1. Pengertian HAM
HAM di Barat hingga saat ini masih tetap menjadi isu yang selalu aktual dan
terkadang, problematik. Sebab, adanya rangkaian yang tak terlepaskan antara negara dan
warga negaranya, dan antara yang memerintah dan yang diperintah,dimana pihak yang
memerintah kadang-kadang dan bahkan sering bertindak melebihi batasan-batasan
kewenangannya. Salah satu permasalahan mendasar menyangkut HAM dalam pemikiran
Barat adalah bagaimana perumusannya di dalam ketentuan-ketentuan perundang-
undangan atau peraturan lainnya, dan bagaimana pelaksanaannya dalam praktek.
Perbedaan prinsip antara pandangan Barat dan Islam tentang HAM yaitu bahwa HAM
bagi pandangan Barat adalah semata-mata hanya bersifat antroposentris (segala sesuatu
berpusat pada manusia). Dikarenakan manusia yang menjadi pusat segala sesuatu, bangsa
Barat beranggapan bahwa kebebasan manusia itu termasuk suatu hak asasi. Bagi
pandangan Islam, HAM itu bersifat teosentris yaitu segala sesuatu berpusat kepa<;la
Allah SWT. Dengan demikian, apapun yang menjadi tuntutan manusia akan hak asasinya
tetap harus dirujukkan pada bagaimana Allah SWT berkehendak dalam hal tersebut. (1)
Rumusan HAM yang pada masa kini banyak digunakan sebagian bertentangan
dengan ajaran Islam, misalnya pasal 16 HAM PBB tentang kawin campur antaragama,
dan pasal 18 yang berisikan konsep tentang kebebasan beragama atau berganti agama.
Pasal 16 menentukan perkawin - an lelaki dan wanita yang tidak boleh dibatasi atas dasar
suku, bangsa dan agama. Selain itu, sejumlah konsep yang sering mengatasnama– kan
HAM, seperti homoseksual, lesbianisme, aborsi, dan sejenisnya juga bertentangan dengan
hakikat kemanusiaan. Sementara, pasal 18 menegaskan perlunya perlindungan atas hak
murtad. Semua itu menunjukkan bahwa HAM PBB tidak mewakili kepentingan seluruh
umat manusia, dan kalangan dunia Islam sejauh ini karena alasan itu menolak konsep
HAM tersebut.
Untuk memahami konsep dan hakikat Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Islam,
terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian dasar tentang HAM. Dalam bahasa Arab,
HAM dikenal dengan (Haqq al- Insânî al-Asâsî atau juga disebut Haqq al-Insânî ad-
Darûrî), yang terdiri terdiri atas tiga kata, yaitu: a. kata hak (haqq) artinya: milik,
kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu, dan merupakan sesuatu yang
harus diperoleh. b. kata manusia (al-insân) artinya: makhluk yang berakal budi, dan
berfungsi sebagai subyek hukum. c. asasi (asâsî) artinya: bersifat dasar atau pokok.
Umat islam sebagai umatnya Nabi Muhammad berpegang teguh terhadap Al-Qur’an
yang telah di turunkan oleh Allah swt kepada Rasulullah saw sebagai pedoman dalam
menjalani kehidupan sehari-hari, hampir semua hal terdapat dalam kitab suci ini, tidak
terkecuali tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Sebagai kitab suci kemanusiaan, Al-
Qur’an tentu tidak saja menjadi petunjuk bagi umat islam, tetapi juga untuk umat manusia
secara umum. Al-Qur’an sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan secara universal. Tidak
berelebihan jika dikatakan Al-Qur’an menginspirasi lahirnya prinsip-prinsip hak asasi
kemanusiaan secara global. Diantara nilai-nilai HAM dalam Al-Qur’an ialah sebagai
berikut.
Kedua, Alquran tidak menoleransi pembinasaan diri sendiri dalam mencapai tujuan,
sesuci apa pun tujuan itu. ‘’Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam
kebinasaan, dan berbuat baiklah karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berbuat baik.’’ (QS Al-Baqarah/2: 195). Menghalalkan segala cara dalam mencapai
tujuan, apalagi dengan sengaja mengorbankan diri dan orang lain yang tak berdosa, tidak
pernah dicontohkan Rasulullah dan para sahabatnya. Jihad yang dilakukan Rasulullah
SAW tidak pernah mengesampingkan pertimbangan ijtihad (rasional) dan pertimbangan
mujahadah (nurani).
Ketujuh, Alquran juga mewanti-wanti kita untuk tidak menjadi sumber kericuhan atau
provokator di dalam masyarakat. “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan
dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu
mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian
yang lain” (QS Al-Hujurat/49: 12).
Dengan berpedoman pada ayat-ayat diatas, maka kita sebagai umat islam yang patuh
terhadap Allah dan RasulNya hendaknya dapat menjunjung teguh dalam diri kita tentang
hak asasi manusia. Setiap orang memiliki hak asasinya masing-masing dan itu merupakan
suatu hal yang nyata dan harus kita akui keberadaanya. Bahkan kalau kita kaji lebih jauh,
Rasulullah saw secara fundamental telah merumuskan HAM dalam Piagam Madinah.
2.2. DEMOKRASI
1. Pengertian Demokrasi
Secara etimologis, kata "demokrasi" berasal dari Bahasa Yunani yang berakar dari
kata "demos" (rakyat) dan "kratos" atau "cratein" (pemerintahan), karena itu demokrasi
berarti pemerintahan yang didasarkan atas kedaulatan rakyat. Dalam "demos" harus
menyangkut seluruh aspek, politik, gender, agama, ras, dan hak sosial dan sebagainya.
Prinsip utama dalam "demos" adalah prinsip persamaan. Persamaan yang dimaksud
adalah, bahwa setiap anggota masyarakat mempunyai hak yang sama, seperti hak dipilih-
memilih dan mendapat previlege, dalam berpartisipasi di pemerintahan.
Sementara yang dimaksudkan "kratos” adalah bahwa semua keputusan dibuat secara
bersama. Rakyat secara langsung atau perwakilan ikut menentukan terhadap kebijakan-
kebijakan pemerintahan, atau yang dikenal dengan "pemerintahan rakyat". Karena itu,
Beetham berpendapat bahwa yang disebut pemerintahan demokrasi adalah "based on
popular control and political equally~ yaitu termasuk pemerintahan perwakilan dan
demokrasi partisipatoris. Di alam demokrasi kedaulatan dan keputusan apapun
sepenuhnya berada di tangan rakyat bukan di tangan pemimpin. (3)
Demokrasi tumbuh begitu pesat ketika sampai masa renaissance, istilah ini digunakan
untuk suatu sistem demokrasi langsung, yakni masyarakat secara langsung menempati
posisi pemerintahan. Mereka berperan dalam seluruh aktivitas politik, legislatif,
eksekutif, yudikatif dsb. Sejak dulu, sistem pemerintahan semacam ini ditentang oleh
filsuf-filsuf besar. Plato menyifatinya sebagai pemerintahan orang-orang bodoh.
Aristoteles menamakannya pemerintahan orang-orang miskin tak berkeutamaan. Abu
Nasr Al-Farabi dan Ibn Rusyd menyebutnya sebagai kebusukan dalam pemerintahan
utama.
Salah satu keberatan lain yang cukup kasat mata adalah bahwa sistem ini sama sekali
tidak praktis apabila jumlah masyarakat telah membesar. Oleh karena itu, Jean Jacques
Rousseau beserta filsuf politik lain menyempurnakannya dengan teori demokrasi
perwakilan, sistem pemilihan para wakil rakyat sebagai pemerintah. Sistem perwakilan
ini telah menjadi norma berharga dan prinsip yang diterima di dunia sehingga memaksa
banyak cendekiawan muslim menciptakan teori demokratisasi Islam. (4)
Kedua, kebebasan sipil (warga negara). Jaminan terhadap individu yang tidak dibatasi
dengan sewenang-wenang oleh pemerintah. Ketiga, individualisme, yakni prinsip yang
menekankan tanggungjawab pemerintah untuk berperan aktif dalam memajukan
kemakmuran individu dan memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk
mengembangkan kemampuannya. Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk
menghormati dan melindungi hak setiap warganya.
Keempat, asas mayoritas. Keputusan tertinggi berada pada suara terbanyak. Meskipun
asas mayoritas dilakukan dalam sistem dua partai, namun pemerintahan koalisi yang
didasarkan pada gabungan beberapa partai merupakan hal yang biasa dalam pemerintahan
demokrasi.
Kelima, hukum alam (natural law), yakni aturan yang memberikan arahan hubungan
antar manusia dan memberi ukuran moral untuk menilai tindakan manusta dan
pemerintahan. Dan, Keenam, kedaulatan rakyat, bahwa otoritas tertinggi dimiliki rakyat
yang tercantum dalam konstitusi yang dihasilkan melalui pemilihan umum yang bebas.
Tiga pandangan di atas merupakan akumulasi yang berangkat dari kriteria umum
Islam dan demokrasi sehingga ketiga pandangan tadi tidak berjalan beriringan, bahkan
berlawanan. Sebab untuk melihat hubungan Islam dan demokrasi, setidaknya harus dilihat
dari sisi sistem, dasar-dasar politik dan nilainya. Jika demokrasi dilihat dari segi
sistemnya yang diikuti dengan realisasi asas pemisahan antara kekuasaan, model seperti
ini juga diterapkan dalam Islam.
Demokrasi Modern
1) Kedaulatan di tangan rakyat
2) Pembuat peraturan adalah badan legislatif
3) Keputusan ditentukan melalui musyawarah
4) Terdapat badan legislatif sebagai penampung aspirasi rakyat
5) Masih terdapat previlege/hak khusus
Demokrasi Islam
1) Kedaulatan tertinggi di tangan Allah swt
2) Pembuat peraturan hanya Allah swt
3) Keputusan diambil dari ijtihad, dan pada akhirnya keputusan khalifah sebagai ulul
amri
4) Terdapat majelis Syura sebagai badan musyawarah dalam memecahkan persoalan
5) Tidak mengakui adanya hak istimewa bagi golongan tertentu
(1) Anshori Mustofa, DKK, Pendidikan Agama Islam, Yogyakarta:2005 hlm. 122
(2) Shoelhi Mohammad, Demokrasi Madinah (Model Demokrasi Cara Rasulullah),
Jakarta: 2003 hlm. 23
(3) Anshori Mustofa, DKK, Pendidikan Agama Islam, Yogyakarta:2005 hlm. 127
(4) Muhammad Kiki, Islam dan Demokrasi:Pandangan intelektual muslim dan
penerapannya di Indonesia. 2015 hlm.2
(5) Anshori Mustofa, DKK, Pendidikan Agama Islam, Yogyakarta:2005 hlm. 128
DAFTAR PUSTAKA