Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
TINJAUAN PUSTAKA
HEPATITIS B
A. Definisi
Hepatitis B adalah suatu sindroma klinis atau patologis yang ditandai oleh
berbagai tingkat peradangan dan nekrosis pada hepar, disebabkan oleh Virus Hepatitis B
(VHB), dimana infeksi dapat berlangsung akut atau kronik, terus menerus tanpa
penyembuhan paling sedikit enam bulan (Yulia, 2019)
B. Epidemiologi
HBV telah menjadi penyakit endemis di berbagai negara di dunia. Indonesia
merupakan negara dengan endemisitas Hepatitis B tinggi, tercatat Indonesia merupakan
negara terbesar kedua di South East Asian Region (SEAR) setelah Myanmar. Didapatkan
dari data Riset Kesehatan Dasar Indonesia tahun 2013, dari studi dan uji saring darah
donor PMI, diperkirakan di antara 100 orang di Indonesia, maka 10 di antaranya telah
terinfeksi hepatitis B atau C (Mulyani et al, 2020).
Dari data tersebut, saat ini diperkirakan terdapat 28 juta penduduk Indonesia yang
terinfeksi hepatitis B dan C, 14 juta di antaranya berpotensi untuk menjadi kronis, dan
dari yang kronis tersebut 1,4 juta orang berpotensi untuk menderita kanker hepatoseluler.
Besarnya masalah tersebut berdampak terhadap masalah kesehatan masyarakat,
produktifitas, umur, harapan hidup, dan dampak negara ekonomi lainnya (Mulyani et al,
2020).
C. Etiologi
Virus Hepatitis B ditemukan pertama kali oleh Blumberg dan kawan kawan tahun
1965, waktu itu dikenal sebagai Australian Antigen. Individu yang terinfeksi oleh virus
Hepatitis B, dengan menggunakan mikroskop elektron, dapat dilihat adanya tiga partikel
yang berbeda dalam darah penderita, yaitu partikel berbentuk bulat dengan diameter 20-
22 nm, partikel berbentuk batang dengan diameter 20 nm, panjang 50-250 nm, keduanya
tidak mempunyai asam nukleat, diduga hanya lapisan lipoprotein luar dari HBV, dan
ketiga adalah partikel dengan diameter 42 nm yang mengandung asam nukleat yang
merupakan virion lengkap HBV dan disebut partikel Dane 3,24 Virus hepatitis B (HBV)
merupakan anggota famili Hepadnavirus, genus orthohepadna virus. Partikel virus yang
disebut virion berukuran 42 nm sferis, dengan genom 3,2 kilobasa (Yulia, 2019)
D. Cara Penularan
Pada umumnya cara penularan hepatitis B adalah parenteral. Semula penularan
HBV disosialisasikan dengan transfuse darah atau produk darah, melalui ajrum suntuk.
Tetapi setelah ditemukan bentuk dari HBV makin banyak laporan yang ditemukan cara
penularan lainnya. Hal ini disebabkan karena HBV dapat ditemukan dalam setiap cairan
yang dikeluarkan tubuh penderita atau pengidap penyakit, misalnya melalui ;darah, air
liur, air senim keringatm air mani, air susu ibu, cairan vagina, air mata, dan lain-lain.
Oleh karen aitu dikenal cara penularan perkutan dan non-kutan, disamping itu juga
dikenal penularan horizontal (Hadi, 2013).
Cara penularan horizontal yang dikenal ialah ; transfuse darah yang
terkontaminasi oleh HBV, mereka yang sering mendapat hemodialisa. Selain itu HBV
masuk ke dalam tubuh kita melalui luka atau lecet pada kulit dan selaput lender
misalnyatertusuk jarum atau luka benda tajam, menindik telinga, pembuatan tato,
menggunakan jarum suntik yang kotor. Penggunaan alat-alat kedokteran dan alat-alat
perawatan gigi yang disterilkan kurang sempurna dapat menularkan HBV. Di daerah
endemis berat dapat diduga nyamuk, parasite dan lain-lain dapat menularkan HBV. Cara
penularan tersebut disebut penularan perkutan. Sedangkan penularan non-kutan
duantaranya ialah; melalui semen, cairan vagina, saliva (Hadi, 2013).
Penularan secara vertical dapat diartikan sebagai penularan infeksi dari seorang
ibu pengidap hepatitis B kepada bayinya sebelum persalinan, pada saat persalinan dan
beberapa saat setelah persalinan. Apabila seorang ibu menderita HBV akut pada perinatal
yaitu trimester ketiga kehamilan, maka bayi yang baru dilahirkan akan tertular (Hadi,
2013).
E. Patogenesis
Selain transmisi vertical, virus hepatitis B dapat ditransmisikan dengan efektif
melalui cairan tubuh, dan melalui membrane mukosa. Hepatitis B terkonsentrasi dalam
jumlah tinggi dalam cairan tubuh berupa darah, serum, dan eksudat luka. Sementara itu
konsentrasi yang sedang terdapat pada semen, cairan vagina dan air liur. Konsentrasi
yang rendah/tidak dapat dijumpai pada urin, feses, keringat, air mata, dan ASI.
Penularan yang lebih rendah dapat terjadi melalui kontak dengan karier hepatitis
B, hemodialisis, paparan terhadap pekerja Kesehatan yang terinfeksi, alat tatoo, alat
tindik, hubungan seksual dan inseminasi buatan. Selain itu penularan juga dapat terjadi
melalui transfuse darah dan donor organ. Hepatitis B dapat menular melalui pasien
dengan HBsAg yang negative tetapi anti-HBc positif, karena adanya kemungkinan DNA
virus hepatitis B yang bersirkulasi, yang dapat dideteksi dengan PCR (10-20% kasus).
Virus hepatitis B 100 kali lebih infeksius pada pasien dengan inveksi HIV dan 1o kali
lebih infeksius pada pasien hepatitis C. Adanya HBeAg yang positif mengindikasikan
risiko transmisi virus yang tinggi.
Patogenesis infeksi virus hepatitis melibatkan respons imun humoral dan selular.
Virus bereplikasi di dalam hepatosit, dimana virus tersebut tidak bersifat sitopatik,
sehingga yang membuat kerusakan sel hari dan manifestasi klinis bukan disebabkan oleh
virus yang menyerang hepatosit, tetapi oleh karena respon imun yang dihasilkan oleh
tubuh. Respon antibody terhadap antigen permukaan berperan dalam eliminasi virus.
Respon sel T terhadap selubung, nukleokapsid, dan antigen polymerase berperan dalam
eliminasi sel yang terinfeksi.
F. Diagnosis
Tanda dan Gejala
a. Hepatitis B akut
Fase pre-ikterik (1-2 minggu sebelum fase ikterik) : gejala konstitusional seperti
anoreksia, mual, muntah, malaise, keletihan, atralgia, myalgia, sakit kepala,
fotofobia, faringitis, dan batuk, dapat disertai dengan demam yang tidak terlalu
tinggi.
Fase ikterik : gejala prodromal berkurang, namun ditemukan sklera ikterik dan
penurunan berat badan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan hepatomegaly yang
disertai nyeri tekan di area kuadran kanan atas dan abdomen. Dapat ditemukan
splenomegaly, gambaran kolestatik, hingga adenopati servikal. Hanya kurang dari
1% kasus hepatitis B akut yang menjadi gagal hati akut
Fase perbaikan (konvalesens) : gejala konstitusional menghilang, namun masih
ditemukan hepatomegaly dan abnormalitas pemeriksaan kimia hati (Tanto et al,
2016).
b. Hepatitis B kronik
Gambaran klinis hepatitis B kronik sangat bervariasi. Pada banyak kasus tidak
didapatkan keluhan maupun gejala dan pemeriksaan faal hati hasilnya normal. Pada
Sebagian lagi ditemukan hepatomegaly atau bahkan spenomegali atau tanda-tanda
penyakit hati kronis lainnya, misalnya eritema palmaris dan spider nevi. Dapat juga
didapatkan tanda dan gejala serosis dan gagal hati (Setiati et al, 2015).
Pemeriksaan penunjang
Metode dalam menegakkan diagnosis hepatitis B sangat diperlukan untuk dapat
melakukan manajemen terapi dengan tepat. Untuk menentukan keberhasilan terapi
antiviral, sangat diperlukan penentuan genotipe HBV, apakah ada mutasi pada core
promoter dan precore. Identifikasi dini HBV menggunakan metode molekuler seperti
jumlah HBV DNA, genotiping HBV, identifikasi mutant, genotipik dan fenotipik.
Pemeriksaan imunologi terhadap VHB sangat diperlukan, diantaranya adalah:
1. Pemeriksaan Hepatitis B surface Antigen (HBsAg)
Pemeriksaan HBsAg bermanfaat untuk menetapkan hepatitis B akut, timbul dalam
darah enam minggu setelah infeksi dan menghilang setelah tiga bulan. Bila persisten
lebih dari enam bulan, maka didefinisikan sebagai pembawa (carier). HbsAg
ditemukan pada hepatitis B akut dini sebelum timbul gejala klinik atau pada akhir
masa tunas.
2. Pemeriksaan Antibodi Hepatitis B surface (Anti-HBs)
Anti Hbs merupakan antibodi terhadap HBsAg, jika positif/reaktif, menunjukkan
pada fase konvalensi Hepatitis B, pada penderita hepatitis B (biasanya subklinis)
yang sudah lama, atau sesudah vaksinasi HBV. Jenis Hepatitis B subklinis dapat
diketahui dengan Anti HBs dengan atau tanpa Anti HBc pada orang yang
menyangkal adanya riwayat hepatitis akut. HBs Ag yang negatif tetapi anti HBs
positif, belum dapat dikatakan seseorang tersebut bebas dari HBV, sebab adanya
superinfeksi dengan HBV mutant, banyak studi yang sudah meneliti, bahwa HBV
DNA dilaporkan positif pada pemeriksaan HBsAg yang negative
3. Pemeriksaan Hepatitis B envelope Antigen (HBeAg)
HBeAg timbul bersama atau segera setelah timbulnya HBsAg dan akan menetap
lebih lama dibandingkan HBsAg, biasanya lebih dari 10 minggu. Bila kemudian
HBeAg menghilang dan terbentuk Anti HBe, berpotensi mempunyai prognosis yang
baik.
4. Pemeriksaan antibodi Hepatitis B envelope (Anti-HBe)
Anti HBe terbentuk setelah HBeAg menghilang, biasanya terbentuknya AntiHBe
memberikan kontribusi bahwa hepatitis B membaik, infeksi mereda dan tidak akan
menjadi kronis.
5. Pemeriksaan antibodi Hepatitis B core (Anti-HBc), berupa IgM anti HBc
HBV core tidak ditemukan dalam darah, tetapi dapat dideteksi antibodi terhadap
HBV core berupa IgM anti HBc, yang muncul segera setelah HBsAg muncul, dan
bertahan cukup lama. Anti HBc yang positif tetapi HBsAg negatif, masih menjadi
pertanyaan pada transfusi darah, dimana kondisi tersebut berada pada fase windows
period, sehinggan beresiko untuk menularkan HBV kepada penerima darah (Tas et al,
2012).23 Anti HBc positif tanpa HBsAg atau anti HBs, dapat diinterpretasikan
sebagai berikut, pertama penderita hepatitis B sudal lama sembuh, dimana sudah
kehilangan reaktivasi dari anti HBs. Kedua adalah penderita Hepatitis B baru sembuh
dan masih dalam masa jendela dimana anti HBs belum muncul, ketiga ada penderita
low level carier, dengan titer HBsAg terlalu rendah, sehingga kondisi ini sangat
berbahaya pada kasus transfusi darah, pemberian serum immunoglobulin (gamma
globulin).
6. Hepatitis B Virus Desoxyribo Nucleic Acid (HBV-DNA)
Pengukuran kadar HBV DNA dapat dilakukan dengan menggunakan PCR,
pengukuran dapat dilakukan secara kualitatif maupun direk kuntitatif, dapat juga
menganalisis HBV DNA mutan
Pengukuran HBV DNA merupakan gold standard, tetapi pemeriksaan ini
memerlukan alat khusus, tenaga yang terampil dan biayanya mahal sehingga banyak
dilakukan pemeriksaan alternatif untuk dapat menggantikan pemeriksaan HBV DNA ini,
tetapi masih banyak ditemukan kelemahan dalam hasil uji pemeriksaan alternatif
tersebut. Hal tersebut dapat diakibatkan oleh HBV yang mengalami mutasi pada gennya
(Yulia, 2019).
Pemeriksaan biokimia hati seperti ALT, AST, GGT, alkalin fosfatase, bilirubin, serta
pemeriksaan darah perifer lengkap dan waktu prothrombin. Umumnya akan ditemukan
ALT yang lebih tinggi dari AST, tetapi seiring berkembangnya penyakit menuju serosis
telah terbentuk, akan tampak penurunan progresif albumin, peningkatan globulin dan
pemanjangan waktu prothrombin yang disertai penurunan jumlah trombosit. Pada pasien
hepatitis B kronis perlu dilakukan pemeriksaan α-fetoprotein untuk mendeteksi
karsinoma hepar (Tanto et al, 2016).
USG dan biopsy hati untuk menilai derajat nekroinflamasi dan fibrosis pada kasus
infeksi kronis dan sirosis hati. Pemeriksaan untuk mendeteksi penyebab hati lain, bila
diperlukan termasuk kemungkinan ko-infeksi hepatitis C dan/atau HIV(Tanto et al,
2016).
G. Tatalaksana
Tatalaksana infeksi akut hepatitis B
Infeksi virus hepatitis B tidak membutuhkan terapi antiviral. Terapi yang diberikan
hanya terapi suportif dan simptomatik karena Sebagian besar infeksi hepatitis b akut
pada dewasa dapat sembuh spontan. Terapi antiviral dini hanya diperlukan pada kurang
dari 1% kasus, pada kasus hepatitis fulminan atau pasien yang immunocompromise.
Dapat diberikan lamivudine 100-150 mg/hari hingga 3 bulan setelah serokonversi atau
setelah muncul anti-HBe pada pasien HBsAg positif (Price et al, 2015)
Tatalaksana infeksi kronis hepatitis B
Pada saat ini dikenal 2 kelompok terapi untuk hepatitis B kronik yaitu:
a. Kelompok lmunomodulasi
Interfefon
Timosin alfa 1
Vaksinasi Terapi
b. Kelompok Terapi Antivirus
Lamivudin
Adefovir Dipivoksil
Tujuan pengobatan hepatitis B kronik adalah mencegah atau menghentikan progresi
jejas hati (liver injury) dengan cara menekan replikasi virus atau menghilangkan injeksi.
Terapi Antivirus
a. Lamivudin
Lamivudin adalah suatu enantiomer (-) dari 3 tiasitidin yang merupakan suatu
analog nukleosid. Nukleosid berfungsi sebagai bahan pembentuk pregenom,
sehingga analog nukleosid bersaing dengan nukleosid asli. Lamivudin berkhasiat
menghambat enzim reverse transkriptase yang berfungsi dalam transkripsi balik dari
RNA menjadi DNA yang terjadi dalam replikasi VHB. Lamivudin menghambat
produksi VHB baru dan mencegah terjadinya infeksi hepatosit sehat yang belum
terinfeksi, tetapi tidak mempengaruhi sel-sel yang telah terinfeksi karena pada sel-
sel yang telah terinfeksi DNA VHB ada dalam keadaan convalent closed circular
(cccDNA). Karena itu setelah obat dihentikan, titer DNA VHB akan Kembali lagi
seperti semula karena sel-sel yang terinfeksi akhirnya memproduksi virus baru lagi.
Lamivudin adalah analog nukleosid oral dengan aktivitas antivirus yang kuat. Kalau
diberikan dalam dosis 100 mg tiap hari, lamivudin akan menurunkan konsentrasi
DNA VHB sebesar 95% atau lebih dalam waktu 1 minggu. Dengan metode
hibridisasi, DNA VH B tidak bisa dideteksi lagi dengan metode non PCR dalam
waktu 8 minggu tetapi masih dapat dideteksi dengan metode PCR. Setelah
dihentikan selama 2 minggu, konsentrasi DNA akan kembali positif dan mencapai
konsentrasi sebelum terapi.
Keuntungan utama dari lamivudin adalah keamanan, toleransi pasien serta
harganya yang relatif murah. Kerugiannya adalah seringnya timbul kekebalan.
b. Adevofir dipivoksir
Adefovir dipivoksil adalah suatu nukleosid oral yang menghambat enzim
reverse transcriptase. Mekanisme khasiat adefovir hampir sama dengan lamivudin.
Penelitian menunjukkan bahwa pemakaian adefovir dengan dosis 10 atau 30 mg tiap
hari selama 48 minggu menunjukkan perbaikan Knodell necroinflammatory score
sedikitnya 2 poin. Juga terjadi penurunan konsentrasi DNA VHB, penurunan
konsentrasi ALT serta serokonversi HBeAg.
Keuntungan penggunaan adefovir adalah jarangnya terjadi kekebalan. Denqan
demikian obat ini merupakan obat yang ideal untuk terapi hepatitis B kronik dengan
penyakit hati yang parah. Kerugiannya adalah harga yang lebih mahal dan masih
kurangnya data mengenai khasiat dan keamanan dalam jangka yang sangat panjang.
c. Amalog nukleosid yang lain
Berbagai macam analog nukleosid yang dapat dipakai pada hepatitis B kronik
adalah Famciclovir don emtericitabine (FTC).lndikasi terapi antivirus. Terapi
antivirus dianjurkan untuk pasien hepatitis B kronik dengan ALT >2 x nilai normal
tertinggi dengan DNA VHB positif. Untuk ALT <2 x nilai normal tertinggi tidak
perlu terapi antivirus. Terapi antivirus untuk hepatitis B kronik dengan konsentrasi
ALT normal atau hampir normal. Kebanyakan ahli berpendapat bahwa untuk
hepatitis B kronik dengan konsentrasi ALT normal tidak diperlukan pemberian
terapi antivirus walaupun didapatkan DNA VHB titer tinggi atau HBeAg positif.
Beberapa ahli menyatakan bahwa pada kasus-kasus seperti di atas, yang pada biopsi
hati didapatkan gambaran biopsi yang sangat aktif apalagi bila disertai fibrosis berat
perlu diberikan terapi anti virus.
IFN atau analog nukleosid. Untuk ALT 2-5 kali nilai tertinqqi dapat diberikan
Lamivudin 100 mg tiap hari atau IFN 5 MU 3x seminggu. Untuk ALT >5 x nilai
normal tertinggi dapat diberikan lamivudin 100 mg tiap hari. Pemakaian IFN tidak
dianjurkan.
Gabungan antara IFN dan nukleosid. Untuk meningkatkan khasiat monoterapi
IFN dan monoterapi lamivudin telah dilakukan penelitian yang membandingkan
pemakaian monoterapi dengan PEG interferon, monoterapi dengan lamivudin dan
kombinasi antara PEG inteferon dan lamivudin pada pasien hepatitis B kronik.
Ternyata gabungan antara kedua obat itu tidak lebih baik dibandingkan dengan
monoterapi PEG Interferon atau monoterapi lamivudin. Lama terapi antivirus.
Dalam keadaan biasa IFN diberikan sampai 6 bulan sedangkan lamivudin sampai 3
bulan setelah serokonversi HBeAg.
H. Komplikasi
1. Hepatitis fulminan
Sejumlah kecil pasien (kurang dari 1%) memperlihatkan kemunduran klinis yang
cepat setelah awitan icterus akibat hepatitis fulminan dan nekrosis hati masif.
Hepatitis fulminan ditandai dengan gejala dan tanda gagal hati akut-penciutan hati,
kadr bilirubin serum meningkat cepat, pemanjangan waktu prothrombin ang sangat
nyata, dan koma hepatikum.
2. Hepatitis kronis persistent
Komplikasi tersering hepatitis virus dalah perjalanan klinis yang lebih lama hingga
berkisar dari 2 hingga 8 bulan. Keadaan ini dikenal sebagai hepatitis kronis
persisten, dan terjadi pada 5 hingga 10% pasien. Walaupun pemulihan terlambat,
penderita hepatitis kronis persisten hamper selalu sembuh.
3. Hepatitis agresif atau kronis aktif
Setelah hepatitis virus akut, sejumlah kecil pasien akan mengalami hepatitis agresif
atau kronis aktif bila terjadi kerusakan hati seperti digerogoti (piece meal) dan
terjadi serosis. Kondisi ini dibedakan dari hepatitis kronis persisten melalui
pemeriksaan biopsi hati. Terapi kortikosteroid dapat memperlambat perluasan
cedera hati, namun prognosisinya tetap buruk.
4. Karsinoma hepatoseluler
Dua factor penyebab utama yang terkait pathogenesis adalah infeksi HBV kronis
dan sirosis.
I. Pencegahan
Skrining dan konseling perlu dilakukan pada populasi dengan risiko tinggi,
seperti petugas kesehatan, resipien transfuse darah atau produk darah. Pasien
hemodialisis, orang yang berumah tangga atau kontak seksual dengan pasien hepatitis B,
homoseksual atau biseksual aktif. Individu yang tinggal di daerah endemis hepatitis B,
individu yang mengunjungi daerah endemis hepatitis B, heteroseksual dengan multiple
pasangan seksual, penyalah guna obat injeksi, dan anak yang terlahir dari ibu hepatitis B
kronis(Tanto et al, 2016).
Selain upaya penapisa, populasi dengan risiko tinggi tersebut perlu mendapatkan
vaksinasi hepatitis B yang diberikan dalam 3 dosis terpisah: 0,1, dan 6 bulan. Vaksinasi
hepatitis B mampu memberikan perlindungan selama >20 tahun. Di Indonesia, seluruh
bayi yang lahir telah diwajibkan untuk mendapat imunisasi hepatitis B pada bulan ke 2,
4, dan 6. Namun, titer antibody akan menurun <90% Ketika dewasa usia >40 tahun dan
menjadi 75% pada usia 60% (Tanto et al, 2016).
SIROSIS HEPATIS
A. Definisi
Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis
hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar
dan pembentukan nodulus regeneratif. Hal ini akibat nekrosis hepatoselular (Nurdjanah
S, 2014).
Sirosis merupakan komplikasi penyakit hati yang ditandai dengan menghilangnya
sel-sel hati dan pembentukan jaringan ikat dalam hati yang ireversibel. WHO memberi
batasan histologi sirosis sebagai proses kelainan hati yang bersifat difus (hampir merata),
ditandai fibrosis dan perubahan bentuk hati normal ke bentuk nodul-nodul yang
abnormal.3 Sirosis berbeda dengan fibrosis. Pembentukan nodul tanpa fibrosis, seperti
dalam transformasi parsial, bukan merupakan sirosis (Nurdjanah S, 2014).
B. Epidemiologi
Sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketiga pada penderita yang
berusia 45 - 46 tahun (setelah penyakit kardiovaskular dan kanker). Di seluruh dunia SH
menempati urutan ketujuh penyebab kematian (Nurdjanah S, 2014).
Insidensi sirosis hepatis di Amerika diperkirakan 360 per 100.000 penduduk.
Penyebabnya sebagian besar akibat penyakit hepar alkoholik dan infeksi virus kronik. Di
Indonesia data prevalensi sirosis hepatis belum ada, hanya laporan-laporan dari beberapa
pusat pendidikan saja. Di daerah Asia Tenggara, penyebab utama SH adalah hepatitis B
(HBV) dan C (HCV). Angka kejadian SH di Indonesia akibat hepatitis B berkisar antara
21,2 -46,9% dan hepatitis C berkisar 38,7 - 73,9% (Nurdjanah S, 2014).
Penderita sirosis hepatis lebih banyak dijumpai pada laki-laki jika dibandingkan
dengan wanita sekitar 1,6 : 1 dengan umur rata-rata terbanyak antara golongan umur 30 –
59 tahun dengan puncaknya sekitar 40 – 49 tahun (WHO, 2011)
C. Etiologi
Di negara barat penyebab dari sirosis hepatis yang tersering akibat alkoholik
sedangkan di Indonesia terutama akibat infeksi virus hepatitis B maupun C. Hasil
penelitian di Indonesia menyebutkan penyebab terbanyak dari sirosis hepatis adalah virus
hepatitis B (30-40%), virus hepatitis C (30-40%), dan penyebab yang tidak diketahui(10-
20%). Adapun beberapa etiologi dari sirosis hepatis antara lain (Zhou WC, 2014):
1. Virus hepatitis (B,C,dan D)
2. Alkohol (alcoholic cirrhosis)
3. Kelainan metabolik :
a. Hemokromatosis (kelebihan beban besi)
b. Penyakit Wilson (kelebihan beban tembaga)
c. Defisiensi Alpha l-antitripsin
d. Glikonosis type-IV
e. Galaktosemia
f. Tirosinemia
4. Kolestasis
5. Gangguan imunitas ( hepatitis lupoid )
6. Toksin dan obat-obatan (misalnya : metotetrexat, amiodaron,INH, dan lain-lain)
7. Nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD)
8. Kriptogenik
9. Sumbatan saluran vena hepatica
D. Patofisiologi
Sirosis hepatis termasuk 10 besar penyebab kematian di dunia Barat. Meskipun
terutama disebabkan oleh penyalahgunaan alkohol, kontributor utama lainnya adalah
hepatitis kronis, penyakit saluran empedu, dan kelebihan zat besi. Tahap akhir penyakit
kronis ini didefinisikan berdasarkan tiga karakteristik (Pernefri, 2014):
1. Bridging fibrous septa dalam bentuk pita halus atau jaringan parut lebar yang
menggantikan lobulus.
2. Nodul parenkim yang terbentuk oleh regenerasi hepatosit, dengan ukuran bervariasi
dari sangat kecil (garis tengah < 3mm, mikronodul) hingga besar (garis tengah
beberapa sentimeter, makronodul).
3. Kerusakan arsitektur hepar keseluruhan.
Beberapa mekanisme yang terjadi pada sirosis hepatis antara lain kematian sel-sel
hepatosit, regenerasi, dan fibrosis progresif. Sirosis hepatis pada mulanya berawal dari
kematian sel hepatosit yang disebabkan oleh berbagai macam faktor. Sebagai respons
terhadap kematian sel-sel hepatosit, maka tubuh akan melakukan regenerasi terhadap sel-
sel yang mati tersebut. Dalam kaitannya dengan fibrosis, hepar normal mengandung
kolagen interstisium (tipe I, III, dan IV) di saluran porta, sekitar vena sentralis, dan
kadang-kadang di parenkim. Pada sirosis, kolagen tipe I dan III serta komponen lain
matriks ekstrasel mengendap di semua bagian lobulus dan sel-sel endotel sinusoid
kehilangan fenestrasinya. Juga terjadi pirau vena porta ke vena hepatika dan arteri
hepatika ke vena porta. Proses ini pada dasarnya mengubah sinusoid dari saluran endotel
yang berlubang dengan pertukaran bebas antara plasma dan hepatosit, menjadi vaskular
tekanan tinggi, beraliran cepat tanpa pertukaran zat terlarut. Secara khusus, perpindahan
protein antara hepatosit dan plasma sangat terganggu.
E. Klasifikasi
Berdasarkan morfologi, Sherlock membagi sirosis hepatis atas 3 jenis, yaitu (Zhou WC,
2014):
1. Mikronodular
Yaitu sirosis hepatis dimana nodul-nodul yang terbentuk berukuran <3 mm.
2. Makronodular
Yaitu sirosis hepatis dimana nodul-nodul yang terbentuk berukuran >3 mm.
3. Campuran
Yaitu gabungan dari mikronodular dan makronodular. Nodul-nodul yang terbentuk
ada yang berukuran < 3 mm dan ada yang berukuran > 3 mm.
Secara fungsional, sirosis hepatis terbagi atas :
1. Sirosis Hepatis Kompensata
Sering disebut dengan latent cirrhosis hepar. Pada stadium kompensata ini belum terlihat
gejala-gejala yang nyata. Biasanya stadium ini ditemukan pada saat pemeriksaan
screening.
2. Sirosis Hepatis Dekompensata
Dikenal dengan active cirrhosis hepar, dan stadium ini biasanya gejala gejala sudah
jelas, misalnya ; asites, edema dan ikterus.
F. Diagnosis
1. Gambaran Klinik
Stadium awal sirosis hepatis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada
waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau karena kelainan penyakit lain.
Gejala awal sirosis hepatis meliputi (Nurdjanah S, 2014):
perasaan mudah lelah dan lemah
selera makan berkurang
perasaaan perut kembung
mual
berat badan menurun
pada laki-laki dapat timbul impotensi, testis mengecil, buah dada membesar, dan
hilangnya dorongan seksualitas.
Stadium lanjut (sirosis dekompensata), gejala-gejala lebih menonjol terutama bila
timbul komplikasi kegagalan hepar dan hipertensi portal, meliputi10 :
hilangnya rambut badan
gangguan tidur
demam tidak begitu tinggi
adanya gangguan pembekuan darah, pendarahan gusi, epistaksis, gangguan siklus
haid, ikterus dengan air kemih berwarna seperti teh pekat, muntah darah atau melena,
serta perubahan mental, meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi,
sampai koma.
2. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang bisa didapatkan dari penderita sirosis hepatis antara
lain (Nurdjanah S, 2014):
a. SGOT (serum glutamil oksalo asetat) atau AST (aspartat aminotransferase) dan
SGPT (serum glutamil piruvat transferase) atau ALT (alanin aminotransferase)
meningkat tapi tidak begitu tinggi. AST lebih meningkat disbanding ALT. Namun,
bila enzim ini normal, tidak mengeyampingkan adanya sirosis
b. Alkali fosfatase (ALP), meningkat kurang dari 2-3 kali batas normal atas.
Konsentrasi yang tinggi bisa ditemukan pada pasien kolangitis sklerosis primer dan
sirosis bilier primer.
c. Gamma Glutamil Transpeptidase (GGT), meningkat sama dengan ALP. Namun,
pada penyakit hati alkoholik kronik, konsentrasinya meninggi karena alcohol dapat
menginduksi mikrosomal hepatic dan menyebabkan bocornya GGT dari hepatosit.
d. Bilirubin, konsentrasinya bisa normal pada sirosis kompensata dan meningkat pada
sirosis yang lebih lanjut (dekompensata)
e. Globulin, konsentrasinya meningkat akibat sekunder dari pintasan, antigen bakteri
dari sistem porta masuk ke jaringan limfoid yang selanjutnya menginduksi
immunoglobulin.
f. Waktu protrombin memanjang karena disfungsi sintesis factor koagulan akibat
sirosis
g. Na serum menurun, terutama pada sirosis dengan asites, dikaitkan dengan
ketidakmampuan ekskresi air bebas.
h. Pansitopenia dapat terjadi akibat splenomegali kongestif berkaitan dengan hipertensi
porta sehingga terjadi hipersplenisme.
Selain itu, pemeriksaan radiologis yang bisa dilakukan, yaitu :
a. Barium meal, untuk melihat varises sebagai konfirmasi adanya hipertensi porta
b. USG abdomen untuk menilai ukuran hati, sudut, permukaan, serta untuk melihat
adanya asites, splenomegali, thrombosis vena porta, pelebaran vena porta, dan
sebagai skrinning untuk adanya karsinoma hati pada pasien sirosis.
G. Komplikasi
Morbiditas dan mortalitas sirosis tinggi akibat komplikasinya. Berikut berbagai macam
komplikasi sirosis hati (Nurdjanah S, 2014):
1. Hipertensi Portal
2. Asites
3. Peritonitis Bakterial Spontan. Komplikasi ini paling sering dijumpai yaitu infeksi
cairan asites oleh satu jenis bakteri tanpa ada bukti infeksi sekunder intra abdominal.
Biasanya terdapat asites dengan nyeri abdomen serta demam.
4. Varises esophagus dan hemoroid. Varises esophagus merupakan salah satu
manifestasi hipertensi porta yang cukup berbahaya. Sekitar 20-40% pasien sirosis
dengan varises esophagus pecah menimbulkan perdarahan.
5. Ensefalopati Hepatik. Rnsefalopati hepatic merupakan kelainan neuropsikiatri akibat
disfungsi hati. Mula-mula ada gangguan tidur kemudian berlanjut sampai gangguan
kesadaran dan koma4. Ensefalopati hepatic terjadi karena kegagalan hepar
melakukan detoksifikasi bahan-bahan beracun (NH3 dan sejenisnya). NH3 berasal
dari pemecahan protein oleh bakteri di usus. Oleh karena itu, peningkatan kadar NH 3
dapat disebabkan oleh kelebihan asupan protein, konstipasi, infeksi, gagal hepar, dan
alkalosis. Berikut pembagian stadium ensefalopati hepatikum :
Stadiu
m Manifestasi Klinis
0 Kesadaran normal, hanya
sedikit ada penurunan daya
ingat, konsentrasi, fungsi
intelektual, dan koordinasi.
1 Gangguan pola tidur
2 Letargi
3 Somnolen, disorientasi waktu
dan tempat, amnesia
4 Koma, dengan atau tanpa
respon terhadap rangsang
nyeri.
Tabel: Pembagian stadium ensefalopati hepatikum10
H. Penatalaksanaan
Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Terapi ditujukan untuk
mengurangi progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah
kerusakan hati, pencegahan, dan penanganan komplikasi. Tatalaksana pasien sirosis yang
masih kompensata ditujukan untk mengurangi progresi kerusakan hati.
1. Penatalaksanaan Sirosis Kompensata
Bertujuan untuk mengurangi progresi kerusakan hati, meliputi :
Menghentikan penggunaan alcohol dan bahan atau obat yang hepatotoksik
Pemberian asetaminofen, kolkisin, dan obat herbal yang dapat menghambat
kolagenik
Pada hepatitis autoimun, bisa diberikan steroid atau imunosupresif
Pada hemokromatosis, dilakukan flebotomi setiap minggu sampai konsentrasi
besi menjadi normal dan diulang sesuai kebutuhan.
Pada pentakit hati nonalkoholik, menurunkan BB akan mencegah terjadinya
sirosis
Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamivudin merupakan terapi utama.
Lamivudin diberikan 100mg secara oral setiap hari selama satu tahun. Interferon
alfa diberikan secara suntikan subkutan 3MIU, 3x1 minggu selama 4-6 bulan.
Pada hepatitis C kronik, kombinasi interferon dengan ribavirin merupakan terapi
standar. Interferon diberikan secara subkutan dengann dosis 5 MIU, 3x1 minggu,
dan dikombinasi ribavirin 800-1000 mg/hari selama 6 bulan
Untuk pengobatan fibrosis hati, masih dalam penelitian. Interferon, kolkisin,
metotreksat, vitamin A, dan obat-obatan sedang dalam penelitian (Nurdjanah S,
2014).
2. Penatalaksanaan Sirosis Dekompensata
Asites
o Tirah baring
o Diet rendah garam : sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol/hari
o Diuretic : spiroolakton 100-200 mg/hari. Respon diuretic bisa dimonitor
dengan penurunan BB 0,5 kg/hari (tanpa edem kaki) atau 1,0 kg/hari (dengan
edema kaki). Bilamana pemberian spironolakton tidak adekuat, dapat
dikombinasi dengan furosemide 20-40 mg/hari (dosis max.160 mg/hari)
o Parasentesis dilakukan bila asites sangat besar (4-6 liter), diikuti dengan
pemberian albumin.
Peritonitis Bakterial Spontan
Diberikan antibiotik glongan cephalosporin generasi III seperti cefotaksim
secara parenteral selama lima hari atau quinolon secara oral. Mengingat akan
rekurennya tinggi maka untuk profilaksis dapat diberikan norfloxacin (400
mg/hari) selama 2-3 minggu.
Varises Esofagus
o Sebelum dan sesudah berdarah, bisa diberikan obat penyekat beta
(propanolol)
o Waktu perdarahan akut, bisa diberikan preparat somatostatin atau okreotid,
diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau ligasi endoskopi
Ensefalopati Hepatik
o Laktulosa untuk mengeluarkan ammonia
o Neomisin, untuk mengurangi bakteri usus penghasil ammonia
o Diet rendah protein 0,5 gram.kgBB/hari, terutama diberikan yang kaya asam
amino rantai cabang (Nurdjanah S, 2014).
Sindrom Hepatorenal
Sampai saat ini belum ada pengobatan yang efektif untuk SHR. Oleh karena itu,
pencegahan terjadinya SHR harus mendapat perhatian utama berupa hindari
pemakaian diuretic agresif, parasentesis asites, dan restriksi cairan yang
berlebihan (Nurdjanah S, 2014).
I. Prognosis
Perjalanan alamiah SH tergantung pada sebab dan penanganan etiologi yang
mendasari penyakit. Beberapa sistem skoring dapat digunakan untuk menilai keparahan
SH dan menentukan prognosisnya. Sistem skoring ini antara lain skor Child Turcotte
Pugh (CTP) dan Model endstage liver Disease (MELD), yang digunakan untuk evaluasi
pasien dengan rencana transplantasi hati