Anda di halaman 1dari 20

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/332119203

MODUL EKONOMI MANAJERIAL: DISKRIMINASI HARGA

Chapter · April 2019

CITATIONS READS

0 15,238

2 authors:

Wahdi Suardi Fakultas Ekonomi Uninus


Universitas Islam Nusantara Universitas Islam Nusantara
27 PUBLICATIONS   4 CITATIONS    62 PUBLICATIONS   11 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Research Assignment View project

KAJIAN PADS PADA SEKTOR PAJAK PENERANGAN JALAN UMUM DI KOTA BANDUNG View project

All content following this page was uploaded by Fakultas Ekonomi Uninus on 01 April 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL

DISKRIMINASI HARGA

1. Konsep Dasar
Dalam beberapa pembahasan Teori Ekonomi Mikro atau Ekonomi
Manajerial sebelumnya kita mematok asumsi bahwa permintaan pasar adalah
penjumlahan horisontal (horizontal summation) setiap individu konsumen. Jadi bila
kita menemukan laporan tentang permintaan beras di Jabar, berarti hal itu dapat
ditafsirkan sebagai penjumlahan permintaan beras penduduk Jabar yang sekian
juta orang pada tingkat harga beras tertentu. Padahal kenyataannya karakteristik
permintaan setiap individu adalah berbeda, paling tidak dari kesensitifannya
terhadap harga, ada konsumen yang sensitive terhadap harga tetapi ada juga
yang tidak. Bagi perusahaan, perbedaan karakteristik permintaan konsumen ini
merupakan peluang untuk meningkat laba, yaitu dengan menetapkan harga jual
yang berbeda.
Secara umum diskriminasi harga adalah strategi penetapan harga jual
barang yang sama tetapi dengan harga yang berbeda dengan tujuan diantaranya
meningkatkan hasil penjualan (total revenue) sekaligus laba. Diskriminasi harga
diterapkan karena perusahaan melihat adanya perbedaan karakteristik
permintaan yang dihadapinya (Froeb, Shor, & Ward, 2014). Perbedaan harga
dapat ditetapkan berdasarkan perbedaan segmen konsumen, pasar, kuantitas
pembelian atau perbedaan waktu.
Beberapa contoh diskriminasi harga yang sering diterapkan misalnya
produsen menetapkan harga yang berbeda untuk barang yang sama tetapi
dengan merek atau label yang berbeda. Berikutnya jasa professional (dokter,
konsultan atau pengacara) menetapkan tariff yang berbeda untuk klien yang
berbeda, misalnya dokter menetapkan tariff berbeda antara pasien peserta
asuransi dan bukan peserta asuransi. Diskriminasi harga dalam bidang jasa
pelayanan kesehatan (medical care markets) sangat mungkin dipraktekan karena:
(1) tidak mungkin terjadi resale, (2) perbedaan dalam intensitas permintaan dapat
diidentifikasi dengan jelas, (3) sangat mungkin untuk mengidentifikasi pasien
berdasarkan kemampuan membayarnya (willingness to pay = WTP), dan (4) pihak
penyelenggara (rumah sakit) memiliki market power. Produsen barang-barang
fashion umumnya menetapkan harga tinggi ketika barangnya baru dirilis dan
menurunkannya setelah beberapa waktu ketika dianggap barang tersebut out of
fashion, atau produsen akan merilis model baru. Karena bisa dibaca oleh banyak
orang, beberapa penerbit menetapkan harga buku yang lebih tinggi kepada
perpustakaan dibandingkan dengan konsumen perorangan.

Wahdi Suardi | 1
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL

Begitu juga dalam bisnis transportasi udara, diskriminasi harga tiket sudah
umum dilakukan dalam bentuk yang variatif. Berdasarkan pengamatan, jarang
sekali maskapai menerapkan harga tunggal dalam setiap rute penerbangan.
Maskapai cenderung memberlakukan harga bervariasi, bahkan pengamat
penerbangan Arista Atmadjati menyatakan, harga tiket dalam satu penerbangan
dan satu kelas ekonomi bisa mencapai 12 varian (subclasses). Sederhananya dibagi
tiga; harga rendah, sedang dan tertinggi (Aulia, 2019). Misalnya dalam setiap
penerbangan, ada harga tiket yang dijual murah hanya untuk 10 kursi, sedikit
lebih mahal untuk 60 kursi dan sisanya dijual dengan harga lebih mahal lagi.
Maskapai penerbangan dapat menetapkan full price untuk penumpang dengan
tujuan bisnis dan discount price untuk wisatawan, atau bentuk lain adalah
menetapkan harga lebih tinggi untuk pemberangkatan pagi hari, lebih murah di
siang hari dan lebih murah lagi untuk pemberangkatan malam hari. Model lain
yaitu membedakan harga tiket berdasarkan kualitas layanan, dalam hal ini adalah
fleksibilitas tiket (versioning), ada tidaknya kontrak dengan pihak maskapai
(discount to large consumer) dan sering-tidaknya penumpang menggunakan jasa
maskapai tersebut (frequent flyer programs).
Secara umum versioning adalah menetapkan harga tiket lebih tinggi untuk
flexible ticket yaitu yang memberikan kebebasan bagi calon penumpang untuk
menjadwal ulang pemberangkatannya atau bahkan membatalkannya tanpa
dikenakan biaya penalty (high quality version). Sebaliknya untuk restricted ticket,
memang lebih murah tetapi dengan beberapa pembatasan termasuk harus
dipesan jauh hari sebelum pemberangkatan dan ketentuan tiket hangus apabila
batal melakukan perjalanan (low quality/damaged version). Secara teknis, versioning
termasuk dalam model diskriminasi harga derajat kedua (second degree price
discrimination). Kemudian apabila sebuah perusahaan dengan jumlah karyawan
besar dan sering menggunakan jasa penerbangan maka sangat dimungkinkan
untuk memperoleh potongan harga tiket apabila diawali dengan melakukan
kontrak perjanjian dengan pihak maskapai (discount to large consumer). Model ini
tergolong diskriminasi harga derajat ketiga (third degree price discrimination).
Sedangkan frequent flyer programs yaitu menetapkan harga tiket lebih murah
(quantity discount) kepada calon penumpang sering melakukan perjalanan
menggunakan maskapai penerbangan tertentu. Misalnya setiap telah melakukan
perjalanan 10 kali, akan diberi tiket gratis satu kali. Secara teknis, versioning
termasuk dalam model diskriminasi harga derajat kedua (second degree price
discrimination).
Dalam bisnis secara online praktik diskriminasi harga lebih mudah
dipraktekan dan bahkan untuk setiap konsumen (personalised pricing) karena
misalnya toko online lebih mudah mengakses situs pribadi sehingga karakteristik
dan perilaku konsumen dapat diidentifikasi secara lebih tepat. Dalam konteks

Wahdi Suardi | 2
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL

bisnis secara online, personalised pricing adalah membedakan harga online untuk
produk atau layanan yang identik berdasarkan informasi yang dimiliki
perusahaan tentang pelanggan potensial (Poort & Borgesius, 2019). Toko online
dapat mengenali identitas konsumennya diantaranya melalui cookie, IP-adress atau
log-information. Oleh karena itu praktik personalised pricing yang diterapkan toko
online dapat digolongkan sebagai first degree discrimination, dan dimungkinkan
untuk meraup semua surplus konsumennya. Selian itu, toko online juga dapat
dengan cepat untuk melakukan penyesuaian harga sesuai dengan perkembangan
permintaan & penawaran (dynamic atau time-based pricing) seperti yang umum
dilakukan oleh maskapai penerbangan dalam menetapkan harga tiket.
Tidak termasuk diskriminasi bila perberbedaan harga tersebut berdasarkan
kualitas atau layanannya (Griffiths & Wall, 2005). Jadi penetapan harga yang
berbeda tidak ada kaitannya dengan perbedaan biaya untuk menghasilkan
barang/jasa tersebut (Hirschey & Bentzen, 2016), artinya Cost-based pricing tidak
termasuk diskriminasi harga. Misalnya perbedaan tariff KA kelas bisnis dan
eksekutif tidak termasuk dalam kategori diskriminasi harga, karena penumpang
kelas eksekutif memeroleh fasilitas selimut, sedangkan di kelas bisnis tidak. Tidak
termasuk diskriminasi harga juga bila perbedaannya didasarkan pada perbedaan
suku, agama, jender atau Negara asal (unfair pricing practice).
Ukuran efektivitas strategi diskriminasi harga tentu saja adalah diperoleh
hasil penjualan dan laba yang lebih besar dibandingkan dengan tanpa melakukan
diskriminasi harga. Motivasi lain strategi ini adalah untuk meningkatkan volume
penjualan, yaitu karena harganya lebih murah (dibandingkan dengan harga
ketika tanpa diskriminasi harga) sehingga dapat dijangkau oleh konsumen yang
tadinya tidak mampu membeli. Secara umum, literature ekonomi mengenalkan
tiga bentuk diskriminasi harga, yaitu first degree price discrimination atau perfect
price discrimination (membedakan harga jual untuk setiap unit pembelian), second
degree price discrimination (membedakan harga jual untuk sejumlah unit pembelian
atau kelompok/segmen konsumen), dan third degree price discrimination
(membedakan harga jual untuk dua pasar atau lebih yang berbeda).
Untuk menerapkan strategi diskriminasi harga, setidaknya diperlukan tiga
persyaratan yang harus dipenuhi oleh perusahaan, yaitu:
1) Perusahaan memiliki market power (dalam Teori Ekonomi biasanya
dikaitkan dengan struktur pasar monopoli dan oligopoly);
2) Perusahaan harus dapat membedakan/memisahkan dengan tegas
masing-masing segmen yang menjadi target. Artinya Masing-masing
pasar/segmen harus memiliki kesensitifan terhadap harga (elastisitas
harga) yang berbeda (penjelasannya akan diuraikan pada halaman
berikutnya);

Wahdi Suardi | 3
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL

3) Pasar harus terjaga tetap terpisah, baik berdasarkan tempat atau


sifatnya sehingga tidak memungkinkan konsumen membeli dari pasar
yang harganya ditetapkan lebih murah kemudian menjual kembali di
pasar yang harganya lebih mahal (no-arbitrage atau resale). Sifat pasar
yang dimaksud diantaranya menurut waktu, usia, lokasi. Misalnya
aplikasi Microsoft Office “Schools edition” hanya bisa dibeli oleh
institusi pendidikan saja, selain itu tidak boleh. Contoh lain adalah
konsumen PT KAI yang sudah lanjut usia memperoleh diskon 20%,
tetapi untuk memeroleh fasilitas tersebut harus menunjukkan KTP.
Persyaratan untuk memisahkan segmen pasar inilah yang menjadi
alsan mengapa praktik diskriminasi harga lebih meungkin diterapkan
pada industry jasa.

Diskriminasi harga biasa dipraktikkan dalam bisnis modern sekarang ini,


walaupun bila dilihat dari sudut pandang yang lain dianggap tidak legal atau
setidaknya tidak etis. Setidaknya diskriminasi dapat berdampak terhadap
ketersediaan barang di pasar (output), harga dan kesejahteraan (Welfare). Karena
berpotensi mengancam kesejahteraan masyarakat (produsen mengambil surplus
konsumen yang merupakan indicator kesejahteraan), di banyak Negara praktik
diskriminasi harga sangat diatur atau dikendalikan. Misalnya di Negara yang
tergabung dalam Masyarakat Eropa telah di sepakati (pasal 82 EC Treaty)
membatasi keleluasan perusahaan yang memiliki market power (dominant firms)
untuk menetapkan harga dalam upayanya menghindari persaingan, Begitu juga
di Amerika Serikat, salah satu undang-undangnya (Robinson-Patman Act)
melarang dominan firms menetapkan harga yang berbeda untuk konsumen yang
berbeda.
Termasuk di Indonesia, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
mengkategorikan praktik diskriminasi harga sebagai tindakan yang dapat
menghambat atau bertentangan dengan persaingan usaha tidak sehat di luar
praktik diskriminasi non-harga (KPPU, 2011). Pasal 19 huruf d UU No. 5/1999
menegaskan bahwa: Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik
sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa: melakukan praktek diskriminasi
terhadap pelaku usaha tertentu. Berikutnya Pasal 6 UU No. 5/1999 menegaskan:
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus
membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain
untuk barang dan atau jasa yang sama. Dalam konteks hukum, Pasal 6 tersebut
dilakukan secara per se illegal, artinya asumsi telah terjadinya pelanggaran hukum
tanpa harus membuktikan dampak yang terjadi. Namun sayangnya peraturan
tersebut tidak menjelaskan secara rinci mengenai praktik diskriminasi harga

Wahdi Suardi | 4
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL

seperti apa yang dapat merugikan tersebut sehingga masih menimbulkan multi-
tafsir. Namun menjerat perusahaan dominan yang diduga melakukan praktik
diskriminasi harga tidak mudah, pertama, karena bentuknya yang beragam
(diantaranya diskon, rabat, tying, bundling, selective price cuts, diskriminasi
harga input), mulai dari yang tampak jelas hingga samar-samar, dan tujuan serta
dampaknya bisa berbeda-beda. Kedua, bagi para ekonom sendiri, dampak
diskriminasi harga terhadap kesejahteraan masih dalam perdebatan.
KPPU mengkategorikan diskriminasi harga dalam tiga bentuk (KPPU,
2011), pertama, diskriminasi harga dalam bentuk rabat (potongan pembayaran)
yang dikenakan kepada pembeli tertentu yang tidak diberikan kepada pembeli
yang lain. Termasuk dalam kategori rabat ini adalah: quantity rebate yakni
potongan harga berdasarkan volume kuantitas pembelian. Quantity rebate yang
diberikan kepada pembeli skala besar bukan terkategori sebagai diskriminasi
harga tetapi lebih kepada efisiensi biaya. Berikutnya fidelity rebate (loyalty
discount) yaitu diskon yang ditawarkan kepada pembeli yang telah mengikatkan
diri kepada penjual sehingga rabat diberikan baik dalam volume yang besar
ataupun yang kecil. Terdapat beberapa bentuk fidelity rebate, diantaranya yaitu
besarnya diskon tidak berdasarkan jumlah pembelian, tetapi disesuaikan dengan
jumlah pembelian relative jumlah kebutuhan pembeli. Makin besar porsi
pembelian terhadap kebutuhannya, makin besar diskon yang diperolehnya.
Target rebate juga dapat diberikan kepada counterpart bisnis yang target
penjualannya melebihi dari periode-periode sebelumnya. Kesimpulannya,
potongan harga dalam fidelity rebate hanya diberikan kepada pembeli yang
dianggap telah memenuhi syarat tertentu (conditional). Fidelity rebate umumnya
dinilai sebagai strategi yang ditujukan untuk mencegah kompetitor berkembang,
dan itulah sebabnya mengapa dianggap sebagai perilaku bisnis yang tidak fair.
Kedua selective price cuts yaitu penjual memotong harga secara selektif
pada pembeli tertentu pada segmen pasar tertentu yang tidak diberikan pada
pembeli di segmen pasar lainnya. Biasanya potongan harga selektif ini diberikan
kepada pembeli di pasar yang berpotensi beralih ke kompetitor lain. Tetapi bagi
pembeli lainnya di pasar yang berbeda tetap dikenakan harga yang lebih tinggi.
Sebagai ilustrasi, AKZO Nobel N.V, sebuah perusahaan cat dunia yang
berkedudukan di Belanda, pernah dihukum berdasarkan EC Treaty karena
terbukti melakukan selective price cuts dalam bentuk menetapkan harga di bawah
biaya produksinya (average cost = AC) khusus kepada konsumen pesaingnya.
Namun dalam EC Treaty tidak hanya perusahaan yang menetapkan harga di
bawah AC, tetapi juga yang menetapkan harga di atas AC sekalipun tetap
dianggap melanggar. Misalnya hal ini pernah dikenakan pada perusahaan Hilti,
pemasok peralatan konstruksi dan elektronik terbesar di dunia (cabangnya ada di
Indonesia), berkedudukan di Liechtenstein (Bouckaert, HansDegryse, & Dijk,

Wahdi Suardi | 5
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL

2006). Kemudian salah satu alasan diterbitkannya Clayton Antitrust Act (1914) di
Amerika Serikat waktu itu, yang didalamnya mengatur tentang selective price cuts
adalah untuk mencegah perusahaan kuat di tingkat regional atau nasional
mematikan perusahaan local (Hirschey, 2008).
Ketiga tying yaitu untuk menggunakan satu produk, konsumen “dipaksa”
untuk membeli produk lainnya dari perusahaan atau merek yang sama. Ketika
sebuah merek printer “memaksa” konsumen untuk menggunakan tintanya juga
dari merek yang sama, berarti produsen printer tersebut telah “mengikat
konsumen” (tying) untuk tetap berhubungan dengan merek/produsen tersebut.
Kalau konsumen tidak menggunakan tinta tersebut maka printer tidak dapat
dioperasikan atau setidaknya hasil cetaknya tidak maksimal. Secara teknis,
printer digolongkan sebagai base goods, dan tinta adalah variable goods. Untuk
kasus printer ini, konsumen yang disasar adalah mereka yang suka mencetak
foto-foto berwarna. Karena alasan inilah, yang menjadi perhatian perusahaan
adalah willingness to pay (WTP) konsumen tintanya (variable goods), bukan WTP
printernya (base goods). Dalam praktiknya, harga base goods (printer) ditetapkan
semurah mungkin (atau secara teoritis ditetapkan di bawah biaya produksi rata-
ratanya atau AC), sedangkan harga variable goods (tinta) ditetapkan setinggi
mungkin (di atas AC). Karena disatukan dengan printer, konsumen tidak
menyadari bahwa sebenarnya ia telah membeli tinta dengan harga yang mahal.
Salah satu manfaat tying bagi produsen adalah mendistribusikan beban biaya
tetapnya (misalnya biaya R&D) kepada lebih banyak konsumen (konsumen
printer + tinta). Selain itu, untuk kasus printer di atas, produsen printer dapat
menyingkirkan pesaingnya dari bisnis tinta printer.
Keempat bundling, yaitu suatu perusahaan menjual dengan harga murah
jika misalnya membeli dua barang dalam satu paket dibandingkan jika pembeli
hanya membelinya secara individual. Contoh klasik adalah adalah perusahaan
aplikasi Microsoft yang menjual Word, Excel, Outlook, Access dan Powerpoint
dalam satu paket yang dikenal dengan nama produk Microsoft Office. Padahal
untuk sebagian orang mungkin hanya Word & Excel saja yang sering digunakan.
Praktik bundling juga dilakukan oleh produsen TV-Cable yang memaksa
pelanggannya untuk membeli 12 saluran TV sekaligus walaupun hanya 2 atau 4
saluran saja yang kita butuhkan atau sering ditonton. Produsen dapat memilih
pure bundling yaitu bila hanya menjual dalam bentuk paketan saja, dan tidak
menjual secara terpisah, atau mixed bundling bila menjual keduanya. Jasa
penyediaan broadband (koneksi Internet transmisi data kecepatan tinggi) dan TV-
Cable adalah contoh jelas tentang mixed bundling.
Berikut adalah ilustrasi mengenai penetapan harga bundling dengan kasus
Microsoft Office. Misalnya berdasarkan hasil survey pasar, Microsoft menemukan
willingness to pay (WTP) konsumen untuk Word & Excel (yang diwakili oleh

Wahdi Suardi | 6
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL

Amin & Ati). Bagi Amin, Word lebih penting sehingga ia berani untuk
membelinya dengan harga maksimal (WTP) Rp2.500.000/unit dan untuk Excel.
Sebaliknya bagi Ati, Excel lebih penting dan ia berani membelinya dengan harga
maksimal (WTP) Rp1.350.000/unit.

WTP maksimum untuk Word & Excel


Amin Ati
Word Rp2.500.000 Rp1.500.000
Excel Rp750.000 Rp2.000.000
Office = 1 unit Word + 1 unit Excell Rp3.250.000 Rp3.500.000

Bila aplikasi tersebut dijual secara terpisah, maka kemungkinan Microsoft


memperoleh hasil penjualan yaitu:
Bila Word ditetapkan Rp1.500.000  laku 2 unit  TR = Rp3.000.000;
Bila Word ditetapkan Rp2.500.000  laku 1 unit  TR = Rp2.500.000;
Bila Exel ditetapkan Rp750.000  laku 2 unit  TR = Rp1.500.000;
Bila Exel ditetapkan Rp2.000.000  laku 1 unit  TR = Rp2.000.000;

Bila Microsoft ingin memperoleh TR maksimal, maka ia akan menetapkan paket


Office dengan rincian: Word Rp2.500.000 + Exel Rp2.000.000 sehingga diperoleh
TR = Rp4.500.000, tetapi harga ini terlalu mahal bagi kedua konsumen. Sekarang
bila harga paket Office ditetapkan lebih murah yaitu Rp3.500.000, maka hanya
akan laku 1 paket (dibeli oleh Ati saja). Sedangkan bila dijual dengan harga
Rp3.250.000, akan laku 2 unit (dibeli Amin & Ati), sehingga Microsoft akan
memeroleh TR = Rp6.500.000. Ilustrasi ini menjelaskan bahwa sistim bundling
(paket) dapat meningkatkan TR dan volume penjualan (Q).

2. Diskriminasi harga derajat kesatu


Pada first degree price discrimination (FPD), harga ditetapkan berbeda
untuk setiap jumlah unit produk atau untuk setiap konsumen dan harga yang
ditetapkan itu persis sama dengan harga maksimum yang konsumen bersedia
untuk membayarnya (willing to pay = WTP). Jadi harga ditetapkan berbeda untuk
pembelian 1 unit, 2 unit, 3 unit dst, atau secara grafis harga ditetapkan berbeda
sepanjang kurva permintaan yang dihadapi perusahaan. Sebagai contoh.
misalnya seorang dokter memberlakukan tarif konsultasi yang berbeda-beda
pada setiap pasiennya. Sebuah dealer mobil bisa saja menetapkan harga yang
berbeda untuk merek mobil yang sama kepada 10 orang konsumen yang berbeda.
Kriteria inilah yang menyebabkan FPD sulit atau bahkan tidak mungkin untuk
untuk dipraktikan. Bagaimana mungkin perusahaan dapat mengisolasi pembeli
yang satu dengan yang lainnya agar mereka tidak saling memberi tahu berapa

Wahdi Suardi | 7
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL

harga jual yang ditetapkan perusahaan. Apabila perusahaan mampu


melakukannya, maka perusahaan akan memperoleh laba maksimum dari setiap
unit produk yang dijualnya.
Sebagai ilustrasi, perhatikan gambar berikut. Tanpa FPD, perusahaan akan
menetapkan harga jual sebesar P3 dan menjual sebanyak Q3 unit karena pada
harga tersebut perusahaan akan memperoleh laba maksimum, yaitu ketika
MR=MC yang berpotongan di titik D (diasumsikan perusahaan beroperasi
dengan MC yang konstan atau MC = AC). Laba maksimum yang diperolehnya
sebesar segi-empat P6HDP3. Padahal pihak konsumen sebenarnya bersedia atau
berani membeli (willing to pay=WTP) dengan harga di atas P3.

P
P

A
A

B
B
P
P11
P
P22 C
C

P
P33 D
D

P
P44 E
E

FF
P
P55
I H G
G
P
P66
MR
MR MC
MC =
= AC
AC
d
d
Q
Q
Q
Q11 Q
Q22 Q
Q33 Q
Q44 Q
Q55 Q
Q66

Gambar 1. Diskriminasi derajat kesatu

Selisih P3 (harga actual) dengan harga di atas P3 (yang seharusnya dibayarkan)


merupakan benefit bagi konsumen. Benefit inilah yang disebut dengan surplus
konsumen (consumer’s surplus). Gambar berikut menjelaskan bahwa pada tingkat
harga P3, konsumen memeroleh surplus konsumen seluas segi-tiga DAP3.
Dalam Ilmu Ekonomi, surplus konsumen merupakan salah satu indicator
kesejahteraan masyarakat, makin tinggi surplus konsumen berarti makin makmur
masyarakat, dan begitu pula bila sebaliknya. Dengan kata lain surplus konsumen
adalah selisih antara reservation price (harga tertinggi yang bersedia dibayar
konsumen) dengan harga yang benar-benar dibayar oleh konsumen, atau selisih
antara nilai barang yang diterimanya dengan nilai barang actual yang
dibayarkannya kepada penjual. Surplus konsumen adalah nilai manfaat yang
diperoleh konsumen atas setiap unit pembelian minus harga jualnya. Sebagai
ilustrasi, misalkan konsumen akan membeli computer dengan spesifikasi
tertentu, dan untuk itu konsumen memperkirakan atau menganggarkan atau
bersedia membelinya dengan Rp 10 juta. Ketika datang ke toko ia menemukan

Wahdi Suardi | 8
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL

computer dimaksud dengan harga Rp 9 juta. Kalau dia jadi membelinya maka ia
memperoleh surplus konsumen atau manfaat senilai Rp 1 juta.
Kembali ke strategi FPD, perusahaan akan menentukan harga yang
berbeda untuk setiap unit penjualan hingga batas terendah di P 6. Misal harga
ditetapkan pada P1 maka perusahaan akan memperoleh laba sebesar segi-empat
P6IBP1 dan seterusnya hingga P6. Perusahaan tidak akan menetapkan harga di
bawah P6 karena lebih rendah daripada biaya/unitnya (AC). Dengan menerapkan
strategi FPD maka laba perusahaan bertambah sebesar segi-tiga (HGD+DAP3)
atau secara keseluruhan sekarang menjadi segitiga P6GA. Dengan diterapkannya
FPD maka surplus konsumen (segitiga DAP3) menjadi hilang karena diambil
(capturing) seluruhnya oleh produsen dalam bentuk peningkatan laba perusahaan.
Jadi ide utama diskriminasi harga adalah memaksimalkan laba perusahaan
dengan mengeksploitasi heterogenitas WTP konsumen.
Kembali ke gambar di atas, ketika perusahaan menetapkan harga P3
sebetulnya konsumen bersedia/mampu membelinya dengan harga di atas P3
sehingga surplus konsumen secara keseluruhan adalah segitiga DAP3. Secara
matematis, surplus konsumen (CS) dapat dinyatakan dalam persamaan berikut:
∑ ……………….... (1)
Dari fungsi permintaan individu ke-i: , maka persamaan di atas
berubah menjadi :
∑ ………… (2)
Diasumsikan perusahaan menghadapi fungsi permintaan yang linear dan ΔQ
mendekati nol, maka CS dapat dihitung:
∑ ……………………. (3)
Sebagai contoh, misal Pi = 60 – 6Qi, harga pasar (Pn) = Rp18 dan perubahan
kuantitas (Q) yang mendekati nol sama dengan 1, atau: ΔQ = 1; Pn = 18 dan Qn =
Qi diperoleh dari fungsi permintaan berikut:

Maka CS dapat dihitung sebagai berikut:

Wahdi Suardi | 9
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL

Nilai barang ketika membeli sebanyak 7 unit adalah Rp252. Bila konsumen
membayar Rp126 untuk pembelian 7 unit barang tersebut, maka nilai manfaat
barang (Qi) yang dinikmati oleh konsumen (bukan yang dibayarkan) dari 0 hingga 7
unit adalah Rp126. Bagaimana kalau ΔQ = 0?. Dengan menggunakan rumus (3)
diperoleh:

Nilai surplus konsumen sebesar 147 lebih tepat karena diasumsikan perubahan Q
mendekati nol, sementara surplus konsumen sebesar 126 mengasumsikan
perubahan Q sama dengan satu..

3. Diskriminasi harga derajat kedua


Kemudian pada model second degree price discrimination (SDP), umumnya
harga ditetapkan berbeda untuk setiap sejumlah pembelian (range of output).
Model ini disebut juga sebagai non-linear pricing dan bentuknya dapat berupa
quantity discount, two-part tariff dengan bonus tetap atau variabel. Penerapan
diskriminasi harga jenis kedua banyak kita temui dalam keseharian, dan sangat
umum dilakukan oleh pedagang. Misalnya ketika membeli baju di grosir Mangga
Dua, harga satu potongnya Rp 100.000,00. Tetapi jika membeli satu lusin,
harga/potongnya bisa turun menjadi Rp 75.000 dan bila 2 lusin harga/potongnya
lebih murah lagi menjadi Rp60.000. Apabila mengikuti contoh di atas, maka SDP
sering disetarakan declining block price. Contoh lain adalah perbedaan harga per
unit pada pembelian grosir dan pembelian eceran. Jadi bila penjualan
memberikan diskon dan sejenisnya, tidak serta-merta penjual itu berbaik hati,
tetapi sebaliknya justeru ia sedang berusaha meraup keuntungan yang lebih
besar. Contoh berikutnya adalah perbedaan tarif PDAM berdasarkan volume
penggunaan air. PDAM Kota Bandung menetapkan tarif/m3 untuk golongan
pelanggan 2A2 yaitu Rp2000 untuk penggunaan 0 - 10m3, Rp3600 untuk 11 –
20m3, Rp5700/m3 21 – 30m3 , dan Rp8800 untuk diatas 30 m3, dst.
Sebagai ilustrasi perhatikan gambar berikut (diasumsikan perusahaan
bekerja pada MC konstan sehingga MC = AC). Penjualan antara 0 – Q1 unit
ditetapkan harga sebesar OP1, dan antara antara Q1 - Q1 unit ditetapkan harga
OP2, dst. Setiap penambahan penjualan 1 unit diantara jumlah penjualan 0 – Q1
akan meningkatkan hasil penjualan (total revenue = TR) sebesar OP 1 sehingga
marginal revenue (MR) pada tingkat penjualan tersebut ditunjukkan oleh garis
P1S. Pada tingkat penjualan tersebut perusahaan memperoleh laba sebesar segi-
empat P1SAW.

Wahdi Suardi | 10
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL

P
P

S
S
P
P11

P
P22 T
T U
U

P
P33 V
V W
W

W
W
MC=AC
MC=AC A
A B
B X
X
MR
MR
D
D

Q
Q11 Q
Q22 Q
Q33 Q
Q

Gambar 2. Diskriminasi derajat kedua

Begitu pula pada tingkat penjualan antara Q1 - Q1 setiap penambahan volume


penjualan 1 unit akan meningkatkan hasil penjualan (total revenue = TR) sebesar
OP2 sehingga marginal revenue (MR) pada tingkat penjualan tersebut
ditunjukkan oleh garis TU. Pada tingkat penjualan tersebut perusahaan
memperoleh laba sebesar segi-empat P2UBW. Begitu seterusnya sehingga kurva
MR secara keseluruhan merupakan garis bertingkat (series of step) P1STUVWX.
Penjual tidak akan menjual lebih dari OQ3 unit karena akan merugi (P<AC).
Secara keseluruhan perusahaan memperoleh laba sebesar luas daerah yang
berwarna hitam. Berbeda dengan FPD yang dapat meraup seluruh surplus
konsumen, SPD hanya mengambil sebagian surplus konsumen. Misalkan
perusahaan menetapkan harga pada P3, maka surplus konsumen yang terambil
oleh perusahaan hanya sebesar luas daerah: P3WVUTSP1, bukan segi-tiga P3WP.

4. Diskriminasi derajat ketiga


Diskriminasi derajat ketiga (third price discrimination = TPD) merupakan
bentuk diskriminasi harga yang paling umum untuk dipraktikan, yaitu ketika
perusahaan mengelompokan pasar atau konsumen menjadi dua atau lebih
(submarket). Misalnya penerbit internasional menetapkan harga buku teks soft
cover yang lebih murah daripada yang hardcover. Produsen juga dapat
menempuh strategi dumping yaitu menetapkan harga yang lebih mahal untuk
pasar domestic dibandingkan dengan pasar internasional (ekspor). Perusahaan
penerbangan juga sering melakukan diskriminasi harga, yaitu menetapkan harga
lebih murah bagi calon penumpang yang memesan tiketnya minimal satu hari
sebelumnya dengan yang membeli langsung pada akhir-akhir pemberangkatan
(last minute).

Wahdi Suardi | 11
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL

Bila perusahaan membagi pasar menjadi dua, maka perusahaan harus


menetapkan berapa unit barang yang dijual di pasar 1 (Q1), dijual dengan harga
berapa (P1), serta berapa unit di pasar 2 (Q2) unit dan berapa harga jualnya (P2)
sehingga secara keseluruhan barang yang dijual adalah Q = Q 1 + Q2 unit. Dengan
demikian laba yang diperoleh adalah: π . Dengan asumsi
perusahaan mencari laba maksimum, maka:

, maka:  …………… (1)

Persamaan 1 menjelaskan bahwa strategi diskriminasi harga akan menghasilkan


laba maksimum apabila jumlah barang yang dijual di masing-masing pasar (Q1 &
Q2) dengan harga jual/unit (P1 & P2) memenuhi kondisi: marginal revenue (MR) di
setiap pasar harus sama dan sekaligus juga harus sama pula dengan marginal cost (MC).
Pada bagian analisis permintaan kita telah menemukan hubungan antara
elastisitas harga (EX) dengan marginal revenue (MR), seperti dinyatakan pada
persamaan (5) berikut.

Apabila persamaan tersebut kita hubungkan dengan persamaan (1), maka kita
menemukan informasi tambahan mengenai diskriminasi harga, yaitu:

MR1 = MR2  ( ) ( ) ...................... (2)

Persamaan (2) menegaskan kembali bahwa, pertama, diskriminasi harga hanya


dapat menguntungkan bila perusahaan menghadapi dua segmen atau
karakteristik permintaan yang berbeda, yang ditandai oleh perbedaan elastisitas
harganya (E1 harus ≠ E2). Kedua, Perusahaan harus menetapkan harga yang lebih
tinggi di pasar yang memiliki elatisitas harga lebih rendah, atau: bila E1 > E2, 
maka P1 harus < P2 atau sebaliknya. Makin besar nilai mutlak elastisitas harga
berarti makin sensitive konsumennya terhadap perubahan harga. Sebagai contoh
bila perusahaan menghadapi permintaan di pasar 1 dengan elastisitas harga E 1 =
-2 dan di pasar 2 E2 = -4, maka:

( ) ( ) atau berarti: P1 = 1.5P2

Persyaratan ini sangat rasional, karena pada pasar yang lebih elastis (yang
konsumennya lebih sensitive atau peka terhadap perubahan harga) lebih tepat
dikenakan harga yang lebih murah daripada pasar yang konsumennya kurang
sensitive. Walaupun tidak terlalu tepat, pasar yang konsumennya sensitive
terhadap perubahan harga berarti tingkat daya beli konsumennya tergolong
rendah.

Wahdi Suardi | 12
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL

Secara grafis, kondisi laba maksimum tersebut dapat dijelaskan pada


gambar berikut.

B
P1
MR1 = MR2 =MC
E
P2 MC

AC

D
D2
C
A F

MR1 D1 MR2 MRtotal


Q
0 Q1 Q2 QTotal
Gambar 3. Diskriminasi derajat ketiga

Laba maksimal diperoleh bila perusahaan menjual sebanyak Qtotal unit yaitu
ketika MRtotal (penjumlah horisontal kurva MR1 dan MR2) sama dengan MC. Qtotal
unit tersebut merupakan penjumlahan Q1 unit di pasar 1 (karena harga jualnya
ditetapkan P1 untuk memenuhi kondisi MR1 = MC) dan Q2 unit di pasar 2 (karena
harga jualnya ditetapkan P2 untuk memenuhi kondisi MR2 = MC). P1 ditetapkan
lebih tinggi daripada P2 karena elastisitas harga di pasar 1 lebih rendah (lebih
inelastis) daripada di pasar 2. Dari pasar 1 diperoleh laba seluas segi-empat
ABP1C dan di pasar 2 seluas segi-empat DEP2C.
Gambar berikut juga menjelaskan hal yang sama namun dengan asumsi
marginal cost (MC) konstan atau MC = AC. Luas segi-empat yang berwarna
hitam menunjukkan besarnya laba yang diperoleh di setiap pasar, yaitu pasar 1,
pasar 2 dan pasar secara keseluruhan.
PP
PP

PP11
PP

PP22

MC D=D
D=D11+D
+D22
MC == AC
AC
MC
MC == AC
AC
MC
MC == AC
AC
MR
MR11 D
D11 MR
MR22 MR
D
D22 MR11+MR
+MR22
Q
Q (Q
Q
Q11 Q
Q22 (Q11+Q
+Q22))
Q
Q Q
Q
PASAR
PASAR 11 PASAR
PASAR 22 PASAR
PASAR TOTAL
TOTAL

Gambar 4. Diskriminasi derajat ketiga kasus MC=AC

Wahdi Suardi | 13
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL

Kondisi TPD juga dapat dijelaskan secara matematis seperti berikut ini.
Misalkan perusahaan menghadapi permintaan di pasar 1: Q1 = 100 – 2P dan di
pasar 2: Q2 = 50 – 0.5P, maka:
Q1 = 100 – 2P
Q2 = 50 – 0.5P
Qtotal = 150 – 2.5P
Fungsi permintaan di kedua pasar tersebut dapat diubah menjadi inverse demand
function seperti berikut.
P = 50 – 0.5Q1  TR1 = 50Q1 – 0.5Q12
P = 100 – 2Q2  TR2 = 100Q2 – 2Q22
P = 60 – 0.4Qtotal
Berdasarkan fungsi total revenue di atas dapat diperoleh fungsi marginal revenue
seperti berikut:
MR1 = 50 – Q1
MR2 = 100 – 4Q2
MRtotal = 60 – 0.8Qtotal
Misal diketahui biaya perusahaan dinyatakan dalam persamaan:
TC = 10Q + 0.1Q2  MC = 10 +0.2Q.
MR = MC  60 – 0.8Q = 10 + 0.2Q  Q = 50 unit.
Pada tingkat penjualan total tersebut:
MC = 10 + 0.2(50) = 20
MR1 = MC  50 – Q1 = 20  Q1 = 30 unit.
MR2 = MC  100 – 4Q2 = 20  Q2 = 20 unit.
Sedangkan penentuan harga di setiap pasar adalah:
30 = 100 – 2P  P1 = 35, dan 20 = 50 – 0.5P  P2 = 60.
Mengapa di pasar 1 ditetapkan harga lebih rendah? Penjelasannya dapat
didekati dengan konsep elatisitas harga sebagai berikut. Elastisitas harga di pasar
adalah:

( ) atau : ( )

Sedangkan di pasar 2:

( ) atau: ( )

Wahdi Suardi | 14
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL

Jadi harga di pasar 1 ditetapkan lebih murah daripada pasar 2 karena elastisitas di
pasar 1 lebih tinggi atau lebih elastis (-2.33) daripada di pasar 2 (-1.5). Laba yang
diperoleh secara keseluruhan adalah:
TR1 = 50Q1 – 0.5Q12 = 50(30) + 0.5(30)2 = 1950 satuan uang
TR2 = 100Q2 – 2Q22 = 100(20) + 2(20)2 = 2800 satuan uang
= 4750 satuan uang
TC = 10(30+20) + 0.1 (30 + 20)2 = 750 satuan uang
Laba = 4000 satuan uang
Sekarang kita periksa apakah strategi diskriminasi harga tersebut berhasil? Tanpa
diskriminasi harga, laba yang diperoleh adalah sebagai berikut.
Penjualan total  Qtotal = 50 unit  harga jual: P = 60 – 0.8Qtotal  P = 75.
TR = 75 x 50 = 3750.
TC = 10(75) + 0.1(75)2 = 1312.5,
Laba = 2437.5
Karena laba dengan diskriminasi harga (4000) > laba tanpa diskriminasi harga
(2437.5), maka kita simpulkan strategi diskriminasi harga tersebut berhasil.
Ilustrasi lainnya misalkan sebuah perusahaan menerapkan diskriminasi
harga dengan menghadapi fungsi permintaan di kedua buah pasar seperti
berikut, dan dengan total biaya produksi TC = 90 + 2Q atau MC = 2, maka:
Q1 = 200 – P1 atau P1 = 200 – Q1  TR1 = 200Q1 – Q12 dan MR1 = 200 – 2Q1
Q2 = 100 – P2 atau P2 = 100 – Q2  TR2 = 100Q2 – Q22 dan MR2 = 100 – 2Q2
Karena MR1 = MC  200 – 2Q1 = 2  Q1 = 95 unit dan P1 = 200 – 95 = 105.
Karena MR2 = MC  100 – 2Q2 = 2  Q2 = 45 unit dan P2 = 100 – 45 = 55.
Dengan menerapkan diskriminasi harga, perusahaan memperoleh laba total:
Π = 105(95) + 55(55) – {90 + 10(95 + 55)} = 10960 satuan uang
Seandainya perusahaan tersebut tidak menerapkan diskriminasi harga, maka
solusinya adalah sebagai berikut:
Q = Q1 + Q2 = 200 – P1 + 100 – P2
= 200 – P + 100 – P = 300 – 2P,  P = 150 – 0,5Q
TR = 150Q – 0,5Q2  MR = 150 – Q.
Karena syarat laba maksimum MR = MC, maka:
150 – Q = 10  Q = 140 unit, dan P = 150 – 0,5 (140) = 80 satuan uang.
Hasil perhitungan ini menginformasikan bahwa bila perusahaan tidak
menerapkan diskriminasi harga, maka harga jual yang harus ditetapkan (P)

Wahdi Suardi | 15
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL

sebesar 80 satuan uang dan volume penjualan (Q) sebanyak 140 unit, sehingga
laba yang diperoleh: Π = 140(80) – {90 + 10(140)} = 9710 satuan uang.

5. Beberapa kasus diskriminasi harga


Bagian ini akan membahas tentang beberapa hasil penelitian yang
berkaitan dengan praktik diskriminasi harga yang diperoleh dari berbagai
sumber. Diharapkan pembahasan ini akan memberikan inspirasi atau menjadi
rujukan alternatif bagi peneliti yang berminat, apalagi harus diakui bahwa
penelitian serupa di Indonesia masih jarang dilakukan. Bagi yang berminat
direkomendasikan untuk mengakses sumbernya secara langsung.
Pertama, Eldo Malba (2016) dalam eseinya menjelaskan bahwa praktek
diskriminasi harga telah dilakukan oleh Indosat, yaitu dengan membagi segmen
GSM prabayar ke dalam dua layanan, yaitu Mentari dan IM3 karena berdasarkan
hasil penelitian kedua segmen tersebut memiliki karakteristik yang berbeda (table
1). Tujuannya adalah memaksimalkan pendapatan sekaligus keuntungan dengan
cara menguasai kedua segmen tersebut.

Tabel 1
Karakteristik segmen kartu GSM pra-bayar versi Indosat.

Gol A = konsumen Mentari; Gol B = konsumen IM3

Praktik diskriminasi harga tersebut berawal pada tahun 2000 ketika Indosat
mengakuisisi PT. Satelindo yang memiliki layanan GSM prabayar Mentari sejak
1996. Akuisisi ini mengakibatkan Indosat memiliki dua layanan untuk segmen
pasar GSM prabayar, yaitu Mentari dan IM3. Walaupun segmennya sama Indosat
tidak meleburkannya menjadi satu, melainkan melakukan diskriminasi harga
dengan memasang tarif Mentari lebih tinggi daripada tarif IM3. Tarif yang lebih
tinggi pada kartu Mentari memungkinkan Indosat memberikan layanan yang
lebih baik dari segi kualitas suara, kecepatan internet, coverage, dll dan

Wahdi Suardi | 16
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL

menghindari perpindahan pelanggan ke provider lainnya. Sementara itu, tujuan


pengenaan tarif yang lebih murah pada layanan IM3 adalah agar penguasaan
pasar di golongan B. Konsumen golongan B yang sensitif terhadap tarif
ditetapkan tarif yang lebih murah sehingga diharapkan dapat mencegah
perpindahan pelanggan ke provider lainnya.
Berikutnya Courty & Pagliero (2012) dalam penelitiannya mengenai
pertunjukkan konser, mengungkapkan bahwa diskriminasi harga derajat ketiga
(membedakan harga tiket berdasarkan kelas tempat duduk) mampu
meningkatkan tingkat hasil penjualan tiket lima persen lebih besar dibandingkan
bila harga tiket ditetapkan sama untuk semua kelas tempat duduk (single-price
ticketing). Temuan lainnya yaitu hasil penjualan tiket diperoleh lebih besar dari
pengunjung dengan karakteristik permintaan yang lebih heterogen, yaitu
diperoleh dari tempat duduk kelas 3 dan 4 dibandingkan dengan kelas 1 dan 2.
Kemudian Amin et.al (2004) meneliti tentang praktik diskriminasi harga
layanan kebidanan yang dilakukan oleh dua rumah sakit swasta di Bangladesh.
Penelitian ini mengungkapkan bahwa tarif layanan telah dibedakan berdasarkan
tingkat pendapatan pasien (low, middle, & high) dan status social (dokter, pejabat
tinggi pemerintah dan pengusaha besar). Dari perspektif kesejahteraan
masyarakat (welfare), penelitian ini membuktikan bahwa diskriminasi harga
bermanfaat bagi pasien berpenghasilan rendah karena menerima diskon paling
tinggi (sebagai akibat subsidi silang) dibandingkan dengan kelompok pendapatan
lainnya. Hasil penelitian ini mendukung terhadap pendapat yang menyatakan
praktik diskriminasi harga tidak selamanya berdampak negative terhadap
kesejahteraan.
Seperti telah dijelaskan di muka, praktik diskriminasi harga umumnya
dapat dilakukan oleh perusahaan dominan yang memiliki market power. Namun
bagaimana dampak struktur pasar terhadap praktik diskriminasi harga masih
dalam perdebatan. Misalnya penelitian Gill et.al (2016) tentang bisnis iklan
televise local di Spanyol mengungkapkan terdapat adanya dampak negative
kompetisi terhadap penerapan diskriminasi harga pemasangan iklan, atau makin
kompetitif maka makin sedikit peluang bagi penyelenggara TV untuk
menerapkan diskriminasi harga/tariff iklan. Temuan lainnya yaitu iklim
kompetisi antar penyelenggara TV telah menurunkan tarif rata-rata pemasangan
iklan selama periode penelitian.
Hubungan antara struktur pasar dengan praktik diskriminasi harga juga
menjadi focus penelitian Chandra & Lederman (2016) pada industry penerbangan
domestic di Kanada. Dalam penelitiannya mereka mengelompokkan konsumen
dalam tiga jenis, yaitu tipe 1 konsumen yang memiliki WTP rendah dan tidak
memiliki loyalitas merek (price-sensitive leisure travellers). Mereka akan memilih
penerbangan dengan tiket murah dan akan menunda perjalanannya bila harga

Wahdi Suardi | 17
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL

tiket tinggi. Tipe 2 adalah konsumen dengan WTP tinggi dan sedikit memiliki
loyalitas merek (brand-indifferent business travellers). Mereka masih mau membeli
tiket walaupun harganya tinggi tetapi tetap memilih tiket termurah. Tipe ketiga
adalah brand-loyal business travellers yaitu mereka yang memiliki WTP dan
loyalitas merek tinggi. Hasil penelitian menemukan bahwa dampak persaingan
terhadap diskriminisasi harga hanya terjadi pada konsumen tipe 2 (brand
indifferent business travellers). Tingkat persaingan berdampak terhadap
pengurangan perbedaan harga tiket pada kelompok konsumen ini tetapi
sebaliknya meningkat perbedaan harga tiket pada kelompok konsumen lainnya.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa hubungan antara persaingan dengan
diskriminasi harga masih belum jelas.

DAFTAR PUSTAKA
Alhabeeb, M., & Moffitt, L. J. (2013). Managrial Economics: A Mathematical
Approach. Hoboken, New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Amin, M., Hanson, K., & Mills, A. (2004). Price discrimination in obstetric
services--a case study in Bangladesh. Journal of Health Economics, 13, 597–
604.
Aulia, M. R. (2019, Februari 12). metrotvnews.com. Retrieved Februari 28, 2019,
from http://telusur.metrotvnews.com/news-telusur/nN9MY9AN-ngos-
ngosan-bisnis-penerbangan
Baye, M. R., & Prince, J. T. (2014). Managerial Economics and Business Strategy (8nd
ed.). New York: McGraw-Hill/Irwin.
Bouckaert, J., HansDegryse, & Dijk, T. (2006, November 21). unamur. Retrieved
March 4, 2019, from www.unamur.be:
https://www.unamur.be/en/eco/eeco/2006-2007/hdegryse
Chandra, A., & Lederman, M. (2016, August 9). Revisiting the Relationship
between Competition and Price Discrimination. Rotman School of
Management Working Paper No. 2477719.
Courty, P., & Pagliero, M. (2012, February). THE IMPACT OF PRICE
DISCRIMINATION ON REVENUE: EVIDENCE FROM THE CONCERT
INDUSTRY. CEPR Discussion Paper No. DP7120, 94(1), 359-369. SSRN.
Eldo Malba. (2016, May 21). Strategi Diskriminasi Harga: Dua Layanan GSM
Prabayar Indosat. Artikel. http://kanopi-febui.org.
Froeb, L. M., Shor, M., & Ward, M. R. (2014). Managerial Economics: A Problem
solving approach (3 ed.). South-Western: Cengage Learning.
Geradin, D., & Petit, N. (2005). Price Discrimination under EC Competition Law:
The need for a case-by-case Approach. GCLC Woring Paper 07/05. Bruges,
Belgium: Global Competition Law Centre.

Wahdi Suardi | 18
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL

Gil, R., Riera-Crichton, D., & Ruzzier, C. (2016, December). As Seen on TV: Price
Discrimination andCompetition in Television Advertising. Munich Personal
RePEc Archive.
Griffiths, A., & Wall, S. (2005). Economics for Business and Management: A Student
Text (1st ed.). Edinburgh Gate, Harlow: Pearson Education Limited.
Hirschey, M. (2008). Fundamentals of Managerial Economics (12th ed.). Cengage
Learning.
Hirschey, M., & Bentzen, E. (2016). Managerial Economics (14 ed.). Cengage
Learning EMEA.
KPPU. (2011, Juni). PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA
NOMOR 3 TAHUN 2011 . Peraturan. Jakarta.
Lubis, A. F., Toha, K., Kagramanto, B., Hawin, M., Sirait, N. N., Prananingtyas, P.,
et al. (2017). Hukum Persaingan Usaha (2nd ed.). Jakarta: Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU).
Maddala, G., & Miller, E. (1989). Microeconomics: Theory and Application. Singapore:
McGraw-Hill Book.Co.
Maurice, S. C., Smith, C. W., & Thomas, C. (1998). Managerial economics: Applied
Microeconomics for decision making. Illinois: Rihard D. Irwin, Inc.
Poort, J., & Borgesius, F. J. (2019, January 30). Does everyone have a price?
Understanding people’s attitude towards online and offline price
discrimination. Internet Policy Review.

Wahdi Suardi | 19

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai