Anda di halaman 1dari 9

HAM DAN DEMOKRASI

2.1. HAK ASASI MANUSIA (HAM)

1. Pengertian HAM

HAM di Barat hingga saat ini masih tetap menjadi isu yang selalu aktual dan
terkadang, problematik. Sebab, adanya rangkaian yang tak terlepaskan antara negara dan
warga negaranya, dan antara yang memerintah dan yang diperintah,dimana pihak yang
memerintah kadang-kadang dan bahkan sering bertindak melebihi batasan-batasan
kewenangannya. Salah satu permasalahan mendasar menyangkut HAM dalam pemikiran
Barat adalah bagaimana perumusannya di dalam ketentuan-ketentuan perundang-
undangan atau peraturan lainnya, dan bagaimana pelaksanaannya dalam praktek.

Dalam pandangan'Islam, manusia sebagai makhluk Allah secara kodrati dianugerahi


hak dasar yang disebut dengan hak asasi tanpa perbedaan satu sama lain. Hak asasi ini
kemudian dikenal sebagai HAM yang merupakan suatu hak dasar yang melekat pada diri
manusia untuk dapat mengembangkan diri pribadi serta peranan dan sumbangannya bagi
kesejahteraan hidup manusia.

Perbedaan prinsip antara pandangan Barat dan Islam tentang HAM yaitu bahwa HAM
bagi pandangan Barat adalah semata-mata hanya bersifat antroposentris (segala sesuatu
berpusat pada manusia). Dikarenakan manusia yang menjadi pusat segala sesuatu, bangsa
Barat beranggapan bahwa kebebasan manusia itu termasuk suatu hak asasi. Bagi
pandangan Islam, HAM itu bersifat teosentris yaitu segala sesuatu berpusat kepa<;la
Allah SWT. Dengan demikian, apapun yang menjadi tuntutan manusia akan hak asasinya
tetap harus dirujukkan pada bagaimana Allah SWT berkehendak dalam hal tersebut. (1)

Rumusan HAM yang pada masa kini banyak digunakan sebagian bertentangan
dengan ajaran Islam, misalnya pasal 16 HAM PBB tentang kawin campur antaragama,
dan pasal 18 yang berisikan konsep tentang kebebasan beragama atau berganti agama.
Pasal 16 menentukan perkawin - an lelaki dan wanita yang tidak boleh dibatasi atas dasar
suku, bangsa dan agama. Selain itu, sejumlah konsep yang sering mengatasnama– kan
HAM, seperti homoseksual, lesbianisme, aborsi, dan sejenisnya juga bertentangan dengan
hakikat kemanusiaan. Sementara, pasal 18 menegaskan perlunya perlindungan atas hak
murtad. Semua itu menunjukkan bahwa HAM PBB tidak mewakili kepentingan seluruh
umat manusia, dan kalangan dunia Islam sejauh ini karena alasan itu menolak konsep
HAM tersebut.

Untuk memahami konsep dan hakikat Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Islam,
terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian dasar tentang HAM. Dalam bahasa Arab,
HAM dikenal dengan (Haqq al- Insânî al-Asâsî atau juga disebut Haqq al-Insânî ad-
Darûrî), yang terdiri terdiri atas tiga kata, yaitu: a. kata hak (haqq) artinya: milik,
kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu, dan merupakan sesuatu yang
harus diperoleh. b. kata manusia (al-insân) artinya: makhluk yang berakal budi, dan
berfungsi sebagai subyek hukum. c. asasi (asâsî) artinya: bersifat dasar atau pokok.

Secara terminologis, HAM dalam persepsi Islam, Muhammad Khalfullah Ahmad


telah memberikan pengertian bahwa HAM merupakan hak yang melekat pada diri
manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu amanah dan anugerah Allah
SWT yang harus dijaga, dihormati, dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat atau
negara. Bahkan Ibn Rusyd lebih menegaskan bahwa HAM dalam persepsi Islam telah
memberikan format perlindungan, pengamanan, dan antisipasi terhadap berbagai hak
asasi yang bersifat primair (darûriyyât) yang dimiliki oleh setiap insan. Perlindungan
tersebut hadir dalam bentuk antisipasi terhadap berbagai hal yang akan mengancam
eksistensi jiwa, eksistensi kehormatan dan keturunan, eksistensi harta benda material,
eksistensi akal pikiran, serta eksistensi agama.

Dalam perspektif Islam, HAM diletakkan sebagai hurumat (kemulyaan, kelapangan,


peng– hormatan). Dengan pengertian ini, pada hakikatnya manusia didudukkan sebagai
makhluk yang dimuliakan Tuhan, dan kemuliaan manusia itu tampak pula pada anasir
penciptaannya yang sempurna. Manusia dalam kemuliaannya ditandai dengan kewajiban
untuk mengabdi kepada Tuhan dan berhubungan baik dengan sesamanya serta
memelihara kewajiban dan tanggungjawab secara vertikal dan horisontal. Dengan
demikian manusia dalam Islam bukanlah sang pemilik hak asasi melainkan yang dititipi
hak asasi untuk ditegakkan bersama-sama dengan manusia lainnya. (2)

2. Urgensi Penegakan HAM versi Islam

Umat islam sebagai umatnya Nabi Muhammad berpegang teguh terhadap Al-Qur’an
yang telah di turunkan oleh Allah swt kepada Rasulullah saw sebagai pedoman dalam
menjalani kehidupan sehari-hari, hampir semua hal terdapat dalam kitab suci ini, tidak
terkecuali tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Sebagai kitab suci kemanusiaan, Al-
Qur’an tentu tidak saja menjadi petunjuk bagi umat islam, tetapi juga untuk umat manusia
secara umum. Al-Qur’an sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan secara universal. Tidak
berelebihan jika dikatakan Al-Qur’an menginspirasi lahirnya prinsip-prinsip hak asasi
kemanusiaan secara global. Diantara nilai-nilai HAM dalam Al-Qur’an ialah sebagai
berikut.

Pertama, Alquran menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kebersamaan. “Dan


janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil.’’ (QS Al-Maidah/5: 8). Ayat ini mengisyaratkan betapa pentingnya
keadilan itu dan betapa perlunya jiwa besar dalam mewujudkan keadilan itu. Tidak
dibenarkan rasa keadilan dikorbankan demi kepentingan subjektivitas.

Kedua, Alquran tidak menoleransi pembinasaan diri sendiri dalam mencapai tujuan,
sesuci apa pun tujuan itu. ‘’Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam
kebinasaan, dan berbuat baiklah karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berbuat baik.’’ (QS Al-Baqarah/2: 195). Menghalalkan segala cara dalam mencapai
tujuan, apalagi dengan sengaja mengorbankan diri dan orang lain yang tak berdosa, tidak
pernah dicontohkan Rasulullah dan para sahabatnya. Jihad yang dilakukan Rasulullah
SAW tidak pernah mengesampingkan pertimbangan ijtihad (rasional) dan pertimbangan
mujahadah (nurani).

Ketiga, Alquran menoleransi fleksibilitas dalam memperjuangkan sebuah cita-cita.


“Janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu, dan masuklah dari pintu-pintu
yang berbeda-beda” (QS Yusuf/12:67). Sungguh indah maksud ayat ini, memberikan
peluang kepada setiap orang untuk menempuh jalan yang berbedabeda dalam
mengekspresikan pendapat masing-masing, tentunya dalam kerangka dasar yang sama.

Keempat, Alquran tidak menoleransi pemaksaan kehendak dalam mencapai tujuan,


khususnya pemaksaan kehendak keagamaan terhadap orang lain. “Tidak ada paksaan
untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada
jalan yang sesat” (QS Al Baqarah/2: 256).Rasulullah anutan kita hanya ditugasi
menyampaikan dakwah dengan bijaksana, tidak untuk memaksa orang lain mengikuti
ajaran agamanya. Kita tentu berharap agar berbagai pihak tidak terlalu jauh menyeret
ayat-ayat Alquran untuk melegitimasi pola perilaku yang justru tidak sejalan dengan
tujuan utama (maqashid al-‘ammah) Alquran itu sendiri.
Kelima, Alquran lebih mengedepankan persatuan dan kesatuan serta kebersamaan
ketimbang perbedaan, apalagi permusuhan. “Katakanlah: Hai Ahli Kitab, marilah
(berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami
dan kamu” (QS Ali Imran/3: 64). Isyarat ayat ini senada dengan rumusan yang telah
dirumuskan the founding father bangsa kita, Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi
tetap satu karena adanya common platform yang sama.

Keenam, Alquran menekankan perlunya kita bersikap kritis terhadap berbagai


informasi yang diperoleh. “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang
fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan
suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan
kamu menyesal atas perbuatanmu itu” (QS Al-Hujurat/49: 6).

Ketujuh, Alquran juga mewanti-wanti kita untuk tidak menjadi sumber kericuhan atau
provokator di dalam masyarakat. “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan
dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu
mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian
yang lain” (QS Al-Hujurat/49: 12).

Dengan berpedoman pada ayat-ayat diatas, maka kita sebagai umat islam yang patuh
terhadap Allah dan RasulNya hendaknya dapat menjunjung teguh dalam diri kita tentang
hak asasi manusia. Setiap orang memiliki hak asasinya masing-masing dan itu merupakan
suatu hal yang nyata dan harus kita akui keberadaanya. Bahkan kalau kita kaji lebih jauh,
Rasulullah saw secara fundamental telah merumuskan HAM dalam Piagam Madinah.

2.2. DEMOKRASI
1. Pengertian Demokrasi

Secara etimologis, kata "demokrasi" berasal dari Bahasa Yunani yang berakar dari
kata "demos" (rakyat) dan "kratos" atau "cratein" (pemerintahan), karena itu demokrasi
berarti pemerintahan yang didasarkan atas kedaulatan rakyat. Dalam "demos" harus
menyangkut seluruh aspek, politik, gender, agama, ras, dan hak sosial dan sebagainya.
Prinsip utama dalam "demos" adalah prinsip persamaan. Persamaan yang dimaksud
adalah, bahwa setiap anggota masyarakat mempunyai hak yang sama, seperti hak dipilih-
memilih dan mendapat previlege, dalam berpartisipasi di pemerintahan.
Sementara yang dimaksudkan "kratos” adalah bahwa semua keputusan dibuat secara
bersama. Rakyat secara langsung atau perwakilan ikut menentukan terhadap kebijakan-
kebijakan pemerintahan, atau yang dikenal dengan "pemerintahan rakyat". Karena itu,
Beetham berpendapat bahwa yang disebut pemerintahan demokrasi adalah "based on
popular control and political equally~ yaitu termasuk pemerintahan perwakilan dan
demokrasi partisipatoris. Di alam demokrasi kedaulatan dan keputusan apapun
sepenuhnya berada di tangan rakyat bukan di tangan pemimpin. (3)

Demokrasi tumbuh begitu pesat ketika sampai masa renaissance, istilah ini digunakan
untuk suatu sistem demokrasi langsung, yakni masyarakat secara langsung menempati
posisi pemerintahan. Mereka berperan dalam seluruh aktivitas politik, legislatif,
eksekutif, yudikatif dsb. Sejak dulu, sistem pemerintahan semacam ini ditentang oleh
filsuf-filsuf besar. Plato menyifatinya sebagai pemerintahan orang-orang bodoh.
Aristoteles menamakannya pemerintahan orang-orang miskin tak berkeutamaan. Abu
Nasr Al-Farabi dan Ibn Rusyd menyebutnya sebagai kebusukan dalam pemerintahan
utama.

Salah satu keberatan lain yang cukup kasat mata adalah bahwa sistem ini sama sekali
tidak praktis apabila jumlah masyarakat telah membesar. Oleh karena itu, Jean Jacques
Rousseau beserta filsuf politik lain menyempurnakannya dengan teori demokrasi
perwakilan, sistem pemilihan para wakil rakyat sebagai pemerintah. Sistem perwakilan
ini telah menjadi norma berharga dan prinsip yang diterima di dunia sehingga memaksa
banyak cendekiawan muslim menciptakan teori demokratisasi Islam. (4)

Ada beberapa prinsip demokrasi: pertama, pertanggungjawaban yakni pentingnya


tanggung jawab penguasa terhadap rakyat. Adanya proses pemilihan umum, konstitusi,
referendum, recall, kegiatan berpolitik, kebebasan pers, dan pemungutan suara yang
merupakan bentuk tanggung jawab penguasa kepada rakyat. Adanya prinsip
pertanggungjawaban mt menjadi alat untuk menekan kemungkinan timbulnya kekuasaan
sewenang-wenang.

Kedua, kebebasan sipil (warga negara). Jaminan terhadap individu yang tidak dibatasi
dengan sewenang-wenang oleh pemerintah. Ketiga, individualisme, yakni prinsip yang
menekankan tanggungjawab pemerintah untuk berperan aktif dalam memajukan
kemakmuran individu dan memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk
mengembangkan kemampuannya. Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk
menghormati dan melindungi hak setiap warganya.

Keempat, asas mayoritas. Keputusan tertinggi berada pada suara terbanyak. Meskipun
asas mayoritas dilakukan dalam sistem dua partai, namun pemerintahan koalisi yang
didasarkan pada gabungan beberapa partai merupakan hal yang biasa dalam pemerintahan
demokrasi.

Kelima, hukum alam (natural law), yakni aturan yang memberikan arahan hubungan
antar manusia dan memberi ukuran moral untuk menilai tindakan manusta dan
pemerintahan. Dan, Keenam, kedaulatan rakyat, bahwa otoritas tertinggi dimiliki rakyat
yang tercantum dalam konstitusi yang dihasilkan melalui pemilihan umum yang bebas.

2. Hubungan Demokrasi dengan Islam

Memperbincangkan hubungan Islam dan demokrasi pada dasarnya sangat aksiomatis.


Karena Islam merupakan agama dan risalah yang mengandung asas-asas yang mengatur
ibadah, akhlak dan muamalat manusia. Sedangkan demokrasi hanya sebuah sistem
pemerintahan dan mekanisme kerja antar anggota masyarakat serta simbol yang
membawa banyak nilai-nilai positif. Barangkali hal inilah yang mendorong Fahmi
Huwaydi berkesimpulan bahwa Islam telah didiskreditkan dalam dua hal, yaitu ketika
Islam dibandingkan dengan demokrasi dan ketika dikatakan, bahwa Islam bertentangan
dengan demokrasi. Karena dengan pertimbangan, bahwa Islam memiliki konsep
peradaban yang spesifik, sementara demokrasi inkonsisten.

Esposito dan · Piscatori mengidentifikasi ada tiga pemikiran mengenai hubungan


Islam dan demokrasi.(5) Pertama, Islam menjadi sifat dasar demokrasi, karena konsep
syura, ijtihad, dan ijma' merupakan konsep yang sama dengan demokrasi.

Kedua, menolak bahwa Islam berhubungan dengan demokrasi. Menurut pandangan


ini kedaulatan rakyat tidak bisa berdiri di atas kedaulatan Tuhan, juga tidak bisa
disamakan antara muslim dan non-muslim dan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini
bertentangan dengan prinsip equality-nya demokrasi.

Ketiga, sebagaimana pandangan pertama bahwa Islam merupakan dasar demokrasi.


Meskipun kedaulatan rakyat tidak bisa bertemu dengan kedaulatan Tuhan tetapi perlu
diakui, bahwa kedaulatan rakyat tersebut merupakan subordinasi hukum Tuhan.
Pandangan ini dikenal dengan theodemocracy yang diperkenalkan oleh Abu A'la al-
Maududi.

Tiga pandangan di atas merupakan akumulasi yang berangkat dari kriteria umum
Islam dan demokrasi sehingga ketiga pandangan tadi tidak berjalan beriringan, bahkan
berlawanan. Sebab untuk melihat hubungan Islam dan demokrasi, setidaknya harus dilihat
dari sisi sistem, dasar-dasar politik dan nilainya. Jika demokrasi dilihat dari segi
sistemnya yang diikuti dengan realisasi asas pemisahan antara kekuasaan, model seperti
ini juga diterapkan dalam Islam.

3. Perbedaan Demokrasi Modern dengan Demokrasi Islam

Ada perbedaan mendasar pada demokrasi yang dikembangkan di Barat modem


dengan dunia Islam, antara lain:

 Demokrasi Modern
1) Kedaulatan di tangan rakyat
2) Pembuat peraturan adalah badan legislatif
3) Keputusan ditentukan melalui musyawarah
4) Terdapat badan legislatif sebagai penampung aspirasi rakyat
5) Masih terdapat previlege/hak khusus
 Demokrasi Islam
1) Kedaulatan tertinggi di tangan Allah swt
2) Pembuat peraturan hanya Allah swt
3) Keputusan diambil dari ijtihad, dan pada akhirnya keputusan khalifah sebagai ulul
amri
4) Terdapat majelis Syura sebagai badan musyawarah dalam memecahkan persoalan
5) Tidak mengakui adanya hak istimewa bagi golongan tertentu

Sebagai muslim, dalam mensikapi perbedaanperbedaan di atas hendaklah tidak


menjadikannya sebagai hal yang kontradiktif dan bahkan saling mengalahkan.
Sebaliknya, bagaimana perbedaan-perbedaan tersebut dicarikan solusi sinergisnya
sehingga akan memperkaya khazanah Islam dalam wacana demokrasi. Justru, dengan
mengetahui perbedaan ini maka umat Islam diharapkan mampu menerapkan demokrasi
Islam secara baik, dengan belajar untuk mencegah dan memperbaiki kekurangan-
kekurangan yang terdapat dalam demokrasi modern.
FOOTNOTE

(1) Anshori Mustofa, DKK, Pendidikan Agama Islam, Yogyakarta:2005 hlm. 122
(2) Shoelhi Mohammad, Demokrasi Madinah (Model Demokrasi Cara Rasulullah),
Jakarta: 2003 hlm. 23
(3) Anshori Mustofa, DKK, Pendidikan Agama Islam, Yogyakarta:2005 hlm. 127
(4) Muhammad Kiki, Islam dan Demokrasi:Pandangan intelektual muslim dan
penerapannya di Indonesia. 2015 hlm.2
(5) Anshori Mustofa, DKK, Pendidikan Agama Islam, Yogyakarta:2005 hlm. 128
DAFTAR PUSTAKA

Anshori Mustofa, DKK, (2005). Pendidikan Agama Islam, Yogyakarta:Filsafat UGM

Muhammad Kiki. (2016). Islam dan Demokrasi:Pandangan Intelektual Muslim dan


Penerapannya di Indonesia. Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya. Vol. 1. No.1
Lampung: Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Fatah

Shoelhi Mohammad, (2003). Demokrasi Madinah (Model Demokrasi Cara Rasulullah),


Jakarta: Republika

Anda mungkin juga menyukai