Anda di halaman 1dari 31

SATUAN BAHASAN 5

FENOMENA SOSIAL BUDAYA DALAM


PERSPEKTIF TEORI INTEGRASI

A. PENDAHULUAN
1. Gambaran Singkat Mengenai Materi Kuliah
Materi kuliah ini membahas fenomena sosial budaya dalam
perspektif teori integrasi yang berasal dari berbagai tokoh dan
bidang.

2. Pedoman Mempelajari Materi


Baca dengan baik uraian berkaitan dengan factor penyebab
lahirnya teori integrasi, unsur-unsur dalam teori integrasi, tokoh-
tokoh teori integrasi, dan perspektif teori integrasi tentang
fenomena sosial budaya.

3. Tujuan Pembelajaran
a. Mahasiswa dapat menjelaskan sejarah lahirnya teori integrasi.
b. Mahasiswa dapat menggambarkan tokoh dan pemikiran mereka
tentang teori integrasi.
c. Mahasiswa memahami dan dapat menerapkan teori integrasi
dalam membaca fenomena sosial budaya.

B. KEGIATAN BELAJAR

Pembahasan tentang perspektif teori integrasi dalam


memahami fenomena sosial budaya berikut ini, hanya

68
menyinggung tentang tiga hal, antara lain: Pertama, embrio atau
cikal bakal munculnya teori integrasi; Kedua, beberapa pandangan
teori integrasi ’mikro-makro’ Ritzers; dan Ketiga, beberapa asumsi
teori integrasi ’strukturasi’ Giddens .
 Embrio Munculnya Teori Integrasi
Ditinjau dari segi ‘analisis sosial-budaya’, para ahli ilmu sosial
membedakan menjadi dua macam pendekatan kajian atau analisis
terhadap fenomena sosial budaya, yaitu: Pertama, analisis teori
mikro dan; Kedua, analisis teori makro. Analisis teori mikro,
memandang individu (subjek) sebagai sentra dan penentu atau
penggerak proses-proses sosial budaya di masyarakat. Sedangkan
analisis teori makro, memandang struktur sosial atau faktor
eksternal, atau masyarakat (objek) menentukan berbagai proses
sosial dan budaya individu di masyarakat (Sanderson, 1991; Salim,
Agus. 2002). Diantara teori-teori ekstrem makro yang paling
terkemuka di abad 20 adalah: (a) teori determinisme kultural (teori
fungsional-struktural) oleh Talcott Parsons (1966), tetapi Parsons
juga sedikit menyinggung adanya integrasi mikro-makro, hanya
konsep mikro dalam teorinya Parsons kurang memberikan peran
individu secara merdeka atau bebas berkreativitas; (b) teori konflik
versi Karl Marx dengan pendekatan ‘ekonomi sentris’ dan versi
Dahrendorf (1959), yang memusatkan perhatiannya pada ‘asosiasi
yang dikoordinasi secara imperatif’; (c) teori makrostrukturalisme oleh
Peter Blau (1977), yang mengaku ‘aku adalah seorang determinis
struktural’; dan (d) teori jaringan sosial oleh White, Boorman (1976),
yang menganggap ‘unit analisis dalam sosiologi struktural, lebih
menekankan pada jaringan sosial, dan kurang menyinggung pada
peran individu’.
Teori-teori ekstrem mikro yang paling terkemuka di abad 20 ini
adalah: (1) teori interaksionisme simbolik oleh H. Mead dan H. Blumer.

69
Diantara inti pemahaman teori ini adalah ‘kehidupan
bermasyarakat terbentuk melalui proses interaksi sosial dan
komunikasi antar individu, antar kelompok dengan menggunakan
simbol-simbol yang dipahami maknanya melalui proses belajar atau
interaksi sosial’; (2) teori fenomenologi oleh Alfred Schutz, yang lebih
memfokuskan pada empat unsur pokok yaitu: (a) perhatiannya
terhadap peran aktor; (b) ‘kenyataan’ adalah penting atau pokok,
dan sikap yang alamiah (natural attitude); (c) mempelajari proses
pembentukan dan pemeliharaan hubungan sosial pada tingkat
interaksi tatap muka; (d) memperhatikan pertumbuhan, perubahan
dan tindakan; (3) teori etnometodologi oleh Garfinkel (1967), yang
memusatkan perhatian pada organisasi, kehidupan sehari-hari dan
berbagai jenis kehidupan sehari-hari yang terbatas; dan (4) teori
pertukaran sosial oleh George Homans, dan teori behavioral sosiologi
oleh Skinners, juga termasuk perspektif mikro (paradigma perilaku
sosial) (Ritzer, 2002). Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan
bahwa:
a. Di kalangan teoritisi sosial, telah terjadi perbedaan sudut
pandang dalam memahami fenomena sosial dan cara
malakukan analisis sosial-budaya. Silang pendapat tersebut
berlangsung cukup lama, dari abad 19 sampai abad 20,
bahkan mungkin sampai sekarang.
b. Masing-masing perspektif, baik dari teori mikro maupun
teori makro mempunyai keterbatasan analisis argumentatif dan
ketidakmampuan dalam mengkaji secara utuh fenomena
sosial-budaya yang begitu kompleks dan dinamik. Masing-
masing terbatas pada lingkup paradigmanya.
c. Realitas tersebut mendorong munculnya pendapat, bahwa
kajian sosial-budaya ke depan perlu menggunakan perspektif
ganda atau integrasi antara mikro-makro, dengan tujuan utama
adalah diperoleh pemahaman yang lebih utuh (tidak

70
parsial) tentang suatu fenomena sosial-budaya (Creswell,
J.W. 1994; Giddens, A. 1995).
Pendekatan terpadu atau integrasi dalam memahami
realitas fenomena sosial-budaya, secara implisit, sebenarnya telah
ditunjukkan oleh empat teoritikus sosial terkemuka sebelumnya.
Pandangan keempat teoritikus berikut ini dapat dikatakan sebagai
‘embrio’ bagi pembentukan paradigma terpadu atau teori sosial
integratif. Sedangkan pokok pikiran para teoritukus tersebut antara
lain:
1. Emille Durkheim, yaitu asumsi tentang pembagian fakta
sosial oleh Durkheim atas barang sesuatu yang bersifat
material (norma hukum dan arsitektur) dan non material
(kesadaran kolektif dan arus sosial) dapat dianggap paralel
dengan kategori realitas sosial atas tingkatan makro-objektif
dan makro-subjektif. Sayangnya Durkheim tidak
menjelaskan tentang kaitan secara jelas antara unit-unit
realitas sosial makroskopik dengan mikroskopik. Jadi,
konsep Durkheim tentang pendekatan terpadu dalam
memahami fenomena sosial belum lengkap, dan
penekanannya masih terarah kepada fenomena makroskopik
(lebih menekankan pendekatan struktural). Apabila individu
mempunyai kebebasan dalam bertindak, maka kebebasan itu
datang dari paksaan struktur makro (faktor eksternal)
(Durkheim, Emile. 1974; Baal,V.J., 1987).
2. Karl Marx. Pendekatan terpadu Marx lebih memadai dari
pada Durkheim, tetapi analisis Marx terhadap fenomena
sosial tetap memberikan tekanan yang lebih besar kepada
struktur makro. Marx mulai dengan konsep tentang aktor yang
aktif, kreatif dan voluntaristis. Marx, yakin individu dibekali
dengan kemampuan berpikir aktif, kreatif yang berperan
dalam mengembangkan masyarakat dalam proses historis.

71
Hal ini berarti proses-proses mikro-objektif menimbulkan
struktur masyarakat (makro objektif), yang berarti Marx juga
mengakui adanya hubungan dialektika antara realitas sosial
tingkat mikro dan makro, namun oleh para ahli, bahwa
model integrasi mikro-makro Karl Marx masih memberatkan
pada struktur makro (determinisme struktural), khususnya
mempersoalkan ‘kapitalisme’, yaitu analisis Marx bersifat
‘ekonomi sentris’, dan konsep ‘reification’ (mematerialkan barang
sesuatu). Bagi Marx ‘materi/ ekonomi’ adalah dasar dari
segala sesuatu (infrastruktur) (Bottomre and Rubel, 1956;
Mutahhari, M. 1986; Surbakti, R., 1997a).
3. Max Weber. Menurut Mizman, Weber juga menggunakan
konsep ‘reification’, hanya Weber tidak mempersoalkan
kapitalisme seperti Marx. Weber melihat dunia semakin
rasional dan semakin birokratis. Perhatian Weber terhadap
faktor makro-objektif ditunjukkan pada ‘struktur birokrasi’.
Sedangkan faktor mikro-subjektif adalah perhatiannya pada
‘rasionalisasi nilai-norma’. Weber, punya perhatian pada realitas
sosial tingkat makro (contoh, konsep ‘kharisma’ yang
melembaga; konsep ‘birokrasi’ yang terstruktur), tetapi Weber
juga punya perhatian besar pada tingkat mikro (contoh,
pandangan individu, bahwa ‘manusia memiliki pikiran
rasional dan pemikirannya itu menciptakan perbedaan atau
deferensial dalam kehidupan sosial). Jadi, pandangan Weber
banyak membantu untuk kepentingan analisis terpadu
mikro-makro (Wrong, D. (ed). 1970).
4. Talcott Parsons. Meskipun Parsons lebih memusatkan
perhatian pada fakta sosial, dia juga memperhatikan
hubungan antara berbagai tingkat realitas sosial. Konsep
tentang empat sistem tindakan (yaitu: Sistem kultural; Sosial;
Kepribadian; dan Biologis) yang diajukan oleh Parsons adalah

72
bukti perhatiannya tentang berbagai tingkat realitas sosial
yang lebih mikro. Sistem tindakan kultural Parsons adalah,
paralel dengan konsep makro subjektif dan makro objektif.
Sebagian konsep kepribadian Parsons juga paralel dengan
tingkat mikro subjektif. Meskipun Parsons juga
menyinggung suatu pemikiran teoritis yang terpadu (integrasi),
namun titik berat argumentasinya masih terletak pada ‘sisi
struktur makro’, yakni pada pengaruh sistem sosial dan sistem
kultural terhadap kepribadian. Individu ter-determinasi oleh
faktor eksternal sebagai akibat internalisasi sistem nilai
masyarakat. Kemampuan individu (sistem kepribadian atau
sistem mikro) untuk mengubah masyarakat (sistem makro)
adalah kecil sekali atau hampir tidak ada (Soekanto, S dan
Ratih, L. 1988; Ritzer, 2002).
Ada beberapa pandangan para ahli, yang mendorong
perlunya melakukan analisis sosial-budaya dengan menggunakan
pendekatan integrasi antara ‘perspektif mikro-makro’ antara lain:
a. Helmut Wagner dalam karyanya ‘Displacement of Scope: A
Problem of the Relationship betweem Small Scale and Large Scale
Siciological Theory’ (1964), yang membahas pentingnya
hubungan antara teori sosiologi berskala mikro (kecil) dan
teori berskala besar (makro).
b. Jim Kemeny dalam karyanya ‘Perspective on the mikro macro
distinction’, dalam Sociological Review, 24: 731-752 (1976),
berpendapat ‘perlu adanya perhatian lebih besar terhadap
perbedaan mikro-makro maupun terhadap cara dimana
teori mikro-makro saling berhubungan satu sama lain’.
c. Eisenstadt and Helle. H.J. dalam bukunya ‘Macro Sosiological
Theory: Perspectives on Sociological Theory (1985a)
menyimpulkan bahwa, ‘Konfrontasi antara teori makro dan
mikro mestinya sudah berlalu’.

73
d. Walter Waller dalam karyanya ‘Overview of Contemporary
Sociological Theory’, dalam Sociological Theory (Ritzer, 1992),
membahas tentang ‘Kontinun (rangkaian kesatuan) antara
teori mikro-makro’.
e. Begitu juga Smelser dalam Ontology The Micro Macro Link
(Ritzer, 1992) berkesimpulan tentang ‘perlunya hubungan
timbal balik antara teori mikro makro’.
Beberapa pandangan tokoh (para teoritikus) tersebut di
atas dapat dikatakan sebagai ‘embrio’ tentang pandangan pentingnya
mengintegrasikan teori-teori mikro (misalnya teori interaksionis
simbolis, fenomenologi, dan sebagainya) dengan teori-teori makro
(misalnya teori fungsional struktural, teori konflik dan sebagainya)
dalam melakukan analisis fenomena sosial-budaya. Menurut Ritzer
dan Goodman (2003), ada dua pola (model) utama karya tentang
integrasi mikro makro dalam studi sosiologi yaitu: (1) beberapa
teoritikus yang memusatkan perhatian pada ‘integrasi tingkat
analisis sosial mikro dan makro’; dan (2) beberapa teoritikus yang
memusatkan perhatian untuk membangun sebuah ‘teori baru’ yang
membahas hubungan antara tingkat mikro dan makro dalam
analisis sosial. Berikut ini akan dijelaskan pokok-pokok pikiran
teori integrasi versi George Ritzer dan versi A. Giddens.

 George Ritzer Tentang Teori Integrasi Mikro-Makro

Gerakan perlunya analisis sosial dengan pola ‘integrasi


mikro makro’ begitu sangat popular di tahun 1980-1990-an
(sebagai analisis sosial terkini dalam studi sosiologi). Menurut
Ritzer, pada dasarnya pokok perhatian ‘integrasi mikro-makro’ adalah
sejajar (sinonim) dengan pokok perhatian ‘integrasi agen-struktur’. Pada
umumnya teoritisi sosiologi Amerika lebih sering menggunakan
istilah ‘integrasi mikro-makro’, sedangkan teoritisi sosiologi Eropa

74
lebih sering menggunakan istilah ‘integrasi agen-struktur’ (Ritzer dan
Godman, 2003).
Ada yang memandang, masalah ‘mikro-makro’ dan ‘agen-
struktur’ adalah, mirip bahkan sama atau serupa, tetapi ada juga yang
memandang antara keduanya (mikro-makro dan agen- struktur)
mampunyai perbedaan signifikan. Berikut kita bisa pahami tentang
konsep ‘agen-struktur’ dan konsep ‘mikro-makro’, menurut para ahli,
antara lain:
a. Konsep agen (agency), pada umumnya menunjuk pada tingkat
mikro (aktor manusia individual, jadi agen diartikan sama
dengan mikro). Agen menurut Burns, bisa juga bermakna
‘kolektifitas (makro) yang bertindak’ (misalnya: agen individu
atau kelompok terorganisir; agen organisasi; agen bangsa).
Sedangkan Touraine, memandang, kelas sosial sebagai aktor.
Apabila mengikuti pandangan Burns dan Touraine, maka
kita ‘tidak bisa menyamakan agen dengan fenomena tingkat
mikro’.
b. Konsep struktur, umumnya bermakna mengacu pada struktur
sosial berskala besar (tingkat makro), tetapi konsep ini juga
dapat mengacu pada struktur mikro. Jadi baik agen maupun
struktur, dapat mengacu pada fenomena tingkat mikro atau
makro, atau kepada kedua-duanya.
d. Konsep mikro, sering mengacu pada kesadaran atau aktor
kreatif (menurut teori agen), tetapi pengertian mikro juga
dapat mengacu pada ‘behaver’ (dalam teori Behavior-
Skinners).
e. Konsep makro, sering mengacu pada struktur sosial berskala
luas, tetapi makro juga dapat mengacu pada kultur dari
kolektivitas tertentu. Jadi, mikro mungkin bisa, atau mungkin
juga tidak, mengacu pada ‘agen’. Dan makro bisa, atau
mungkin juga tidak, mengacu pada ‘struktur’.

75
Bagaimana melakukan analisis fenomena sosial dengan
menggunakan pendekatan atau teori integrasi mikro-makro?.
Paling tidak ada empat macam model teori integrasi mikro-makro
yang dikemukakan oleh para ahli, antara lain: (1) model integrasi
paradigma sosiologi oleh George Ritzer; (2) model sosiologi
multidimensional oleh Jeffery Alexander; (3) model mikro ke
makro oleh Coleman and Liska; dan (4) model sosiologi
figurasional oleh Norbert Elias. Pada pembahasan berikut ini,
model yang dipilih untuk dijelaskan adalah model pertama, yaitu
model ‘integrasi paradigma sosiologi’ atau integrasi mikro-makro
G. Ritzer.
Beberapa pokok pikiran model analisis sosial-budaya
integrasi mikro-makro oleh G. Ritzer dalam karyanya yang
berjudul ‘Sociology: A Multiple Paradigm Science (1975) antara lain:
Pertama, lahirnya karya Ritzer tentang ‘Integrasi paradigma
sosiologi’, sebagian dilatarbelakangi oleh beberapa hal antara lain: (1)
adanya kebutuhan membangun sebuah model analisis yang
sederhana, lebih lengkap serta integratif dalam memahami aspek
kehidupan sosial-budaya; (2) paradigma yang ada (fakta sosial;
definisi sosial dan perilaku sosial) cenderung berat sebelah atau
hanya memusatkan pada tingkat khusus atau dimensi tertentu
dalam melakukan analisis sosial-budaya; (3) mengusulkan
pandangan, bahwa pada dasarnya tidak ada posisi hegemoni dalam
paradigma sosiologi. Paradigma integrasi adalah melengkapi
paradigma yang ada dan bukan dimaksudkan menciptakan posisi
hegemoni yang baru; (4) dalam realitas sosial, kehidupan sosial
sesungguhnya tidak terbagi dalam tingkatan, yang terpisah dari dua
hal yang berbeda. Realitas sosial paling tepat harus dilihat sebagai
fenomena sosial yang beragam yang membentuk suatu kehidupan
sosial yang saling terkait (aspek makro dan aspek mikro).

76
Kedua, seluruh fenomena sosial makro dan mikro adalah
juga fenomena objektif atau subjektif. Konsekuensinya
(seharusnya) adalah terdapat empat tingkat utama dalam setiap
melakukan analisis fenomena sosial-budaya. Dan setiap sosiolog
harus memusatkan perhatiannya pada hubungan dialektik (timbal
balik) dari keempat tingkat tersebut secara integratif dalam setiap
melakukan analisis fenomena sosial-budaya. Namun setiap peneliti
tetap harus memperhatikan fokus atau permasalahan yang akan
dikajinya. Apabila peneliti hanya ingin melihat dimensi objektif
(aspek struktural/ aspek makro), dan hanya ingin melihat dimensi
subjektif (aspek agen/ aspek mikro), tentu peneliti tersebut tidak
perlu menggunakan empat tingkat utama dalam analisis sosial-
budaya secara integratif. Tawaran Ritzer tersebut dapat dilihat
dalam gambar sebagai berikut:
MAKROSKOPIK

I II
MAKRO-OBJEKTIF MAKRO-SUBJEKTIF
Masyarakat, Hukum, Nilai, Norma, Kebiasaan, adat
Birokrasi, Teknologi & (Skala Luas). Realitas non
Bahasa (Skala Luas) material

OBJEKTIF SUBJEKTIF

III IV
MIKRO-OBJEKTIF MIKRO-SUBJEKTIF
Pola perilaku, tindakan dan persepsi, keyakinan,
interaksi (Skala keci) pandangan/ konstruksi sosial
(Skala kecil/ mental)
(kesatuan objektif)

MIKROSKOPIK

Gambar. 5.1. Hubungan Dialektik Integrasi Mikro-Makro Ritzer


diadopsi dari Ritzer, 2002)

77
Keterangan:
1) Tingkat makro objektif, meliputi realitas material berskala
luas (besar), misalnya: masyarakat, birokrasi, dan teknologi.
2) Tingkat makro subjektif, meliputi fenomena non material
berskala luas, misalnya: nilai, norma, adat (budaya ide atau
sistem budaya).
3) Tingkat mikro objektif, meliputi fenomena kesatuan objektif
berskala kecil, misalnya: pola tindakan individu, pola
interaksi sosial.
4) Tingkat mikro subjektif, meliputi proses mental berskala
kecil, yaitu upaya individu untuk membangun
(merekonstruksi) realitas sosial-budaya sehari-hari, misalnya,
berpendapat atau bersikap atau berpandangan.
Masing-masing keempat tingkat analisis tersebut
mempunyai arti penting sendiri-sendiri, tetapi yang paling penting
setiap peneliti sosial apabila melakukan analisis fenomena sosial-
budaya ‘harus’ membahas, mengkaji dan menjelaskan ‘hubungan
dialektika’ antara keempatnya secara integratif dalam perspektif
ruang dan waktu (rentang historis). Contoh, Mengkaji tentang
‘Perubahan sosial masyarakat Porong Kabupaten Sidoarjo, suatu kajian
proses dan dampak lumpur Lapindo’. Dalam hal ini apabila peneliti
mengunakan teori integrasi mikro-makro versi George Ritzer,
maka peneliti harus menjelaskan secara integral hubungan dialektik
antara empat aspek tersebut di atas (lihat gambar 5.2)
Ketiga, menurut Ritzer, ada ‘dua kontinum realitas sosial’
yang berguna dalam membangun tingkatan utama kehidupan sosial
yaitu: (1) kontinum mikroskopik-makroskopik; dan (2) kontinum
objektif-subjektif. Kontinum mikroskopik-makroskopik. Dalam
kehidupan sosial-budaya selalu tersusun serentetan kesatuan, mulai
dari yang berskala besar sampai yang terkecil atau sebaliknya. Di
ujung makro dari kontinum adalah, ‘fenomena sosial-budaya

78
berskala besar atau luas, seperti: kelompok luas (contoh, sistem
kehidupan kapitalis dan sosialis dunia), kebudayaan (cultural
universals) dan masyarakat dunia’. Di ujung mikro dari kontinum
adalah, ‘aktor individu, pikiran individu dan tindakan individu’.
Sedangkan diantara ujung mikro ke makro, terdapat: bentuk
‘interaksi’ antar individu, kemudian kearah lebih besar yaitu
‘kelompok’, kemudian lebih besar lagi ke ‘organisasi’, kemudian ke
‘masyarakat atau budaya’, kemudian terbesar adalah ‘sistem dunia’.
Perhatikan bagan berikut:
Mikros- Makros-
kopik kopik

Inter-aksi Kelom- Orga- Masy. & Sistem


pok nisasi Budya Dunia

Gambar 5.2. Garis kontinum mikro-makro, diadopsi dari Ritzer


dan Goodman (2003)
Di setiap ujung kontinum mikro-makro kita dapat
membedakan antara komponen objektif-subjektif. Istilah subjektif
disini mengacu pada sesuatu yang semata-mata terjadi hanya di
dalam dunia gagasan (idea) individu. Sedangkan objektif berhubungan
dengan ‘peristiwa nyata, kejadian material’ dengan lingkup yang
luas. Sebuah masyarakat tersusun dari struktur objektif (seperti
pemerintahan, birokrasi, teknologi dan hukum) dan fenomena
subjektif (seperti nilai, norma, gagasan, pandangan, persepsi
individu).
Ujung kontinum objektif (fenomena sosial-budaya
objektif), yang mempunyai wujud nyata, wujud materi, misalnya:
aktor; tindakan sosial; interaksi sosial; struktur birokrasi; UU atau
hukum; aparatur negara, dan sebagainya. Sedangkan ujung

79
kontinum Subjektif, misalnya: Ide, pandangan, persepsi, nilai yang
diyakini, dan konstruksi pikiran individu tentang realitas sosial
budaya, norma, motivasi. Kemudian antara ujung objektif dan
subjektif adalah ‘tipe campuran’ (ada unsur objektif dan ada unsur
subjektif). Perhatikan bagan kontinum objektif-subjektif sebagai
berikut:
Objektif

Subjektif

Aktor; Tindakan; Tipe Campuran, Pandangan, Nilai,


Interaksi; Kombinasi dalam Norma, Konstruksi
Undang-undang; berbagai tingkat pikiran ttg realitas
struktur Birokrasi unsur objektif- sosial budaya
subjektif

Gambar 5.3. Garis Kontinum Objektif-Subjektif, diadopsi dari


Ritzer dan Goodman (2003).
Jadi, setiap peneliti sosial dalam melakukan analisis
fenomena sosial-budaya, seharusnya membahas hubungan antara
dua kontinum tersebut (kontinum makroskopik-mikroskopik dan
kontinum objektif-subjektif), dan yang terpenting adalah ‘representasi
skematis hubungan kedua kontinum tersebut dengan empat tingkat utama
analisis sosial secara dialektif-integratif”.
Kemudian, bagaimana hubungan antara keempat tingkat
utama analisis sosial-budaya dengan ketiga paradigma, yaitu
Paradigma: Fakta sosial, Definisi Sosial, dan Perilaku sosial?. Sebelum
menjawab permasalahan ini, hal yang penting perlu diperhatikan
adalah, peneliti harus mampu menjelaskan hubungan kesatuan
(hubungan integratif atau dialektik) dari model empat tingkat
utama, yaitu: (1) makro-objektif, seperti birokrasi; (2) realitas
makro-subjektif, seperti nilai; (3) fenomena mikro-objektif, seperti

80
pola interaksi; dan (4) fakta mikro-subjektif, seperti proses
konstruksi pikiran individu tentang realitas sosial-budaya
(pandangan individu). Di bawah ini gambaran hubungan antara
keempat ‘tingkatan utama analisis sosial-budaya dengan keempat
paradigma (termasuk paradigma terpadu) menurut G. Ritzer.
Tabel. 5.1. Hubungan Antara Tingkat Realitas Sosial Dengan
Empat Paradigma.

Empat
Tingkat
No. Paradigma Sosial
Realitas
Sosial
Fakta Sosial
1. a. Makro Teori Fungsional
Subjektif struktural; Teori
Konflik; Teori Sistem; Paradigma
b. Makro Teori Sosiologi Makro Terpadu
Objektif (Lihat gambar
Definisi Sosial 5.2)
2. a. Mikro (Teori Aksi Weber;
Subjektif Teori interaksionis
simbolik; Teori
Fenomenologi)
b. Mikro Perilaku Sosial
Objektif (Teori Behavioral
sosiologi; Teori
Exchange)
(diadopsi dari Ritzer, 2002)

Keempat, teori ‘Integrasi paradigma terpadu’ oleh Ritzer dapat


dianggap sebagai Exemplar. Menurut Ritzer, ada beberapa konsep
penting yang perlu dipahami, berkaitan dengan penggunaan

81
‘integrasi paradigma terpadu’ dalam melakukan analisis sosial-budaya,
yaitu:
1. Paradigma terpadu ‘bukan’ dimaksudkan sebagai pengganti
paradigma sosiologi yang sudah ada (paradigma fakta sosial;
paradigma definisi sosial dan paradigma perilaku sosial).
Paradigma yang ada akan tetap bermakna bagi analisis
fenomena sosial-budaya selama tidak ada anggapan bahwa
satu paradigma tertentu itu dapat menjelaskan semua
fenomena sosial-budaya di masyarakat secara komprehensif.
2. Bahwa inti paradigma terpadu terletak pada hubungan antar
keempat tingkat realitas sosial-budaya, yaitu: (a) tingkat
makro-objektif, contohnya birokrasi, norma hukum, bahasa;
(b) tingkat makro-subjektif, contohnya nilai-nilai, norma dan
kultur; (c) tingkat mikro-objektif, contohnya berbagai bentuk
interaksi sosial seperti: kerjasama, konflik dan pertukaran;
dan (d) tingkat mikro-subjektif, contohnya proses berpikir,
merasakan, dan konstruksi pikiran individu tentang realitas
sosial-budaya. Jadi, yang penting dalam paradigma terpadu
adalah ‘keempat tingkat sosial tersebut harus diperlakukan secara
integratif’, artinya setiap persoalan sosial budaya yang dikaji
harus diselidiki atau dijelaskan dari empat tingkatan sosial
tersebut secara terpadu.
3. Paradigma terpadu disamping menekankan perhatian pada
sosiologi modern, yang diarahkan kepada realitas sosial
budaya tingkat makroskopik, juga tidak mengabaikan realitas
sosial budaya tingkat mikroskopik. Perlu dipahami, bahwa
keempat tingkat realitas sosial tersebut adalah pembagian
konseptual, bukan menggambarkan kenyataan sebenarnya.
Realitas sosial budaya di masyarakat selalu tampil dalam
keberagaman, kompleks dan sangat dinamik (terus menerus
berubah). Penggambaran dalam analisis sosial budaya ke

82
dalam empat tingkat tersebut tidak bertentangan dengan
kenyataan sebenarnya, oleh karena itu setiap peneliti sosial-
budaya dituntut untuk lebih memahami secara integral
fenomena sosial budaya yang dikajinya. Paradigma terpadu
(keempat tingkat) sifatnya saling melengkapi, hal ini
memungkinkan bagi peneliti dalam proses pengumpulan
data penelitian harus menggunakan beragam cara, metode
atau teknik, misalnya: metode wawancara, observasi,
kuesioner, dokumentasi, eksperimen, dan sebagainya.
4. Paradigma terpadu haruslah ‘bersifat historis’. Harus mampu
menerangkan keseluruhan realitas sosial dalam semua
masyarakat dan sepanjang sejarah (keterkaitan antara
fenomena sosial-budaya masa lampau, kini dan akan datang).
Paradigma ini harus pula diorientasikan pada studi tentang
perubahan sifat realitas sosial-budaya. Namun perlu diingat,
bahwa tekanan hubungan keempat tingkat realitas sosial
tersebut antar masyarakat bisa beragam.
5. Paradigma terpadu harus mengambil ‘manfaat dari logika
dialektis’. Diantara ciri logika dialektis adalah: (a)
memandang satu sisi manusia sebagai pencipta sebagian
besar struktur sosial-budaya dan disisi lain struktur sosial-
budaya itu pada gilirannya akan membatasi atau memaksa
manusia untuk bertindak sesuai dengan struktur sosial-
budaya yang dicipta; (b) mempunyai pandangan yang sangat
jelas tentang hubungan antara realitas sosial makroskopik
(eksternal) dan mikroskopik (internal), (c) tidak
menitikberatkan pada salah satu tingkat realitas sosial
tertentu (semua tingkat realitas sosial dipandang berada
dalam hubungan yang bersifat dialektis/ empat tingkatan
realitas sosial seperti pada gambar 5.2); (d) dimulai dengan
asumsi epistemologi bahwa ‘di dalam alam yang nyata’,

83
segala sesuatu saling berkaitan secara terus menerus untuk
selama-lamanya; dan (e) berpikir dialektik, selain menuntun
untuk mencari hubungan berbagai tingkat realitas sosial, juga
dapat membiasakan kita kepada hubungan kontradiksi. Contoh:
Marx, memusatkan perhatiannya pada kontradiksi yang ada
dalam masyarakat kapitalis; Weber, melihat adanya
kontradiksi antara rasionalisasi melawan kebebasan
individual; G. Simmel, menyelidiki kontradiksi antara kultur
subjektif dan kultur objektif; (Rossides, 1978; Ritzer, 2002;
Ritzer dan Goodman, 2003).

 Anthony Giddens dan Teori Integrasi Strukturasi

Para sosiolog mengatakan, bahwa pada umumnya teoritisi


Eropa dalam mencermati feomena sosial-budaya lebih perhatian
pada hubungan atau integrasi antara ‘agen dan struktur’. Ada empat
contoh utama teori ‘integrasi agen-struktur’ dalam melakukan analisis
sosial budaya yaitu: (a) teori strukturasi oleh Anthony Giddens; (b)
teori strukturalisme-genesis oleh Pierre Bourdieu; (c) teori
morphogenesis, kultur dan agen oleh Margareth Archer; dan (d) teori
kolonisasi kehidupan dunia oleh Habermas (Turner, Bryan., 2000).
Menurut Bryan Tunner, Jary, Cohen dan Craib, salah satu
upaya yang ‘paling terkenal’ teori yang mengintegrasikan agen-
struktur adalah ‘Teori Strukturasi’ oleh A. Giddens, oleh karena itu
dalam penjelasan ‘teori integrasi agen-struktur’ berikut ini hanya
menjelaskan beberapa prinsip teori agen struktur oleh A. Giddens.
Giddens dalam bukunya The Constitution of Society: Outline of the
Theory of Structuration (1984), mengatakan ‘setiap riset dalam ilmu
sosial atau siret sejarah selalu menyangkut penghubungan tindakan
atau agen dengan struktur, tetapi dalam hal ini bukan berarti bahwa
struktur ‘menentukan’ agen atau sebaliknya’. Giddens juga

84
mengatakan ‘Bidang mendasar studi ilmu sosial budaya, menurut
teori strukturasi, bukanlah pengalaman aktor individual atau
bentuk-bentuk kesatuan sosial tertentu, melainkan praktik
(interaksi) sosial yang berulang-ulang, yang diatur melintasi waktu
dan ruang (time and space)’ (Giddens, 1984).
Teori Strukturasi, sebagian mendapat pengaruh dari: (1)
teori Marx, khususnya menyangkut konsep peran manusia (agen)
dalam menentukan gerak sejarah; (2) pengaruh teori interaksionis
simbolik (individu kreatif, dinamik); dan (3) teori fungsional
struktural (orientasi masyarakat atau struktur). Menurut Berstein,
tujuan fundamental dari teori strukturasi adalah, untuk
‘menjelaskan hubungan dialektika dan saling pengaruh
mempengaruhi antara agen dan struktur’ (Faisal, S., 1998; Priyono,
2002).
Beberapa konsep penting yang perlu dipahami tentang
teori integrasi agen-struktur atau ‘teori strukturasi Giddens’ dalam
bukunya The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration
(1984), dalam memahami fenomena sosial budaya antara lain:
a. Dalam teori ‘strukturasi’, agen dan struktur tidak dapat
dipahami dalam keadaan saling terpisah satu dengan yang
lain. Agen dan struktur ibarat ‘dua sisi dari satu keping mata
uang’. Agen dan struktur saling jalin menjalin tanpa
terpisahkan dalam praktik atau aktivitas sosial-budaya sehari-
hari setiap individu. ‘Tindakan pelaku (agen) dan struktur
saling mengandaikan’. Dualitas struktur mengandaikan,
bahwa struktur merupakan ‘sarana’ (medium) dan juga ‘hasil’
(outcame) dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan secara
berulang-ulang. Hal ini berarti bahwa saat pelaksanaan atau
pengadaan (moment of production) adalah juga saat pelaksanaan
atau pengadaan kembali (moment of reproduction). Oleh karena
itu Giddens mendifinisikan ‘Strukturasi’ dalam daftar

85
terminologi sebagai ‘strukturasi relasi-relasi sosial yang
melintasi waktu dan ruang, berkat adanya dualitas struktur’
b. Dalam teori strukturasi, praktik sosial atau tindakan sosial
manusia itu dapat dilihat sebagai ‘perulangan’ (rutinization),
artinya praktik sosial ‘bukan dihasilkan sekali jadi oleh aktor
sosial, tetapi secara terus menerus, mereka ciptakan
berulang-ulang melalui suatu cara tertentu, dan dengan cara
itu juga individu menyatakan diri mereka sebagai aktor’. Jadi,
praktik sosial atau aktivitas sosial-budaya tidak semata-mata
dihasilkan melalui kesadaran atau melalui konstruksional
pikiran individu tentang realitas (seperti pandangan teori
interaksionis simbolik dan teori fenomenologi), juga bukan
semata-mata diciptakan oleh struktur sosial (seperti teori
fungsional struktural, teori konflik). Tetapi melalui praktik
sosial berulang-ulang (rutinization) agen-struktur itulah, baik
kesadaran (internal) maupun struktur (eksternal) diciptakan.
c. Secara umum teori strukturasi memusatkan perhatian pada
proses dialektika dimana praktik sosial, struktur, dan
kesadaran diciptakan. Jadi, teori strukturasi menjelaskan
masalah ‘agen-struktur secara historis, prosessual dan dinamis’.
Dalam teori strukturasi, agen atau aktor sosial melakukan
refleksi, tetapi peneliti sosial (sosiolog) juga melakukan refleksi
dalam mempelajari masalah hubungan agen dan struktur.
Oleh karena itu Giddens mengemukakan gagasan yang
terkenal yaitu ‘proses penelitian fenomena sosial-budaya
perlu menggunakan pendekatan atau metode ‘Hermeneutika
ganda’, artinya, baik agen (aktor sosial) maupun peneliti
sosial sama-sama menggunakan bahasa, yaitu: (a) aktor
sosial, menggunakan bahasanya untuk menerangkan apa
yang mereka kerjakan sehari-hari, dan (b) peneliti sosial-
budaya, menggunakan bahasanya untuk menerangkan

86
tindakan aktor sosial yang ditelitinya. Jadi, perlu diperhatikan
untuk mengkombinasikan antara bahasa awam (para agen
praktik sosial) dan bahasa ilmiah (para peneliti).
d. Dalam teori strukturasi Giddens, terdapat lima komponen
(elemen) penting yang perlu dipahami, yaitu: (1) konsep agen;
(2) konsep struktur dan sistem sosial; (3) konsep waktu-
ruang (time-space); (4) konsep rutinisasi (routinization); dan (5)
konsep strukturasi (Giddens, 1984). Berikut ini akan
dijelaskan singkat tentang kelima konsep tersebut
Pertama, konsep atau pemikiran tentang ‘agen’. Agen dalam
pandangan Giddens adalah: (a) agen atau aktor sosial terus
menerus memonitor pemikiran dan aktivitas mereka sendiri serta
konteks sosial dan fisik mereka dalam kehidupan sehari-hari; (b)
agen (pelaku) menunjuk pada orang kongkret dalam ‘arus kontinu
tindakan dan peristiwa di dunia’; (c) dalam upaya mencari rasa aman,
aktor atau agen merasionalkan kehidupan (aktivitas) mereka.
Menurut Giddens, yang dimaksud dengan rasionalisasi adalah
‘mengembangkan kebiasaan sehari-hari yang tidak hanya
memberikan perasaan aman kepada aktor, tetapi juga
memungkinkan mereka menghadapi kehidupan sosial mereka
secara efisien’; (d) agen atau aktor juga mempunyai motivasi untuk
bertindak dan motivasi ini berupa keinginan atau hasrat untuk
bertindak (potensi untuk bertindak). Jadi, ‘rasionalisasi, refleksivitas
terus menerus terlibat dalam tindakan, sedangkan motivasi sebagai
potensinya’.
Dalam diri ‘aktor atau agen’ terdapat ‘kesadaran’. Giddens
membedakan tiga dimensi internal pelaku (kesadaran atau motivasi
individu) yaitu: (1) ‘motivasi tidak sadar’ (unconscious motives), yaitu
menyangkut keinginan atau kebutuhan yang berpotensi
mengarahkan tindakan, tetapi bukanlah tindakan itu sendiri; (2)
‘kesadaran diskursif’ (discursive consiousness), yaitu mengacu pada

87
kapasitas kita merefleksikan dan memberi penjelasan eksplisit atas
tindakan kita (tindakan melalui hasil agumentasi pikiran yang
rasional); (3) ‘kesadaran praktis’ (practical consciousness), yaitu
menunjuk pada gugus pengetahuan praktik yang selalu bisa diurai
(tidak perlu argumentatif). Kesadaran praktis ini merupakan kunci
untuk memahami teori strukturasi (Faisal, 1998). Batas antara
kesadaran praktis dan kesadaran diskursif ‘sangatlah lentur dan
tipis’, tetapi tidak seperti antara ‘kesadaran diskursif’ dan ‘motivasi
tidak sadar’, yang relatif jelas perbedaannya. Jadi, kesadaran
diskursif, memerlukan kemampuan untuk melukiskan tindakan kita
dalam kata-kata secara rasional. Kesadaran praktis, melibatkan
tindakan yang dianggap aktor benar, tanpa mampu
mengungkapkan dengan kata-kata tentang apa yang mereka
lakukan. Tipe ‘kesadaran praktis’ inilah yang sangat penting bagi
teori strukturasi. Kesadaram praktis agen inilah yang membuat
transisi halus dari ‘agen’ ke ‘agensi’ (agency). Agensi (keagenan atau
peranan individu), adalah ‘sesuatu yang sebenarnya atau seharusnya
dilakukan oleh agen’. Keagenan berarti peran-peran individu atau
kejadian yang dilakukan oleh individu, misalnya: Peran seorang
dosen adalah mengajar, membimbing mahasiswa, meneliti dan
sebagainya, peran petani adalah membajak, menanam padi,
memanen padi dan sebagainya. Giddens sangat menekankan arti
penting keagenan dalam teorinya.
Menurut Giddens, agen juga ‘sering’ bertindak tidak sesuai
dengan tujuan semula atau sering tindakan yang sengaja dilakkan
melahirkan akibat yang tidak diharapkan. Disamping itu agen juga
mempunyai kemampuan atau kekuasaan untuk menciptakan
‘pertentangan’ dalam kehidupan sosial, bahkan Giddens mengatakan,
bahwa agen atau aktor tidak berarti apa-apa tanpa kekuasaan untuk
menciptakan pertentangan. Jadi, agen atau aktor akan berhenti jadi
agen apabila ia kehilangan kemampuan untuk menciptakan

88
pertentangan. Menurut Giddens, kekuasaan untuk menciptakan
pertentangan ini bersifat logis mendahului subjektivitas, karena
tindakan melibatkan kekuasaan (kemampuan) untuk mengubah
situasi (Ritzer dan Goodman, 2003).
Kedua, konsep tentang ‘struktur dan sistem sosial’. Menurut
Giddens, struktur dan sistem sosial dapat dipahami sebagai berikut:
(a) struktur didefinisikan sebagai ‘properti-properti yang berstruktur
(aturan dan sumber daya)’. Struktur hanya akan terwujud karena
adanya aturan dan sumber daya, atau struktur dipahami sebagai
‘kumpulan aturan dan sumber daya yang berulangkali
terorganisasikan’ (recursively organized sets of rules and resources).
Struktur itu sendiri ‘tidak ada dalam ruangan dan waktu’, karena
struktur ‘hanya ada di dalam dan melalui akivitas agen manusia’.
Tidak ada struktur bila tidak ada aktivitas manusia. Jadi, definisi
struktur menurut Giddens tidak sama dengan definisi struktur
menurut para teoritikus fungsional struktural. Menurut teoritikus
Fungsional struktural dan teori konflik, struktur adalah ‘sesuatu
yang berada di luar (eksternal) aktor atau individu dan memaksa
(determinis) pada aktor dalam aktivitas sosial’. Bagi Giddens,
struktur adalah ‘apa yang membentuk dan menentukan terhadap
kehidupan sosial, tetapi bukan struktur itu sendiri yang
membentuk dan menentukan kehidupan sosial, ada faktor agen
yang juga ikut menentukan’. Jadi, struktur adalah ‘aturan dan
sumber daya yang terbentuk dari dan membentuk keterulangan
praktik sosial’. Struktur, bukanlah benda melainkan ‘skemata yang
hanya tampil dalam praktik-praktik sosial’. Skemata mirip ‘aturan’ yang
merupakan hasil (out came) dan sekaligus menjadi ‘sarana’ (medium)
bagi berlangsungnya praktik sosial kita. Struktur, bukan bersifat
mengekang (constraining) individu (seperti pandangan teori
fungsional struktural), tetapi bersifat ‘memberdayakan’ (enabling)
(Giddens, 1984).

89
Adapun konsep struktural, menurut Giddens mempunyai
tiga gugus besar, yaitu: (1) struktur ‘signifikasi’ (signification)
menyangkut skemata simbolik, penyebutan terhadap sesuatu dan
wacana tentang sesuatu yang dilakukan aktor (agen); (2) struktur
‘dominasi’ (domination), yang mencakup skemata penguasaan atau
wewenang terhadap orang lain (aspek politik) dan penguasaan
terhadap barang (aspek ekonomi); (3) struktur ‘legitimasi’
(legitimation) yang mencakup skemata peraturan-peraturan normatif
yang terungkap dalam tata hukum, untuk menata proses-proses
sosial di masyarakat.
Kemudian konsep sistem sosial. Pengertian sistem sosial
menurut Giddens, ‘mirip’ dengan pengertian stuktur dalam
pandangan konvensional (teori fungsional struktural atau teori
konflik). Sistem sosial menurut Giddens adalah sebagai praktik
sosial yang dikembangbiakkan (reproduced) atau hubungan yang
direproduksi antara aktor(egen) dan kolektivitas (kelompok) yang
diorganisir sebagai praktik sosial tetap. Sistem sosial ‘tidak
mempunyai’ struktur, tetapi dapat memperlihatkan ciri-ciri
strukturalnya. Struktur tidak dapat memunculkan dirinya sendiri
dalam ruang dan waktu, tetapi dapat menjelma dalam sistem sosial,
dalam bentuk praktik sosial yang direproduksi. Sistem sosial oleh
Giddens dilihat baik sebagai ‘media’ maupun sebagai ‘hasil
tindakan aktor’ dan sistem sosial yang secara berulang-ulang
(regulation) mengorganisisr kebiasaan aktor. Jadi, sistem sosial
‘merupakan institusionalisasi dan regularisasi praktik-praktik sosial’
dalam kehidupan sehari-hari (Giddens, 1984).
Ketiga, konsep waktu dan ruang (time and space) dan rutinisasi
(routinization). Ada beberapa prinsip Giddens dalam memahami
waktu dan ruang menurut teori strukturasi, antara lain: (a) ruang
dan waktu, merupakan variabel (unsur) penting dalam teori
strukturasi. Setiap kegiatan sosial ‘mencengkram’ ruang dan waktu

90
(biting into space and time), serta berada pada akar pembentukan baik
subjek maupun objek sosial (Faisal, 1998). Banyak teoritisi sosial
menganggap ruang dan waktu cenderung diperlakukan sebagai
‘lingkungan’ (environments) tempat ketika suatu tindakan sosial
dilaksanakan, atau sebagai salah satu ‘faktor tidak tetap’, sedangkan
menurut teori ‘trukturasi adalah, ‘ruang dan waktu secara integral
turut membentuk tindakan atau kegiatan sosial’. Sistem sosial
berkembang atau meluas menurut waktu dan ruang, sehingga
orang lain tidak perlu lagi hadir pada waktu yang sama dan di ruang
yang sama. Menurut Bryand and Jary, prestasi Giddens yang diakui
oleh para ilmuwan adalah analisisnya tentang ‘upaya
mengedepankan masalah waktu dan ruang dalam analisa sosial’
(Ritzer dan Goodman, 2003).
Giddens membedakan tiga dimensi waktu, yaitu: (1) duree,
pengalaman hari demi hari (reversible time), yaitu berkenaan dengan
keberlangsungan waktu pengalaman atau kegiatan hari demi hari
yang dapat dibalik, misalnya berangkat dari rumah, berada di jalan,
sampai keadaan di kantor, kemudian pulang dari kantor, berada di
jalan, sampai di rumah kembali; (2) jangka hidup individual
(irreversible time), yaitu berkenaan dengan rentang waktu kehidupan
individu yang tidak dapat dibalik, misalnya lahir-hidup-mati; (3)
longue duree, lembaga-lembaga, yaitu berkenaan dengan waktu
keberlangsungan jangka panjang dan dapat dibalik dari lembaga-
lembaga atau waktu kelembagaan (institutional time) yang merupakan
baik syarat (condition) maupun hasil (outcame) kegiatan-kegiatan
sosial yang terpola dalam kontinuitas hidup sehari-hari.
Waktu tidak dapat dipisahkan dari ruang, karena
kontekstualitas kehidupan sosial menyangkut baik ruang maupun
waktu, ‘seluruh kehidupan sosial terjadi didalam, dan terbentuk
oleh, persimpangan kehadiran dan ketidakhadiran dalam
memudarnya waktu dan berubahnya tempat’. Bahwa tubuh

91
manusia ‘tidaklah menempati ruang dan waktu dalam arti sama
seperti benda-benda material lain yang berada dalam ruang dan
waktu’. Jadi, posisi tubuh manusia paling baik dipahami sebagai
‘tubuh aktif, kreatif yang terarah pada tugas-tugasnya’ atau sebagai
‘pengambilan posisi’ (positioning). Ruang atau tempat (space) dalam
teori strukturasi tidak dapat sekedar dipahami untuk menunjuk
suatu ‘titik dalam ruang’ (point in space), tetapi lebih dipahami
dengan istilah ‘tempat peristiwa’ (locale) yang merujuk pada
pemakaian ruang sebagai ‘latar interaksi’ (setting of interaction)
(Giddens, 1984). Istilah locale erat hubungannya dengan konsep
regionalisasi (regionalization) dalam geografi waktu, yakni lebih
menunjukkan pada penempatan wilayah ruang-waktu sehubungan
dengan kegiatan sosial yang dirutinisasikan (zoning of time-space in
realtion to routinized social practices), misalnya; ada ruang kerja, ruang
makan, ruang tamu, ruang tidur dan sebagainya, yang hal-hal
tersebut menunjukkan adanya pembentukan sistem-sistem
interaksi.
Keempat, konsep penting lain dalam teori strukturasi adalah
‘rutinisasi’ (routinization), karena yang rutin adalah elemen dasariah
kegiatan sosial sehari-hari, ‘istilah hari demi hari’ mengungkapkan
dengan tepat sifat terutinisasi yang diperoleh kehidupan sosial yang
terentang melintasi ruang dan waktu. Keterulangan merupakan
bahan dasar kehidupan sosial (the recursive nature of soial life).
Tindakan sosial dipandang sebagai ‘suatu proses’ dan bukan tindakan
terpisah-pisah atau sekedar sekumpulan tindakan, atau tindakan
manusia dinilai sebagai ‘aliran terus menerus’ (on going flow)
kegiatan-kegiatan. Tindakan manusia sangat terkait dengan ruang
dan waktu. Interaksi sosial dipelajari dalam rangka kehadiran
bersama (co-presences). ‘Ingatan’ adalah aspek penghadiran (presencing)
dan cara mendiskusikan kemampuan pengetahuan (knowledge-ability)
pelaku manusia. Ingatan tidak menunjuk pada pengalaman masa

92
lalu, dan bukan pula pemanggilan kembali masa lalu ke masa kini.
‘Persepsi’ bukan lah kumpulan persepsi-persepsi tetapi ‘aliran
kegiatan’ (flow of activity) yang diintegrasikan dengan gerakan tubuh
dalam ruang dan waktu. Regulation (keterulangan terus menerus),
atau rutinisasi (routinization) akan melahirkan rasa aman ontologis
(ontological security) sehubungan dengan masa depan individu.
Sedangkan situasi kritis dalam kehidupan sosial dapat
mengacaukan rutinitas yang dapat diramalkan dan menghancurkan
rasa kedatangan masa depan (futural sence) (Giddens, 1984; Priyono,
2002).
Kelima, konsep strukturasi. Pemahaman terhadap konsep
strukturasi ini menjadi kunci dalam teorinya Giddens. Beberapa hal
penting yang dapat dipahami tentang ‘strukturasi’ adalah: (a)
konsep strukturasi mendasarkan pemikiran bahwa ‘konstitusi agen
dan struktur bukan merupakan dua kumpulan fenomena biasa
yang berdiri sendiri (dualisme) tetapi mencerminkan dualitas; (b)
strukturasi meliputi ‘hubungan dialektika’ antara agen dan struktur;
struktur dan keagenan adalah dualitas (bukan dualisme), tindakan
agen dan struktur saling mengandaikan. Struktur tidak akan ada
tanpa keagenan (peran individu) dan demikian juga sebaliknya; (c)
rutinisasi merupakan elemen dasariah kegiatan sosial sehari-hari.
Atau teterulangan merupakan bahan dasar kehidupan sosial (the
recursive nature of soial life). Tindakan sosial dipandang sebagai ‘suatu
proses’ dan bukan tindakan terpisah-pisah, tindakan manusia
dinilai sebagai ‘aliran terus menerus’ (on going flow) kegiatan-
kegiatan; dan (d) tindakan manusia sangat terkait dengan ruang dan
waktu (time and space). Setiap kegiatan sosial ‘mencengkram’ ruang
dan waktu (biting into space and time), serta berada pada akar
pembentukan baik subjek maupun objek sosial. Jadi, ‘ruang dan
waktu secara integral turut membentuk tindakan atau kegiatan
sosial’. Dengan demikian dalam memahami konsep ‘teori

93
strukturasi’ Giddens harus memahami secara integral tentang lima
komponen (elemen) penting, yaitu: konsep agen; konsep struktur
dan sistem sosial; konsep waktu-ruang; konsep rutinisasi; dan
konsep strukturasi (Faisal, 1998; Priyono, 2002).
Keenam, Anthony Giddens, menurut Turner, B. (2000),
bahwa salah satu teori yang paling terkenal dewasa ini, yang
menganjurkan pentingnya integrasi mikro-makro atau subjektif-
objektif atau integrasi agen-struktur dalam melakukan analisis
fenomena sosial adalah Teori Strukturasi oleh A. Giddens. Giddens
dalam bukunya The Constitution of Society: Outline of the Theory of
Structuration (1984) mengatakan bahwa: (1) setiap riset dalam ilmu
sosial atau siret sejarah seharusnya selalu mengintegrasikan antara
tindakan (agen) dengan struktur. Tetapi dalam hal ini bukan berarti
bahwa struktur (makro) ‘menentukan’ agen (mikro) atau
sebaliknya; (2) bidang mendasar studi ilmu sosial, menurut teori
strukturasi, bukanlah pengalaman aktor individual (agen) atau
bentuk-bentuk kesatuan sosial (struktur) tertentu, melainkan
praktik (interaksi) sosial agen-struktur yang berulang-ulang, yang
diatur melintasi waktu dan ruang (time and space), seimbang dan
saling mengisi; (3) praktik sosial atau aktivitas sosial tidak
dihasilkan melalui kesadaran individu tentang realitas (seperti
pandangan teori-teori paradigma subjektivis), juga bukan
diciptakan oleh struktur sosial (seperti pandangan teori-teori
paradigma objektivis), tetapi melalui integrasi agen-struktur yang
terus berinteraksi melintasi dimensi ruang dan waktu. Jadi, teori
strukturasi menjelaskan masalah ‘agen-struktur secara historis,
prosessual dan dinamis’. Strukturasi meliputi hubungan dialektika
antara agen dan struktur; struktur dan keagenan adalah dualitas
(bukan dualisme), tindakan agen dan struktur saling mengandaikan.
Struktur tidak akan ada tanpa keagenan (peran individu) dan
demikian juga sebaliknya. (Giddens, 1995). Jadi, dalam pandangan

94
teori strukturasi Giddens, setiap penelitian yang hendak mengkaji
fenomena sosial tidak akan bisa menghasilkan analisis data secara
baik apabila tidak berusaha untuk mengintegrasikan agen-struktur.
C. Rangkuman
Pertama, dalam pandangan teori sistem, bahwa setiap
kehidupan sosial mempunyai unsur-unsur sosial dan unsur yang
satu dengan yang lain saling terkait (sebagai sistem). Demikian juga
kehidupan kebudayaan mempunyai unsur-unsur budaya yang
saling kait mengkait (sebagai suatu sistem). Teori sistem sangat
dipengaruhi oleh paham positivisme dan teori organisme; Kedua,
dalam pandangan teori fungsional struktural kehidupan sosial
budaya di masyarakat dipengaruhi oleh struktur sosial dan struktur
budaya (kondisi eksternal). Proses-proses kehidupan sosial budaya
di masyarakat selalu berkecenderungan untuk terintegrasi dan
selalu menjaga terwujudnya keseimbangan sistem (equilibrium).
Individu berkembang karena dia dipengahui oleh struktur sosial
dan budaya.
Ketiga, dalam pandangan teori konflik versi Marx,
kehidupan masyarakat merupakan suatu proses perkembangan
yang akan ‘menyudahi konflik melalui konflik’, jadi konflik menyatu
dalam kehidupan. Dan ciri utama hubungan-hubungan sosial di
masyarakat adalah pejuangan kelas yang berbasis kepentingan
ekonomi, bagi bagi Marx faktor ekonomi merupakan infrastruktur
kehidupan, sedangkan semua asek non ekonomi merupakan
suprastruktur. Semua teori konflik dan neo-konflik (neo-Marxian)
adalah berbasis kepada pandangan Marx, hanya saja pandangan
teori konflik Dahrendorf dan neo konflik Coser dan sebagainya,
tidak menjadikan faktor ‘ekonomi/ materi’ sebagai satu-satunya
sebab terjadinya konflik, tetapi banyak faktor lain, misalnya
kekuasaan dan kondisi sosial non-material lainnya.

95
Keempat, fenomena sosial budaya dalam pandangan teori
teori interaksionis simbolik dan teori fenomenologi, relatif sama
karena kedua teori ini ada dalam satu paradigma yaitu paradigma
definisi sosial atau berparadigma interpretif. Diantara ciri
pandangan paradigma ini antara lain: (1) memahami dunia
(masyarakat) seperti apa adanya, atau menuntut pemahaman
terhadap realitas sosial berdasarkan kesadaran subjektivitas
individu dalam proses-proses sosialnya; (2) dalam studi sosiologi
harus memahami fenomena sosial yang terbangun oleh pikiran
atau jiwa subjek (individu) secara terus menerus dalam praktek
kehidupan sehari-hari (meliputi pandangan, asumsi, nilai, motivasi,
tujuan, dan keyakinannya); (3) bersifat nominalis, artinya kehidupan
sosial tergantung pada sebutan atau pandangan subjek, dunia sosial
eksternal (realitas sosial eksternal) hanyalah sebuah nama atau
label. Disamping itu paradigma ini bersifat anti positivism, voluntaris
(manusia sepenuhnya otonom, manusia mempunyai keinginan
secara bebas atau sukarela dalam berekspresi). Paradigma ini
berorientasi pada ideologi atau aliran filsafat idealisme, dengan
pendekatan mikroskopik dalam melakukan analisis sosial-budaya.
Kelima, teoritikus post-modern dapat dikelompokkan
menajdi dua, yaitu teori post-modern yang bersifat moderat, dan
teori post-modern yang bersifat radikal. Meskipun banyak sisi
kelemahan dari teori post-modern, kehadiran teori post-modern
memberikan sisi-sisi positif khususnya bagi perkembangan wacana
teori sosiologi modern, antara lain: (1) kehadiran teori post-
modern mendorong tumbuhkan budaya kritik konstruktif bahkan
kritik dekonstruktif terhadap pandangan teori-teori sosiologi
konvensional dalam memahami fenomena sosial yang bersifat
statis dan terstruktur; (2) teori post-modern yang menolak adanya
‘narasi makro’, dan menawarkan ‘narasi mikro’, secara tidak langsung
telah menambah beragam khasanah perspektif bagi para teoritikus

96
sosial dalam memahami fenomena sosial budaya yang sangat
dinamik; dan (3) teori post-modern yang menolak adanya
‘kebakuan orientasi atau pandangan, kepatuhan dalam orientasi
dan interpretasi terhadap teori-teori konvensional yang telah ada’,
akan mendorong munculnya keterbukaan beragam interpretasi
baru (diferensiasi pandangan).
Keenam, setiap teori atau paradigma mempunyai kelebihan
dan kelemahan. Teori yang berparadigma fakta sosial (objektivistik)
dan definisi sosial (subjektivistik), keduanya tidak perlu
dipertentangkan karena keduanya justru saling melengkapi
(complement each ather) dalam memahami fenomena sosial-budaya.
Kekuatan dan kelemahan yang dimiliki masing-masing teori dan
pendekatan itulah yang menyebabkan perlunya memadukan
beragam teori dan pendekatan dalam analisis sosial-bidaya. Ada
permasalahan dalam studi ilmu sosial-budaya yang bisa
terpecahkan dengan penerapan teori dan pendekatan objektivis
(Quantitative research), akan tetapi ada juga permasalahan fenomena
sosial-budaya yang sulit dijelaskan dengan menggunakan
pendekatan objektivis, sehingga mengharuskan peneliti untuk
menggunakan teori dan pendekatan subjektivis (Qualitative research).
Jadi, analisis fenomena sosial dengan menggunakan teori integrasi
Ritzer atau Giddens adalah sangat proporsional.

D. Konsep-Konsep Penting

1. Teori integrasi merupakan teori yang menggabungkan


pendekatan mikro-makro, obyektif-subyektif, struktur-agen
yang cenderung dipertentangkan oleh tokoh sosiologi itu
sendiri.
2. Strukturasi merupakan istilah yang ditemukan oleh
Anthony Giddens untuk menjelaskan bahwa struktur sosial

97
bukanlah sesuatu yang statis, melainkan terus bergerak
sebagai akibat adanya interaksi antara struktur dengan
aktor.
3. Ada tiga unsur yang digabungkan oleh Ritzer dalam teori
integrasinya yaitu: fakta sosial, definisi sosial, dan perilaku
sosial.
E. Latihan
1. Uraikan pengertian teori sistem menurut Giddens dan Ritzer
!
2. Uraikan pengertian Strukturasi, struktur, dan struktural! Lalu
jelaskan perbedaannya !
3. Jelaskan pengertian “Obyekti-Subyektif’ dalam pandangan
teori integrasi!
F. Tes Formatif
1. Jelaskan latar belakang munculnya teori integrasi !
2. Aspek apa saja yang diintegrasikan dalam teori integrasi?
Jelaskan !
3. Berikan contoh realitas sosial terkait penerapan teori
integrasi di dalamnya !

98

Anda mungkin juga menyukai