. Hitung volume sedimen per satuan luas (VA)
VA (m3/m2) = V / A
22. Konversi volume per meter persegi ke ton per hektar
Kehilangan tanah (t/ha) = VA . BD . 104

6.5. Dasar teori konservasi

Konservasi tanah sangat penting dilakukan. Tanah


merupakan media untuk menumbuhkan tanaman. Jika tanah tidak
diolah dengan benar maka akan mengurangi fungsi tanah sebagai
media penumbuh tanaman. Pengolahan tanah dilakukan dengan
melakukan konservasi. Tujuan konservasi tanah adalah untuk
meningkatkan produktivitas lahan dan mencegah terjadi kerusakan
lahan akibat erosi.
Teknik konservasi tanah di Indonesia diarahkan pada tiga
prinsip utama yaitu perlindungan permukaan tanah terhadap pukulan
butir butir hujan, meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah seperti
pemberian bahan organik atau dengan cara meningkatkan
penyimpanan air, dan mengurangi laju aliran permukaan sehingga
menghambat material tanah dan hara terhanyut (Agus et al., 1999,
dalam Subagyono, dkk., 2003). Konservasi tanah dapat dilakukan
dengan berbagai macam teknik. Teknik konservasi tanah yang sering
dilakukan adalah konservasi tanah secara mekanik dan vegetatif.
Berikut beberapa teknik konservasi secara mekanik (Dariah dkk., )

49
1. Teras
a. Teras Bangku
Fungsi dari pembuatan teras bangku adalah untuk
menambah kapasitas infiltrasi, memperlambat dan
mengalirkan aliran permukaan agar tidak merusak tanah.
Berikut gambar dari teras bangku

Gambar 6.17. Beberapa tipe teras bangku (Dariah dkk., )

50
b. Teras Gulud
Teras gulud merupakan suatu guludan yang diberi
saluran persis di belakang guludan

Gambar 6.18. Sketsa teras gulud (Dariah dkk., )

c. Teras Kredit
Teras ini terbentuk secara bertahap akibat erosi
permukaan yang tertahan akibat adanya tanaman yang
ditanam rapat searah kontur.

Gambar 6.19. Sketsa dan foto teras kredit (Dariah dkk., )

2. Rorak
Rorak adalah lubang untuk saluran peresapan air. Dimensi
rorak menurut Arsyad (2000) adalah kedalaman 60 cm,
panjang 500 cm dan lebar 50 cm.

51
Gambar 6.20. Rorak dengan tanaman kopi (Dariah dkk., )

Berikut beberapa contoh konservasi tanah secara vegetatif:


1. Mulsa
Mulsa merupakan sisa-sisa tanaman yang disebar untuk
menutupi permukaan tanah agar evaporasi berkurang
sehingga ketersediaan air terjaga.

Gambar 6.21. Mulsa disebar disela-sela tanaman jagung (Subagyono


dkk., 2003)

2. Sistem Penanaman Menurut Strip


Penanaman menurut strip adalah penanaman dengan
membuat jarak tertentu antar tanaman. Penanaman dilakukan
dengan searah kontur. Penanaman juga dapat dilakukan
dengan perselingan beberapa jenis tanaman.

52
Gambar 6.22. Penanaman dilakukan dengan jarak tertentu
(Subagyono dkk., 2003)

6.6. Hasil Praktikum


1. Hasil perhitungan kehilangan tanah (Tabel)
2. Hasil pengamatan bentukan erosi di lapangan (foto, nama
bentukan erosi, perhitungan)
3. Hasil pengamatan jenis-jenis konservasi di lapangan (foto,
nama, jenis konservasi, koordinat)

6.7. Langkah Kerja Pelaksanaan Praktikum


1. Menyiapkan checklist pengukuran dan peralatan survei;
2. Pengamatan dan pengukuran bukti erosi di lapangan
Masing-masing mahasiswa mengamati bentukan erosi
sebanyak mungkin di lapangan.
3. Melakukan pengumpulan dan pengukuran data mikrotopografi
erosi dengan melihat kenampakan bentukan erosi (pedestal,
aluran, atau singkapan akar) yang ada di lapangan.
4. Menghitung hasil pengukuran berdasarkan formulasi
perhitungan-perhitungan yang telah disampaikan pada dasar
teori, setiap mahasiswa diwajibkan melakukan pengukuran
secara seksama.
5. Membandingkan setiap hasil pengukuran, apakah terjadi
perubahan? Bagaimana variasinya?
6. Hasil pengukuran kemudian digunakan untuk mengetahui
tingkat bahaya erosi dengan mengklasifikasikannya berdasar

53
pada klasifikasi dari Departemen Kehutanan dalam Tim
Fakultas Geografi (1987).
7. Pengamatan Jenis Teknik Konservasi
Pengamatn teknik konservasi dilakukanpada area atau wilayah
kajian yang sama dengan pengukuran erosi. Melalui
pengamatan ini maka diketahui jenis teknik konservasi yang
diterapkan serta dapat dicocokan dengan kejadian erosi yang
terukur sehingga dapat dinilai efektivitasnya.

Tabel 6.8 Penentuan Tingkat Bahaya Erosi


Erosi Kelas Erosi
I II III IV V
Solum Erosi ton/ha/tahun
tanah (cm)
< 15 15-60 60-180 180-480 > 480
Dalam
> 90 SR R S B SB
Sedang
60-90 R S B SB SB
Dangkal
30-60 S B SB SB SB
Sangat
Dangkal B SB SB SB SB
< 30
Sumber : Departemen Kehutanan dalam Tim Fakultas Geografi
(1987)

Keterangan :
SR : sangat ringan
R : ringan
S : sedang
B : berat
SB : sangat berat

54
BAB VII

7.1. Judul
Identifikasi dan Pengukuran Tipologi Longsor
Identification and Measurement of Landslide Tipology

7.2. Tujuan
3. Mahasiswa mampu memahami dinamika proses longsor
4. Mahasiswa mampu mengidentifikasi tipologi kejadian longsor
5. Mahasiswa mampu mengukur morfometri kejadian longsor

7.3. Alat dan Bahan


3. Peta geomorfologi daerah kajian
4. Foto udara daerah kajian
5. Checklist survei kejadian longsor
6. Global positioning system
7. Lacer Ace
8. Meteran
9. Kamera foto
10. Alat tulis

7.4. Dasar Teori


Longsor mencakup semua gerakan perpindahan tanah,
batuan, dan material organik/anorganik yang menuruni lereng tertentu
karena disebabkan tenaga gravitasi dan tenaga lainnya, seperti
proses alam dan aktivitas manusia (Cornforth, 2005). Longsor juga
menunjukkan proses pergerakan massa tanah yang pada dasarnya
merupakan proses degradasi alami permukaan bumi dan juga
merupakan salah satu faktor utama pembentuk bentang alam (Van
Western, 1993). Kejadian longsorlahan akan membentuk suatu
morfologi baru di sebuah lereng (Cornforth, 2005; Clague & Stead,
2012). Kompleksitas proses longsor menuntut adanya inventarisasi
data kejadian longsor (Samodra, Chen, Sartohadi, dan Kasama,
2015).
Faktor-faktor yang mempengaruhi longsor terdiri dari gaya
gravitasi yang berkorelasi dengan sudut lereng (Sartohadi, 2005 dan
Kusky, 2008), kondisi geologi, geomorfologi, dan hidrologi (Hadmoko,
2010), kondisi batuan dan tanah (Sartohadi, 2005), dan aktivitas
manusia (Hadmoko dan Mauro, 2012 dan Cornforth, 2005) Banyak
istilah yang ada dalam longsor sebagaimana ditunjukkan Gambar 6.1.

55
Gambar 6.1. Ilustrasi bagian-bagian longsor
Sumber : Modifikasi dari Vernes (1978) dalam Cornforth (2005)

56
Tidak ada sistem klasifikasi yang sederhana dan ideal untuk
menjelaskan longsor karena sifatnya yang sangat kompleks
(Hadmoko dan Mauro, 2012). Meskipun demikian longsor dapat
diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, tipe material, morfologi
bidang gelincir, dan kecepatan pergerakannya (Hungr, Leroueil, dan
Picarelli, 2013). Menurut Hadmoko dan Mauro (2012) longsor dapat
diklasifikasikan menjadi 5 tipe, yaitu : (1). Rockfall, (2). Topples, (3).
Sliding, (4). Lateral spreads, dan (5). Debris flow yang ditunjukkan
pada Gambar 6.2.

Gambar 6.2. Klasifikasi longsor


Sumber : Modifikasi Cruden dan Varnes (1996) dalam Clague
dan Stead (2012) dan landslides.usgs.gov

7.5. PERKEMBANGAN KLASIFIKASI LONGSOR

Tabel. 6.1. Rangkuman klasifikasi longsor Varnes tahun 1978


Movement type Rock Debris Earth
Fall Rock fall Debris fall Earth fall
Topple Rock topple Debris topple Earth topple
Rotational Rock slump Debris slump Earth slump

57
sliding
Translational Block slide Debris slide Earth slide
sliding
Lateral Rock spread - Earth spread
spreading
Flow Rock creep Talus flow Dry sand flow
Debris flow Wet sand flow
Debris Quick clay flow
avalanche
Solifluction Earth flow
Soil creep Rapid earth
flow
Loess flow
Complex Rock slide- Cambering, Earth slump-
debris valley bulging earth flow
avalanche
Sumber : Hungr, Leroueil, dan Picarelli, 2013

Tabel 6.2. Rangkuman versi terbaru dari modifikasi klasifikasi


longsor Varnes tahun 1978
Type of movement Rock Soil
Fall Rock/ice fall* Boulder/debris/silt fall*
Topple Rock block topple* Gravel/sand/silt topple*
Rock flexural topple
Slide Rock rotational slide Clay/silt rotational slide
Rock planar slide* Clay/silt planar slide
Rock wedge slide* Gravel/sand/debris slide*
Rock compound slide Clay/silt compound slide
Rock irregular slide*
Spread Rock slope spread Sand/silt liquefaction
spread*
Sensitive clay spread*
Flow Rock/ice avalanche* Sand/silt/debris dry flow
Sand/silt/debris flowslide*
Sensitive clay flowslide*
Debris flow*
Mud flow*
Debris flood
Debris avalanche*
Earth flow
Peat flow
Slope deformation Mountain slope Soil slope deformation
deformation
Rock slope Soil creep

58
deformation solifluction
The words in italics are placeholders (use only one)
* : movement types that usually reach extremely rapid velocities as defined by
Cruden and Varnes (1996)
Sumber : Hungr, Leroueil, dan Picarelli, 2013

7.6. HASIL PRAKTIKUM


1. Deskripsi dan contoh kejadian longsor setiap tipologi longsor
2. Checklist survei longsor hasil lapangan
3. Dokumentasi kejadian longsor hasil lapangan

7.7. Langkah Kerja Pelaksanaan Praktikum


1. Menyiapkan checklist survei longsor dan peralatan survei;
2. Mengamati dan memahami kembali kondisi geomorfologi
daerah kajian baik morfologi, morfogenesa (proses dan
litologi), morfokronologi dan morfoaransemennya; dengan
mengetahui kondisi geomorfologi akan dapat dilakukan
interpretasi proses kejadian longsor;
3. Mengunjungi lokasi kejadian longsor di lapangan;
4. Mengisi checklist survei longsor;
5. Melakukan pengukuran morfometri longsor;
6. Inventariasi data hasil lapangan survei longsor;
7. Membuat deskripsi proses kejadian longsor hasil lapangan.

BAB VIII

59
8.1. Judul
Pemodelan Erosi Menggunakan Water And Tillage Erosion
Model/Sediment Delivery Model (WATEM/SEDEM)

8.2. Tujuan
1. Mahasiswa Praktikan dapat mengenal berbagai input data
yang diperlukan model erosi WATEM/SEDEM
2. Mahasiswa dapat memahami prinsip dan tehnik pengolahan
input data WATEM/SEDEM dengan Sistem Informasi
Geografis
3. Mahasiswa dapat memahami prinsip dan teknik kalibrasi dan
validasi dalam pemodelan erosi WATEM/SEDEM

8.3. Alat dan Bahan


1.Software WATEM/SEDEM
2.Software Idrisi Selva
3.Software Arcgis
4.Input Data WATEM/SEDEM : DEM, River Route, Parcel Map,
Pengelolaan Tanaman, Erodibilitas, dan Erosivitas.
5. Data Sedimen
6. Alat Tulis

8.4. Dasar Teori


Bentuk pendugaan hubungan erosi tanah di daerah
tangkapan air dengan besarnya sedimen yang terukur di daerah hilir
mempunyai mekanisme yang rumit dan belum banyak dimengerti.
Hal ini dikarenakan hasil erosi tanah yang terjadi tidak semuanya
masuk ke dalam sungai tetapi dapat tertahan di daerah tangkapan
air, kaki-kaki lereng dan cekungan permukaan tanah dari sistem DAS
(Asdak, 2007). Sejauh ini Merritt et al, (2003); De Vente & Poesen,
(2005), kebanyakan dalam lingkup wilayah model pendugaan kajian
erosi adalah model yang masih tidak memperhatikan variabel ruang,
hanya didasarkan oleh persamaan regresi yang sekaligus dapat
mensimulasikan hasil sedimen.
Penerapan berbagai model pendugaan kajian erosi yang telah
ada rata-rata memiliki input data yang besar seperti halnya
GEOWEPP dan ANSWER (Merrit et al, 2003). Hal ini menjadi sebuah
tantangan Indonesia sebagai negara berkembang dalam penilaian

60
pendugaan kehilangan tanah dengan keterbatasan data yang dimiliki.
Menjawab tantangan tersebut dikembangkan model WATEM/SEDEM
(Oost et al, (2000); Rompaey et al, (2001) yang mampu melakukan
penilaian besaran dan sebaran laju kehilangan tanah dan
sedimentasi secara sekaligus tanpa memerlukan investasi besar
dalam pengumpulan kebutuhan input data. Proses kalibrasi yang
tidak terlalu rumit menjadikan model WATEM SEDEM sebagai salah
satu alternatif metode penilaian laju erosi dan sedimentasi.
WATEM/SEDEM memiliki tiga komponen penting yakni
menghitung kehilangan tanah, menghitung kapasitas tranportasi
sedimen, dan mengetahui jalur sedimen. Model ini menggunakan
distribusi spasial yang terbagi menjadi bagian unit terkecil (grid cell)
dengan ketentuan tidak melebihi dari 100 m x 100 m. Rompaey et al,
(2001).

 Masukan Data

Penilaian kehilangan tanah model WATEM/SEDEM


didasarkan pada RUSLE (Renard et al, 1997) :
SL = R*K*LS2sd*C*P
SL : Rata-rata kehilangan tanah
R : Erosivitas hujan
K : Erodibilitas tanah
LS2d : Lereng dua dimensi dan panjang lereng
C : Pengelolaan tanaman
P : Praktik pengelolaan tanah

Masukan data lain yang digunakan untuk penilaian kehilangan


tanah model WATEM/SEDEM adalah
a) Peta Batas Sektor (Parcel Map)

Peta batas sektor diperoleh dari survei penggunaan lahan.


Penggunaan lahan diklasifikasikan berdasarkan ketentuan model
WATEM/SEDEM (Notebaert et al, 2006).
10.000 : Hutan
20.000 : Belukar
1-n : Sektor Tanaman Pertanian

61
-2 : Jalan dan Infrastruktur
-1 : Sungai
0 : Luar Area Kajian

b) River Routing

Pengerjaan river routing dilakukan dengan bantuan aplikasi


Arc-View. Ekstensi tambahan yang diperlukan adalah ArcHydro tool.
Setiap segmen sungai dinilai mulai dari 1 sampai nilai yang
maksimum (Notebaert et al, 2006). Masukan river routing berupa tipe
data *txt. Selanjutnya, model WATEM/SEDEM akan menilai data *txt
menjadi tipe data *rou. File *rou mengindikasikan hubungan setiap
segmen sungai yang mempunyai nilai berbeda di peta sungai (river
map) (Notebaert et al, 2006)
 Kalibrasi Watem/Sedem

Kalibrasi model Watem/Sedem menggunakan Koefisien


Kapasitas Tranportasi (KTC). Pengisian KTC digunakan untuk
mengatur output Watem/Sedem sesuai dengan nilai observasi hasil
sedimen di DAS Bompon. Watem/Sedem mempunyai tiga pilihan
KTC yakni : KTC tinggi, KTC rendah dan batas KTC. KTC tinggi
menandakan kurangnya vegetasi, KTC rendah menandakan rapatnya
vegetasi, dan batas KTC adalah nilai faktor C yang diberi nilai 0.1
(Notebaert et al, 2006). Berdasarkan penerapan Verstraeten et al,
(2006), pengisian nilai KTC rendah dan tinggi memiliki perbandingan
1:3.3.

 Validasi Watem/Sedem

Validasi model menggunakan model efisiensi dari Nash & Sutcliff


(1970):

ME = 1

ME : efisiensi model
Oi : nilai Observasi
Pi a : nilai simulasi

62
Omean : nilai rata-rata observasi

Gambar ...... Framework


WATEM/SEDEM

HASIL PRAKTIKUM
1. Diagram alir prosedur pemodelan WATEM/SEDEM
2. Nilai kalibrasi model
3. Nilai validasi model
4. Peta distribusi erosi dan deposisi sedimen

LANGKAH KERJA
1. Buka Arcgis
2. Add data (contoh : pengelolaan tanaman.shp)
3. Convert semua input data ke bentuk raster (conversion tool ->
to raster -> feature to raster)

63
4. Convert semua input data ke bentuk ascii (conversion tool ->
from raster -> raster to ascii)
5. Buka Idrisi Selva
6. Convert ascii ke ekstensi *rst (file-> import -> software specific
format -> Esri Format -> Arcraster -> Pilih Arcinfo raster ascii
format to Idrisi -> masukkan input file berektensi *asc dan pilih
output file -> pilih Output reference information -> ok)

7. Buka Sofware WATEMSEDEM.exe

64
8. Pilih file -> open project -> buka file watemsedem.ini yang
terdapat di folder ( ekstensi *ini dimasukkan kedalam satu
folder dengan semua input data)

65
9. Masukkan setiap input data watem/sedem :
a. Input 1 : DEM, Parcel Map, River Routing

66
b. Input 2 : Crop Factor, Soil Erodibility Factor (Pilih map)

Extra Options: isi pilihan LS, pilihan Nearing Slope


Length Exponent, pilihan Water

67
10. Tahap terakhir, Klik ikon water erosion -> klik File -> Save as
-> isikan nama file *ini baru -> klik ikon start calculation

68
11. Output WATEM/SEDEM

69
BAB IX

9.1. Judul
Perhitungan Ambang Batas Erosi
Calculate Tolerable Erossion

9.2. Tujuan
1. Memahami konsep ambang batas erosi
2. Memahami prinsip pendekatan produktivitas untuk
pengukuran ambang batas erosi
3. Menentukan besar ambang batas erosi berbasis nilai
indeks produktivitas

9.3. Alat dan Bahan


1. Peta satuan pemetaan tanah
2. Alat hitung
3. Alat tulis

70
9.4. Dasar Teori
Nilai ambang batas erosi tanah didefinisikan sebagai besar
nilai erosi yang masih dapat dibiarkan pada suatu luasan lahan
(Arsyad, 2010). Ambang batas erosi juga dikenal sebagai nilai erosi
yang dapat ditoleransi (Boardman & Poesen, 2006). Definisi lain
menjabarkan bahwa nilai ambang batas erosi sebagai nilai
keberlanjutan pemanfaatan tanah (Li et al., 2009). Pemanfaatan
tanah dianggap mempertimbangkan aspek keberlanjutan apabila nilai
erosi yang terjadi jauh dibawah nilai ambang batas erosi tanahnya,
karena pada wilayah yang dilakukan pengolahan sangat mustahil
menekan laju erosi tanah hingga nol (Montgomery, 2007).
Perkembangan penelitian mengenai ambang batas erosi
dimulai sejak pemanfaatan lahan mulai intensif. Namun demikian,
hingga saat ini kajian mengenai toleransi erosi masih terus
berkembang. Perkembangan kajian ini dikarenakan banyaknya faktor
yang dapat mempengaruhi besar nilai ambang batas erosi (Li et al.,
2009). Bazzofi (2009) menjelaskan berbagai faktor yang memiliki
peran penting dalam besar nilai ambang batas erosi yaitu:
1. Laju pembentukan tanah
2. Ketebalan antara lapisan top soil dengan subsoil
3. Laju penurunan hasil panen
4. Kedalaman tanah
5. Kandungan bahan organik tanah
6. Faktor ekonomi
Ambang batas erosi (T) di berbagai belahan dunia memiliki
nilai yang berbeda. Perbedaan nilai diakibatkan dari perbedaan
kondisi fisik seperti lereng, penggunaan lahan, dan curah hujan,
faktor pengaruh manusia, luasan daerah penelitian, serta pendekatan
yang digunakan oleh peneliti (Liu et al, 2009). Penelitian terkait
ambang batas erosi yang pernah dilakukan diantaranya di Italia,
Indonesia, China dan Amerika (Tabel 1).
Tabel 1. Penelitian terkait ambang batas erosi
Nama Peneliti Tahun Lokasi Hasil (Ton/Ha/Thn)
Harsbarger 1969 Illinois,
dan Swanson Amerika 7,42
Serikat
Duan et al 2012 Songnen,
68-358
China
Bazzoffi 2009 Chianti, Italia 0,01-3
Fitri 2011 Krueng Simpo,
17-43
Indonesia

71
Indeks produktivitas merupakan suatu metode untuk
mengukur nilai produktivitas lahan berdasarkan beberapa parameter
yang berupa sifat fisik dan kimia tanah ( Pierce et al., 1983). Metode
ini pada awalnya dikembangkan oleh Neill dan kemudian
disempurnakan oleh Pierce pada tahun 1983 (Duan et al., 2009).
Formulasi indeks produktivitas adalah sebagai berikut

dimana PI merupakan nilai produktivitas (0-1), n adalah lapisan


tanah, A adalah Available Water Content, C adalah indeks
kesesuaian dari bulk density, D adalah pH tanah dan WF adalah
bobot lapisan tanah tertentu (Pierce et al., 1983). Metode ini
kemudian dimodifikasi oleh Xi Wu Duan pada tahun 2009.
Modifikasi Duan atas indeks produktivitas dilakukan dengan
menambahkan unsur bahan organik (O) serta lempung (CL) serta
menghilangkan nilai bulk density (C) (Duan et al., 2012). Metode
modifikasi indeks produktivitas dirumuskan menjadi

Modifikasi dilakukan terhadap metode indeks produktivitas


untuk penyesuaian wilayah kajian. Duan et al. (2009) menjabarkan
bahwa pada beberapa wilayah di China memiliki wilayah dengan
tanah yang hitam, tanah tersebut kaya akan kandungan bahan
organik dan juga lempungnya.

9.5. Langkah Kerja Pelaksanaan Praktikum

72
1. Menentukan nilai indeks setiap parameter
i. Available Water Content (A)
AWC Value Convert Method
AWC < 3% 0
A 3% < AWC < 5 x AWC (decimals not
20% %)
AWC > 20% 1
ii. Clay Content (CL)
Clay Content Convert Method
20% < CL < 40% 1
0% < CL < 20%
(% not decimals)
CL
40% < CL < 100%

(% not decimals)
CL = 0% , or CL = 100% 0
iii. Organic Matter (OM)
O Organic Matter Convert Method
0% < OM < 4%
(% not decimals)

73
OM > 4% 1
iv. Soil Acidity (D)
Soil Acidity Convert Method
pH < 2,9 0
2.9 < pH < 5,0 -1,31 + (0,446 x pH)
D 5,0 < pH < 5,5 0,12 + (0,16 x pH)
5,5 < pH < 6,5 1
6,5 < pH < 8,0 2,086 – (0,167 x pH)
pH > 8,0 0,75
v. Soil Weight Factor (WF)
Parameter WF memiliki rumus konversi

Nilai h berupa kedalaman tanah pengambilan sampel


(dalam centimeter).
Nilai h > 100cm, WF= 0,005

2. Menghitung nilai indeks produktivitas (PI)


Nilai indeks produktivitas (PI) diperoleh dari perhitungan:

Dengan nilai setiap parameter berupa nilai indeks hasil


konversi. Nilai PI sendiri berkisar antara 0 hingga 1
3. Menentukan jangka waktu pengolahan tanah (t)
Jangka waktu pengolhan dapat ditentukan berdasar
pertimbangan yang logis seperti usia pengolah lahan, kondisi
ekonomi, jenis komoditas dan sebagainya. Praktikum ini
menggunakan 2 variabel jangka waktu pengolahan yang
berbeda yang ditentukan oleh praktikan.
4. Menentukan toleransi reduksi produktivitas lahan (R)
Nilai R diperoleh berdasar pertimbangan logis. Nilai R untuk
praktikum ini ditentukan sebesar 5 %, 25 % dan 40 %.
Penyajian nilai R dalam persen, namun gunakan nilai desimal
pada perhitungan.
eg: Nilai toleransi reduksi produktivitas sebesar 5%, pada
perhitungan dibuat 0,05
5. Menghitung nilai Vulnerability Index (v)
Nilai v adalah besarnya laju pengurangan indeks
produktivitas. diperoleh dengan rumus:

74
Nilai PI0 merupakan nilai PI pada tanah permukaan (lapisan a,
+ 5 cm), sementara nilai PId adalah nilai PI setelah tanah
tererosi sebesar d cm (lapisan b). Nilai d adalah selisih antara
lapisan b dengan lapisan a.
6. Menghitung nilai ambang batas erosi (T)
Nilai T diperoleh dengan satuan standar internasional yaitu
Ton/ha/Tahun. Perhitungan nilai T memanfaatkan rumus:

Nilai BD adalah bulk density, dikali dengan 100 untuk


mengkonversi menjadi Ton/ha.
Nilai di absolutkan
7. Membandingkan nilai ambang batas erosi dengan nilai laju
erosi aktual
Nilai laju erosi dari data dikonversi dengan data BD x 100

9.6. Hasil Praktikum


1. Tabel konversi parameter metode MPI
OM CL Dsb....
Sampel
% Index % Index % Index
a
1
b
a
2
b
a
3
b
a
4
b
a
5
b

2. Tabel perhitungan nilai indeks produktivitas dengan metode


MPI
Parameter
Sampel PI
A D CL OM WF
a
1
b

75
a
2
b
a
3
b
a
4
b
a
5
b

3. Tabel erhitungan ambang batas erosi dengan metode Modified


Productivity Index dengan variabel jangka pengolahan tanah
dan toleransi reduksi produktivitas berbeda
a. Nilai T untuk R = 5 %
T (Ton/Ha/Thn)
Titik MPI0 BD v R
... tahun ... tahun ... tahun
1 0,05
2 0,05
3 0,05
4 0,05
..... 0,05
b. Nilai T untuk R = ..... %
T (Ton/Ha/Thn)
Titik MPI0 BD v R
... tahun ... tahun ... tahun
1 0,05
2 0,05
3 0,05
4 0,05
..... 0,05

Dst

4. Perbandingan nilai ambang batas erosi tanah dengan erosi


aktual untuk setiap tahun

76
a. Perbandingan T (.... tahun) dengan erosi aktual
T Erosi aktual
Titik
(Ton/Ha/Thn) (Ton/Ha)
1
2
3
4
.....

BAB X

77
10.1. Judul
Pembuatan Peta Morfo-Konservasi
Making Morpho – Conservation Map

10.2. Tujuan
1. Mahasiswa dapat memahami arti peta morfo-konservasi
2. Mahasiswa mengenal berbagai kebutuhan input data peta
morfo-konservasi
3. Mahasiswa dapat membuat peta morfo-konservasi suatu area
4. Mahasiswa dapat menganalisa peta morfo-konservasi yang
telah dibuat

10.3. Alat dan Bahan


1. Software Arc GIS
2. Peta kontur, peta penutup lahan, dan peta aliran sungai
3. Peta satuan pemetaan tanah
4. Peta EDP (erosi yang diperbolehkan)

10.4. Dasar Teori


Konsep morfo-konservasi telah dikenalkan oleh beberapa ahli
sejak beberapa dekade yang lalu. Saat ini konsep tersebut kurang
begitu diperhatikan di dalam kegiatan konservasi lahan. Peta morfo-
konservasi kurang popular dibandingkan dengan dinamika
pemodelan erosi yang terus mengalami pemutakhiran metode. Pada
kenyataannya, peta morfo-konservasi merupakan informasi yang
bersifat sidik cepat dalam upaya konservasi lahan.
Proses identifikasi zona morfo-konservasi meliputi proses
identifikasi dan deleniasi area yang rawan terhadap erosi dan gerak
massa. Peta morfo-konservasi menampilkan gambaran yang
terintegrasi tentang area kritis dan erosi permukaan. Peta morfo-
konservasi tidak dapat terlepas dari pemahaman analisa
bentanglahan dan berbagai proses yang bekerja di permukaan tanah.
Metode yang digunakan untuk melakukan identifikasi morfo-
konservasi yaitu deskriptif dan survei lapangan.

78
Gambar 11.1. Diagram alir peta morfokonservasi tanah

10.5. Hasil Praktikum


1. Tabel legenda peta morfo-konservasi

79
2. Peta morfo-konservasi

10.6. Langkah Kerja Pelaksanaan Praktikum


1. Mempersiapkan peta satuan bentuklahan
2. Membuat ceklis lapangan yang berisi tentang deskripsi jenis
konservasi, karakteristik tanah yang meliputi tekstur,
struktur, agregat tanah, bahan induk tanah dan bukti erosi
maupun longsor
3. Melakukan cek lapangan terhadap peta satuan bentuklahan
4. Melakukan cek lapangan dan identifikasi morfo-konservasi
yang digunakan pada tiap satuan bentuklahan
5. Melakukan plotting lokasi konservasi
6. Membuat simbol morfo-konservasi yang terdapat di setiap
satuan bentuklahan

80
BAB XI

11.1. Judul
Pemodelan Erosi dan Limpasan Permukaan Menggunakan Model
SWAT (Soil and Water Assessment Tool)

11.2. Tujuan
1. Mahasiswa dapat mengenal berbagai input data yang diperlukan
model erosi dan limpasan permukaan menggunakan SWAT
2. Mahasiswa dapat memahami prinsip dan teknik pengolahan
input data SWAT dengan Sistem Informasi Geografis

11.3. Alat dan Bahan


1. Software ArcGIS
2. Sorfware ArcSWAT
3. Software Microsof Office 9Ms. Excel dan Ms. Access)
4. Alat Tulis
5. Data Spasial (DEM, tanah, penggunaanlahan)
6. Data Iklim (suhu, curah hujan, kelembaban, kecepatan angin,
radiasi matahari)

11.4. Dasar Teori


SWAT dikembangkan sejak tahun 1990-an oleh Jeff Arnold
untuk USDA ARS (US Department of Agriculture - Agriculture
Research Service). SWAT menggunakan gabungan beberapa model
yang dikembangkan oleh ARS. Model dasar yang digunakan SWAT
adalah hasil pengembangan lebih lanjut dari Simulator for Water
Resources in Rural Basins Model (SWRRB) yang dikolaborasi dengan
Routing Outputs to Outlet Model (ROTO) (Neitsch, 2009).
Model SWAT dalam menghitung limpasan permukaan
menggunakan rumus SCS-CN. SCS-CN merupakan model empiris
yang telah dikembangkan dari banyak penelitian di Amerika. Model ini
dibangun untuk mengestimasi limpasan yang terbentuk dari hujan
yang dikontrol oleh faktor penggunaan lahan dan jenis tanah.
Model SCS CN dirumuskan sebagai berikut :

.0

.0
Dimana:
Qsurf = Akumulasi aliran permukaan
Rday = Hujan harian

81
Ia = Abstraksi awal
S = Retensi
CN = Curve Number
Abstraksi awal oleh SCS CN diperkirakan memiliki nilai 0.2 sehingga
rumus SCS-CN menjadi seperti dibawah ini

.0

Erosi dan hasil sedimen dihitung dengan menggunakan model


Modified Universal Soil Loss Equation (MUSLE). Prinsip kerja
MUSLE berbeda dengan USLE. Perhitungan erosi yang dihasilkan
oleh USLE diperhitungkan berdasarkan curah hujan. MUSLE tidak
memperhitungkan curah hujan sebagai sumber energi erosi namun
menggunakan intensitas limpasan untuk mensimulasikan proses
erosi dan pembentukan sedimen.

.0
Dimana:
SED = Total sedimen pada outlet DAS
Qsurf = Akumulasi surface runoff
qpeak = Debit puncak
AreaHRU = Luas area HRU
K USL = Erodibilitas tanah
C USLE = Faktor penutup lahan
P USLE = Faktor konservasi lahan
LS USLE = Faktor topografi
CFRG = Faktor pecahan batuan kasar

11.5. Hasil Praktikum


1. Diagram alir prosedur pemodelan SWAT
2. Peta distribusi erosi
3. Peta distribusi limpasan permukaan

11.6. Langkah Kerja Pelaksanaan Praktikum


Membuat Project SWAT
1. Buka aplikasi ArcGIS
2. Klik menu SWAT ProjectSetup pada ArcSWAT Toolbar
3. Klik sub menu New SWAT Project

82
4. Kemudian muncul akan muncul window “Project Setup”.Isi
“Project Directory” dengan lokasi folder tempat project akan
disimpan. Secara otomatis nama SWAT project
geodatabase akan terisi mengikuti nama folder project
directory. Usahakan lokasi folder berada diluar (tidak folder
dalam folder).

5. Selanjutnya muncul window peringatan yang menyatakan,


“Project” telah selesai di buat. Untuk melanjutkan klik “Ok”.
Watershed Delineator
1. Setelah membuat project SWAT maka langkah selanjutnya
yaitu menyiapkan DAS sebagai batasan wilayah kajian
dengan cara membuka menu “Watershed Deliniator” lalu
pilih “Automatic Watershed Deliniator”.

83
2. Selanjutnya masukan data DEM dengan menekan tombol
dalam frame DEM setup. Muncul pilihan untuk membuka
file DEM yaitu “Load from Disk” dan “Select from Map”.
“Load from Disk” digunakan untuk memilih file data DEM
yang terseimpan di folder dalam komputer sedangkan untuk
“Select from Map” digunakan untuk memilih DEM yang telah
dibuka pada “Project ArcMap”

3. Klik untuk pengaturan sistem proyeksi data DEM

sehingga muncul kotak dialog Dem Properties. 5.


Selanjutnya adalah menentuka satuan nilai Z dalam
DEM. Penentuan nilai satuan tersebut didasarkan pada
satuan nilai x-‐y. Pada Kasus ini Z memiliki satuan meter.

84
4. Langkah berikutnya merupakan langkah optional yaitu
“Check box”.
5. Check box Mask digunakan apabila pengguna ingin
membatasi DAS dengan langsung. Klik pada mask
untuk mengimpor shapefile batas DAS.
6. Check box Burn In digunakan apabila pengguna akan
melakukan delineasi DAS dengan bantuan jaringan sungai.
Klik pada Burn In untuk mengimpor shapefile jaringan
sungai.

7. Selanjutnya tekan tombol untuk menjalankan proses


penelesuran Flow Direction and Flow accumulation dari
data DEM. Setelah porse selesai akan muncul kotak dialog,
klik “Ok”.
8. Tekan tombol agar ArcSWAT menentukan orde
sungai dan beberpa outlet sungai secara otomatis. Jika
proses tersebut selesai akan muncul kotak dialog,
kemudian tekan “Ok”.

9. Memilih titik outlet dengan menekan tombol .


Kemudian “Drag/Blok” menggunakan kursor pada titik yang
akan dijadikan outlet.

85
10. Kemudian tekan tombol untuk melakukan
pendelineasian batas DAS. Apabila proses telah selesai
akan muncul kotak dialog, klik “Ok”.
11. Langkah yang terakhir adalah mengkalkulasi parameter

“Subbasin” dengan menekan tombol , tunggu hingga


proses kalkluasi selesai dan muncul peringatan, klik “Ok”.
Membuat HRU dan Input Data Iklim
1. Klik menu ”HRU Analysis”, kemudian pilih sub menu
“Landuse/Soils/ Slope Definition”

2. Memasukkan data Penggunaan Lahan, tekan tombol


sehingga muncul kotak dialog, pilih “Load land use
dataset(s) from disk”.

86
3. Pada kolom Choose Grid Field pilih “Value” kemudian klik
tombol “OK”. Selanjutnya dalam “SWAT land use
classification table”, kolom Value akan terisi oleh kode
SWAT untuk masing-‐masing tutupan lahan.

4. Untuk mengisi kolom “Land Use SWAT”, klik 2 kali baris


yang kosong, akan muncul jendela “SWAT Land Use”.

5. Setelah kolom Land Cover Database terisi, selanjutnya klik


tombol “Reclasify”. Apabila telah berhasil akan muncul kotak
dialog, klik “Ok”.

87
6. Selanjutnya pilih tab “Soil Data”, kemudian klik tombol .
tahap pemanggilan data tanah ini sama dengan
pemanggilan data penggunaan lahan.
7. Pada kolom “Choose Grid Field” pilih “Value” kemudian cklik
tombol “OK”, maka kolom Value akan terisi oleh kode untuk
tiap jenis tanah beserta persentase areanya
8. Pada kolom “Option”, pilih “Name” Untuk mengisi kolom
Name, klik 2 kali baris yang kosong, akan muncul jendela
User soil, pilih kode tanah sesuai dengan jenis tanah.

9. Setelah selasai klik “Reclasify”, klik “Ok”.


10. Pilih tab “Slope”, selanjutnya pilih option “Multiple Slope”
Pada kolom “Number of Slope Classes” pilih 5.

88
11. Pilih setiap Current Slope Class da nisi angka pada “Class
Upper Limit (%)”, lalu klik tombol “Add”.

12. Setelah selasai klik “Reclasify”, klik “Ok”.


13. Langkah selanjutnya yaitu mencentang “HRU feature class”
dan ”Create Overlay Report” lalu menekan tombol “Overlay”.
Setelah selesai klik “Ok”.
14. Mendefinisikan HRU dengan pilih menu “HRU Analysis” klik
“HRU Definition”. Selanjutnya dapat memilih “Multiple HRUs”
untuk melihat kondisi HRU yang lebih bervariatif dan dapat
diatur dengan threshold “Percentage” atau “Area”.

89
15. Apabila telah selesai kemudian tekan tombol “Create
HRUs”, klik “Ok”.
16. Setelah pembuatan HRU selesai selanjutnya input data
iklim. Pilih menu “Write Input Tables”, pilih sub menu
“Weather Stations”.

17. Pada Window “Weather Stations”, pilih tab “Weather


generator” data’ pilih ‘WGEN_user’ kemudian klik “Ok”.
18. Selanjutnya pilih tab ‘Rainfall Data’ Pilih ‘Rainages’ dan isi
‘Precip Timestep’ dengan ‘Daily’  Klik pilih PCP.txt 
klik ‘Ok’
19. Tab ‘Temperature Data’  pilih “Climate Stations”  Klik
pilih tmp.txt, kemudian klik ‘OK’.
20. Tab ‘Relative Humidity Data’ pilih “Relative Humidity
Gages’ Klik pilih rh.txt, kemudian klik ‘OK’.
21. Tab ‘Solar Radiation Data’ pilih “Solar Gages”  Klik
pilih solar.txt, kemudian klik ‘OK’.
22. Tab ‘‘Wind Speed data’  pilih “Wind Gages”  Klik
pilih wind.txt, kemudian klik ‘OK’.

90
23. Jika semua data sudah diisi klik “Ok”.
24. Selanjutnya sub menu ‘Write SWAT Input Table’ akan aktif.
Pilih sub menu ’Select All’ pada jendela peringatan
kemudian klik pilihan ‘Create Table’ dan ‘Ok’.
Running SWAT
1. Pilih menu ‘SWAT Simulation’  pilih sub menu ‘Run
SWAT’.

2. Atur ‘Starting Date’ dan ‘Ending Date’

3. Pada menu ‘Printout Settings’ pilih ‘Daily’. Isi kolom NYSKIP


dengan 2.

4. Kemudian check ( ) pilihan ‘Limit HRU Output’.


5. Klik ‘Setup SWAT Run’, kemudian akan keluar window
peringatan ‘Finished SWAT Setup’. Klik ‘OK’
6. Klik ‘Run SWAT’, akan muncul jendela seperti berikut
7. Setelah proses running selesai, akan muncul Window
peringatan ‘SWAT run succesful’ lalu klik ‘OK’.

91
8. Pilih menu ‘SWAT Simulation’, pilih ‘Read SWAT Output’.
9. Simpan hasil run SWAT dengan mengisi nama folder dan
klik “Save Simulation”. Hasil running SWAT semuanya akan
berada di “‘TxtInOut”’ di folder ‘Scenarios’.
11.7. Data Hasil Model SWAT
1. Data dapat diolah dengan membuka excel kemudian
memanggil data txt hasil run SWAT.
2. Agar memudahkan pembacaan dapat dilakukan dengan
membuat pivot table. Caranya yaitu blok seluruh data 
menu insert  Pivot Table.

92
BAB XII
Penutup

Perkembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu-ilmu yang


mendasari penulisan buku ini sangat dinamis. Berbagai pergeseran-
pergeseran dasar pemikiran telah menyebabkan perkembangan ilmu telah
menuju arah yang berbeda dengan sebelumnya. Berbagai perkembangan
teknik analisa tanah yang dilatarbelakangi oleh perkembangan ilmu kimia
dan fisika juga telah membuat perkembangan pengetahuan menjadi lebih
dinamis.
Beberapa hal yang berkaitan dengan arah pergeseran pemahaman
yang dapat diutarakan dan mungkin pada masa yang akan datang akan
menjadi dasar perkembangan dan perubahan isi buku ini adalah:
1. Teknik pengukuran laju erosi tanah selama ini lebih banyak
dikembangkan berbasis pada pemikiran pemanfaatan tanah untuk
peruntukan pertanian. Teknik pengukuran laju erosi tanah oleh
bidang keahlian lain tentu akan mempunyai arah yang berbeda,
sebagai contoh adalah: (a) erosi tebing sungai oleh ahli hiraulika,
(b) erosi pada tanah endapan abu gunungapi baru di wilayah
lereng atas gunungapi dibawah karakteristik hujan dan morfologi
lahan yang khas tentu akan mempunyai model yang berbeda
dengan yang saat ini telah ada, (c) erosi tanah pada lahan
permukiman;
2. Pemahaman tanah yang digunakan pada penyusunan buku ini
adalah tanah dengan kedalaman maksimum 2 m, yang mungkin di
wilayah NKRI banyak tanah yang mempunyai ketebalan lebih dari
2 m. Tanah dengan kedalaman lebih dari 2 m tentu mempunyai
peran dan fungsi ekologis yang berbeda dalam pengelolaan
sumberdaya lahan;
3. Sistem klasifikasi yang digunakan pada penyusunan buku ini masih
terus berkembang sehingga sangat dimungkinkan akan terjadi
perkembangan baru dalam hal sistem klasifikasi yang lebih mudah
dipahami;
4. Evaluasi lahan yang diterapkan pada buku ini masih berbasis untuk
peruntukan pertanian, sementara itu banyak peruntukan lain yang
belum dibahas namun diperlukan di dalam perencanaan
pengelolaan sumberdaya lahan
Kekurangan dan kekeliruan tentu menghiasi tulisan dalam buku ini.
Kelebihan dan keunggulan yang ada hanyalah semata karena Hidayah dari
Nya. Ucapan terima kasih atas masukan dan saran dari pembaca
senantiasa penulis harapkan, dan semoga Allah meridloi niatan baik. Amien.

93
DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, S. 2000. Pengawetan Tanah dan Air. Departemen Ilmu-Ilmu Tanah.


Fakultas Pertanian IPB
Asdak, C, 1995, Hidrologi dan Pengelolaan DAS, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Clague, J.J., dan Stead, D. 2012. Types, Mechanisms and Modelling. New
York: Cambridge University Press
Cornforth, D.H. 2005. Landslide in Practice : Investigation, Analysis, and
Remedial/Preventative Option in Soil. New Jersey : John Wiley and
Sons, Inc.
Dariah, A., Umi H., Torry B. Teknologi Konservasi Tanah Mekanik.
Departemen Kehutanan, Standar Teknik Konservasi Tanah. 1998. Jakarta:
Direkorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan
FAO, 1977, Guidelines For Soil Profil Discription, Soil Survey and Fertiling
Branch, Land and Water Development Division, Food and
Agriculture Organisation of The United Nation
FAO, 1998, World Reference Base for Soil Resources. International Soil
Reference an Information Centre (ISTRIC). FAO: Roma
Gerrard, A. J.,1981,Soil and Landforms: An Integration of Geomorphology
and Pedology. London: george Allen &Unwin
Hadmoko, D.S., dan Mauro. 2012. Landslide and Other Mass
Movements. The Routledge Handbook of Hazards and Disaster
Risk Reduction. Great Britain : Tj International Ltd, Padstow,
Crownwall.
Hadmoko, D.S., Lavigne, F., Sartohadi, J., Hadi, P., dan Winaryo. 2010.
Landslide Hazard and Risk Assessment and Their Aplication in
Risk Management and Landuse Planning in Eastern Flank of
Menoreh Mountains, Yogyakarta Province, Indonesia. Journal
Natural Hazards, DOI : 10.5194/s11069-009-9490-0
Hardjowigeno, S., 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis.. Jakarta:
Akademika Pressindo
Hudson, N.W., 1993, Field Measurement of Soil Erosion and Runoff.FAO
Soil Buletin : 68. Roma
Hungr, O., Leroueil, S., dan Picarelli, L. 2013. The varnes classification of
landslide types, an update. Journal of Landslide. Vol.11. Hal: 167-
194. DOI : 10.1007/s10346-013-0436-y.
IUSS Working Group WRB. 2007. World Reference Base for Soil Resources
2006, first update. World Soil Resources Reports No. 103. FAO,
Roma
Kusky, T. 2008. Landslide: Mass Wasting, Soil and Mineral Hazards. New
York : Facts On Files

94
Morgan., R. P. C., 1995, Soil and Conservation Second edition. UK:
Longman
Samodra, G., Chen, G., Sartohadi, J., dan Kasama, K. 2015. Generating
landslide inventory by participatory mapping: an example in
Purwosari Area, Yogyakarta, Java. Journal of Geomorphology xxx.
Hal : 1-8.
Sartohadi. J. 2001. Geomorphological Processes Analysis for Soil Mapping
using Remote Sensing and Georaphic Information System
Techniques: A Case Study in the Western Gunungkidul Range
Yogykarta, Indonesia. Thesis. Leopold-Franzens Universität
Innsbruck, Austria
Sartohadi, J. 2005. Pemanfaatan Informasi Kerawanan Gerakan Massa
Tanah untuk Penilaian Kemampuan Lahan di Sub DAS Maetan,
Daerah Aliran Sungai Luk Ula Jawa Tengah. Majalah Geografi
Indonesia, Vol. 19. No I. Maret 2005 Hal : 21-39.
Sartohadi, J., Geografi Tanah. 2006. Lecture Notes Program Studi
Geografi, Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada
Schmidt, F.H and Ferguson, J.H.A, 1951, Rainfall Types Based on Wet and
Dry Period Roties for Indeonesia with Western New Guinee,
Verhanding no 42, Kementrian Perhubungan, Djawatan
Meteorologi dan Geofisika
Setiawan, M.A. 2013. Laporan Penelitian Hibah Penelitian Dosen: Mitigasi
dan Adaptasi Bahaya Erosi di Sebagian Kawasan Dataran Tinggi
Dieng. Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta
Setiawan, M.A. 2012. Integrated Soil Erosion Risk Management in the Upper
Part of Serayu Waterhed, Wonosobo District, Central Java
Province. Phd Thesis. University of Innsbruck
Setiawan, M.A. and Sartohadi, J. 2012. Implementing the geographical
approach in soil erosion studies. Proceeding of PIT IGI conference:
UNS SOLO. Accepted
Setiawan, M.A. Sartohadi, J., Mardiatno, D., Marfai, M.A. Hadmoko, D.S.
2013. Revealing the Soil Erosion Risk Management in Indonesia.
ECO-DRR Proceeding: Fakultas Geografi UGM.
Smets, T., Borselli, L., Poesen, J., & Torri, D. (2011). Evaluation of the
EUROSEM model for predicting the effects of erosion-control
blankets on runoff and interrill soil erosion by water. Geotextiles
and Geomembranes, 29(3), 285-297.
Soil Survey Division Staff. 1993, Soil Survey Manual. United States
Department of Agriculture Handbook No. 18. USA
Soil Survey Division Staff. 2000. Munsell Soil Color Chart. United States
Department of Agriculture Handbook No. 18. USA
Soil Survey Staff. 1998. Kunci Taksonomi Tanah. Edisi kedua Bahasa
Indonesia. 1999. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian

95
Stocking, M.A. and Murnaghan, N, 2001.Hand book for the field assessment
of land degradation. Earthscan Publications Ltd, London
Subagyono, K., Setiari M., Undang K. 2003. Teknik Konservasi Tanah
Secara Vegetatif. Balai Penelitian Tanah, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat
Tim Fakultas Geografi,1987,Pemetaan Tingkat Bahaya Erosi Sub Daerah
Aliran Sungai Progo Propinsi Jawa Tengah,LaporanPenelitian,Sub
Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Opak Progo.
Van Western, C. J., Rangers, N., dan Soeters, R. 2003. Use of
Geomorphological Information in Indirect Landslide Susceptibility
Assessment. Journal of Natural Hazards. Kluwer Academic
Publishmeers. Enschede, The Netherlands.
Wischmeir, W.H. and Smith, D.D., 1978, Predicting Rainfall Erosion Losses,
A Guide to Conservation Planning, USDA

96
GLOSARIUM
Arc GIS : Perangkat lunak untuk pengolahan peta
Bentanglahan : Kumpulan dari satuan-satuan bentuklahan yang
memiliki proses yang sama
Bentuklahan : Konfigurasi nyata permukaan bumi yang memiliki
relief yang khas akibat oleh proses tertentu dan
dikontrol oleh struktur dalam ruang dan waktu tertentu
Buku Munsell : Buku yang digunakan untuk analisis warna tanah
dilapangan
Bulk Density : Rasio antara berat tanah kering mutlak dengan
volume tanah apa adanya
Catcthment : Area tangkapan air
Chroma : Kemurnian relatif dari spektrum warna tanah
Cross Check : Melakukan koreksi hasil dari sesuatu yang bersifat
tentatif
Drainase : Saluran air di permukaan atau di bawah tanah baik
yang terbentuk secara alami maupun buatan manusia
Erosi : Proses pengangkutan dan pelepasan material oleh
tenaga air, angin dan gelombang
Erosi Alur : Erosi yang menimbulkan saluran kecil dan
merupakan kelanjutan dari erosi lembar
Erosi Gully : Erosi yang membentuk suatu parit dengan
kedalaman 1 m
Erosi lembar : Erosi yang terjadi pada lapisan atas permukaan
akibat dari jatuhan air hujan dan aliran permukaan
Genesis : Asal proses terbentuknya suatu bentukan, biasa
digunakan untuk bentuklahan
Geologi : Ilmu yang mempelajari tentang batuan serta proses
terbentuknya dan persebarannya
Geomorfologi : Ilmu yang mempelajari tentang bentukan di
permukaan bumi beserta proses dan hasil proses
yang bekerja
Horison diagnostik : Horison tanah yang diberi nama dan dicirikan atas
dasar pengukuran secara akurat atas karakteristik
tanah dilapangan maupun di laboratorium
Horison Tanah : Lapisan tanah atau bahan tanah yang kurang lebih
sejajar dengan permukaan tanah dan berbeda dengan
lapisan di sebelah atas dan bawahnya yang secara
genetik ada kaitannya.
Iklim : Kondisis rerata cuaca yang ditentukan dengan waktu
yang panjang di suatu wilayah yang luas
Insitu : Tanah yang terbentuk dari bahan induk yang ada
dibawahnya dan tidak berasal dari endapan longsoran
Interrill : Jarak antar alur
KPK : Kapasitas pertukaran kation dalam tanah

97
Kontur : garis yang menunjukkan ketinggian yang sama dari
permukaan laut
Land Mapping Unit : Unit pemetaan lahan
Litologi : Deskripsi batuan pada singkapan berdasarkan
karakteristiknya seperti kristal dan mineral penyusun

Microsoft Excel : Perangkat lunak untuk mengolah angka


Morfoaransemen : Susunan keruangan bentuklahan dan hubungan
antara bentuklahan dengan proses dan dengan
bentuklahan lainnya
Morfokronologi : Waktu terbentuknya suatu bentukalahan yang
didasarkan pada umur relatif dan umur absolut
Morfologi : ilmu yang mempelajari kenampakan relief
Organisme : Makhluk hidup yang terdiri dari hewan, tumbuhan,
manusia dan mikroorganisme
Pedogen : Proses perkembangan tanah
Pedogeomorfologi : Ilmu yang mempelajari tentang hubungan antara
proses pembentukan tanah dengan proses
geomorfologi
Permeabilitas : Kemampuan tanah untuk meloloskan air dalam
kondisi jenuh air
Peta Geologi : Peta yang menggambarkan susunan atau formasi
batuan
Peta Rupa Bumi : Peta yang berisi garis kontur dan kenampakan
alamai dan buatan manusia
Relief : Kenampakan 2 atau 3 dimensi permukaan bumi
yang memiliki strata pembagian wilayahnya
Sifat Diagnostic : Sifat tanah yang ditentukan secara akurat dilapangan
maupun dilaboratorium
Soil Mapping Unit : Satuan pemetaan tanah
Soil Taxonomy : Pengelompokkan nama tanah berdasarkan tingkatan
atau sifat tertentu
Soil Test Kit : Seperangkat alat analisis tanah secara kualitatif di
lapangan
Soil Unit : Satuan nama tanah
Stadia : waktu berlangsungnya atau terjadinya proses-proses
geomorfologi
Step-wise : Urutan langkah kerja yang benar
Struktur : atau struktur geologi adalah perubahan lapisan
batuan sedimen akibat proses endogen sehingga
tidak lagi memenuhi hukum super posisi
Surfer : Perangkat lunak untuk mengolah garis kontur
Tekstur : Sifat fisik tanah yang merupakan gambaran deskriptif
komposisi ukuran butir partikel-pertikel penyusun
tanah

98
Tentatif : Sesuatu yang bersifat sementara dan berupa hasil
interpretasi awal
Time Series : Pencatatan waktu secara berkala
Value : Nilai yang menunjukkan kecerahan warna tanah
Volkanisme : Aktivitas naiknya magma menuju permukaan bumi

99
INDEKS Land mapping unit 5, 55
Litologi 4, 7, 20, 55
A
Arc GIS 3, 34, 50, 54 M
Morfoaransemen 4-5, 20, 55
B Morfokronologi 5, 20, 55
Bentanglahan 3, 50, 54 Morfologi 3, 6-8, 20
Bentuklahan ii, 3-6, 50-51, 54-55
Buku Munsell 8, 17, 54 O
Bulk Density 24, 26, 28-29, 54 Organisme 5, 55

C P
Catcthment 26, 54 Pedogen 3, 55
Chroma 54 Pedogeomorfologi 3, 55
Permeabilitas 44-45, 55
D Peta geologi 3, 7, 55
Drainase 9, 19, 54 Peta rupa bumi 3, 55

E R
Eksogen 4-5 Relief 3-5, 54-55
Endogen 4-5, 56
Erosi alur 6, 54 S
Erosi gully 6, 54 Sifat diagnostic 8, 55
Erosi lembar 6, 27, 54 Soil mapping unit 5, 19, 55
Soil Taxonomy 8-9, 17, 56
G Soil test kit 8, 17, 56
Genesis 3, 5, 52, 54 Soil Unit 5, 17, 56
Geologi 3-4-, 7, 54-56 Stadia 3, 56
Geomorfologi 1, 3-6, 17, 20, 54- Step-wise 7, 56
56 Struktur 3-4, 7, 9-10, 12, 51,
54, 56
H Surfer 21, 32-33, 56
Horison diagnostik iv, 9, 14, 54
Horison tanah 54 T
Tekstur 10, 12, 14, 19, 51,
I 56
Iklim 3, 5, 55 Tentatif 8, 17, 20, 54, 56
Insitu 5, 55 Time Series 27, 56
Interill 3, 23, 55
V
K Value 9-10, 56
KPK 10, 55 Volkanisme 4, 56
Kontur 7, 33, 47-48, 50,
55-56

100
101
LAMPIRAN

102
Data Pengukuran Erosi (Pedestal)

Kode Pedestal Height(cm) Nilai Parameter


Sample BD
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 (g/cm3 (ton/ha
) )
1 6 3.5 3.5 5 4.5 4 4 3.5 4.5 6 1.05 10.5
2 3.5 6 7 5 5 5 5.5 4.5 5 5 1.05 10.5
3 8 3.5 6.5 6 5.5 6.5 8 7 5.5 4 1.05 10.5
4 3 3.5 4.5 4.5 5.5 4 4.5 3.5 5 4 1.05 10.5
5 1.5 3.5 3.5 3.5 4 4 3 3 3 4 1.14 11.4
7 5 5 6.5 4.5 3 3.5 4.5 4.5 3 4 1.14 11.4
8 4 4.5 4 3.5 2 2 3 3.5 3 3 1.09 10.9
9 3.5 3.5 2.5 4 5.5 6 5.5 4.5 4.5 7 0.93 9.3
11 3.5 4.5 4 4 3 3.5 3 4 4.5 2.5 0.97 9.7
12 5.5 5 3.5 7 4.5 6.5 7 5.5 6.5 4.5 1.04 10.4
13 4 4.5 2.5 4.5 5.5 3 3.5 4 3 3.5 1.02 10.2
14 3 6 5.5 4 3 5 3.5 3.5 3 3 1.18 11.8
15 3 3.5 3.5 4 4.5 3 3.5 3 4 4.5 1.09 10.9
16 7 5 3.5 4.5 4.5 5.5 5.5 7.5 6 5.5 0.88 8.8
17 2 2 4 3.5 3.5 3.5 4 3.5 3 4 1.14 11.4
18 7 5 5.5 6 4.5 6.5 7.5 5 5.5 3.5 1.20 12
19 0 0 0 0 2.5 5 4 3 4 0 1.06 10.6
20 4.5 3 2.5 4.5 3 3.5 4 5 3 5.5 1.09 10.9
21 8 11 6.5 4.5 6.5 7 9.5 4.5 8 4.5 1.06 10.6

103
Data Pengukuran Erosi (Rill)

SATUAN CENTIMETER Nilai


Kode LC Parameter
SERI ALUR 1 SERI ALUR 2 BV
Sample (mm2)
W D L W D L g/cm3 t/ha
1 1.5 1.5 4.5 2 1.5 4.5 1.05 10.50
2 3.5 1.5 3 3 2 4.5 1.05 10.50
3 2.5 3 3 3 4 4.5 1.05 10.50
4 0 0 0 0 0 0 1.05 10.50
5 0.5 0.8 1 0.5 1 1.5 1.14 11.40
7 2 1.5 2.5 2.5 2.5 4 1.14 11.40
8 0.6 1 1.2 0.8 1.3 1.9 1.09 10.90
9 1 2 4 1 2 4.5 0.93 9.30
11 0.3 0.8 1.6 0.5 1 2 0.97 9.70
12 0.8 1.5 4.7 1.6 2.3 6.7 2000 1.04 10.40
13 0.8 0.5 4.7 1.6 0.5 6.7 1.02 10.20
14 0.8 0.5 2.6 2.4 1 4.6 1.18 11.80
15 1 1 3.4 2.5 1 4.5 1.09 10.90
16 2 0.5 2 2.5 1.5 3.5 0.88 8.80
17 0.5 1 2 0.5 0.5 1.5 1.14 11.40
18 2 1 3.5 2.5 2 3.5 1.20 12.00
19 0           1.20 12.00
20 0.5 1 1 1 2 3.5 1.09 10.90
21 3 2 3 3.5 3.5 3 1.06 10.60
W = WEIGHT
KET:     L = LENGTH    
 
LC = Luas
D = DEPTH Catchment area
         
  (daerah
tangkpan)

104
Data Pengukuran Erosi (Singkapan Akar

Usia Rata-rata Kode Usia Rata-rata


Kode Nilai
Vegetasi kedalaman Sampl Vegetasi kedalaman
Sample BD
(th) tanah (cm) e (th) tanah (cm)
1 1 8.50 22 1 4.60 1.05
2 1 8.50 23 1 3.50 1.05
3 1 8.50 24 1 5.60 1.05
4 4 7.60 25 4 4.00 1.05
5 2 1.20 26 2 11.40 1.14
7 1 1.10 27 1 2.12 1.14
8 2 1.80 28 2 2.20 1.09
9 3 18.75 29 3 9.00 0.93
11 2 4.95 30 2 2.60 0.97
12 3 5.00 31 3 12.00 1.04
13 1 0.90 32 1 3.00 1.02
14 3 2.12 33 3 3.20 1.18
15 3 4.90 34 3 6.00 1.09
16 3 6.00 35 3 4.60 0.88
17 3 1.86 36 3 2.40 1.14
18 10 7.00 37 10 5.00 1.20
19 0 0.00 38 0 4.00 1.20
20 30 10.71 39 30 5.00 1.09
21 2 5.30 40 2 3.00 1.06

105
Contoh Checklist Identifikasi dan Pengukuran Longsor

Appendix A
Checklist for landslide inventory mapping

No. Site……….

FAKULTAS GEOGRAFI
UNIVERSITAS GADJAH MADA

LANDSLIDE INVENTORY MAPPING


LANDSLIDE INVENTORY
Margoyoso
2015

This is a research about landslide inventory mapping in Margoyoso Area. You


will be asked to complete a short questionnaire.This checklist aims to collect spatial
and temporal data of landslide occurred in Margoyoso area. The information you
provide will be used to enhance and improve landslide inventory data, susceptibility
assessment, hazard assessment and risk assessment. Your answers will not be
released to anyone and will remain anonymous. All responses you provide for this
study will remain confidential. When the results of the study are reported, you will
not be identified by name or any other information that could be used to infer your
identity. Only researchers will have access to view any data collected during this
research. Your participation is voluntary and you may withdraw from this research
any time you wish or skip any question you donot feel like answering.
Your refusal to participate will not result in any penalty or loss of benefits to
which you are otherwise entitled to.The research intends to abide by all commonly
acknowledged ethical codes. You agree to participate in this research project by
filling the following questionnaire. If you have any questions, please ask the
research team listed at the beginning of this checklist. Thank you for your time.

106
JSP Students
Address: Faculty of Geography, Bulaksumur Yogyakarta 55281
CONFIDENTIAL
No. Respondent Identity :

DESCRIPTION OF INTERVIEW
RESULT OF VISITS
FIRST VISIT SECOND VISIT THIRD VISIT
Date / /2015 / /2015 / /2015
Time Start : : :
Time Finish : : :
Result 1. Completed 1.Completed 1.Completed
2.Partially 2.Partially 2.Partially Completed
Completed Completed
3.Respondent 3.Respondent 3.Respondent refuses
refuses interview/ refuses interview/ interview/ not in
not in place/ absent not in place/ absent place/ absent

ENUMERATOR AND EDITOR


Enumerator Editor
Name

CHECK RESULT
Site No Editor Note

107
1 LOCATION
Name of victim : ………………………
Address : ………………………
Hamlet : ………………………
Village : ………………………
Sub District : ....................................
District/Regency : ....................................
Coordinate
X : ………………………
Y : ………………………
Elevation : ………………………
Place where coordinate is plotted :……………………… e.g.
Photo number : ………………………
Direction of photoshoot : ………………………
Photograph note : ………………………

2 DATE WHEN LANDSLIDE OCCURED


Date/month/year : ………………………
Date (Javanese Calendar) : ………………………
Time (hh:mm:ss) : ………………………

3 LANDSLIDE TYPOLOGY
(Please circle the choices below)
Landslide Material
1. Rock 2. earth 3. debris 4…………..

Process
1. fall 2. topple 3. slide (rotational) 4. slide
(translational)
5. lateral spread 6.flow

Landslide velocity (qualitative judgement)


1. fast 2. slow

nb: (engineering soil) è fine material consist of at least 50% sand particle,
loam and clay

Another characteristic:
Slope : ……………

108
Landuse where landslide occured (please circle the choice below based on field
investigation)
1. bushes 2. forest 3. settlement 4. paddy field
5. rainfed 6. field 7. others …….
Types of plants …………………
The cause of landslide:…………………………………………………

4 LANDSLIDE GEOMETRY
Length Lr : ………. m Ld : ………. m L
: ………. m
Width Wr : ………. m Wd : ………. m
Depth Dr : ………. m Dd : ………. m

Volume : LdWdDd Volume : ………. m3

Figure A.1: Ideal scheme of landslide geometry rotational slide (slump)

5 LOSSES
death : ……………..
property : ……………..lost estimation (IDR) : ………………
plantation : ……………..lost estimation (IDR) : ………………
livestock : ……………..lost estimation (IDR) : ………………
others : ……………..lost estimation (IDR) : ………………

109
FIELD OBSERVATION CHECKLIST
Location Description
1. Village :
2. Sub District :
3. Regency :
4. Coordinate :X=
:Y=
5. Picture/Photograph number :
6. Slope :
7. Landslide prone area : Yes/No

Physical Building Condition (if any element at risk-building)


1. Building Age :
1. Wall Material :
2. Construction Type :
3. Building Structure :
4. Floor Material :
5. Roof Material :
6. Building Condition :
7. Distance to Major Road :
8. Additional Information :

Geomorphology description :

110
Data Pengukuran Nilai Ambang Batas Erosi

Kedalaman Komposisi (%)


No Laju erosi AWC OM
Kode BD tanah (h pH
Sample (mm/tahun) Pasir Debu Clay (%) (%)
cm)
a 5.0 25.0 13.0 62.0 8.6 4.6 0.7
1 85.0
b 175.0 20.0 25.0 55.0 21.4 4.7 0.6
a 5.0 33.0 23.0 44.0 7.2 4.4 1.0
2 85.0 1.1
b 175.0 20.0 25.0 55.0 21.4 4.7 0.6
a 5.0 11.4 25.1 63.5 7.8 3.9 1.1
3 85.0
b 175.0 20.0 25.0 55.0 21.4 4.7 0.6
a 5.0 59.0 29.0 12.0 12.1 5.3 1.8
4 19.0 0.9
b 43.0 58.0 28.0 14.0 13.4 4.6 0.5
a 5.0 21.0 11.1 67.9 11.3 5.3 2.1
5 6.0 1.1
b 17.0 12.4 33.8 53.9 7.7 5.2 1.2
a 5.0 14.1 36.9 49.0 13.0 5.0 0.9
6 11.1 1.1
b 27.0 8.6 32.2 59.2 7.4 4.8 0.6
a 5.0 7.4 84.4 8.2 13.0 5.2 1.5
7 9.0 1.0
b 23.0 37.0 23.0 40.0 11.2 4.8 1.4
a 5.0 14.4 35.5 50.1 10.7 5.3 1.8
8 62.5 0.9
b 130.0 8.1 49.7 42.3 8.8 5.5 0.8
a 5.0 56.0 30.0 14.0 9.7 5.0 1.3
9 24.8 0.9
b 54.5 9.9 38.1 52.1 10.2 4.1 0.9
a 5.0 11.3 32.6 56.1 6.5 4.9 1.0
10 16.7 1.0
b 33.0 11.1 31.5 57.4 11.0 4.1 0.9
a 5.0 12.3 41.4 46.3 9.1 4.7 2.2
11 9.0 1.0
b 23.0 13.9 49.7 36.4 7.5 4.6 0.7
a 5.0 8.9 21.4 69.7 10.5 5.1 1.0
12 7.1 1.2
b 19.1 6.3 5.8 87.8 7.3 4.5 0.7
a 5.0 7.1 50.7 42.2 16.5 5.3 3.1
13 16.3 1.1
b 32.7 5.8 26.3 68.0 7.1 4.6 0.7
a 5.0 6.9 46.8 46.3 10.6 5.4 0.9
14 20.0 0.9
b 45.0 9.0 29.6 61.4 13.0 4.9 0.7
a 5.0 9.7 24.6 65.8 10.4 5.0 2.4
15 6.2 1.1
b 17.4 9.2 23.0 67.8 8.6 4.8 1.0

111
112

Anda mungkin juga menyukai