Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada Desember tahun 2019, wabah penyakit coronavirus 2019 (COVID-19),

pertama kali dilaporkan di Wuhan, Provinsi Hubei, China dan kemudian menyebar ke

wilayah lain di China dan 37 negara, termasuk Amerika Serikat, Jepang, Australia,

dan Prancis (1)(2). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakannya sebagai

ancaman yang signifikan bagi kesehatan internasional. COVID-19 mulai

mengelompok dan terutama memengaruhi sistem pernapasan dengan beberapa pasien

yang berkembang pesat menjadi sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS); fungsi

organ lainnya kurang terlibat. Pasien-pasien ini kemungkinan besar akan dirawat di

unit perawatan intensif (ICU) dan mungkin meninggal. Orang dengan lanjut usia dan

mereka dengan penyakit penyerta atau komorbid berada pada risiko kematian

tertinggi. Kematian terkait dengan ARDS (1).

SARS-CoV -2, yang tergolong dalam subgenus sarbecovirus dari subfamili

Orthocoronavirinae, teridentifikasi sebagai patogen penyakit coronavirus 2019

(COVID-19) pada Januari 2020. Seperti dilansir Huang dkk, terdapat 3 pasien

COVID-19. terutama dengan demam, mialgia atau kelelahan, dan batuk kering.

Meskipun kebanyakan pasien dianggap memiliki prognosis yang baik, pasien yang

lebih tua dan mereka dengan kondisi kronis yang mendasari mungkin memiliki hasil

yang lebih buruk. Pasien dengan penyakit parah dapat menyebabkan dispnea dan

hipoksemia dalam waktu 1 minggu setelah timbulnya penyakit atau timbulnya gejala

yang dialami, yang dapat dengan cepat berkembang menjadi sindrom gangguan

pernapasan akut (ARDS) atau kegagalan organ akhir (3).

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Penyakit Coronavirus 2019 (COVID-19) adalah infeksi saluran pernapasan

yang disebabkan oleh virus korona atau Severe Acute Respiratory Syndrome

Coronavirus 2 (SARSCoV-2). SARS-CoV -2, yang tergolong dalam subgenus

sarbecovirus dari subfamili Orthocoronavirinae, teridentifikasi sebagai patogen

penyakit coronavirus 2019 atau (COVID 19) (4)(3).

2.2 Epidemiologi

Hingga 28 Maret 2020, jumlah kasus infeksi COVID-19 terkonfirmasi

mencapai 571.678 kasus. Awalnya kasus terbanyak terdapat di Cina, namun saat ini

kasus terbanyak terdapat di Italia dengan 86.498 kasus, diikut oleh Amerika dengan

85.228 kasus dan Cina 82.230 kasus. Virus ini telah menyebar hingga ke 199 negara.

Kematian akibat virus ini telah mencapai 26.494 kasus. Tingkat kematian akibat

penyakit ini mencapai 4-5% dengan kematian terbanyak terjadi pada kelompok usia di

atas 65 tahun (5).

Indonesia melaporkan kasus pertama pada 2 Maret 2020, yang diduga tertular

dari orang asing yang berkunjung ke Indonesia. Kasus di Indonesia pun terus

bertambah, hingga tanggal 29 Maret 2020 telah terdapat 1.115 kasus dengan kematian

mencapai 102 jiwa. Tingkat kematian Indonesia 9%, termasuk angka kematian

tertinggi. Berdasarkan data yang ada umur pasien yang terinfeksi COVID-19 mulai

dari usia 30 hari hingga 89 tahun. Menurut laporan 138 kasus di Kota Wuhan,

didapatkan rentang usia 37–78 tahun dengan rerata 56 tahun (42-68 tahun) tetapi

pasien rawat ICU lebih (5).

2
Per 30 Maret 2020, terdapat 693.224 kasus dan 33.106 kematian di seluruh

dunia. Eropa dan Amerika Utara telah menjadi pusat pandemi COVID-19, dengan

kasus dan kematian sudah melampaui China. Amerika Serikat menduduki peringkat

pertama dengan kasus COVID-19 terbanyak dengan penambahan kasus baru

sebanyak 19.332 kasus pada tanggal 30 Maret 2020 disusul oleh Spanyol dengan

6.549 kasus baru. Italia memiliki tingkat mortalitas paling tinggi di dunia, yaitu 11,3%

(6).

Berdasarkan laporan WHO, pada tanggal 30 Agustus 2020, terdapat

24.854.140 kasus konfirmasi Covid-19 di seluruh dunia dengan 838.924 kematian

(CFR 3,4%). Wilayah Amerika memiliki kasus terkonfirmasi terbanyak, yaitu

13.138.912 kasus. Selanjutnya wilayah Eropa dengan 4.205.708 kasus, wilayah Asia

Tenggara dengan 4.073.148 kasus, wilayah Mediterania Timur dengan 1.903.547

kasus, wilayah Afrika dengan 1.044.513 kasus, dan wilayah Pasifik Barat dengan

487.571 kasus (World Health Organization, 2020) (7).

Kasus konfirmasi Covid-19 di Indonesia masih terus bertambah. Berdasarkan

laporan Kemenkes RI, pada tanggal 30 Agustus 2020 tercatat 172.053 kasus

konfirmasi dengan angka kematian 7343 (CFR 4,3%). DKI Jakarta memiliki kasus

terkonfirmasi kumulatif terbanyak, yaitu 39.037 kasus. Daerah dengan kasus

kumulatif tersedikit yaitu Nusa Tenggara Timur dengan 177 kasus (7).

2.3 Etiologi dan Patofisiologi

Patogenesis SARS-CoV-2 masih belum banyak diketahui, tetapi diduga tidak

jauh berbeda dengan SARSCoV yang sudah lebih banyak diketahui. Pada manusia,

SARS-CoV-2 terutama menginfeksi sel-sel pada saluran napas yang melapisi

alveoli. SARS-CoV-2 akan berikatan dengan reseptor-reseptor dan membuat jalan

masuk ke dalam sel. Glikoprotein yang terdapat pada envelope spike virus akan

3
berikatan dengan reseptor selular berupa ACE2 pada SARS-CoV-2. Di dalam sel,

SARS-CoV-2 melakukan duplikasi materi genetik dan mensintesis protein-protein

yang dibutuhkan, kemudian membentuk virion baru yang muncul di permukaan sel

(6).

Sama dengan SARS-CoV, pada SARS-CoV-2 diduga setelah virus masuk ke

dalam sel, genom RNA virus akan dikeluarkan ke sitoplasma sel dan ditranslasikan

menjadi dua poliprotein dan protein struktural. Selanjutnya, genom virus akan mulai

untuk bereplikasi. Glikoprotein pada selubung virus yang baru terbentuk masuk ke

dalam membran retikulum endoplasma atau Golgi sel. Terjadi pembentukan

nukleokapsid yang tersusun dari genom RNA dan protein nukleokapsid. Partikel

virus akan tumbuh ke dalam retikulum endoplasma dan Golgi sel. Pada tahap akhir,

vesikel yang mengandung partikel virus akan bergabung dengan membran plasma

untuk melepaskan komponen virus yang baru (6).

Pada SARS-CoV, Protein S dilaporkan sebagai determinan yang signifikan

dalam masuknya virus ke dalam sel pejamu. Telah diketahui bahwa masuknya

SARS-CoV ke dalam sel dimulai dengan fusi antara membran virus dengan plasma

membran dari sel. Pada proses ini, protein S2’ berperan penting dalam proses

pembelahan proteolitik yang memediasi terjadinya proses fusi membran (6).

Selain fusi membran, terdapat juga clathrindependent dan clathrin-independent

endocytosis yang memediasi masuknya SARS-CoV ke dalam sel pejamu. Faktor

virus dan pejamu memiliki peran dalam infeksi SARS-CoV. Efek sitopatik virus dan

kemampuannya mengalahkan respons imun menentukan keparahan infeksi.

Disregulasi sistem imun kemudian berperan dalam kerusakan jaringan pada infeksi

SARS-CoV-2. Respons imun yang tidak adekuat menyebabkan replikasi virus dan

4
kerusakan jaringan. Di sisi lain, respons imun yang berlebihan dapat menyebabkan

kerusakan jaringan (6).

Respons imun yang disebabkan oleh SARS-CoV-2 juga belum sepenuhnya

dapat dipahami, namun dapat dipelajari dari mekanisme yang ditemukan pada

SARS-CoV dan MERS-CoV. Ketika virus masuk ke dalam sel, antigen virus akan

dipresentasikan ke antigen presentation cells (APC). Presentasi antigen virus

terutama bergantung pada molekul major histocompatibility complex (MHC) kelas I.

Namun, MHC kelas II juga turut berkontribusi. Presentasi antigen selanjutnya

menstimulasi respons imunitas humoral dan selular tubuh yang dimediasi oleh sel T

dan sel B yang spesifik terhadap virus. Pada respons imun humoral terbentuk IgM

dan IgG terhadap SARS-CoV. IgM terhadap SAR-CoV hilang pada akhir minggu

ke-12 dan IgG dapat bertahan jangka panjang. Hasil penelitian terhadap pasien yang

telah sembuh dari SARS menujukkan setelah 4 tahun dapat ditemukan sel T CD4+

dan CD8+ memori yang spesifik terhadap SARS-CoV, tetapi jumlahnya menurun

secara bertahap tanpa adanya antigen (6).

Virus memiliki mekanisme untuk menghindari respons imun pejamu. SARS-

CoV dapat menginduksi produksi vesikel membran ganda yang tidak memiliki

pattern recognition receptors (PRRs) dan bereplikasi dalam vesikel tersebut sehingga

tidak dapat dikenali oleh pejamu. Jalur IFN-I juga diinhibisi oleh SARS-CoV dan

MERS-CoV. Presentasi antigen juga terhambat pada infeksi akibat MERS-CoV (6).

 Respon imun COVID 19 dengan Klinis Ringan

Respons imun yang terjadi pada pasien dengan manifestasi COVID-19

yang tidak berat tergambar dari sebuah laporan kasus di Australia. Pada pasien

tersebut didapatkan peningkatan sel T CD38+HLA-DR+ (sel T teraktivasi),

terutama sel T CD8 pada hari ke 7-9. Selain itu didapatkan peningkatan

5
antibody secreting cells (ASCs) dan sel T helper folikuler di darah pada hari

ke-7, tiga hari sebelum resolusi gejala. Peningkatan IgM/IgG SARS-CoV-2

secara progresif juga ditemukan dari hari ke-7 hingga hari ke-20. Perubahan

imunologi tersebut bertahan hingga 7 hari setelah gejala beresolusi. Ditemukan

pula penurunan monosit CD16+CD14+ dibandingkan kontrol sehat. Sel

natural killer (NK) HLA-DR+CD3-CD56+ yang teraktivasi dan monocyte

chemoattractant protein-1 (MCP-1; CCL2) juga ditemukan menurun, namun

kadarnya sama dengan kontrol sehat. Pada pasien dengan manifestasi COVID-

19 yang tidak berat ini tidak ditemukan peningkatan kemokin dan sitokin

proinflamasi, meskipun pada saat bergejala (6).

 Respon imun COVID 19 dengan Klinis Berat

Perbedaan profil imunologi antara kasus COVID-19 ringan dengan

berat bisa dilihat dari suatu penelitian di China. Penelitian tersebut

mendapatkan hitung limfosit yang lebih rendah, leukosit dan rasio neutrofil-

limfosit yang lebih tinggi, serta persentase monosit, eosinofil, dan basofil yang

lebih rendah pada kasus COVID-19 yang berat. Sitokin proinflamasi yaitu

TNF-α, IL-1 dan IL-6 serta IL-8 dan penanda infeksi seperti prokalsitonin,

ferritin dan C-reactive protein juga didapatkan lebih tinggi pada kasus dengan

klinis berat. Sel T helper, T supresor, dan T regulator ditemukan menurun pada

pasien COVID-19 dengan kadar T helper dan T regulator yang lebih rendah

pada kasus berat. Laporan kasus lain pada pasien COVID-19 dengan ARDS

juga menunjukkan penurunan limfosit T CD4 dan CD8. Limfosit CD4 dan

CD8 tersebut berada dalam status hiperaktivasi yang ditandai dengan tingginya

proporsi fraksi HLA-DR+CD38+. Limfosit T CD8 didapatkan mengandung

granula sitotoksik dalam konsentrasi tinggi (31,6% positif perforin, 64,2%

6
positif granulisin, dan 30,5% positif granulisin dan perforin). Selain itu

ditemukan pula peningkatan konsentrasi Th17 CCR6+ yang proinflamasi.

 Covid 19 induced ARDS

ARDS merupakan penyebab utama kematian pada pasien COVID-19.

Penyebab terjadinya ARDS pada infeksi SARS-CoV-2 adalah badai sitokin,

yaitu respons inflamasi sistemik yang tidak terkontrol akibat pelepasan sitokin

proinflamasi dalam jumlah besar ( IFN-α, IFN-γ, IL-1β, IL-2, IL-6, IL-7, IL-

10 IL-12, IL-18, IL-33, TNF-α, dan TGFβ) serta kemokin dalam jumlah besar

(CCL2, CCL3, CCL5, CXCL8, CXCL9, dan CXCL10). Granulocyte-colony

stimulating factor, interferon-γinducible protein 10, monocyte chemoattractant

protein 1, dan macrophage inflammatory protein 1 alpha juga didapatkan

peningkatan. Respons imun yang berlebihan ini dapat menyebabkan kerusakan

paru dan fibrosis sehingga terjadi disabilitas fungsional (6)

2.4 Transmisi Penularan

 Transmisi kontak dan droplet

Transmisi SARS-CoV-2 dapat terjadi melalui kontak langsung, kontak

tidak langsung, atau kontak erat dengan orang yang terinfeksi melalui sekresi

7
seperti air liur dan sekresi saluran pernapasan atau droplet saluran napas yang

keluar saat orang yang terinfeksi batuk, bersin, berbicara, atau menyanyi.

Droplet saluran napas memiliki ukuran diameter > 5-10 μm sedangkan droplet

yang berukuran diameter ≤ 5 μm disebut sebagai droplet nuclei atau aerosol.

(11) Transmisi droplet saluran napas dapat terjadi ketika seseorang melakukan

kontak erat (berada dalam jarak 1 meter) dengan orang terinfeksi yang

mengalami gejala-gejala pernapasan (seperti batuk atau bersin) atau yang

sedang berbicara atau menyanyi; dalam keadaan-keadaan ini, droplet saluran

napas yang mengandung virus dapat mencapai mulut, hidung, mata orang

yang rentan dan dapat menimbulkan infeksi. Transmisi kontak tidak langsung

di mana terjadi kontak antara inang yang rentan dengan benda atau permukaan

yang terkontaminasi (8).

 Transmisi melalui udara

Transmisi melalui udara didefinisikan sebagai penyebaran agen

infeksius yang diakibatkan oleh penyebaran droplet nuclei (aerosol) yang

tetap infeksius saat melayang di udara dan bergerak hingga jarak yang jauh.

Transmisi SARS-CoV-2 melalui udara dapat terjadi selama pelaksanaan

prosedur medis yang menghasilkan aerosol (“prosedur yang menghasilkan

aerosol”). WHO, bersama dengan kalangan ilmuwan, terus secara aktif

mendiskusikan dan mengevaluasi apakah SARS-CoV-2 juga dapat menyebar

melalui aerosol, di mana prosedur yang menghasilkan aerosol tidak

dilakukan terutama di tempat dalam ruangan dengan ventilasi yang buruk (8).

Pemahaman akan fisika embusan udara dan fisika aliran udara telah

menghasilkan hipotesis-hipotesis tentang kemungkinan mekanisme transmisi

SARS-CoV-2 melalui aerosol. Hipotesis-hipotesis ini mengindikasikan

8
bahwa 1) sejumlah droplet saluran napas menghasilkan aerosol (<5 µm)

melalui penguapan dan 2) proses normal bernapas dan berbicara

menghasilkan aerosol yang diembuskan. Karena itu, orang yang rentan dapat

menghirup aerosol dan dapat menjadi terinfeksi jika aerosol tersebut

mengandung virus dalam jumlah yang cukup untuk menyebabkan infeksi

pada orang yang menghirupnya. Namun, proporsi droplet nuclei yang

diembuskan atau proporsi droplet saluran napas yang menguap dan

menghasilkan aerosol, serta dosis SARS-CoV-2 hidup yang diperlukan untuk

menyebabkan infeksi pada orang lain tidak diketahui, sedangkan untuk kasus

virus-virus saluran pernapasan lain proporsi dan dosis ini telah diteliti (8).

Suatu penelitian eksperimen mengukur jumlah droplet berbagai

ukuran yang tetap melayang di udara (airborne) selama kegiatan berbicara

biasa. Namun, para penulisnya mengakui bahwa pengukuran ini merupakan

hipotesis aksi independen (independent action hypothesis), yang belum

divalidasi untuk manusia dan SARS-CoV-2. Sebuah model eksperimen lain

menemukan bahwa orang yang sehat dapat menghasilkan aerosol dengan

cara batuk dan berbicara, dan sebuah model lain mengindikasikan angka

emisi partikel oleh setiap orang saat berbicara dapat sangat berbeda-beda, di

mana terdapat korelasi antara tingkat emisi yang semakin tinggi dengan

semakin tingginya amplitudo dalam menghasilkan suara. Sampai sekarang,

transmisi SARS-CoV-2 melalui rute aerosol jenis ini belum

didemonstrasikan dan perlu lebih diteliti karena kemungkinan implikasi-

implikasi dari rute transmisi ini (8).

Salah satu penelitian eksperimental yang menghasilkan sampel

aerosol infeksius menggunakan nebulisator jet berdaya tinggi dalam kondisi

9
laboratorium yang terkontrol menemukan adanya RNA virus SARS-CoV-2

di dalam aerosol pada sampel udara yang bertahan hingga 3 jam. Penelitian

sejenis lain menemukan RNA virus ini bertahan hingga 16 jam dan

menemukan virus hidup yang dapat bereplikasi. Temuan-temuan ini berasal

dari aerosol hasil eksperimen yang tidak mewakili kondisi batuk biasa pada

manusia (8).

Beberapa penelitian yang dilakukan di tempat pelayanan kesehatan di

mana pasien COVID-19 dirawat, tetapi yang tidak menjalankan prosedur

yang menghasilkan aerosol, melaporkan adanya RNA SARS-CoV-2 di

sampel udara, sedangkan penelitian-penelitian lain di tempat pelayanan

kesehatan dan bukan tempat pelayanan kesehatan tidak menemukan

keberadaan RNA SARS-CoV-2; tidak ada penelitian yang menemukan virus

hidup (viable) di sampel udara. Pada sampel di mana RNA SARS-CoV-2

ditemukan, jumlah RNA yang terdeteksi berjumlah sangat sedikit di dalam

volume udara yang besar, dan sebuah penelitian yang menemukan RNA

SARS-CoV-2 di sampel udara melaporkan tidak dapat mengidentifikasi virus

yang hidup. Deteksi RNA menggunakan asai berbasis reverse transcription

polymerase chain reaction (RT-PCR) tidak selalu mengindikasikan virus

mampu bereplikasi dan menginfeksi (viable) yang dapat menyebar dan

menyebabkan infeksi (8).

Laporan-laporan klinis baru di mana tenaga kesehatan yang terpapar

kasus indeks COVID-19 di mana prosedur yang menghasilkan aerosol

dilakukan tidak menemukan transmisi nosokomial jika kewaspadaan kontak

dan droplet digunakan secara tepat, seperti mengenakan masker medis

sebagai bagian dari alat pelindung diri (APD), Pengamatan-pengamatan ini

10
mengindikasikan bahwa di dalam konteks ini tidak terjadi transmisi aerosol.

Untuk menentukan apakah SARS-CoV-2 yang hidup dapat terdeteksi di

sampel udara di tempat-tempat di mana dijalankan prosedur yang

menghasilkan aerosol dan peran aerosol dalam transmisi, diperlukan

penelitian lebih lanjut (8).

Di luar fasilitas medis, beberapa laporan kejadian luar biasa (KLB)

terkait tempat dalam ruangan yang padat mengindikasikan kemungkinan

transmisi aerosol, yang disertai transmisi droplet, misalnya pada saat latihan

paduan suara, di restoran, atau kelas kebugaran. Dalam kejadian-kejadian ini,

kemungkinan terjadinya transmisi aerosol dalam jarak dekat, terutama di

lokasi- lokasi dalam ruangan tertentu seperti ruang yang padat dan tidak

berventilasi cukup di mana orang yang terinfeksi berada dalam waktu yang

lama, tidak dapat dikesampingkan. Namun, penelitian yang yang lebih

terperinci terhadap klaster-klaster ini mengindikasikan bahwa transmisi

droplet dan fomit juga dapat menjadi penyebab transmisi orang ke orang di

dalam klaster-klaster tersebut. Lebih lanjut lagi, lingkungan kontak erat

dalam klaster-klaster ini dapat memfasilitasi transmisi dari sejumlah kecil

kasus kepada orang-orang lain (kejadian penyebaran super), terutama jika

kebersihan tangan tidak dijaga, masker tidak digunakan, dan penjagaan jarak

fisik tidak dilakukan (8).

 Transmisi fomit

Sekresi saluran pernapasan atau droplet yang dikeluarkan oleh orang

yang terinfeksi dapat mengontaminasi permukaan dan benda, sehingga

terbentuk fomit (permukaan yang terkontaminasi). Virus dan/atau SARS-

CoV-2 yang hidup dan terdeteksi melalui RT- PCR dapat ditemui di

11
permukaan-permukaan tersebut selama berjam-jam hingga berhari-hari,

tergantung lingkungan sekitarnya (termasuk suhu dan kelembapan) dan jenis

permukaan. Konsentrasi virus dan/atau RNA ini lebih tinggi di fasilitas

pelayanan kesehatan di mana pasien COVID-19 diobati. Karena itu, transmisi

juga dapat terjadi secara tidak langsung melalui lingkungan sekitar atau

benda-benda yang terkontaminasi virus dari orang yang terinfeksi (misalnya,

stetoskop atau termometer), yang dilanjutkan dengan sentuhan pada mulut,

hidung, atau mata (8).

Meskipun terdapat bukti-bukti yang konsisten atas kontaminasi

SARS-CoV-2 pada permukaan dan bertahannya virus ini pada permukaan-

permukaan tertentu, tidak ada laporan spesifik yang secara langsung

mendemonstrasikan penularan fomit. Orang yang berkontak dengan

permukaan yang mungkin infeksius sering kali juga berkontak erat dengan

orang yang infeksius, sehingga transmisi droplet saluran napas dan transmisi

fomit sulit dibedakan. Namun, transmisi fomit dipandang sebagai moda

transmisi SARS-CoV-2 yang mungkin karena adanya temuan-temuan yang

konsisten mengenai kontaminasi lingkungan sekitar kasus-kasus yang

terinfeksi dan karena transmisi jenis-jenis coronavirus lain dan virus-virus

saluran pernapasan lain dapat terjadi dengan cara ini (8).

 Transmisi lainnya

RNA SARS-CoV-2 juga telah dideteksi di sampel-sampel biologis,

termasuk urine dan feses beberapa pasien. Sebuah penelitian menemukan

SARS-CoV-2 hidup di urine seorang pasien. Tiga penelitian mengulturkan

SARS-CoV-2 dari spesimen feses. Namun, hingga saat ini belum ada laporan

yang diterbitkan tentang transmisi SARS-CoV-2 melalui feses atau urine (8).

12
Beberapa penelitian melaporkan deteksi RNA SARS-CoV-2 di

dalam plasma atau serum darah; virus ini dapat bereplikasi di sel darah.

Namun, peran transmisi melalui darah masih belum dipastikan; dan

rendahnya konsentrasi virus di plasma dan serum mengindikasikan bahwa

risiko transmisi melalui rute ini mungkin rendah. Saat ini, belum ada bukti

terjadinya transmisi intrauterin SARS-CoV-2 dari ibu hamil yang terinfeksi

kepada fetusnya, tetapi data masih terbatas. Baru-baru ini WHO menerbitkan

pernyataan keilmuan tentang menyusui dan COVID-19. Pernyataan ini

menjelaskan bahwa fragmen-fragmen RNA ditemukan melalui tes RT-PCR

di sejumlah kecil sampel air susu ibu dari ibu yang terinfeksi SARS-CoV-2,

tetapi penelitian-penelitian yang menyelidiki apakah virus ini dapat diisolasi

tidak menemukan virus yang hidup. Transmisi SARS-CoV-2 dari ibu ke anak

memerlukan virus yang dapat bereplikasi dan infeksius di dalam air susu ibu

yang dapat mencapai situs sasaran pada bayi dan juga mengalahkan sistem

pertahanan bayi. WHO merekomendasikan agar para ibu yang suspek atau

terkonfirmasi COVID-19 didorong untuk mulai atau lanjut menyusui (8).

Bukti sampai saat ini menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 paling

mirip dengan betacoronavirus pada kelelawar yang diketahui; peran inang

perantara dalam memfasilitasi transmisi pada kasus-kasus manusia paling

awal yang diketahui masih belum jelas. Selain penelitian tentang

kemungkinan inang(-inang) perantara SARS-CoV-2, sejumlah penelitian

sedang dilakukan untuk lebih memahami kerentanan mamalia, termasuk

anjing, kucing, dan cerpelai ternak. Namun, masih belum jelas apakah

mamalia-mamalia ini jika terinfeksi memberikan risiko transmisi ke manusia

yang signifikan (8).

13
2.5 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pasien COVID-19 memiliki spektrum yang luas, mulai dari

tanpa gejala (asimtomatik), gejala ringan, pneumonia, pneumonia berat, ARDS,

sepsis, hingga syok sepsis. Sekitar 80% kasus tergolong ringan atau sedang, 13,8%

mengalami sakit berat, dan sebanyak 6,1% pasien jatuh ke dalam keadaan kritis.

Berapa besar proporsi infeksi asimtomatik belum diketahui. Viremia dan viral load

yang tinggi dari swab nasofaring pada pasien yang asimptomatik telah dilaporkan.

Gejala ringan didefinisikan sebagai pasien dengan infeksi akut saluran napas atas

tanpa komplikasi, bisa disertai dengan demam, fatigue, batuk (dengan atau tanpa

sputum), anoreksia, malaise, nyeri tenggorokan, kongesti nasal, atau sakit kepala.

Pasien tidak membutuhkan suplementasi oksigen. Pada beberapa kasus pasien juga

mengeluhkan diare dan muntah (6).

Pasien COVID-19 dengan pneumonia berat ditandai dengan demam,

ditambah salah satu dari gejala: (1) frekuensi pernapasan >30x/menit (2) distres

pernapasan berat, atau (3) saturasi oksigen 93% tanpa bantuan oksigen. Pada pasien

geriatri dapat muncul gejala-gejala yang atipikal. Sebagian besar pasien yang

terinfeksi SARS-CoV-2 menunjukkan gejala-gejala pada sistem pernapasan seperti

demam, batuk, bersin, dan sesak napas. Berdasarkan data 55.924 kasus, gejala

tersering adalah demam, batuk kering, dan fatigue. Gejala lain yang dapat ditemukan

adalah batuk produktif, sesak napas, sakit tenggorokan, nyeri kepala,

mialgia/artralgia, menggigil, mual/muntah, kongesti nasal, diare, nyeri abdomen,

hemoptisis, dan kongesti konjungtiva (6).

Lebih dari 40% demam pada pasien COVID-19 memiliki suhu puncak antara

38,1-39°C, sementara 34% mengalami demam suhu lebih dari 39°C. Perjalanan

penyakit dimulai dengan masa inkubasi yang lamanya sekitar 3-14 hari (median 5

14
hari). Pada masa ini leukosit dan limfosit masih normal atau sedikit menurun dan

pasien tidak bergejala. Pada fase berikutnya (gejala awal), virus menyebar melalui

aliran darah, diduga terutama pada jaringan yang mengekspresi ACE2 seperti paru-

paru, saluran cerna dan jantung. Gejala pada fase ini umumnya ringan. Serangan

kedua terjadi empat hingga tujuh hari setelah timbul gejala awal. Pada saat ini pasien

masih demam dan mulai sesak, lesi di paru memburuk, limfosit menurun. Penanda

inflamasi mulai meningkat dan mulai terjadi hiperkoagulasi. Jika tidak teratasi, fase

selanjutnya inflamasi makin tak terkontrol, terjadi badai sitokin yang mengakibatkan

ARDS, sepsis, dan komplikasi lainnya (6).

Gambar 1 : perjalanan Penyakit dan gejala COVID 19 (6)

Gejala klinis yang melibatkan saluran pencernaan juga dilaporkan oleh Kumar

dkk. (2020). Sakit abdominal merupakan indikator keparahan pasien dengan infeksi

COVID-19. Sebanyak 2,7% pasien mengalami sakit abdominal, 7,8% pasien

mengalami diare, 5,6% pasien mengalami mual dan/atau muntah. Manifestasi

neurologis pada pasien Covid-19 harus senantiasa dipertimbangkan. Meskipun

15
manifestasi neurologis tersebut merupakan presentasi awal. Virus Corona dapat

masuk pada sel yang mengekspresikan ACE2, yang juga diekspresikan oleh sel

neuron dan sel glial (7).

Pada penelitian didapatkan seorang pasien wanita 78 tahun terkonfirmasi

Covid-19mengalami focal status epilepticus sebagai presentasi awal. Pasien

memiliki riwayat status epileptikus pada dua tahun sebelumnya, akan tetapi pasien

rutin diterapi dengan asam valproat dan levetiracetam dan bebas kejang selama lebih

dari dua tahun. Tidak ada gejala saluran pernapasan seperti pneumonia dan pasien

tidak membutuhkan terapi oksigen. Sebuah penelitian juga menunjukkan manifestasi

neurologis pada pasien terkonfirmasi Covid-19 yaitu status epileptikus pada pasien

lelaki usia 8 tahun dengan riwayat ADHD, motor tic, dan riwayat kejang

sebelumnya. CT toraks pada pasien dengan Covid-19 pada umumnya

memperlihatkan opasifikasi groundglass dengan atau tanpa gabungan abnormalitas.

CT toraks mengalami abnormalitas bilateral, distribusi perifer, dan melibatkan lobus

bawah. Penebalan pleural, efusi pleura, dan limfadenopati merupakan penemuan

yang jarang didapatkan. Individu yang terinfeksi namun tanpa gejala dapat menjadi

sumber penularan SARS-CoV-2 dan beberapa diantaranya mengalami progres yang

cepat, bahkan dapat berakhir pada ARDS dengan case fatality rate tinggi (7).

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa dari 58 pasien tanpa gejala yang dites

positif Covid19 pada saat masuk RS, seluruhnya memiliki gambaran CT-Scan toraks

abnormal. Penemuan tersebut berupa gambaran opasitas ground-glass dengan

distribusi perifer, lokasi unilateral, dan paling sering mengenai dua lobus paru.

Setelah follow up dalam jangka waktu singkat, 27,6% pasien yang sebelumnya

asimptomatik mulai menunjukkan gejala berupa demam, batuk, dan fatigue.

Leukopenia ditemukan sebagai abnormalitas yang paling sering terjadi. Dditemukan

16
hitung sel darah putih kurang dari 4x109 /L pada 25% pasien, serta limfositopenia

pada 63% pasien dengan hitung limfosit kurang dari 1x109 /L dan juga menemukan

leukopenia pada 33,7% pasien, limfositopenia pada 83,2% pasien, dan

trombositopenia pada 36,2% pasien. Dilaporkan kasus trombositopenia berat yang

muncul pada masa perawatan pasien Covid-19. Dengan trombositopenia yang terjadi

pada 16 dari 194 pasien dan hitung platelet pada 3 dari 16 pasien tersebut kurang

dari 50.000/mm3 (7) .

2.6 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan

penunjang. Anamnesis terutama gambaran riwayat perjalanan atau riwayat kontak

erat dengan kasus terkonfirmasi atau bekerja di fasyankes yang merawat pasien

infeksi COVID-19 atau berada dalam satu rumah atau lingkungan dengan pasien

terkonfirmasi COVID-19 disertai gejala klinis dan komorbid (5).

Pemeriksaan penunjang

 Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium lain seperti hematologi rutin, hitung jenis,

fungsi ginjal, elektrolit, analisis gas darah, hemostasis, laktat, dan

prokalsitonin dapat dikerjakan sesuai dengan indikasi. Trombositopenia juga

kadang dijumpai, sehingga kadang diduga sebagai pasien dengue. Di

Singapura melaporkan adanya pasien positif palsu serologi dengue, yang

kemudian diketahui positif COVID-19. Karena gejala awal COVID-19 tidak

khas, hal ini harus diwaspadai (6).

 Pencitraan

Modalitas pencitraan utama yang menjadi pilihan adalah foto toraks

dan Computed Tomography Scan (CTscan) toraks. Pada foto toraks dapat

17
ditemukan gambaran seperti opasifikasi ground-glass, infiltrat, penebalan

peribronkial, konsolidasi fokal, efusi pleura, dan atelectasis, seperti terlihat

pada Gambar 2. Foto toraks kurang sensitif dibandingkan CT scan, karena

sekitar 40% kasus tidak ditemukan kelainan pada foto toraks.Studi dengan

USG toraks menunjukkan pola B yang difus sebagai temuan utama.

Konsolidasi subpleural posterior juga ditemukan walaupun jarang. Studi lain

mencoba menggunakan 18F-FDG PET/CT, namun dianggap kurang praktis

untuk praktik sehari-hari. Berdasarkan telaah sistematis oleh Salehi, dkk.

temuan utama pada CT scan toraks adalah opasifikasi ground-glass (88%),

dengan atau tanpa konsolidasi, sesuai dengan pneumonia viral. Keterlibatan

paru cenderung bilateral (87,5%), multilobular (78,8%), lebih sering pada

lobus inferior dengan distribusi lebih perifer (76%). Penebalan septum,

penebalan pleura, bronkiektasis, dan keterlibatan pada subpleural tidak banyak

ditemukan. Gambar 3 menunjukkan contoh gambaran CT scan toraks pada

pasien COVID-19. Gambaran CT scan yang lebih jarang ditemukan yaitu

efusi pleura, efusi perikardium, limfadenopati, kavitas, CT halo sign, dan

pneumotoraks. Walaupun gambaran-gambaran tersebut bersifat jarang, namun

bisa saja ditemui seiring dengan progresivitas penyakit. Studi ini juga

melaporkan bahwa pasien di atas 50 tahun lebih sering memiliki gambaran

konsolidasi. Gambaran CT scan dipengaruhi oleh perjalanan klinis:(6)

i. Pasien asimtomatis: cenderung unilateral, multifokal, predominan

gambaran ground-glass. Penebalan septum interlobularis, efusi pleura,

dan limfadenopati jarang ditemukan.

ii. Satu minggu sejak onset gejala: lesi bilateral dan difus, predominan

gambaran ground-glass. Efusi pleura 5%, limfadenopati 10%.

18
iii. Dua minggu sejak onset gejala: masih predominan gambaran ground-

glass, namun mulai terdeteksi konsolidasi

iv. Tiga minggu sejak onset gejala: predominan gambaran ground-glass

dan pola retikular. Dapat ditemukan bronkiektasis, penebalan pleura,

efusi pleura, dan limfadenopati.

Gambar 2 (6)

Gambar 3 (6)

19
 Pemeriksaan diagnostic

i. Pemeriksaan antigen-antibody

Ada beberapa perusahaan yang mengklaim telah mengembangkan

uji serologi untuk SARS-CoV-2, namun hingga saat ini belum banyak

artikel hasil penelitian alat uji serologi yang dipublikasi. Salah satu

kesulitan utama dalam melakukan uji diagnostik tes cepat yang sahih

adalah memastikan negatif palsu, karena angka deteksi virus pada rRT-

PCR sebagai baku emas tidak ideal. Selain itu, perlu mempertimbangkan

onset paparan dan durasi gejala sebelum memutuskan pemeriksaan

serologi. IgM dan IgA dilaporkan terdeteksi mulai hari 3-6 setelah onset

gejala, sementara IgG mulai hari 10-18 setelah onset gejala. Pemeriksaan

jenis ini tidak direkomendasikan WHO sebagai dasar diagnosis utama.

Pasien negatif serologi masih perlu observasi dan diperiksa ulang bila

dianggap ada faktor risiko tertular (6).

ii. Pemeriksaan virologi

Saat ini WHO merekomendasikan pemeriksaan molekuler untuk

seluruh pasien yang termasuk dalam kategori suspek. Pemeriksaan pada

individu yang tidak memenuhi kriteria suspek atau asimtomatis juga

boleh dikerjakan dengan mempertimbangkan aspek epidemiologi,

protokol skrining setempat, dan ketersediaan alat. Pengerjaan

pemeriksaan molekuler membutuhkan fasilitas dengan biosafety level 2

(BSL-2), sementara untuk kultur minimal BSL-3. Kultur virus tidak

direkomendasikan untuk diagnosis rutin (6).

Metode yang dianjurkan untuk deteksi virus adalah amplifikasi

asam nukleat dengan real-time reversetranscription polymerase chain

20
reaction (rRTPCR) dan dengan sequencing. Sampel dikatakan positif

(konfirmasi SARS-CoV-2) bila rRT-PCR positif pada minimal dua

target genom (N, E, S, atau RdRP) yang spesifik SARSCoV-2; ATAU

rRT-PCR positif betacoronavirus, ditunjang dengan hasil sequencing

sebagian atau seluruh genom virus yang sesuai dengan SARS-CoV-2 (6).

Berbeda dengan WHO, CDC sendiri saat ini hanya menggunakan

primer N dan RP untuk diagnosis molekuler. Food and Drug

Administration (FDA) Amerika Serikat juga telah menyetujui

penggunaan tes cepat molekuler berbasis GenXpert® yang diberi nama

Xpert® Xpress SARS-CoV-2.78 Perusahaan lain juga sedang

mengembangkan teknologi serupa. Tes cepat molekuler lebih mudah

dikerjakan dan lebih cepat karena prosesnya otomatis sehingga sangat

membantu mempercepat deteksi (6).

Hasil negatif palsu pada tes virologi dapat terjadi bila kualitas

pengambilan atau manajemen spesimen buruk, spesimen diambil saat

infeksi masih sangat dini, atau gangguan teknis di laboratorium. Oleh

karena itu, hasil negatif tidak menyingkirkan kemungkinan infeksi

SARSCoV-2, terutama pada pasien dengan indeks kecurigaan yang

tinggi (6).

iii. Pengambilan Spesimen

WHO merekomendasikan pengambilan spesimen pada dua lokasi,

yaitu dari saluran napas atas (swab nasofaring atau orofaring) atau

saluran napas bawah [sputum, bronchoalveolar lavage (BAL), atau

aspirat endotrakeal]. Sampel diambil selama 2 hari berturut turut untuk

PDP dan ODP, boleh diambil sampel tambahan bila ada perburukan

21
klinis. Pada kontak erat risiko tinggi, sampel diambil pada hari 1 dan hari

14 (6).

Pada penelitian Zou (9) melaporkan deteksi virus pada hari ketujuh

setelah kontak pada pasien asimtomatis dan deteksi virus di hari pertama

onset pada pasien dengan gejala demam. Titer virus lebih tinggi pada

sampel nasofaring dibandingkan orofaring. Studi lain melaporkan titer

virus dari sampel swab dan sputum memuncak pada hari 4-6 sejak onset

gejala (10). Bronkoskopi untuk mendapatkan sampel BAL merupakan

metode pengambilan sampel dengan tingkat deteksi paling baik (11).

Induksi sputum juga mampu meningkatkan deteksi virus pada pasien

yang negatif SARS-CoV-2 melalui swab nasofaring/orofaring. Namun,

tindakan ini tidak direkomendasikan rutin karena risiko aerosolisasi virus

(12). Sampel darah, urin, maupun feses untuk pemeriksaan virologi

belum direkomendasikan rutin dan masih belum dianggap bermanfaat

dalam praktek di lapangan. Virus hanya terdeteksi pada sekitar (6).

2.7 Tatalaksana

Berdasarkan pedoman tatalaksana COVID 19 bergantung pada derajat yang diderita

oleh pasien.

1. Tanpa Gejala

A. Isolasi dan Pemanatauan

 Isolasi mandiri di rumah selama 10 hari sejak pengambilan spesimen

diagnosis konfirmasi, baik isolasi mandiri di rumah maupun di fasilitas

publik yang dipersiapkan pemerintah.

 Pasien dipantau melalui telepon oleh petugas FasilitasKesehatan Tingkat

Pertama (FKTP)

22
 Kontrol di FKTP terdekat setelah 10 hari karantina untuk pemantauan klinis

B. Non-Farmakologis

Berikan edukasi terkait tindakan yang perlu dikerjakan (leaflet untuk dibawa

ke rumah):

 Pasien :

o Selalu menggunakan masker jika keluar kamar dan saat berinteraksi

dengan anggota keluarga

o Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau hand sanitizer

sesering mungkin.

o Jaga jarak dengan keluarga (physical distancing)

o Upayakan kamar tidur sendiri / terpisah

o Menerapkan etika batuk (Diajarkan oleh tenaga medis

o Alat makan-minum segera dicuci dengan air/sabun

o Berjemur matahari minimal sekitar 10-15 menit setiap harinya

(sebelum jam 9 pagi dan setelah jam 3 sore).

o Pakaian yg telah dipakai sebaiknya dimasukkan dalam kantong

plastik / wadah tertutup yang terpisah dengan pakaian kotor

keluarga yang lainnya sebelum dicuci dan segera dimasukkan mesin

cuci

o Ukur dan catat suhu tubuh 2 kali sehari (pagi dan malam hari)

o Segera beri informasi ke petugas pemantau/FKTP atau keluarga jika

terjadi peningkatan suhu tubuh > 38oC

 Lingkungan/kamar:

o Perhatikan ventilasi, cahaya dan udara

23
o Membuka jendela kamar secara berkala

o Bila memungkinkan menggunakan APD saat membersihkan kamar

(setidaknya masker, dan bila memungkinkan sarung tangan dan

goggle).

o Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau hand sanitizer

sesering mungkin.

o Bersihkan kamar setiap hari , bisa dengan air sabun atau bahan

desinfektan lainnya

 Keluarga:

o Bagi anggota keluarga yang berkontak erat dengan pasien sebaiknya

memeriksakan diri ke FKTP/Rumah Sakit.

o Anggota keluarga senanitasa pakai masker

o Jaga jarak minimal 1 meter dari pasien

o Senantiasa mencuci tangan

o Jangan sentuh daerah wajah kalau tidak yakin tangan bersih

o Ingat senantiasa membuka jendela rumah agar sirkulasi udara

tertukar

o Bersihkan sesering mungkin daerah yg mungkin tersentuh pasien

misalnya gagang pintu dll

C. Farmakologi

 Bila terdapat penyakit penyerta / komorbid, dianjurkan untuk tetap

melanjutkan pengobatan yang rutin dikonsumsi. Apabila pasien rutin

meminum terapi obat antihipertensi dengan golongan obat ACE-inhibitor

dan Angiotensin Reseptor Blocker perlu berkonsultasi ke Dokter Spesialis

Penyakit Dalam atau Dokter Spesialis Jantung

24
 Vitamin C (untuk 14 hari), dengan pilihan ;

 Tablet Vitamin C non acidic 500 mg/6-8 jam oral (untuk 14 hari)

 Tablet isap vitamin C 500 mg/12 jam oral (selama 30 hari)

 Multivitamin yang mengandung vitamin C 1-2 tablet /24 jam (selama

30 hari), dianjurkan multivitamin yang mengandung vitamin C,B, E,

Zink

 Vitamin D

 Suplemen: 400 IU-1000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet, kapsul,

tablet effervescent, tablet kunyah, tablet hisap, kapsul lunak, serbuk,

sirup)

 Obat: 1000-5000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet 1000 IU dan

tablet kunyah 5000 IU)

 Obat-obatan suportif baik tradisional (Fitofarmaka) maupun Obat Modern

Asli Indonesia (OMAI) yang teregistrasi di BPOM dapat dipertimbangkan

untuk diberikan namun dengan tetap memperhatikan perkembangan kondisi

klinis pasien.

 Obat-obatan yang memiliki sifat antioksidan dapat diberikan.

2. Gejala Ringan

A. Isolasi dan Pemantauan

 Isolasi mandiri di rumah/ fasilitas karantina selama maksimal 10 hari

sejak muncul gejala ditambah 3 hari bebas gejala demam dan gangguan

pernapasan. Jika gejala lebih dari 10 hari, maka isolasi dilanjutkan

hingga gejala hilang ditambah dengan 3 hari bebas gejala. Isolasi dapat

dilakukan mandiri di rumah maupun di fasilitas publik yang

dipersiapkan pemerintah.

25
 Petugas FKTP diharapkan proaktif melakukan pemantauan kondisi

pasien.

 Setelah melewati masa isolasi pasien akan kontrol ke FKTP terdekat.

B. Non Farmakologis

 Edukasi terkait tindakan yang harus dilakukan (sama dengan edukasi

tanpa gejala).

C. Farmakologis

 Vitamin C dengan pilihan:

o Tablet Vitamin C non acidic 500 mg/6-8 jam oral (untuk 14 hari)

o Tablet isap vitamin C 500 mg/12 jam oral (selama 30 hari)

o Multivitamin yang mengandung vitamin c 1-2 tablet /24 jam (selama

30 hari), Dianjurkan vitamin yang komposisi mengandung vitamin C,

B, E, zink

 Vitamin D

o Suplemen: 400 IU-1000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet, kapsul,

tablet effervescent, tablet kunyah, tablet hisap, kapsul lunak, serbuk,

sirup)

o Obat: 1000-5000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet 1000 IU dan

tablet kunyah 5000 IU)

o Azitromisin 1 x 500 mg perhari selama 5 hari

 Antivirus :

o Oseltamivir (Tamiflu) 75 mg/12 jam/oral selama 5-7 hari (terutama

bila diduga ada infeksi influenza), ATAU

o Favipiravir (Avigan sediaan 200 mg) loading dose 1600 mg/12

jam/oral hari ke-1 dan selanjutnya 2 x 600 mg (hari ke 2-5)

26
o Pengobatan simtomatis seperti parasetamol bila demam.

o Obat-obatan suportif baik tradisional (Fitofarmaka) maupun Obat

Modern Asli Indonesia (OMAI) yang teregistrasi di BPOM dapat

dipertimbangkan untuk diberikan namun dengan tetap memperhatikan

perkembangan kondisi klinis pasien.

o Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada

3. Gejala Sedang

A. Isolasi dan Pemantauan

 Rujuk ke Rumah Sakit ke Ruang Perawatan COVID-19/ Rumah Sakit

Darurat COVID-19

 Isolasi di Rumah Sakit ke Ruang PerawatanCOVID-19/Rumah Sakit

Darurat COVID-19

B. Non Farmakologis

 Istirahat total, asupan kalori adekuat, kontrol elektrolit, status

hidrasi/terapi cairan, oksigen

 Pemantauan laboratorium Darah Perifer Lengkap berikut dengan hitung

jenis, bila memungkinkan ditambahkan dengan CRP, fungsi ginjal,

fungsi hati dan foto toraks secara berkala.

C. Farmakologis

 Vitamin C 200 – 400 mg/8 jam dalam 100 cc NaCl 0,9% habis dalam 1

jam diberikan secara drip Intravena (IV) selama perawatan

 Diberikan terapi farmakologis berikut:

o Azitromisin 500 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7 hari)

atau sebagai alternatif Levofloksasin dapat diberikan apabila curiga

27
ada infeksi bakteri: dosis 750 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk

5-7 hari). Ditambah

o Salah satu antivirus berikut :

o Favipiravir (Avigan sediaan 200 mg) loading dose 1600 mg/12

jam/oral hari ke-1 dan selanjutnya 2 x 600 mg (hari ke 2-5) Atau

o Remdesivir 200 mg IV drip (hari ke-1) dilanjutkan 1x100 mg IV

drip (hari ke 2-5 atau hari ke 2-10)

o Antikoagulan LMWH/UFH berdasarkan evaluasi DPJP

o Pengobatan simtomatis (Parasetamol dan lain-lain).

o Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada

4. Gejala Berat/Kritis

A. Isolasi dan Pemantauan

 Isolasi di ruang isolasi Rumah Sakit Rujukan atau rawat secara

kohorting

 Pengambilan swab untuk PCR dilakukan sesuai

B. Non Farmakologis

 Istirahat total, asupan kalori adekuat, kontrol elektrolit, status hidrasi

(terapi cairan), dan oksigen

 Pemantauan laboratorium Darah Perifer Lengkap berikut dengan hitung

jenis, bila memungkinkan ditambahkan dengan CRP, fungsi ginjal,

fungsi hati, Hemostasis, LDH, D-dimer.

 Pemeriksaan foto toraks serial bila perburukan

 Monitor tanda-tanda sebagai berikut;

 Takipnea, frekuensi napas ≥ 30x/min,

 Saturasi Oksigen dengan pulse oximetry ≤93% (dijari),

28
 PaO2/FiO2 ≤ 300 mmHg,

 Peningkatan sebanyak >50% di keterlibatan area paru-paru pada

pencitraan thoraks dalam 24-48 jam,

 Limfopenia progresif,

 Peningkatan CRP progresif,

 Asidosis laktat progresif.

 Monitor keadaan kritis

o Gagal napas yg membutuhkan ventilasi mekanik, syok atau

gagal multiorgan yang memerlukan perawatan ICU.

o Bila terjadi gagal napas disertai ARDS pertimbangkan

penggunaan ventilator mekanik

o 3 langkah yang penting dalam pencegahan perburukan

penyakit, yaitu sebagai berikut Gunakan high flow nasal

cannula (HFNC) atau non-invasive mechanical ventilation

(NIV) pada pasien dengan ARDS atau efusi paru luas. HFNC

lebih disarankan dibandingkan NIV.

o Pembatasan resusitasi cairan, terutama pada pasien dengan

edema paru.

o Posisikan pasien sadar dalam posisi tengkurap (awake prone

position).

 Terapi oksigen:

 Inisiasi terapi oksigen jika ditemukan SpO2 <93% dengan

udara bebas dengan mulai dari nasal kanul sampai NRM 15

L/menit, lalu titrasi sesuai target SpO2 92 – 96%.

29
 Tingkatkan terapi oksigen dengan menggunakan alat HFNC

(High Flow Nasal Cannula) jika tidak terjadi perbaikan klinis

dalam 1 jam atau terjadi perburukan klinis.

 Inisiasi terapi oksigen dengan alat HFNC; flow 30 L/menit,

FiO2 40% sesuai dengan kenyamanan pasien dan dapat

mempertahankan target SpO2 92 - 96%

o Tenaga kesehatan harus menggunakan respirator

(PAPR, N95).

o Titrasi flow secara bertahap 5 – 10 L/menit, diikuti

peningkatan fraksi oksigen, jika

 Frekuensi nafas masih tinggi (>35x/menit)

 Target SpO2 belum tercapai (92 – 96%)

 Work of breathing yang masih meningkat (dyspnea,

otot bantu nafas aktif)

 Kombinasi Awake Prone Position + HFNC selama

2 jam 2 kali sehari dapat memperbaiki oksigenasi

dan mengurangi kebutuhan akan intubasi pada

ARDS ringan hingga sedang.

 Evaluasi pemberian HFNC setiap 1 - 2 jam dengan

menggunakan indeks ROX.

 Jika pasien mengalami perbaikan dan mencapai

kriteria ventilasi aman (indeks ROX >4.88) pada

jam ke-2, 6, dan 12 menandakan bahwa pasien tidak

membutuhkan ventilasi invasif, sementara ROX

30
<3.85 menandakan risiko tinggi untuk kebutuhan

intubasi.

 Jika pada evaluasi (1–2 jam pertama), parameter

keberhasilan terapi oksigen dengan HFNC tidak

tercapai atau terjadi perburukan klinis pada pasien,

pertimbangkan untuk menggunakan metode

ventilasi invasif atau trial NIV.

 De-eskalasi bertahap pada penyapihan dengan

perangkat HFNC, dimulai dengan menurunkan

FiO2 5-10%/1-2 jam hingga mencapai fraksi 30%,

selanjutnya flow secara bertahap 5-10 L/1- 2 jam)

hingga mencapai 25 L.

 Pertimbangkan untuk menggunakan terapi oksigen

konvensional ketika flow 25 L/menit dan FiO2 <

30%.

Indeks ROX = (SpO2 / FiO2) / laju napas

 NIV (Noninvasif Ventilation)

 Tenaga kesehatan harus menggunakan respirator (PAPR,

N95).

 Trial NIV selama 1-2 jam sebagai bagian dari transisi terapi

oksigen

 Inisiasi terapi oksigen dengan menggunakan NIV: mode

BiPAP atau NIV + PSV, tekanan inspirasi 12-14 cmH2O,

PEEP 6-12 cmH2O. FiO2 40-60%.

31
 Titrasi tekanan inspirasi untuk mencapai target volume tidal

6-8 ml/Kg; jika pada inisiasi penggunaan NIV, dibutuhkan

total tekanan inspirasi >20 cmH2O untuk mencapai tidal

volume yg ditargetkan, pertimbangkan untuk segera

melakukan metode ventilasi invasif. (tambahkan penilaian

alternatif parameter)

 Titrasi PEEP dan FiO2 untuk mempertahankan target SpO2

92-96%.

 Evaluasi penggunaan NIV dalam 1-2 jam dengan target

parameter;

o Subjektif: keluhan dyspnea mengalami perbaikan, pasien

tidak gelisah Fisiologis: laju pernafasan <30x/menit.

Work of breathing menurun, stabilitas hemodniamik

Objektif: SpO2 92-96%, pH >7,25, PaCO2; 30 –

55mmHg, PaO2 >60 mmHg, rasio PF > 200, TV 6-8

ml/kgBB.

o Pada kasus ARDS berat, gagal organ ganda dan syok

disarankan untuk segera melakukan ventilasi invasif.

o Jika pada evaluasi (1–2 jam pertama), parameter

keberhasilan dengan NIV tidak tercapai atau terjadi

perburukan klinis pada pasien, lakukan metode ventilasi

invasif.

o Kombinasi Awake Prone Position + NIV 2 jam 2 kali

sehari dapat memperbaiki oksigenasi dan mengurangi

32
kebutuhan akan intubasi pada ARDS ringan hingga

sedang.

o NIV dan HFNC memiliki risiko terbentuknya aerosol,

sehingga jika hendak diaplikasikan, sebaiknya di

ruangan yang bertekanan negatif (atau di ruangan

dengan tekanan normal, namun pasien terisolasi dari

pasien yang lain) dengan standar APD yang lengkap.

o Bila pasien masih belum mengalami perbaikan klinis

maupun oksigenasi setelah dilakukan terapi oksigen

ataupun ventilasi mekanik non invasif, maka harus

dilakukan penilaian lebih lanjut

 Ventilasi Mekanik invasif (Ventilator)

o Tenaga kesehatan harus menggunakan respirator (PAPR,

N95).

o Menetapkan target volume tidal yang rendah (4-8

ml/kgBB), plateau pressure <30 cmH2O dan driving

pressure <15 cmH2O. RR: 18 – 25 x/menit,

o Pada ARDS sedang – berat diterapkan protokol Higher

PEEP, dengan pemantauan terjadinya barotrauma pada

penggunaan PEEP >10 cmH2O.

o Pada ARDS sedang – berat yang mengalami hipoksemia

refrakter (meski parameter ventilasi optimal), dilakukan

ventilasi pada posisi prone selama 12-16 jam per hari

o Pada ARDS sedang – berat yang mengalami kondisi;

dissinkroni antar pasien dan ventilator yang persisten,

33
plateau pressure yang tinggi secara persisten dan ventilasi

pada posisi prone yang membutuhkan sedasi yang dalam,

pemberian pelumpuh otot secara kontinyu selama 48 jam

dapat dipertimbangkan.

o Penerapan strategi terapi cairan konservatif pada kondisi

ARDS

o Penggunaan mode Airway Pressure Release Ventilation

dapat dipertimbangkan pada pemakaian ventilator.

Khusus penggunaan mode APRV ini harus di bawah

pengawasan intensivis atau dokter spesialis anestesi.

 ECMO (Extra Corporeal Membrane Oxygenation)

o Pasien COVID-19 dapat menerima terapi ECMO di RS

tipe A yang memiliki layanan dan sumber daya sendiri

untuk melakukan ECMO. Pasien COVID-19 kritis dapat

menerima terapi ECMO bila memenuhi indikasi ECMO

setelah pasien tersebut menerima terapi posisi prone

(kecuali dikontraindikasikan) dan terapi ventilator ARDS

yang maksimal menurut klinisi.

o Indikasi ECMO :

 PaO2/FiO2 <60mmHg selama >6 jam

 PaO2/FiO2 <50mmHg selama >3 jam

 pH <7,20 + Pa CO2 >80mmHg selama >6 jam

o Kontraindikasi relatif :

 Usia ≥ 65 tahun

 Obesitas BMI ≥ 40

34
 3. Status imunokompromis

 Tidak ada ijin informed consent yang sah.

 Penyakit gagal jantung sistolik kronik

 Terdapat penyebab yang berpotensi reversibel

(edema paru, sumbatan mucus bronkus,

abdominal compartment syndrome)

o Kontraindikasi absolut :

 Clinical Frailty Scale Kategori ≥ 3

 Ventilasi mekanik > 10 hari

 Adanya penyakit komorbid yang bermakna :

 Gagal ginjal kronik stage III

 Sirosis hepatis

 Demensia

 Penyakit neurologis kronis yang tidak

memungkinkan rehabilitasi.

 Keganasan metastase

 Penyakit paru tahap akhir

 diabetes tidak terkontrol dengan

disfungsi organ kronik

 Penyakit vaskular perifer berat

 Gagal organ multipel berat

 Injuri neurologik akut berat.

 Perdarahan tidak terkontrol.

 Kontraindikasi pemakaian antikoagulan.

 Dalam proses Resusitasi Jantung Paru.

35
 Komplikasi berat sering terjadi pada terapi

ECMO seperti perdarahan, stroke, pneumonia,

infeksi septikemi, gangguan metabolik hingga

mati otak.

Alur penentuan alat bantu napas mekanik

*Keterangan : Bila tidak terdapat HNFC maka pasien di intubasi dan mendapatkan

ventilasi mekanik invasive

36
Gambar 3. Alur penentuan alat bantu napas mekanik

C. Farmakologis

 Vitamin C 200 – 400 mg/8 jam dalam 100 cc NaCl 0,9% habis

dalam 1 jam diberikan secara drip Intravena (IV) selama

perawatan

 Vitamin B1 1 ampul/24 jam/intravena

 Vitamin D

 Suplemen: 400 IU-1000 IU/hari (tersedia dalam bentuk

tablet, kapsul, tablet effervescent, tablet kunyah, tablet

hisap, kapsul lunak, serbuk, sirup)

 Obat: 1000-5000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet

1000 IU dan tablet kunyah 5000 IU)

 Azitromisin 500 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5- 7 hari)

atau sebagai alternatif Levofloksasin dapat diberikan apabila

curiga ada infeksi bakteri: dosis 750 mg/24 jam per iv atau per

oral (untuk 5-7 hari).

 Bila terdapat kondisi sepsis yang diduga kuat oleh karena ko-

infeksi bakteri, pemilihan antibiotik disesuaikan dengan kondisi

klinis, fokus infeksi dan faktor risiko yang ada pada pasien.

Pemeriksaan kultur darah harus dikerjakan dan pemeriksaan

kultur sputum (dengan kehati-hatian khusus) patut

dipertimbangkan.

 Antivirus :

37
 Favipiravir (Avigan sediaan 200 mg) loading dose 1600

mg/12 jam/oral hari ke-1 dan selanjutnya 2 x 600 mg (hari

ke 2-5) Atau

 Remdesivir 200 mg IV drip (hari ke-1) dilanjutkan 1x100

mg IV drip (hari ke 2-5 atau hari ke 2-10)

 Antikoagulan LMWH/UFH berdasarkan evaluasi DPJP

 Deksametason dengan dosis 6 mg/24 jam selama 10 hari

atau kortikosteroid lain yang setara seperti hidrokortison

pada kasus berat yang mendapat terapi oksigen atau kasus

berat dengan ventilator.

 Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada

 Apabila terjadi syok, lakukan tatalaksana syok sesuai

pedoman tatalaksana syok

 Obat suportif lainnya dapat diberikan sesuai indikasi

 Pertimbangkan untuk diberikan terapi tambahan, sesuai

dengan kondisi klinis pasien dan ketersediaan di fasilitas

pelayanan kesehatan masing-masing apabila terapi standar

tidak memberikan respons perbaikan. Pemberian dengan

pertimbangan hati-hati dan melalui diskusi dengan tim

COVID-19 rumah sakit. Contohnya anti-IL 6

(tocilizumab), plasma konvalesen, IVIG atau

Mesenchymal Stem Cell (MSCs) / Sel Punca, terapi

plasma exchange (TPE) dan lain-lain.

2.8 Prognosis

38
Prognosis COVID-19 dipengaruhi banyak faktor. Studi Yang X, melaporkan

tingkat mortalitas pasien COVID-19 berat mencapai 38% dengan median lama

perawatan ICU hingga meninggal sebanyak 7 hari (16). Peningkatan kasus yang

cepat dapat membuat rumah sakit kewalahan dengan beban pasien yang tinggi. Hal

ini meningkatkan laju mortalitas di fasilitas tersebut (17). Laporan lain menyatakan

perbaikan eosinofil pada pasien yang awalnya eosinofil rendah diduga dapat menjadi

prediktor kesembuhan Reinfeksi pasien yang sudah sembuh masih kontroversial.

Studi pada hewan menyatakan kera yang sembuh tidak dapat terkena COVID-19,

tetapi telah ada laporan yang menemukan pasien kembali positif rRT-PCR dalam 5-

13 hari setelah negatif dua kali berturut-turut dan dipulangkan dari rumah sakit. Hal

ini kemungkinan karena reinfeksi atau hasil negatif palsu pada rRT-PCR saat

dipulangkan. 157 Peneliti lain juga melaporkan deteksi SARS-CoV-2 di feses pada

pasien yang sudah negatif berdasarkan swab orofaring (6).

COVID-19 sangat menular dan dapat menyebabkan penyakit penyerta yang

fatal terutama ARDS. Saat ini tidak ada perawatan khusus anti COVID-19 yang

direkomendasikan, jadi perawatan suportif itu penting. Identifikasi awal penyakit

ARDS yang terkait dengan COVID 19 akan membantu untuk mempermudah

kesembuhan dan dapat memperbaiki prognosis (2).

COVID-19 ARDS tampaknya memiliki hasil yang lebih buruk daripada

ARDS karena penyebab lain. Kematian di unit perawatan intensif dan rumah sakit

akibat ARDS tipikal adalah 35,3%. Untuk COVID-19 ARDS, kematian berkisar

antara 26 % dan 61,5% jika pernah dirawat di lingkungan perawatan kritis, dan pada

pasien yang menerima ventilasi mekanis, angka kematian dapat berkisar antara

65,7% hingga 94%. Faktor risiko untuk hasil yang buruk termasuk usia yang lebih

tua; adanya komorbiditas seperti hipertensi, penyakit kardiovaskular dan diabetes

39
mellitus; jumlah limfosit yang lebih rendah; cedera ginjal; dan menaikkan level D-

dimer. Kematian akibat COVID-19 ARDS disebabkan oleh gagal napas (53%),

gagal napas dikombinasikan dengan gagal jantung (33%), kerusakan miokard dan

kegagalan sirkulasi (7%), atau kematian karena penyebab yang tidak diketahui (15).

2.9 Komplikasi

Komplikasi utama pada pasien COVID-19 adalah ARDS, tetapi Yang, dkk.

menunjukkan data dari 52 pasien kritis bahwa komplikasi tidak terbatas ARDS,

melainkan juga komplikasi lain seperti gangguan ginjal akut (29%), jejas

kardiak (23%), disfungsi hati (29%), dan pneumotoraks (2%). Komplikasi lain

yang telah dilaporkan adalah syok sepsis, koagulasi intravaskular diseminata

(KID), rabdomiolisis, hingga pneumomediastinum (16).

2.10 Pencegahan

COVID-19 merupakan penyakit yang baru ditemukan oleh karena itu

pengetahuan terkait pencegahannya masih terbatas. Kunci pencegahan meliputi

pemutusan rantai penularan dengan isolasi, deteksi dini, dan melakukan proteksi

dasar (6)

a. Vaksin

Salah satu upaya yang sedang dikembangkan adalah pembuatan vaksin

guna membuat imunitas dan mencegah transmisi. Saat ini, sedang berlangsung 2

uji klinis fase I vaksin COVID-19. Studi pertama dari National Institute of Health

(NIH) menggunakan mRNA-1273 dengan dosis 25, 100, dan 250 µg. Studi kedua

berasal dari China menggunakan adenovirus type 5 vector dengan dosis ringan,

sedang dan tinggi (6)

b. Deteksi dini dan Isolasi

Seluruh individu yang memenuhi kriteria suspek atau pernah berkontak

40
dengan pasien yang positif COVID-19 harus segera berobat ke fasilitas

kesehatan. WHO juga sudah membuat instrumen penilaian risiko bagi petugas

kesehatan yang menangani pasien COVID-19 sebagai panduan rekomendasi

tindakan lanjutan. Bagi kelompok risiko tinggi, direkomendasikan

pemberhentian seluruh aktivitas yang berhubungan dengan pasien selama 14

hari, pemeriksaan infeksi SARS-CoV-2 dan isolasi. Pada kelompok risiko

rendah, dihimbau melaksanakan pemantuan mandiri setiap harinya terhadap

suhu dan gejala pernapasan selama 14 hari dan mencari bantuan jika keluhan

memberat.Pada tingkat masyarakat, usaha mitigasi meliputi pembatasan

berpergian dan kumpul massa pada acara besar (social distancing) (6).

c. Hygiene, cuci tangan dan disinfeksi

Rekomendasi WHO dalam menghadapi wabah COVID-19 adalah

melakukan proteksi dasar, yang terdiri dari cuci tangan secara rutin dengan

alkohol atau sabun dan air, menjaga jarak dengan seseorang yang memiliki

gejala batuk atau bersin, melakukan etika batuk atau bersin, dan berobat ketika

memiliki keluhan yang sesuai kategori suspek. Rekomendasi jarak yang harus

dijaga adalah satu meter. Pasien rawat inap dengan kecurigaan COVID-19 juga

harus diberi jarak minimal satu meter dari pasien lainnya, diberikan masker

bedah, diajarkan etika batuk/bersin, dan diajarkan cuci tangan (6).

Perilaku cuci tangan harus diterapkan oleh seluruh petugas kesehatan

pada lima waktu, yaitu sebelum menyentuh pasien, sebelum melakukan

prosedur, setelah terpajan cairan tubuh, setelah menyentuh pasien dan setelah

menyentuh lingkungan pasien. Air sering disebut sebagai pelarut universal,

namun mencuci tangan dengan air saja tidak cukup untuk menghilangkan

41
coronavirus karena virus tersebut merupakan virus RNA dengan selubung lipid

bilayer (6).

Sabun mampu mengangkat dan mengurai senyawa hidrofobik seperti

lemak atau minyak. Selain menggunakan air dan sabun, etanol 62-71% dapat

mengurangi infektivitas virus. Oleh karena itu, membersihkan tangan dapat

dilakukan dengan hand rub berbasis alkohol atau sabun dan air. Berbasis alkohol

lebih dipilih ketika secara kasat mata tangan tidak kotor sedangkan sabun dipilih

ketika tangan tampak kotor (6).

Hindari menyentuh wajah terutama bagian wajah, hidung atau mulut

dengan permukaan tangan. Ketika tangan terkontaminasi dengan virus,

menyentuh wajah dapat menjadi portal masuk. Terakhir, pastikan menggunakan

tisu satu kali pakai ketika bersin atau batukuntuk menghindari penyebaran

droplet (6).

d. Alat pelindung diri

SARS-CoV-2 menular terutama melalui droplet. Alat pelindung diri

(APD) merupakan salah satu metode efektif pencegahan penularan selama

penggunannya rasional. Komponen APD terdiri atas sarung tangan, masker

wajah, kacamata pelindung atau face shield, dan gaun nonsteril lengan panjang.

Alat pelindung diri akan efektif jika didukung dengan kontrol administratif dan

kontrol lingkungan dan teknik (6).

Penggunaan APD secara rasional dinilai berdasarkan risiko pajanan dan

dinamika transmisi dari patogen. Pada kondisi berinteraksi dengan pasien tanpa

gejala pernapasan, tidak diperlukan APD. Jika pasien memiliki gejala pernapasan,

jaga jarak minimal satu meter dan pasien dipakaikan masker. Tenaga medis

42
disarankan menggunakan APD lengkap. Alat seperti stetoskop, thermometer, dan

spigmomanometer sebaiknya disediakan khusus untuk satu pasien. Bila akan

digunakan untuk pasien lain, bersihkan dan desinfeksi dengan alcohol 70%.

World Health Organization tidak merekomendasikan penggunaan APD pada

masyarakat umum yang tidak ada gejala demam, batuk, atau sesak (6).

e. Mempersiapkan daya tahan tubuh

Terdapat beragam upaya dari berbagai literatur yang dapat memperbaiki

daya tahan tubuh terhadap infeksi saluran napas. Beberapa di antaranya adalah

berhenti merokok dan konsumsi alkohol, memperbaiki kualitas tidur, serta

konsumsi suplemen (6).

Berhenti merokok dapat menurunkan risiko infeksi saluran napas atas

dan bawah. Merokok menurunkan fungsi proteksi epitel saluran napas, makrofag

alveolus, sel dendritik, sel NK, dan sistem imun adaptif. Merokok juga dapat

meningkatkan virulensi mikroba dan resistensi antibiotika (6).

Suatu meta-analisis dan telaah sistematik menunjukkan bahwa konsumsi

alkohol berhubungan dengan peningkatan risiko pneumonia komunitas.139

ARDS juga berhubungan dengan konsumsi alkohol yang berat. Konsumsi

alkohol dapat menurunkan fungsi neutrofil, limfosit, silia saluran napas, dan

makrofag alveolus (6).

Kurang tidur juga dapat berdampak terhadap imunitas. Gangguan tidur

berhubungan dengan peningkatan kerentanan terhadap infeksi yang ditandai

dengan gangguan proliferasi mitogenik limfosit, penurunan ekspresi HLA-DR,

upregulasi CD14+, dan variasi sel limfosit T CD4+ dan CD8+ (6).

Salah satu suplemen yang didapatkan bermanfaat yaitu vitamin D. Suatu

meta-analisis dan telaah sistematik menunjukkan bahwa suplementasi vitamin D


43
dapat secara aman memproteksi terhadap infeksi saluran napas akut. Efek

proteksi tersebut lebih besar pada orang dengan kadar 25-OH vitamin D kurang

dari 25 nmol/L dan yang mengonsumsi harian atau mingguan tanpa dosis

bolus.142 Suplementasi probiotik juga dapat memengaruhi respons imun. Suatu

review Cochrane mendapatkan pemberian probiotik lebih baik dari plasebo

dalam menurunkan episode infeksi saluran napas atas akut, durasi episode

infeksi, pengunaan anitbiotika dan absensi sekolah. Namun kualitas bukti masih

rendah. Terdapat penelitian yang memiliki heterogenitas besar, besar sampel

kecil dan kualitas metode kurang baik (6).

Defisiensi seng juga berhubungan dengan penurunan respons imun. Suatu

meta-analisis tentang suplementasi seng pada anak menunjukkan bahwa

suplementasi rutin seng dapat menurunkan kejadian infeksi saluran napas bawah

akut (6).

44
BAB III

KESIMPULAN

Infeksi COVID-19 yang disebabkan virus corona baru merupakan suatu

pandemik baru dengan penyebaran antar manusia yang sangat cepat. Derajat penyakit

dapat bervariasi dari infeksi saluran napas atas hingga ARDS. Penatalaksanaan sangat

bergantung dari kondisi dan gejala klinis yang pasien alami. Prognosis COVID 19 juga

bergantung pada tingkat keparahan yang diderita.

45
DAFTAR PUSTAKA

1. Gattinoni L, Chiumello D, Rossi S. COVID-19 pneumonia: ARDS or not? Crit Care.

2020;24(1):1–3.

2. Li X, Ma X. Acute respiratory failure in COVID-19: Is it “typical” ARDS? Crit Care.

2020;24(1):1–5.

3. Wu C, Chen X, Cai Y, Xia J, Zhou X, Xu S, et al. Risk Factors Associated with Acute

Respiratory Distress Syndrome and Death in Patients with Coronavirus Disease 2019

Pneumonia in Wuhan, China. JAMA Intern Med. 2020;180(7):934–43.

4. Zhao W, Zhang J, Meadows ME, Liu Y, Hua T, Fu B. A systematic approach is

needed to contain COVID-19 globally. Sci Bull. 2020;65(11):876–8.

5. Handayani D, Rendra Hadi D, Isbaniah F, Burhan E, Agustin H. Corona virus disease

2019. J Respirologi Indones. 2020;40(2).

6. Susilo A, Rumende CM, Pitoyo CW, Santoso WD, Yulianti M, Herikurniawan H, et

al. Coronavirus Disease 2019: Tinjauan Literatur Terkini. J Penyakit Dalam Indones.

2020;7(1):45.

7. Indah Fitriani N. TINJAUAN PUSTAKA COVID-19: VIROLOGI, PATOGENESIS,

DAN MANIFESTASI KLINIS. J Med Malahayati [Internet]. 2020;4(3). Available

from:

http://journals.sagepub.com/doi/10.1177/1120700020921110%0Ahttps://doi.org/10.10

16/j.reuma.2018.06.001%0Ahttps://doi.org/10.1016/j.arth.2018.03.044%0Ahttps://read

er.elsevier.com/reader/sd/pii/S1063458420300078?

token=C039B8B13922A2079230DC9AF11A333E295FCD8

8. World Health Organization. Transmisi SARS-CoV-2: implikasi terhadap kewaspadaan

pencegahan infeksi. Pernyataan keilmuan [Internet]. 2020;1–10. Available from:

who.int

46
9. Zou L. SARS-CoV-2 Viral Load in Upper Respiratory Specimens of Infected Patients.

N Engl J Med. 2020;7–9.

10. Pan Y, Zhang D, Yang P, Poon LLM, Wang Q. Viral load of SARS-CoV-2 in clinical

samples. Lancet Infect Dis [Internet]. 2020;20(4):411–2. Available from:

http://dx.doi.org/10.1016/S1473-3099(20)30113-4

11. Wang W, Xu Y, Gao R, Lu R, Han K, Wu G, et al. Detection of SARS-CoV-2 in

Different Types of Clinical Specimens. JAMA - J Am Med Assoc.

2020;323(18):1843–4.

12. Han H, Luo Q, Mo F, Long L, Zheng W. SARS-CoV-2 RNA more readily detected in

induced sputum than in throat swabs of convalescent COVID-19 patients. Lancet

Infect Dis [Internet]. 2020;20(6):655–6. Available from:

http://dx.doi.org/10.1016/S1473-3099(20)30174-2

13. Dong L, Hu S, Gao J. Discovering drugs to treat coronavirus disease 2019 (COVID-

19). Drug Discov Ther. 2020;14(1):58–60.

14. LOMBARDIA SR. Vademecum per la cura delle persone con malattia da COVID-19.

Simit [Internet]. 2020;1–15. Available from: http://www.simit.org/medias/1569-

covid19-vademecum-13-03-202.pdf

15. Gibson PG, Qin L, Puah SH. COVID-19 acute respiratory distress syndrome (ARDS):

clinical features and differences from typical pre-COVID-19 ARDS. Med J Aust.

2020;213(2):54-56.e1.

16. Yang X, Yu Y, Xu J, Shu H, Xia J, Liu H, et al. Clinical course and outcomes of

critically ill patients with SARS-CoV-2 pneumonia in Wuhan, China: a single-

centered, retrospective, observational study. Lancet Respir Med [Internet].

2020;8(5):475–81. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/S2213-2600(20)30079-5

17. Ji Y, Ma Z, Peppelenbosch MP, Pan Q. Potential association between COVID-19

47
mortality and health-care resource availability. Lancet Glob Heal [Internet].

2020;8(4):e480. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/S2214-109X(20)30068-1

48

Anda mungkin juga menyukai