Anda di halaman 1dari 1

Kata () syura terambil dari kata ( jj- i) sjaur.

Kata syura tiermakna mengambil dan


mengeluarkan pendapat yang terbaik dengan memperhatikan satu pendapat dengan
pendapat yang lain. Kata ini terambil dari kalimat () syirtu al^asal yang bermakna: Say a
mengeluarkan madu (dari wadahnya). Ini
berarti mempersamakan pendapat yang terbaik dengan madu, dan
bermusyawarah adalah ujjaya meraih madu itu di mana pun dia ditemukan,
atau dengan kata lain, pendapat siapa pun yang dinilai benar tanpa
mempertimbangkan siapa yang menyampaikannva. Untuk ielasnya rujuklah
pada QS. Al ‘Imran [3]: 159.
Kata ( f) ammhum/ urusan mereka menunjukkan bahwa yang mereka
musyawarahkan adalah hal-hal yang berkaitan dengan urusan mereka serta
yang berada dalam wewenang mereka. Karena itu masalah ibadah mahdhah/
murni yang sepenuhnya berada dalam wewenang Allah tidaklah termasuk
hal-hal yang dapat dimusyawarahkan. Di sisi lain, mereka yang tidak
berwenan£ dalam urusan dimaksud, tidaklah perlu terlibat dalam
musyawarah itu, kecuali jika diajak oleh yang berwenang, karena boleh
jadi yang mereka musyawarahkan adalah persoalan rahasia antar mereka.
A l-Q ur’an tidak menjelaskan bagaimana bentuk syura yang
dianjurkannya. Ini untuk memberi kesempatan kepada setiap masyarakat
menyusun bentuk syurayang mereka inginkan sesuai dengan perkembangan
dan ciri masyarakat masing-masing. Perlu diingat bahwa ayat ini turun pada
periode di mana belum lagi terbentuk masyarakat Islam yang memiliki
kekuasaan politik, atau dengan kata lain sebelum terbentuknya negara
Madinah di bawah pimpinan Rasul saw. Turunnya ayat yang menguraikan
syura pada periode Mekah, menunjukkan bahwa bermusyawarah adalah
anjuran al-Qur’an dalam segala waktu dan berbagai persoalan yang belum
ditemukan petunjuk Allah di dalamnya.
Firman-Nya: ( CL«j) wa mimma ra^aqndhum yunfiqun,
mengisyaratkan bahwa kaum yang beriman itu bekerja dan berkarya sebaik
mungkin sehingga dapat memperoleh hasil yang melebihi kebutuhan jangka
pendek dan menengah mereka sehingga dapat membantu orang lain.
Sementara ulama menggarisbawahi, bahwa kendati semua yang
berada dalam genggaman tangan seseorang dia nafkahkan untuk siapa pun,
pada hakikatnya ia juga masih baru memberi sebagian dari rezeki yang
dianugerahkan Allah kepadanya. Betapa tidak, bukankah masih banyak
rezeki lainnya yang diperoleh misalnya rezeki kehidupan, udara segar dan
pemandangan yang indah dan lain-lain sebagainya, yang tidak .luput sesaat
pun dari manusia.

Anda mungkin juga menyukai