Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN EPIDEMIOLOGI LEPTOSPIROSIS

Praktikum Investigasi Wabah

Disusun Oleh:
Ririn Desriani (1700029097)
Jihan Srikandia Purnama (1700029164)
Riska Yuli Mulyani (1700029202)
Wulandari Purwati Ningsih (1700029224)
Nurmalasari (1700029289)
Dian Rahma Saputri (1903329020)
Azizah Sakinul Iman (1400029125)

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
YOGYAKARTA
2020
Laporan Penyelidikan Epidemiologi KLB Leptospirosis

A. Pendahuluan

Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh


bakteri Leptospira sp. Leptospirosis banyak dijumpai di negara tropis dan
negara berkembang, termasuk Indonesia. Timbulnya atau meningkatnya
kejadian kesakitan dan/ atau kematian yang bermakna secara epidemiologi
pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu dan merupakan keadaan
yang dapat menjurus pada terjadinya wabah disebut sebagai kejadian
luar biasa (KLB).
Sehubungan dengan informasi yang diterima oleh tim cepat
tanggap (TGC) Dinas Kesehatan Daerah Provinsi DIY pada bulan
Februari, Maret, April dan September tahun 2020 telah terjadi KLB yang
ditandai dengan adanya peningkatan jumlah kasus di kabupaten Bantul,
Sleman, Kulonprogo dan Gunungkidul .
Informasi tersebut segera dikonfirmasi oleh TGC Dinkes daerah
Provinsi DIY kepada TGC kabupaten Bantul, Sleman, Kulonprogo dan
Gunungkidul melalui telepon dan ternyata benar telah terjadi peningkatan
kasus leptospirosis di wilayah tersebut. Setelah melakukan koordinasi dan
konfirmasi, Kepala Seksi Surveilans dan Imunisasi Dinkes Provinsi DIY
memutuskan untuk melakukan penyelidikan epidemiologi ke lokasi KLB
leptospirosis di kabupaten Bantul, Sleman, Kulonprogo dan Gunungkidul.

B. Latar Belakang

Leptospirosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri


dan bersifat zoonosis. Penyakit ini memiliki beberapa sinonim yaitu :
weil’s disease, mud fever, trench fever, swineherd’s disease, rice-field
fever, cane cutter’s fever, peapickers’ fever, swamp fever, spirochaetal
jaundice, japanese autumnal fever, japanese seven-day fever, canicola
fever dan flood fever. Penyakit ini digolongkan sebagai water-borne
disease karena penularannya melalui kontak luka dikulit atau selaput
mukosa dengan air kencing atau air yang tercemar leptospira. (Irianto,
2014)
Leptospirosis dapat ditemukan di seluruh dunia, dengan kasus
terbanyak pada daerah beriklim tropis dan sub-tropis dengan curah hujan
tinggi. Menurut WHO (2003) kasus leptospirosis pada 100.000 penduduk
dalam satu tahun di negara beriklim sub-tropis adalah 0,1 – 1, sedangkan
di negara beriklim tropis adalah lebih dari 10. Sementara itu, ketika sedang
terjadi wabah, kasus di daerah beriklim tropis dapat meningkat hingga
lebih dari 100 orang.
Di Indonesia, leptospirosis tersebar hampir diseluruh wilayah
Indonesia, selain karena faktor iklim keberadaan tikus sebagai reservoir
utama, dan hewan peliharaan seperti kucing dan anjing yang dapat menjadi
carrier bakteri ini menjadi salah satu alasan tingginya kasus
leptospirosis.Setidaknya, terdapat 6 provinsi yang masih melaporkan kasus
leptospirosis antara lain Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Timur. (Kemenkes, 2016)

C. Tujuan Penyelidikan Epidemiologi


1. Mengetahui gambaran epidemiologi KLB leptospirosis di kota Y
2. Mengetahui sumber dan cara penularan leptospirosis
3. Mengidentifikasi faktor risiko penyebab KLB leptospirosis
4. melakukan respon cepat terhadap KLB leptospirosis dan populasi
yang berisiko di kota Y
5. Merumuskan rekomendasi pengendalian KLB leptospirosis

D. Metode Penyelidikan Epidemiologi

Cara yang digunakan untuk melakukan Penyelidikan Epidemiologi


Leptospirosis adalah sebagai berikut :
1. Investigasi di lapangan, dilakukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi
dan Kabupaten
2. Wawancara dengan keluarga terdekat penderita, dokter dan
perawat yang menangani
3. Observasi dan pemantauan pada daerah kasus
4. Hasil laboratorium

E. Kegiatan Penyelidikan Epidemiologi

Kegiatan penyelidikan epidemiologi di Provinsi Kabupaten Daerah


Istimewa Yogyakarta pada tahun 2020 telah dilakukan sebanyak 4 kali
pada bulan Februari, Maret, April, dan September 2020. Kegiatan
penyelidikan epidemiologi Leptospirosis dilakukan oleh Dinas Kesehatan
Daerah Istimewa Yogyakarta bekerjasama dengan Dinas Kesehatan
Kabupaten Bantul, Sleman, Kulonprogo dan Gunungkidul serta petugas
surveilans di Puskesmas Bantul, Sleman, Kulonprogo dan Gunungkidul.

Pelaksanaan kegiatan penyelidikan epidemiologi di Daerah


Istimewa Yogyakarta pada tahun 2020, sebagai berikut:

1. Pada bulan Februari 2020 telah dilakukan kegiatan penyelidikan


epidemiologi di Kabupaten Bantul dilakukan oleh Dinas Kesehatan
Bantul bekerjasama dengan tim surveilans Puskesmas.

2. Pada bulan Maret 2020 telah dilakukan kegiatan penyelidikan


epidemiologi di Kabupaten Sleman dilakukan oleh Dinas Kesehatan
Sleman bekerjasama dengan tim surveilans Puskesmas.

3. Pada bulan April 2020 telah dilakukan kegiatan penyelidikan


epidemiologi di Kabupaten Kulonprogo dilakukan oleh Dinas
Kesehatan Kulonprogo bekerjasama dengan tim surveilans Puskesmas.
4. Pada bulan September 2020 telah dilakukan kegiatan penyelidikan
epidemiologi di Kabupaten Gunungkidul dilakukan oleh Dinas
Kesehatan Gunungkidul bekerjasama dengan tim surveilans
Puskesmas.

Setelah dilakukan kegiatan penyelidikan epidemiologi di lapangan


kemudian dilakukan pengolahan data dan analisis data dari informasi yang
sudah didapatkan saat wawancara.

F. Hasil Penyelidikan Epidemiologi


1. Penyelidikan Epidemiologi dilakukan Tim Surveilans Provinsi
bersama TGC Dinkes Kab. A, C dan D pada bulan Februari 2020.
2. Jumlah kasus Leptospirosis sampai dengan bulan November 2020
adalah 59 orang.
3. Distribusi Kasus Leptospirosis menurut Waktu Tempat Orang
a. Distribusi Kasus Leptospirosis berdasarkan Waktu
Distribusi Kasus Leptospirosis di Provinsi X menurut waktu dapat
dilihat pada grafik berikut:

Interpretasi: Berdasarkan Grafik 1. Pola Maksimum-Minimun


kasus Leptospirosis di Provinsi X Tahun 2020, KLB terjadi di
bulan Februari, Maret, April dan September.
b. Distribusi Kasus Leptospirosis berdasarkan Tempat
Distribusi Kasus Leptospirosis di Provinsi X menurut waktu dapat
dilihat pada grafik berikut:

Interpretasi : Dari Grafik 2. Distribusi kasus KLB Leptospirosis


Berdasarkan Tempat di Provinsi X Tahun 2020, kasus terbanyak
terdapat di Kabupaten D dengan total 35 kasus.

c. Distribusi Kasus Leptospirosis berdasarkan Orang


Distribusi Kasus Leptospirosis di Provinsi X menurut waktu dapat
dilihat pada grafik berikut:
Interpretasi: Berdasarkan Grafik 3. Distribusi Kasus Leptospirosis
Berdasarkan Jenis kelamin di Provinsi X Tahun 2020, didapat
kasus Leptospirosis banyak terjadi pada Jenis Kelamin Laki-laki
yaitu 66%

G. Analisis Data dan Kesimpulan


1. Analisis Data
Berdasarkan penyelidikan epidemiologi KLB Leptospirosis di
Provinsi X dapat diperoleh data tentang faktor risiko kemungkinan
penyebab KLB Leptospirosis adalah:
a. Surveilans Leptospirosis di Kabupaten D belum berjalan
secara optimal. Baik surveilans yang berbasis Rumah Sakit
maupun Komunitas.
b. Sistem Kewaspadaan Dini yang belum dilaksanakan secara
maksimal.
c. Kualitas penyuluhan tentang pencegahan dan pengendalian
penyakit Leptospirosis belum tercapai.
2. Kesimpulan
a. Telah terjadi KLB suspect Leptospirosis di Provinsi X pada
tahun 2020, dengan dilaporkannya 50 kasus suspect
Leptospirosis.
b. Hasil test PCR pada 50 penderita, 14 dinyatakan positif.
H. Upaya
1. Advokasi dan Sosialisasi
Upaya penanggulangan yang dapat dilakukan adalah melakukan
advokasi kepada pemegang kebijakan atau yang mengambil keputusan
di daerah tersebut. Pertemuan advokasi bertujuan untuk antara
pemerintah daerah, kepala dinas kesehatan, dan kepala sektor lain
yang terlibat mempunyai persepsi yang sama dan dukungan komitmen
perlunya pengendalian Leptospirosis. Setelah itu kemudian
diadakannya sosialisasi dengan pengambil kebijakan khususnya yang
terkait dengan perencanaan dan penganggaran, ormas, LSM,
organisasi profesi untuk memahami situasi dan masalah leptospirosis
dan bersedia menjalin kerjasama dan berperan serta dalam
pengendalian leptospirosis.
2. Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) dan Respon KLB
Upaya penanggulangan kedua adalah melakukan surveillance
yang dilakukan secara sistematis dan terus menerus terhadap masalah
kesehatan dan kondisi atau kasus yang mengalami peningkatan.
Surveillance membantu menemukan tindakan penanggulangan yang
efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan,
analisis, penyebaran informasi kepada penyelenggara program.
Melalui surveillance leptospirosis dapat diketahui kecenderungan
penyakit berdasarkan waktu, tempat, dan orang; angka morbiditas dan
fasilitas yang dimiliki; deteksi dini dan dapat memprediksi KLB
leptospirosis; memantau program pengendalian; sebagai informasi
untuk perencanaan pengendalian leptospirosis; serta penyusunan
kebijakan.
Surveillance ini dapat dilakukan dengan berbasis rumah sakit
dan komunitas. Surveilans berbasis rumah sakit melibatkan rumah
sakit sebagai sumber utama data, seperti kasus leptospirosis yang
masuk dan dirawat harus dilaporkan secara berkala kepada seksi
surveilans dinas kesehatan. Sedangkan surveillance berbasis
komunitas dilakukan melalui pengumpulan data rutin yang bersumber
dari seluruh puskesmas dan unit pelayanan kesehatan. Pengumpulan
data komunitas ini dilakukan secara berkesinambungan dalam periode
mingguan, jika ditemukan kasus meningkat maka dinas kesehatan
bersama dengan puskesmas melakukan surveilans aktif.
Data yang diperoleh kemudian diolah sehingga dapat diketahui
jumlah kasus suspek, probable/konfirmasi, jumlah kasus yang dirawat
di rumah sakit, jumlah kematian, jumlah kasus berdasarkan tipe
leptospirosis, jumlah kasus berdasarkan penyebab lokasinya. Analisis
dan interpretasi data dilakukan sehingga dapat ditemukan informasi
distribusi kasus menurut waktu, tempat, orang, dan menurut gejala
serta tanda yang muncul.
3. Diagnosis dan Tata Laksana Leptospirosis
Upaya penanggulangan selanjutnya adalah penetapan diagnosis,
ada tiga kriteria yang ditetapkan dalam mendefinisikan kasus
leptospirosis yaitu suspek, probable, dan konfirmasi. Penetapan
diagnosis dapat dilakukan tindakan, untuk daerah endemis pengobatan
dengan antibiotika yang sesuai dilakukan sejak kasus suspek
ditegaskan secara klinis. Pengobatan dengan antibiotika yang sesuai
dilakukan sejak kasus suspek ditegakkan secara klinis. Sedangkan
untuk daerah yang bukan endemis dan KLB pengobatan dilakukan
setelah dinyatakan kasus probable ditegakkan. Apabila menderita
leptospirosis berat maka harus dirawat/dirujuk di rumah sakit.
Sehingga rumah sakit perlu mempersiapkan tenaga dan logistik yang
cukup.
4. Pengendalian Faktor Risiko
Upaya yang perlu dilakukan adalah dengan pengendalian faktor
risiko yang terdiri dari 2 cara yaitu, pencegahan primer dan
pencegahan sekunder. Pencegahan primer adalah perlindungan
terhadap orang sehat agar terhindar dari leptospirosis, sehingga
kegiatannya bersifat promotif dan proteksi spesifik dengan cara
vaksin. Sedangkan pencegahan sekunder yang sarannya adalah orang
yang sudah sakit leptospirosis, dicegah agar orang tersebut terhindar
dari komplikasi yang nantinya akan menyebabkan kematian.
Upaya pengendalian yang dapat dilakukan dengan pengendalian
dari sumber infeksi seperti pengendalian tikus. Pengendalian tikus
dengan perbaikan sanitasi, secara mekanik, maupun secara kimiawi.
Pengendalian dengan melakukan perbaikan sanitasi lingkungan seperti
mencegah tikus masuk ke dalam rumah (rat proofing), menjaga
kebersihan dan kerapian rumah, menutup lubang tempat pipa
pembuangan air, memberi penghalang pada talang air, mengurangi
cabang-cabang pohon yang berhubungan dengan rumah,
menggunakan kotak sampah yang tinggi dan tertutup.
Upaya pengendalian tikus secara mekanik dilakukan dengan
perangkap tikus, pentungan. Upaya pengendalian kimiawi dapat
berupa umpan beracun atau rodentisida, fumigasi, repellent, dan
pemandul. Upaya lain yang dapat dilakukan adalah pengendalian
hewan reservoir, hewan ternak dengan memberikan vaksin pada
hewan domestik, meminimalkan hewan ternak kontak dengan hewan
lain, menghindari pembuangan kotoran hewan di sungai/genangan air,
pemberian desinfeksi penampungan air dan badan air alami, dan
pengendalian penyakit pada manusia dengan antibiotik.
5. Promosi Kesehatan/KIE
Usaha promotif untuk pengendalian leptospirosis dilakukan
dengan cara edukasi yang melibatkan profesi kesehatan, dokter
hewan, dan kelompok lembaga sosial masyarakat yang terlibat.
Penanganan spesimen harus dipersiapkan di lapangan sehingga
spesimen sampai di laboratorium pemeriksaan serologi dan biologi
molekuler dalam keadaan baik. KIE dilakukan dalam upaya
meningkatkan kemampuan individu, keluarga kelompok dan
masyarakat dalam pengendalian Leptospirosis melalui pembelajaran
dari kelompok masyarakat dan masyarakat dalam pengendalian
Leptospirosis melalui pembelajaran diri, oleh untuk dan bersama
masyarakat agar dapat menolong dirinya serta mengembangkan
kegiatan sumber daya masyarakat, sesuai sosial budaya masyarakat
dan didukung oleh kebijakan publik yang berwawasan kesehatan
setempat. Untuk penanggulangan Leptospirosis strategi promosi
kesehatan yang harus dilakukan meliputi: strategi advokasi, strategi
bina suasana dan strategi pemberdayaan.
Upaya pengendalian dengan bina suasana dengan menciptakan
opini atau lingkungan sosial yang mendorong individu anggota
masyarakat untuk melakukan penanggulangan Leptospirosis.
Sehingga tercipta lingkungan yang mendukung pengendalian
leptospirosis. Selain itu juga upaya pengendalian leptospirosis
dilakukan dengan memberdayakan masyarakat, sehingga adanya
peningkatan kemampuan dan kemandirian masyarakat agar dapat
mengembangkan diri dan memperkuat sumber daya yang dimiliki.
Adapun media dalam promosi kesehatan dapat melalui media cetak
seperti poster, leaflet, stiker, koran; media elektronik seperti radio,
televisi, film, video; media tradisional seperti kesenian daerah.
Melalui promosi kesehatan ini bertujuan untuk tumbuhnya kepedulian
masyarakat dalam pengendalian Leptospirosis; Meningkatnya peran
aktif masyarakat dalam penanggulangan Leptospirosis.
6. Persiapan Diagnostik Laboratorium Mikrobiologi
Upaya ini dilakukan dengan tujuan mengetahui etiologi
penyebab leptospirosis. Dalam upaya ini maka perlu diperhatikan
dalam persiapan ketersediaan alat dan bahan dalam pengambilan
spesimen. Alat dan bahan seperti alat pelindung diri (APD) lengkap
terdapat sarung tangan, masker, baju pelindung, sepatu tertutup, rak
tabung vakum, piset, gunting, dan lain sebagainya. Upaya diagnostik
laboratorium mikrobiologi ini untuk mengambil spesimen manusia
(serum darah dan urin manusia); spesimen tikus: serum darah dan
jaringan (hati, ginjal, paru, kandung kemih, jantung, dan limfa);
lingkungan: air dan tanah/lumpur.

I. Dampak
1. Dampak Sosial

Dampak sosial mencakup kematian, risiko kesehatan, menurunnya


perekonomian, terganggunya kegiatan masyarakat. penyakit leptospirosis
adalah penyakit yang mudah menyebar sehingga ketika terdapat satu kasus,
namun tidak ditangani dengan segera maka akan banyak yang menderita
penyakit tersebut karena tidak terdeteksi dari awal. Hal ini menyebabkan
adanya kematian akibat leptospirosis, sehingga adanya risiko kesehatan di
wilayah tersebut.

2. Dampak Ekonomi

Dampak ekonomi mencakup kehilangan materi, beberapa jenis


pekerjaan yang sangat berdampak ketika adanya KLB Leptospirosis adalah
petani, peternak, pekerja di pemotongan hewan, pembersih saluran
pembuangan atau selokan. Seperti para peternak hewan tidak bisa menjual
ataupun makan ternaknya jika ternak terinfeksi bakteri Leptospira. Para
petani jika mengalami penyakit leptospirosis tidak bisa bekerja secara
maksimal di sawah dan harus menjalani pengobatan

3. Dampak Lingkungan

Dampak lingkungan mencakup pencemaran air seperti di sekitar


sungai atau danau yang rusak akibat adanya bakteri Leptospira. Jika air telah
tercemar maka tidak bisa digunakan lagi. Dampak lingkungan lain yang
ditimbulkan dari leptospira adalah pencemaran tanah di wilayah tersebut
mengandung Leptospira. Ketika tanah mengandung leptospira maka
masyarakat harus berhati-hati dan selalu menggunakan alas kaki agar tidak
terinfeksi penyakit leptospirosis

J. Kesimpulan dan Saran


1. Kesimpulan
a. Telah terjadi KLB suspect Leptospirosis di Provinsi X pada
tahun 2020, dengan dilaporkannya 50 kasus suspect
Leptospirosis.
b. Hasil test PCR pada 50 penderita, 14 dinyatakan positif.
2. Saran
a. Tingkat Puskesmas
1) Pengaturan penyelenggaraan surveillance ke
wilayah kerja puskesmas
2) Menerapkan pelaksanaan petunjuk teknis
surveillance leptospirosis nasional di lapangan
dalam bentuk sosialisasi
3) Monitoring dan evaluasi berkala hasil sosialisasi di
masyarakat
4) Melakukan pemeriksaan konfirmasi di laboratorium
rujukan nasional (Labkesda/yang ditunjuk)
5) Menjalin kerjasama lintas sektor dan lintas program
6) Melakukan penyuluhan tentang waspada
leptospirosis bagi petugas dan masyarakat
b. Tingkat Kabupaten/Kota
1) Melakukan pembinaan dan asistensi teknis ke
puskesmas
2) Monitoring dan evaluasi berkala hasil sosialisasi di
puskesmas
3) Melakukan pelatihan untuk tenaga di puskesmas
4) Melakukan pemeriksaan konfirmasi MAT di
laboratorium rujukan nasional
c. Tingkat Provinsi
1) Pembinaan dan asistensi teknis ke kabupaten/kota
2) Monitoring dan evaluasi berkala hasil sosialisasi di
kabupaten
3) Melakukan penelitian dan pengembangan
4) Melakukan pelatihan untuk tenaga di kabupaten
5) Melakukan pemeriksaan konfirmasi di laboratorium
rujukan nasional
d. Kabupaten/Kota membuat surat edaran atau intrusksi
kesiapsiagaan di setiap tingkatan
e. Meningkatkan koordinasi lintas sektor
f. Meningkatkan kewaspadaan dini (SKD) di wilayah
puskesmas terutama daerah KLB Leptospirosis
g. Mempersiapkan tenaga dan logistik yang cukup di
puskesmas dan pengaktifan Tim Gerak Cepat (TGC) terdiri
dari lintas sektor dan program
h. Pembentukan Posko KLB Leptospirosis sebagai koordinasi
pencegahan leptospirosis, melakukan pencatatan penderita,
melakukan pengaturan distribusi logistik, dan melakukan
penyuluhan dan sosialisasi.
i. Pengendalian faktor risiko secara rutin melalui sumber
infeksi, alur transmisi antara sumber infeksi dan manusia,
serta infeksi pada manusia.
j. Pengendalian faktor risiko dilakukan pada sumber infeksi:
1) Melakukan pengendalian tikus dengan
a) Perbaikan sanitasi lingkungan seperti di
rumah menggunakan rat proofing,
menggunakan wadah anti tikus untuk
menyimpan makanan, menggunakan bak
sampah bertutup;
b) Mekanik seperti menggunakan jumlah
perangkap yang digunakan untuk
mengendalikan tikus di dalam rumah
minimal 2 perangkap, menggunakan umpan
kelapa bakar, ikan asin, dan lain sebagainya;
c) Kimiawi menggunakan umpan beracun,
fumigasi, repellent, redeontisida
2) Pengendalian hewan reservoir, hewan ternak seperti
pemberian vaksinasi pada hewan domestik; pemilik
ternak meminimalkan potensi hewan mereka dengan
kontak dengan binatang liar; hidarkan hewan ternak
untukbuang air kecil di dekat kolam/genangan air;
jauhkan binatang dari kabun, taman bermain, dan
tempat lain anak dapat bermain
k. Pengendalian faktor risiko pemutusan alur penularan antara
sumber infeksi dan manusia:
1) Melakukan pemberian desinfeksi penampungan air
dan badan air alami
2) Melakukan pengolahan tanah yang terkontaminasi
bakteri leptospira
l. Pengendalian faktor risiko jika infeksi pada manusia
1) Pengendalian infeksi/penyakit pada manusia dengan
antibiotik
2) Promosi kesehatan
m. Memutus mata rantai penularan, yaitu
1) Identifikasi dan melakukan kontrol pada sumber
infeksi
2) Pengawasan hewan reservoir seperti hewan pengerat
dan hewan lain yang berisiko seperti hewan ternak
3) Desinfeksi permukaan tanah yang terkontaminasi
dengan cairan disinfektan
4) Menandai area yang berisiko tinggi terkontaminasi
dengan tanda larangan masuk
n. Melakukan promosi kesehatan dengan penyuluhan kepada
masyarakat agar selalu meningkat kesadaran terhadap
pecegahan penyakit dan penularan leptospirosis, serta
melapor bila terjadi keluhan penyakit leptospirosis kepada
petugas kesehatan
o. Memperbaiki kualitas lingkungan sebagai penyebab
penularan leptospirosis
p. Kegiatan promosi kesehatan tentang PHBS terutama pada
populasi rentan/berisiko
K. Rekomendasi
1. Petugas surveilans perlu memperbaharui, menganalisis dan
membuat grafik kasus secara berkala
2. Melakukan penyelidikan epidemiologi sesegera mungkin setelah
ditemukan kasus positif
3. Melakukan evaluasi setiap bulan untuk melihat keberhasilan
program pencegahan dan penanggulangan leptospirosis
4. Menjadikan kegiatan surveilans sebagai tupoksi prioritas bagi
pengelola surveilans yang dituangkan dalam SKP (Sasaran Kinerja
Pegawai) dan dibuat di awal tahun anggaran baik di tingkat
puskesmas maupun dinas kesehatan kabupaten/kota;
5. Meningkatkan sensitifitas pengelola surveilans untuk secara aktif
melaporkan penyakit menular potensial KLB seperti Leptospirosis
melalui sosialisasi penyakit menular potensial KLB dan Asistensi
teknis secara berkala (triwulan/semester) oleh dinas Kesehatan
kabupaten/kota dan provinsi
6. Bagian promosi kesehatan agar mengemas secara riil dan
sederhana materi penyuluhan tentang pencegahan Leptospirosis
DAFTAR PUSTAKA

Fauziah, T.H. Handayani, Oktia, W.K. 2019. Program Pengendalian Leptospirosis


di Kota Semarang. Higeia, Vol.3, No.4. melalui journal.unnes.ac.id.

Irianto, K. 2014. Epidemiologi Penyakit Menular dan Tidak Menular. Bandung :


Alfabeta

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Petunjuk Teknis Pengendalian


Leptospirosis. Jakarta: Kemenkes

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Profil Kesehatan Indonesia


2015. Jakarta: Kemenkes

Mursyafah, L.O.M. 2018. Studi Identifikasi Keberadaan Bakteri Leptospira, sp


pada Tikus di Daerah Rawan Banjir Wilayah Kerja Puskesmas Tempe Kabupaten
Wajo. Makassar: Universitas Hasanuddin.

Ramestuti, Nova. Djati, Anggun, P.D. Kesuma, A.P. 2015. Faktor Risiko
Kejadian Luar Biasa (KLB) Leptospirosis Paska Banjir di Kabupaten Pati Tahun
2014. Vektora, Vo.7, No.1. melalui media.neliti.com

WHO. 2003. Human Leptospirosis : Guidance for diagnosis, surveillance and


control melalu who.int
Lembar Kerja Penyelidikan Epidemiologi

A. Lembar Kerja 1

1.1 Analisis SDM

Kategori Profesi Peran


Spesialis / ahli Ahli epidemiologi 1. Melakukan

surveilans aktif dalam

rangka pengamatan

terhadap perkembangan

jumlah kasus dan

kematian akibat

leptopirosis berdasarkan

tempat/lokasi.

2. Pemantauan

kemungkinan perubahan

faktor risiko lingkungan

yang dapat menyebabkan

terjadinya perubahan

habitat rodent. Misal

( banjir, kebakaran,

kondisi daerah rawa,

tempat penampungan

pengungsi, dll).

3. Pemantauan terhadap

distribusi dan populasi

rodent beserta perubahan

habitat.
4. Pemantauan ketat

terhadap kelompok

berisiko seperti petani,

pekerja perkebunan,

petugas kebersihan

(selokan), pekerja rumah

potong hewan, dan

anggota militer.

5. Melaksanakan

surveilans kewaspadaan.

Ahli klinik / dokter 1. Memberikan

pengobatan sedini

mungkin pada setiap

kasus suspek

leptospirosis.

2. Melakukan

pemeriksaan klinik dan

laboratorium sesuai

petunjuk teknis dan

justifikasi dari dokter.

3. Memberikan edukasi
terkait penyakit

leptospirosis kepada

pasien.

Ahli patologi (klinik) 1. Malakukan

diagnosisi penyakit pada

pasien.

2. Melakukan

pemeriksaan sampel

pasien melalui uji

laboratorium

(RDT/PCR).

3. Menetapkan

diagnosa penyakit pasien

berdasarkan hasil uji

laboratorium.

Ahli entomologi 1. Melakukan

pengamatan kepadatan

rodent di lokasi KLB/

lokasi dilaksanakannya

PE Leptospirosis.
2. Melakukan

pengematan terhadap

faktor risiko yang

berhubungan dengan

kepadatan rodent serta

upaya pengendaliannya.

3. Melakukan

penyelidikan dan

pemberantasan vektor

penyakit (rodent) untuk

mencegah & mengurangi

risiko penularan

penyakit.

Ahli sanitasi 1. Melakukan

pengamatan, analisis dan

pengendalian faktor

lingkungan yang

berpengaruh terhadap

kejadian leptospirosis.

2. Memberikan

penyuluhan /KIE terkait


STBM (sanitasi total

berbasis masyarakat)

serta kebersihan

lingkungan terhadap

sarang hewan

penular( tikus)

Ahli kesehatan 1. Melakukan

masyarakat/ promotor penyuluhan terkait PHBS

kesehatan (perilaku hidup bersih

dan sehat) kepada warga

di daerah endemis.

2. Melakukan

edukasi/KIE terkait

penyakit leptospirosis

dan upaya pencegahan

yang dapat dilakukan.

3. Melakukan advokasi

kepada stakeholder dan

lintas sektor dalam

rangka pencegahan dan

pengendalian penyakit
leptospirosis.

Pembantu Perawat 1. Membantu dokter

dalam memberikan

perawatan terhadap

pasien suspek maupun

konfirmasi.

2. Memberikan edukasi

terkait penyakit

leptospirosis kepada

pasien.

Analis kesehatan 1. Melakukan

pemeriksaan/uji

laboratorium terhadap

specimen pasien.

2. Membantu klinisi

dalam penggunaan data

hasil uji laboratorium

(interpretasi hasil uji lab)

Driver 1. Mengantar pasien


suspek dan konfirmasi ke

fasyankes/ RS rujukan.

2. Mengantar

specimen/sampel pasien

untuk pemeriksaan di

laboratorium.

3. Membantu dalam

distribusi kebutuhan

logistik dalam kondisi

KLB.

Petugas kebersihan 1. Melakukan

pembersihan di sekitar

lingkungan penduduk

khususnya di wilayah

endemis.

2. Melakukan sterilisasi

ruangan.

3. Mengontrol

kebersihan lingkungan

sekitar.
1.2 Alat dan bahan

Berikut ini adalah alat dan bahan yang dibutuhkan dalam penyelidikan
epidemiologi berdasarkan spesimen yang akan untuk diuji.

1. Pengambilan spesimen darah dan serum manusia

a. Alat Pelindung Diri (APD) lengkap; sarung tangan, masker,


google, baju pelindung (hazmat), sepatu tertutup;

b. Spuit ukuran 2,5cc – 10cc;

c. Jarum ukuran 22,5 g – 23,5 g;

d. Wing needle 25,5 g (untuk anak-anak);

e. Botol/tabung steril untuk menampung darah;

f. Karet pembendung/tourniket;

g. Kapas alkohol;

h. Cryotube 1,8cc;

i. Mikropipet 100 - 1000 ml;

j. Sentrifusa;

k. Coolbox;

l. Ice / gelpack;

m. Refrigerator (freezer ≤ -200C dan cooler 4-100C).

2. Pengambilan spesimen urin manusia

a. Botol/tabung steril bertutup ulir;


b. Sabun medis;

c. Kasa;

d. Air bersih;

3. Pengambilan spesimen darah dan salah satu jaringan organ tikus


(ginjal/hati/paru-paru/kandung kemih/jantung/limfa)

a. Alat pelindung diri (APD) lengkap: sarung tangan, masker,


google, baju pelindung, sepatu tertutup;

b. Kantong dari kain belacu;

c. Ember putih dengan tinggi 30 cm;

d. Spuit ukuran 3 cc;

e. Tabung vakum 3 cc;

f. Rak tabung vakum;

g. Tabung reaksi;

h. Mikroplate;

i. Mikropipet 100 - 1000 ml;

j. Gunting;

k. Pinset;

l. Sentrifusa;

m. Coolbox;

n. Ice/gelpack;
o. Refrigerator (freezer ≤ -200C dan cooler 4-100C);

p. Alkohol 70%;

q. Ketamine HCI;

r. Atropin (0,02 - 0,04 mlg/kg);

s. Media Transport Carry Blair;

t. Klorofom.

4. Pengambilan sampel air

a. Botol Sampel Steril dengan volume > 100 ml;


b. Bunsen;
c. Korek Api.
5. Pengambilan sampel tanah/lumpur

a. Cetok/sendok;

b. Botol/plastik sampel yang bebas dari bahan pencemar;

B. Lembar Kerja 2

2.1 Data Fiktif Surveilans


2.2 Penetapan KLB
Telah terjadi KLB di provinsi X tahun 2015-2020

2.3 Grafik maksimum minimum 5 tahunan


2.4 Grafik maksimum minimum3 tahunan

Dilihat dari Grafik 2. dapat diketahui bahwa di Provinsi X selama


tahun 2018 telah terjadi KLB Leptospirosis sebanyak 2 kali yaitu pada
bulan April dan November.

2.5 Penetapan KLB tahun 2017 dibanding 2016


Tidak terjadi KLB
2.6 Penetapan KLB tahun 2018 dibanding 2017
Terjadi KLB Leptospirosis pada bulan April dan November di Provinsi X pada
Tahun 2018 karena jumlah kasus selama bulan tersebut mengalami peningkatan
hingga 2 kali lipat dibanding rata-rata kasus per bulan pada tahun sebelumnya
yaitu tahun 2017

2. 7 Penetapan KLB tahun 2019 dibanding 2018


Telah terjadi KLB Leptospirosis di Provinsi X pada tahun 2019, hal ini dapat
dilihat dari rata-rata kasus per bulan pada tahun 2019 yang mengalami
peningkatan hingga 2 kali lipat dari rata-rata kasus per bulan pada tahun
sebelumnya yaitu tahun 2018.
C. Lembar Kerja 3

3.1 Tabel Gejala Klinis

3.2 Tabel Distribusi Gejala Klinis

No Gejala Jumlah Persentase (%)

1 Batuk 19 38

2 Demam 25 50

3 Sakit Kepala 23 46

4 Nyeri Otot 19 38

5 Nyeri Betis 17 34
6 Ikterus 22 44

7 Ruam Kulit 20 40

8 PCR 15 30

9 Lain-Lain 0 0

10 Mati 4 8

3.3 Diagnosis Sementara Kasus


Dengan melihat gejala di atas maka diagnosis sementara Leptospirosis
disebabkan karena bakteri Leptospira. Berdasarkan Buku Petunjuk Teknis
Pengendalian Leptospirosis Tahun 2017 dari Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia terdapat tiga kriteria yang ditetapkan dalam
mendefinisikan kasus Leptospirosis yaitu gejala nyeri otot untuk kasus
suspek, nyeri betis, ruam kulit dan ikterus untuk kasus probable dan hasil
PCR positif untuk kasus konfirmasi.
1. Kasus Suspek
Demam akut dengan atau tanpa sakit kepala disertai:
a. Nyeri otot;
b. Lemah (malaise) dengan atau tanpa;
c. Conjungtival suffusion (mata merah tanpa eksudat); dan ada
riwayat terpapar lingkungan yang terkontaminasi dalam 2
minggu sebelumnya.

2. Kasus Probable
- Kasus suspek dengan minimal 2 gejala/tanda klinis dibawah
ini:
a. Nyeri betis;
b. Ikterus;
c. Oliguria/anuria;
d. Manifestasi perdarahan;
e. Sesak nafas;
f. Aritmia jantung;
g. Batuk dengan atau tanpa hemoptisis;
h. Ruam kulit.
- Kasus suspek dengan RDT (untuk mendeteksi lgM anti
Leptospira) positif, atau;
- Kasus suspek dengan 3 dari gambaran laboratorium
dibawah ini;
a. Trombositopenia <100 000 sel/mm;
b. Lekositosis dengan neutropilia> 80%;
c. Kenaikan bilirubin total >2gr% atau amilase atau
CPK;
d. Pemeriksaan urin proteinuria dan/atau hematuria.

3. Kasus Konfirmasi
Kasus suspek atau kasus probable disertai salah satu dari berikut
ini:
a. Isolasi bakteri Leptospira dari spesimen klinik;
b. PCR positif;
c. Sero konversi MAT dari negatif menjadi positif atau
adanya kenaikan titer 4x dari pemeriksaan awal;
d. Titer MAT 320 (400) atau lebih pada pemeriksaan satu
sampel.

3.4 Tingkatan Kasus


Berdasarkan definisi operasional kasus yang telah ditetapkan maka
terdapat 12 kasus suspect, 2 kasus probable dan 14 kasus konfirmasi
dengan hasil PCR positif.
D. Lembar Kerja 4

E. Lembar Kerja 5

Pada lembar kerja ke-5 membahas tentang Saran Penanggulangan


Sementara:
1. Tingkat Puskesmas
a. Pengaturan penyelenggaraan surveillance ke wilayah kerja
puskesmas
b. Menerapkan pelaksanaan petunjuk teknis surveillance
leptospirosis nasional di lapangan dalam bentuk sosialisasi
c. Monitoring dan evaluasi berkala hasil sosialisasi di
masyarakat
d. Melakukan pemeriksaan konfirmasi di laboratorium rujukan
nasional (Labkesda/yang ditunjuk)
e. Menjalin kerjasama lintas sektor dan lintas program
f. Melakukan penyuluhan tentang waspada leptospirosis bagi
petugas dan masyarakat
2. Tingkat Kabupaten/Kota
a. Melakukan pembinaan dan asistensi teknis ke puskesmas
b. Monitoring dan evaluasi berkala hasil sosialisasi di
puskesmas
c. Melakukan pelatihan untuk tenaga di puskesmas
d. Melakukan pemeriksaan konfirmasi MAT di laboratorium
rujukan nasional
3. Tingkat Provinsi
a. Pembinaan dan asistensi teknis ke kabupaten/kota
b. Monitoring dan evaluasi berkala hasil sosialisasi di kabupaten
c. Melakukan penelitian dan pengembangan
d. Melakukan pelatihan untuk tenaga di kabupaten
e. Melakukan pemeriksaan konfirmasi di laboratorium rujukan
nasional
4. Kabupaten/Kota membuat surat edaran atau intrusksi kesiapsiagaan
di setiap tingkatan
5. Meningkatkan koordinasi lintas sektor
6. Meningkatkan kewaspadaan dini (SKD) di wilayah puskesmas
terutama daerah KLB Leptospirosis
7. Mempersiapkan tenaga dan logistik yang cukup di puskesmas dan
pengaktifan Tim Gerak Cepat (TGC) terdiri dari lintas sektor dan
program
8. Pembentukan Posko KLB Leptospirosis sebagai koordinasi
pencegahan leptospirosis, melakukan pencatatan penderita,
melakukan pengaturan distribusi logistik, dan melakukan
penyuluhan dan sosialisasi.
9. Pengendalian faktor risiko secara rutin melalui sumber infeksi, alur
transmisi antara sumber infeksi dan manusia, serta infeksi pada
manusia.
10. Pengendalian faktor risiko dilakukan pada sumber infeksi:
a. Melakukan pengendalian tikus dengan
1) Perbaikan sanitasi lingkungan seperti di rumah
menggunakan rat proofing, menggunakan wadah anti
tikus untuk menyimpan makanan, menggunakan bak
sampah bertutup;
2) Mekanik seperti menggunakan jumlah perangkap yang
digunakan untuk mengendalikan tikus di dalam rumah
minimal 2 perangkap, menggunakan umpan kelapa
bakar, ikan asin, dan lain sebagainya;
3) Kimiawi menggunakan umpan beracun, fumigasi,
repellent, redeontisida
b. Pengendalian hewan reservoir, hewan ternak seperti
pemberian vaksinasi pada hewan domestik; pemilik ternak
meminimalkan potensi hewan mereka dengan kontak dengan
binatang liar; hidarkan hewan ternak untukbuang air kecil di
dekat kolam/genangan air; jauhkan binatang dari kabun,
taman bermain, dan tempat lain anak dapat bermain.
11. Pengendalian faktor risiko pemutusan alur penularan antara sumber
infeksi dan manusia:
a. Melakukan pemberian desinfeksi penampungan air dan badan
air alami
b. Melakukan pengolahan tanah yang terkontaminasi bakteri
leptospira
12. Pengendalian faktor risiko jika infeksi pada manusia:
a. Pengendalian infeksi/penyakit pada manusia dengan
antibiotik
b. Promosi kesehatan
13. Memutus mata rantai penularan, yaitu
a. Identifikasi dan melakukan kontrol pada sumber infeksi
b. Pengawasan hewan reservoir seperti hewan pengerat dan
hewan lain yang berisiko seperti hewan ternak
c. Desinfeksi permukaan tanah yang terkontaminasi dengan
cairan disinfektan
d. Menandai area yang berisiko tinggi terkontaminasi dengan
tanda larangan masuk
14. Melakukan promosi kesehatan dengan penyuluhan kepada
masyarakat agar selalu meningkat kesadaran terhadap pecegahan
penyakit dan penularan leptospirosis, serta melapor bila terjadi
keluhan penyakit leptospirosis kepada petugas kesehatan
15. Memperbaiki kualitas lingkungan sebagai penyebab penularan
leptospirosis
16. Kegiatan promosi kesehatan tentang PHBS terutama pada populasi
rentan/berisiko
F. Lembar Kerja 6

SUMBER DAN CARA PENULARAN LEPTOSPIROSIS

Peran hewan peliharaan sebagai sumber penularan


leptospirosis pada manusia telah diteliti oleh Scott-orr dan Darodjat
pada tahun 1978. Berdasarkan hasil penelitian tersebut ditemukan
paling sedikit 20% dari sapi potong di provinsi jawa tengah dan jawa
timur positif terhadap serovar hardjo. Di Provinsi Jawa Barat, Jawa
Timur, Kalimantan Selatan dan Sumatera Utara ditemukan pada 37%
sapi perah yang positif terhadap serovar Hardjo dan Trassovi. Pada
babi 48,7% dari beberapa provinsi di Jawa dan luar Jawa positif
terhadap beberapa serovar dan terbanyak terhadap serovar pomona
(Supraptono et al., 2011).

Tikus merupakan salah satu hewan dari golongan rodent


yang terdeteksi i antibodi anti-leptospira sebanyak 29,5% pada tahun
2002 dan 48,0% pada tahun 2004. Hal ini menunjukkan bahwa
hewan-hewan tersebut dapat berperan dalam mempertahankan
leptospira di alam dan sebagai sumber penularan leptospirosis di
antara hewan-hewan tersebut dan juga ke manusia. Leptospira di
dalam tubuh tikus dapat bertahan selama hewan tersebut hidup tanpa
menyebabkan sakit. Kemudian leptospira tersebut akan dikeluarkan
melalui urin dan mencemari Iingkungan (Supraptono et al., 2011).

Siklus penularan penyakit leptospirosis dapat terjadi


melalui 2 cara yaitu akibat kontak langsung dan kontak tidak
langsung. Penyakit leptospirosis dapat menginfeksi manusia secara
langsung melalui kulit yang terluka atau membran mukosa
(Supraptono et al., 2011). Hal tersebut dapat terjadi apabila manusia
kontak dengan air, tanah (lumpur), serta tanaman yang telah dikotori
oleh air seni dari hewan-hewan yang terkontaminasi leptospirosis/
mengandung leptospira. Infeksi yang diakibatkan oleh leptospira
umumnya berlangsung melalui luka atau erosi pada kulit maupun
selaput lendir, namun infeksi ini dapat pula terjadi pada kulit utuh
yang terus menerus terpapar dengan genangan air yang
terkontaminasi. Menurut Prastiwi(2012), aktivitas di tempat berair
mempunyai risiko 18 kali lebih tinggi untuk terkena leptospirosis
(Prastiwi, 2012).

Menurut (Supraptono et al., 2011), kontak dengan daging


atau bagian tubuh hewan yang mati dan terkontaminasi leptospira akan
beresiko untuk mengalami leptospirosis sebesar 77,8 kali dibandingkan
yang tidak kontak dengan daging/ bagian tubuh hewan tersebut.
Penelitian lain juga menyebutkan bahwa leptospirosis dapat terjadi
apabila ada kontak antara manusia dengan hewan atau lingkungan yang
sudah terinfeksi bakteri leptospira (Widjajanti, 2020).

1. Penularan Langsung

a. Melalui darah, urin atau cairan tubuh lain yang mengandung kuman
Leptospira masuk kedalam tubuh pejamu.

b. Dari hewan ke manusia merupakan penyakit akibat pekerjaan, terjadi


pada orang yang merawat hewan atau menangani organ tubuh hewan
misalnya pekerjaan potong hewan, atau seseorang yang tertular dari
hewan peliharaannya.

c. Dari manusia ke manusia meskipun jarnag namun dapat terjadi


melalui hubungan seksuual pada masa konvalesen atau dari ibu
penderita Leptospirosis ke janin melalui sawar plasenta dan air susu
ibu.

2. Penularan tidak langsung


Terjadi melalui genangan air, sungai, danau, selokan saluran air
dan lumpur yang tercemar urin hewan (Kemenkes, 2017c) . Pada masa
Inkunasi hari 2-10, bakteri masuk ke tubuh manusia melalui luka
terbuka atau permukaan mukosa, flahel bakteri embantu proses
penetrasi ke jaringan. Masa Septikemik hari 4-7 terjadi Demam, sakit
kepala, nyeri otot, mual secara tiba-tiba, leptospira dapat diisolasi dari
darah, cairan serebro spinal, sebagian besar penderita tidak Nampak
kuning hanya 5-10% sja. Masa interfase hari 1-3 Demam dan gejala
lainnya sembuh sementara, sebelum memasuki masa imun. Fase
imunitas Demam timbul kembali dan melibatkan susunan saraf pusat
(meningitis), antibody Leptospira mulai membersihkan leptospira dan
jaringan kecuali pada ginjal, kemudian Leptospira keluar melalui urin
dalam jangka waktu yang lama (Widjajanti, 2020) .

FAKTOR RISIKO

1. Pekerjaan

Pekerjaan yang memiliki risiko tinggi untuk terkena leptospirosis


adalah pekerjaan yang berkaitan dengan pertanian, peternakan, pekerja
kebun, pekerja tambang/selokan, pekerja rumah potong hewan,
pemburu dan tentara (Widjajanti, 2020). Hal tersebut sejalan dengan
penelitian (Supraptono et al., 2011) yang menyatakan bahwa Penduduk
dengan pekerjaan berisiko akan mengalami sakit leptospirosis 8,8 kali
dibandingkan penduduk yang tidak mempunyai pekerjaan berisiko
(95% CI = 4,85 - 16,09).

2. Lingkungan

Lingkungan yang berlumbur berupa area persawahan menjadi faktor


risiko kejadian leptospirosis. Selain itu, lingkungan sekitar garis pantai,
daerah perkebunan dan peternaka dan daerah rawan banjir juga
memiliki risiko untuk terjadi leptospirosis. (Widjajanti, 2020). Hasil
analisis menunjukkan probabilitas kontak dengan air banjir akan
mengalami sakit leptospirosis 23,0 kali dibandingkan penduduk
dengan tidak kontak banjir (95 % CI = 11,00 - 47,81) (Supraptono et
al., 2011).

3. Aktivitas rekreasi

Aktivitas rekreasi di tempat yang berair dan melakukan perjalanan ke


wilayah endemis juga merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis
(Widjajanti, 2020).

4. Tingkat ekonomi

Penelitian (Supraptono et al., 2011) menyebutkan bahwa Penduduk


dengan pendapatan keluarga kurang dari 1 juta rupiah akan mengalami
sakit leptospirosis 7,6 kali dibandingkan penduduk dengan pendapatan
keluarga di atas 1 juta rupiah (OR 95% CI = 4,20 - 13,78).

5. Pengetahuan

Pengetahuan dan pendidikan akan mempengaruhi daya terima saat


dilakukannya edukasi terkait pencegahan dan penanggulangan
leptospirosis. Penduduk yang tidak mempunyai pengetahuan cara
pencegahan dan penularan akan mengalami sakit leptospirosis 3,2 kali
dibandingkan dengan mengetahuinya (95% CI =1,86 - 5,59)
(Supraptono et al., 2011).

6. Penggunaan APD

Penggunaan APD yang dilakukan secara benar dan disiplin merupakan


suatu kebutuhan tersendiri bagi masyarakat yang rentan. Menurut
(Supraptono et al., 2011)Penduduk yang tidak selalu memakai alat
pelindung diri akan mengalami sakit leptospirosis 38,9 kali
dibandingkan responden yang selalu memakai Alat pelindung diri
(95% CI = 18,32 - 82,50)

7. Hygiene Sanitasi

Penerapan hygiene sanitasi yang baik, sangat berperan sebagai salah


satu upaya pencegahan terhadap berbagai macam penyakit, termasuk
leptospirosis. Menurut (Supraptono et al., 2011), Penduduk yang
mandi dan atau mencuci di sungai akan mengalami sakit leptospirosis
31,6 kali dibandingkan penduduk dengan tidak mandi dan atau
mencuci di sungai (95 % CI = 14,93 - 66,88). Penduduk yang
mengelola sampahnya tidak baik akan meningkatkan kejadian
leptospirosis 2,9 kali dibandingkan dengan yang mengelola sampah
dengan baik (95% CI = 1,69 - 5,10). Dalam penelitian lain
menyebutkan pula bahwa faktor lingkungan fisik yang merupakan
faktor risiko adalah kondisi lingkungan baik di dalam maupun di luar
rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan (Prastiwi, 2012).

8. Faktor lingkungan biologi

Faktor lingkungan biologi seperti keberadaan hewan ternak, hewan


kesayangan dan hewan tikus yang dapat menjadi sumber penularan
leptospirosis (Prastiwi, 2012).

9. Faktor individu

faktor individu yang merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis


adalah kontak dengan air, tanah (lumpur), tanaman yang telah dikotori
oleh air seni penderita leptospirosis, berjalan tanpa alas kaki di luar
rumah (Prastiwi, 2012).

G. Lembar Kerja 7

ANALISIS POPULASI BERISIKO


Berdasarkan hasil analisis populasi berisiko kejadian leptospirosis
yaitu laki-laki yang tinggal di Kabupaten D. Laki-laki berisiko terhadap
kejadian leptospirosis dikarenakan kegiatan atau pekerjaannya yang lebih
sering berkontak langsung dengan tanah dan air, serta kebiasaan dalam
membersihkan diri yang kurang. Kabupaten D memiliki kondisi
lingkungan banyak persawahan, sering banjir yang salah satu penyebabnya
yaitu kondisi selokan yang mampet, sampah yang menumpuk dan
keberadaan tikus pada daerah tersebut.

H. Lembar Kerja 8

SARAN PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN

A. Pencegahan Leptospirosis

Menurut WHO dalam melakukan pencegahan Leptospirosis dapat


dilakukan dalam 3 cara yaitu :

1. Hewan yang merupakan sumber infeksi

Pencegahan yang dilakukan pada hewan yang menjadi sumber


penyakit dapat dilakukan dengan memberikan vaksin kepada hewan
yang berpotensi tertular leptospirosis. Kebersihan kandang hewan
peliharaan juga diperhatikan untuk mencegah terjadinya leptospirosis
pada hewan tersebut.

2. Jalur penularan leptospirosis

Pencegahan pada jalur penularan adalah dengan memutuskan jalur


penularannya, seperti lingkungan yang bisa menjadi tempat
berkembang biak dan hidup bakteri Leptospira. Kegiatan yang dapat
dilakukan dalam memutuskan jalur penularan yaitu dengan menjaga
kebersihan lingkungan sekitar tempat tinggal agar tidak menjadi
tempat berkembangbiakan tikus, termasuk tempat penyimpanan air,
penanganan sampah yang benar sehingga tidak menjadi sarang tikus
(Ramadhani, 2010).

3. Manusia

Pencegahan yang dilakukan pada manusia adalah dengan menjaga


kebersihan individu setelah melakukan aktivitas diluar rumah atau
lokasi yang berrisiko terpapar leptospirosis, pendidikan kesehatan
dalam menggunakan APD dalam melakukan pekerjaan bagi pekerja
yang bekerja dilingkungan yang berrisiko terpapar leptospirosis. Perlu
adanya kesadaran masyarakat akan bahaya penyakit leptospirosis,
terlebih untuk masyarakat yang memiliki risiko tinggi serta
penyediaan pelayanan kesehatan (Pujiyanti, 2014).

Pencegahan Leptospirosis berdasarkan faktor risiko dapat


dilakukan dengan cara:

1. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang cara-cara


penularan Leptospirosis, antara lain tidak berenang atau
menyebrangi sungai yang airnya diduga tercemar oleh
Leptospira serta menggunakan alat pelindung saat bekerja,
bagi pekerja yang memiliki resiko terpapar Leptospira.
2. Memberikan fasilitas guna melindungi para pekerja yang
bekerja pada daerah yang tercemar Leptospira seperti sepatu
boot, sarung tangan, dan apron.
3. Melakukan pencegahan pada tempat penampungan air dan
genangan air di lingkungan rumah dengan pemberian sodium
hipoklorit pada gentong air, sumur, bak mandi, kumbangan air
parit)
4. Memberantas hewan peliharaan yang terinfeksi untuk
mencegah kontaminasi pada lingkungan manusia, tempat kerja,
dan tempat rekreasi oleh urin hewan yang terinfeksi. Menutupi
luka lecet dengan pembalut kedap air.

B. Penanggulangan Leptospirosis

Penanggulangan dalam penyakit Leptospirosis dapat dilakukan dengan:

1. Penyediaan logistik di sarana keseahtan, koordinasi dengan


pemangku kepentingan dan sektor terkait, penemuan dini dan
pelayanan pengobatan di puskesmas atau rumah sakit dengan
pengambilan specimen serum darah pada kasus probable.
2. Melakukan penyelidikan epidemiologi guna untuk penanggulangan
Leptospirosis.
3. Melakukan pemeriksaan RDT untuk membantu dalam
pengambilan diagnosis.
4. Melakukan pengobatan terhadap pasien Leptospirosis dengan
antibiotik.
5. Rujuk pasien Leptospirosis jika memerlukan perawatan lebih
lanjut.
6. Memberikan vaksin atau imuniasasi pada hewan peliharaan yang
diduga terinfeksi Leptospira.
7. Memberantas tikus yang telah terinfeksi bakteri Leptospira.
8. Bekerjasama dengan lintas sektor dalam melakukan
penanggulangan Leptospirosis.

Anda mungkin juga menyukai