2001 Wacanadankebudayaan
2001 Wacanadankebudayaan
net/publication/42320949
CITATIONS READS
0 201
1 author:
-- Mulyad
University of Sumatera Utar
128PUBLICATIONS95 CITATIONS
SEE PROFIL
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
Mulyadi, M.Hum.
Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara
1. Pengantar
Dalam masyarakat yang berbeda orang tidak hanya berbicara dengan bahasa dan dialek yang
berbeda, tetapi cara berbicaranya juga berbeda. Dalam beberapa masyarakat percakapan yang
normal berisi perdebatan, suara yang meninggi, dan emosi yang menonjol. Dalam masyarakat
yang lain orang justru menghindari perdebatan, berbicara dengan suara yang lembut dan
menjaga perilakunya. Pada beberapa negara di dunia berbicara pada saat orang lain sedang
berbicara dianggap tidak sopan, sedangkan pada beberapa negara lainnya hal ini malah
dianggap sebagai bagian dari kepandaian berbicara.
Refleksi dari perbedaan cara berbicara di antara dua masyarakat yang berbeda ini secara lebih
eksplisit dikemukakan oleh Ho-min Sohn, sebagaimana dikutip oleh Wierzbicka (1994:1). Ia
mengatakan bahwa orang Amerika memperlakukan setiap orang sama dalam berkomunikasi
sementara orang Korea berperilaku sopan pada sebagian orang, tetapi tidak dengan yang lain.
Orang Amerika yang marah cenderung mengeraskan nada sapaan, seperti menyebut ’John’
untuk ‘Bapak John Smith’ sewaktu menyapa orang yang menjadi sasaran kemarahannya,
sedangkan orang Korea justru melembutkannya. Berbeda dengan orang Amerika, orang Korea
tidak menggunakan pronomina persona kedua bila menyapa pemimpin masyarakatnya.
Kemudian, orang Amerika dewasa umumnya menggunakan nama kecil seperti ‘Bob’ dan ’Liz’,
sedangkan orang Korea dewasa sering menggunakan gaya bahasa yang sopan dalam
interaksi sosial sehari-hari.
Menggambarkan dan menjelaskan cara berbicara dalam kebudayaan khusus seperti itu
merupakan tugas kajian wacana dan kebudayaan. Tugas ini bisa diancangi dari berbagai arah
yang berbeda dan dengan menggunakan berbagai metode yang berbeda. Namun, para ahli
umumnya sepakat bahwa terlalu sulit jika pola berbicara dijelaskan dengan istilah yang
berhubungan dengan perilaku seseorang. Masalahnya, ada hubungan antara cara berbicara
khusus dan budaya masyarakatnya. Untuk itu, harus ditentukan lebih dahulu nilai-nilai dan
prioritas budaya dari pola berbicaranya. Buktinya bisa diperoleh dari berbagai sumber, seperti
survei atau wawancara, mengamati kebiasaan anak-anak, melalui pepatah-pepatah,
ungkapanungkapan umum kebudayaan, analisis makna terhadap kata kunci kebudayaan, dan
analisis kebudayaan secara lebih luas.
Jelasnya, kajian terhadap perbedaan pola komunikasi dari budaya yang berbeda memerlukan
sebuah kerangka kerja yang tepat, sebuah jaringan universal yang diharapkan dapat
mendeskripsikan pola komunikasi yang alamiah dan memudahkan perbandingan pola
komunikasi secara lintas budaya. Perbedaan ini mestilah dikaitkan dengan orientasi nilai yang
berbeda, tetapi orientasi nilai itu sendiri merupakan kondisi yang diperlukan.
Mengacu pada kemajuan yang dicapai dalam memahami lintas budaya pada dekade
terakhir ini, (khususnya budaya Jepang dan Amerika), Edward Hall (1983:91), dikutip oleh
Wierzbicka (1994:2), menulis berikut ini :
“... there is one element lacking in the cross-cultural field, and that is the existence of
adequate models to enable us to gain more insight into the processes going on inside
people while they are thinking and communicating. We need to know more about how
people think is different cultures...”, ‘ada satu elemen yang kurang dalam bidang lintas
budaya, dan elemen itu adalah mengenai keberadaan model-model yang memadai
untuk memudahkan kita memperoleh wawasan yang lebih baik tentang proses dalam
Dalam semua penelitian lintas budaya, masalah metode yang dikesampingkan adalah
bias etnosentris, yaitu memahami praktik wacana kebudayaan lain melalui prisma kebudayaan
sendiri. Ada kebutuhan untuk menemukan perspektif universal dari bahasa yang mandiri pada
struktur wacana dan nilai-nilai kebudayaannya.
Dalam bab ini akan diselidiki berbagai ancangan yang berbeda dalam kajian wacana dan
kebudayaan kemudian diungkapkan aspek wacana budaya dari lima kebudayaan yang berbeda
(Jepang, Melayu, Polandia, Yankunytjatjara, dan Ewe). Dengan cara ini akan digambarkan
beberapa dimensi utama perbedaan lintas budaya dalam wacana.
S : setting and scene, latar dan situasi (di mana dan kapan hal itu terjadi)
P : participants, peserta (siapa yang mengambil bagian)
E : ends, akhir (apa yang ingin dicapai peserta)
A : act, tindakan (apa yang dikatakan dan dilakukan)
K : key, kunci (apakah berupa nada emosional; misalnya, serius, sedih, gembira ?)
I : instrumentalities, instrumen (apa jalur yang digunakan; misalnya, lisan, tertulis, dan kode,
seperti bahasa, gaya-gaya ujaran ?)
N : norms of interaction and interpretation , norma interaksi dan interpretasi (mengapa orang
harus bertindak seperti ini ?)
G : genre (apa tipe peristiwa komunikatifnya ?)
Ahli etnografi komunikasi telah membuktikan pola-pola peristiwa ujaran dalam ranah budaya
yang luas. Metode pengumpulan datanya yang paling baik adalah mengamati peserta dan
mewawancarai penutur asli. Mereka sering menemukan perbedaan yang mencolok dari norma-
norma budaya Eropa. Misalnya, bagi orang Wolof di Afrika Barat, bertukar salam merupakan
aktivitas rutin yang berstruktur. Dalam salam pembuka, pujian kepada Tuhan, tanya jawab
tentang kesehatan anggota keluarga, ada asumsi budaya yang kompleks tentang tingkat sosial
dan perilaku yang tepat di antara perilaku yang berbeda. Orang luar tentunya tidak menyadari
2001 digitalized by USU digital libary
hal itu, tetapi setiap ucapan salam menentukan tingkatan-tingkatan relatif peserta. Seperti
dalam ungkapan Wolof, 'jika dua orang saling memberi salam, yang satu akan merasa malu dan
yang lain merasa bangga'.
Bagi orang Apache, memberi salam memerlukan bentuk perilaku yang berbeda. Bentuk
yang umum adalah diam dalam waktu yang lama. Perilaku ini merupakan contoh terbaik dari
fakta bahwa bentuk verbal yang sama mungkin memiliki fungsi yang berbeda dalam budaya
yang berbeda. Perilaku ini tampaknya sama dalam setiap bahasa, tetapi interpretasinya berbeda
secara luas.
Contoh lain, di Jepang ada kepercayaan bahwa jika sebuah pengalaman diungkapkan dengan
kata-kata, maka makna riilnya akan hilang. Jadi, kapan pun emosi seseorang mencapai
puncaknya, apakah karena kematian orang tuanya, atau kabar gembira tentang anaknya yang
lulus ujian masuk perguruan tinggi, atau pemandangan yang sangat indah, maka hal-hal yang
demikian tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Perlu dicatat bahwa walaupun karya Hymes telah banyak mengilhami studi wacana dan
kebudayaan, sebenarnya hanya beberapa kerangka SPEAKING yang digunakan untuk
mengorganisasi penjelasannya. Apa yang coba dilakukan oleh Hymes ialah menempatkan
sebuah kerangka kerja dalam mengumpulkan data pada peristiwa ujaran secara lintas budaya
(disebut kerangka etis). Untuk menjelaskan fenomena wacana dalam kebudayaan, komponen
terpenting adalah komponen norma.
Faktanya, sebagian besar studi etnografi komunikasi menghabiskan sebagian waktunya untuk
menjelaskan hal ini. Norma interaksi mengacu pada aturan bagaimana orang-orang diharapkan
berbicara dalam peristiwa ujaran tertentu; sering terjadi ketidaksadaran dan hanya dapat diliput
oleh makna tidak langsung, misalnya, dengan mengamati reaksi bila mereka terganggu. Semua
pengetahuan dari budaya yang lain diperlukan untuk memahami peristiwa komunikatif yang
terjadi berdasarkan norma-norma interpretasi. Kesulitan utama dalam menggunakan ancangan
etnografi komunikasi adalah keterbatasan metode dalam menjelaskan norma-norma budaya;
dalam praktiknya, setiap ahli etnografi kembali pada caranya masingmasing.
Contoh ini menggambarkan kecenderungan yang terkenal dalam bahasa Jepang untuk
apologise 'minta maaf' dalam ranah situasi yang luas, tetapi apologise tidak diandalkan sebagai
verba tindak ujar dalam bahasa Inggris. Jika digunakan, akan menjadi etnosentris dan
menyesatkan. Konsep ikatan budaya seperti apology kurang tepat sebagai alat deskriptif dan
analitis dalam lintas budaya. Istilah bahasa Inggris juga menyesatkan dalam komponen
makna, seperti ‘Saya melakukan sesuatu yang buruk pada Anda’. Yang disebut dengan
apology bahasa Jepang tidak mensyaratkan komponen itu. Orang diharapkan melakukan hal
itu jika tindakannya menyebabkan orang lain menderita atau merasa tidak enak meskipun
tindakannya dilakukan secara tak langsung. Oleh karenanya, wacana di atas lebih akurat bila
diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang.
Jelaslah bahwa ancangan wacana kebudayaan melengkapi tradisi lain dalam studi wacana dan
kebudayaan dengan menyediakan metode yang lebih baik untuk menerangkan aturan
berbicara (rules of speaking). Ancangan ini sangat cocok untuk penelitian strategi wacana
(pragmatik kontrastif) dan kebudayaan khusus (etnografi komunikasi dan studi antarbudaya).
Ancangan ini juga sesuai dengan teknik pengumpulan data dalam berbagai tipe.
2.1 Pengantar
Pada bagian ini akan ditelaah lima fenomena wacana yang terdapat dalam masyarakat, budaya,
dan geografi yang berbeda. Di antara fenomena wacana tersebut akan diperlihatkan pilihan
kata yang berbeda dalam hubungannya dengan keinginan, pendapat, dan perasaan, konvensi
yang berbeda sewaktu berpartisipasi dalam percakapan, gaya ujaran khusus, kebiasaan dan
genre budaya-khusus.
Berdasarkan tekstur bahasa, perbedaan yang selalu ada mencakup frekuensi imperatif dan
pertanyaan, bentuk panggilan dan vokatif, bentuk-bentuk khusus untuk mengacu pada diri
sendiri, keberterimaan negasi yang jelas, eksklamasi dan partikel wacana, dan penggunaan
kosakata yang bermarkah dalam berbagai cara.
Budaya Jepang lain yang relevan dengan pilihan wacananya adalah omoiyari, yang
diperkenalkan oleh beberapa penanggap kebudayaan sebagai salah satu kunci sifat orang
Jepang. Lebra (1976:38) menggambarkannya seperti di bawah ini.
2001 digitalized by USU digital libary
“Omoiyari refers to the ability and willingness to feel what others are feeling, to
vicariously experience the pleasure or pain that they are undergoing, and to help them
satisy their wishes ... without being told verbally”, ‘omoiyari mengacu pada kemampuan
dan kesediaan merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, seolah-olah
mengalami sendiri kesenangan atau kesedihan yang mereka alami dan membantu
mereka memenuhi keinginannya ... tanpa disampaikan secara verbal.’
Tentu saja tidak sulit menemukan bukti untuk mendukung gambaran Lebra tentang
kebudayaan Jepang, seperti budaya omoiyari. Misalnya, pada kolom pembaca di surat kabar
Shikoku Shimbun, tempat pembaca menempatkan foto anak-anaknya dan menyatakan harapan
dan keinginan mereka, salah satu yang paling umum adalah Omoiyari no aru hitoni nattene
'Silakan menjadi orang bersama omoiyari'. Pada buku pedoman pendidikan untuk guru, yang
pertama adalah Omoiyari no kokoro o taisetsuni shimashoo 'Marilah memperkaya
pikiran/hati dengan omoiyari'. Dalam hubungan sempai/koohai 'senior/junior' di
perusahanperusahaan Jepang, omoiyari berperan penting : sempai diharapkan bisa
mengantisipasi kebutuhan koohai dan memuaskannya, kepadanya akan diberi kesetiaan yang
mutlak.
Orang Jepang bersikap tegas dalam mengungkapkan perasaan. Orang Jepang yang tidak
bisa mengendalikan emosinya dianggap belum dewasa. Ini tidak hanya diterapkan pada emosi
negatif, seperti marah, takut, muak, dan sedih, tetapi juga pada ekspresi gembira.
Sikap saling mengimbangi ini tampak pada wacana di bawah. Pada (5a) dan (5b), sikap
budaya Jepang menghindari orang dalam menyatakan perasaannya, tetapi pada saat yang
sama mendorong kepekaan emosi melalui orang lain. Wacana terakhir melarang pembicara
Jepang menghindari perselisihan yang terbuka dan mengekspresikan persetujuan yang positif.
5. a. jika saya merasakan sesuatu
tidak baik mengatakan sesuatu tentang hal itu pada orang lain
jika saya lakukan, orang ini dapat merasakan sesuatu yang buruk
saya tidak dapat mengatakan apa yang saya rasakan
b. rasanya baik jika saya dapat mengetahui apa yang dirasakan orang lain
orang ini tidak mengatakan sesuatu pada saya
6. jika seseorang mengatakan sesuatu pada saya tentang sesuatu saya tidak dapat
mengatakan sesuatu seperti ini : "Saya pikir tidak sama"
rasanya baik mengatakan sesuatu seperti ini : "Saya akan mengatakan hal yang sama"
Aspek lain dari gaya wacana bahasa Jepang juga dapat dimengerti dari wacana kebudayaan
ini. Misalnya, ganti bicara ( turn-taking) mengikuti pola yang berbeda dari masyarakat Anglo-
Amerika. Percakapan bahasa Jepang diharapkan menjadi suatu karya kolektif dari interlokutor
dan ketergantungan pada kata-kata balasan yang dalam bahasa Jepang disebut aizuchi. Istilah
ini dapat dijelaskan sebagai berikut : ai bermakna 'melakukan sesuatu bersama-sama dan
tsuchi bermakna 'sebuah palu'. Jadi, dua orang yang sedang berbicara dan saling bertukar
kata-kata disamakan dengan dua palu di atas mata pisau.
Penutur bahasa Jepang selalu membiarkan kalimatnya belum lengkap supaya pendengar
dapat melengkapinya : 'melengkapi kalimat seseorang terkesan seperti orang yang menolak
partisipasi orang lain (Mizutani dan Mizutani, 1987:27).
Akhirnya, ada peranti, seperti partikel ne, yang menurut Cook (1992) mengundang teman
bicara menjadi pembicara yang aktif dan bersemangat. Misalnya, ne muncul empat kali dalam
pesan singkat berikut, kadang-kadang di tengah kalimat berkombinasi dengan bentuk verba
nonfinit -te. Penutur ini sedang membicarakan pengalamannya pada keluarganya sewaktu
bepergian ke Amerika Serikat.
7. Boku wa sono inu o ne. Eeto nan dakke ?
I, that dog NE Well, what (am I) talking about ?
Omae shigoto suru katte kikarete ne. Nan no shigoto ka wakannai to omotte ne
(I) was asked if I would work and NE (I) thought (I) would not know what work it would be
and NE
2001 digitalized by USU digital libary
so-soto ittara ne Sono inu no sooji ya ara-
when (I) went out-outside NE cleaning of that dog and wash-
Makna harfiah ne bisa direpresentasikan sebagai "Saya kira
Anda akan mengatakan hal yang sama". Diusulkan parafrase
berikut. ne-I think you would say the same.
'Saya kira Anda akan mengatakan hal yang sama'.
Perhatikan contoh lain dari penggunaan partikel ne.
8. Oishii keeki desu ne. enak
kue kopula (sopan) PT
‘Kue ini enak (bukan) ?’
9. Mainichi yoku furimasu ne. setiap hari
banyak hujan PT ‘Setiap hari hujan sering
turun (bukan) ?’
Kalimat tentang kue dan hujan di atas bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai
berikut.
10. a. This cake is delicious; I think you would say
the same. 'Kue ini enak; Saya kira Anda akan
mengatakan hal yang sama'. b. It rains a lot
everyday; I think you would say the same.
‘Setiap hari hujan sering turun; Saya kira Anda akan mengatakan hal yang sama'.
Untuk memahami pesan "Saya kira Anda akan mengatakan hal yang sama" pada konteks
lain, terutama perannya di tengah kalimat, orang bisa melihat ne dalam konteks struktur
khusus percakapan bahasa Jepang secara umum dan dengan memahami konsep aizuchi
secara khusus.
Jelasnya, pesan ‘Saya kira Anda akan mengatakan hal yang sama’ yang direalisasikan
pada partikel ne berguna dalam percakapan tempaan menurut norma budaya tersebut. Itulah
sebabnya ne tidak hanya meluas dalam percakapan bahasa Jepang, tetapi secara praktis
sangat diperlukan.
Penyelidikan jenis ini dengan kuat mengisyaratkan kehadiran norma budaya Jepang yang
dapat dinyatakan sebagai berikut.
11. Jika saya mengatakan sesuatu pada seseorang,
Rasanya baik mengatakan sesuatu seperti ini pada waktu yang sama :
“Saya kira Anda akan mengatakan hal yang sama”.
Cook (1992) mengatakan bahwa “ ne sebagai pemarkah dari sikap yang bersahabat ... karena
sikap yang bersahabat dapat ditunjukkan dengan memperlihatkan perasaan bersama" dan "ne
secara langsung menunjukkan perasaan bersama". Tentu saja tidak seorang pun bisa
membantah pernyataan bahwa "pemahaman terhadap perasaan bersama merupakan hal
mendasar bagi anggota masyarakat Jepang" dan banyak aspek dalam bahasa Jepang
merefleksikan hal ini (seperti butir leksikal omoiyari atau yasashii). Namun, tidak ada bukti yang
mendukung adanya perasaan dalam makna ne. Secara alamiah pengulangan pesan yang
konstan pada ”Saya kira Anda akan mengatakan hal yang sama” memang bisa menciptakan
ikatan khusus di antara interlokutor dan ini bisa diartikan sikap yang bersahabat dan sikap
simpati, tetapi tidak ada yang memaksa kita untuk berasumsi bahwa makna ne yang
sebenarnya menunjukkan perasaan tersebut. Lebih jauh, banyak konteks ne yang bisa
digunakan secara tepat menjadi bertentangan dengan asumsi itu. Misalnya, pertimbangkan
percakapan antara guru dan muridnya berikut ini.
12. Guru : Shukudai o shimashita ne ?
(You) did the homework, ne ?
'Kamu sudah mengerjakan PR bukan ?' Murid
: Hai, shimashita.
Yes, (I) did.
2001 digitalized by USU digital libary
'Ya, saya sudah kerjakan'.
Jadi, makna ne adalah “Saya kira Anda akan mengatakan hal yang sama” dan bukan
kombinasi dari ”Saya kira Anda akan mengatakan hal yang sama” dan “Saya kira Anda
merasakan hal yang sama (seperti saya)”. Dalam hal ini, perasaan benar-benar tidak relevan
(tidak sama dengan kata-kata seperti omoiyari atau yasashii). Selain itu, penggunaan partikel
ne sebagai refleksi dari perbedaan antara gaya percakapan orang Jepang dan orang Barat
tidak hanya menyangkut masalah tingkatan, tetapi perbedaan itu mengungkapkan perbedaan
norma-norma budaya yang mendasar.
“The social value system is predicated on the dignity of the individual and ideally all
social behaviour is regulated in such a way as to preserve one’s own amour propre and
to avoid disturbing the same feelings of dignity and self-esteem in others”, ‘sistem nilai
sosial didasarkan pada martabat pribadi dan idealnya semua perilaku sosial diatur
dengan cara tersebut selama dipertahankan harga diri mereka dan dihindari
menyinggung gengsi dan harga diri satu sama lain’.
Seperti di Jepang, orang mengira masyarakat Melayu berpikir sebelum berbicara. Ada
ungkapan yang menyebutkan "Kalau cakap pikirlah sedikit dulu" (‘Jika kamu akan berbicara
berpikirlah lebih dahulu'). Namun, sikap budaya yang mendasar sedikit berbeda dengan di
Jepang. Seperti keinginan menghindari teman bicara merasakan sesuatu yang buruk (dengan
mengatakan "jaga hati orang" ('jagalah perasaan orang lain'), dalam bahasa Melayu peringatan
ini dimotivasi oleh keinginan menghindari teman bicara memikirkan sesuatu yang buruk
tentang seseorang.
13. sebelum saya mengatakan sesuatu pada seseorang, rasanya baik berpikir :
saya tidak ingin orang ini merasakan sesuatu yang buruk
saya tidak ingin orang ini memikirkan sesuatu yang buruk tentang saya
Perbedaan lain adalah bahwa nilai budaya Melayu ditentukan oleh kemampuan berbicara. Cara
berbicaranya yang halus sangat dikagumi yang membawa kebanggaan pada dirinya dan
2001 digitalized by USU digital libary
pendidikannya. Cara berbicara ini adalah keterampilan yang dipelajari di rumah dan sama
sekali tidak berhubungan dengan kekayaan, keturunan, atau pendidikan formal.
Seorang petani yang hanya mendapat pendidikan dasar mungkin saja berbicara lebih sopan
daripada seorang pegawai di kantor pemerintah atau swasra.
Ujaran yang halus akan bernilai dalam situasi formal atau ketika berbicara dengan orang lain
yang berada di luar lingkungan keluarganya. Orang Melayu selalu merasa orang lain menjaga
dan menyampaikan pendapatnya, siap menghinanya tanpa kecakapan berbicara, seperti
kurang ajar, tidak tahu aturan. Cara yang sopan akan mendapat kebanggaan. Sikap budaya ini
digambarkan sebagai berikut.
14. jika orang mendengar seseorang mengatakan sesuatu : kadang-
kadang mereka memikirkan sesuatu seperti ini :
‘orang ini tahu bagaimana mengatakan sesuatu dengan baik pada orang lain, ini baik’
kadang-kadang mereka memikirkan sesuatu seperti ini :
‘orang ini tidak tahu bagaimana mengatakan sesuatu dengan baik pada orang
lain : ini buruk’
Ciri ujaran yang halus termasuk penggunaan frase yang bernilai tinggi sebagai pengganti
kosakata yang biasa, perhatian yang besar untuk membentuk acuan pribadi (misalnya,
menghindari teman bicara dan mengacu pada diri sendiri); dan untuk inventaris yang besar
dari peribahasa untuk menyinggung hal-hal yang paling sensitif. Nada yang lembut (lunak)
juga penting.
Perilaku ini tidak hanya diterapkan dalam berbicara, tetapi juga pada ranah perilaku
nonverbal; misalnya, melepas sepatu sebelum masuk ke rumah, memakan sedikit makanan
yang ditawarkan, bersikap khusus ketika melewati orang yang sedang duduk, menggunakan
tangan kanan ketika makan atau memberikan sesuatu, menghindari sentuhan fisik dengan
anggota yang berbeda jenis kelamin, menunjuk dan memberi isyarat dengan cara tertentu.
Budaya Melayu menghindari orang mengekspresikan perasaannya. Berbeda dengan situasi di
Jepang yang menyatakan perasaan dengan ekspresi yang berhubungan dengan muka dan
tindakan orang lain, ada asumsi yang mendasar bahwa orang dipercaya menjadi sensitif pada
manifestasi nonverbal. Wacananya seperti di bawah ini.
15. jika saya merasakan sesuatu tidak baik mengatakan
sesuatu seperti ini pada orang lain :
'saya merasakan seperti ini'
jika orang lain dapat melihat saya, mereka akan tahu apa yang saya rasakan
Pandangan yang bermakna merupakan strategi nonverbal yang tepat. Misalnya, verba
bertenung menggambarkan pandangan yang digunakan untuk menyampaikan kejengkelan
terhadap perilaku orang lain, misalnya, anak yang berkelakuan tidak sopan atau seseorang
di dalam sebuah ruangan yang membunyikan bolpoin dengan cara menjengkelkan. Mata
terbeliak menyampaikan celaan; merendahkan mata dan sengaja menoleh tanpa berbicara
menandakan orang itu muak pada seseorang; mengatupkan kedua bibir dan menjuihkannya
menandakan kejengkelan.Ekspresi nonverbal merupakan kritik untuk teman dekat; dalam
bahasa Inggris disebut angry, yang tidak dikaitkan dengan suasana dari 'kata-kata marah'
(didukung wacana kebudayaan Anglo tentang kebebasan berekspresi), tetapi dengan wajah
yang sedih dan cemberut yang dalam bahasa Melayu disebut merajuk.
2.2.3 Bahasa Polandia
Pusat utama keramahan dan kasih sayang dalam kebudayaan Polandia (seperti terdapat
dalam kebudayaan Slavia umumnya) direalisasikan dengan berbagai cara dalam bahasa
Polandia. Istilah-istilah yang menunjukkan kasih sayang digunakan secara luas dalam ujaran
sehari-hari, terutama pada anak-anak; misalnya, ptaszku 'burung kesayangan', kotku 'kucing
kesayangan', sloneczko 'matahari kesayangan', skarbie 'harta', zlotko 'emas kesayangan', dan
sebagainya. Nama-nama pribadi mempunyai sepuluh bentuk derivasi yang berbeda, masing-
masing mengimplikasikan sedikit perbedaan sikap emosional dan keadaan emosional.
Contohnya, semua bentuk ini umumnya digunakan pada orang yang sama : Maria menjadi
2001 digitalized by USU digital libary
Marysia, Marysienka, Maryska, Marysiuchna, Marychna, Marys, Marysiuika, Marvcha, dan
Marysiatko.
Keramahtamahan dalam membuat penawaran diekspresikan dengan menggunakan
diminutatif dan imperatif secara bersama-sama. Demikian pula, seorang tuan rumah yang baik
akan mendesak tamunya pada saat berpisah supaya tinggal di rumahnya lebih lama, dengan
menyatakan 'kamu harus' dan dengan diminutatif. Permintaan di antara orang-orang yang
intim, seperti suami dan istri atau permintaan langsung pada anak-anak secara tipikal juga
menggunakan diminutatif dan imperatif.
Misalnya,
16. a. Wez jeszcze sledzika ! Koniecznie !
Take some more dear-little-hearing (DIM). You must !
'Tambah lagi ikan keringnya ! Kamu harus !
b. Ale jeszcze troszeczke ! Ale koniecznie !
But [stay] a liitle (DIM) more ! But you must !
'Tinggallah lebih lama lagi ! Tetapi kamu harus ! c.
Jureczku, daj mi papierosa !
George-DIM-DIM, give me a cigarette !
'George, beri aku rokok !
d. Monisienko, jedz zupke !
Monica-DIM-DIM, eat your soup-DIM !
'Monika, makan supmu !
Nilai budaya Polandia tidak menghalangi ekspresi perasaan baik dan buruk dan menyepakati
nilai khusus dalam menyampaikan perasaan baik dan buruk melalui lawan bicara.
17. a. saya ingin orang mengetahui apa yang saya rasakan
jika saya merasakan sesuatu yang baik saya ingin mengatakan sesuatu
jika saya merasakan sesuatu yang buruk saya ingin mengatakan sesuatu
b. jika saya merasakan sesuatu yang baik ketika saya memikirkan Anda, saya ingin Anda
mengetahuinya
Sejalan dengan nilai budayanya, bahasa Polandia mengandung sejumlah partikel wacana
(seperti alez, skadze, dan przeciez) dan frase eksklamatori (seperti alez skadze, skadze znowu,
2001 digitalized by USU digital libary
dan coi znowu) yang mengekspresikan ketidaksetujuan, kemarahan, dan ketidaksabaran
terhadap pendapat yang dikemukakan oleh lawan bicara. Misalnya, alez bermakna
ketidaksetujuan yang keras dan sering digunakan berkombinasi dengan nama orang untuk
menunjukkan kemarahan dan kebodohan lawan bicara. Partikel skadze berarti 'Dari mana
kamu mendapatkan ide itu ? Kamu salah !' Keduanya sering digabungkan untuk memperkuat
pesan lebih jauh. Parafrase pada (19) memberikan beberapa gagasan tentang akibatnya.
Perhatikan kehadiran komponen : 'Saya merasakan sesuatu yang buruk ketika saya mendengar
Anda mengatakan ini'.
19. Alez skadze but-
EMPH where-from-EMPH
But (how can you say that)
‘Tetapi (bagaimana Anda bisa berkata begitu) !’
Where did you get such an idea from ?
‘Darimana Anda mendapatkan ide itu ?’
You are wrong ‘Kamu salah’
I feel something bad when I hear you say that
‘Saya merasakan sesuatu yang buruk ketika saya mendengar Anda mengatakan itu’
Terbukti dari perbandingan antara bahasa Jepang, bahasa Melayu, dan bahasa Polandia
adanya pilihan wacana yang bervariasi dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain. Sebuah gaya
yang biasa dalam satu kebudayaan mungkin terlihat sedikit mengejutkan dan menghina, atau
membosankan dan menjengkelkan dari sudut pandang kebudayaan yang lain. Untuk memahami
variasi kebudayaan itu penting kiranya diamati pola ujaran tanpa memperhatikan nilai dan
norma-norma yang menjelaskannya. Perlu diingat pula bahwa pola ujaran yang kelihatannya
mirip (misalnya, pilihan untuk pengendalian verbal) mungkin berasal dari nilai kebudayaan yang
berbeda dan dihubungkan dengan makna sosial yang berbeda dalam latar kebudayaan yang
berbeda. Untuk memperjelas hal ini dan bahkan untuk mendeskripsikan pola ujaran itu tanpa
distorsi etnosentris, dibutuhkan perhatian khusus pada metabahasa dari deskripsi dan analisis.
Acuan langsung pada lawan bicara dihindari dalam tjalpawangkanyi, seperti imperatif dan
vokatif. Ekspresi yang jelas dari penyangkalan, penolakan, atau pernyataan tidak setuju juga
dengan cermat dihindari. Partikel -nti 'mungkin', munta 'oh maaf', wampa 'tidak tahu', dan
wanyu 'biarkan saja' tersebar di dalam kalimat untuk mengekspresikan hal yang tidak tentu,
ragu-ragu, dan terbatas. Yang juga umum adalah partikel -mpa yang mempunyai arti seperti
"orang dapat mengatakan lebih tentang hal ini". Partikel tersebut berfungsi sebagai pemarkah
linguistis dari sindiran atau implikasi. Ciri lainnya, gaya ujaran untuk menghormati di
berbagai tempat lain : pembicara menghindari penggunaan bentuk khusus yang taksa untuk
menunjukkan orang, tempat atau benda, lebih disukai lokusi yang samar-samar, seperti
panya paluru 'orang itu' dan nyangakutu 'di sekitar sini', seperti (16c).
Untuk memahami arti sosial tjalpawangkanyi diperlukan pengetahuan kebudayaan
Yankunyatjatjara, khususnya konsep sosio-emosional dari kunta. Ini biasanya diterjemahkan ke
dalam kosakata bilingual sebagai rasa malu (shame), keadaan memalukan (embarrassment),
atau rasa hormat (respect), tetapi kunta tidak berhubungan dengan konsep bahasa Inggris ini.
Secara esensial hal ini menyangkut perbedaan makna sosial, ketidaksenangan hadirnya orang
lain, dan keinginan menghindari tindakan yang mungkin menyebabkan orang lain
memikirkan apa pun yang tidak menyenangkan tentang seseorang.
Kunta yang paling kuat ditimbulkan umari ('penghindaran'), yakni hubungan seseorang
dengan mertuanya. Umari merupakan hubungan penghormatan yang tertinggi dan orang yang
terlibat harus menghindari kontak pribadi. Orang tidak boleh berbicara dengan seorang
umari, menyentuhnya, duduk berdekatan, atau melihatnya langsung. Kunta yang lebih lunak
dirasakan pada saudara kandung atau sepupu umari. Pada hubungan lain, kesopanan
dianggap penting; misalnya, antara inkani 'kakak ipar wanita dan pria', inkilyi 'besan', dan
nyarumpa 'sepupu yang belum kawin dari jenis kelamin yang berbeda'. Ada hubungan
2001 digitalized by USU digital libary
tjalpawangkanyi yang tepat. Tjalpawangkanyi bisa dilihat sebagai penghindaran sebagian dan
cara pemberian pengaruh pada kunta.
Dengan gaya tjalpawangkanyi, pembicara mengekspresikan pesan sosial dalam (22a). Perlu
dicatat bahwa pesan ini disusun pada "orang ketiga" sesuai dengan perspektif
tjalpawangkanyi. Pada (22b) disimpulkan beberapa aturan stilistis pembicara.
22. a. orang ini bukan seseorang seperti saya saya tidak ingin orang
ini memikirkan apa pun yang buruk tentang saya saya tidak ingin
mendekati orang ini
saya tidak ingin mengatakan apa pun pada orang ini
jika saya harus mengatakan sesuatu, saya harus berpikir bagaimana
mengatakannya.
b. tidak baik mengatakan sesuatu seperti ini pada orang seperti ini :
"orang ini", "tempat ini", "benda ini"
"Saya tidak menginginkan ini", "Saya tidak memikirkan hal yang sama"
"Saya ingin Anda melakukan sesuatu", "Saya ingin Anda mengatakan sesuatu"
Dengan gaya melucu partisipan senang membuat pertukaran untuk menentang, menantang,
atau merendahkan satu sama lain. Pertukaran pada (24) menjelaskan sindiran inkatjingani
yang alamiah di mana keluarga yang lebih tua mencaci atau menghina yang lebih muda.
Pembicara pertama adalah seorang paman yang setuju meminjamkan sesuatu pada
kemanakannya.
24. a. A : Uwa, kati, punytjulwiyangku kati ! yes take-
IMP blunt-NEG-ERG take-IMP OK take it, but don't
blunt it !
Baiklah, ambil kapak itu, tetapi jangan ditumpulkan.
b. B : Wati, nyaaku-na tjijingku palku punytjanma ? Yuwa-ni ka-na
kati ! man why-I childERG not really bluntPOT giveIMP-me
and-I takeIMP Man, why would I blunt it as if I were a child ?
Give (it to) me, and I’ll be off with it.
Contoh (25) adalah pertukaran yang rutin di antara sepasang sepupu laki-laki yang jauh (adik
dan abang, kuta dan malany) yang dapat menjadi inkankara 'teman yang lucu'. Senda gurau
yang sama terjadi di antara sepupu wanita jauh. Sindiran dan tanggapan yang agak cabul
secara sadar 'diperankan' sesuai dengan aturan keluarga. Biasanya kakak laki-laki dan
perempuan yang lebih tua diharapkan memantau dan mengatur perilaku yang menyimpang
dari saudara yang lebih muda.
25. a. A : Wati, nyangangi-na-nta ! Wati, nyaa manti-n
yanu man seePAST IMP-I-you man what probably-
you goPAST Kulakula-mpa, kungka-kutu-mpa.
randy-INTEREST woman-towards-INTREST
Man, I've been watching you. Man, what would you've been after ? Randy was
itu ? Off to see a woman, was it ?
Tuan, saya telah melihat kamu. Apa yang kamu lakukan ? Randy di sana ? Salahkah melihat
wanita itu ?
b. B : Wiya, wati ngayulu kungka wiya ! Wantinyi-na ngayulu palu
no man I woman NEG leave alonePRES-I I but of course
nyuntu panya-nku watjanma, kuta, wati panya kurangku
ANAPH-REFL sayPOT senior brother man ANAPH badERG
No man, I don't have any woman ! I leave them alone, I do. But of course you could
be talking to yourself, big brother, (you) bad one.
Tidak Tuan, saya tidak mempunyai teman wanita. Saya meninggalkannya sendirian.
Tetapi, kamu pasti akan mengatakan pada dirimu sendiri, saudara tua, kamu jelek.
Senda gurau dapat pula meliputi makian yang pura-pura dengan julukan yang jelas secara
seksual; misalnya, mamu ‘raksasa’ dan kalutjanu ‘dickhead’ (berhubungan dengan kalu
‘tusukan’). Namun, kalau bahasa menjadi cabul secara mencolok, orang yang mendengarnya
tidak akan tersinggung. Mereka justru akan tertawa.
Hubungan senda gurau dalam masyarakat Aborigin Australia biasanya mewujudkan
'solidaritas', 'keakraban', atau semacam itu, tetapi makna sosialnya yang kaya tidak bisa
dirangkum dalam beberapa kata. Pada (26a) dan (26b) diterangkan asumsi-asumsi sosial
dan konvensi stilistis dari ujaran yang riang dalam bahasa Yankunytjatjara.
26. a. saya tahu Anda tidak akan memikirkan apa pun yang buruk tentang
saya saya tidak memikirkan bagaimana mengatakan hal itu pada
Anda b. saya dapat mengatakan seperti ini pada Anda : "Saya
tidak ingin ini", "Saya kira tidak sama" saya dapat mengatakan hal itu
seperti ini tentang Anda :
"Anda jelek", "Anda melakukan sesuatu yang buruk" Anda dapat mengatakan hal
yang sama pada saya jika kita mengatakan hal seperti ini pada setiap orang, kita merasakan
sesuatu yang baik
Bentuk tjalpawangkanyi dalam bahasa Yankunytjatjara berperan sosial sebagai 'kosakata
penghindaran' khusus, yang ditemukan dalam bahasa Aborigin Australia, seperti bahasa
Dyirbal, bahasa Guugu-Yimidhirr. Deskripsi yang baik mengenai gaya ujaran pada masyarakat
yang lain bisa ditemukan pada bahasa Lakota, bahasa Burundi dan bahasa
Malagasi.
Ekspresi ini merefleksikan sistem kepercayaan keagamaan orang Ewe (dan banyak orang
Afrika lainnya) yang menganggap setiap aspek alam semesta dipengaruhi oleh Mawu ‘Tuhan’
sebagai kekuatan tertinggi dan kekuatan supernatural lainnya. Seperti dikatakan oleh Ameka
(1987:308), "bagi orang Ewe, apa pun yang terjadi pada Anda merupakan perbuatan
Tuhan secara langsung yang dilakukan dalam bermacam-macam cara melalui leluhur atau roh
lain dan dewa.
Nilai kebudayaan Ewe menjelaskan mengapa rumusan pengetahuan tentang peristiwa yang
baik secara eksplisit difokuskan pada pribadi yang terlibat. Meskipun demikian, seperti
ekspresi dalam bahasa Inggris, fungsi interpersonalnya adalah untuk menyatakan asumsi
bahwa Anda merasa senang dengan apa yang telah terjadi dan memperlihatkan kegembiraan
dengan hasilnya. Demikian pula, kata-kata tertentu yang digunakan terdiri atas perangkat
ujaran yang tepat pada saat tertentu. Dengan mengetahui hal ini, makna ekspresi Mawu se nu
'Tuhan maha kuat' dalam bahas Ewe diformulasikan sebagai berikut (diadaptasi dari Ameka,
1987).
28. Mawu se nu !
Saya sekarang mengetahui ini : sesuatu yang baik terjadi pada Anda
Saya kira Anda merasakan sesuatu yang baik karena sesuatu telah terjadi
Saya merasakan sesuatu yang baik karena ini
Saya ingin Anda mengetahui ini
Setiap orang mengetahui hal seperti ini tidak terjadi pada
orang jika yang lainnya tidak melakukan sesuatu
karena semua ini saya berkata :
"Tuhan maha kuat" (= Tuhan dapat melakukan apa saja, orang tidak dapat melakukan hal
ini)
2001 digitalized by USU digital libary
Setiap orang mengetahui ini baik jika orang mengatakan kata-kata ini ketika sesuatu
yang baik terjadi
Formula ini konsisten dengan ranah situasi yang ekspresinya dalam bahasa Ewe sangat
tepat. Misalnya, ekspresi itu tidak dipakai pada pernikahan sebab pernikahan tidak dianggap
oleh orang Ewe sebagai sesuatu yang baik yang terjadi pada seseorang, tetapi sebagai awal
dari sebuah proses yang ditujukan pada sesuatu yang lain, yakni prokreasi 'menjadi ayah'
(procreation). Di sisi lain, ungkapan itu akan cocok untuk seseorang yang telah melewati
situasi berbahaya, seperti orang yang keluar dari rumah sakit.
Dimensi budaya penting lainnya timbul ketika kita memikirkan tanggapan yang tepat.
Tanggapan bahasa Inggris yang diharapkan untuk keberhasilan adalah Terima kasih !, yang
berfokus pada apa yang terjadi antara pembicara dan lawan bicara. Sebaliknya, tanggapan
dalam bahasa Ewe pada (29) menggambarkan komunalitas dari peristiwa yang menyenangkan.
29. Yoo, miawoe do gbe da ! Yoo, miat wo ha !
OK, you all have prayed ! OK, yours (pl.) too !
'Baiklah kalian semua berdoa !' 'Baiklah, Anda juga !'
Dasar rutinitas ini adalah larangan sosial yang keras untuk menggunakan tangan kiri dalam
interaksi sosial. Pada masyarakat Ewe, seperti masyarakat Afrika lainnya, orang tidak boleh
memberikan sesuatu pada orang lain dengan tangan kiri; juga, tidak boleh menunjuk atau
melambai pada orang lain dengan tangan ini. Alasannya, tangan ini semata-mata dicadangkan
untuk perbuatan pembersihan. Menggunakan tangan yang 'kotor' ini dalam pergaulan sosial
biasanya mengimplikasikan penghinaan. Meskipun begitu, diakui bahwa pada waktu
tertentu atau waktu lainnya, orang mungkin tidak bisa menggunakan tangan kanan untuk
melakukan segalanya. Dalam situasi seperti ini, diperbolehkan memakai tangan kiri, tetapi
setelah memberitahukan teman bicara dan begitu berbicara akan diperoleh ganti rugi untuk
pelanggaran norma itu, seperti (30).
Dijelaskan bahwa kesederhanaan yang terlihat dari rutinitas berbahasa bersifat
memperdayakan. Pemahaman komunikatif yang tepat dari rutinitas berbahasa tidak hanya
meliputi pengetahuan kata-kata, tetapi asumsi kebudayaan yang bekerja pada pergaulan
sehari-hari. Karena sifat dasar dan tingginya frekuensi rutinitas berbahasa, rutinitas
merupakan tempat yang baik untuk memulai suatu kajian aspek kebudayaan dari wacana.
Analisis semantis dari kawal akan mencakup komponen berikut ini, beberapa genre joke
bahasa Inggris dan yang lain tidak.
32. Saya ingin mengatakan sesuatu pada Anda bahwa banyak orang berbicara satu sama lain
Saya mengatakan ini karena saya ingin Anda tertawa
Jika saya mengatakan ini, saya ingin Anda berpikir tentang sesuatu
bahwa saya tidak berbicara
Jika Anda berpikir karena ini, Anda akan tertawa
Kita berdua akan merasakan sesuatu yang baik karena ini
Saya dapat mengatakan ini pada Anda karena kita memikirkan hal yang sama
tentang hal seperti ini
Contoh genre bahasa Polandia yang kedua ialah Podanie, genre tulisan utama Polandia.
Khususnya, komunikasi tertulis antara orang biasa dan 'penguasa'. Genre ini mencerminkan
dominansi birokrasi komunis yang terkenal karena kesewenang-wenangan keputusannya
terhadap orang biasa. Semua aspek kehidupan orang komunis di Polandia, bagaimanapun
sepelenya, hampir tidak bisa dipimpin tanpa menulis Podanie dan menunggu tanggapannya,
dengan mengharapkan hal ini penuh kebaikan. Misalnya, seorang mahasiswa memohon
perpanjangan waktu untuk penyerahan tesis atau seorang karyawan meminta izin untuk
mengambil cuti tahunan pada waktu tertentu. Keduanya harus menyerahkan Podanie.
Dalam masyarakat Anglo-Saxon, maksud ini mungkin diikuti dengan cara menulis surat atau
menulis lamaran (application). Namun, padanan yang paling dekat dalam bahasa Polandia untuk
kata surat, yaitut list, tidak pernah bisa digunakan untuk mengacu pada surat permohonan
pada sebuah lembaga. Tidak ada kata yang sama dalam bahasa Polandia untuk kata 'surat
lamaran' dalam bahasa Inggris, yang mensyaratkan situasi standar tertentu dengan pedoman
yang jelas untuk diikuti oleh lembaga dan pelamar. Secara tipikal Podanie diawali frase seperti
Uprzejmie Prosze ... ('Saya mohon') atau Niniejszym zwaracam sie z uprzejma prosba ...
('Dengan ini saya mohon kemurahan hati Anda'), yang benar-benar menjadi di luar bagian dari
sebuah 'surat lamaran'.
Aspek pemohon dari Podanie bahasa Polandia dicakup dalam formula semantis berikut ini.
33. Podanie
Saya berkata : Saya menginginkan sesuatu terjadi pada saya
Saya tahu bahwa hal ini tidak dapat terjadi jika Anda tidak berkata bahwa Anda
menginginkan itu terjadi
Saya mengatakan ini karena saya ingin Anda berkata bahwa Anda menginginkan
itu terjadi
Saya tidak tahu apakah Anda akan mengatakannya
Jelaslah bahwa kawal dan Podanie merupakan bentuk wacana yang baik untuk kondisi
budaya dan sosial tertentu dari orang komunis Polandia.
3.1 Simpulan
Dari lima kebudayaan yang tidak berhubungan (Jepang, Melayu, Polandia, Yankunytjatjara,
dan Ewe) dapat ditarik beberapa simpulan tentang dimensi utama perbedaan gaya wacana,
yang membantu dalam membentuk sikap dan nilai kebudayaan yang relevan dan kesukaran
metode yang terlibat dalam penelitian ini.
Berkenaan dengan sikap pada jumlah kata yang terbatas, mungkin ada pilihan untuk berbicara
secara bertele-tele yang bertentangan dengan bentuk ekspresi yang pendek dan tepat atau
bahkan pilihan untuk ekspresi nonverbal. Makna kebudayaan dari diam berbeda-beda secara
luas.
Orang-orang di mana pun akan menyesuaikan ujarannya berdasarkan cara mereka
memandang lawan bicaranya. Walaupun beberapa dimensi identitas sosial (seperti jenis
kelamin dan umur) berhubungan erat secara universal, analisis sosial di dalamnya amat
beragam. Dalam beberapa masyarakat, seperti Yankunytjatjara, hubungan keagamaan dan
kekeluargaan sangat penting. Di Jepang dimensi sosial utama yang menentukan gaya wacana
adalah "di dalam kelompok" atau "di luar kelompok" dan perbedaan status di antara
interlokutor. Pada masyarakat Melayu, dimensi yang penting adalah apakah individu-individu itu
termasuk dalam garis rumah tangga yang sama. Di tempat lain, warga, suku, kasta, dan
pangkat menentukan perbedaan gaya wacana.
Dalam tingkatan wacana yang fungsional atau ilokusioner, parameter penting dari
perbedaan itu mencakup seberapa sering dan dengan cara bagaimana pembicara
mengekspresikan keinginan, pikiran, perasaannya; sejauhmana usaha pembicara mempengaruhi
keinginan, pikiran, dan perasaan lawan bicara, apakah dengan tepat digambarkan
perbedaan di antara pembicara dan lawan bicara. Kebudayaan juga amat berbeda
konvensinya; bagaimana orang ikut serta dalam percakapan, misalnya, ganti bicara
(turntaking), berbicara secara berlebihan, atau bahkan menggabungkan kontruksi kalimat-
kalimat dalam ranah rutinitas berbahasa mereka.
Satu generalisasi yang terkemuka adalah bahwa hampir selalu terdapat hubungan antara
pola perilaku verbal dan nonverbal. Jadi, bila ada pilihan budaya yang luas atau kebiasaan
berbicara dengan gaya khas dalam mengekspresikan emosi antarpribadi, kita bisa berharap
orang yang saling berbicara tetap 'menjaga jarak' satu sama lain. Misalnya, saling menahan
diri untuk bersentuhan atau melihat satu sama lain secara langsung. Sebaliknya, jika ada sedikit
bahkan tidak ada etika verbal dalam pekerjaan, perilaku fisik yang lebih intim dan gembira
dapat diterima.
Kita telah melihat beragam fakta yang berbeda dapat digunakan untuk membuktikan bahwa
sikap dan nilai kebudayaan dapat membantu dalam memahami fenomena wacana. Ini
mencakup analisis semantis mengenai 'kata-kata kunci' kebudayaan, pepatah-pepatah, dan
perwujudan lain dari kebiasaan utama suatu budaya, kebiasaan sehari-hari dalam masyarakat,
pemerolehan secara langsung atau tak langsung sikap pembicara, bahkan sikap bijaksana
dalam karya sastra.
Masalah metode yang utama dalam kajian wacana dan kebudayaan adalah perlunya
menemukan sebuah kerangka kerja untuk membandingkan pilihan wacana dan nilai
kebudayaan dengan tepat. Kebiasaan umum dalam penggunaan label seperti
"ketaklangsungan", "kesopanan", "penghormatan", dan "solidaritas" sebagai metabahasa
informal dalam perbandingan lintas budaya tidak bisa dipertemukan untuk keperluan tersebut.
Ancangan menjanjikan yang telah dijelaskan dalam tulisan ini ialah penggunaan wacana
2001 digitalized by USU digital libary
kebudayaan yang ditulis dalam leksikon universal. Leksikon ini menyediakan sebuah kerangka
kerja berdasarkan penemuan linguistik antropologi, pragmatik kontrastif, dan kajian
kebudayaan yang dapat digabungkan dan disatukan. Pada saat yang sama, dasar semantis
dari ancangan wacana ini memungkinkan penggambaran hubungan antara latihan berbicara
pada satu sisi dan nilai serta emosi budaya pada sisi lain. Cara ini akan memudahkan
pengembangan pragmatik lintas budaya yang benar-benar alamiah.
3.2 Saran
Sebagaimana dijelaskan, ada sejumlah perbedaan gaya wacana dari tiap kelompok masyarakat
yang mencerminkan nilai kebudayaannya. Budaya yang berbeda diasumsikan mempunyai gaya
wacana yang berbeda pula. Penelitian semacam ini tentunya sangat menarik dilakukan pada
sejumlah etnis di Sumatera. Hal ini makin diperkuat oleh kenyataan bahwa setakat ini belum
pernah terungkap bagaimana gaya wacana masyarakat Toba, Karo, Mandailing, Nias, Melayu,
dan sebagainya. Dari bukti bahasa seperti pepatah-petitih, pantun, syair, dan kebiasaan ujaran
sehari-hari mungkin saja ditemukan persamaan di samping perbedaannya.
Banyak aspek bahasa yang dapat dieksplorasi untuk menunjukkan nilai kebudayaan suatu
kelompok masyarakat; misalnya, tentang konsep emosi, hubungan kekerabatan, warna, dan
sebagainya. Yang jelas, ranah penelitiannya tidak semata-mata bertumpu pada linguistik, tetapi
hasil integrasi sejumlah disiplin lain, seperti psikologi, sosiologi, dan antropologi.
DAFTAR PUSTAKA
Ameka, F.1987. A Comparative Analysis of Linguistic Routines in Two Languages : English and
Ewe. Journal of Pragmatics 11, 299--326.
Bakhtin, M. 1986. “The Problem of Speech Genres”. Dalam C. Emerson dan M. Holquist (Ed.),
Speech Genres and Other Later Essays, 60--112. Texas : University of Texas Press.
Blum-Kulka, House J., dan Kaspar G. 1989. Cross-Cultural Pragmatics. Norwood : Ablex.
Brown, P. dan Levinson, S. 1978. Politeness : Some Universals of Language Use . Cambridge
University Press.
Cook, H.M. 1992. Meanings of Non-referential Indexes : A Case Study of the Japanese
Sentence-Final Particle Ne. Teks 12, 507--539.
Doi, T. 1988. The Anatomy of Self. Tokyo : Kodansha.
Goddard, C. 1986. Yankunytjatjara Grammar. Alice Springs : Institute for Aboriginal
Development.
Goddard, C. dan Wierzbicka, A. (Ed.). 1994. Semantic and Lexical Universals . Amsterdam : John
Benjamins.
Goddard, C. dan Wierzbicka, A. 1996. “Discource and Culture”. Dalam A. Wierzbicka
(Convenor), Cross-Cultural Communication. Canberra : Australian National University.
Grice, H.P. 1975. “Logic and Conversation”. Dalam P. Cole dan J.L. Morgan (Ed.), Speech Acts,
41--58. New York : Academic Press.
Gunarwan, Asim. 1992. “Persepsi Kesantunan Direktif di dalam Bahasa Indonesia di antara
Beberapa Kelompok Etnik di Jakarta”. Dalam B.K. Purwo (Penyunting), Bahasa, Budaya,
179--205. Yogyakarta : Kanisius.
Gunarwan, Asim. 1994. “Kesantunan Negatif di Kalangan Dwibahasawan Indonesia-Jawa di
Jakarta”. Dalam B.K. Purwo (Penyunting), Analisis Klausa, Pragmatik Wacana,
Pengkomputeran Bahasa, 81--111. Yogyakarta : Kanisius.
Gunarwan, Asim. 1999. “Tindak Tutur Melarang di Kalangan Dua Kelompok Etnis Indonesia : Ke
Arah Kajian Sosiopragmatik”. Makalah dalam Pelbba 13. Jakarta : Pusat Kajian Bahasa
dan Budaya Atma Jaya.
Hoffman, E. 1989. Lost in Translation. New York : Dutton.
Hymes, D.H. 1962. “The Etnography of Speaking”. Dalam Joshua Fishman (Ed.). 1968. Reading
on the Sociology of Language, 99--138. The Hague : Mouton.
2001 digitalized by USU digital libary
Lebra, T. S. 1976. Japanese Patterns of Behaviour. Honolulu : University of Hawaii Press.
Mizutani, O. dan Mizutani, N. 1987. How to be Polite in Japanese. Tokyo : Japan Times.
Wierzbicka, A. 1991. Cross-Cultural Pragmatics : The Semantics of Human Interaction . Berlin :
Mouton de Gruyter.
Wierzbicka, A. 1992. Semantics, Culture, and Cognition. Oxford : Oxford University Press.
Wierzbicka, A. 1996. “‘Cultural Scripts’ : A New Approach to the Study of Cross-Cultural
Communication”. Dalam A. Wierzbicka (Convenor). Cross-Cultural Communication.
Canberra : Australian National University.
Wierzbicka, A. 1996. Semantics, Primes, and Universals. Oxford : Oxford University Press.
Vreeland, N. (et al.). 1977. Area Handbook for Malaysia. Edisi ke-3. Glen Rock NJ : Microfilming
Corporation of America.