PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Dalam sejarah pemikiran islam, ijtihad telah banyak digunakan sejak dahulu. Esensi
ajaran Al-Qur’an dan hadits memang menghendaki adanya ijtihad. Al-Qur’an dan hadits
kebanyakan hanya menjelaskan garis besarnya saja. Maka ulama berusaha menggali maksud dan
rinciannya dari kedua sumber tersebut melalui ijtihad.
Telah kita ketahui setelah Rasulullah wafat dan meninggalkan risalah Islamiyyah yang
sempurna, kewajiban berdakwah berpindah pada sahabat. Mereka melaksanakan kewajiban itu
dengan memperluas wilayah kekuasaan Islam dengan berbagai peperangan. Akibat perluasan
wilayah itu, terjadilah akulturasi bangsa dan kebudayaan sehingga muncul berbagai masalah baru
yang memerlukan pemecahan. Keadaan seperti itu mendorong pemuka sahabat untuk ber-ijtihad.
Upaya pencarian ketentuan hukum tertentu terhadap masalah-masalah baru itu dilakukan
pemuka sahabat dengan berbagai tahapan. Pertama-tama mereka berusaha mencari hukum itu
dari Al-Qur’an dan apabila hukum itu telah ditemukannya, maka berpegang teguh pada hukum
tersebut walaupun sebelumnya mereka berbeda pendapat. Selanjutnya, apabila masalah itu tidak
ditemukan dalam Al-qur’an, mereka mencarinya dalam Al-Hadits dengan cara menggali hadits
dan menanyakan hadits yang berkenaan dengan masalah yang tengah dihadapinya kepada para
sahabat. Apabila masalah itu tidak ditemukan dalam hadits tersebut, mereka baru melakukan
ijtihad.1
1
Prof. DR. Rachmat Syafe’I, MA. “Ilmu Ushul Fiqih Untuk UIN, STAIN, PTAIS” (Bandung : Pustaka Setia, 2010) hal.
101
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Ijtihad secara harfiah ( lughowi ; etimologis) berasal dari kata al jahd ( bentuk kata kerja
{fiil} dari ijtihad ) yang berarti usaha keras, tekun, atau sungguh-sungguh. 2Kata al jahd
mempunyai implikasi pada masalah-masalah yang didalamnya, terdapat unsur- unsur
memberatkan atau menyulitkan, dan tidak tepat jika digunakan pada masalah- masalah yang
berimplikasi ringan dan mudah. 3didalam al-quran, kata al jahd dapat ditemukan pada tiga
tempat. Pada ketiga tempat itu, al jahd mengandung arti mencurahkan kemampuan atau upaya
sungguh-sungguh.
kemudian, harun nasution setelah merujuk ibn taimiyah dan muhammad ar-ruwaihi
menyatakan bahwa ijtihad juga digunakan dalam bidang-bidang yang lain, yaitu mencakup
akidah, tasawuf, dan filsafat. Adapun secara terminologis para ulama ushul telah memberikan
definisi yang berbeda. Tetapi menurut al- umari secara umum definisi- definisi itu dapat
diklarifikasikan menjadi empat definisi menurut karakteristiknya masing – masing.4
B. Dasar Hukum
2
muhammad Amin, ijtihad ibn taimiyyah dalam bidang fiqih islam (jakarta: INIS, hlm.40.
3
Abu Hamid Muhammad bin muhammad al- Ghazali, Al mustashfa min’ilm al- ushul ( baghdad: maktabat al
muthanna, tanpa tahun), hlm.350.bandingkan juga dengan term yang dianjukan oleh wahbah al- zuhaili, Al- ushul
al-fiqh al-islami (bairut: Dar al-fikr, 1986),hlm. 1037.
4
lbid.,hlm.24-25.
5
Al-Ghazali, al-mustashfa.,I:342.
Ada 2 dasar hukum diharuskannya ijtihad, yaitu :
1. Al- qur’an
Tersebut dalam alquran QS.An-Nisā(4) : 59
ُ ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اَ ِط ْيعُوا هّٰللا َ َواَ ِط ْيعُوا ال َّرسُوْ َل َواُولِى ااْل َ ْم ِر ِم ْن ُك ۚ ْم فَا ِ ْن تَنَ??ا َز ْعتُ ْم فِ ْي َش? ْي ٍء فَ? ُر ُّدوْ هُ اِلَى هّٰللا ِ َوالر
ََّس?وْ ِل اِ ْن ُك ْنتُ ْم تُ ْؤ ِمنُ??وْ ن
ࣖ ك خَ ْي ٌر َّواَحْ َسنُ تَأْ ِو ْياًل َ ِبِاهّٰلل ِ َو ْاليَوْ ِم ااْل ٰ ِخ ۗ ِر ٰذل
Terjemah Kemenag 2002:
59. Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil
Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya.
Yang dimaksud dengan dikembalikan kepada Allah dan Rasul ialah bahwa bagi orang-
orang yang mempelajari Quran dan Hadist supaya meneliti hukum- hukum yang ada alasannya,
agar bisa diterapkan kepada peristiwa- peristiwa hukum yang lainnya, dan hal ini adalah ijtihad.
2. Al- Hadist
Pengutusan mu’adz bin jabal sebagai gubernur yaman menjadi peristiwa penting bagi
ijtihad. sebab, saat itulah legimitasi diperbolehkannya ijtihad, yakni ketika Al-Quran dan sunnah
tidak memberikan jawabnya, salah satu hadits nya adalah seperti yang diriwayatkan oleh amr bin
Ash;
اذا حكم الحاكم فاجتحد فاصاب فله اجران واذا حكم فاجتحد ثم اخطا فله اجر رواه متفق عليه
Artinya;
Jika seorang hakim menghakimi sesuatu dan benar, dia mendapat dua pahala dan apabila
salah, dia mendapat satu pahala(Muttafaq alaih)
Rasulullah S. A. W bersabda,
ال صالة لمن لم يقرء بفاتحة الكتاب
Artinya;
Tidak ada shalat ( sempurna atau sah) bagi orang yang tidak membaca Al-fatihah
C. Objek ijtihad
Tidak boleh melakukan ijtihad dalam masalah yang terdapat nash yang jelas dan pasti,
jika kejadian yang hendak diketahui hukum syara’nya, itu telah ditunjukan oleh dalil yang
shahih ( jelas ) dan petunjuk serta maknanya adalah pasti, maka tidak ada peluang untuk
ijtihad.7
Menurut al ghazali, objek ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki dalil
dalil yang qathi, dari pendapatnya itu, diketahui ada permasalahan yang tidak bisa dijadikan
objek ijtihad.
Dengan demikian, syariat islam dalam kaitannya dengan ijtihad, terbagi dalam dua bagian :
6
Harun nasution, “ijtihad, sumber ketiga Ajaran islam “, dalam Haidar Bagir dan Syafiq Basri, ijtihad dalam sorotan
( Bandung : Mizan, 1998), hlm. 108-102.
7
Abdul wahhab khallaf ilmu ushul fiqih. (cet 1, jakarta :pustaka Amani, 2003 hlm 317
1. Syariat yang tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad adalah, yaitu hukum- hukum yang
telah dimaklumi sebagai landasan pokok islam, yang berdasarkan dalil- dalil yang qathi,
seperti kewajiban melaksanakan sholat, puasa, zakat dan lain- lain karena itu telah
ditetapkan hukumnya didalam Al quran dan hadist.
2. Syariat yang bisa dijadikan lapangan ijtihad adalah hukum yang berdasarkan pada dalil
dalil yang bersifat dzanni, baik dari segi maksudnya, petunjuknya, serta hukum-
hukumnya yang belum ada nash nya dan ijma para ulama.
sedangkan terhadap permasalahan yang tidak ada nash nya, maka yang menjadi
lapangan ijtihad adalah dengan cara menggunakan kaidah- kaidah yang bersumber dari
akal, seperti qiyas, istishan, dan lain- lain.8
1. Pengertian Mujtahid
Mujtahid menurut bahasa ialah asal kata dari jahada yang bermakna sungguh- sungguh,
sedangkan mujtahid dari isim fa’il yang bermakna orang yang bersungguh – sungguh, tugas
menjadi seorang mujtahid hanyalah berusaha menyingkap satu tujuan yang bersembunyi dibalik
suatu dalil. oleh karena itu, walaupun mujtahid berselisih pendapat dalam hukum itu sendiri,
Kemungkinan bahwa tujuan syar’i yang tunggal itu secara realitas tidak bermakna apa-
apa kecuali setelah menerapkan hukum secara tepat.
2. Pembagian-Pembagian Mujtahid
8
Rachmat syafe’i, MA.ILMU USHUL FIQIH. (cet IV ,Bandung : CV pustaka setia, 2010)hlm 107
9
Al-‘Umari,ijtihad.hlm.173.
10
Az-zuhaili.Ushul al-fiqih al-islami,II:1079
11
Abu zahrah, Ushul al-fiqh,hlm.375
al- A’immah al- mujtahidin seperti jafar as shadiq (80- 148 H) pendiri mazhab ja’fari dalam
syiah imamiyyah, imam zaid ( 80-122 H)
c. Al-mujtahid fi al-mazhab atau al- mujtahid al muqayyad atau al- mujtahid al mukharrij
atau ashab al- wujuh yaitu mujtahid yang terbatas mengikuti imam mazhabnya, baik dalam ushul
maupun furu’nya, namun masih melakukan istinbat hukum dalam masalah- masalah, furu’iyyah
yang belum ditetapkan oleh imam mazhab nya, dengan kata lain, adalah mujtahid yang di
samping mengikuti fiqhnya imam mazhabnya tetapi juga menerapkan kaidah- kaidah usuliyyah
nya dalam masalah- masalah furuiyyah yang belum ditetapkan oleh imam mazhabnya. ulama
hanafiyyah yang termasuk kedalam golongan ini, adalah ubaid Allah ibn al hassan al karkhi
( 260 – 340 H )
d. Al- mujtahid al- murajjih atau mujtahid at- tarjih atau al- mujtahid fi al- fatwa, yaitu
mujtahid yang menjadi ahli fiqih imam mazhabnya, mengetahui sumber- sumber nya,
mengamalkannya, mampu menggambarkan dan menjelaskan, men- tarjih dan mengomentarinya,
meng- qiyas ( ilhaq )-kan masalah dengan fiqih madzhabnya, mengetahui mutlaq dan
muqayyadnya, amm dan khass nya fiqh imam madzhabnya dan mengetahui guru guru imam
madzhabnya.
e. Mujtahid fii al- fatwa12 atau al- hafidz atau al- mutabbahir fi al madzhab, yaitu mujtahid
yang memelihara , meriwayatkan, dan memahami fiqh madzhabnya, sehingga mengetahui segi-
segi kejelasan dan kemusyrikannya tetapi lemah dalam menetapkan dalil- dalilnya dan
menjelaskan illat- illat hukumnya, adapun syarat- syarat mujtahid derajat ini adalah hafal fiqh
imam madzhabnya dan meriwayatkannya, memahami segi kejelasannya dan kemusyqilannya,
ulama madzhab hanafi yang termasuk golongan ini adalah para pengarang kitab matan, generasi
muta’akhkhirin , seperti pengarang matan al- kanzi, matan al –mukhtar dan matan al- wiqayah
E. Syarat-Syarat Mujtahid
1. Syarat Ilmiah
a. Syarat- syarat yang berkaitan dengan ilmu agama (ulum al- din )
Para ulama sepakat bahwa al- qur’an adalah sumber hukum islam disamping al- sunnah.
formalisasi al-Qur’an sebagai syarat utama dalam ijtihad pertama kali disampaikan oleh al-
shafi’I dalam al- risalah,
Sebagaimana al-Qur’an, al- sunnah merupakan sumber hukum islam, maka sangatlah
wajar kalau kemudian para ulama mensyaratkan mujtahid harus menguasai al- sunnah dan seluk
beluknya, bahkan al juwaini secara tegas menyatakan bahwa secara makna ( substansi ) tidak
ada yang memisahkan antara Al-Qur’an dan al –sunnah .
12
Istilah mujtahid takhrij diberikan as-suyuti.Baca Jalaludin as-suyuti,ar-radd ‘ala Man Akhlada ila al-Ard wa jahala
anna al-ijtihada fi kull ‘asr Fard (ttp..:Muassasah asy-syabab,tt.),hlm.97.
3). Mengetahui Ijma
Dalam ijtihad, ijma’ termasuk dalil hukum yang pokok setelah al- Qur’an dan al- sunnah.
hukum islam yang telah menjadi ijma’ ulama dan dasarnya adalah nas adalah bersifat “
permanen”, tidak dapat dialunir oleh ijtihad sessudahnnya.
Hukum islam disepakati oleh ulama bersumber dari al- Qur’an dan al- sunnah. dua
sumber tersebut telah menjadi “ takdir “ tuhan berbahasa arab. oleh karena itu, kemampuan
dalam memahami bahasa arab dan seluk beluknya sebagai syarat mujtahid adalah sesuatu yang
logis, secara spesifik, al- juwaini mensyaratkan pengetahuan ilmu nahwu dan I’rab dalam
berijtihad.
Seorang mujtahid tidak cukup hanya memiliki kedalaman ilmu pengetahuan, khususnya
tentang al-Qur’an dan as- sunnah serat selut beluk bahasa arab, tetapi ia juga harus memenuhi
kualifikasi moralitas yang baik dan kecerdasan yang tinggi. berkaitan dengan syarat ini, ada
syarat yang bersifat umum, dan ada yang bersifat khusus. syarat yang bersifat umum ada tiga ;
islam, dewasa ( al- baligh ) dan berakal. tiga syarat tersebut tidak hanya berlaku bagi mujtahid,
tetapi juga berlaku bagi mufti, hakim, saksi, transaksi jual beli, dan hukum islam lainnya.
Selain islam, dewasa, dan berakal, mujtahid harus adil , wara;. syarat ini bukan berarti
membatasi semua orang untuk berusaha memahami sendiri pesan- pesan al- Qur’an dan as-
sunnah, tanpa terikat dengan pendapat orang lain, seperti yang diusung oleh mereka yang lagi “
demam” kebebasan berfikir . syarat moralitas tersebut yang akan membedakan antara seorang
pemikir islam ( al- mufakkir fi al- islam ) dengan mujtahid.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ijtihad adalah sebuah usaha yang dilakukan dengan sungguh- sungguh dengan berbagai
metode yang diterapkan beserta syarat- syarat yang telah ditentukan untuk menggali dan
mengetahui hukum islam, tujuan ijtihad dilakukan adalah upaya pemenuhan kebutuhan akan
hukum karena permasalahan manusia semakin hari semakin kompleks dimana membutuhkan
hukum islam sebagai solusi terhadap problematika itu.
Ijtihad merupakan sumber hukum ketiga setelah al-Qur’an dan al- Hadist, yang
mendapatkan legitimasi, dari keduanya. sebenarnya ijtihad bukanlah suatu hal yang baru,
melainkan sudah ada pada masa rasulullah . hal ini sudah dilakukan oleh Nabi, sahabat, tabi’in
dan para ulama klasik, namun tidak sembarangan orang diperbolehkan untuk melakukan ijtihad,
akan tetapi harus memenuhi kriteria tertentu.
Melakukan ijtihad bagi seorang mujtahid dapat mencapai hukum wajib ain , fardhu
kifayah, dan sunnat, adapun untuk menjadi mujtahid disyaratkan memiliki pengetahuan dan
pemahaman tentang Al- Qur’an dan As- sunnah dari berbagai aspeknya, memahami masalah
yang sudah disepakati ulama, memahami bahasa arab, dan mengetahui ushul fiqih
Mujtahid dibedakan pada mujtahid mutlaq, muqayyad dan mujtahid muntasib.
pendekatan dalam ijtihad dilakukan dengan ijma, qiyas, maslahat, istihsan, syaru’man, qablana,
dilalah, istihsab, taadul dan tarjih.
DAFTAR PUSTAKA
Adz- Dzahiri, Abu Muhammad ‘Ali bin Ahmad bin Sa’id Ibn Hazm. 1980. Al-muhalla.Beirut
:Dar al-fikr.
Al-‘Amidi, sayf al-Din abu al- hassan’ Ali bin Abi’ bi muhammad .1968. Al ihkam fi ushul al-
ahkam . kairo: muhammad ‘ ali syabi
Al-Ulwani, thaha jabir fayadl.1987.Adab al-ikhtilaf fi al- islam. washington: the international
insitut of islamic.
Prof. DR. Rachmat Syafe’I, MA. “Ilmu Ushul Fiqih Untuk UIN, STAIN, PTAIS” (Bandung :
Pustaka Setia, 2010) hal. 101
‘Ubadah, Muhammad Anis. 1975. Tarikh al-fiqh al- islami. kairo : Dar al-thaba’ah al-hadisah