Anda di halaman 1dari 5

NAMA : DWI SHALSABILA

NIM : 18011136

Eka Tjipta Widjaya merasakan hidup yang pahit. Ia lahir di sebuah keluarga
miskin di Coan Ciu, Hokkien, pada 3 Oktober 1923. Penghasilan orang tua yang
nyaris memaksa keluarganya hanya bisa makan bubur dan ubi jalar setiap hari.

Ketika ia berusia 9 tahun, Eka dengan ibunya setelah ayahnya pindah ke


Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia. Di Makassar, ia membantu ayahnya, yang
telah memiliki toko kecil. Berbekal sepeda dan barang eceran dari toko ayahnya, ia
menjual barang-barang makanan dari rumah ke rumah. Meski hanya mampu
berkomunikasi dalam bahasa Hokkien, Eka masih menjual. Dengan modal bahasa
‘Tarzan’, menetapkan ke menunjuk atau menggunakan bahasa tubuh, ia menjual
pendapatan bantuan peningkatan bagi keluarga mereka.

Setelah dua tahun di Makassar, nama asli pria itu adalah Oei Ek Tjhong SD.
Namun, lulusan sekolah, ia tidak bisa melanjutkan pendidikan karena keterbatasan
ekonomi. Setelah dibesarkan dalam keluarga pedagang, ia kemudian mencoba sendiri
pada usia yang sangat muda, 15 tahun. Usaha pertama ia memilih menjual biskuit dan
gula-gula. Tapi karena ada modal, Eka kemudian dimaksudkan untuk mengambil
barang pertama dan membayar kemudian setelah barang yang dijual. Pada awalnya,
toko banyak yang tidak percaya dan tidak mau mengantarkan barang. Tak ingin putus
asa, ijazah sekolah Eka membuatnya sebagai jaminan agar bisa dipercaya mengambil
barang dagangan.

Dengan cara ini, ia perlahan-lahan mendapatkan kepercayaan mengambil barang


tanpa membayar di muka, bahkan jika barang yang bisa dijual tidak banyak. Pada saat
itu, ia mendapat empat kaleng kecil biskuit dan gula-gula 21,50 gulden senilai
kembang api. Dengan barang dagangan, ia bersepeda menawarkan barang ke toko-
toko di Makassar. Perlahan tapi pasti, mengembangkan bisnis sampai ia dapat
menjual untuk menyewa becak.
Ketika bisnis mulai berkembang, tentara Jepang memasuki Indonesia menginvasi,
termasuk ke Makassar, sehingga usahanya hancur. Di tengah kegalauannya, Eka
Tjipta Widjaya bertekad bulat untuk sampai ke Paotere Makassar (Makassar pinggiran
kota, yang kemudian menjadi salah satu dasar perahu terbesar di luar Jawa). Di sana
ia melihat truk-truk tentara Jepang yang karung dumping terigu, semen, dan besi-besi
tua. Ide bisnis mereka segera muncul. Barang bekas tersebut kemudian dibawa
kembali ke rumah, memisahkan kondisi baik, dibungkus seperti mereka, dan
kemudian dijual. Barang bekas ternyata menjual dan memberikan sejumlah
keuntungan.

Memiliki barang bekas habis, Eka berbalik profesional dengan pedagang kopra.
Dalam bisnis ini, ia telah berlayar selama berhari-hari ke Selayar (Sulawesi Selatan)
dan pusat kopra kopra terlihat murahan. Namun, karena aturan dari penjajah Jepang,
Eka kerugian besar dan hampir bangkrut. Bertabrakan dengan usaha kopra, peluang
Eka lainnya, perdagangan gula, dan teng-teng (makanan khas Makassar dari gula
merah dan kacang), wijen, dan permen kapas. Tapi ketika bisnis mulai menggeliat,
harga gula jatuh, ia rugi besar, modal habis, bahkan berutang.

Eka keberhasilan dalam melakukan bisnis tidak dapat dipisahkan dari prinsip-
prinsip hidup yang dipegangnya. Baginya, setiap kesulitan yang dihadapi dalam
menjalankan bisnis, asalkan memiliki keinginan untuk melawan, pasti semua
kesulitan dapat diatasi. Prinsip selanjutnya, jujur, menjaga kredibilitas, tanggung
jawab, baik kepada keluarga, pekerjaan dan lingkungan sekitarnya. Hidup hemat dan
tidak menghilang.

Pada usia 37 tahun, Eka pindah dari Makassar ke Surabaya. Eka sedang minum
kopi dan perkebunan karet di Jember, pabrik minyak kelapa dan penggilingan padi di
Ciluas, Serang. Tetapi perusahaan kehilangan begitu harus menjual setengah harga.
Jangan mau berhenti berusaha, ia kemudian mendirikan CV Sinar Mas yang
mengekspor impor pertanian dan tekstil.

Seiring dengan bisnisnya berkembang, ia mendirikan PT Tjiwi Kimia pada tahun


1976 bekerja di bidang kimia. Kemudian pada tahun 1980-1981, ia membeli minyak
sawit dari areal perkebunan 10 ribu hektar, mesin dan pabrik dengan kapasitas 60 ribu
ton di Riau dan perkebunan dan pabrik teh seluas 1.000 hektar dengan kapasitas 20
ribu ton. Pada tahun 1982, ia membeli Bank Internasional Indonesia (BII), yang
kemudian berkembang pesat, dari dua cabang dengan Rp.13 miliar aset untuk 40
cabang dan sub-cabang, dengan aset sebesar Rp. 9,2 triliun. PT Indah Kiat yang juga
membeli Eka pertama (1984) hanya menghasilkan 50.000 ton pulp per tahun, tapi
sepuluh tahun kemudian mampu menghasilkan 700.000 ton pulp dan 650.000 ton
kertas per tahun.

Jangan berhenti di bisnis perbankan, kertas, dan minyak, tai chi fan kemudian
merambah ke bisnis real estate. Ia misalnya, membangun ITC Mangga Dua, toko,
apartemen lengkap dengan pusat perdagangan. Di Roxy, Jakarta Barat, ia membangun
sebuah View apartemen Green, sementara dia membangun Kuningan Duta.

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1998 membuat banyak
perusahaan keluar dari bisnis. Bisnis juga dibangun Eka goyang. Dia dipaksa untuk
menghapus BII dan 39 perusahaan lain ke BPPN. Jumlah nilai US $ 1,2 miliar. Ini
adalah sebagai akibat dari suntikan modal pemerintah – dalam bentuk obligasi
rekapitalisasi – untuk menyelamatkan bank-bank terkena kredit crunch itu.

BII adalah terlalu banyak usaha untuk mencairkan pinjaman untuk membiayai
kelompok mereka sendiri. Eka Tjipta Widjaya dan empat anak laki-laki (Indra,
Muchtar, Benar, dan Franky) harus menyerahkan jaminan pribadi atas penyelesaian
seluruh hutang kepada pemerintah. Bank Indonesia juga melarang mereka mengelola
bank selama lima tahun. Pasalnya, Eka keluarga-hati untuk tidak melanggar batas
maksimum pemberian kredit.

Asia Pulp and Paper Co, Satu unit kelompok terlibat dalam produk pulp dan
kertas, serta utang raksasa terperangkap. Karena jumlah obligasi yang diterbitkan,
utang menjadi $ 12 miliar. Pada saat itu, Asia Pulp and Paper yang terdaftar di Wall
Street tercatat sebagai penerbit utang di dunia.

Pada saat itu, banyak orang berpikir bahwa konglomerasi Eka dirintis sejak tahun
1960-an akan berakhir. Namun, keberuntungan berpihak pada taipan. Perlahan-lahan,
dengan tekad dan ketekunan, Sinar Mas meningkat menyelesaikan masalah. Utang
berurusan dengan BPPN selesai pada tahun 2004. Sinar Mas Group dan kemudian
membersihkan diri. Eka memberikan 100 persen dari manajemen perusahaan untuk
anak-anak, cucu, dan profesional. Nama berubah menjadi Mas Sinarmas Sinar.
Perubahan bukan hanya tentang nama, tetapi juga definisi. “Sinar Mas ‘adalah cerita
tentang perusahaan yang dilanda krisis Sementara konversi menjadi huruf kecil,.
Menurut juru bicara kelompok Yan Partawijaya, menunjukkan Sinarmas tidak
sombong. Selain itu, perusahaan induk (holding company) juga dihapus. Tujuannya
adalah bahwa beban utang perusahaan tidak bidang lain usaha.

Empat anak Eka kemudian diberi tugas mengelola empat unit bisnis. Teguh
Ganda Widjaja sulung memimpin Asia Pulp and Paper Co Indra Widjaja memegang
Tbk PT Sinarmas Multiartha, Yang bergerak di bidang keuangan.. Muktar Widjaja
mengelola perusahaan properti PT Duta Pertiwi Tbk. Franky Oesman Widjaja
menangani agro dan perusahaan teknologi, PT Sinarmas Agro Resources and
Technology Tbk. Widjaja juga termasuk generasi ketiga dalam bisnis. Fuganto
Widjaja, anak Indra Widjaja, menjadi salah satu komisaris di Sinarmas Multiartha.
Eric Oei Kang, anak Teguh, seorang managing director HK Konstruksi, yang bekerja
sama dengan Sinarmas Grup mendirikan sejumlah properti di Hong Kong.

Eka Tjipta Widjaya keberhasilan dalam melakukan bisnis tidak dapat dipisahkan
dari prinsip-prinsip hidup yang dipegangnya. Baginya, setiap kesulitan yang dihadapi
dalam menjalankan bisnis, asalkan memiliki keinginan untuk melawan, pasti semua
kesulitan dapat diatasi. Prinsip selanjutnya, jujur, menjaga kredibilitas, tanggung
jawab, baik kepada keluarga, pekerjaan dan lingkungan sekitarnya. Hidup hemat dan
tidak menghilang. “Jika kita hidup hemat, uang yang disimpan dapat digunakan untuk
membantu orang lain yang membutuhkan Dan,. Sebisa mungkin kita harus mencoba
untuk membantu orang lain yang kurang beruntung, tanpa diskriminasi. Humanistik
itu tanpa pandang bulu,” katanya.

Untuk mendistribusikan nurani sosial, kemudian mendirikan sebuah yayasan Eka


“Eka Tjipta Foundation” (ETF) pada Maret 2006. ETF tercermin dalam visi motto:
“tanaman kebaikan kemakmuran panen” atau “perbuatan baik menciptakan benih
yang baik”, yang lebih ketat ditetapkan dalam maksud dan tujuan ETF yang
meningkatkan kualitas hidup, kesejahteraan dan kemandirian masyarakat di sosial,
ekonomi dan lingkungan dengan berkontribusi positif bagi pembangunan bangsa dan
negara Indonesia secara berkelanjutan.
Setelah perusahaan mengadakan anak-anak mereka, Eka suka menghabiskan hari-
harinya melakukan kegiatan sosial, bertemu dengan teman-teman lama dan kadang-
kadang ke Singapura untuk perawatan. Posisi hanya dia masih memegang Ketua
Dewan Pembina Eka Tjipta Foundation.

Anda mungkin juga menyukai