Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH PPN & PPnBM

“ SUBJEK PAJAK PPN ”

Oleh :

1. Faisal Hanafi Raswen


2. Faradilla Anugrah Putri
3. Muhammad Furqon
4. Putri Mutiara Syalma
5. Tina Putriani

Dosen Pengampu :
Pipin Kurnia SE.,M.Ak.,Ak.,CA

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS RIAU
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah senantiasa melimpahkan kemudahan-
kemudahan kepada setiap urusan manusia agar kami dapat memenuhi tugas kelompok
ini. Karena itulah kami dari kelompok 1 dapat menyelesaikan makalah ini.

Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah PPN dan
PPnBM. Dalam makalah ini kami akan membahas tentang “Subjek Pajak PPN“.
Dan materi pembahasannya antara lain sebagai berikut : PKP (Pengusaha Kena Pajak),
Hak dan Kewajiban PKP, Pengusaha Kecil, Pengusaha Tertentu, Pencabutan dan
Pengukuhan PKP, dan Daerah Pabean.

Kami dari kelompok 1 mengucapkan terima kasih kepada pihak yang sudah
membaca makalah ini dan kami memohon maaf apabila ada kesalahan dalam kata demi
kata dalam makalah ini baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Karena itulah
kritik dan saran sangat kami harapkan demi perbaikan pembuatan makalah selanjutnya.

Pekanbaru, 30 September 2020

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................. 2


DAFTAR ISI ................................................................................................ 3
BAB 1 : PENDAHULUAN ......................................................................... 4
1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 4
1.3 Tujuan Makalah ...................................................................................... 5
BAB 2 : PEMBAHASAN ............................................................................ 6
2.1 Pengusaha Kena Pajak (PKP) ................................................................. 6
2.2 Hak dan Kewajiban PKP ........................................................................ 6
2.3 Pengusaha Kecil ...................................................................................... 7
2.4 Pengusaha Tertentu ................................................................................. 7
2.5 Pencabutan Pengukuhan PKP ................................................................. 8
2.5.1 Prosedur Pencabutan Pengukuhan PKP Secara Online ................ 9
2.5.2 Prosedur Pencabutan Pengukuhan PKP Secara Manual............. 10
2.5.3 Prosedur Pencabutan Pengukuhan PKP melalui Jabatan............ 10
2.6 Daerah Pabean ...................................................................................... 11
BAB 3 : PENUTUP ................................................................................... 13
3.1 Kesimpulan ........................................................................................... 13
3.2 Saran...................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 14

3
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam subjek pajak pertambahan nilai, ada dua jenis subjek pajak yaitu
Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan Bukan Pengusaha Kena Pajak. Subjek pajak PPn
diatur dalam UU nomor 18 tahun 2000 tentang pajak pertambahan nilai dan pajak
penjualan atas barang mewah pada pasal 3a dan 4. Pada pasal 4 dijelaskan bahwa
pajak pertambahan nilai dikenakan atas 6 golongan yaitu :
1. Pajak yang dikenakan atas penyerahan barang kena pajak di dalam daerah
pabean yang dilakukan pengusaha
2. Pajak yang dikenakan atas impor barang kena pajak
3. Pajak atas penyerahan jasa kena pajak yang dilakukan di dalam daerah pabean
oleh pengusaha
4. Pajak yang dikenakan atas pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari
luar daerah pabean di dalam daerah pabean
5. Pajak atas pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah
pabean
6. Pajak yang dikenakan atas ekspor barang kena pajak oleh PKP

Mengenai tata cara dan kewajiban melaporkan usaha dan memungut, menyetor
dan melaporkan pajak yang terutang atas pajak pertambahan nilai yang dikenakan
diatur lagi dalam pasal 3a. Pasal tersebut menerangkan bahwa bagi pengusaha yang
melakukan penyerahan barang atau jasa di daerah pabean dan pengusaha kena pajak
yang melakukan ekspor barang kena pajak wajib melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak dan wajib memungut, menyetor dan
melapor pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah yang
terutang.

Kemudian bagi orang pribadi atau badan yang memanfaatkan BKP tidak
berwujud dari luar daerah pabean dan atau memanfaatkan jasa kena pajak dari luar
daerah pabean wajib memungut, menyetor, dan melapor pajak pertambahan nilai
yang terutang yang perhitungannya diatur dalam PMK. Bagi pengusaha kecil yang
memilih untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak wajib memungut,
menyetor, melapor pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah
yang terutang. Secara garis besar subjek pajak PPN dapat dibedakan menjadi dua
yaitu Pengusaha Kena pajak dan Pengusaha Kecil.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan PKP?
2. Apa saja hak dan kewajiban PKP?
3. Apa yang dimaksud dengan Pengusaha Kecil dan Pengusaha Tertentu?
4. Bagaimana Pencabutan pengukuhan PKP?

4
5. Apa yang dimaksud dengan daerah Pabean?

1.3 Tujuan
1. Dapat mengetahui dan memahami apa yang disebut PKP
2. Dapat mengetahui apa saja yang menjadi hak dan kewajiban PKP
3. Dapat mengetahui apa pengertian dari Pengusaha Kecil dan Pengusaha Tertentu
4. Dapat memahami cara pencabutan pengukuhan PKP
5. Dapat mengetahui dan memahami apa itu daerah Pabean

5
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Pengusaha Kena Pajak (PKP)
Pengusaha kena pajak adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan barang kena
pajak atau jasa kena pajak yang dikenai pajak berdasarkan UU Nomor 42 tahun 2009.

Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) meliputi :
a. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
pengusaha.
b. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
pengusaha
c. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP)

2.2 Hak dan Kewajiban PKP


Terdapat hak dan kewajiban yang wajib dipenuhi oleh PKP.
- Hak PKP atas PPN:
a. PKP dapat melakukan pengkreditan pajak masukan/pembelian atas barang
kena pajak atau jasa kena pajak.
b. PKP juga meminta restitusi jika pajak masukan lebih besar dari pajak
keluaran/penjualan dan berhak pula atas kompensasi kelebihan pajak.

- Kewajiban PKP melakukan hal-hal sebagai berikut:


a. PKP wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP jika sudah
memiliki omzet mencapai Rp4,8 miliar dalam satu tahun buku.
b. PKP wajib memungut PPN dan PPnBM terutang.
c. PKP juga wajib menyetorkan PPN yang masih harus dibayar dalam hal pajak
keluaran lebih besar dari pajak masukan yang bisa dikreditkan. Selain itu,
PKP juga wajib menyetorkan PPnBM terutang.
d. PKP wajib melaporkan penghitungan pajak ke dalam SPT Masa PPN.
e. PKP juga wajib menerbitkan faktur pajak atas setiap penyerahan BKP/JKP

- Keuntungan menjadi PKP


1. Bila wajib pajak menjadi PKP, maka pengusaha akan dianggap telah memiliki
sistem yang legal secara hukum karena tertib membayar pajak.
2. Menjadi PKP berarti pengusaha atau wajib pajak memiliki perusahaan yang
cukup besar dan lebih dipercaya. Hal tersebut sangat berpengaruh saat ingin
menjalin kerja sama dengan perusahaan lain yang juga tergolong besar.
3. Pengusaha yang sudah dikukuhkan sebagai PKP juga dapat melakukan
transaksi jual-beli dengan bendaharawan pemerintah.

6
Jika wajib pajak sudah dikukuhkan sebagai PKP, maka tugas penting yang
harus dilakukan adalah disiplin dalam melaporkan faktur pajaknya. Hal
tersebut karena pemerintah cukup tegas dalam membuat peraturan terkait
pelaporan PPN.

2.3 Pengusaha Kecil


Menurut Peraturan Menteri Keuangan No. 197/PMK.03/2013, pengusaha
kecil adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak (BKP/JKP) dengan jumlah peredaran bruto/penerimaan bruto tidak lebih
dari Rp 4.800.000.000. Jumlah penerimaan bruto yang dimaksud adalah jumlah
keseluruhan penyerahan BKP/JKP yang dilakukan pengusaha saat melakukan
kegiatan usahanya.

Sebagai subjek PPN, sejatinya pengusaha Kecil tidak termasuk dalam kategori PKP,
namun jika pengusaha kecil mengajukan permohonan untuk dikukuhkan sebagai
PKP, maka setelah dikukuhkan, pengusaha kecil menjadi PKP sepenuhnya, dan
wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPnBM yang terutang.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 197/PMK.03/2013 ditetapkan


batasan pengusaha untuk dapat dikategorikan sebagai pengusaha kecil, sebagai
berikut:
a. Pengusaha kecil merupakan pengusaha yang selama 1 tahun buku melakukan
penyerahan BKP/JKP dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan
bruto tidak lebih dari Rp 4,8 miliar.
b. Jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto adalah jumlah keseluruhan
penyerahan BKP/JKP yang dilakukan oleh pengusaha dalam rangka kegiatan
usahanya.
c. Pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP,
apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku jumlah peredaran bruto
dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp 4,8 miliar.
d. Kewajiban melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP dilakukan paling
lama akhir bulan berikutnya setelah bulan saat jumlah peredaran bruto dan/atau
penerimaan brutonya melebihi Rp 4,8 miliar.
e. Pengusaha kecil yang telah dikukuhkan sebagai PKP dan secara otomatis
menjadi subjek PPN yang terikat peraturan, wajib memungut, meyetor, dan
melaporkan PPN atau PPnBM yang terutang atas penyerahan BKP yang
dilakukannya.

2.4 Pengusaha Tertentu


Dalam pasal 1 angka 14 UU PPN, Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam
bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang,
mengimpor barang, mengekspor barang melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan

7
barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk
mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.

Pengertian orang pribadi dirasa cukup jelas, sedangkan pengertian badan dalam
pasal 1 angka 13 UU PPN adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan
kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang
meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik
negara atau badan usaha daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya
termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

Dengan demikian, Pengusaha Kena Pajak bisa terdiri dari Orang Pribadi atau Badan.
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau
Badan Usaha Milik Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya
termasuk kontrak investasi kolektif dan Bentuk Usaha Tetap.

Joint Operation

Pasal 2 ayat 2 PP 143/2000 secara tersirat menetapkan bahwa bentuk usaha Joint
Operation setelah 1 Januari 1995, perlakuan terhadap konsorsium, joint operation, dan
joint venture ditegaskan dalam Surat Edaran nomor S-349/PJ.321/1990 dan nomor S-
263/PJ.42/1991 yang intinya bahwa pengusaha dengan bentuk usaha semacam itu
termasuk PKP.

Kutipannya :
a. Apabila dalam transaksi dengan pihak lain, secara nyata dilakukan atas nama
JO, maka JO harus dikukuhkan sebagai PKP. Untuk itu JO harus mendaftarkan
diri sebagai PKP.
b. Apabila seluruh transaksi dengan pihak lain tersebut secara nyata dilakukan
masing ± masing anggota JO, maka yang dikukuhkan sebagai PKP hanyalah
anggota JO tersebut saja.
c. Dalam hal JO menunjuk leader, maka apabila atas jasa yang diberikan oleh
leader kepada anggota diterima pembayaran, maka atas pembayaran itu terutang
PPN.
d. Penyerahan JKP dari anggota JO atau konsorsium dalam kedudukannya sebagai
subkontraktor kepada konsorsium, merupakan penyerahan kena pajak.

2.5 Pencabutan Pengukuhan PKP


Pencabutan pengukuhan PKP merupakan langkah yang diambil manakala status
Pengusaha Kena Pajak (PKP) dirasa tak mampu lagi dipenuhi oleh PKP. Langkah

8
pencabutan pengukuhan PKP ini dilakukan atas permohonan PKP atau dilakukan oleh
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) langsung, yang merasa bahwa PKP yang bersangkutan
tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai PKP.

Secara rinci, DJP akan melakukan proses pencabutan pengukuhan PKP terhadap PKP
yang termasuk dalam kriteria berikut:
1. PKP dengan status wajib pajak non efektif.
2. PKP yang tidak diketahui keberadaan dan/atau kegiatan usahanya.
3. PKP menyalahgunakan status PKP nya.
4. PKP pindah alamat ke wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak (KPP) lain.
5. PKP sudah tidak memenuhi persyaratan sebagai PKP.
6. PKP telah dipusatkan tempat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di tempat
lain.
7. PKP yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pencabutan pengukuhan PKP ini dapat dilakukan dengan dua cara, yakni atas
permohonan PKP sendiri dan dilakukan oleh DJP secara langsung, dengan
mempertimbangkan sejumlah hal. Pencabutan pengukuhan PKP oleh DJP ini sering
juga disebut pencabutan pengukuhan PKP secara jabatan.

Untuk prosedur pencabutan pengukuhan PKP atas permohonan PKP, bisa dilakukan
dengan dua cara, mengajukan pencabutan pengukuhan PKP secara online dan manual.

2.5.1 Prosedur Pencabutan Pengukuhan PKP Secara Online


Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, PKP bisa mengajukan pencabutan
pengukuhan PKP secara online, jika PKP tersebut merasa bahwa kondisinya tak lagi
memungkinkan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagai PKP.

Untuk mengajukan pencabutan pengukuhan PKP secara online, wajib pajak hanya perlu
mengakses laman resmi DJP dan mengisi formulir pencabutan pengukuhan PKP yang
ada pada e-Registration. Permohonan pencabutan pengukuhan PKP yang telah
disampaikan lewat e-Registration ini oleh DJP dianggap telah ditandatangani secara
elektronik dan oleh karena itu memiliki kekuatan hukum.

Tak hanya mengisi formulir, wajib pajak juga harus mengirimkan dokumen yang
disyaratkan kepada KPP tempat wajib pajak tersebut dikukuhkan sebagai PKP.
Dokumen yang disyaratkan tersebut harus diunggah melalui aplikasi e-Registration atau
mengirimkan dengan menggunakan surat pengiriman dokumen yang telah
ditandatangani. Dokumen yang disyaratkan yang dimaksud adalah, dokumen-dokumen
yang menyatakan bahwa wajib pajak tak lagi mampu memenuhi persyaratan sebagai

9
PKP. Setelah menerima dokumen yang disyaratkan dan memeriksanya, KPP akan
menerbitkan bukti penerimaan surat secara elektronik.

Dokumen yang disyaratkan untuk pencabutan pengukuhan PKP tersebut harus


disampaikan dalam jangka waktu maksimal 14 hari. Apabila dalam jangka waktu
tersebut dokumen tak juga diterima oleh KPP, maka permohonan pencabutan
pengukuhan PKP dianggap tidak pernah diajukan.

2.5.2 Prosedur Pencabutan Pengukuhan PKP Secara Manual


Jika wajib pajak, dalam hal ini PKP, memilih untuk mengajukan permohonan
pencabutan pengukuhan PKP secara manual, maka yang harus dilakukan adalah
mengisi formulir pencabutan pengukuhan PKP, menandatangani dan menyampaikan
kepada KPP beserta dokumen-dokumen yang disyaratkan.

Permohonan pencabutan pengukuhan PKP tersebut disampaikan ke KPP tempat wajib


pajak dikukuhkan sebagai PKP dengan cara langsung menyampaikan ke KPP atau
Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP), melalui pengiriman
pos atau mengirimkan melalui jasa kurir. Jika surat permohonan disampaikan melalui
KP2KP, maka KP2KP nantinya akan meneruskan ke KPP. Atas permohonan
pencabutan pengukuhan PKP yang disampaikan oleh wajib pajak, beserta dokumen-
dokumen yang setelah diperiksa dinyatakan lengkap, KPP kemudian akan memberikan
bukti penerimaan surat.

Atas pengajuan permohonan pencabutan pengukuhan PKP, baik secara online maupun
manual, KPP akan menerbitkan surat pencabutan pengukuhan PKP dalam jangka waktu
6 bulan setelah permohonan masuk. Jika sudah melewati waktu 6 bulan tersebut dan
KPP tak juga menerbitkan surat pencabutan pengukuhan PKP, maka permohonan
dianggap dikabulkan dan KPP harus menerbitkan surat pencabutan pengukuhan PKP
dalam jangka waktu paling lama 1 bulan.

2.5.3 Prosedur Pencabutan Pengukuhan PKP Secara Jabatan


Yang dimaksud dengan pencabutan pengukuhan PKP secara jabatan adalah,
pencabutan pengukuhan PKP yang dilakukan oleh DJP tanpa adanya permohonan dari
PKP. Pencabutan pengukuhan PKP secara jabatan ini dilakukan DJP dengan terlebih
dahulu melakukan verifikasi.

Proses verifikasi terkait pencabutan pengukuhan PKP dilakukan pada wajib pajak PKP
yang berada dalam kondisi berikut:

1. PKP orang pribadi meninggal dunia.


2. PKP telah dipusatkan tempat terutangnya PPN di tempat lain.
3. PKP pindah alamat tempat tinggal, tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan
usaha ke wilayah kerja KPP lain.

10
4. PKP yang jumlah peredaran usaha dan/atau penerimaan brutonya untuk 1 tahun
buku tidak melebihi batas jumlah peredaran usaha dan/atau penerimaan
bruto untuk pengusaha kecil dan tidak memilih untuk menjadi PKP.
5. PKP selain perseroan terbatas dengan status tidak aktif (non efektif) dan secara
nyata tidak menunjukkan adanya kegiatan usaha.
6. PKP bentuk usaha tetap yang telah menghentikan kegiatan usahanya di
Indonesia.

Pencabutan pengukuhan PKP secara jabatan juga dapat dilakukan berdasarkan


hasil verifikasi dalam hal pencabutan tersebut terkait dengan:

1. Hasil sensus pajak nasional.


2. Hasil konfirmasi lapangan atau pengawasan setelah pengukuhan PKP
3. Hasil kegiatan lain yang dilakukan oleh DJP.
4. Pemeriksaan dalam rangka pencabutan pengukuhan PKP juga dilakukan apabila
terdapat data dan informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh DJP yang
menunjukkan bahwa PKP tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau
objektif. Selain itu, pemeriksaan juga dapat dilakukan apabila wajib pajak yang
sebenarnya tidak lagi masuk kategori PKP, namun tidak mengajukan pencabutan

2.6 Daerah Pabean


Menurut UU PPN di Indonesia, PPN merupakan pajak atas konsumsi di dalam
negeri. Prinsip ini sebagaimana tertuang dalam Penjelasan Umum UU PPN Nomor 8
Tahun 1983 sebagai berikut:

“Dengan mengingat pada sistemnya, undang-undang ini dapat disebut Undang-Undang


Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
untuk memperlihatkan bahwa dua macam pajak yang diatur disini merupakan satu
kesatuan sebagai pajak atas konsumsi di dalam negeri.”

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipastikan bahwa penyerahan barang dan/atau


jasa yang terjadi di Indonesia antara dua pihak yang sama-sama berada di Indonesia
merupakan objek yang dikenai PPN di Indonesia. Atau dengan kata lain, lingkup
teritorial PPN menurut UU PPN di Indonesia adalah semua transaksi yang terjadi di
dalam negeri. Penjelasan Umum UU PPN Nomor 42 Tahun 2009, yang mengubah
redaksional “pajak atas konsumsi di dalam negeri” menjadi “pajak atas konsumsi
barang dan jasa di daerah pabean”. Oleh karenanya, dapat disimpulkan bahwa batasan
istilah “di dalam negeri” sebagai lingkup teritorial PPN di Indonesia adalah “daerah
pabean Indonesia”.

Istilah daerah pabean ini sendiri memiliki pengertian yang diatur dalam Pasal 1 angka 1
UU PPN. Berdasarkan pengertian yang terdapat dalam pasal ini, daerah pabean adalah
wilayah Republik Indonesia yang meliputi:

11
a. Wilayah Darat Indonesia;
b. Wilayah Perairan Indonesia;
c. Ruang Udara di atas Indonesia;
d. Tempat – Tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE);
e. Landas Kontinen yang didalamnya berlaku UU Kepabeanan.

Didalam Daerah Pabean Republik Indonesia terdapat wilayah yang apabila terjadi
Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tidak dikenakan Pajak
Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan Barang Mewah, wilayah tersebut disebut
Kawasan Berikat. Luas Kawasan Berikat tidak sama. Penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak didalam daerah pabean dikenakan Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2009 Tentang PPN dan PPnBM.

Untuk melakukan pemungutan PPN dan PPnBM, pengusaha (Orang Pribadi atau
Badan) harus menjadi Pengusaha Kena Pajak terlebih dahulu. Pengusaha yang
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak di
dalam Daerah Pabean dan/atau melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor
Jasa Kena Pajak, dan/atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud diwajibkan,
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak ke Kantor
Pelayanan Pajak dimana Pengusaha tersebut bertempat kedudukan, memungut Pajak
Pertambahan Pertambahan (PPN) dan atau Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM)
yang terutang atas transaksi Penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak,
menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang masih harus dibayar dalam hal Pajak
Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan serta menyetorkan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang paling lambat sebelum SPT Masa
PPN dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak dimana Pengusaha tersebut terdaftar sebagai
Pengusaha Kena Pajak

melaporkan penghitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan atau Pajak Penjualan
Barang Mewah (PPnBM) ke Kantor Pelayanan Pajak dimana Pengusaha tersebut
terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak paling lambat pada akhir bulan berikut setelah
terjadinya penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak. Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean harus dipungut oleh
orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut. Orang Pribadi atau Badan tersebut tidak harus
menjadi Pengusaha Kena Pajak.

12
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak tidak Langsung yang dikenakan pada setiap
pertambahaan nilai atau transaksi penyerahan barang dan atau jasa kena pajak dalam
pendistribusiannya dari produsen dan konsumen. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
tercipta karena digunakannya faktor-faktor produksi pada setiap jalur perusahaan dalam
menghasilkan, menyalurkan dan memperdagangkan barang atau dalam memberikan
jasa. Mekanisme cara menghitung pajak pertambahan nilai adalah pemungutan,
penyetoran, dan pelaporan PPN ada pada pihak pedagang atau produsen Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) yang berlaku atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP)
maupun Jasa Kena Pajak (JKP) adalah tarif tunggal sehingga mudah dalam
pelaksanaannya tidak ada penggolongan dengan tarif yang berbeda.

3.2 Saran
Penghasilan negara terbesar adalah dari pajak. Pajak memiliki peranan penting
dalam pembangunan suatu negara khususnya Indonesia. Oleh karena itu, pengelolaan
pajak harus dikelola dengan baik dan benar agar manfaatnya dapat dirasakan oleh
rakyat. Selain itu juga para wajib pajak maupun subjek pajak yang sudah semestinya di
kukuhkan harus rutin dalam membayar pajak demi tercapainya pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi bangsa Indonesia. Sudah saatnya, kita sebagai warga negara
Indonesia bersimpati dan berempati terhadap pentingnya pajak untuk pertumbuhan dan
pembangunan Indonesia. Dengan taatnya masyarakat membayar pajak, maka akan
tercipta sarana umum yang baik dan nyaman digunakan.

13
DAFTAR PUSTAKA
1. Online Pajak. 2018. “Klasifikasi dan Kewajiban Subjek PPN”,
https://www.online-pajak.com/subjek-ppn, diakses pada 30 September 2020;
2. Kezia Rafinska. 2018. “Definisi PPN : Objek, Subjek dan Tarif Pajak Pertambahan
Nilai”, https://www.online-pajak.com/kepanjangan-ppn, diakses pada 30 September
2020;
3. Suci Noor Aeny. 2016. “Hak dan Kewajiban Pengusaha Kena Pajak”,
https://news.ddtc.co.id/hak--kewajiban-pengusaha-kena-pajak-8805, diakses pada
30 September 2020;
4. THINKTAX.ID. 2019. “Subjek PPN”, https://www.thinktax.id/tax-flash/subjek-
ppn, diakses pada 30 September 2020.

14

Anda mungkin juga menyukai