Anda di halaman 1dari 14

Makalah Perekonomian Indonesia

“kondisi awal krisis ekonomi di Indonesia”

 Di susun

oleh:

                    Amelia Selviani (27211931)

                   Ramadhani simanjutak (25211819)

                Rizki permatasari (28211373)

                Shella priana putri (26211733)

          1EB22

             UNIVERSITAS GUNADARMA

          2012

     Kata pengantar

Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan
Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini tepat pada
waktunya. Makalah ini membahas tentang kondisi awal krisis ekonomi di Indonesia.

Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan akan
tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Olehnya itu, penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari
Tuhan Yang Maha Esa.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk
penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan
untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.

Bekasi,13 April 2012


                                                                                                                    Penulis

DAFTAR ISI

KATA
PENGANTAR…………………………………………………………………………………
…….i

DAFTAR
ISI………………………………………………………………………………………………
….. ii

I.PENDAHULUAN

1.  LATAR BELAKANG……………..……………………………………………….1
2. RUMUSAN  MASALAH…………………………………………………….1
3. TUJUAN PENULISAN ………………………………………………………..2

II.
ISI………………………………………………………………………………………………
……………..2

III.PENUTUP
a.
Kesimpulan……………………………………………………………………………………
……………..4

b.saran…………………………………………………………………………………5

DAFTAR PUSTAKA
………………………………………………………………………………………6

BAB I
Pendahuluan

1. Latar Belakang

Sejak terjadi krisis ekonomi, social dan politik pada tahun 1997 yang dialami bangsa
Indonesia membuat pemerintah dan masyarakat terpuruk dan makin miskin. Kondisi
demikian menyadarkan kita bahwa berbagai kebijakan dan program pembangunan selama ini
belum mampu secara tuntas menyelesaikan masalah kemiskinan terbukti dan sangat
rentannya terhadap krisis ekonomi, social dan politik.Penyebab kemiskinan dapat disebabkan
oleh 2 (dua) faktor. Pertama factor internal yakni: factor yang ada pada individu, keluarga
atau komunitas masyarakat miskin itu sendiri, seperti rendahnya tingkat pendidikan dan
rendahnya tingkat pendapatan. Kedua factor eksternal yakni: dipengaruhi oleh kebijakan
Global seperti sosial, politik, hokum dan ekonomi. Sedangkan dari  sudut dampak
kemiskinan akan menimbulkan dampak yang sangat besar jika tidak ditanggulangi seperti
menurunnya kualitas sumber daya manusia, munculnya ketimpangan dan kecemburuan
sosial, terganggunya stabilitas sosial, meningkatnya angka kriminalitas dan dampak social
lainnya. Kurang berhasilnya upaya penuntasan penanggulangan kemiskinan yang telah
dilakukan dikarenakan berbagai kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan yang
selama  ini dilakukan selalu bersifat parsial, sektoral dan tidak terintegrasi serta tidak focus
bahkan terkadang atau ada beberapa kebijakan program yang justru menyebabkan terjadinya
proses pemiskinan di tingkat masyarakat.

2. Rumusan Masalah

Adapun masalah-masalah yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut :


• Bagaimana cara mengataasi krisis ekonomi di Indonesia?
• Bagaimana kondisi negara indonesia di saat krisi ekonomi ?
• Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan terjadi krisis ekonomi di Indonesia?

3. Tujuan Penulisan

Makalah ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi tugas terstruktur dari mata kuliah
Perekonomian Indonesia. Lanjutan yang dibimbing oleh dosen mata kuliah yang
bersangkutan. Selain itu juga sebagai pembelajaran untuk penulis sendiri untuk berbagi ilmu
kepada pembaca dan menambah pengetahuan tentang Kondisi Awal Krisis Ekonomi di
Indonesia

BAB II

Kondisi Awal Krisis Ekonomi di Indonesia

Sebagai introspeksi, harus kita akui bahwa krisis di Indonesia benar-benar tidak terduga
datangnya, sama sekali tidak terprediksi sebelumnya. Seperti dikatakan oleh Furman dan
Stiglitz (1998), bahwa di antara 34 negara bermasalah yang diambil sebagai percontoh
(sample) penelitiannya, Indonesia adalah negara yang paling tidak diperkirakan akan terkena
krisis bila dibandingkan dengan negara-negara lainnya dalam percontoh, tersebut. Ketika
Thailand mulai menunjukkan gejala krisis, orang umumnya percaya bahwa Indonesia tidak
akan bernasib sama. Fundamental ekonomi Indonesia dipercaya cukup kuat untuk menahan
kejut eksternal (external shock) akibat kejatuhan ekonomi Thailand.

Berikut ini 4 Penyebab Krisis Ekonomi Indonesia tahun 1997-1998 :

1.   Yang pertama, stok hutang luar negeri swasta yang sangat besar dan umumnya
berjangka pendek, telah menciptakan kondisi bagi “ketidakstabilan”. Hal ini
diperburuk oleh rasa percaya diri yang berlebihan, bahkan cenderung mengabaikan,
dari para menteri di bidang ekonomi maupun masyarakat perbankan sendiri
menghadapi besarnya serta persyaratan hutang swasta tersebut.

Pemerintah selama ini selalu ekstra hati-hati dalam mengelola hutang pemerintah (atau
hutang publik lainnya), dan senantiasa menjaganya dalam batas-batas yang dapat tertangani
(manageable). Akan tetapi untuk hutang yang dibuat oleh sektor swasta Indonesia,
pemerintah sama sekali tidak memiliki mekanisme pengawasan. Setelah krisis berlangsung,
barulah disadari bahwa hutang swasta tersebut benar -benar menjadi masalah yang serius.
Antara tahun 1992 sampai dengan bulan Juli 1997, 85% dari penambahan hutang luar negeri
Indonesia berasal dari pinjaman swasta (World Bank, 1998). Hal ini mirip dengan yang
terjadi di negara-negara lain di Asia yang dilanda krisis. Dalam banyak hal, boleh dikatakan
bahwa negara telah menjadi korban dari keberhasilannya sendiri. Mengapa demikian?
Karena kreditur asing tentu bersemangat meminjamkan modalnya kepada perusahaan-
perusahaan (swasta) di negara yang memiliki inflasi rendah, memiliki surplus anggaran,
mempunyai tenaga kerja terdidik dalam jumlah besar, memiliki sarana dan prasarana yang
memadai, dan menjalankan sistem perdagangan terbuka.

Daya tarik dari “dynamic economies’” ini telah menyebabkan net capital inflows atau arus
modal masuk (yang meliputi hutang jangka panjang, penanaman modal asing, dan equity
purchases) ke wilayah Asia Pasifik meningkat dari US$25 milyar pada tahun 1990 menjadi
lebih dari US$110 milyar pada tahun 1996 (Greenspan 1997). Sayangnya, banyaknya modal
yang masuk tersebut tidak cukup dimanfaatkan untuk sektor-sektor yang produktif, seperti
pertanian atau industri, tetapi justru masuk ke pembiayaan konsumsi, pasar modal, dan
khusus bagi Indonesia dan Thailand, ke sektor perumahan (real estate). Di sektor-sektor ini
memang terjadi ledakan (boom) karena sebagian dipengaruhi oleh arus modal masuk tadi,
tetapi sebaliknya kinerja ekspor yang selama ini menjadi andalan ekonomi
nasional justru mengalami perlambatan, akibat apresiasi nilai tukar yang terjadi, antara lain,
karena derasnya arus modal yang masuk itu.

Selain itu, hutang swasta tersebut banyak yang tidak dilandasi oleh kelayakan ekonomi,
tetapi lebih mengandalkan koneksi politik, dan seakan didukung oleh persepsi bahwa
negara akan ikut menanggung biaya apabila kelak terjadi kegagalan. Lembaga
keuangan membuat pinjaman atas dasar perhitungan aset yang telah “digelembungkan” yang
pada gilirannya mendorong lagi terjadinya apresiasi lebih lanjut (Kelly and Olds 1999). Ini
adalah akibat dari sistem yang sering disebut sebagai “crony capitalism”. Moral hazard dan
penggelembungan aset tersebut, seperti dijelaskan oleh Krugman (1998), adalah suatu strategi
“kalau untung aku yang ambil, kalau rugi bukan aku yang tanggung (heads I win tails
somebody else loses)”. Di tengah pusaran (virtous circle) yang semakin hari makin
membesar ini, lembaga keuangan meminjam US dollar, tetapi menyalurkan pinjamannya
dalam kurs lokal (Radelet and Sachs 1998). Yang ikut memperburuk keadaan adalah batas
waktu pinjaman (maturity) hutang swasta tersebut rata-rata makin pendek. Pada saat krisis
terjadi, rata-rata batas waktu pinjaman sektor swasta adalah 18 bulan, dan menjelang
Desember 1997 jumlah hutang yang harus dilunasi dalam tempo kurang dari satu tahun
adalah sebesar US$20,7 milyar (World Bank 1998).

2. Yang kedua, dan terkait erat dengan masalah di atas, adalah banyaknya kelemahan
dalam sistem perbankan di Indonesia. Dengan kelemahan sistemik perbankan tersebut,
masalah hutang swasta eksternal langsung beralih menjadi masalah perbankan dalam
negeri.

Ketika liberalisasi sistem perbankan diberlakukan pada pertengahan tahun 1980-an,


mekanisme pengendalian dan
pengawasan dari pemerintah tidak efektif dan tidak mampu mengikuti cepatnya pertumbuhan
sektor perbankan. Yang lebih parah, hampir tidak ada penegakan hukum terhadap bank-bank
yang melanggar ketentuan, khususnya dalam kasus peminjaman ke kelompok bisnisnya
sendiri, konsentrasi pinjaman pada pihak tertentu, dan pelanggaran kriteria layak kredit. Pada
waktu yang bersamaan banyak sekali bank yang sesunguhnya tidak bermodal cukup
(undercapitalized) atau kekurangan modal, tetapi tetap dibiarkan beroperasi. Semua ini
berarti, ketika nilai rupiah mulai terdepresiasi, sistem perbankan tidak mampu
menempatkan dirinya sebagai “peredam kerusakan”, tetapi justru menjadi korban
langsung akibat neracanya yang tidak sehat.

3. Yang ketiga, sejalan dengan makin tidak jelasnya arah perubahan politik, maka isu
tentang pemerintahan otomatis berkembang menjadi persoalan ekonomi pula.

Hill (1999) menulis bahwa banyaknya pihak yang memiliki vested interest dengan intrik-
intrik politiknya yang menyebar ke mana-mana telah menghambat atau menghalangi gerak
pemerintah, untuk mengambil tindakan tegas di tengah krisis. Jauh sebelum krisis terjadi,
investor asing dan pelaku bisnis yang bergerak di Indonesia selalu mengeluhkan kurangnya
transparansi, dan lemahnya perlindungan maupun kepastian hukum. Persoalan ini sering
dikaitkan dengan tingginya “biaya siluman” yang harus dikeluarkan bila orang melakukan
kegiatan bisnis di sini. Anehnya, selama Indonesia menikmati economic boom persepsi
negatif tersebut tidak terlalu menghambat ekonomi
Indonesia. Akan tetapi begitu krisis menghantam, maka segala kelemahan itu muncul
menjadi penghalang bagi pemerintah untuk mampu mengendalikan krisis. Masalah ini
pulalah yang mengurangi kemampuan kelembagaan pemerintah untuk bertindak cepat, adil,
dan efektif. Akhirnya semua itu berkembang menjadi “krisis kepercayaan” yang ternyata
menjadi penyebab paling utama dari segala masalah ekonomi yang dihadapi pada waktu itu.
Akibat krisis kepercayaan itu, modal yang dibawa lari ke luar tidak kunjung kembali,
apalagi modal baru.

4.  Yang keempat, perkembangan situasi politik telah makin menghangat akibat krisis
ekonomi, dan pada gilirannya memberbesar dampak krisis ekonomi itu sendiri.

Faktor ini merupakan hal yang paling sulit diatasi. Kegagalan dalam mengembalikan
stabilitas sosial-politik
telah mempersulit kinerja ekonomi dalam mencapai momentum pemulihan secara mantap
dan berkesinambungan.
Meskipun persoalan perbankan dan hutang swasta menjadi penyebab dari krisis ekonomi,
namun, kedua faktor yang disebut terakhir di atas adalah penyebab lambatnya pemulihan
krisis di Indonesia. Pemulihan ekonomi musykil, bahkan tidak mungkin dicapai, tanpa
pulihnya kepercayaan pasar, dan kepercayaan pasar tidak mungkin pulih tanpa stabilitas
politik dan adanya permerintahan yang terpercaya (credible).

Tahun 1998 menjadi saksi bagi tragedi perekonomian bangsa. Keadaannya berlangsung
sangat tragis dan tercatat sebagai periode paling suram dalam sejarah perekonomian
Indonesia. Mungkin dia akan selalu diingat, sebagaimana kita selalu mengingat black
Tuesday yang menandai awal resesi ekonomi dunia tanggal 29 Oktober 1929 yang juga
disebut sebagai malaise.

Hanya dalam waktu setahun, perubahan dramatis terjadi. Prestasi ekonomi yang dicapai
dalam dua dekade, tenggelam begitu saja. Dia juga sekaligus membalikkan semua bayangan
indah dan cerah di depan mata menyongsong milenium ketiga.

Selama periode sembilan bulan pertama 1998, tak pelak lagi merupakan periode paling hiruk
pikuk dalam perekonomian. Krisis yang sudah berjalan enam bulan selama tahun
1997,berkembang semakin buruk dalam tempo cepat. Dampak krisis pun mulai dirasakan
secara nyata oleh masyarakat, dunia usaha.
Dana Moneter Internasional (IMF) mulai turun tangan sejak Oktober 1997, namun terbukti
tidak bisa segera memperbaiki stabilitas ekonomi dan rupiah. Bahkan situasi seperti lepas
kendali, bagai layang-layang yang putus talinya. Krisis ekonomi Indonesia bahkan tercatat
sebagai yang terparah di Asia Tenggara.

Seperti efek bola salju, krisis yang semula hanya berawal dari krisis nilai tukar baht di
Thailand 2 Juli 1997, dalam tahun 1998 dengan cepat berkembang menjadi krisis ekonomi,
berlanjut lagi krisis sosial kemudian ke krisis politik.

Akhirnya, dia juga berkembang menjadi krisis total yang melumpuhkan nyaris seluruh sendi-
sendi kehidupan bangsa. Katakan, sektor apa di negara ini yang tidak goyah. Bahkan kursi
atau tahta mantan Presiden Soeharto pun goyah, dan akhirnya dia tinggalkan. Mungkin
Soeharto, selama sisa hidupnya akan mengutuk devaluasi baht, yang menjadi pemicu semua
itu.

Efek bola salju

Faktor yang mempercepat efek bola salju ini adalah menguapnya dengan cepat kepercayaan
masyarakat, memburuknya kondisi kesehatan Presiden Soeharto memasuki tahun 1998,
ketidakpastian suksesi kepemimpinan, sikap plin-plan pemerintah dalam pengambilan
kebijakan, besarnya utang luar negeri yang segera jatuh tempo, situasi perdagangan
internasional yang kurang menguntungkan, dan bencana alam La Nina yang membawa
kekeringan terburuk dalam 50 tahun terakhir.

Dari total utang luar negeri per Maret 1998 yang mencapai 138 milyar dollar AS, sekitar 72,5
milyar dollar AS adalah utang swasta yang dua pertiganya jangka pendek, di mana sekitar 20
milyar dollar AS akan jatuh tempo dalam tahun 1998. Sementara pada saat itu cadangan
devisa tinggal sekitar 14,44 milyar dollar AS.

Terpuruknya kepercayaan ke titik nol membuat rupiah yang ditutup pada level Rp
4.850/dollar AS pada tahun 1997, meluncur dengan cepat ke level sekitar Rp 17.000/dollar
AS pada 22 Januari 1998, atau terdepresiasi lebih dari 80 persen sejak mata uang tersebut
diambangkan 14 Agustus 1997.

Rupiah yang melayang, selain akibat meningkatnya permintaan dollar untuk membayar
utang, juga sebagai reaksi terhadap angka-angka RAPBN 1998/ 1999 yang diumumkan 6
Januari 1998 dan dinilai tak realistis.

Krisis yang membuka borok-borok kerapuhan fundamental ekonomi ini dengan cepat
merambah ke semua sektor. Anjloknya rupiah secara dramatis, menyebabkan pasar uang dan
pasar modal juga rontok, bank-bank nasional dalam kesulitan besar dan peringkat
internasional bank-bank besar bahkan juga surat utang pemerintah terus merosot ke level di
bawah junk atau menjadi sampah.

Puluhan, bahkan ratusan perusahaan, mulai dari skala kecil hingga konglomerat,
bertumbangan. Sekitar 70 persen lebih perusahaan yang tercatat di pasar modal juga
insolvent atau nota bene bangkrut.

Sektor yang paling terpukul terutama adalah sektor konstruksi, manufaktur, dan perbankan,
sehingga melahirkan gelombang besar pemutusan hubungan kerja (PHK). Pengangguran
melonjak ke level yang belum pernah terjadi sejak akhir 1960-an, yakni sekitar 20 juta orang
atau 20 persen lebih dari angkatan kerja.

Akibat PHK dan naiknya harga-harga dengan cepat ini, jumlah penduduk di bawah garis
kemiskinan juga meningkat mencapai sekitar 50 persen dari total penduduk. Sementara si
kaya sibuk menyerbu toko-toko sembako dalam suasana kepanikan luar biasa, khawatir harga
akan terus melonjak.

Pendapatan per kapita yang mencapai 1.155 dollar/kapita tahun 1996 dan 1.088 dollar/kapita
tahun 1997, menciut menjadi 610 dollar/kapita tahun 1998, dan dua dari tiga penduduk
Indonesia disebut Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam kondisi sangat miskin pada
tahun 1999 jika ekonomi tak segera membaik.

Data Badan Pusat Statistik juga menunjukkan, perekonomian yang masih mencatat
pertumbuhan positif 3,4 persen pada kuartal ketiga 1997 dan nol persen kuartal terakhir 1997,
terus menciut tajam menjadi kontraksi sebesar 7,9 persen pada kuartal I 1998, 16,5 persen
kuartal II 1998, dan 17,9 persen kuartal III 1998. Demikian pula laju inflasi hingga Agustus
1998 sudah 54,54 persen, dengan angka inflasi Februari mencapai 12,67 persen.

Di pasar modal, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta (BEJ) anjlok ke
titik terendah, 292,12 poin, pada 15 September 1998, dari 467,339 pada awal krisis 1 Juli
1997. Sementara kapitalisasi pasar menciut drastis dari Rp 226 trilyun menjadi Rp 196 trilyun
pada awal Juli 1998.

Di pasar uang, dinaikkannya suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) menjadi 70,8 persen
dan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) menjadi 60 persen pada Juli 1998 (dari masing-
masing 10,87 persen dan 14,75 persen pada awal krisis), menyebabkan kesulitan bank
semakin memuncak. Perbankan mengalami negative spread dan tak mampu menjalankan
fungsinya sebagai pemasok dana ke sektor riil.

Di sisi lain, sektor ekspor yang diharapkan bisa menjadi penyelamat di tengah krisis, ternyata
sama terpuruknya dan tak mampu memanfaatkan momentum depresiasi rupiah, akibat beban
utang, ketergantungan besar pada komponen impor, kesulitan trade financing, dan persaingan
ketat di pasar global.

Selama periode Januari-Juni 1998, ekspor migas anjlok sekitar 34,1 persen dibandingkan
periode sama 1997, sementara ekspor nonmigas hanya tumbuh 5,36 persen.

Anomali

Krisis kepercayaan ini menciptakan kondisi anomali dan membuat instrumen moneter tak
mampu bekerja untuk menstabilkan rupiah dan perekonomian. Sementara di sisi lain, sektor
fiskal yang diharapkan bisa menjadi penggerak ekonomi, juga dalam tekanan akibat surutnya
penerimaan.

Situasi yang terus memburuk dengan cepat membuat pemerintah seperti kehilangan arah dan
orientasi dalam menangani krisis. Di tengah posisi goyahnya, Soeharto sempat
menyampaikan konsep “IMF Plus”, yakni IMF plus CBS (Currency Board System) di depan
MPR, sebelum akhirnya ide tersebut ditinggalkan sama sekali tanggal 20 Maret, karena
memperoleh keberatan di sana-sini bahkan sempat memunculkan ketegangan dengan IMF,
dan IMF sempat menangguhkan bantuannya.

Ditinggalkannya rencana CBS dan janji pemerintah untuk kembali ke program IMF,
membuat dukungan IMF dan internasional mengalir lagi. Pada 4 April 1998, Letter of Intent
ketiga ditandatangani. Akan tetapi kelimbungan Soeharto, telah sempat menghilangkan
berbagai momentum atau kesempatan untuk mencegah krisis yang berkelanjutan.

Bahkan memicu adrenali masyarakat, yang sebelumnya terbilang tenang menjadi beringas.
Kemarahan rakyat atas ketidakberdayaan pemerintah mengendalikan krisis di tengah harga-
harga yang terus melonjak dan gelombang PHK, segera berubah menjadi aksi protes,
kerusuhan dan bentrokan berdarah di Ibu Kota dan berbagai wilayah lain, yang menuntun ke
tumbangnya Soeharto pada 21 Mei 1998.

Tragedi berdarah ini memicu pelarian modal dalam skala yang disebut-sebut mencapai 20
milyar dollar AS, gelombang hengkang para pengusaha keturunan, rusaknya jaringan
distribusi nasional, terputusnya pembiayaan luar negeri, dan ditangguhkannya banyak
rencana investasi asing di Indonesia.

Munculnya pemerintahan baru yang tidak memiliki legitimasi, dan lebih sibuk dengan
manuvernya untuk merebut hati rakyat, tidak banyak menolong keadaan. Pemburukan
kondisi ekonomi, sosial, dan politik dengan cepat ini setidaknya terus berlangsung hingga
kuartal kedua, bahkan kuartal ketiga 1998. Begitulah, kita telah menyaksikan episode
terburuk perekonomian sepanjang tahun 1998.*

Era Bank-bank Bangkrut

Industri  perbankan selama tahun 1998 begitu hiruk-pikuk. Antrean panjang nasabah
menyambut industri perbankan awal tahun 1998. Mereka benar-benar telah menempatkan
kepercayaan pada bank di bawah telapak kaki. Tindakan likuidasi tanpa memperhitungkan
kepanikan nasabah, menjadi awal dari semua prahara perbankan itu.

Untung ada jaminan atas simpanan nasabah, yang dikeluarkan pemerintah awal tahun 1998
juga. Kesulitan perbankan di satu sisi bisa tertolong karena tidak lagi harus dicecer nasabah
panik. Namun demikian, jaminan itu tak kunjung bisa mengakhiri krisis perbankan yang
sudah berkembang menjadi kronis.

Selain warisan dari penyakit masa lalu, ada beberapa karakter yang membantai industri
perbankan selama tahun 1998. Pertama adalah warisan dari kepanikan nasabah yang
mengakibatkan sumber pendanaan kosong melompong. Bank Indonesia memang
menyuntikkan likuiditas berupa BLBI. Akan tetapi pengenaan suku bunga BLBI, telah pula
menjadikan pemilik menghadapi beban yang terus bertambah.

Ada lagi faktor lain yang mewarnai, yakni suku bunga kredit yang lebih tinggi ketimbang
suku bunga simpanan nasabah. Akibatnya terjadi negative spread. Beban bankir semakin
bertambah saja. Bisa dikatakan, bank-bank kita sudah tinggal gedung-gedung saja tanpa isi.

Resesi ekonomi telah mencampakkan semua kredit yang disalurkan menjadi sampah.
Idealnya, pemilik bank sendiri harus menyuntikkan modal untuk memberi roh pada
perbankan. Akan tetapi itu tidak dapat dilakukan. Pemilik bank juga bangkrut, karena kredit
yang disalurkan ke kelompok sendiri, terjerat kredit macet.

Tambahan pula, sebagian kredit itu telah menguap dan sebagian besar menjadi simpanan
pemilik bank yang ada di sistem perbankan internasional. Kekhawatiran akan bisnis yang
tidak nyaman di Indonesia, telah membuat mereka lari tunggang langgang.

Akibatnya, BI harus menanggung semua beban yang ada di perbankan. Secara de facto,
pemilik saham mayoritas perbankan nasional adalah pemerintah melalui Bank Indonesia.
Bahkan sebagian besar saham-saham bank swasta telah dicengkeram oleh Badan Penyehatan
Perbankan Nasional (BPPN).

Akan tetapi pengambilalihan Bank Indonesia atas saham-saham perbankan nasional, juga tak
menyelesaikan masalah. Idealnya, sebagaimana di berbagai negara, pemerintah menjadi
penolong mayoritas kesulitan perbankan.

Namun pemerintah pun kini bagai tunggang langgang, tiba-tiba dihadapkan pada beban
dashyat akibat borok-borok industri perbankan. Borok-borok itu, sangat jelas terlihat pada
peringkat perbankan yang mayoritas berkategori B (modal sudah menjadi negatif 25 persen
terhadap aset) dan C (modal sudah negatif di bawah 25 persen) terhadap aset.

Pemerintah memang merencanakan rekapitalisasi dengan penerbitan obligasi. Diperkirakan


akan ada Rp 257 trilyun untuk menyuntikkan modal perbankan. Akan tetapi angka itu
dianggap terlalu moderat, jauh dari memadai. Kredit bermasalah bank sendiri pun mencapai
kurang lebih Rp 300 trilyun. Meski demikian, angka Rp 257 trilyun itu juga bukan hal mudah
untuk dipenuhi.

rencana rekapitalisasi, ada sejumlah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk


menyehatkan perbankan. Ironisnya, kebijakan yang dikeluarkan pun-untuk menyehatkan
perbankan-seperti anak-anak bermain tali. Tarik ulur hampir selalu mewarnai kebijakan
pemerintah atas perbankan.

Kebijakan di bidang keuangan dan perbankan seringkali direvisi. Ambil contoh, pola
pengembalian dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang berubah-ubah.
Sebelumnya pemerintah menentukan batas waktu pengembalian BLBI selama lima tahun,
kemudian diubah lagi menjadi satu tahun.

Sampai akhirnya setelah melalui bebagai perdebatan, pemerintah menetapkan batas waktu
empat tahun bagi pemilik lama saham mayoritas bank beku operasi (BBO) dan bank take
over (BTO) untuk menyelesaikan kewajibannya. Bagaimana pun, kebijakan pemerintah yang
plintat-plintut bisa membingungkan pelaku pasar dan mengurangi kepercayaan masyarakat
pada dunia perbankan.

Maka itu, jangan heran jika masyarakat terus bingung. Sebenarnya kebingungan dan
kepanikan dalam masyarakat secara tidak langsung diciptakan sendiri oleh pemerintah
melalui kebijakan yang tidak utuh. Setelah kebijakan pengembalian BLBI sudah agak terang
dan jelas, sekarang muncul program rekapitalisasi (penambahan modal) perbankan yang
merupakan bagian dari kebijakan restrukturisasi perbankan nasional.
Kebijakan yang hendak dilaksanakan itu pun, belum memperjelas arah kebijakan pemerintah
yang hendak ditempuh dalam dunia perbankan. Dengan rekapitalisasi perbankan pemerintah
berobsesi menciptakan perbankan yang sehat dan kuat serta mampu bertarung di pasar global.

Di tengah kebingungan itu, kita bertanya. Bagaimana menyehatkan perbankan. Hingga kini
semua itu masih menjadi tanya besar? Maka itu, tahun 1999, industri perbankan belum bisa
diharapkan beroperasi seperti sediakala. Mereka belum cukup mampu mengucurkan kredit.

Kalaupun ada yang bisa beroperasi normal, itu hanyalah bank-bank asing atau campuran, atau
bank-bank swasta yang selama ini cukup berhati-hati menyalurkan dananya. Akan tetapi
jumlah bank yang bisa bertindak seperti hanya dalam bilangan jari tangan.

Lalu bagaimana prospektif perbankan nasional? Hingga saat ini tak ada yang bisa
memberikan jawaban tuntas. Berbagai kalangan, domestik maupun dunia internasional di
berbagai seminar, juga sangat kebingungan melihat endemik penyakit perbankan. Tahun
1999, akan masih terus dilanjutkan dengan sejumlah pertanyaan bagaimana menyelesaikan
perbankan.

Namun yang jelas, likuidasi adalah suatu yang tak terhindarkan. Itu merupakan bagian dari
reformasi perbankan, yang bisa dikatakan, juga masih merupakan langkah sumir. Maka itu,
mengamati industri perbankan sepanjang tahun 1999 adalah sesuatu yang mereka nantikan.

Sebenarnya ada hal paling urgen yang kelihatannya tak punya korelasi, tetapi untuk
menyehatkan industri perbankan, hal itu mutlak diperlukan. Sebagaimana diketahui, dalam
dunia yang sudah terintegrasi ini, peran aliran modal sudah menjadi penyangga
perekonomian, dan sekaligus juga perbankan satu negara.

Aliran modal itu, termasuk yang dalam kategori investasi portofolio-berbentuk saham
obligasi atau produk di pasar uang lainnya. Aliran modal lainnya, adalah yang juga disebut
sebagai foreign direct investment (aliran investasi asing langsung).

Untuk kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia, hal itu sudah terjadi. Namun keunikan
Indonesia, tidak bisa segera membalikkan arus modal keluar menjadi arus modal masuk.
Korea Selatan dan Thailand, adalah negara yang paling jitu dan lihai, serta menyadari
pentingnya kembali arus modal masuk itu.

Untuk Indonesia, meski dipandang menarik, tetapi kerusuhan berdarah telah membuat
investor ngeri untuk masuk ke Indonesia. Jangankan untuk berbinis, untuk berkunjung pun
mereka sudah enggan. Karena itu, ketenangan politik, adalah hal mutlak yang harus
didengarkan otoritas.

Pemulihan Ekonomi Tergantung Penyelesaian Agenda Politik

Pelaksanaan agenda politik secara aman, lancar, tertib dan sesuai dengan aspirasi sebagian
besar rakyat merupakan keharusan, apabila diinginkan ekonomi akan segera pulih.
Sebaliknya, bila kerusuhan sosial terus meningkat dan pemilu tidak dapat dilaksanakan, maka
pemulihan ekonomi sulit diharapkan dalam waktu cepat.
Laksamana Sukardi menilai, kondisi perekonomian di tahun 1999 berada dalam situasi yang
kritis. Artinya perekonomian nasional berada di persimpangan jalan antara kemungkinan
terjadi recovery dan kehancuran. Peluangnya separuh-separuh.

Investor bersikap menunggu, apakah pemilu akan berjalan jujur dan adil, serta demokratis.
Kedua hal itu menjadi syarat pembentukan pemerintahan yang bisa dipercaya rakyat. Apabila
demikian, maka dengan cepat ekonomi Indonesia akan pulih, karena investor pasti akan
datang kembali ke Indonesia.

Oleh karena itu, keinginan seluruh rakyat Indonesia yang menghendaki agar pemilu
berlangsung jujur, adil, transparan, serta demokratis harus benar-benar dilaksanakan dan
tidak bisa ditawar-tawar lagi. Menurut dia, masuknya aliran modal asing sebagai jalan terbaik
dalam pemulihan ekonomi hanya bisa terjadi kalau ada pemerintahan yang bersih, didukung
rakyat, adanya kepastian hukum dan sistem peradilan yang independen.

Suksesnya pemilu dan Sidang Umum di tahun 1999 tidak serta merta terjadi begitu saja.
Mulai saat ini harus dipersiapkan. Namun bayangan kegagalan masih berkecamuk, mengingat
intensitas kekerasan dan kejadian perampokan dan penjarahan yang membuat masyarakat
merasa tidak aman masih sering terjadi.

Selain masalah politik, pembenahan sektor ekonomi terutama moneter juga sangat penting,
apabila kita mengharapkan pemulihan ekonomi. Dua persoalan mendasar yang harus
diselesaikan, yaitu restrukturisasi perbankan dan utang luar negeri.

Pertama, restrukturisasi perbankan harus berhasil. Rencana rekapitalisasi kemungkinan besar


tidak akan berhasil. Oleh karena itu, pemerintah harus berani melakukan penutupan bank-
bank yang memang tidak solvent, dengan demikian hanya tinggal sedikit bank yang kuat dan
profesional.

Sebelum mengatasi perbankan swasta, bank-bank BUMN harus juga selesai. Apabila
persoalan bank ini tidak diselesaikan, maka tidak akan ada kegiatan ekonomi, karena tidak
ada kodal kerja dan perdagangan.

Kedua, masalah utang luar negeri pemerintah dan swasta. Seberapa jauh masalah utang LN
ini bisa diselesaikan. Sebab, mengakhiri krisis perbankan kepercayaan dunia internasional
terhadap pemerintah tergantung dari penyelesaian utang tersebut. Bila default, maka
kredibilitas turun dan investor enggan masuk ke Indonesia.

Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, Haryadi B Sukamdani mengatakan,


sebagai pengusaha pihaknya memang harus optimis. Tetapi kalau melihat di lapangan
terutama perkembangan politik yang ada, maka yang ada hanya rasa waswas dan gamang.
Sebab pemilu masih jauh, tetapi intensitas kekerasan sudah cukup tinggi, apalagi nanti kalau
mendekati kampanye dan pemilu.

Oleh karena itu sikap para pengusaha di tahun 1999 ini sudah pasti akan menunggu. Investasi
tidak akan ada. Yang terjadi, para pengusaha hanya meningkatkan volume dan penjualan dari
yang sudah ada. Pengusaha tidak mungkin mengandalkan pasar domestik, tetapi luar negeri.
Kalau penyelesaian politiknya baik, masyarakat mendukung pemerintahan yang baru, maka
ekonomi akan cepat sekali kembalinya. Yang dikhawatirkan ialah kalau terjadi gejolak sosial
akibat kegagalan pemilu yang tidak menampung aspirasi rakyat.

Dengan pertimbangan-pertimbangan seperti itu, dunia usaha melihat kondisi perekonomian


nasional di tahun 1999 ibarat seseorang yang sedang mengendarai mobil di tengah “kabut
tebal”. Kabut tebal (situasi sosial politik-Red) menyebabkan pengendara (baca: pengusaha)
tidak bisa memandang jauh ke depan. Atas dasar pertimbangan keselamatan, maka
pengendara itu tidak punya pilihan lain kecuali menghentikan perjalanannya dan menunggu
sampai kabut itu berlalu.*

Rupiah dan Saham, Meliuk-liuk Bagai Ular

Rupiah  pun tak mau ketinggalan telah menorehkan tinta merah dalam sejarah perekonomian.
Bursa saham pun demikian halnya, bergejolak dan jika digambar terlihat seperti ular yang
meliuk-liuk. Masih ingat ketika kurs rupiah hampir menembus Rp 17.000 per dollar AS pada
17 Juni 1998?

Begitu Soeharto menyatakan diri mundur sebagai Presiden ke-2 RI tanggal 21 Mei 1998-yang
diinginkan pasar dan diperkirakan bisa meredakan gelombang-tak juga menolong rupiah.
Rupiah masih sekitar Rp 11.000 per dollar AS. Kecenderungan pelemahan rupiah pasar, terus
menjadi-jadi sejak aksi penembakan mahasiswa Trisakti tanggal 12 Mei dan aksi penjarahan
14 Mei di Jakarta.

Hal itu diikuti gelombang kerusuhan dan aksi politik yang sepertinya tidak habis-habisnya
setelah mundurnya Soeharto. Pukulan bertubi-tubi atas rupiah mencapai gongnya, setelah
mata uang yen Jepang mengalami depresiasi tajam 12 Juni 1998. Kurs rupiah selanjutnya
terjun bebas mencapai Rp 17.000, tingkat paling rendah selama sejarahnya.

Kondisi ekonomi yang mengalami kontraksi hingga minus 13 persen, inflasi yang tinggi,
suku bunga bank yang melambung memberikan dampak buruk bagi perusahaan-perusahaan
termasuk yang sudah terdaftar di bursa. mengakhiri krisis perbankan Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta (BEJ) bulan September lalu akhirnya mencapai titik
terendah 254 poin.

Menjelang tutup tahun 1998, indeks saham sedikit menapak naik melampaui tingkat 400
poin. Tingkat suku bunga yang mulai menurun akibat inflasi yang mulai terkendali dan aksi
spekulasi pada valuta asing yang mulai mereda ikut membantu. Hal serupa juga dialami
rupiah yang cenderung membaik sejak September lalu dan kini terus bertengger pada level
Rp 7.000 sampai Rp 8.000.

perjalanan kurs rupiah dan indeks saham selama tahun 1998 ibarat naik turun gunung dengan
lembah dan ngarai yang terjal. “Batas rupiah adalah langit,” ujar pengamat ekonomi Hartojo
Wignjowijoto ketika kurs rupiah terus melemah mendekati Rp 17.000 bulan Juni lalu.

Pasar memang tidak bisa kompromi dengan perkembangan politik. Kondisi negatif ini
semakin diperparah dengan perkembangan global seperti jatuhnya kurs yen.

Kurs rupiah setahun yang lalu masih bergerak antara Rp 4.000 – Rp 5.000 per dollar AS.
Tidak terlalu “buruk” apabila dikaitkan dengan keadaan saat ini yang bergerak antara Rp
7.000 – Rp 8.000. Akan tetapi kondisi ekonomi dalam negeri ternyata tidak bisa lagi
diharapkan untuk mendukung rupiah agar tetap stabil sejak Bank Indonesia (BI) melepaskan
rentang intervensi 14 Agustus 1997 dan menutup 16 bank swasta bulan November.

Manuver-manuver politik semakin memperburuk kepercayaan pasar atas perekonomian


Indonesia. Kehadiran calon wakil presiden BJ Habibie pada waktu itu, membuat pasar
berkeyakinan bahwa Indonesia masih akan tetap dengan ekonomi biaya tinggi. Sikap
pemerintah yang juga tarik ulur dalam mencapai kesepakatan program bantuan dengan Dana
Moneter Internasional (IMF) semakin mempersulit keadaan.

Hal serupa juga terlihat pada harga-harga saham di BEJ. Setelah sempat melambung
melampaui 700 poin pada bulan Juni 1997, indeks saham terus terjun bebas hampir
mendekati 300 poin pada bulan Desember dan Januari 1998. Beruntung, penandatanganan
letter of intent pemerintah dengan IMF tanggal 15 Januari membuat pasar valas dan saham
bereaksi positif pada membaiknya perekonomian.

Kurs rupiah segera kembali menguat hingga di bawah Rp 10.000. Bahkan sempat berada di
bawah Rp 8.000 per dollar AS pada bulan Februari. Intervensi BI di pasar valas ikut
membantu. Revisi atas RAPBN 1998/ 1999, suatu tindakan revisi pertama yang dilakukan
pemerintahan selama ini, juga menunjukkan sikap serius pemerintahan menghadapi krisis.

Di bursa saham, harga-harga saham juga kembali melonjak. Indeks terus naik melampaui 500
poin pada Februari 1998. Menurut pengamat pasar modal Jasso Winarto saat itu, para
investor asing mulai mengincar saham-saham unggulan Indonesia yang ketika itu sudah
sangat murah. Kesepakatan dengan IMF juga memberikan sentimen positif krisis ekonomi
Indonesia akan segera membaik.

Letter of credit (L/C) dari Indonesia tidak lagi diterima semua pihak di luar negeri. Lebih
kalut lagi, pihak peminjam di luar negeri mendesak para penerima pinjaman di dalam negeri
agar segera membayar utangnya. Waktu itu, diperkirakan sekitar 9,8 milyar dollar AS utang
jangka pendek pihak swasta Indonesia yang jatuh tempo. Akibatnya, tekanan terhadap rupiah
semakin bertubi-tubi.

Pasar valas maupun bursa saham seperti telah patah arang terhadap pemerintah RI. Seperti
telah diungkapkan di atas, sejak itu kurs rupiah terus anjlok hingga mendekati Rp 17.000 (di
Singapura sudah mencapai Rp 17.000). Indeks harga saham juga mulai menunjukkan
tendensi merosot menembus angka 400 poin dengan beberapa kali naik sedikit sekadar
koreksi kecil.

Sejak Juni dan Juli 1998, rupiah yang mencapai kurs paling rendah, secara perlahan mulai
membaik. Tekanan terhadap rupiah mulai melemah, setelah sejumlah perundingan bagi
penyelesaian utang luar negeri pihak swasta dicapai kesepakatan di Frankfurt, Jerman. IMF
juga mulai mengucurkan dana bantuannya. Sejumlah negara sahabat juga mulai
memperlihatkan sikap mendukung program ekonomi Indonesia.

Sayangnya, langkah pemulihan ini belum terlihat di bursa saham. Harga-harga saham terus
berjatuhan. Tidak jarang, harga saham di BEJ sudah senilai harga permen. Harga rokok
ataupun air mineral jauh di atas harga per lembar saham. Indeks saham pun terus turun
hingga bulan September mencapai titik terendah 254 poin.
Pertanyaannya, apakah kurs rupiah dan indeks saham ini masih akan stabil pada tingkat ini
saat memasuki tahun 1999? Penghujung tahun 1998, rupiah dan bursa agak pulih. Akan tetapi
sebagaimana dikemukakan, persoalan yang dihadapi seseorang atau sebuah negara, harus
mulai diselesaikan dari diri sendiri.

Itu berarti, pemerintah sejak sekarang harus bisa menyelesaikan semua persoalan ekonomi
dan politik yang di dalam negeri. Transparan, tegas, jelas, dan cepat diperlukan. Jangan
sampai malah menimbulkan kebingungan dan ketidakjelasan.

BAB III

Penutup

1. Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah dijabarkan di atas bisa disimpulkan bahwa kondis awal krisis
ekonomi di Indonesia sama sekali tidak terprediksi . pemulihan krisis ekonomi di Indonesia
bisa di lakukan apabila Pelaksanaan agenda politik secara aman, lancar, tertib dan sesuai
dengan aspirasi sebagian besar rakyat merupakan keharusan, apabila semua itu terwujud
ekonomi akan segera pulih. Sebaliknya, bila kerusuhan sosial terus meningkat dan pemilu
tidak dapat dilaksanakan, maka pemulihan ekonomi sulit diharapkan dalam waktu cepat.
Oleh karena itu, keinginan seluruh rakyat Indonesia yang menghendaki agar pemilu
berlangsung jujur, adil, transparan, serta demokratis harus benar-benar dilaksanakan dan
tidak bisa ditawar-tawar lagi.

2. Saran
1. Seharusnya krisi ekonomi di Indonesia dapat di prediksi dari jauh-jauh hari

2. Pemerintah seharusnya bersikap hati-hati dalam setiap menetapkan moneter dan


mengetahui          penyebab terjadinya krisis ekenomi.

3.Sebaiknya pemerintah bersikap cermat dan bertindak cepat dalam mencari solusi untuk
menanggulangin krisi ekonomi yang di landa negara Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

http://www.seasite.niu.edu/indonesian/Reformasi/Krisis_ekonomi.htm

http://putracenter.net/2009/02/10/4-penyebab-krisis-ekonomi-indonesia-tahun-1997-1998-
apakah-akan-terulang-pada-krisis-ekonomi-sekarang/

Boediono, DR. 1983. Ekonomi Internasional. Jogjakarta. BPFE UGM

Anda mungkin juga menyukai