Di susun oleh :
Yane Kurnia
NIM 20180610048
2018/2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya penjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya sehingga saya dapat
menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “ PERAN DAN KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM
PANDANGAN ISLAM ”. Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas yang diberikan dalam
mata kuliah Pendidikan Agama Islam di Universitas kuningan . Dalam Penulisan makalah
ini saya merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi,
mengingat akan kemampuan yang saya miliki. Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak
sangat saya harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini. Dalam penulisan
makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada Dosen
saya yang telah memberikan tugas dan petunjuk kepada saya, sehingga saya dapat
menyelesaikan tugas ini.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
BAB IV
A. KESIMPULAN
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peran dan kedudukan perempuan menjadi pembahasan di setiap zaman. Peran dan
kedudukan perempuan sangat dipengaruhi oleh pandangan masyarakat terhadap perempuan.
Setidaknya ada tiga pandangan masyarakat terhadap perempuan yang terbagi atas tiga fase yaitu
fase menghinakan, fase mendewakan, fase menyamaratakan ( Alfan, tanpa tahun: 10)
Pada fase menghinakan perempuan dianggap seperti hewan bahkan lebih rendah. Perempuan
dianggap menjijikkan, hina dan diperjualbelikan di toko, pasar-pasar, dan warung-warung.
Perempuan dianggap pelayan laki-laki. Pada fase mendewakan perempuan dipuja-puja, dimuliakan
tetapi untuk memuaskan hawa nafsu birahi kaum lelaki. Pada fase menyamaratakan wanita diberi
kebebasan seluas-luasnya tanpa terikat pada batasan baik norma adat maupun agama. Wanita harus
memiliki hak dan peran yang sama dengan laki-laki dalam segala bidang kehidupan.
Dalam kenyataan perempuan berbeda dengan laki-laki terutama dalam struktur anatominya.
Secara fisik perempuan dan laki-laki berbeda. Secara biologis perempuan dilengkapi dengan alat-
alat reproduksi sehingga dapat berperan sebagai ibu mampu mengandung dan melahirkan anak,
sedangkan laki-laki tidak memiliki potensi untuk itu.
Dengan perbedaan ini tentunya perempuan dan laki-laki memilki kedudukan dan tugas atau
peran yang saling melengkapi. Oleh karena itulah penulis mencoba mengupas Peran dan kedudukan
perempuan dalam pandangan Islam. Karena yang berhak menentukan peran dan kedudukan
perempuan adalah sang pencipta perempuan itu sendiri, yang telah mengutus rasul Muhammad dan
menurunkan kitab Al-Quran sebagai petunjuknya bagi manusia supaya ber-Islam ( berserah diri ).
BAB II
KERANGKA TEORETIS
Membahas peran dan kedudukan perempuan dalam pandangan Islam tidak terlepas dari
sumber hukum Islam. Sebuah hadits dapat kita nukil untuk memberikan keyakinan pada kita
tentang sumber hukum yang harus digunakan yaitu : “Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, di
mana kalian tidak akan tersesat selama berpegang dengan keduanya, yaitu Kitab Allah dan
sunnahku.” (Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwaththa’ kitab Al-Qadar III)
Al Quran sebagai sumber hukum umat Islam sudah tidak ada yang menyangkal, namun
hadis sebagai sumber hukum masih ada yang berkeberatan terutama kelompok Inkar Al Sunnah
(Dailamy SP,2008:2) dengan alasan bahwa Al Quran adalah kitab yang sempurna, terinci, tugas
Nabi Muhammad semata-mata menyampaiakan Al- Quran, Hadis merupakan pandangan dan
pendapat manusia yang tidak terjamin kebenarannya, ibadah salat, puasa zakat dan haji adalah
amalan turun-temurun sejak zaman Nabi Ibrahim, bukan disampaikan melalui hadis.
Namun demikian dalam tulisan ini penulis akan menggunakan kerangka teoretis Al Quran
dan hadis sebagai sumber pengambilan hukum dalam pembahasan peran dan kedudukan perempuan
dalam pandangan Islam. Dengan pertimbangan “ Kedudukan hadis begitu dominan dalam
pandangan ulama jumhur. Hadis dengan beragam ilmunya telah dibahas dan dikupas sedemikian
rupa sehingga seakan tidak tersisa lagi buat umat Islam mendatang untuk ikut urun rembug dalam
urusan hadis dengan bermacam-macam ilmunya itu.”( Dailamy SP,2008:3)
Oleh karena itulah penulis berkeyakinan bahwa membahas peran dan kedudukan perempuan
menurut pandangan Islam berarti membahas dengan menggunakan Al-Quran dan hadis, tentu saja
melalui pendapat-pendapat para ulama penafsir Al-Quran dan hadis.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Peran Perempuan dalam Pandangan Islam
Perempuan dan laki-laki berbeda dalam kodratnya. Allah menegaskan dalam Al Quran
pada peristiwa kelahiran Maryam dalam Surat Ali Imron ayat 36
36. Maka tatkala isteri 'Imran melahirkan anaknya, dia pun berkata: "Ya Tuhanku,
sesunguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui
apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan.
Sesungguhnya aku telah menamai Dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya
serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang
terkutuk."
Perbedaan secara kodrati ini tidak membedakan perempuan dan laki-laki dalam hal
kedudukan namun menentukan perannya dalam kehidupan. Dari segi fungsi reproduksi
perempuan memungkinkan mengandung calon keturunannya karena perempuan memiliki
rahim yang tidak dimiliki oleh laki-laki. Demikian juga dalam hal pengasuhan dan
keberlangsungan bayi saat masih kecil, perempuan dianugerahi kemampuan untuk menyusui
dan perasaan kasih sayang dan ketahanan tubuh yang lebih dibandingkan dengan laki-laki.
Menurut al-‘Allamah al- Nasafi dalam Munawar, “ kelebihan pria atas wanita adalah pada:
akalnya, keteguhan hati, pola pikir, kekuatan fisik, kemampuan perang, kesempurnaan puasa
dan shalat, adzan, khutbah, jama’ah, takbir pada hari tasyrik , kesaksian dalam kasus pidana
dan qishas dua kali lipat dalam bagian waris, hak nikah dan talak. ( 2004:214 )
Dari perbedaan itulah maka perempuan dan laki-laki memiliki peran yang saling
melengkapi. Dalam perbedaan peran ini bukan berarti perempuan harus menggantikan peran
laki-laki ataupun sebaliknya, karena masing-masing memiliki proporsi yang berbeda sesuai
dengan kodratnya.
Sesunguhnya perempuan dan laki-laki diciptakan untuk diuji siapa yang paling baik
amalnya. Dengan beramal perempuan akan memperoleh pahala. Selain itu perempuan adalah
separoh dari masyarakat. Apabila perempuan tidak melakukan amalan niscaya dunia ini akan
beku ( Qardhawy dalam http://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/islam/Qardhawi/
kontemporer/WanitaKerja.html).
Al-Quran berbicara tentang perempuan dalam berbagai ayatnya. Pembicaraan tersebut
menyangkut berbagai sisi kehidupan. Ada ayat yang berbicara tentang hak dan kewajibannya,
ada pula yang menguraikan keistimewaan-keistimewaan tokoh-tokoh perempuan dalam sejarah
agama atau kemanusiaan ( Shihab, 2004:272 )
Secara garis besar perempuan memiliki dua peran yaitu peran sebagai anggota keluarga
dan peran sebagai anggota masyarakat.
1. Perempuan sebagai Anggota Keluarga
Di dalam keluarga perempuan dapat berperan sebagai ibu, istri, anak. Semua peran
tersebut menuntut adanya tugas sesuai dengan perannya.
a. Perempuan sebagai Ibu
Sebagai ibu tugas perempuan yang pertama dan utama yang tidak diperselisihkan
lagi ialah mendidik generasi-generasi baru. Mereka memang disiapkan oleh Allah untuk
tugas itu, baik secara fisik maupun mental, dan tugas yang agung ini tidak boleh
dilupakan atau diabaikan oleh faktor material dan kultural apa pun. (Qardhawy dalam
http://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/islam/Qardhawi/ Kontemporer/WanitaKerja.html).
Selain itu tugas perempuan adalah Beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala.
Tinggalnya ia di dalam rumah merupakan alternatif terbaik karena memang itu perintah dari
Allah subhanahu wata’ala dan dapat beribadah dengan tenang. Allah subhanahu wata’ala
berfirman (artinya):
33. dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku
seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan
taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa
dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.
b. Perempuan sebagai Istri
Perempuan sebagai istri memiliki peran yang sangat penting. Istri yang bijaksana dapat
menjadikan rumah tangganya sebagai tempat yang paling aman dan menyenangkan bagi
suami. ( Alfan, tanpa tahun: 25) Istri dapat berperan sebagai teman baik, tempat suami
mencurahkan perasaan hatinya. Mendinginkan suasana ketika hati sedang panas. Sehingga
suami memperoleh motivasi baik dalam hal mencari nafkah maupun beribadah.
Telah termaktub dalam Al Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia yang datang dari
Rabbull Alamin Allah Yang Maha Memilki Hikmah:
“Dan tetaplah kalian (kaum wanita) tinggal di rumah-rumah kalian.” (Al Ahzab: 33)
Maha benar Allah subhanahu wata’ala dalam segala firman-Nya, posisi perempuan
sebagai sang istri atau ibu rumah tangga memilki arti yang sangat urgen, bahkan dia
merupakan salah satu tiang penegak kehidupan keluarga dan termasuk pemeran utama
dalam mencetak “tokoh-tokoh besar”. Sehingga tepat sekali ungkapan: “Dibalik setipa orang
besar ada seorang wanita yang mengasuh dan mendidiknya.”
Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah
(http://www.assalafy.org/al-ilmu.php?tahun3=8) berkta: “Perbaikan masyarakat dapat
dilakukan dengan dua cara:
Pertama: perbaikan secara dhahir, di pasar-pasar, di masjid-masjid dan selainnya dari
perkara-perkara dhahir. Ini didominasi oleh lelaki karena merekalah yang bisa tampil di
depan umum.
Kedua: perbaikan masyarakat dilakukan yang di rumah-rumah, secara umum hal ini
merupakan tanggung jawab kaum wanita. Karena merekalah yang sangat berperan sebagai
pengatur dalam rumahnya. Sebagaiman Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam surat
Al Ahzab ayat 33 di atas.
Dengan peran perempuan sebagai istri maka ada beberapa kewajiban istri terhadap
suami. Kewajiaban pertama, adalah taat sempurna kepada suaminya dalam perkara yang
bukan maksiat bahkan lebih utama daripada melakukan ibadah-ibdah sunnah. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الَ يَ ِحلُّ لِ ْل َمرْ أَ ِة أَ ْن تَص ُْو َم َو َز ْو ُجهَا َشا ِه ٌد إِالَّ بِإِ ْذنِ ِه
“Tidak boleh seorang wanita puasa (sunnah) sementara suaminya ada di tempat
kecuali setelah mendapat izin suaminya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Al Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Hadits ini menunjukkan lebih ditekankan kepada istri
untuk memenuhi hak suami daripada mengerjakan kebajikan yang hukumnya sunnah.
Karena hak suami itu wajib sementara menunaikan kewajiban lebih didahulukan daripada
menunaikan perkara yang sunnah.’ (Fathul Bari 9/356)
Menjaga rahasia suami dan kehormatannya dan juga menjaga kehormatan diri sendiri di
saat suaminya tidak ada di tempat. Sehingga menumbuhkan kepercayaan suami secara
penuh terhadapnya.
Menjaga harta suami. Rasulullah bersabda:
“Sebaik-baik wanita penunggang unta, adalah wanita yang baik dari kalangan quraisy
yang penuh kasih sayang terhadap anaknya dan sangat menjaga apa yang dimiliki oleh
suami.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Mengatur kondisi rumah tangga yang rapi, bersih dan sehat sehingga tampak
menyejukkan pandangan dan membuat betah penghuni rumah.
2. Perempuan sebagai Anggota Masyarakat
Peranan perempuan dalam masyarakat merupakan pokok persoalan. Oleh
karena kecenderungan penilaian bahwa normativitas Islam menghambat ruang gerak
perempuan dalam masyarakat. Hal ini didukung oleh pemahaman bahwa tempat terbaik
bagi perempuan adalah di rumah, sedangkan di luar rumah banyak terjadi kemudharatan.
Pandangan yang paling umum adalah bahwa keluarnya perempuan dari rumah untuk
maksud tertentu dihukumi dengan subhat, antara diperbolehkan dan tidak. Dalam
bahasan fiqh ibadah, jika subhat lebih baik ditinggalkan. Sedangkan dalam fiqh
muamallah bisa dijalankan dengan rukhshah darurat. Akan tetapi menurut pandangan
Qardhawy (1997:231) bahwa keluarnya perempuan dari rumah untuk keperluan tertentu
adalah diperbolehkan. Bahkan menahan perempuan di dalam rumah hanyalah bentuk
perkecualian dalam jangka waktu tertentu sebagai bentuk penghukuman.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Perempuan sebagai bagian tak terpisahkan dari umat mendapat perlakuan yang
sama persis dengan laki-laki. Baik dalam urusan ibadah dan Muamallah, tiada kelebihan
laki-laki atas perempuan. Dengan demikian perempuan mempunyai hak yang sama dalam
usaha melakukan perbaikan (ishlah) dalam masyarakat.
Namun demikian ada profesi yang masih menjadi perdebatan diantara para ulama,
bahwa perempuan tidak bisa menduduki dua profesi yaitu sebagai pemimpin dalam
pengertian al-wilayatul-kubra atau al-imamatul-uzhma (pemimpin tertinggi) dan qodhi.
Dalam bidang kepemimpinan Islam bertolak dari status manusia sebagai khalifah di
muka bumi. Akhir Surat Al Ahzab mempertegas kekhalifahan manusia di muka bumi ini
sebagai pengembang amanat Allah SWT untuk mengolah, memelihara dan mengembangkan
bumi. Inilah tugas pokok manusia tidak berbeda antara perempuan dan laki-laki. Ini yang
dalam hukum Islam disebut taqlidiyyah ( Munir, 1999:69)
Namun kepemimpinan perempuan merupakan persoalan pelik yang sampai saat ini
terus menjadi perbincangan. Lingkup perbincangan tersebut bermula dari tatanan
syari'ah yang memberikan barrier berupa sinyalemen hadits bahwa tidak akan beruntung
suatu masyarakat jika kepemimpinan diserahkan kepada wanita. (Hr. Bukhari)
Menurut Yusuf Qardhawy, hadits ini adalah Shahih sebab periwayatannya dari Abu
Bakrah yang kemudian dikutip Bukhari. Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh
Bukhari termasuk ke dalam hadist yang shahih. Sedangkan dari pertimbangan matan, ada
yang difahami secara tekstual, ataupun difahami secara kontekstual. Pemahaman secara
tekstual akan menyimpulkan bahwa haram hukum wanita menjadi kepala pemerintahan.
Sedangkan pemahaman secara kontekstual, bahwa hadits tersebut berkaitan dengan
diangkatnya seorang wanita Persia menjadi pemimpin meski disekitarnya terdapat
banyak calon pemimpin yang memadai, hanya karena hukum kerajaan menghendaki
demikian. (Qardhawy,1997:246)
Jumhur ulama sepakat akan haramnya perempuan memegang kekuasan dalam al-
wilayatul-kubra atau al-imamatul-uzhma (pemimpin tertinggi). Di mana perempuan
berperan sebagai pemimpin tertinggi dalam urusan pemerintahan. Sebab dalam matan
hadits tersebut terdapat kata "Wallu Amrahum" (Yang Memerintah Kamu Semua), yang
ditafsirkan sebagai Khalifah dalam sistem politik Islam. Sehingga jumhur ulama
memberikan pengharaman pada wanita. Hampir ulama klasik memandang perlu
untuk mengetengahkan hawa hak menjadi khalifah adalah haq laki-laki, bukan wanita. Ini
diungkapkan baik oleh Al-Ghazali, Al-Mawardi, Ibnu Taimiyyah, Ibnu
Khaldun(Azhar:1996)
Sedangkan dalam hal Qadhi atau yudikatif perempuan tidak diperbolehkan menduduki
jabatan tersebut, Adapun pendapat yang mendukung penolakan perempuan menjadi hakim
secara mutlak mengatakan bahwa perempuan dilarang menjadi qodhi ( yudikatif) menurut
syara’sebab profesi ini menuntut kesempurnaan pendapat ( olah pikir ), pada hal perempuan
umumnya lemah akalnya, di mana Rasulullah menafsirkan sifat ketidak sempurnaan akalnya
ini bahwa kesaksian perempuan nilanya setengah dari kesaksian laki-laki. (Bahnasawi.1996:
293-204)
B. Kedudukan Perempuan dalam Pandangan Islam
Kedudukan perempuan sangat terkait erat dengan asal-usul penciptaan, pengakuan
Allah atas kemuliaan perempuan, hak kehormatan yang dimiliki perempuan dan hak imbalan
yang didapatkan perempuan dari Allah..
a. Kedudukan Perempuan dari Sudut Pandang Penciptaannya
Berdasarkan penciptaanya perempuan dan laki-laki berasal dari satu jenis yang sama
seperti yang tercantum dalam Surat An Nisa ayat 1 :
1. Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu
dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada
keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.
dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu
saling meminta satu sama lain , dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu
Kalimat “Sebagian kamu adalah bagian dari sebagian yang lain, dalam arti bahwa
"sebagian kamu (hai umat manusia yakni lelaki) berasal dari pertemuan ovum perempuan
dan sperma lelaki dan sebagian yang lain (yakni perempuan) demikian juga halnya." Kedua
jenis kelamin ini sama-sama manusia. Tak ada perbedaan antara mereka dari segi asal
kejadian dan kemanusiaannya
Mahmud Syaltut, mantan Syaikh (pemimpin tertinggi) lembaga-lembaga Al-Azhar di
Mesir, menulis:
"Tabiat kemanusiaan antara lelaki dan perempuan hampir dapat (dikatakan) sama. Allah
telah menganugerahkan kepada perempuan sebagaimana menganugerahkan kepada
lelaki. Kepada mereka berdua dianugerahkan Tuhan potensi dan kemampuan yang
cukup untuk memikul tanggung jawab dan yang menjadikan kedua jenis kelamin ini
dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun khusus. Karena itu,
hukum-hukum Syari'at pun meletakkan keduanya dalam satu kerangka. Yang ini (lelaki)
menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, menuntut dan
menyaksikan, dan yang itu (perempuan) juga demikian, dapat menjual dan membeli,
mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum serta menuntut dan
menyaksikan."(Syaltut,1959: 193)
Kalaupun ada yang berbentuk tunggal, maka itu justru menunjuk kepada kaum lelaki
(Adam), yang bertindak sebagai pemimpin terhadap istrinya, seperti dalam firman Allah:
Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya (Adam) dan berkata: "Hai Adam,
maukah saya tunjukkan kepadamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan punah?"
(QS 20:120).
Dengan ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa kedudukan perempuan bukan sebagai
penyebab Adam dan Hawa terusir dari surga. Dan perempuan bukanlah makhluk yang
menyebabkan malapetaka. Islam memandang bahwa perempuan memiliki kedudukan yang
sama baik dari asal penciptaan, kemuliaan, maupun dalam hal memperoleh imbalan dari usaha
amal dan ibadahnya dari Allah SWT.
BAB IV
SIMPULAN
Dalam pandangan Islam perempuan memiliki kedudukan yang sama dibandingkan
dengan laki-laki. Dari sudut penciptaan, kemuliaan, dan hak mendapatkan balasan atas amal
usahanya perempuan memiliki kesetaraan dengan laki-laki. Sedangkan dalam hal peran
perempuan memiliki perbedaan dengan laki-laki. Peran perempuan yang wajib adalah sebagai
anggota keluarga yaitu sebagai istri dari suami dan ibu bagi anak-anaknya. Sedangkan peran
perempuan sebagai anggota masyarakat dalam urusan muamalah mendapatkan profesi
(pekerjaan) dihukumi dengan rukhshah darurat. Meskipun diperbolehkan namun harus selalu
mementingkan segi kemaslahatan baik bagi rumah tangga maupun bagi masyarakat. Apabila
lebih banyak kemudaratannya bagi keluarga maka profesi di luar rumah harus ditinggalkan
mengingat sesuatu yang darurat tidak boleh meninggalkan hal yang wajib.
DAFTAR PUSTAKA
Alfan,Jundy. Tanpa tahun. Agenda Shalihah, Panduan Hidup Wanita Sholihah. Pustaka Al-
Wustho:Solo
Al Munawar, Said Aqil Husin. 2004. Al- Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki. Jakarta :
Ciputat Press
Azhar, Muhammad .1996. Filsafat Politik: Perbandingan Islam dan Barat, Jakarta:
RajaGrafindo Persada
Bahnasawi, Salim Ali .1996.Wawasan sistem Politik Islam. Jakarta: Pustaka Kautsar
Bahreisy, H Salim dan H Said Bahreisy, Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsir. Surabaya : PT
Bina Ilmu
Dailamy SP, Muhammad,2008, Empat Persoalan Perempuan dalam Agama. Untuk kalangan
sendiri.
Munir, Lily Zakiyah.1999. Memposisikan Kodrat Perempuan dan Perubahan dalam Prespektif
Islam, Bandung :Mizan
Qardhawy, Yusuf. 1997. Fiqh Daulah Dalam Perspektif al-Qur'an dan Sunnah, Jakarta, Pustaka
Al-Kautsar,
.Syaltut,Mahmud, Prof. Dr., 1959. Min Taujihat Al-Islam, Kairo : Al-Idarat Al-'Amat lil Azhar
http://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/islam/Qardhawi/ Kontemporer/WanitaKerja.html).
(http://www.assalafy.org/al-ilmu.php?tahun3=8)