Kata Pengantar
Preface
Penyusun
i
Daftar Isi
Preface ........................................................................................ i
Daftar Isi……….... ....................................................................... ii
BAB I Pendahuluan................................................................ 1
BAB II Deliniasi Bentuklahan.……………................................ 2
BAB III Klasifikasi Tanah USDA............................................... 6
BAB IV Klasifikasi Tanah WRB................................................. 25
BAB V Pembuatan Satuan Peta Tanah................................... 30
BAB VI Identifikasi dan Pengukuran Tipologi Erosi................... 34
BAB VII Identifikasi dan Pengukuran Tipologi Longsor.............. 54
BAB VIII Pemodelan Erosi Menggunakan WATEM/SEDEM...... 59
BAB IX Analisis Ambang Batas Erosi.........……….................... 69
BAB X Pembuatan Peta Morfokonservasi……......................... 76
BAB XI Pemodelan Erosi dan Limpasan Permukaan
Menggunakan Model SWAT…………………………….. 81
BAB XII Penutup….. ................................................................... 93
Bibliography ................................................................................. 94
Glossary ....................................................................................... 97
Index ............................................................................................ 100
LAMPIRAN……………………………………………………………. 101
ii
BAB I Pendahuluan
1
BAB II
BAB II
2.1. Judul
Pembuatan Satuan Pemetaan Bentuklahan
Create Landform Mapping Unit
2.2. Tujuan
1. Memperjelas konsep dan terapan satuan pemetaan
2. Memperjelas konsep beserta aplikasi pendekatan pedogeomorfologi
dalam survei tanah
3. Menganalisa secara keruangan kondisi geomorfologi suatu daerah
kajian
2
b. Morfometri; yakni aspek-aspek kuantitatif dari suatu daerah,
seperti kemiringan lereng, bentuk lereng, ketinggian, beda
tinggi, bentuk lembah, pola aliran.
2. Studi mengenai proses geomorfologi, yakni proses yang
mengakibatkan perubahan betuklahan dalam waktu pendek serta
proses terjadinya bentuklahan yang mencakup morfogenesa,
mencakup aspek-aspek:
a. Morfo-struktur pasif, meliputi litologi (tipe dan struktur batuan)
yang berhubungan dengan pelapukan
b. Morfo-struktur aktif, berupa tenaga endogen
c. Morfo-dinamik berupa tenaga eksogen yang berhubungan
dengan tenaga angin, air, es gerak masa batuan dan
vulkanisme
3. Studi geomorfologi yang menekankan pada evolusi pertumbuhan
bentuklahan atau morfo-kronologi, menentukan dan mendeskripsikan
bentuklahan dan proses yang mempengaruhinya dari umur relatif
dan umur mutlak
4. Geomorfologi yang mempelajari hubungan dengan lingkungan, studi
ini mempelajari hubungan antara bentuklahan dengan unsur-unsur
batuan, struktur geologi, tanah, air, vegetasi dan penggunaan lahan.
Proses geomorfologi adalah semua proses yang menyebabkan
perubahan konfigurasi permukaan bumi. Relief mengontrol persebaran
tanah di permukaan bumi. Keterdapatan proses tersebut bersamaan dengan
keterdapatan tanah maka semua proses geomorfologi melibatkan tanah
yang menutup permukaan lahan. Proses geomorfologi yang terjadi
menghasilkan variasi profil tanah. Dengan demikian terdapat kesamaan
antara faktor-faktor pembentuk tanah dengan faktor-faktor pembentuk
bentuklahan. Geomorfologi dan tanah tidak dapat dipisahkan satu sama lain
karena mempunyai proses yang sama. Oleh karena itu proses apapun yang
terjadi maka dapat saling terkait di antara keduanya.
Satuan bentuklahan yang merupakan satuan kajian dalam
geomorfologi pada hakekatnya mempunyai faktor-faktor pembentukan yang
mirip dengan faktor-faktor pembentuk tanah. Perbedaannya terletak pada
pengertian bahan induk tanah yang tidak selalu berasal dari batuan induk
yang ada di bawahnya. Hal ini dikarenakan, mungkin bahan induk tanah
berasal dari bahan terangkut dari daerah lain. Interpretasi morfoaransemen
satuan bentuklahan dapat menjawab asal usul bahan induk tanah pada
suatu daerah. Faktor waktu pembentukan satuan bentuklahan juga berbeda
dengan faktor waktu dalam proses pembentukan tanah. Waktu dalam
pembentukan tanah dihitung sejak bahan induk tanah terbentuk (dapat
berarti diendapkan atau merupakan bahan insitu). Faktor iklim dan
organisme pada proses pembentukan tanah tercermin pada proses
geomorfologi pada faktor pembentuk satuan bentuklahan. Proses
geomorfologi (morfodinamik) merupakan hasil interaksi yang kompleks
antara iklim, organisme (termasuk vegetasi didalamnya), dan batuan serta
relief. Pemahaman yang komprehensif mengenai bentuklahan akan dapat
3
menggambarkan persebaran satuan-satuan tanah yang ada di suatu daerah
kajian yang tentunya mempunyai ketahanan/resistensi yang spesifik
terhadap proses erosi.
Peta tanah adalah sebuah peta yang menggambarkan satuan-
satuan tanah yang dikelompok-kelompokkan menurut satuan-satuan
pemetaan tanah. Peta tanah berisi satuan-satuan pemetaan tanah yang
merupakan kesatuan dari satuan pemetaan lahan (satuan lahan) dan
satuan-satuan tanah yang ada di dalamnya dengan komposisinya masing-
masing. Dengan demikian dalam pemetaaan tanah dikenal dua istilah yang
berbeda makna secara tegas namun sering menjadi kerancuan bagi orang
yang belum memahami secara mendalam mengenai pemetaan tanah
(Sartohadi, 2006), yaitu satuan pemetaan lahan (land mapping unit) dan
satuan tanah (soil unit). Gabungan keduanya merupakan satuan pemetaan
tanah (soil mapping unit).
Dalam rangka memperjelas konsep satuan pemetaan lahan tersebut
maka diperlukan sebuah latihan secara langsung mengenai langkah-
langkah penyusunannya. Terkait dengan penyusunan satuan pemetaan
lahan, maka diperlukan sebuah pendekatan yang tepat untuk mendasarinya.
Hingga saat ini kajian mengenai terapan geomorfologi untuk studi pedologi
sudah sangat berkembang serta telah diakui bahwa terdapat korelasi yang
sangat kuat di antara keduanya. Oleh karena itu di dalam acara ini akan
menggunakan pendekatan geomorfologi sebagai dasar dalam penyusunan
satuan pemetaan tanah.
Bentuklahan
Informasi geomorfologis suatu daerah sangat penting untuk diketahui
dan dipahami terutama dalam kaitannya dengan permasalahan lingkungan
yang pernah, sedang dan akan terjadi. Proses-proses geomorfologis yang
mencakup proses 4endogen dan eksogenik yang terjadi pada kala umur
manusia dapat dipahami dan diinterpretasikan dari satuan-satuan
bentuklahan yang menyusun suatu daerah. Analisis morfometri,
morfogenesis, morfokronologi dan morfoaransemen merupakan kunci dalam
memahami proses-proses geomorfologi suatu daerah. Proses-proses
geomorfologi yang terjadi pada suatu daerah dengan laju diatas normal
biasanya merupakan masalah lingkungan yang serius dalam hal
menimbulkan kerugian material dan bahkan jiwa manusia.
Bentuk-bentuk proses geomorfologi yang sering menimbulkan
kerugian bagi kehidupan manusia salah satunya adalah erosi tanah. Proses
erosi sendiri jarang yang menimbulkan kerugian besar dan bahkan jiwa
manusia secara langsung, namun demikian erosi dapat dipandang sebagai
pemicu bencana yang lebih besar yang potensial merugikan kehidupan.
Penurunan kesuburan tanah, sedimentasi pada bangunan bendung,
menurunnya kualitas dan kuantitas sumber air, dan bahkan erosi pada
lokasi-lokasi tertentu dapat bertindak sebagai pemicu terjadinya longsoran
yang potensial menimbulkan kerugian besar pada satu kejadian.
4
Proses erosi tanah oleh tenaga air diawali dengan terjadinya erosi
percik karena tetes hujan yang jatuh langsung ke permukaan tanah. Untuk
selanjutnya, proses erosi akan berubah menjadi erosi lembar, alur, gully,
dan saluran sungai (river channel erosion). Erosi percik hingga erosi alur
pada umumnya hanya mengangkut material tanah dengan ketebalan
maksimum sampai kedalaman 30 cm (Horison A dan bagian atas horison
B). Erosi gully dan saluran sungai proses pengikisan dan pengangkutan
tidak hanya terjadi pada material tanah saja, namun juga material batuan
dasar. Untuk itu maka dalam Survei dan pemetaan erosi, informasi tanah
yang biasanya didapat dari peta tanah saja tidak cukup. Informasi mengenai
batuan dasar dan informasi morfologi yang lengkap juga sangat diperlukan.
Untuk itu pengetahuan mengenai satuan-satuan bentuklahan yang ada di
suatu daerah yang akan dilakukan kajian erosinya perlu dipelajari dan
diketahui, disamping juga pengetahuan mengenai satuan-satuan tanah yang
ada di daerah kajian.
5
BAB III
3.1. Judul
Penentuan Klasifikasi Tanah Sistem USDA
USDA Soil Classification
3.2. Tujuan
Mahasiswa mampu menentukan sistematika klasifikasi tanah berdasarkan
Soil Taxonomy (USDA)
6
penyempurnaan dari sistem USDA lama. Ada 2 hal yang sangat berguna
untuk mempelajari, mengelompokkan tanah dalam suatu tingkat kategori
tertentu dari sistem ini yaitu:
1. Kenyataan dasar untuk menentukan berbagai macam kelas
dalam sistem ini, ialah sifat tanah seperti aslinya yang terdapat di
lapangan, yaitu sifat yang dapat diukur secara kuantitatif;
2. Nomenklatur yang digunakan berdasar pada ciri pokok tanah
yang bersangkutan, konotasi mudah dimengerti dalam banyak bahasa
(dalam bahasa Latin dan Yunani).
Macam sifat tanah yang digunakan sebagai ukuran untuk klasifikasi
tanah meliputi semua sifat fisika, kimia dan biologi. Diantara sifat-sifat yang
paling penting adalah ada atau tidaknya horison7tertentu yaitu horison
diagnostik mencakup horison diagnostik permukaan (epipedon) dan horison
diagnostik bawah permukaan (endopedon).
7
B. Endopedon
Endopedon adalah horison-horioson di bawah permukaan.
Endopedon tidak sama dengan horison B, dapat lebih tebal dengan
mencakup bagian bawah horison A dan atau bagian atas horison C.
1. Albik : Horison eluvial berwarna muda
2. Argilik : Horison lempung silikat, kadar lempung sekurang-kurannya
20% lebih banyak daripada epipedon, menampakkan selaput
lempung.
3. Spodik : Horison illuvial seskuiosida amorf dan bahan koloidal, KPK
tinggi, biasanya terbentuk di bawah horison albik.
4. Oksik : tebal sekurang-kurangnya 30 cm, mengandung lempung
lebih besar dari 15% terutama berupa seskuiksida bebas dan
lempung silikat 1:1, KPK rendah, mengandung mineral primer
terlapukkan tidak lebih dari 1%, tidak memenuhi kriteria Argilik dan
natrik
5. Kambik : Tekstur pasir sangat halus, pasir halus geluhan atau lebih
halus, struktur granuleer, gumpal dan tiang, dapat mengalami
gleisasi, horison pada awal perkembangan, menduduki tempat
horison B akan tetapi tanda-tanda iluviasi humus, besi atau lempung
belum mencukupi untuk memenuhi kriteria Argilik atau Spodik
6. Sombrik : Pengatusan lancar, tidak berada di bawah horison Albik,
horison illuvial humus tanpa disertai Al atau Na, seperti horison
Umbrik dalm hal warna dan kejenuhan basa
7. Agrik : Terbentuk langsung di bawah bidang pembajak, debu
lempung dan humus terlonggokk berlapis tebal berwarna gelap
8. Kalsik : Kadar karbonat alkali tanah di atas 15% setara dengan
kalsium karbonat, mengandung paling kurang 5% lebih banyak
karbonat daripada lapisan yang membawahinya, tabal kurang dari 15
cm, dapat terbentuk dalam horison8C atau dapat ditemukan dalam
horison8molik, argilik, natrik atau yang lain.
9. Gipsik : Kaya akan gips sekunder, mengandung sedikitnya 5 % lebih
banyak gips daripada lapisan yang ada di bawahnya, tebal lebih dari
15 cm.
10. Salik : Kaya akan garam terlarutkan sekunder, tebal sedikitnya 15 cm
11. Sulfurik : Horison mineral atau organik dengan pH < 3,5,
mengandung mineral jarosit berupa bercak kuning (Ke3(SO4)2.(OH)6,
sangat beracun bagi tumbuhan.
12. Petrokalsik : Horison kalsik membatu, kekerasan pada skala Mhos 3
atau lebih, hancur jika direndam dalam larutan asam, akan tetapi
tidak hancur dalam rendaman air.
13. Petrogipsik : Horison gipsik tersemen kuaat, tidak rontok dalam
rendaman air, tidak tertembus akar.
14. Plasik : Padas Fe atau Mn tunggal atau tersemen oleh kompleks besi
dan bahan organik, keras tetapi rapuh, berwarna hitam – coklat
kemerahan tua, pelulusan air lambat.
8
Taksonomi tanah USDA terdiri dari enam kategori dengan sifat-sifat
faktor pembeda mulai dari kategori tertinggi ke kategori terendah, sebagai
berikut:
ORDO
Terdiri daari 11 taksa. Faktor pembeda adalah ada tidaknya horison penciri
serta jenis (sifat) dari9horison tersebut.
SUB ORDO
Terdiri dari 53 taksa. Faktor pembeda adalah keseragamann genetik,
misalny ada tidaknya sifat-sifat tanah yang berhubungan dengan pengaruh
air, regim kelembaban, bahan induk utama, pengaruh vegetasi seperti
ditunjukkan oleh adanya sifat-sifat tanah tertentu, tingkat pelapukan bahan
organik.
GREAT GROUP
Pada saat ini dikenal 250 taksa. Faktor pembedanya adalah kesamaan
jenis, tingkat perkembangan dan susunan horison, kejenuhan basa, regim
suhu dan kelembaban, ada tidaknya lapisan-lapisan penciri lain seperti
plinthitte, fragipan dan duripan
SUBGRUP
Ada lebih dari 2400 subgroup, penekanan pada kenampakan atau proses
yang nampak dominan mengontrol arah atau derajad perkembangan tanah.
Ada tiga macam subgroup:
1. Typic subgroup; secara sederhana didefinisikan sebagai satuan
tanah yang tidak punya karakteristik penciri untuk subgroup lain
2. Transitional ke ordo, subordo, atau great group lain
3. Extragrade; kategori ini mempunyai ciri yang tidak mewakili great
group tetapi tidak menunjukkan peralihan ke satuan tanah lain.
Contoh adalah tanah-tanah yang terlalu tebal atau terlalu tipis
(Lithic), terlalu banyak mengandung karbon organik (Humic)
FAMILI
Klasifikasi pada kategori ini ditujukan untuk mengelompokkan tanah dalam
subgroup yang mempunyai kemiripan perwatakan kimia dan fisika yang
mempengaruhi pengelolaan dan pengolahan. Pada beberap tanah
perwatakan yang digunakan pada kategori ini tanpa mempertimbangkan
kepentingannya sebagai indikator pada proses pembentukkan tanah.
9
3. CEC 4. klas kegampingan dan
reaksi tanah
5. klas suhu tanah 6. ketebalan tanah yang dapat
ditembus akar
7. klas penyelimutan, retakan, dan ketahanan agregat.
SERI
Faktor pembedanya adalah jenis dan susunan horison, warna, tekstur,
struktur, konsistensi, reaksi tanah dari masing-masing horison, sifat-sifat
kimia dan mineral masing-masing horison.
Tabel 3.3. Elemen Pembentuk Nama pada Kategori Sub-Ordo dan Great
Soil Group
10
anthropos, human
Aqu L aqua, water Jenuh air, dalam kondisi
tereduksi
Ar L arare, to plow Horison tercampur
Arg Modified from argillic Mempunyai horison argillic
horizon; L argilla, white
clay
Calc L calcis, lime Mempunyai horison calcic
Camb L cambiare, to exchange Mempunyai horizon cambic
Cry Gr kryos, icy cold Dingin
Dur L durus, hard Mempunyai duripan
Fibr L fibra, fiber Stadium awal dekomposisi
Fluv L fluvius, river Dataran Aluvial
Fol L folia, leaf Masa dedaunan
Gyps L gypsum, gypsum Mempunyai horison gypsic
Hem Gr hemi, half Stadium menengah
dekomposisi
Hist Gr histos, tissue Jaringan, bagian dari
makhluk hidup
Hum L humus, earth Humus
Orth Gr orthos, true Benar nyata
Per L per, throughout in time Regim kelembaban Perudic
Psamm Gr psammos, sand Tekstur Pasiran
Rend Modified from Rendzina Kandungan karbonat tinggi
Sal L base of sal, salt Mempunyai horison salic
Sapr Gr saprose, rotten Terdekomposisi pada
stadium lanjut
Torr L torridus, hot and dry Regim kelembaban Torric
Turb L turbidis, disturbed Mengalami pengadukan
karena pembekuan air
Ud L udus, humid Regim kelembaban Udic
Ust L ustus, burnt Regim kelembaban Ustic
Vitr L vitrum, glass Mengandung benda gelas
Xer Gr xeros, dry Regim kelembaban Xeric
11
Horison Kalsik, Petrokalsik A/Bkm/Ck
Horison Gipsik, Petrogipsik A/Cym/Cy
Horison Argilik A/E/Bt/Ck
Duripan A/B/Cqm
Horison Salic (regim Az/Cz
kelembaban tanah aridik)
Histosol Bahan Histik Oi/Oa/Oe
Mollisol Epipedon Mollic (kejenuhan A/Bt/C
basa tinggi)
Oxisol Horison Oksik A/Bo/Cr
Spodosol Bahan Spodik, horison Oa/E/Bh/Bs/C
placik
Ultisol Argilik (low base saturation) E/Bt/C
Vertisol Slikensides (bidak kilir), A/Css
retakan
Gelisol Bahan Gelik O/Bgjj/Cf
Inceptisol Kambik A/Bw/C
Sumber: Bockheim and Gennadiyev (2000)
12
3.5. Hasil Praktikum
1. Tabel penentuan klasifikasi tanah sistem USDA
13
Gambar 3.2. Data Hasil Lapangan 1 (Sartohadi, 2001)
14
Gambar 3.3. Data Hasil Analisis Laboratorium 1 (Sartohadi, 2001)
15
Gambar 3.4. Data Hasil Lapangan 2 (Sartohadi, 2001)
16
Gambar 3.5. Data Hasil Analisis Laboratorium 2 (Sartohadi, 2001)
17
Gambar 3.6. Data Hasil Lapangan dan Analisis Laboratorium 3 (Sartohadi,
2001)
18
Gambar 3.7. Data Hasil Lapangan dan Analisis Laboratorium 4 (Sartohadi,
2001)
19
Gambar 3.8. Data Hasil Lapangan dan Analisis Laboratorium 5 (Sartohadi,
2001)
20
Gambar 3.9. Data Hasil Lapangan dan Analisis Laboratorium 6 (Sartohadi,
2001)
21
Gambar 3.10. Data Hasil Lapangan dan Analisis Laboratorium 7 (Sartohadi,
2001)
22
Gambar 3.11. Data Hasil Lapangan dan Analisis Laboratorium 8 (Sartohadi,
2001)
23
Gambar 3.12. Data Hasil Lapangan dan Analisis Laboratorium 9 (Sartohadi,
2001)
24
BAB IV
4.1. Judul
Penentuan Klasifikasi Tanah Sistem WRB (FAO)
WRB Soil Classification
4.2. Tujuan
Mahasiswa mampu menentukan sistematika klasifikasi tanah berdasarkan
World Reference Base for Soil Resources (WRB).
25
kategori WRB tidak berarti menggantikan klasifikasi tanah nasional tetapi
lebih untuk membantu dalam komunikasi secara umum pada tingkat
internasional. Hal ini mengisyaratkan bahwa level yang lebih rendah dari
WRB dapat mengadopsi keragaman lokal pada tingkatan negara dan
provinsi. Saat ini kategori pada level yang lebih rendah telah menekankan
pada kenampakan tanah yang penting untuk penggunaan lahan dan
pengelolaan tanah.
Istilah reference base adalah konotatif sebagai fungsi penanda dimana
WRB akan diasumsikan. Satuan-satuan tanahnya harus mencakup sistem
nasional dan ada korelasi dengan sistem nasional yang telah ada. WRB
juga memungkinkan untuk dapat digunakan sebagai alat komunikasi yang
konsisten untuk kompilasi database tanah secara global dan untuk
inventarisasi dan monitoring sumberdaya tanah dunia.
Dalam WRB ada pembeda dibuat berdasarkan penciri khusus, antar
tingkatan dan penciri lainnya. Penciri khusus berdasarkan pada kunci
keterangan dari Reference Soil Groups (RSGs), contohnya Hydragic atau
Plaggic untuk Anthrosols. Penciri antar tingkatan mencerminkan kriteria
diagnostik yang penting dari RSG lainnya. Penciri yang lain tidak
berhubungan dengan penciri khusus dan tidak terhubung dengan RSGs
yang lain. Group ini mencerminkan sifat-sifat tanah seperti warna, kejenuhan
basa, dan sifat fisik dan kimia yang tidak digunakan sebagai penciri khusus
dalam keterangan grup.
26
Gambar 4.1. Reference Soil Groups sistem klasifikasi WRB (IUSS, 2007)
Tabel 4.1. Klasifikasi Reference Soil Groups WRB berdasarkan asal proses
No Kelompok Tanah
Reference Soil
Groups
1 Organic Soils Histosols
2 Mineral soils whose formation was conditioned Anthrosols
by human influences (not confined to any
particular region)
3 Mineral soils whose formation was conditioned
by their parent material
27
- Soils developed in volcanic material ANDOSOLS
- Soils developed in residual and shifting
sands ARENOSOLS
- Soils developed in expanding clays VERTISOLS
4 Mineral soils whose formation was conditioned
by the
topography/physiography of the terrain
- Soils in lowlands (wetlands) with level FLUVISOLS
topography GLEYSOLS
- Soils in elevated regions with non-level LEPTOSOLS
topography REGOSOLS
5 Mineral soils whose formation is conditioned CAMBISOLS
by their limited age (not confined to any
particular region)
6 Mineral soils whose formation was conditioned PLINTHOSOLS
by climate: (sub-)humid tropics FERRALSOLS
NITISOLS
ACRISOLS
ALISOLS
LIXISOLS
7 Mineral soils whose formation was conditioned SOLONCHAKS
by climate: arid and semi-arid regions SOLONETZ
GYPSISOLS
DURISOLS
CALCISOLS
8 Mineral soils whose formation was conditioned KASTANOZEMS
by climate: steppes and steppic regions CHERNOZEMS
PHAEOZEMS
9 Mineral soils whose formation was conditioned PODZOLS
by climate: (sub-)humid temperate regions PLANOSOLS
ALBELUVISOLS
LUVISOLS
UMBRISOLS
10 Mineral soils whose formation was conditioned CRYOSOLS
by climate: permafrost regions
28
Gambar 4.2. Penciri prefix dan suffix dalam sistem WRB, kasus untuk
Cryosols (IUSS, 2007)
Gambar 4.3. Contoh penamaan tanah WRB dengan kunci penciri hingga
suffix (IUSS, 2007)
4.5. Hasil Praktikum
1. Tabel penentuan klasifikasi sistem WRB
29
BAB V
5.1. Judul
Pembuatan Satuan Pemetaan Tanah
Create Soil Mapping Unit
5.2. Tujuan
1. Memberikan pemahaman mengenai satuan-satuan pemetaan
tanah (konsosiasi, asosiasi, komplek dan satuan tak
terpilahkan/undifferenciated).
2. Mahasiswa dapat membuat peta tentatif tanah.
1. Konsosiasi
Satuan pemetaan tanah konsosiasi didominasi oleh satu satuan
tanah dan tanah yang serupa (similar soil unit). Dalam konsosiasi
paling tidak mempunyai 50% satu satuan tanah yang sama dan
25% satuan tanah yang serupa. SPT konsosiasi diberi nama
sesuai dengan satuan tanah yang dominan. Satuan tanah lain
30
yang tidak sejenis dan serupa maksimal mempunyai persentase
25%. Dua satuan tanah dikatakan sebagai tanah yang serupa
apabila mereka hanya berbeda pada satu atau dua kriteria yang
menyebabkan keduanya diklasifikasikan ke dalam kelompok
yang berbeda. Secara umum satuan-satuan tanah yang serupa
mempunyai potensi yang31hampir sama. Sedang dua satuan
tanah dikatakan tidak serupa apabila keduanya mempunyai
perbedaan yang tegas dan lebih dari tiga kriteria yang
menyebabkan keduanya diklasifikasikan ke dalam kelompok
yang berbeda. Satuan-satuan tanah yang tidak serupa
mempunyai potensi terhadap penggunaan tertentu yang berbeda
tegas.
2. Asosiasi
SPT jenis ini mengandung dua atau lebih satuan tanah yang
tidak serupa yang digunakan dalam penamaan SPT dan
mempunyai komposisi yang hampir sama. Satuan-satuan tanah
penyusun SPT ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain kedalam
SPT-SPT yang berbeda karena keterbatasan skala pemetaan.
SPT assosiasi dalam skala pemetaan yang lebih besar dapat
dipisahkan kedalam SPT-SPT konsosiasi yang berbeda.
3. Kompleks
SPT ini mirip dengan SPT asosiasi karena terdapat dua atau
lebih satuan-satuan tanah yang tidak serupa yang digunakan
dalam penamaan SPT, demikian juga komposisi masing-masing
satuan tanahnya serupa dengan SPT asosiasi. Persebaran
satuan tanah yang ada pada SPT ini tidak mengikuti pola tertentu
sehingga dalam skala pemetaan yang lebih besar, satuan-satuan
tanah yang menyusunnya tetap tidak dapat dipisahkan satu
sama lain.
31
PETA TANAH
Peta tanah menggambarkan penyebaran beberapa satuan
tanah dalam berbagai luas lahan. Peta tanah pada skala tertentu
menggambarkan keadaan tanah dan lahan sesuai dengan nama
petanya. Peta tanah sebagai penggambaran harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
a. Dapat memberi gambaran yang mudah dipandang dan
dimengerti
b. Mengandung unsur-unsur sifat yang dikehendakai
tujuannya
c. Membedakan tegas antara dua atau kebih satuan-
satuan peta yang berlainan
d. Tidak membingungkan bagi yang melihat
Satuan peta tanah (soil mapping unit) tersusun dari unsur-unsur:
a. Satuan tanah
b. Satuan bahan induk
c. Satuan wilayah
32
Peta tanah semi detil skala 1:25.000 (kelompok, maksimal 4 orang)
33
BAB VI
6.1. Judul
Identifikasi dan Pengukuran Tipologi Erosi untuk Konservasi Tanah
Identification and Measurement of Erosion for Soil Conservation
6.2. Tujuan
1. Mengenali metode metode pengukuran langsung erosi tanah
di lapangan
2. Mampu memprediksi secara kuantitatif laju erosi tanah di satu
satuan lahan
3. Mengenali jenis-jenis teknik konservasi
34
sederhana, dapat dilakukan dalam jumlah yang banyak dengan
dengan demikian hasilnya pun dapat lebih meyakinkan (Hudson,
1993). Peralatan ataupun bahan yang dibutuhkan pun relatif mudah
didapat dan sederhana. Metode pengukuran erosi lapangan ini
sangat bermanfaat untuk memberikan gambaran proses erosi yang
terjadi pada petani/pemilik lahan, karena sifat dari metode ini yang
mudah dipahami. Alternatif pengukuran erosi yang dapat digunakan
terdiri dari:
35
Gambar 6.2. Pin erosi sederhana menggunakan kayu
3. Bottle tops
Contoh lain yang sederhana dalam merekam ketinggian awal dari
tanah hanya dengan cara menancapkan ujung atas dari botol ke
permukaan tanah. Ketika terjadi proses erosi, tanah di dalam botol
dapat menjadi pembanding seberapa dalam telah terjadi kehilangan
tanah di titik tersebut.
36
Gambar 6.3. Penggunaan tutup botol untuk melihat kehilangan tanah
4. Profile meters
Alat yang dibuat sedemikian rupa sehingga dapat menggambarkan
penampang melintang perubahan pernukaan tanah (dapat berupa
pengurangan ataupun penambahan permukaan tanah akibat erosi
dan sedimentasi).
37
Gambar 6.5. Contoh profile meter di lapangan
Pengukuran 38volumetrik
Prinsip dasar dari metode ini adalah mengukur kehilangan
tanah berdasarkan pengukuran tiga dimensi dari volume.
38
Gambar 6.7. Perhitungan penampang melintang dari gully (Hudson,
1993)
5. Rills
39
Gambar 6.9. Penampang melintang rill berbentuk segitiga
40
segitiga= ½.lebar.kedalaman,
setengah lingkaran=½.lebar.kedalaman,
segiempat= lebar.kedalaman
4. Hitung volume tanah yang hilang V (m3)
V=A.L
5. Hitung kehilangan tanah (SL1) dengan cara mengkonversikan
total volume tanah yang hilang (V) ke dalam volume per m 2
dengan cara membaginya dengan luas catchment (LC), maka
----- SL 1 (m3/m2) = V / LC
6. Untuk memperoleh nilai erosi akhir (SL2) maka konversikan SL ke
dalam satuan ton per hektar
SL 2 (t/ha) = SL1 (m3/m2) . BD (t/ha). 104
Nb: BD adalah Bulk Density tanah hasil analisa laboratorium
6. Gully
Bentukan erosi ini merupakan bukti erosi tahap lanjut. Gully
nampak sebagai cekungan dalam yang membentuk saluran, ketika
musim penghujan akan berfungsi sebagai parit alami hasil aliran
permukaan pada waktu musim penghujan. Tidak jarang pula
ditemukan sebagai saluran alami hasil aliran sumber mata air dari
hulu. Gully dapat berkembang terus hingga mencapai dasar batuan
induk, jika sudah mencapai tahap tersebut perkembangan
selanjutnya akan mengarah ke samping. Dalam perhitungannya
bentuk penampang melintang dari gully diasumsikan sebagai bidang
trapesium. Teknik perhitungan kehilangan tanah dari bukti gully sama
dengan pengukuran rill. Hanya saja perlu diperhatikan bahwa ukuran
dari gully bisa mencapai lebar 25 meter dan kedalaman 15 meter.
Studi mengenai perkembangan gully dapat didukung dengan analisa
time series dari foto udara atau citra beresolusi tinggi.
41
Gambar 6.10. Penampang melintang gully
7. Pedestal
Pedestal merupakan sisa lapisan tanah yang ”berdiri” di
sekitar permukaan tanah yang tererosi, pada bagian atasnya
terlindungi oleh material yang resisten (batuan atau akar). Penyebab
utama pembentuknya adalah terjangan butiran-butiran hujan yang
menimpa tanah, pada beberapa bagian permukaan tanah terlindungi
oleh batuan atau akar. Ketika permukaan tanah yang tereosri, bagian
yang tertutupi ini akan terlindungi. Pada tahap selanjutnya pedestal
juga akan terpengaruh oleh erosi lembar (sheet erosion).
42
Gambar 6.12. Kenampakan pedestal di lapangan
43
Kehilangan tanah (t/ha) = ketinggian rata-rata pedestal (mm) . BD
(t/m3). 101
Nb: BD adalah bulk density tanah hasil analisa laboraturium
44
3
…
Jumlah
Rata-rata h %k
45
Tanggal pengamatan :
Tabel 6.4. Pengamatan dan Perhitungan Erosi oleh Singkapan Akar
Tanaman
Perbedaan Konversi
Umur
ketinggian ton/hektar Laju erosi
No tanaman/pohon
tanah (A) A . BD . 101 (t/ha/tahun)
(tahun)
(mm) (t/ha)
1
2
3
…
Jumla
h
Rata-
rata
Nb: BD adalah bulk density hasil pengukuran lapangan
46
3
…
Total
Rata-rata (mm)
Perhitungan :
1. Siapkan tabel sebagai berikut:
Tabel 6.6. Pengamatan Tree Mound
No Perbedaan Konversi ke Umur Kehilangan
tinggi (A) ton/hektar tanaman tanah
(mm) A . BD. 101 (tahun) tahunan
47
t/ha (t/ha/tahun)
1
2
3
…
Total
Rata-
rata
48
1. Siapkan tabel seperti berikut ini:
Tabel 6.7. Pengamatan Sediment in Drain
Nomor Kedalaman sedimen (mm) Lebar saluran (mm)
1
2
3
…
Total
Rata-rata (D) (L)
Panjang saluran (P) = …..m
Daerah tangkapan (A) =….m2
49
1. Teras
a. Teras Bangku
Fungsi dari pembuatan teras bangku adalah untuk
menambah kapasitas infiltrasi, memperlambat dan
mengalirkan aliran permukaan agar tidak merusak tanah.
Berikut gambar dari teras bangku
50
b. Teras Gulud
Teras gulud merupakan suatu guludan yang diberi
saluran persis di belakang guludan
c. Teras Kredit
Teras ini terbentuk secara bertahap akibat erosi
permukaan yang tertahan akibat adanya tanaman yang
ditanam rapat searah kontur.
2. Rorak
Rorak adalah lubang untuk saluran peresapan air. Dimensi
rorak menurut Arsyad (2000) adalah kedalaman 60 cm,
panjang 500 cm dan lebar 50 cm.
51
Gambar 6.20. Rorak dengan tanaman kopi (Dariah dkk., )
52
Gambar 6.22. Penanaman dilakukan dengan jarak tertentu
(Subagyono dkk., 2003)
53
pada klasifikasi dari Departemen Kehutanan dalam Tim
Fakultas Geografi (1987).
7. Pengamatan Jenis Teknik Konservasi
Pengamatn teknik konservasi dilakukanpada area atau wilayah
kajian yang sama dengan pengukuran erosi. Melalui
pengamatan ini maka diketahui jenis teknik konservasi yang
diterapkan serta dapat dicocokan dengan kejadian erosi yang
terukur sehingga dapat dinilai efektivitasnya.
Keterangan :
SR : sangat ringan
R : ringan
S : sedang
B : berat
SB : sangat berat
54
BAB VII
7.1. Judul
Identifikasi dan Pengukuran Tipologi Longsor
Identification and Measurement of Landslide Tipology
7.2. Tujuan
3. Mahasiswa mampu memahami dinamika proses longsor
4. Mahasiswa mampu mengidentifikasi tipologi kejadian longsor
5. Mahasiswa mampu mengukur morfometri kejadian longsor
55
Gambar 6.1. Ilustrasi bagian-bagian longsor
Sumber : Modifikasi dari Vernes (1978) dalam Cornforth (2005)
56
Tidak ada sistem klasifikasi yang sederhana dan ideal untuk
menjelaskan longsor karena sifatnya yang sangat kompleks
(Hadmoko dan Mauro, 2012). Meskipun demikian longsor dapat
diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, tipe material, morfologi
bidang gelincir, dan kecepatan pergerakannya (Hungr, Leroueil, dan
Picarelli, 2013). Menurut Hadmoko dan Mauro (2012) longsor dapat
diklasifikasikan menjadi 5 tipe, yaitu : (1). Rockfall, (2). Topples, (3).
Sliding, (4). Lateral spreads, dan (5). Debris flow yang ditunjukkan
pada Gambar 6.2.
57
sliding
Translational Block slide Debris slide Earth slide
sliding
Lateral Rock spread - Earth spread
spreading
Flow Rock creep Talus flow Dry sand flow
Debris flow Wet sand flow
Debris Quick clay flow
avalanche
Solifluction Earth flow
Soil creep Rapid earth
flow
Loess flow
Complex Rock slide- Cambering, Earth slump-
debris valley bulging earth flow
avalanche
Sumber : Hungr, Leroueil, dan Picarelli, 2013
58
deformation solifluction
The words in italics are placeholders (use only one)
* : movement types that usually reach extremely rapid velocities as defined by
Cruden and Varnes (1996)
Sumber : Hungr, Leroueil, dan Picarelli, 2013
BAB VIII
59
8.1. Judul
Pemodelan Erosi Menggunakan Water And Tillage Erosion
Model/Sediment Delivery Model (WATEM/SEDEM)
8.2. Tujuan
1. Mahasiswa Praktikan dapat mengenal berbagai input data
yang diperlukan model erosi WATEM/SEDEM
2. Mahasiswa dapat memahami prinsip dan tehnik pengolahan
input data WATEM/SEDEM dengan Sistem Informasi
Geografis
3. Mahasiswa dapat memahami prinsip dan teknik kalibrasi dan
validasi dalam pemodelan erosi WATEM/SEDEM
60
pendugaan kehilangan tanah dengan keterbatasan data yang dimiliki.
Menjawab tantangan tersebut dikembangkan model WATEM/SEDEM
(Oost et al, (2000); Rompaey et al, (2001) yang mampu melakukan
penilaian besaran dan sebaran laju kehilangan tanah dan
sedimentasi secara sekaligus tanpa memerlukan investasi besar
dalam pengumpulan kebutuhan input data. Proses kalibrasi yang
tidak terlalu rumit menjadikan model WATEM SEDEM sebagai salah
satu alternatif metode penilaian laju erosi dan sedimentasi.
WATEM/SEDEM memiliki tiga komponen penting yakni
menghitung kehilangan tanah, menghitung kapasitas tranportasi
sedimen, dan mengetahui jalur sedimen. Model ini menggunakan
distribusi spasial yang terbagi menjadi bagian unit terkecil (grid cell)
dengan ketentuan tidak melebihi dari 100 m x 100 m. Rompaey et al,
(2001).
Masukan Data
61
-2 : Jalan dan Infrastruktur
-1 : Sungai
0 : Luar Area Kajian
b) River Routing
Validasi Watem/Sedem
ME = 1
ME : efisiensi model
Oi : nilai Observasi
Pi a : nilai simulasi
62
Omean : nilai rata-rata observasi
HASIL PRAKTIKUM
1. Diagram alir prosedur pemodelan WATEM/SEDEM
2. Nilai kalibrasi model
3. Nilai validasi model
4. Peta distribusi erosi dan deposisi sedimen
LANGKAH KERJA
1. Buka Arcgis
2. Add data (contoh : pengelolaan tanaman.shp)
3. Convert semua input data ke bentuk raster (conversion tool ->
to raster -> feature to raster)
63
4. Convert semua input data ke bentuk ascii (conversion tool ->
from raster -> raster to ascii)
5. Buka Idrisi Selva
6. Convert ascii ke ekstensi *rst (file-> import -> software specific
format -> Esri Format -> Arcraster -> Pilih Arcinfo raster ascii
format to Idrisi -> masukkan input file berektensi *asc dan pilih
output file -> pilih Output reference information -> ok)
64
8. Pilih file -> open project -> buka file watemsedem.ini yang
terdapat di folder ( ekstensi *ini dimasukkan kedalam satu
folder dengan semua input data)
65
9. Masukkan setiap input data watem/sedem :
a. Input 1 : DEM, Parcel Map, River Routing
66
b. Input 2 : Crop Factor, Soil Erodibility Factor (Pilih map)
67
10. Tahap terakhir, Klik ikon water erosion -> klik File -> Save as
-> isikan nama file *ini baru -> klik ikon start calculation
68
11. Output WATEM/SEDEM
69
BAB IX
9.1. Judul
Perhitungan Ambang Batas Erosi
Calculate Tolerable Erossion
9.2. Tujuan
1. Memahami konsep ambang batas erosi
2. Memahami prinsip pendekatan produktivitas untuk
pengukuran ambang batas erosi
3. Menentukan besar ambang batas erosi berbasis nilai
indeks produktivitas
70
9.4. Dasar Teori
Nilai ambang batas erosi tanah didefinisikan sebagai besar
nilai erosi yang masih dapat dibiarkan pada suatu luasan lahan
(Arsyad, 2010). Ambang batas erosi juga dikenal sebagai nilai erosi
yang dapat ditoleransi (Boardman & Poesen, 2006). Definisi lain
menjabarkan bahwa nilai ambang batas erosi sebagai nilai
keberlanjutan pemanfaatan tanah (Li et al., 2009). Pemanfaatan
tanah dianggap mempertimbangkan aspek keberlanjutan apabila nilai
erosi yang terjadi jauh dibawah nilai ambang batas erosi tanahnya,
karena pada wilayah yang dilakukan pengolahan sangat mustahil
menekan laju erosi tanah hingga nol (Montgomery, 2007).
Perkembangan penelitian mengenai ambang batas erosi
dimulai sejak pemanfaatan lahan mulai intensif. Namun demikian,
hingga saat ini kajian mengenai toleransi erosi masih terus
berkembang. Perkembangan kajian ini dikarenakan banyaknya faktor
yang dapat mempengaruhi besar nilai ambang batas erosi (Li et al.,
2009). Bazzofi (2009) menjelaskan berbagai faktor yang memiliki
peran penting dalam besar nilai ambang batas erosi yaitu:
1. Laju pembentukan tanah
2. Ketebalan antara lapisan top soil dengan subsoil
3. Laju penurunan hasil panen
4. Kedalaman tanah
5. Kandungan bahan organik tanah
6. Faktor ekonomi
Ambang batas erosi (T) di berbagai belahan dunia memiliki
nilai yang berbeda. Perbedaan nilai diakibatkan dari perbedaan
kondisi fisik seperti lereng, penggunaan lahan, dan curah hujan,
faktor pengaruh manusia, luasan daerah penelitian, serta pendekatan
yang digunakan oleh peneliti (Liu et al, 2009). Penelitian terkait
ambang batas erosi yang pernah dilakukan diantaranya di Italia,
Indonesia, China dan Amerika (Tabel 1).
Tabel 1. Penelitian terkait ambang batas erosi
Nama Peneliti Tahun Lokasi Hasil (Ton/Ha/Thn)
Harsbarger 1969 Illinois,
dan Swanson Amerika 7,42
Serikat
Duan et al 2012 Songnen,
68-358
China
Bazzoffi 2009 Chianti, Italia 0,01-3
Fitri 2011 Krueng Simpo,
17-43
Indonesia
71
Indeks produktivitas merupakan suatu metode untuk
mengukur nilai produktivitas lahan berdasarkan beberapa parameter
yang berupa sifat fisik dan kimia tanah ( Pierce et al., 1983). Metode
ini pada awalnya dikembangkan oleh Neill dan kemudian
disempurnakan oleh Pierce pada tahun 1983 (Duan et al., 2009).
Formulasi indeks produktivitas adalah sebagai berikut
72
1. Menentukan nilai indeks setiap parameter
i. Available Water Content (A)
AWC Value Convert Method
AWC < 3% 0
A 3% < AWC < 5 x AWC (decimals not
20% %)
AWC > 20% 1
ii. Clay Content (CL)
Clay Content Convert Method
20% < CL < 40% 1
0% < CL < 20%
(% not decimals)
CL
40% < CL < 100%
(% not decimals)
CL = 0% , or CL = 100% 0
iii. Organic Matter (OM)
O Organic Matter Convert Method
0% < OM < 4%
(% not decimals)
73
OM > 4% 1
iv. Soil Acidity (D)
Soil Acidity Convert Method
pH < 2,9 0
2.9 < pH < 5,0 -1,31 + (0,446 x pH)
D 5,0 < pH < 5,5 0,12 + (0,16 x pH)
5,5 < pH < 6,5 1
6,5 < pH < 8,0 2,086 – (0,167 x pH)
pH > 8,0 0,75
v. Soil Weight Factor (WF)
Parameter WF memiliki rumus konversi
74
Nilai PI0 merupakan nilai PI pada tanah permukaan (lapisan a,
+ 5 cm), sementara nilai PId adalah nilai PI setelah tanah
tererosi sebesar d cm (lapisan b). Nilai d adalah selisih antara
lapisan b dengan lapisan a.
6. Menghitung nilai ambang batas erosi (T)
Nilai T diperoleh dengan satuan standar internasional yaitu
Ton/ha/Tahun. Perhitungan nilai T memanfaatkan rumus:
75
a
2
b
a
3
b
a
4
b
a
5
b
Dst
76
a. Perbandingan T (.... tahun) dengan erosi aktual
T Erosi aktual
Titik
(Ton/Ha/Thn) (Ton/Ha)
1
2
3
4
.....
BAB X
77
10.1. Judul
Pembuatan Peta Morfo-Konservasi
Making Morpho – Conservation Map
10.2. Tujuan
1. Mahasiswa dapat memahami arti peta morfo-konservasi
2. Mahasiswa mengenal berbagai kebutuhan input data peta
morfo-konservasi
3. Mahasiswa dapat membuat peta morfo-konservasi suatu area
4. Mahasiswa dapat menganalisa peta morfo-konservasi yang
telah dibuat
78
Gambar 11.1. Diagram alir peta morfokonservasi tanah
79
2. Peta morfo-konservasi
80
BAB XI
11.1. Judul
Pemodelan Erosi dan Limpasan Permukaan Menggunakan Model
SWAT (Soil and Water Assessment Tool)
11.2. Tujuan
1. Mahasiswa dapat mengenal berbagai input data yang diperlukan
model erosi dan limpasan permukaan menggunakan SWAT
2. Mahasiswa dapat memahami prinsip dan teknik pengolahan
input data SWAT dengan Sistem Informasi Geografis
.0
.0
Dimana:
Qsurf = Akumulasi aliran permukaan
Rday = Hujan harian
81
Ia = Abstraksi awal
S = Retensi
CN = Curve Number
Abstraksi awal oleh SCS CN diperkirakan memiliki nilai 0.2 sehingga
rumus SCS-CN menjadi seperti dibawah ini
.0
.0
Dimana:
SED = Total sedimen pada outlet DAS
Qsurf = Akumulasi surface runoff
qpeak = Debit puncak
AreaHRU = Luas area HRU
K USL = Erodibilitas tanah
C USLE = Faktor penutup lahan
P USLE = Faktor konservasi lahan
LS USLE = Faktor topografi
CFRG = Faktor pecahan batuan kasar
82
4. Kemudian muncul akan muncul window “Project Setup”.Isi
“Project Directory” dengan lokasi folder tempat project akan
disimpan. Secara otomatis nama SWAT project
geodatabase akan terisi mengikuti nama folder project
directory. Usahakan lokasi folder berada diluar (tidak folder
dalam folder).
83
2. Selanjutnya masukan data DEM dengan menekan tombol
dalam frame DEM setup. Muncul pilihan untuk membuka
file DEM yaitu “Load from Disk” dan “Select from Map”.
“Load from Disk” digunakan untuk memilih file data DEM
yang terseimpan di folder dalam komputer sedangkan untuk
“Select from Map” digunakan untuk memilih DEM yang telah
dibuka pada “Project ArcMap”
84
4. Langkah berikutnya merupakan langkah optional yaitu
“Check box”.
5. Check box Mask digunakan apabila pengguna ingin
membatasi DAS dengan langsung. Klik pada mask
untuk mengimpor shapefile batas DAS.
6. Check box Burn In digunakan apabila pengguna akan
melakukan delineasi DAS dengan bantuan jaringan sungai.
Klik pada Burn In untuk mengimpor shapefile jaringan
sungai.
85
10. Kemudian tekan tombol untuk melakukan
pendelineasian batas DAS. Apabila proses telah selesai
akan muncul kotak dialog, klik “Ok”.
11. Langkah yang terakhir adalah mengkalkulasi parameter
86
3. Pada kolom Choose Grid Field pilih “Value” kemudian klik
tombol “OK”. Selanjutnya dalam “SWAT land use
classification table”, kolom Value akan terisi oleh kode
SWAT untuk masing-‐masing tutupan lahan.
87
6. Selanjutnya pilih tab “Soil Data”, kemudian klik tombol .
tahap pemanggilan data tanah ini sama dengan
pemanggilan data penggunaan lahan.
7. Pada kolom “Choose Grid Field” pilih “Value” kemudian cklik
tombol “OK”, maka kolom Value akan terisi oleh kode untuk
tiap jenis tanah beserta persentase areanya
8. Pada kolom “Option”, pilih “Name” Untuk mengisi kolom
Name, klik 2 kali baris yang kosong, akan muncul jendela
User soil, pilih kode tanah sesuai dengan jenis tanah.
88
11. Pilih setiap Current Slope Class da nisi angka pada “Class
Upper Limit (%)”, lalu klik tombol “Add”.
89
15. Apabila telah selesai kemudian tekan tombol “Create
HRUs”, klik “Ok”.
16. Setelah pembuatan HRU selesai selanjutnya input data
iklim. Pilih menu “Write Input Tables”, pilih sub menu
“Weather Stations”.
90
23. Jika semua data sudah diisi klik “Ok”.
24. Selanjutnya sub menu ‘Write SWAT Input Table’ akan aktif.
Pilih sub menu ’Select All’ pada jendela peringatan
kemudian klik pilihan ‘Create Table’ dan ‘Ok’.
Running SWAT
1. Pilih menu ‘SWAT Simulation’ pilih sub menu ‘Run
SWAT’.
91
8. Pilih menu ‘SWAT Simulation’, pilih ‘Read SWAT Output’.
9. Simpan hasil run SWAT dengan mengisi nama folder dan
klik “Save Simulation”. Hasil running SWAT semuanya akan
berada di “‘TxtInOut”’ di folder ‘Scenarios’.
11.7. Data Hasil Model SWAT
1. Data dapat diolah dengan membuka excel kemudian
memanggil data txt hasil run SWAT.
2. Agar memudahkan pembacaan dapat dilakukan dengan
membuat pivot table. Caranya yaitu blok seluruh data
menu insert Pivot Table.
92
BAB XII
Penutup
93
DAFTAR PUSTAKA
94
Morgan., R. P. C., 1995, Soil and Conservation Second edition. UK:
Longman
Samodra, G., Chen, G., Sartohadi, J., dan Kasama, K. 2015. Generating
landslide inventory by participatory mapping: an example in
Purwosari Area, Yogyakarta, Java. Journal of Geomorphology xxx.
Hal : 1-8.
Sartohadi. J. 2001. Geomorphological Processes Analysis for Soil Mapping
using Remote Sensing and Georaphic Information System
Techniques: A Case Study in the Western Gunungkidul Range
Yogykarta, Indonesia. Thesis. Leopold-Franzens Universität
Innsbruck, Austria
Sartohadi, J. 2005. Pemanfaatan Informasi Kerawanan Gerakan Massa
Tanah untuk Penilaian Kemampuan Lahan di Sub DAS Maetan,
Daerah Aliran Sungai Luk Ula Jawa Tengah. Majalah Geografi
Indonesia, Vol. 19. No I. Maret 2005 Hal : 21-39.
Sartohadi, J., Geografi Tanah. 2006. Lecture Notes Program Studi
Geografi, Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada
Schmidt, F.H and Ferguson, J.H.A, 1951, Rainfall Types Based on Wet and
Dry Period Roties for Indeonesia with Western New Guinee,
Verhanding no 42, Kementrian Perhubungan, Djawatan
Meteorologi dan Geofisika
Setiawan, M.A. 2013. Laporan Penelitian Hibah Penelitian Dosen: Mitigasi
dan Adaptasi Bahaya Erosi di Sebagian Kawasan Dataran Tinggi
Dieng. Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta
Setiawan, M.A. 2012. Integrated Soil Erosion Risk Management in the Upper
Part of Serayu Waterhed, Wonosobo District, Central Java
Province. Phd Thesis. University of Innsbruck
Setiawan, M.A. and Sartohadi, J. 2012. Implementing the geographical
approach in soil erosion studies. Proceeding of PIT IGI conference:
UNS SOLO. Accepted
Setiawan, M.A. Sartohadi, J., Mardiatno, D., Marfai, M.A. Hadmoko, D.S.
2013. Revealing the Soil Erosion Risk Management in Indonesia.
ECO-DRR Proceeding: Fakultas Geografi UGM.
Smets, T., Borselli, L., Poesen, J., & Torri, D. (2011). Evaluation of the
EUROSEM model for predicting the effects of erosion-control
blankets on runoff and interrill soil erosion by water. Geotextiles
and Geomembranes, 29(3), 285-297.
Soil Survey Division Staff. 1993, Soil Survey Manual. United States
Department of Agriculture Handbook No. 18. USA
Soil Survey Division Staff. 2000. Munsell Soil Color Chart. United States
Department of Agriculture Handbook No. 18. USA
Soil Survey Staff. 1998. Kunci Taksonomi Tanah. Edisi kedua Bahasa
Indonesia. 1999. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian
95
Stocking, M.A. and Murnaghan, N, 2001.Hand book for the field assessment
of land degradation. Earthscan Publications Ltd, London
Subagyono, K., Setiari M., Undang K. 2003. Teknik Konservasi Tanah
Secara Vegetatif. Balai Penelitian Tanah, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat
Tim Fakultas Geografi,1987,Pemetaan Tingkat Bahaya Erosi Sub Daerah
Aliran Sungai Progo Propinsi Jawa Tengah,LaporanPenelitian,Sub
Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Opak Progo.
Van Western, C. J., Rangers, N., dan Soeters, R. 2003. Use of
Geomorphological Information in Indirect Landslide Susceptibility
Assessment. Journal of Natural Hazards. Kluwer Academic
Publishmeers. Enschede, The Netherlands.
Wischmeir, W.H. and Smith, D.D., 1978, Predicting Rainfall Erosion Losses,
A Guide to Conservation Planning, USDA
96
GLOSARIUM
Arc GIS : Perangkat lunak untuk pengolahan peta
Bentanglahan : Kumpulan dari satuan-satuan bentuklahan yang
memiliki proses yang sama
Bentuklahan : Konfigurasi nyata permukaan bumi yang memiliki
relief yang khas akibat oleh proses tertentu dan
dikontrol oleh struktur dalam ruang dan waktu tertentu
Buku Munsell : Buku yang digunakan untuk analisis warna tanah
dilapangan
Bulk Density : Rasio antara berat tanah kering mutlak dengan
volume tanah apa adanya
Catcthment : Area tangkapan air
Chroma : Kemurnian relatif dari spektrum warna tanah
Cross Check : Melakukan koreksi hasil dari sesuatu yang bersifat
tentatif
Drainase : Saluran air di permukaan atau di bawah tanah baik
yang terbentuk secara alami maupun buatan manusia
Erosi : Proses pengangkutan dan pelepasan material oleh
tenaga air, angin dan gelombang
Erosi Alur : Erosi yang menimbulkan saluran kecil dan
merupakan kelanjutan dari erosi lembar
Erosi Gully : Erosi yang membentuk suatu parit dengan
kedalaman 1 m
Erosi lembar : Erosi yang terjadi pada lapisan atas permukaan
akibat dari jatuhan air hujan dan aliran permukaan
Genesis : Asal proses terbentuknya suatu bentukan, biasa
digunakan untuk bentuklahan
Geologi : Ilmu yang mempelajari tentang batuan serta proses
terbentuknya dan persebarannya
Geomorfologi : Ilmu yang mempelajari tentang bentukan di
permukaan bumi beserta proses dan hasil proses
yang bekerja
Horison diagnostik : Horison tanah yang diberi nama dan dicirikan atas
dasar pengukuran secara akurat atas karakteristik
tanah dilapangan maupun di laboratorium
Horison Tanah : Lapisan tanah atau bahan tanah yang kurang lebih
sejajar dengan permukaan tanah dan berbeda dengan
lapisan di sebelah atas dan bawahnya yang secara
genetik ada kaitannya.
Iklim : Kondisis rerata cuaca yang ditentukan dengan waktu
yang panjang di suatu wilayah yang luas
Insitu : Tanah yang terbentuk dari bahan induk yang ada
dibawahnya dan tidak berasal dari endapan longsoran
Interrill : Jarak antar alur
KPK : Kapasitas pertukaran kation dalam tanah
97
Kontur : garis yang menunjukkan ketinggian yang sama dari
permukaan laut
Land Mapping Unit : Unit pemetaan lahan
Litologi : Deskripsi batuan pada singkapan berdasarkan
karakteristiknya seperti kristal dan mineral penyusun
98
Tentatif : Sesuatu yang bersifat sementara dan berupa hasil
interpretasi awal
Time Series : Pencatatan waktu secara berkala
Value : Nilai yang menunjukkan kecerahan warna tanah
Volkanisme : Aktivitas naiknya magma menuju permukaan bumi
99
INDEKS Land mapping unit 5, 55
Litologi 4, 7, 20, 55
A
Arc GIS 3, 34, 50, 54 M
Morfoaransemen 4-5, 20, 55
B Morfokronologi 5, 20, 55
Bentanglahan 3, 50, 54 Morfologi 3, 6-8, 20
Bentuklahan ii, 3-6, 50-51, 54-55
Buku Munsell 8, 17, 54 O
Bulk Density 24, 26, 28-29, 54 Organisme 5, 55
C P
Catcthment 26, 54 Pedogen 3, 55
Chroma 54 Pedogeomorfologi 3, 55
Permeabilitas 44-45, 55
D Peta geologi 3, 7, 55
Drainase 9, 19, 54 Peta rupa bumi 3, 55
E R
Eksogen 4-5 Relief 3-5, 54-55
Endogen 4-5, 56
Erosi alur 6, 54 S
Erosi gully 6, 54 Sifat diagnostic 8, 55
Erosi lembar 6, 27, 54 Soil mapping unit 5, 19, 55
Soil Taxonomy 8-9, 17, 56
G Soil test kit 8, 17, 56
Genesis 3, 5, 52, 54 Soil Unit 5, 17, 56
Geologi 3-4-, 7, 54-56 Stadia 3, 56
Geomorfologi 1, 3-6, 17, 20, 54- Step-wise 7, 56
56 Struktur 3-4, 7, 9-10, 12, 51,
54, 56
H Surfer 21, 32-33, 56
Horison diagnostik iv, 9, 14, 54
Horison tanah 54 T
Tekstur 10, 12, 14, 19, 51,
I 56
Iklim 3, 5, 55 Tentatif 8, 17, 20, 54, 56
Insitu 5, 55 Time Series 27, 56
Interill 3, 23, 55
V
K Value 9-10, 56
KPK 10, 55 Volkanisme 4, 56
Kontur 7, 33, 47-48, 50,
55-56
100
101
LAMPIRAN
102
Data Pengukuran Erosi (Pedestal)
103
Data Pengukuran Erosi (Rill)
104
Data Pengukuran Erosi (Singkapan Akar
105
Contoh Checklist Identifikasi dan Pengukuran Longsor
Appendix A
Checklist for landslide inventory mapping
No. Site……….
FAKULTAS GEOGRAFI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
106
JSP Students
Address: Faculty of Geography, Bulaksumur Yogyakarta 55281
CONFIDENTIAL
No. Respondent Identity :
DESCRIPTION OF INTERVIEW
RESULT OF VISITS
FIRST VISIT SECOND VISIT THIRD VISIT
Date / /2015 / /2015 / /2015
Time Start : : :
Time Finish : : :
Result 1. Completed 1.Completed 1.Completed
2.Partially 2.Partially 2.Partially Completed
Completed Completed
3.Respondent 3.Respondent 3.Respondent refuses
refuses interview/ refuses interview/ interview/ not in
not in place/ absent not in place/ absent place/ absent
CHECK RESULT
Site No Editor Note
107
1 LOCATION
Name of victim : ………………………
Address : ………………………
Hamlet : ………………………
Village : ………………………
Sub District : ....................................
District/Regency : ....................................
Coordinate
X : ………………………
Y : ………………………
Elevation : ………………………
Place where coordinate is plotted :……………………… e.g.
Photo number : ………………………
Direction of photoshoot : ………………………
Photograph note : ………………………
3 LANDSLIDE TYPOLOGY
(Please circle the choices below)
Landslide Material
1. Rock 2. earth 3. debris 4…………..
Process
1. fall 2. topple 3. slide (rotational) 4. slide
(translational)
5. lateral spread 6.flow
nb: (engineering soil) è fine material consist of at least 50% sand particle,
loam and clay
Another characteristic:
Slope : ……………
108
Landuse where landslide occured (please circle the choice below based on field
investigation)
1. bushes 2. forest 3. settlement 4. paddy field
5. rainfed 6. field 7. others …….
Types of plants …………………
The cause of landslide:…………………………………………………
4 LANDSLIDE GEOMETRY
Length Lr : ………. m Ld : ………. m L
: ………. m
Width Wr : ………. m Wd : ………. m
Depth Dr : ………. m Dd : ………. m
5 LOSSES
death : ……………..
property : ……………..lost estimation (IDR) : ………………
plantation : ……………..lost estimation (IDR) : ………………
livestock : ……………..lost estimation (IDR) : ………………
others : ……………..lost estimation (IDR) : ………………
109
FIELD OBSERVATION CHECKLIST
Location Description
1. Village :
2. Sub District :
3. Regency :
4. Coordinate :X=
:Y=
5. Picture/Photograph number :
6. Slope :
7. Landslide prone area : Yes/No
Geomorphology description :
110
Data Pengukuran Nilai Ambang Batas Erosi
111
112