Anda di halaman 1dari 46

1

BAB 1
PENDAHULUAN

Menurut World Health Organization (WHO), infertilitas adalah

ketidakmampuan pasangan suami istri untuk hamil setelah menikah 12 bulan atau

lebih yang melakukan hubungan seksual secara teratur dan tanpa menggunakan

alat kontrasepsi apapun.1 Infertilitas pada wanita secara umum disebabkan oleh

gangguan ovulasi dan uterus, kerusakan tuba, dan idiopatik. 2 Salah satu penyebab

terjadinya gangguan ovulasi adalah Polycystic Ovary Syndrome (PCOS).3

Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau Sindroma Ovarium Polikistik

(SOPK) merupakan kondisi kelainan hormonal (endocrinopathy) yang umum

terjadi pada wanita usia reproduksi karena terjadinya proses anovulasi. 4 Diagnosis

PCOS didasarkan pada setidaknya ada dua dari tiga kriteria Rotterdam 2003,

yaitu: oligo-anovulasi atau anovulasi kronik, tanda klinis dan atau biokimiawi

hiperandrogenemia, dan gambaran ovarium polikistik pada ultrasonografi.5

Data dari seluruh perempuan usia reproduksi yang tersebar diseluruh

dunia, 4-18% diantaranya mengalami PCOS. PCOS menyebabkan 5-10% wanita

usia reproduktif menjadi infertil.6 Berdasarkan penelitian Wahyuni tahun 2015 di

Padang, didapatkan 67 (72,04%) dari 93 pasien PCOS mengalami infertilitas. 7

PCOS secara umum banyak terdiagnosis pada perempuan usia reproduksi, namun

PCOS juga merupakan kelainan terkait genetik yang dapat ditemukan pada

seluruh perempuan berbagai usia.5


2

Pada penelitian Michelmore el atl. tahun 1999 di Inggris didapatkan

prevalensi PCOS pada rentang usia 18-25 tahun sebesar 33%. 8 Penelitian

Knochenhauer et al. (1998) di USA pada perempuan PCOS kulit putih dan kulit

hitam sebesar (29.4 ± 7.1 dan 31.1 ± 7.8, berturut-turut). 9 Penilitian Joham pada

tahun 2015 di Australia, dari 8.612 wanita dengan usia 28-33 tahun, sebanyak

5,8% diantaranya mengalami PCOS dan sebanyak 309 wanita penderita PCOS

tersebut mengalami infertilitas. Data tersebut membuktikan bahwa hampir 72%

wanita penderita PCOS mengalami infertilitas,10 sedangkan di Indonesia pada

penelitian yang dilakukan oleh Sumapraja et al. tahun 2011 didapatkan frekuensi

tertinggi pada rentang usia 26-30 tahun, yaitu sebesar 45.7%.11

Konsekuensi PCOS tidak hanya meliputi masalah reproduksi, terdapat

dampak multisismtem yang besar dari gangguan ini. Perempuan dengan PCOS

memiliki risiko timbulnya gangguan metabolik dan kardiovaskuler. Baik sindrom

metabolik dan PCOS memiliki resistensi insulin sebagai salah satu aspek penting

patogenesis. Resistensi insulin dapat ditemukan pada 50-80% perempuan dengan

PCOS. Pada pasien PCOS yang obesitas resistensi insulin dapat ditemukan pada

70-80% pasien sedangkan pada pasien PCOS yang langsing dapat ditemukan pada

20-25% pasien.5,12
3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi PCOS

Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) merupakan suatu kumpulan gejala

yang diakibatkan oleh gangguan sistem endokrin yang sering terjadi pada

wanita.13 PCOS ditandai dengan adanya hiperandrogenisme, disfungsi ovulasi,

dan ovarium polikistik. PCOS digambarkan dengan adanya anovulasi kronik

(80%), menstruasi yang irregular (8590%) dan hiperandrogen (80%) yang dapat

disertai dengan hirsutism (70%), akne (30%), seborrhea, dan obesitas (40%).14

Sejak pengamatan awal oleh Stein dan Leventhal pada tahun 1935,

ternyata PCOS telah berkembang menjadi suatu endokrinopati multisistim. PCOS

merupakan penyakit gynecological endrocrinopathy yang menjadi penyebab

paling umum dari infertilitas karena anovulasi.15

2.2 Epidemiologi PCOS

Epidemiologi PCOS tergantung pada populasi yang dinilai, seperti ada

perbedaan etnis dalam gejala klinis dan biokimia dari PCOS. Prevalensi yang

dilaporkan berkisar antara 2,2 - 26% di berbagai negara, tergantung pada metode

perekrutan, populasi penelitian, kriteria yang digunakan untuk definisi, dan

metode yang digunakan untuk mendefinisikan setiap kriteria. Prevalensi PCOS

dapat dipengaruhi oleh faktor ras atau etnik dan wilayah suatu negara. Pada

wanita infertil ditemukan PCOS sebesar 4-18%. Prevalensi wanita PCOS di Iran

pada usia reproduksi sebesar 15,2% menurut kriteria Rotterdam. 16 Data di Eropa,
4

sebesar 26% wanita menderita PCOS sedangkan di Alabama berkisar 4,511% dan

di Mesir sebesar 9%. Prevalensi PCOS berdasarkan kriteria NIH/NICHD sekitar

4%-8% dari wanita usia reproduktif.14

Penilitian Joham et al., pada tahun 2015 di Australia, dari 8.612 wanita

dengan usia 28-33 tahun, sebanyak 5,8% diantaranya mengalami PCOS dan

sebanyak 309 wanita penderita PCOS tersebut mengalami infertilitas. Data

tersebut membuktikan bahwa hampir 72% wanita penderita PCOS mengalami

infertilitas.10 Data di Indonesia, pada penelitian yang dilakukan oleh Sumapraja et

al. tahun 2011, didapatkan frekuensi tertinggi pada rentang usia 26-30 tahun, yaitu

sebesar 45.7% dan penelitian Wahyuni tahun 2015 di Palembang, didapatkan 67

(72,04%) dari 93 pasien PCOS mengalami infertilitas.7,11

2.3 Etiopatogeneis PCOS

Etiopatogenesis PCOS hingga saat ini masih belum diketahui sepenuhnya.

Berbagai sumber menjelaskan bahwa PCOS terjadi akibat interaksi kompleks

antara faktor genetik dan lingkungan, termasuk kebiasaan makan, perilaku, atau

faktor lain yang tidak ditentuk. Beberapa faktor juga bertanggung jawab, seperti

obesitas, resistensi insulin, dan sindrom metabolik yang dapat berkontribusi

secara langsung atau tidak langsung pada PCOS dan penyakit penyerta. Faktor-

faktor yang berhubunga dengan PCOS, yaitu:5,17 Hal tersebut dapat dilihat pada

gambar 2.1.
5

Gambar 2.1 Faktor yang dapat Mempengaruhi PCOS.17

2.3.1 Hiperandrogenisme

Hiperandrogenisme merupakan ciri utama PCOS. Produksi androgen yang

berlebih oleh ovarium, kelenjar adrenal atau keduanya, akan menyebabkan

aromatisasi androgen menjadi estrogen juga meningkat.17

Evaluasi hiperandrogenisme harus mencakup gambaran klinis (hirsutisme,

akne, atau alopesia androgenik) dan pengukuran hormonal. Profil androgen serum

pada PCOS ditandai dengan peningkatan testosteron total, peningkatan kadar

bioavailable testosteron, dan penurunan kadar sex hormone binding globuline

(SHBG). Hiperandrogenisme disebabkan oleh produksi hormon yang berlebihan

dari ovarium dan pada tingkat yang lebih rendah dari kelenjar adrenal. Langkah

pertama dalam sintesis androgen terjadi di sel teka yang distimulasi LH dan

dimediasi oleh mikrosomal P450c17. Perubahan aktivitas P450c17 pada tingkat

transkripsi dan posttranskripsi terlibat dalam etiologi PCOS. Respon ovarium

yang berlebihan terhadap LH selanjutnya diperkuat dengan peningkatan kadar LH

dan penurunan kadar FSH.17


6

Gangguan ovulasi pada PCOS disebabkan oleh peningkatan kadar LH dan

penurunan kadar FSH. Pada keadaan normal, folikulogenesis difasilitasi oleh

hormon FSH yang mengatur pertumbuhan folikel dan menghasilkan folikel

dominan yang siap untuk ovulasi. Pada pasien PCOS, androgen ovarium diubah

menjadi androgen tereduksi 5α yang tidak dapat diubah menjadi estrogen.

Androgen tersebut menghambat aktivitas aromatase dan induksi FSH reseptor LH

pada sel granulosa untuk mencegah perkembangan folikel. Folikel terus tumbuh

tetapi ditahan pada tahap awal sebelum proses maturasi. Terhentinya proses

maturasi folikel ovarium pada perkembanganya akan menghasilkan peningkatan

jumlah folikel dan menghasilkan morfologi ovarium polikistik. Pada ovarium

pasien PCOS terdapat hipertropi lapisan sel teka yang bertugas mensintesis

androgen.17

Mekanisme pasti yang mengarah ke penghentian pertumbuhan folikel

mungkin terkait dengan aktivasi folikel dini oleh LH. Willis dkk. menemukan

sekresi estradiol dan progesteron yang diinduksi LH dari folikel sekecil 4 mm dari

wanita PCOS anovulatori dibandingkan dengan 9-10 mm dari wanita yang

berovulasi. Respon dini terhadap LH ini dikaitkan dengan akumulasi cAMP yang

bertanggung jawab untuk menghentikan perkembangan folikel. Akibatnya, kadar

androgen ovarium yang tinggi menghambat pematangan folikel, memicu atresia

folikel, dan mencegah perkembangan folikel dominan.17


7

2.3.2 Obesitas

Obesitas akan menyebabkan hiperinsulin yang kronis atau resistensi

insulin. Hiperinsulin akan menstimulasi sel teka ovarium secara berlebihan untuk

memproduksi androgen. Stimulasi tersebut akan menghambat produksi sex

hormone binding globulin (SHBG) sehingga androgen bebas akan meningkat.

Androgen di perifer akan diaromatisasi menjadi estrogen sehingga dengan

estrogen yang tinggi dapat menyebabkan kelainan pulsasi LH. Pada obesitas juga

terdapat gangguan dalam pengendalingan sinyal rasa lapar. Akibatnya asupan

glukosa akan meningkat. Meningkatnya glukosa akan menyebabkan hiperinsulin

yang akan menstimulasi sekresi steroid adrenal sehingga terjadi hiperandrogen.17

2.3.3 Resistensi insulin

Resistensi insulin didefinisikan sebagai ketidakmampuan insulin eksogen

atau endogen untuk meningkatkan pengambilan glukosa dan pemanfaatannya.

Resistensi insulin dan hiperinsulinemia merupakan faktor kunci patogenesis

gangguan ovulasi dan hiperandrogenisme pada PCOS. Resistensi insulin terjadi

ketika jaringan yang responsif terhadap insulin seperti hati menjadi kurang sensitif

terhadap insulin, menyebabkan pankreas memproduksi insulin kompensasi yang

meningkat dan akhirnya menyebabkan hiperinsulinemia.17

Kadar insulin yang tinggi di ovarium akan menstimulasi enzim 17α-

hydroxylase yang akan meningkatkan proses konversi progesteron menjadi

androstendione. Pada kelenjar adrenal, hiperinsulinemia akan meningkatkan

aktivitas aksis hipofisis-pituitari-adrenal. Peningkatan aktivitas aksis hipofisi-

pituitari-adrenal akan meningkatkan aktivitas enzim 17α-hydroxylase yang


8

mengkonversi senyawa 17OH Pregnolone menjadi

Dehydroepiandrosteronesulphate (DHEAS). Peningkatan aktivitas adrenal

diperkirakan dapat menyebabkan fosforilasi reseptor insulin yang menyebabkan

resistensi insulin. Hiperinsulinemia juga menurunkan produksi sex hormone

binding globulin (SHBG) pada hepar sehingga kadar free testosteron akan

meningkat.17,18

Konsentrasi androgen bebas merupakan hal yang mempengaruhi aktivitas

androgen di organ perifer. Konsentrasi androgen bebas tidak hanya terjadi akibat

kelebihan produksi androgen namun dapat juga terjadi akibat penurunan kadar sex

hormone binding globuline (SHBG).19 Kulit merupakan salah satu organ target

utama androgen. Pada pasien PCOS, hiperandrogen dapat bermanifestasi dalam

bentuk hirsutisme, alopesia androgenik, jerawat, dan dermatitis seboroik.

Peningkatan kadar androgen diketahui berperan dalam perubahan distribusi lemak

tubuh yang mendorong terjadinya akumulasi lemak viseral.17,19,20

Pada pasien PCOS didapatkan peningkatan akumulasi lemak tubuh.

Akumulasi lemak akan menghasilkan peningkatan sitokin inflamasi. Resistensi

insulin terjadi akibar peningkatan sitokin inflamasi. Peningkatan sekresi LH dan

penurunan FSH yang mengakibatkan gangguan folikulogenesis. Terjadi

peningkatan produksi androgen akibat gangguan folikulogenesis dan

hiperinsulinemia. Hiperinsulinemia dapat menurunkan kadar SHBG yang juga

dapat menyebabkan hiperandrogen. Hiperandrogen dapat menyebabkan akumulasi

lemak di lokasi tertentu yang dapat meningkatkan pengeluaran sitokin inflamasi

sehingga terjadi siklus yang tidak berujung yang akan memperburuk gangguan
9

metabolik dan hormonal pada pasien PCOS.20 Hal tersebut dapat dilihat pada

gambar 2.2.

Gambar 2.2 Efek Peningkatan Akumulasi Lemak Tubuh pada Gangguan


Metabolik dan Hormonal Pasien PCOS

2.3.4 Reseptivitas endometrium

Reseptivitas endometrium memainkan peran penting dalam terjadinya

keberhasilan kehamilan.21 Endometrium wanita dengan PCOS dianggap sebagai

model endometrium disfungsional, dimana menunjukkan androgen reseptor yang

berlebih dan gagal untuk mengatur esterogen reseptor pada waktu Window of

Implantation (WOI). Berkurangnya ekspresi pada reseptivitas endometrium dan

regulasi serta aktivitas reseptor steroid dapat berkontribusi pada tingkat kehamilan

yang rendah pada wanita dengan PCOS. Beberapa penelitian menunjukkan

peningkatan risiko hingga 50% untuk keguguran pada wanita dengan PCOS.22
10

Persiapan endometrium sebelum implantasi diatur oleh steroid dan

beberapa ekspresi gen terutama HOXA10 dan HOXA11. Gen ini penting untuk

pertumbuhan endometrium, diferensiasi, dan penerimaan dengan memediasi efek

hormon steroid. Mediator lain yang terkait dengan reseptivitas endometrium

termasuk avb3 integrin, IGFBP-1, dan faktor penghambat leukemia (LIF) juga

diatur oleh gen HOX. Wanita dengan PCOS mengalami penurunan ekspresi

HOXA10 selama fase sekretori dan penurunan integrin. Penanda lainnya adalah

WT1. Perubahan ekspresi gen ini dapat menyebabkan implantasi abnormal dan

menurunkan angka kelahiran. Modifikasi pada jendela implantasi dan

kemungkinan penerimaan endometrium juga dimediasi oleh lingkungan steroid

yang abnormal.17

Wanita dengan PCOS sering muncul dengan siklus haid yang tidak normal

dan anovulasi, dimana hasilnya minimal atau tidak ada produksi progesterone

sebagaimana dibuktikan oleh fakta bahwa endometrium pada wanita dengan

PCOS lebih tebal dibandingkan pada wanita yang normal. 21 Ada semakin banyak

bukti bahwa kelainan endokrinologik dan metabolik pada PCOS mungkin

memiliki efek yang kompleks pada endometrium, berkontribusi terhadap

infertilitas dan gangguan endometrium diamati pada wanita dengan sindrom ini.

Androgen reseptor dan reseptor steroid ko-aktivator diekspresikan berlebih dalam

endometrium wanita dengan PCOS. Juga, biomarker reseptivitas endometrium

untuk embrio implantasi seperti αvβ3-integrin dan glycodelin-menurun, dan

ekspresi epitel α reseptor estrogen (ERα) abnormal berlanjut di jendela implantasi

di endometrium pada wanita dengan PCOS.22


11

2.3.5 Kualitas oosit dan embrio

Wanita dengan PCOS yang diterapi dengan kontrol stimulasi ovarium

cenderung menghasilkan folikel dalam jumlah tinggi. Namun, oosit telah

dilaporkan memiliki kualitas yang buruk yang menyebabkan tingkat pembuahan

dan implantasi yang rendah dan tingkat keguguran yang lebih tinggi. Hal ini dapat

disebabkan oleh gangguan kompetensi oosit dan perkembangan embrio yang

mungkin terkait dengan perubahan lingkungan mikro intrafolikuler selama

folikulogenesis dan pematangan folikel. Para peneliti menyatakan bahwa

androgen yang berlebihan dapat merusak kualitas oosit.17

2.3.6 Vitamin D

Prevalensi defisiensi vitamin D yang tinggi dilaporkan pada wanita PCOS

(67-85% dibandingkan dengan 20-48% pada populasi umum). Pada wanita

dengan PCOS, kadar vitamin D berhubungan dengan disfungsi hormonal dan

status metabolik. Kekurangan vitamin D juga menjadi faktor yang berhubungan

dengan resistensi insulin dan sindrom metabolik.17

Asadi et al. melaporkan bahwa varian genetik dari reseptor vitamin D

dikaitkan dengan keparahan PCOS secara klinis. Korelasi antara kekurangan

vitamin D dan infertilitas juga telah dilaporkan. Studi terbaru menunjukkan bahwa

rendahnya tingkat vitamin D dalam cairan folikel dikaitkan dengan implantasi

yang rendah.17
12

Norman et al. juga menambahkan beberapa etiopatogenesis lain yang

berhubungan dengan PCOS, yaitu:23

1. Peran Kehidupan In Utero dan Lingkungan Terhadap Kejadian PCOS

Pengaruh lingkungan terhadap terjadinya PCOS secara umum dapat dibagi

menjadi dua, yaitu pengaruh lingkungan in utero dan pengaruh lingkungan post-

natal.23

Escobar-Morreale pada tahun 2005 membuat model pengaruh lingkungan

dan kehidupan in utero terhadap terjadinya PCOS. Kehamilan yang mengalami

gangguan pada feto-plasenta akan mengakibatkan pertumbuhan janin terhambat

dan bayi yang kecil untuk masa gestasinya. Bayi tersebut memiliki predisposisi

mengalami resistensi insulin di kemudian hari, terutama bila mereka juga

menjalani gaya hidup yang buruk.23

Penelitian pada hewan menemukan bahwa paparan androgen in utero

secara berlebihan akan memberikan gejala serupa PCOS pada manusia

(hipersekresi dan gangguan pulsatilitas LH, hiperandrogenisme, dan resistensi

insulin). Franks pada tahun 2012 menjelaskan bahwa androgen berlebih tersebut

sangat mungkin berasal dari ovarium janin itu sendiri karena androgen dari ibu

akan diubah menjadi estrogen oleh aromatase plasenta. Androgen yang berlebih

kemudian dapat bermanifestasi pada berbagai tahap perkembangan, sejak janin

hingga pubertas.24 Hal ini dapat dilihat pada gambar 2.3.

Pada penelitian mengenai PCOS pada berbagai ras etnik, ditemukan

bahwa prevalensi PCOS pada berbagai ras tidak ada perbedaan, tetapi ras

berpengaruh terhadap manifestasi klinis (resistensi insulin, obesitas,


13

hiperandrogenisme, dislipidemia) PCOS. Perbedaan manifestasi klinis ini

mungkin disebabkan oleh faktor lingkungan, seperti pola makan, kebiasaan

olahraga, dan gaya hidup.23 Hal ini dapat dilihat pada gambar 2.4.

Gambar 2.3 Model Interaksi antara Pertumbuhan Janin Terhambat dengan


Terjadinya PCOS.5

Gambar 2.4 Model Hubungan Kompleks antara Faktor Genetik dan Lingkungan
Terhadap Kejadian PCOS.5
14

2. Teori Disbiosis of Gut Microbiota (DOGMA) pada PCOS

Salah satu karakteristik yang sering ditemukan pada PCOS adalah

inflamasi kronik derajat rendah. Tremellen et al. menyusun hipotesis yang

menghubungkan inflamasi kronik dengan gangguan pada mikroba usus yang

dinamakan teori Dysbiosis of Gut Microbiota (DOGMA). Hal ini menjelaskan

bahwa terdapat dua mekanisme utama pada teori DOGMA, yaitu:25

a. Diet tinggi lemak jenuh dan tinggi gula akan memacu pertumbuhan bakteri

patogen pada usus (Enterococcus, Clostridia, E. coli, Proteus,

Pseudomonas) dan menekan pertumbuhan bakteri baik (Bifidobacteria,

Lactobacillus). Dinding sel bakteri patogen gram negatif mengandung

Lipopolisakarida (LPS) yang dapat mengaktivasi respon inflamasi.25

b. Diet tinggi lemak, tinggi gula, dan rendah serat dalam makanan dapat

meningkatkan permeabilitas mukosa usus. Hal ini menyebabkan bocornya

lipopolisakarida dari usus ke dalam sirkulasi (endotoksemia metabolik)

sehingga mencetuskan respon inflamasi dan aktivasi makrofag yang

berujung pada terjadinya resistensi insulin.25

Hal diatas dapat dilihat pada gambar 2.5.


15

Gambar 2.5 Teori DOGMA Pada Patogenesis PCOS.5

2.4 Diagnosis PCOS

Gejala pasien PCOS cukup bervariasi dengan yang tersering dikeluhkan

oleh pasien adalah gangguan ovulasi berupa oligo hingga amenorea, infertilitas,

serta hirsutisme. Keadaan ini dihubungkan dengan perubahan hormonal-biokimia,

termasuk adanya resistensi insulin dan peningkatan androgen plasma. Tiga kriteria

diagnosis yang digunakan saat iniuntuk menegakkan diagnosis PCOS, yaitu:26

2.4.1 Kriteria National Institutes of Health (NIH)

Kriteria pertama berasal dari konferensi para ahli National Institute of

Child Health and Human Disease (NICHD) dari US National Institutes of Health

(NIH) pada tanggal 16-18 April 1990. Selama pertemuan ini, semua peserta

disurvei mengenai persepsi mereka tentang kriteria apa yang membentuk bagian

dari PCOS. Mereka menyimpulkan bahwa kriteria utama untuk PCOS harus

mencakup (1) hiperandrogenisme (didefinisikan sebagai rambut terminal yang


16

berlebihan yang muncul pada pria, akne atau alopesia androgenik) dan/atau

hiperandrogenemia (peningkatan kadar androgen serum dan biasanya mencakup

peningkatan total, bioavaibale atau free serum testosterone); (2) anovulasi atau

oligo-ovulasi (anovulasi dapat bermanifestasi sebagai perdarahan yang sering

pada interval < 21 hari atau jarang terjadi perdarahan dengan interval> 35 hari;

progesteron midluteal yang lebih rendah dari 3-4ng/mL dapat membantu

diagnosis) dan; (3) menyingkirkan gangguan lain yang diketahui.26

Survei NIH memiliki keuntungan untuk mengidentifikasi PCOS sebagai

diagnosis pengecualian gangguan androgen lainnya. Kriteria NIH/NICHD

menafsirkan hiperandrogenisme klinis sebagai hirsutisme, karena lebih dari 70%

hirsute women adalah hiperandrogenemik. Akibatnya, tiga fenotipe utama yang

diidentifikasi, yaitu: (1) wanita dengan hirsutisme, hiperandrogenemia, dan oligo-

ovulasi; (2) wanita dengan hirsutisme dan oligo-ovulasi atau; (3) wanita dengan

hiperandrogenemia dan oligo-ovulasi.26

2.4.2 Kriteria ESHRE/ASRM

Pada konsensus ASRM/ESHRE di Rotterdam tahun 2003 disepakati

diagnosis PCOS ditegakkan dengan adanya 2 dari 3 gejala yaitu (1) tanda klinis

atau biokimia hiperandrogenisme; (2) gangguan ovulasi kronik; dan (3)

ditemukan adanya gambaran morfologi ovarium polikistik pada pemeriksaan

Ultrasonografi (USG).26

A. Oligomenorea – amenorea dan/atau anovulasi

Gambaran PCOS ditemui pada 60 – 85% pasien dengan keluhan gangguan

menstruasi berupa oligomenorea dan amenorea. Consensus on Women’s Health


17

Aspects of PCOS menyatakan 90% perempuan dengan oligoamenorrhea atau

amenorrhea dapat didiagnosis dengan PCOS, dan hampir 95% perempuan dengan

PCOS mengeluhkan oligoamenorrhea atau amenorrhea. Pasien PCOS dengan

amenorrhea umumnya memiliki hiperandrogenisme berat dan jumlah folikel

antral lebih tinggi. Kondisi anovulasi terjadi akibat sekresi hormon gonadotropin

yang tidak sesuai, sehingga produksi hormon sehingga LH lebih tinggi

dibandingkan FSH.27

B. Hiperandrogenisme

Hiperandrogenisme pada PCOS dinilai secara klinis maupun biokimiawi.

Penilaian hiperandrogenisme secara klinis termasuk hirsutisme, alopesia

androgenik, akne, dan gejala lainnya, namun penilaian terutama diperoleh dari

hirsutisme.28

Secara biokimia, hiperandrogenisme dilihat dari peningkatan di sirkulasi

kadar androgen, terutama testosteron, serta androgen lainnya yaitu

androstenedion, DHEA, dan DHEA – S. Free testosterone atau free androgen

index (FAI) merupakan androgen yang lebih sering digunakan dalam diagnosis

hiperandrogenisme. Diantara androgen tersebut, yang lebih sensitif untuk

mendiagnosis hiperandrogenisme adalah Testosteron bebas (free T) atau free

androgen index (FAI). Nilai FAI dihitung dari total testosteron dalam nmol/L

dibagi dengan kadar SHBG dalam nmol/L x 100, dan dikatakan masuk dalam

kriteria PCOS jika nilai FAI > 5%.28,29

C. Gambaran Ovarium Polikistik


18

Gambaran morfologi ovarium polikistik sebagaimana didefinisikan oleh

kriteria Rotterdam tahun 2003 mengacu pada adanya setidaknya satu ovarium

yang menunjukkan 12 atau lebih folikel berukuran diameter 2–9 mm, terlepas dari

lokasinya, dan/atau volume total >10 mL 3, sebagaimana ditentukan oleh USG

transvaginal.26 Hal ini dapat dilihat pada tabel 2.1. Contoh dari gambaran ovarium

polikistik dapat dilihat pada gambar 2.6.

Gambar 2.6 Gambaran ovarium polikistik pada pemeriksaan USG.5

Tabel 2.1 Morfologi ovarium polikistik.26


Kriteria Rotterdam 2003
Jumlah folikel >12 folikel
Ukuran folikel Berdiameter 2-9mm
Ukuran ovarium >10 mL3

Sejumlah studi menunjukkan bahwa hiperandrogenisme merupakan

penentu terkuat dari patofisiologi PCOS dan disfungsi metabolik terkait, sehingga

pasien PCOS dengan non – hiperandrogenisme dikatakan memiliki etiologi yang

berbeda dari PCOS dengan hiperandrogen. Sejumlah evaluasi terkait kriteria

diagnosis PCOS dilakukan hingga pada tahun 2012 kemudian disimpulkan


19

penegakkan diagnosis PCOS berdasarkan kriteria Rotterdam ESHRE/ASRM

2003, dengan disertakan deskripsi fenotipe PCOS, yaitu sebagai berikut:5

Tabel 2.2 Deskripsi fenotipe PCOS


Fenotipe Gangguan Hiperandrogenism Gambaran morfologi
ovulasi e ovarium polikistik
A Ya Ya Ya
B Ya Ya Tidak
C Ya Tidak Ya
D Tidak Ya Ya

Studi yang dilakukan Yildiz tahun 2010 menunjukkan prevalensi PCOS

menurut kriteria Rotterdam sebesar 19,9% dengan fenotipe terbanyak adalah

fenotipe D (hiperandrogenisme dan gambaran morfologi ovarium polikistik),

berbeda dengan yang disebutkan oleh Lizneva et al. dan Guastella bahwa fenotipe

A dan B merupakan yang paling sering ditemukan. 30,31 Menurut studi oleh

Guastella, fenotipe A dan B (PCOS klasik) adalah kelompok pasien dengan

obesitas abdominal, peningkatan nilai androgen, nilai LH, serta peningkatan nilai

insulin dan resistensi insulin. Sedangkan fenotipe C (PCOS ovulasi) merupakan

bentuk ringan dari PCOS klasik, dan PCOS non-hiperandrogenik (fenotipe D)

adalah kelompok dengan kelebihan testosteron ringan namun tidak menunjukkan

tanda hiperandrogenisme.31 Lizneva et al menambahkan kelompok fenotipe PCOS

klasik, yaitu fenotipe A dan B, memiliki nilai anti-Müllerian AMH (nilai normal:

20 pmol/L) tertinggi, serta siklus menstruasi yang ireguler, dibandingkan dengan

kelompok fenotipe lainnya, yaitu PCOS ovulasi (fenotipe C) dan PCOS

nonhiperandrogenik (fenotipe D).30


20

2.4.3 Kriteria Androgen Excess (AE)-PCOS Society

Kriteria terbaru ditentukan oleh gugus tugas dari Androgen Excess (AE)

PCOS Society pada tahun 2006, yang merekomendasikan kriteria diagnostik

berikut untuk PCOS: (1) hirsutisme dan/atau hiperandrogenemia; (2) oligo-ovulasi

dan/atau adanya gambaran morfologi ovarium polikistik pada pemeriksaan USG;

dan (3) pengecualian kelebihan androgen lain atau gangguan terkait. AE-PCOS

(2006) mencoba untuk membuat keseimbangan antara definisi NIH (1990) dan

Rotterdam (2003), menggunakan tinjauan literatur untuk mendukung kriteria

mereka. Pada definisi kriteria ini, wanita ovulasi dengan hirsutisme dan/atau

hiperandrogenemia, dan adanya gambaran morfologi ovarium polikistik pada

pemeriksaan USG, didefinisikan sebagai menderita PCOS karena peningkatan

risiko disfungsi metabolik. Namun, definisi AE-PCOS tidak mencakup pasien

yang hanya menunjukkan disfungsi ovulasi dan gambaran morfologi ovarium

polikistik pada pemeriksaan pada USG, tanpa bukti kelebihan androgen, seperti

mengalami PCOS. Kriteria AE-PCOS (2006) mengidentifikasi individu dengan

PCOS yang memiliki peningkatan risiko disfungsi metabolik, meskipun kurang

dari kriteria NIH 1990.26

Perbedaan kriteria diagnostik Kriteria National Institutes of Health (NIH)

1990, Kriteria ESHRE/ASRM 2003, dan Kriteria Androgen Excess (AE)-PCOS

Society 2006 dapat dilihat pada tabel 2.3.


21

Tabel 2.3 Kriteria diagnostik PCOS.26


NIH (1990) ESHRE/ASRM Androgen Excess (AE)-
Rotterdam (2003) PCOS Society (2006)
Memenuhi kedua kriteria: Memenuhi 2 dari 3 Memenuhi kedua
1. Oligo- kriteria: kriteria:
ovulasi/anovulasi 1. Hiperandrogenemi 1. Hirsutisme dan/atau
kronis a hiperandrogenemia
2. Hiperandrogenemia 2. Oligo- 2. Oligo-ovulasi
ovulasi/anovulasi dan/atau ovarium
3. Ovarium polikistik polikistik dari hasil
dari hasil USG. USG
Tampak lebih dari
12 folikel
berdiameter 2-9
mm atau
peningkatan
volume ovarium
>10 mL3

2.4.4 Skor Ferriman – Gallwey

Hirsutisme merupakan penanda untuk hiperandrogenisme yang dapat

ditemukan pada 70% perempuan dengan PCOS, namun tanda hiperandrogenemia

tetap perlu dievaluasi secara biokimia pada seluruh perempuan suspek PCOS.

Skor Ferriman – Gallwey untuk mendiagnosis hirsutisme terbagi dalam skor

klasik Ferriman – Gallwey, masing masing dari 11 area tunuh dinilai dari 0 (tidak

adanya rambut terminal) hingga 4 (pertumbuhan rambut terminal yang luas) dan

angka disetiap area ditambahkan untuk mendapatkan skor total. Skor ≥8

mendefinisikan hirsutisme. Pada skor Ferriman – Gallwey yang dimodifikasi,

masing-masing dari 9 area tubuh dinilai dari skor 0 – 4 yang kemudian

dijumlahkan. Skor ≥ 6 mendefinisikan hirsutisme, sedangkan pada skor Ferriman

– Gallwey yang disederhanakan masing-masing dari 3 area tubuh dinilai dari skor
22

0 – 4 yang kemudian dijumlahkan. Skor ≥ 6 mendefinisikan hirsutisme. 26 Hal ini

dapat dilihat pada gambar 2.7

Gambar 2.7 Skor Skor Ferriman – Gallwey

Pemeriksaan hirsutisme pada PCOS umumnya menggunakan skor

Ferriman – Gallwey yang dimodifikasi. Hal tersebut dapat dilihat pada gambar

2.8.
23

Gambar 2.8 Skor Ferriman – Gallwey yang dimodifikasi.5,26

Pada sejumlah studi, hirsutisme dinilai dengan skor Ferriman – Gallwey

yang dimodifikasi, dan didapat bahwa manifestasi klinis PCOS dipengaruhi oleh

faktor lingkungan dan gaya hidup serta etnis pasien. Hal ini menjelaskan bahwa

penilaian hiperandrogenemia akan berbeda pada setiap negara. Perempuan Asia

umumnya tidak menunjukkan kondisi hirsutisme. Kumarapeli et al. tahun 2008

melaporkan prevalensi hirsutisme pada PCOS sebesar 5% pada populasi Asia

Tenggara, sementara studi oleh Chen et al. tahun 2008 melaporkan dari 2,2%

pasien PCOS di Cina bagian selatan, tidak terdapat pasien dengan skor ≥ 6.5

2.4.5 Peran AMH dalam diagnosis PCOS

Nilai Anti Mullerian Hormone (AMH) serum merupakan cerminan

kuantitas dan kualitas simpanan folikel di dalam ovarium, sehingga dapat

digunakan sebagai penanda cadangan ovarium. Kadar AMH serum berhubungan

dengan jumlah folikel antral pada pemeriksaan USG, kadar testosteron, dan

volume ovarium. Kadar AMH serum lebih tinggi 2 – 3 kali lipat pada pasien

dengan PCOS dibandingkan perempuan normal. Nilai batas AMH 20 pmol/L

telah disarankan untuk diagnosis PCOS. Penelitian oleh Wiweko tahun 2014

melaporkan pasien dengan kadar AMH yang tinggi memiliki kemungkinan 9 kali

lebih tinggi menderita PCOS.32

2.4.6 Pemeriksaan resistensi insulin

Resistensi insulin pada pasien PCOS umumnya berkaitan dengan obesitas.

Resistensi insulin menggambarkan gangguan respon biologis terhadap insulin dan

proses metabolik. Sebagian besar pasien PCOS menderita resistensi insulin dan
24

saat ini merupakan etiologi tersering menyebabkan PCOS dan juga gejala-gejala

klinik yang sering terjadi seperti AKNE, hirsutisme, serta peningkatan serum

androgen. Achantosis nigricans merupakan salah satu tanda patognomonik dari

resistensi insulin, yang juga cukup sering ditemui pada pasien PCOS. Hal tersebut

dapat dilihat pada gambar 2.9.

Gambar 2.9 Achantosis Nigricans merupakan Patognomonik Resistensi Insulin.5

Keadaan resistensi insulin secara klinis dinilai dengan memeriksa kadar

insulin baik puasa maupun setelah TTGO, pemeriksaan kadar glukosa sekuensial

setelah pemberian insulin intravena penghitungan homeostatic model assessment

of insulin resistance (HOMA-IR), quantitative insulin sensitivity check index

(QUICKI) dan juga pengukuran menggunakan prosedur euglycemic

hyperinsulinemic clamp. Namun, pada studi terbaru oleh Veltman-Verhults

dilaporkan bahwa pada tahap awal cukup dilakukan pemeriksaan kadar glukosa

puasa. Pemeriksaan TTGO dilakukan bila kadar glukosa puasa 110-126 mg/dl.23

Hingga saat ini baku emas dalam penilaian sensitivitas kerja insulin adalah

pemeriksaan klem euglikemik, dan telah digunakan dalam sejumlah penelitian

PCOS, namun karena keterbatasan peralatan dan tenaga, maka sulit untuk
25

dilakukan. Pemeriksaan lainnya seperti HOMA dan QUICKI cukup sering

digunakan pada PCOS. HOMA-IR dihitung dengan membagi kadar glukosa puasa

(mg/dl) dan insulin (µU/mL) dengan konstanta: [glukosa (mg/dl)] [insulin

(µU/mL)] /405, atau [glukosa (mmol/L)][insulin (µU/mL)] /22,5. Resistensi

insulin pada pengukuran dengan HOMA-IR ditandai dengan nilai lebih dari 3,2-

3,9. Sedangkan, perhitungan dari metode QUICKI yaitu kebalikan dari jumlah

kadar glukosa puasa dan insulin, melalui logaritma: (1/[log(glukosa)

+log(insulin)]; resistensi insulin ditandai dengan nilai lebih dari 0,33. HOMA-IR

dan QUICKI dapat digunakan pada pasien dengan euglikemik dan hiperglikemik.5

2.5 Infertilitas Pada PCOS

Infertilitas pada pasien dengan PCOS diakibatkan oleh oligo ataupun

anovulasi. Perempuan dengan PCOS subfertil sekunder sering mengalami

disfungsi ovulasi, masalah dengan kualitas oosit, dan penerimaan endometrium.

Terdapat hubungan antara obesitas dan oligomenore dengan penurunan

fekunditas. Peningkatan obesitas abdominal dengan peningkatan resistensi insulin

juga dapat memperburuk kelainan reproduksi. Peningkatan hiperandrogenisme

ovarium dan hiperinsulinemia menyebabkan luteinisasi prematur sel granulosa

dan gangguan lingkungan intrafollicula, yang mengarah ke gangguan pematangan

oosit.12,28

Lima teori telah dtemukan untuk mejelaskan terjadinya anovulasi pada

PCOS: (1) Teori efek auto-inhibitor dikarenakan jumlah folikel yang berlebihan;

(b) Teori efek prematur dari LH pada sel granulosa terhadap seleksi folikel; (c)
26

Teori tidak responsifnya folikel dikarenakan adanya resistensi insulin akibat

hiperinsulinemia; (d) Teori peningkatan aktivitas dari c-AMP pada sel granulosa

dari folikel; (e) Teori abnormalitas oosit dan teori peningkatan AMH (Anti

Mullerian Hormon) menginduksi pertumbuhan folikel dengan umpan balik negatif

terhadap FSH (Follicle Stimulating Hormon).12,28

Selain oligo ataupun anovulasi, faktor lain juga berperan menyebabkan

infertilitas pada pasien PCOS. Telah lama diketahui bahwa pada pasien PCOS

selama induksi ovulasi multipel saat proses FIV, didapatkan oosit dalam jumlah

banyak saat pengambilaan oosit. Namun oosit tersebut memiliki kualitas yang

kurang baik, pembelahan dan implantasi juga rendah dan tingginya kemungkinan

terjadi keguguran. Kegagalan pematangan oosit dan perkembangan janin pada

pasien PCOS ini dikarenakan abnormalitas endokrin dan parakrin, gangguan

metabolik dan perubahan pada lingkungan di dalam maupun diluar rahim selama

folikologenesis dan pematangan folikel.12,28

2.6 Tatalaksana PCOS

2.6.1 Perubahan gaya hidup dan nutrisi

Modifikasi gaya hidup merupakan terapi lini pertama yang mencakup

intervensi diet dan aktivitas fisik. Modifikasi diet pada perempuan dengan PCOS

memiliki efek perbaikan profil hormonal dan metabolik. Pengaturan diet harus

didasari pada diet seimbang dengan mempertimbangkan indeks glikemik dari

jumlah karbohidrat yang dikonsumsi. Pembatasan asupan nutrisi dan olahraga

merupakan landasan utama tatalaksana PCOS dengan obesitas. Melakukan

modifikasi gaya hidup, diharapkan dapat menurunkan kadar lemak dalam tubuh
27

serta meningkatkan sensitivitas insulin. Aktifitas fisik seperti berolahraga dapat

memperbaiki kadar glukosa serta menurunkan risiko gangguan kardiovaskular.

Kombinasi antara olahraga dan pembatasan jumlah kalori yang dikonsumsi lebih

cepat mengecilkan lingkar pinggang dan menurunkan massa lemak pada hepar

dibandingkan hanya pembatasan nutrisi saja.5

2.6.1.1 Diet

Sekitar 30-75% perempuan dengan PCOS di seluruh dunia mengalami

kelebihan berat badan atau obesitas, sehingga penanganan pertama pada

perempuan PCOS dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) ≥ 25 kg/m 2 adalah

penurunan berat badan dan pada perempuan PCOS dengan IMT ≤25kg/m 2

disarankan untuk menjaga berat badan agar tidak berlebih. Pada kedua kelompok

perempuan tersebut disarankan untuk mengurangi asupan kalori dan berolahraga

sebagai terapi lini pertama PCOS.5

Intervensi gizi yang dilakukan untuk menurunkan berat badan adalah

pengurangan jumlah kalori sebesar 500-1000 kkal/hari dengan komposisi

seimbang disertai peningkatan asupan serat. Komposisi makanan seimbang yang

dimaksud adalah 50% karbohidrat, 20% protein, dan 30% lemak. Asupan lemak

tersebut juga dibagi menjadi 10% lemak jenuh, 10% lemak polyunsaturated, dan

10% lemak monounsaturated. Umumnya, penurunan berat badan berkisar 0,5-1,0

kg/minggu, yakni sebesar 3.500-7.000 kalori/minggu. Diet pada pasien PCOS

harus ada keseimbangan antara kategori makanan yang berbeda. Karbohidrat,

protein, lemak dan serat harus dikonsumsi dalam proporsi yang tepat.5

a. Diet karbohidrat
28

Pemilihan jenis karbohidrat yang baik, dapat menggunakan Indeks

Glikemik (IG). IG merupakan suatu indeks yang menggambarkan potensi

karbohidrat yang terkandung dalam makanan untuk menaikkan kadar glukosa

darah setelah konsumsi makanan tersebut. IG pada beberapa bahan pangan dapat

dilihat pada gambar 2.10.

Gambar 2.10 Nilai Indeks Glikemik Pada Bahan Pangan.5

Karbohidrat dengan IG rendah meningkatkan sensitivitas insulin dan

meningkatkan konsentrasi kolesterol HDL. Sementara itu, karbohidrat dengan IG

tinggi meningkatkan kembali resistensi insulin. Selain itu, data dari studi

epidemiologi menunjukkan bahwa diet dengan IG rendah menurunkan risiko

diabetes mellitus tipe 2 dan penyakit kardiovaskular. Diet dengan IG rendah

secara tidak langsung mengurangi risiko terjadinya kanker endometrium pada


29

perempuan PCOS dengan cara menurunkan IMT, hiperinsulinemia dan

hiperandrogenemia.5

b. Diet protein

Sorensen et al. pada tahun 2012 melakukan sebuah studi untuk

membandingkan efek dari diet tinggi protein (protein >40%, lemak 30%,

karbohidrat <30%) dengan diet protein standart (protein <15%, lemak 30%, dan

karbohidrat 55%). Dari penelitian tersebut didapatkan penurunan berat badan dan

penurunan lemak tubuh lebih besar pada diet tinggi protein dibandingkan dengan

diet protein standart. Hal ini juga sejalan dengan penurunan nilai lingkar pinggang

dan kadar insulin pada diet tinggi protein dibandingkan diet protein standar.5

Hasil dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa diet tinggi protein dan

diet rendah karbohidrat memiliki efek yang menguntungkan bagi perempuan

PCOS dengan adanya penurunan yang signifikan massa tubuh, akumulasi lemak

viseral dan adanya peningkatan metabolisme glukosa. Moran et al. menunjukkan

bahwa diet 1.400 kkal/hari, terlepas dari kandungan protein (30% dan 15%)

menyebabkan penurunan berat badan yang sama, penurunan kadar trigliserida

plasma, kolesterol total dan kadar insulin.5

c. Diet lemak

Peningkatan konsumsi asam lemak tak jenuh telah dilaporkan dapat

meningkatkan sensitivitas insulin pada penderita obesitas dan penderita diabetes

mellitus tipe 2. Secara keseluruhan, asupan lemak sebaiknya tidak lebih dari 30%

dari total kalori dari diet, dengan maksimum 10% dari kalori berasal dari lemak

jenuh.5
30

d. Diet serat

Piraloo dkk (2014) melakukan sebuah studi RCT mengenai efek diet tinggi

serat terhadap perubahan profil hormon pada perempuan dengan IMT lebih dari

25 kg/m2. Hasil penelitian menunjukkan adanya penurunan nilai DHEA, estradiol

dan testosteron yang signifikan sesudah intervensi diet pada kelompok yang

mendapat diet tinggi serat (sebanyak 25gram/hari yang terdiri dari sayur-sayuran

hijau dan buah-buahan segar) dibandingkan dengan sebelum diet.5

e. Vitamin D

Defisiensi vitamin D umum ditemukan pada perempuan dengan PCOS.

Paparan cahaya ultraviolet dari matahari diperlukan oleh manusia dalam

memenuhi kebutuhan vitamin D. Saat terpapar oleh matahari, ultraviolet B akan

diserap oleh 7dehidrokolesterol yang terdapat pada kulit dan berubah menjadi

previtamin D. Setelah itu, previtamin D3 yang terdapat pada plasma akan

menyusun ikatan kimianya menjadi bentuk vitamin D dan lebih stabil terhadap

perubahan suhu. Beberapa faktor seperti cuaca, ketinggian, waktu paparan

matahari (pagi atau sore), usia, dan penggunaan tabir surya akan mempengaruhi

sintesis vitamin D yang berasal dari kulit. Vitamin D kemudian akan di

metabolisme di hati menjadi 25-hidroksivitamin D dan di ginjal menjadi bentuk

aktif yaitu 1,25-dihidroksivitamin D.5

Beberapa makanan yang merupakan sumber vitamin D diantaranya adalah

minyak ikan dari ikan salmon, ikan kembung, ikan kod, ikan tuna, dan ikan sarden

(sekitar 360 IU per 1000 gram penyajian). Kuning telur juga merupakan salah satu

sumber vitamin D walaupun kandungannya bervariasi dan tidak sebanyak minyak


31

ikan (hanya 50 IU per kuning telur). Kandungan kolesterol pada kuning telur

cukup tinggi sehingga kuning telur bukan sumber pilihan utama untuk memenuhi

kebutuhan vitamin D.5

2.6.1.2 Aktivitas fisik

Menurut pedoman American College of Sports Medicine dan American

Heart Association pada tahun 2007 merekomendasikan aktivitas fisik seperti

aerobik yang berintensitas sedang minimal 30 menit setiap 5 kali dalam seminggu

atau aerobik yang berintensitas berat minimal selama 20 menit setiap 3 kali dalam

seminggu atau kombinasi keduanya untuk menjaga kesehatan tubuh tetap

optimal.33

Menurut WHO, manajemen awal penurunan berat badan adalah dengan

merubah pola makanan, pembatasan asupan kalori, dan meningkatkan aktivitas

fisik. Perubahan lemak viseral tidak dapat dicapai dengan perubahan pola makan

saja. WHO merekomendasikan untuk menurunkan berat badan dengan olahraga

yang berintensitas sedang setiap 3-5 kali dalam seminggu, idealnya dilakukan

setiap hari, termasuk berjalan, berenang, mengerjakan pekerjaan rumah tangga

dan berkebun. Durasi olahraga 30-45 menit/hari atau lebih dari 150 menit/minggu.

Olahraga yang berintensitas sedang ini sesuai dengan 150 kalori dari konsumsi

energi per hari.5

2.6.2 Farmakologi

2.6.2.1 Regulasi haid


32

Tatalaksana gangguan menstruasi pada pasien PCOS yang tidak hamil

adalah dengan kontrasepsi kombinasi. Regimen kombinasi ini akan menginduksi

siklus haid teratur dan menekan pertumbuhan endometrium.5

a. Pil Kontrasepsi Kombinasi (PKK)

Pil Kontrasepsi Kombinasi (PKK) merupakan pil yang mengandung dua

macam hormon dosis rendah, yaitu progestin dan estrogen sintesis. Dasar dari

PKK adalah meniru proses-proses alami pada tubuh perempuan. Pil akan

menggantikan produksi normal estrogen dan progesteron oleh ovarium. Kerja

utamanya adalah dengan mencegah pelepasan ovum dari ovarium (ovulasi).5

- Jenis :

1. Monofasik : Jenis pil yang paling banyak digunakan. Pil yang tersedia

dalam kemasan 21 tablet mengandung hormon aktif estrogen/progestin

(E/P) dalam dosis yang sama, dengan 7 tablet tanpa hormon aktif.

2. Bifasik : Pil yang tersedia dalam kemasan 21 tablet mengandung

hormon aktif estrogen/progestin (E/P) dengan 2 dosis yang berbeda,

dengan 7 tablet tanpa hormon aktif.

3. Trifasik : Pil yang tersedia dalam kemasan 21 tablet mengandung

hormon aktif estrogen/progestin (E/P) dengan tiga dosis yang berbeda,

dengan 7 tablet tanpa hormon aktif.

Skema pil kombinasi dapat dilihat pada gambar 2.11.


33

Gambar 2.11 Skema Pil Kombinasi (putih = progestin, hitam = estrogen).5

- Cara kerja : fungsi PKK pada terapi PCOS secara umum untuk

merangsang timbulnya siklus haid yang teratur, mengurangi sekresi LH,

mengurangi produksi androgen, dan meningkatkan kadar SHBG. Komponen

estrogennya dapat meningkatkan protein pengikat homon steroid sehingga

mengurangi androgen bebas dan menurunkan kejadian kista ovarium dan

anovulatory-bleeding. Komponen progestin memiliki efek antagonis pada reseptor

androgen atau menghambat aktivitas 5-α reduktase dan melindungi endometrium

dari reaksi hiperplasia sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya kanker

endometrium yang meningkat pada perempuan dengan PCOS. Pasien dengan

PCOS terjadi anovulasi yang kronis dimana endometriumnya distimulasi hanya

dengan estrogen. Hal ini menjadi endometrium hiperplasia dan dapat terjadi

endometrium karsinoma pada pasien PCOS dengan anovulasi yang kronis.5

b. Progestin

- Jenis :

1. Progestin Only Pil (POP): pil kontrasepsi yang mengandung progestin saja

dengan dosis yang sangat rendah seperti hormon alami progesteron dalam tubuh

perempuan. Progestogen LARCs (Long Acting Reversible Contraceptives)

meliputi:5
34

- Etonogestrel implan, seperti Implanon®

- Depot Medroxyprogesterone Acetate (DMPA)

- Levonorgestrel intrauterine system (LNG-IUS)

2. Implan: alat kontrasepsi berupa batang plastik kecil atau kapsul, masing-

masing seukuran batang korek api, yang dapat melepaskan progestin seperti

hormon progesteron alami dalam tubuh perempuan, dan dipasang di bawah kulit

pada bagian dalam lengan atas. Macam-macam implan:5

- Jadelle®: 2 batang, efektif selama 5 tahun

- Implanon®

- Sino-Implan (II), juga dikenal sebagai Femplant, Trust Implan, dan Zarin:

2 batang, efektif selama 4 tahun (dapat diperpanjang sampai 5 tahun).

- Norplant®: 6 kapsul, digunakan selama 5 tahun (beberapa penelitian besar

melaporkan efektifitasnya sampai 7 tahun).

3. Suntik progestin: jenis kontrasepsi dalam bentuk suntikan depot yang

mengandung Depot Medroxyprogesterone Acetate (DMPA) dan norethisterone

enanthate (NET-EN) masing-masing berisi progestin seperti hormon progesteron

alami dalam tubuh perempuan. Hormon tersebut akan didepot di dalam otot dan

dilepaskan secara perlahan sehingga akan habis dalam waktu tertentu.5

- Cara kerja : Progestin menekan kadar LH dan produksi androgen

ovarium. Selain itu, progestin juga memiliki efek antagonis pada reseptor

androgen atau menghambat aktivitas 5-α reduktase dan mencegah endometrium

mengalami hiperplasia sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya kanker

endometrium yang meningkat pada perempuan dengan PCOS.5


35

2.6.2.2 Penatalaksanaan infertilitas dengan PCOS

a. Klomifen Sitrat sebagai pilihan utama pada induksi ovulasi

- Cara kerja : Klomifen sitrat adalah terapi lini pertama induksi ovulasi pada

siklus anovulasi yang memiliki angka keberhasilan sebesar 70-80%. Angka

kehamilan pada pasien PCOS yang respon terhadap klomifen sitrat yaitu rata-rata

sebesar 15% per siklus. Syarat pemberian klomifen sitrat yaitu adanya aksis

hipotalamus-hipofisis yang normal agar induksi ovulasi dapat terjadi. Klomifen

sitrat bekerja dengan cara mengikat reseptor estrogen di hipotalamus sehingga

terjadi umpan balik positif estrogen terhadap hipotalamus. Blokade reseptor

estrogen ini akan meningkatkan produksi GnRH dari hipotalamus yang kemudian

akan menstimulasi perkembangan folikel.5 Hal tersebut dapat dilihat pada gambar

2.7.

Gambar 2.7 Mekanisme kerja klomifen sitrat.5

- Dosis untuk induksi ovulasi : Pemberian klomifen sitrat diawali dengan

dosis 50 mg/hari melalui rute oral selama 5 hari yang dimulai pada hari ke-2
36

hingga ke-5 siklus menstruasi. Dosis dapat ditingkatkan hingga 100 mg/hari jika

tidak terdapat respons atau dikurangi menjadi 25 mg/hari jika respons terlalu

berlebihan. Resistensi terhadap klomifen sitrat terjadi jika tidak terdapat ovulasi

setelah diberikan klomifen sitrat selama enam siklus berturutturut dengan dosis

150 mg.5

- Efek samping : ganggguan pengelihatan, semburan panas (hot flushes),

perut kembung, perubahan mood, pusing, dan mual. Pemberian klomifen sitrat

harus segera dihentikan terutama jika terjadi gangguan pengelihatan.5

b. Insulin Sensitizing Agent

Insulin Sensitizing Agent (Metformin, pioglitazon, rosiglitazon, inositol)

bekerja dengan cara meningkatkan sensitivitas jaringan perifer terhadap insulin

sehingga kadar insulin menjadi rendah dalam sirkulasi.5

1. Metformin

Metformin menghambat glukoneogenesis dan meningkatkan pengambilan

glukosa oleh jaringan perifer serta menurunkan oksidasi lemak, sehingga

hiperinsulinemia dapat ditekan sehingga terjadi penurunan kadar androgen.

Pemberian metformin dapat menggeser keseimbangan endokrin terhadap ovulasi

dan kehamilan. Metformin dapat menurunkan kadar insulin puasa tetapi tidak

mempengaruhi indeks massa tubuh atau rasio pinggang-pinggul.5

Dosis awal metformin yang diberikan yaitu 250-500 mg/hari melalui rute

oral dan ditingkatkan hingga dosis optimal yaitu 1500-2250 mg yang dibagi
37

dalam 3 kali pemberian. Metformin seringkali menyebabkan efek samping pada

sistem gastrointestinal seperti kembung, mual, muntah hingga diare sehingga

sebaiknya dikonsumsi bersama makanan. Metformin kerja panjang (Glumetza)

juga dapat diberikan dua kali sehari sebanyak 850 mg/kali pemberian untuk

meningkatkan kepatuhan berobat.5

Pemberian metformin selama enam bulan dengan dosis 1000-1500 mg/hari

dapat menurunkan kadar AMH, jumlah folikel, dan volume ovarium perempuan

dengan PCOS sehingga risiko terjadinya hiperstimulasi ovarium dapat dikurangi.5

2. Tiazolidindion (Troglitazon, Rosiglitazon, Pioglitazon)

Tiazolidindion merupakan ligan selektif pada faktor transkripsi nuklear

peroxisomeproliferator-activated receptor g (PPARg) yang diekspresikan terutama

pada jaringan adiposa, namun juga dapat ditemukan di sel beta pankreas, endotel

vaskular dan makrofag. Obat golongan tiazolidindion yang pertama kali diizinkan

penggunaannya yaitu troglitazon namun telah ditarik kembali dari pasar karena

sifat hepatotoksik yang ditimbulkannya. Obat golongan tiazolidindion lainnya

yang masih beredar yaitu rosiglitazon dan pioglitazon.5

Tiazolodindion bekerja sebagai insulin sensitizing agent melalui dua

mekanisme: (1) Mekanisme langsung atau disebut juga hipotesis 'fatty acid steal'

yaitu dengan meningkatkan ambilan asam lemak pada jaringan adiposa sehingga

massa jaringan adiposa akan meningkat dan menyelamatkan jaringan lain yang

sensitif terhadap insulin seperti sel beta pankreas, hepar dan otot rangka dari efek

buruk asam lemak. (2) Mekanisme tidak langsung yaitu dengan meningkatkan
38

ekspresi adiponektin dan menurunkan ekpresi 11b-hidroksisteroid dehidrogenase

tipe 1 (enzim yang mengkatalisasi perubahan kortison inaktif menjadi kortisol

aktif).5

3. Inositol

Bukti ilmiah menunjukkan bahwa suplementasi inositol berkontribusi

terhadap penurunan kadar FSH yang diperlukan untuk ovulasi, meningkatkan

kualitas oosit (menurunkan jumlah total germinal vesicle dan oosit yang

berdegenerasi) dan meningkatkan jumlah oosit yang terkumpul setelah stimulasi

ovarium pada pasien yang menjalani Assisted Reproductive Technology (ART),

baik IVF atau ICSI.5

c. Aromatase Inhibitor (AI)

Pada awalnya aromatase inhibitor (AI) digunakan sebagai salah satu terapi untuk

kanker payudara pada perempuan menopause. Pada tahun 2001, AI diusulkan

untuk pertama kalinya sebagai obat baru untuk induksi ovulasi pada perempuan

PCOS yang resisten terhadap klomifen sitrat. Letrozol dan anastrozol merupakan

obat golongan AI yang digunakan untuk induksi ovulasi, namun letrozol

merupakan obat yang lebih sering digunakan.5

- Cara kerja : secara fungsional menekan produksi estrogen melalui

stimulasi aksis hipotalamus-pituitari yang berimplikasi meningkatkan

gonadotropin-releasing hormone (GnRH) and follicle stimulating hormone (FSH).

2 Dibandingkan anastrozole, penelitian terkait penggunaan letrozole lebih banyak.

4 Berdasarkan hasil review sistematik dan meta-analisis, letrozole meningkatkan


39

tingkat ovulasi dan kelahiran hidup secara signifikan serta menurunkan risiko

kehamilan kembar dibandingkan clomiphene citrate.5

- Dosis : Letrozol digunakan paling sering untuk induksi ovulasi

yang diberikan melalui rute oral. Dosis letrozol yaitu antara 2.5-7.5 mg/hari yang

diberikan selama lima hari dan dimulai di hari ke-3 pada siklus ovulasi.5

d. Gonadotropin pada pasien dengan resistensi klomifen sitrat

Strategi alternatif induksi ovulasi pada kasus resistensi klomifen sitrat

adalah dengan terapi gonadotropin. Konsep metode induksi ovulasi dengan

gonadotropin yaitu memicu dan mempertahankan pertumbuhan folikel sesuai

dengan fungsi fisiologis. Untuk dapat memicu dan mempertahankan pertumbuhan

folikel, diperlukan peningkatan kadar FSH sementara. Prinsip utama induksi

ovulasi dengan FSH yaitu untuk mendapatkan siklus monofolikel yang

didefinisikan dengan adanya satu folikel yang berukuran ≥16 mm. Hal ini penting

untuk diperhatikan saat melakukan induksi ovulasi karena terdapat risiko

terjadinya hiperstimulasi ovarium.5

- Dosis : Protokol konvensional pemberian gonadotropin untuk

siklus anovulasi yaitu dimulai dengan dosis 150 IU setiap hari. Protokol

meningkatkan risiko terjadinya sindrom hiperstimulasi ovarium. Salah satu upaya

untuk mengurangi terjadinya risiko ini yaitu dengan menggunakan protokol dosis

rendah 50-70 IU/hari selama 7-14 hari dan dosis ditingkatkan bertahap setiap

minggu hingga terjadi perkembangan folikel.5

- Efek samping : Pemberian gonadotropin meningkatkan risiko

hiperstimulasi yang berkaitan dengan risiko terjadinya kehamilan multipel. Selain


40

itu, rute pemberian gonadotropin yang mungkin kurang nyaman bagi pasien serta

biaya yang dikeluarkan lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian klomifen

sitrat sehingga gonadotropin bukan merupakan pilihan utama bagi perempuan

PCOS yang akan menjalani induksi ovulasi.5

2.6.3 Bedah laparoskopi ovarium

Terapi ini dipilih untuk pasien yang sulit dipantau dengan terapi

gonadotropin. Kelebihan terapi ini dibandingkan terapi gonadotropin mengurangi

risiko kehamilan multipel. Terapi ini lebih efektif pada pemeriksaan awal hormon

LH yang tinggi, karena didapatkan penurunan hormon LH dan androgen yang

bermakna setelah terapi. Siklus menstruasi yang teratur setelah terapi pada 63-

85% wanita dan meningkatkan kesuburan.34

2.6.4 In Vitro Fertilization (IVF)

IVF merupakan pilihan bila terjadi kegagalan terapi lini pertama dan

kedua. Biasanya IVF menjadi pilihan pada kelainan berat pada perempuan

(endometriosis, obstruksi tuba, dan kelainan obstetri lain yang mengganggu

kesuburan) dan laki-laki (azoospermia dan kelainan kesuburan pria). Sindrom

hiperstimulasi ovarium (OHSS) adalah efek samping umum terapi gonadotropin.

OHSS adalah kumpulan gejala jika ovarium bereaksi berlebihan dan

menghasilkan terlalu banyak kantung telur (folikel).15,34

IVF merupakan transfer embrio tunggal pada endometrium, sehingga

merupakan alternatif untuk mengurangi kemungkinan komplikasi tersebut.

Protokol yang dapat dipilih sebelum tindakan IVF di antaranya kombinasi atau

dosis tunggal clomiphene, human menopausal gonadotropins (hMG), rekombinan


41

FSH, agonis GnRH, dan antagonis GnRH. Protokol yang paling sering dipilih

yaitu desensitisasi FSH yang dimulai pada fase awal, tengah, dan akhir luteal

untuk mengawali siklus dari fase folikel hingga pemberian hCG. Keberhasilan

IVF pada PCOS sama dengan pasien tanpa PCOS yang menandakan PCOS sama

sekali tidak mengganggu proses implantasi embrio.34

2.6.5 Pengobatan alternatif

Berbagai modalitas pengobatan alternatif antara lain kinesiologi,

herbalisme, homeopati, refleksiologi, akupresur, akupuntur, induksi ovulasi, dan

terapi pijat. Akupunktur merupakan modalitas yang paling umum dan terbukti

dapat mengatur siklus menstruasi pasien PCOS, menurunkan berat badan,

memperbaiki suasana hati, dan mengurangi nyeri kepala. Aplikasi jarum

akupunktur dapat meningkatkan aliran darah, menstimulasi organ, berkontribusi

menormalkan kadar hormon, dan meningkatkan fungsi sistem reproduksi.

Penelitian di Universitas Göteborg di Swedia pada tahun 2000 melibatkan 24

wanita PCOS yang menerima akupunktur selama 2-3 bulan. Pada akhir penelitian,

sembilan (38%) mengalami ovulasi teratur. Namun, hasil berlawanan ditemukan

pada pasien yang memiliki kadar testosteron dan insulin tinggi serta obesitas.35
42

BAB 3
KESIMPULAN

Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) adalah kumpulan gejala dan tanda

dari kelainan hiperandrogen serta anovulasi yang diakibatkan oleh gangguan

sistem endokrin. Gejala dan manifestasi klinik termasuk tampilan biokimiawi

yang bervariasi, membuat etiologi dan patofisiologi PCOS belum semuanya

terjelaskan. Pasien datang ke dokter mengeluhkan gangguan pada siklus

menstruasi, infertilitas, dan masalah obesitas serta kelainan lainnya seperti

hirsutisme dan akne. Infertilitas pada pasien dengan PCOS diakibatkan oleh oligo

ataupun anovulasi.

Dikarenakan kumpulan gangguan diatas induksi ovulasi pada PCOS

berbeda dengan induksi pada pasien infertil lainnya. Pada PCOS induksi ovulasi

yang pertama kali dilakukan adalah dengan mengurangi berat badan dan
43

mengubah gaya hidup yang menyebabkan kegemukan. Jika langkah ini kurang

atau tidak berhasil maka dilakukan pemberian medikamentosa.

Pilihan medikamentosa yang dapat diberikan adalah Regulasi haid (Pil

Kontrasepsi Kombinasi (PKK) dan progestin), klomifen Sitrat sebagai pilihan

utama pada induksi ovulasi, Insulin Sensitizing Agent (Metformin, pioglitazon,

rosiglitazon, inositol), Aromatase Inhibitor (AI), gonadotropin pada pasien dengan

resistensi klomifen sitrat, bedah laparoskopi ovarium, In Vitro Fertilization (IVF),

dan pengobatan alternatif.

DAFTAR PUSTAKA

1. Zegers HF, Adamson GD, de Mouzon J, Ishihara O, Mansour R, Nygren


K, et al. 2009. The International Committee for Monitoring Assisted
Reproductive Technology (ICMART) and the World Health Organization
(WHO). Fertility and Sterility. 24(11):2683-2687.
2. Gill S, et aL. 2014. Does Metformin combined with Clomiphene Citrate
improve fertility related outcomes in Clomiphene resistant women with
PCOS: A systematic review. Middle East Fertility Society Journal (2014).
1-9.
3. Al-Ruthia YS, et al. 2017. The effect of metformin use on pregnancy rates
arnong polycystic ovary syndrome patients undergoing in vitro
fertilization: A retrospective cohort study. Saudi Pharmaceutical Journal.
1-5.
4. Boyle JA , Joham AE, Ranasinha S, Zoungas S, Teedee HJ. Contraception
use and pregnancy outcomes in women with polycystic ovary syndrome:
data from the Australian longitudinal study on women’s health. Human
Reproduction. 2014; 29:802-8.
44

5. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI). 2016. Konsensus


Tatalaksana Sindrom Ovarium Polikistik. Himpunan Endokrinologi
Reproduksi dan Fertilitas Indonesia (HIFERI).
6. Ivo B, Giuseppe B. 2015. Menstrual preconditioning for the prevention of
major obstetrical syndromes in polycistic ovary syndrome. American
Journal of Obstetric and Gynecology. 213(4):488-93
7. Wahyuni M, Decroli E, Lasmini P. 2015. Hubungan Resistensi Insulin
dengan Gambaran Klinis Sindrom Ovarium Polikistik. Jurnal Kesehatan
Andalas. 4(3): 908-916
8. Michelmore K, Balen A, Dunger D, Vessey M. 1995. Polycystic ovaries
and associated clinical and biochemical features in young women. Clin
Endocrinol Oxf;51:779–86.
9. Knochenhauer E, Key T, Kahsar-Miller M, Waggoner W, Boots L, Azziz
R. 1998. Prevalence of the polycystic ovary syndrome in unselected black
and white women of the southeastern United States: a prospective study. J
Clin Endocrinol Metab;83:3078-82.
10. Joham AE, Teede HJ, Ranasinha S, et al. 2015. Prevalence of Infertility
and Use of Fertility Treatment in Women with Polycystic Ovary
Syndrome: Data from A Large Community-based Cohort Study. J
Womens Health (Larchmt). 24(4):299-307.
11. Sumapraja K, Pangastuti N. Profile of Policystic Ovarian Syndrome
Patients in Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital Jakarta March
2009 - March 2010. Indonesian Journal of Obstetrics and Gynecology
2011;35(1).
12. Ecklund L, Rebecca, Usadi. 2014. Endocrine and Reproductive Effects of
Polycystic Ovarian Syndrome. Obstet Gynecol Clin. l-ll.
13. Speroff L and Fritz MA. Cronic anovulation and the polycystic
ovarysyndrome. In: Clinical gynecoligic endocrinology and infertility.7th
Edition. Philadelphia; 2011: 495-531.
14. Sirmans, S.M. and Pate, K.A. 2014. Epidemiology, diagnosis, and
management of polycystic ovary syndrome. Clinical Epidemiology: 6, 1–
13.
15. Barbosa G, Cunha de Sa LBP, Rocha DRTW, Arbex AK. 2016. Polycystic
Ovary Syndrome (PCOS) and Fertility. Open Journal of Endocrine and
Metabolic Diseases, 6:58-65.
16. Hussein, B., and Alalaf, S. 2013. Prevalence and characteristics of
polycystic ovarian syndrome in a sample of infertile Kurdish women
attending IVF infertility center in maternity teaching hospital of Erbil City.
Open Journal of Obstetrics and Gynecology : 3, 577-585.
45

17. Shavit Tal dan Tulandi Togas. Infertility and Subfertility Cofactors in
Women with PCOS. In: Infertility in Women with Polycystic Ovary
Syndrome. Itali: Springer; 2018: 63-70.
18. Wickenheisser J, McAllister J. Ovarian Steroidogenic Abnormalities in
PCOS. In: Azziz R, editor. The Polycystic Ovary Syndrome: Current
Concepts on Pathogenesis and Clinical Care. Springer; 2007 :69-82.
19. Rojas, J., Chavez, M., Olivar, L., Rojas, M., Morillo, J., Mejias, J., Calvo,
M., and Bermudez, V. 2014. Polycystic Ovary Syndrome, Insulin
Resistance, and Obesity: Navigating the Pathophysiologic Labyrinth.
International Journal of Reproductive Medicine; 20(7): 265–275.
20. Escobar-Morreale H, San Millan J. 2007. Abdominal adiposity and the
polycystic ovary syndrome. Trends Endocrinol Metab;18(7):266-72.
21. Li, X., Feng, Y., Lin, J., Billig, H., and Shao, R. 2014. Endometrial
progesterone resistance and PCOS. Journal of Biomedical Science, 21:2
22. Savaris RF, Groll JM, Young SL, Demayo FJ, Jeong JW, and Hamilton
AE. 2011. Progesterone resistance in PCOS endometrium: a microarray
analysis in clomiphene citrate-treated and artificial menstrual cycles. J
Clin Endocrinol Metab. 96:1737-46.
23. Norman R, Dewailly D, Legro R, Hickey T. 2007. Polycystic ovary
syndrome. Lancet;370:685-97.
24. Franks S, Berga S. 2012. Does PCOS have developmental origins? Fertil
Steril ;2012(97):2-6.
25. Tremellen K, Pearce K. 2012. Dysbiosis of Gut Microbiota (DOGMA) a
novel theory for the development of Polycystic Ovarian Syndrome.
Medical hypotheses ;79(1):104-12.
26. Orio Francesco dan Muscogiuri Giovanna. 2018. Diagnostic Criteria for
PCOS. In: Infertility in Women with Polycystic Ovary Syndrome. Itali:
Springer.11-16.
27. Dewailly D. 2016. Diagnostic criteria for PCOS: Is there a need for a
rethink? Best Pract Res Clin Obstet Gynaecol.
28. Andon, H., dkk., 2013. Sindroma Ovarium Polikistik. Current Updates in
Polycystic Ovary Sindrome, Endometriosis, Adenomyosis. Andon, H.,
dkk. Sagung Seto, Jakarta: 1-52.
29. Fritz, M.A, Speroff, L., 2011. Chronic Anovulation and the Polycystic
Ovary Syndrome. Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility 8 th
Edition. Lippincott Williams & Wilkins: 495-529
30. Lizneva D, Suturina L, Walker W, Brakta S, Gavrilova-Jordan L, Azziz R.
2016. Criteria, prevalence, and phenotypes of polycystic ovary syndrome.
Fertil steril;106(1).
46

31. Guastella E, Longo R, Carmina E. 2010. Clinical and endocrine


characteristics of the main polycystic ovary syndrome phenotypes. Fertil
steril;94(6).
32. Wiweko, et al. 2014. Anti-mullerian hormone as a diagnostic and
prognostic tool for PCOS patients. J assist reprod genet.
33. Haskell W, et al. 2007. American College of Sports Medicine, American
Heart Association: Physical activity and public health: updated
recommenda- tion for adults from the American College of Sports
Medicine and the American Heart Association. Circulation;116:1081.
34. Dewi Ni LPR. 2020. Pendekatan Terapi Polycystic Ovary Syndrome
(PCOS). Denpasar; CDK-290:47(9).
35. Abhishek S, Shivali S. 2018. Polycystic ovary syndrome: Pathogenesis,
treatment and secondary associated diseases. J Drug Delivery and
Therapeut.;8(5):107-12.

Anda mungkin juga menyukai