Anda di halaman 1dari 47

PROPOSAL HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN

SIKAP PERAWAT DENGAN PELAKSANAAN


KESELAMATAN PASIEN (PATIENT SAFETY) DI
RUMAH SAKIT

OLEH :

YUNITA FITRIAH
19.14201.90.10.P

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BINA HUSADA
PALEMBANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya

sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga

mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi

dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.

Dalam harapan penyusun semoga makalah ini dapat menambah

pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, untuk kedepannya dapat

meperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman penyusun, sehingga

masih banyak kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu penyusun sangat

mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi

kesempurnaan makalah ini.

Palembang, Januari 2021

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Pelayanan keperawatan merupakan cerminan utama dari keberhasilan suatu

pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan mengutamakan keselamatan pasien,

hal ini sesuai dengan gagasan Hiprocrates yaitu Primum, non nocere (First, do no

harm) (Depkes dalam Darliana, 2016). Keselamatan adalah kebutuhan dasar

manusia dan kebutuhan prioritas kedua setelah kebutuhan fisiologis pada hierarki

kebutuhan Maslow yang harus terpenuhi (Potter & Perry dalam Darliana, 2016).

Rumah sakit mempunyai dampak yang besar dalam meningkatkan kesehatan.

Sesuai dengan tujuannya rumah sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan

kesehatan memiliki peran yang sangat strategis dalam upaya mempercepat

peningkatan derajat kesehatan masyarakat Indonesia (Aditama, 2010). Setiap saat

rumah sakit dituntut untuk meningkatkan kualitas pelayanannya. Pasar bebas Asia

Pasifik pada tahun 2020, akan lebih mempengaruhi berbagai aspek

penyelenggaraan pelayanan kesehatan terutama pelayanan di bidang

perumahsakitan. Pengembangan rumah sakit kelas dunia prinsip dasarnya

berorientasi pada pasien (Patient Centeredness) (Anonimous dalam Renoningih,

2016).

Patient Safety merupakan masalah kesehatan publik mempengaruhi tingkat

perkembangan suatu negara. Patient Safety diberlakukan pada tahun 2004 untuk

memobilisasi upaya global untuk meningkatkan keamanan kesehatan untuk pasien

di semua negara-negara anggota World Health Organization (WHO). World


Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa jutaan pasien di seluruh

dunia menderita cedera atau kematian setiap tahun karena praktek dan pelayanan

medis yang tidak aman sementara satu dari sepuluh pasien dirugikan saat

menerima pelayanan kesehatan di rumah sakit (Andermann dalam Renoningsih,

2016).

Patient safety merupakan suatu proses pemberian pelayanan rumah sakit

terhadap pasien yang lebih aman. Proses ini mencegah terjadinya cedera yang

disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak

mengambil tindakan yang seharusnya diambil. Implementasi patient safety di

dunia, termasuk di Indonesia berawal ketika Institute of Medicine (IOM) pada

tahun 2000 menerbitkan laporan “To Err Is Human: Building a Safer Health

System”, yang mengemukakan hasil penelitian angka KTD di beberapa rumah

sakit di Amerika. Angka KTD di Utah dan Colorado sebesar 2,9% dengan angka

kematian 6,6%. Sedangkan angka KTD di New York sebesar 3,7% dengan angka

kematian 13,6% (Kohn, Corrigan, & Donaldson dalam Darliana, 2016).

Tujuan utama penerapan patient safety di rumah sakit adalah mencegah dan

mengurangi terjadinya Insiden Keselamatan Pasien (IKP) dalam pelayanan

kesehatan. Insiden Keselamatan Pasien (IKP) merupakan kejadian atau situasi

yang dapat berpotensi atau mengakibatkan cedera pada pasien yang seharusnya

tidak terjadi. Insiden Keselamatan Pasien (IKP) meliputi Kejadian yang Tidak

Diharapkan (KTD), Kejadian Nyaris Cedera (KNC), Kejadian Potensial Cedera

(KPC), dan Kejadian Sentinel (suatu KTD yang mengakibatkan kematian atau

cedera yang serius) (KKP-RS, 2007, p.3). Angka IKP di Indonesia masih sulit
diperoleh, namun IKP dapat saja terjadi dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit

(Depkes RI & KKPRS dalam Renoningsih, 2016).

Laporan insiden keselamatan pasien di Indonesia berdasarkan provinsi, pada

2007 ditemukan Provinsi DKI Jakarta menempati urutan tertinggi yaitu 37,9% di

antara delapan provinsi lainnya (Jawa Tengah 15,9%, Yogyakarta 13,8%, Jawa

Timur 11,7%, Sumatera Selatan 6,9%, Jawa Barat 2,8%, Bali 1,4%, Aceh 1,07%,

Sulawesi Selatan 0,7%). Bidang spesialisasi unit kerja ditemukan paling banyak

pada unit penyakit dalam, bedah, dan anak yaitu sebesar 56,7% dibandingkan unit

kerja yang lain, sedangkan untuk pelaporan jenis kejadian, KNC lebih banyak

dilaporkan sebesar 47,6% dibandingkan KTD sebesar 46,2% (KKP-RS dalam

Darliana, 2016).

Kesalahan yang mengakibatkan pasien cedera dapat berupa ketidaktepatan

identifikasi pasien yang berakibat kesalahan atau keterlambatan diagnosis,

kegagalan dalam bertindak, kesalahan pengobatan, dan kesalahan dosis atau

metode dalam pemberian obat. Sasaran keselamatan pasien lainnya yang perlu

diperhatikan untuk menghindari cedera pada pasien berupa peningkatan keamanan

obat yang perlu diwaspadai, pengurangan resiko infeksi terkait pelayanan

kesehatan, dan pengurangan resiko jatuh (Leape dalam Darliana, 2016).

Keamanan dan keselamatan pasien dirumah sakit merupakan suatu sistem

dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem keselamatan

pasien dapat dilakukan perawat jika didukung oleh pengetahuan dan sikap yang

baik. Pengetahuan merupakan pedoman untuk membentuk tindakan seseorang,

sedangkan sikap merupakan kecenderungan yang berasal dari dalam diri individu

untuk berkelakuan terhadap suatu objek (Listianawati, 2018).


Upaya penerapan patient safety sangat tergantung dari pengetahuan perawat.

Apabila perawat menerapkan patient safety didasari oleh pengetahuan yang

memadai, maka perilaku patient safety oleh perawat tersebut akan bersifat

langgeng (long lasting). Seorang perawat dalam memberikan asuhan keperawatan

harus memiliki pengetahuan yang benar, keterampilan, dan sikap untuk

menangani kompleksitas perawatan kesehatan. Tanpa pengetahuan yang

memadai, tenaga kesehatan termasuk perawat tidak bias menerapkan dan

mempertahankan budaya keselamatan pasien (Myers dalam Darliana, 2016).

Hasil penelitian Bawelle (2014) tentang hubungan pengetahuan dan sikap

perawat dengan pelaksanaan keselamatan pasien (Patient Safety) di ruang rawat

inap RSUD Liun Kendage Tahuna. Hasil analisis statistik menunjukan hasil

bahwa ada hubungan pengetahuan perawat dengan pelaksanaan keselamatan

pasien (patient safety) di Ruang Rawat Inap RSUD Liun Kendage Tahuna,

p=0,014 (á<0,05). Ada hubungan sikap perawat dengan pelaksanaan keselamatan

pasien (patient safety) di Ruang Rawat Inap RSUD Liun Kendage Tahuna,

p=0,000 (á<0,05).

Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul hubungan pengetahuan dan sikap perawat dengan

pelaksanaan keselamatan pasien (patient safety) di Rumah Sakit.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada

penelitian ini adalah bagaimanakah hubungan pengetahuan dan sikap perawat

dengan pelaksanaan keselamatan pasien (patient safety) di Rumah Sakit?.


1.3 Pertanyaan Penelitian

Apakah ada hubungan pengetahuan dan sikap perawat dengan pelaksanaan

keselamatan pasien (patient safety) di Rumah Sakit?

1.4 Tujuan Penelitian

Diketahui hubungan pengetahuan dan sikap perawat dengan pelaksanaan

keselamatan pasien (patient safety) di Rumah Sakit.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan

perawat terhadap teori-teori dalam pelaksanaan keselamatan pasien (patient

safety) di rumah sakit.

1.5.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan dalam

menyusun kebijakan yang terkait dengan pelaksanaan keselamatan pasien, sehingga

dapat mengurangi terjadinya insiden keselamatan pasien (IKP).


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Keselamatan Pasien (Patient Safety)

2.1.1 Definisi

Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KPRS) adalah suatu sistem dimana RS

membuat asuhan pasien lebih aman.(KKP-RS PERSI 2005). Sedangkan menurut

penjelasan UU 44/2009 tentang Rumah Sakit pasal 43 yang dimaksud dengan

keselamatan pasien (patient safety) adalah proses dalam suatu Rumah Sakit yang

memberikan pelayanan pasien yang lebih aman.

Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit/KKP-RS (2009)

mendefinisikan bahwa keselamatan (safety) adalah bebas dari bahaya atau risiko

(hazard). Keselamatan pasien (patient safety) adalah pasien bebas dari

harm/cedera yang tidak seharusnya terjadi atau bebas dari harm yang potensial

akan terjadi (penyakit, cedera fisik, sosial, psikologi, cacat, kematian dan lain-

lain), terkait dengan pelayanan kesehatan.

Keselamatan pasien menurut Sunaryo (2009) adalah ada tidak adanya

kesalahan atau bebas dari cidera karena kecelakaan. Keselamatan pasien di rumah

sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman

yang meliputi assesment risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang

berhubungan dengan risiko pasien pelaporan dan analisis insiden.

2.1.2 Tujuan Keselamatan Pasien (Patient Safety)

Menurut Depkes RI (2011), tujuan keselamatan pasien di rumah sakit yaitu:

1. Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit


2. Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat

3. Menurunnya kejadian tidak diharapkan (KTD) di rumah sakit

4. Terlaksananya program–program pencegahan sehingga tidak terjadi

pengulangan kejadian tidak diharapkan (KTD)

Dalam upaya pencapaian tujuan keselamatan pasien ini, setiap rumah sakit

wajib melaksanakan sistem keselamatan pasien melalui upaya- upaya sebagai

berikut:

1. Akselerasi program infection control prevention (ICP)

2. Penerapan standar keselamatan pasien dan pelaksanaan 7 langkah menuju

keselamatan pasien rumah sakit. Dan di evaluasi melalui akreditasi rumah

sakit

3. Peningkatan keselamatan penggunaan darah (blood safety).

4. Dievaluasi melalui akreditasi rumah sakit.

5. Peningkatan keselamatan pasien di kamar operasi cegah terjadinya wrong

person, wrong site, wrong prosedure (Draft SPM RS:100% tidak terjadi

kesalahan orang, tempat, dan prosedur di kamar operasi)

6. Peningkatan keselamatan pasien dari kesalahan obat.

7. Pelaksanaan pelaporan insiden di rumah sakit dan ke komite keselamatan

rumah sakit.
2.1.3 Manfaat Program Keselamatan Kerja (Patient Safety)

Menurut Depkes (2011), manfaat program keselamatan kerja (patient

safety) yaitu:

1. Adanya kecenderungan “Green Product” produk yang aman di bidang

industry lain seperti halnya menjadi persyaratan dalam berbagai proses

transaksi, sehingga suatu produk menjadi semakin laris dan dicari masyarakat.

2. Rumah Sakit yang menerapkan keselamatan pasien akan lebih mendominasi

pasar jasa bagi Perusahaan-perusahaan dan Asuransi-asuransi dan

menggunakan Rumah Sakit tersebut sebagai provider kesehatan

karyawan/klien mereka, dan kemudian di ikuti oleh masyarakat untuk mencari

Rumah Sakit yang aman.

3. Kegiatan Rumah Sakit akan lebih memukuskan diri dalam kawasan

keselamatan pasien.

2.1.4 Standar Keselamatan Pasien Rumah Sakit

Setiap rumah sakit wajib menerapkan Standar Keselamatan Pasien Rumah

Sakit. Standar ini diusun merujuk pada “Hospital Patient Safety Standards” yang

dikeluarkan oleh “Joint Comission on Accreditation of Health Organizations,

Illionis, USA dan di Indonesia sudah dijadikan Permenkes

1691/Menkes/Per/VIII/2011 tentang keselamatan pasien rumah sakit. Dalam

penerapannya, standar ini akan dinilai menggunankan Instrumen Akreditasi

Rumah Sakit.Adapun standar tersebut adalah sebagai berikut :

1. Hak Pasien

2. Mendidik pasien dan keluarga

3. Keselamatan pasien dalam kesinambungan pelayanan


4. Penggunaaan metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan

program peningkatan keselamatan pasien

5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien

6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien

7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien

Standar keselamatan pasien di atas jika diurai satu per satu maka akan

lebih jelas maksud dan tujuannya.

1) Standar I : Hak Pasien

Standar :

Pasien dan keluarga mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang

rencana dan hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya Kejadian Tidak

Diharapkan.

Kriteria :

a. Harus ada dokter penanggungjawab pelayanan

b. Dokter penanggungjawab pelayanan wajib membuat rencana pelayanan

c. Dokter penanggungjawab pelayanan wajib memberikan penjelasan secara

jelas dan benar kepada pasien dan keluarganya tentang rencana dan hasil

pelayanan, pengobatan atau prosedur untuk pasien termasuk kemungkinan

terjadinya Kejadian Tidak Diharapkan.

2) Standar II : Mendidik pasien dan keluarga

Standar :

Rumah Sakit harus mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan

tanggungjawab pasien dalam asuhan pasien

Kriteria :
Keselamatan dalam pemberian pelayanan dapat ditingkatkan dengan

keterlibatan pasien yang merupakan partner dalam proses pelayanan. Karena

itu, di rumah sakit harus ada sistem dan mekanisme mendidik pasien dan

keluarga tentang kewajiban dan tanggungjawab pasien dalam asuhan pasien.

Dengan pendidikan tersebut diharapkan pasien dan keluarga dapat :

a. Memberikan informasi yang benar, jelas, lengkap dan jujur

b. Mengetahui kewajiban dan tanggungjawab pasien dan keluarga

c. Mengajukan pertanyaan – pertanyaan untuk hal yang tidak dimengerti

d. Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan

e. Memenuhi instruksi dan menghormati peraturan rumah sakit

f. Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa

g. Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati

3) Standar III : Keselamatan Pasien dan kesinambungan pelayanan

Standar :

Rumah sakit menjamim kesinambungan pelayanan dan menjamin koordinasi

antar tenaga dan antar unit pelayanan.

Kriteria :

a. Terdapat koordinasi pelayanan secara menyeluruh mulai dari saat pasien

masuk, pemeriksaan, diagnosis, perencanaan pelayanan, tindakan

pengobatan, rujukan dan saat pasien keluar dari rumah sakit.

b. Terdapat koordinasi pelayanan yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien

dan kelayakan sumber daya secara berkesinambungan sehingga pada

seluruh tahap pelayanan transisi antar unit pelayanan dapat berjalan baik

dan lancar.
c. Terdapat koordinasi pelayanan yang mencakup peningkatan komunikasi

untuk memfasilitasi dukungan keluarga, pelayanan keperawatan,

pelayanan sosial, konsultasi dan rujukan, pelayanan kesehatan primer dan

tindak lanjut lainnya

d. Terdapat komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan

sehingga dapat tercapainya proses koordinasi tanpa hambatan, aman, dan

efektif.

4) Standar IV : Penggunaan metode peningkatan kinerja untuk melakukan

evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien

Standar :

Rumah sakit harus mendesign proses baru atau memperbaiki proses yang ada,

memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis

secara intensif Kejadian Tidak Diharapkan, dan melakukan perubahan untuk

meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien.

Kriteria :

a. Setiap rumah sakit harus melakukan proses perancangan (design) yang

baik, mengacu pada visi, misi, dan tujuan rumah sakit, kebutuhan pasien,

petugas pelayanan kesehatan, kaidah klinis terkini, praktik bisnis yang

sehat, dan faktor – faktor lain yang berpotensi risiko bagi pasien sesuai

dengan “Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah sakit”

b. Setiap rumah sakit harus melakukan pengumpulan data kinerja yang antara

lain terkait dengan : pelaporan insiden, akreditasi, manajemen risiko,

utilisasi, mutu pelayanan, keuangan.


c. Setiap rumah sakit harus melakukan evaluasi terkait dengan semua

Kejadian Tidak Diharapkan, dan secara proaktif melakukan evaluasi satu

proses kasus risiko tinggi.

d. Setiap rumah sakit harus menggunakan semua data dan informasi hasil

analisis untuk menentukan perubahan sistem yang diperlukan, agar kinerja

dan keselamatan pasien terjamin.

5) Standar V : Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien

Standar :

a. Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program keselamatan

pasien secara terintegrasi dalam organisasi melalui penerapan “Tujuh

Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit”

b. Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif untuk identifikasi

risiko keselamatan pasien dan program menekan atau mengurangi

Kejadian Tidak Diharapkan

c. Pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan koordinasi antar

unit dan individu berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang

keselamatan pasien.

d. Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk mengukur,

mengkaji dan meningkatkan kinerja rumah sakit serta meningkatkan

keselamatan pasien.

e. Pimpinan mengukur dan mengkaji efektifitas kontribusinya dalam

meningkatkan kinerja rumah sakit dan keselamatan pasien

Kriteria :

a. Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola program keselamatan pasien.


b. Tersedia program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan dan

program meminimalkan insiden, yang mencakup jenis-jenis Kejadian yang

memerlukan perhatian, mulai “Kejadian Nyaris Cedera” (Near Miss)

sampai dengan “Kejadian Tidak Diharapkan” (Adverse Event)

c. Tersedia mekanisme kerja untuk menjamin bahwa semua komponen dari

rumah sakit terintegrasi dan berpartisipasi dalam program keselamatan

pasien.

d. Tersedia prosedur “cepat tanggap” terhadap insiden, termasuk asuhan

kepada pasien yang terkena musibah, membatasi risiko pada orang lain

dan penyampaian informasi yang benar dan jelas untuk keperluan analisis

e. Tersedia mekanisme pelaporan internal dan eksternal berkaitan dengan

insiden termasuk penyediaan informasi yang benar dan jelas tentang

Analisis Akar Masalah (RCA) “Kejadian Nyaris Cedera” (Near Miss) dan

“Kejadian Sentinel” pada saat program keselamatan pasien mulai

dilaksanakan.

f. Tersedia mekanisme untuk menangani berbagai jenis insiden, misalnya

menangani “Kejadian Sentinel” (Sentinel Event) atau kegiatan proaktif

untuk memperkecil risiko, termasuk mekanisme untuk mendukung staf

dalam kaitan dengan “Kejadian Sentinel”

g. Terdapat kolaborasi dan komunikasi terbuka secara sukarela antar unit dan

antar pengelola pelayanan di dalam rumah sakit dengan pendekatan antar

disiplin.
h. Tersedia sumber daya dan sistem informasi yang dibutuhkan dalam

kegiatan perbaikan kinerja rumah sakit dan perbaikan keselamatan pasien,

termasuk evaluasi berkala terhadap kecukupan sumber daya tersebut

i. Tersedia sasaran terukur, dan pengumpulan informasi menggunakan

kriteria objektif untuk mengevaluasi efektifitas perbaikan kinerja rumah

sakit dan keselamatan pasien, termasuk rencana tindak lanjut dan

implementasinya.

6) Standar VI : Mendidik staf tentang keselamatan pasien

Standar :

a. Rumah sakit memiliki proses pendidikan, pelatihan dan orientasi untuk

setiap jabatan mencakup keterkaitan jabatan dengan keselamatan pasien

secara jelas.

b. Rumah sakit menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang

berkelanjutan untuk meningkatkan dan memelihara kompetensi staf serta

mendukung pendekatan interdisiplin dalam pelayanan pasien.

Kriteria :

a. Setiap rumah sakit harus memiliki program pendidikan, pelatihan serta

orientasi bagi staf baru yang memuat topik keselamatan pasien sesuai

dengan tugasnya masing – masing.

b. Setiap rumah sakit harus mengintegrasikan topik keselamatan pasien

dalam setiap kegiatan in – service training dan memberi pedoman yang

jelas tentang pelaporan insiden.


c. Setiap rumah sakit harus menyelenggarakan pelatihan tentang kerjasama

kelompok (teamwork) guna mendukung pendekatan interdisiplin dan

kolaboratif dalam rangka melayani pasien.

7) Standar VII : Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai

keselamatan pasien.

Standar :

a. Rumah sakit merencanakan dan merancang proses manajemen informasi

keselamatan pasien untuk memenuhi kebutuhan informasi internal dan

eksternal.

b. Transmisi data dan informasi harus tepat waktu dan akurat

Kriteria :

a. Perlu disediakan anggaran untuk merencanakan dan merancang proses

manajemen untuk memperoleh data dan informasi tentang hal – hal terkait

dengan keselamatan pasien.

b. Tersedia mekanisme identifikasi masalah dan kendala komunikasi untuk

merevisi manajemen informasi yang ada

2.1.5 Pengukuran Resiko Jatuh

Risiko jatuh dapat dianalisis dengan skala atau instrumen

pengukuran. Salah satu instrumen yaitu skala pengukuran Morse Fall

Scale (MFS). Morse Fall Scale merupakan suatu skala yang digunakan

untuk mengukur tingkat risiko jatuh pada orang dewasa yang dibagi

menjadi tiga, yaitu risiko tinggi, risiko rendah dan tidak beresiko (Menap,

2018).

Assesmen Resiko Jatuh Pasien Dewasa dengan menggunakan


Skala Morse Fall. Tata laksana pengisian Formulir Skala Morse Fall :

a. Kotak Identitas harus diisi lengkap, meliputi : Nama pasien, Nomor

Rekam Medis pasien, Tanggal lahir Pasien, dan jenis kelamin pasien

b. Kotak berikutnya diisi tanggal dan jam assesment, dan nma ruangan

tempat pasien di rawat

c. Cara melakukan Scoring :

1. Riwayat jatuh:

a. Skor 25 bila pasien pernah jatuh sebelum perawatan saat ini,

atau jika ada riwayat jatuh fisiologis karena kejang atau

gangguan gaya berjalan menjelang dirawat.

b. Skor 0 bila tidak pernah jatuh.

Catatan: bila pasien jatuh untuk pertama kali, skor langsung 25.

2. Diagnosis sekunder:

a. Skor 15 jika diagnosis medis lebih dari satu dalam status

pasien.

b. Skor 0 jika tidak.

3. Bantuan berjalan:

a. Skor 0 jika pasien berjalan tanpa alat bantu/ dibantu,

menggunakan kursi roda, atau tirah baring dan tidak dapat

bangkit dari tempat tidur sama sekali.

b. Skor 15 jika pasien menggunakan kruk, tongkat, atau walker

c. Skor 30 jika pasien berjalan mencengkeram furnitur untuk

topangan.

4. Jika terpasang infus


a. Skor 20 jika pasien terpasang infus.

b. Skor 0 jika tidak terpasang infus

5. Gaya berjalan/ transfer:

a. Skor 0 jika gaya berjalan normal dengan ciri berjalan dengan

kepala tegak, lengan terayun bebas disamping tubuh, dan

melangkah tanpa ragu- ragu.

b. Skor 10 jika gaya berjalan lemah, membungkuk tapi dapat

mengangkat kepala saat berjalan tanpa kehilangan

keseimbangan. Langkah pendek- pendek dan mungkin diseret.

c. Skor 30 jika gaya berjalan terganggu, pasien mengalami

kesulitan bangkit dari kursi, berupaya bangun dengan

mendorong lengan kursi atau dengan melambung

(menggunakan beberapa kali upaya untuk bangkit). Kepala

tertunduk, melihat ke bawah. Karena keseimbangan

pasien buruk, menggenggam furnitur, orang, atau alat bantu

jalan dan tidak dapat berjalan tanpa bantuan.

6. Status mental:

a. Skor 0 jika penilaian diri terhadap kemampuan berjalannya

normal. Tanyakan pada pasien, “Apakah Bapak dapat pergi ke

kamar mandi sendiri atau perlu bantuan?” Jika jawaban pasien

menilai dirinya konsisten dengan kemampuan ambulasi, pasien

dinilai normal.
b. Skor 15 jika respon pasien tidak sesuai dengan kemampuan

ambulasi atau jika respon pasien tidak realistis, dan pasien

over estimate kemampuan dirinya dan lupa keterbatasannya

Masing-masing aspek memiliki skor, dan skor kemudian

dijumlahkan. Hasil penjumlahan bila skor sebesar 0-24, maka tidak

beresiko, skor 25-50 termasuk kategori risiko rendah dan skor ≥ 51

maka risiko tinggi (Menap, 2018).

2.1.6 Peran Perawat dalam Keselamatan Pasien (Patient Safety)

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor

1239/MenKes/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat pada pasal 1

ayat 1 yang berbunyi Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan

perawat baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang undangan yang berlaku.

Menurut ICN (International Council of Nursing) tahun 1965, perawat

adalah seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan keperawatan yang

memenuhi syarat serta berwenang di negeri bersangkutan untuk memberikan

pelayanan keperawatan yang bertanggung jawab untuk meningkatkan kesehatan,

pencegahan penyakit dan pelayanan penderita sakit.

Peran Perawat merupakan tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain

terhadap seseorang sesuai dengan kedudukan dalam sistem, dimana dapat

dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari profesi perawat maupun dari luar

profesi keperawatan yang bersifat konstan.

Sesuai dengan yang tercantum di Permenkes 1691 tahun 2011 tentang

keselamatan pasien rumah sakit pada pasal 8 yang berisikan “Rumah sakit dan
tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit wajib melaksanakan program

dengan mengacu pada kebijakan nasional Komite Nasional Keselamatan Pasien

Rumah Sakit”. Hal ini dapat didefinisikan bahwa perawat memiliki kewajiban dan

berperan penting dalam keselamatan pasien di rumah sakit.

2.2 Konsep Dasar Perawat

2.2.1 Definisi Perawat

Perawat adalah seseorang yang memiliki pengetahuan keterampilan dan

kewenangan untuk memberikan asuhan keperawatan pada orang lain berdasarkan

ilmu dan kiat yang dimilikinya dalam batas-batas kewenangan yang dimilikinya.

Sementara itu, dalam keputusan menteri kesehatan Nomor 1239/SK/XI/2001

disebutkan bahwa perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat

baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. (Damayanti, 2017)

Perawat merupakan seseoarang yang telah lulus pendidikan perawat dan

memiliki kemampuan serta kewenangan melakukan tindakan keperawatan

berdasarkan bidang keilmuan yang dimiliki dan memberikan pelayanan kesehatan

secara holistik dan professional untuk individu sehat maupun sakit, perawat

berkewajiban memenuhi kebutuhan pasien (Asmadi, 2015).

Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan

bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat

keperawatan, berbentuk pelayanan biopsikososial dan spiritual yang

komprehensif, ditujukan kepada individu, keluarga dan masyarakat baik sakit

maupun sehat yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia (Hidayat, 2012).
2.2.2 Peran Perawat

Peran perawat merupakan tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain

terhadap seseorang sesuai dengan kependudukan dalam sistem, dimana dapat

dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari profesi perawat maupun dari luar

profesi keperawatan yang bersifat konstan (Hidayat, 2012).

Sedangkan menurut Mubarak & Chayatin (2009), peran perawat adalah

seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang,

sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Peran dipengaruhi oleh keadaan sosial,

baik dari dalam maupun dari luar dan bersifat stabil.

Peran perawat menurut Konsorsium Ilmu Kesehatan tahun 1989 dalam

Hidayat (2012) yaitu :

1. Pemberi asuhan keperawatan

Peran ini dilakukan perawat dengan memperhatikan keadaan kebutuhan dasar

manusia yang dibutuhkan  melalui pemberian pelayanan keperawatan dengan

menggunakan proses keperawatan, dari yang sederhana sampai dengan

kompleks

2. Advokat pasien

Peran ini dilakukan perawat dalam membantu klien dan keluarga untuk

menginterprestasikan berbagai informasi dari pemberi pelayanan atau

informasi lain khususnya dalam pengambilan persetujuan atas tindakan

keperawatan yang diberikan kepada pasien mempertahankan dan melindungi

hak-hak pasien meliputi : hak atas pelayanan sebaik-baiknya, hak atas

informasi tentang penyakitnya, hak atas privasi, hak untuk menentukan

nasibnya sendiri, hak menerima ganti rugi akibat kelalaian.


3. Pendidik/Edukator

Peran ini dilakukan dengan membantu klien dalam meningkatkan tingkat

pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan yang diberikan,

sehingga terjadi perubahan perilaku dari klien setelah dilakukan pendidikan

kesehatan. Pendidikan kesehatan merupakan usaha atau kegiatan untuk

membantu individu, keluarga atau masyarakat dalam meningkatkan

kemampuan untuk mencapai kesehatan yang optimal. Menurut Notoadmojo

(2012) tujuan pendidikan kesehatan adalah untuk meningkatkan status

kesehatan dan mencegah timbulnya penyakit, mempertahankan derajat

kesehatan yang sudah ada, memaksimalkan fungsi dan peran pasien selama

sakit serta membantu pasien dan keluarga untuk mengatasi masalah kesehatan.

4. Koordinator 

Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencanakan serta

mengorganisasi pelayanan kesehatan dari tim kesehatan sehingga pemberian

pelayanan kesehatan dapat terarah serta sesuai dengan kebutuhan klien.

5. Kolaborator 

Peran ini dilakukan karena perawat bekerja melalui tim kesehatan yang terdiri

dari dokter, fisioterapis, ahli gizi dan lain-lain berupaya mengidentifikasi

pelayanan keperawatan yang diperlukan termasuk diskusi atau tukar pendapat

dalam penentuan bentuk pelayanan selanjutnya

6. Konsultan 

Peran perawat sebagai tempat konsultasi terhadap masalah atau tindakan

keperawatan yang tepat untuk diberikan.  Peran ini dilakukan atas permintaan
klien terhadap informasi tentang tujuan pelayanan keperawatan yang

diberikan.

7. Pembaharu

Peran perawat dilakukan untuk mengadakan perencanaan, kerja sama,

perubahan yang sistematis dan terarah sesuai dengan metode pemberian

pelayanan keperawatan.

2.2.3 Fungsi Perawat

Adapun fungsi perawat menurut Bequeen dalam Hidayat (2012) adalah

sebagai berikut :

1. Fungsi Independen

a. Dalam fungsi ini, tindakan perawat tidak memerlukan perintah dokter.

b. Tindakan perawat bersifat mandiri, berdasarkan pada ilmu keperawatan.

c. Perawat bertanggung jawab terhadap akibat yang timbul dari tindakan

yang diambil. Contoh: melakukan pengkajian

2. Fungsi Dependen

a. Perawat membantu dokter memberikan pelayanan pengobatan dan

tindakan khusus yang menjadi wewenang dokter dan seharusnya dilakukan

dokter, seperti pemasangan infus, pemberian obat, dan melakukan

suntikan.

b. Oleh karena itu, setiap kegagalan tindakan medis menjadi tanggung jawab

dokter

3. Fungsi Interdependen

Tindakan perawat berdasar pada kerja sama dengan tim perawatan atau tim

kesehatan. Contoh: untuk menangani ibu hamil yang menderita diabetes,

perawat bersama tenaga gizi berkolaborasi membuat rencana untuk


menentukan kebutuhan makanan yang diperlukan bagi ibu dan perkembangan

janin.

2.3 Konsep Sikap

2.3.1 Definisi Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respons seorang yang masih tertutup

terhadap suatu stimulus atau obyek. Manifestasi dari sikap tidak dapat langsung

terlihat, tetapi hanya ditapsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup.

Dalam kehidupan sehari-hari pengertian sikap adalah reaksi yang bersifat

emosional terhadap stimulus social. Dari pengertian ini dapat digaris bawahi

bahwa selama perlaku itu masih tertutup, maka dinamakan sikap sedangkan

apabila sudah terbuka itulah perilaku yang sebenarnya yang ditunjukan seseorang

(Adnani, 2012)

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang

terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap dapat langsung dilihat,

tetapi hanya dapat ditafsirkan dari perilaku yang tertutup. Sikap belum merupakan

suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu

perilaku. (Notoadmodjo, 2012). Sikap adalah keadaan diri dalam manusia yang

menggerakan untuk bertindak atau berbuat dalam kegiatan social dengan perasaan

tertentu dalam menanggapi objek situasi atau kondisi di lingkungan sekitarnya.

Selain itu, sikap juga memberikan kesiapan untuk merespon sifat positif atau

negatif terhadap objek atau situasi (Fitriyah L, 2014).

Sikap adalah pernyataan evaluatif terhadap objek, orang, atau peristiwa.

Hal ini mencerminkan perasaan seseorang terhadap sesuatu. Pernyataan evaluatif


merupakan reaksi respons terhadap objek, orang, dan peristiwa yang merupakan

stimulus (Budiman & Agus, R. 2013). Sikap merupakan reaksi atau respon

seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulasi atau objek (Notoadmojo,

2012). Menurut peneliti, asumsi Sikap tindakan atau perbuatan dalam kehidupan

sehari-hari terhadap lingkungan nya

2.3.2 Komponen Sikap

Menurut Fitriyah L (2014) Sikap memiliki tiga komponen yang

membentuk struktur sikap, yang ketiganya saling menunjang, yaitu komponen

kognitif, afektif, dan konatif:

1. Komponen Kognitif (komponen kepercayaan)

Komponen kognitif merupakan aspek sikap yang berkenaan dengan

penilaian individu terhadap objek atau subjek. Informasi yang masuk ke dalam

otak manusia, melalui proses analisis, sintesis, dan evaluasi akan menghasilkan

nilai baru yang akan di akomodasi atau diasimilasikan dengan

pengetahuanyang telah ada dalam otak manusia. Nilai-nilai baru yang diyakini

benar, baik, indah, dan sebagainya, pada akhirnya akan mempengaruhi emosi

atau komponen afektif dari sikap individu.

2. Komponen Afektif (Komponen Emosional)

Aspek ini dikatakan sebagai perasaan (emosi) individu terhadap objek atau

subjek yang sejalan dengan hasil penilaiannya.

3. Komponen Konatif (Komponen Kecenderungan)

Komponen kecenderungan bertindak, berkenaan dengan keinginan individu

untuk melakukan perbuatan sesuai dengan keyakinan dan keinginannya. Sikap

seseorang terhadap suatu subjek atau objek dapat bersifat positif atau negative.
Perwujudan sikap terlihat dari tanggapan seseorang apakah ia menerima atau

menolak, setuju atau tidak setuju terhadap objek atau subjek.

2.3.3 Tingkatan Sikap Berdasarkan Intensitasnya

Menurut Notoatmodjo (2012) Sikap juga mempunyai tingkat-tingkat

berdasarkan intensitasnya yaitu sebagai berikut :

1. Menerima (Receiving)

Menerima, diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan

stimulus yang diberikan (objek). Misalnya sikap orang terhadap gizi dapat

diliihat dari kesediaan dan perhatian ini terhadap ceramah-ceramah

2. Merespons (Responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas

yang telah diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu

usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan,

lepas pekerjaan itu benar atau salah, berarti orang menerima ide tersebut.

3. Menghargai (Valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang

lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya,

seseorang ibu yang mengajak ibu yang lain (tetangganya, saudaranya, dan

sebagainya), untuk pergi menimbang anaknya ke posyandu, atau

mendiskusikan tentang gizi , adalah suatu bukti bahwa si ibu tersebut telah

mempunyai sikap positif terhadap gizi anak.


4. Bertanggung Jawab (Responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan

segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.

2.3.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap

Menurut Budiman & Riyanto (2013), proses belajar sosial terbentuk dari

interaksi sosial. Dalam interaksi sosial, individu membentuk pola sikap tertentu

terhadap berbagai objek psikologis yang dihadapinya. Diantara berbagai faktor

yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah:

1. Pengalaman Pribadi

Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi harus

meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu, sikap akan lebih mudah terbentuk

apabila pengalaman pribadi tersebut melibatkan faktor emosional.

2. Kebudayaan

B.F Skinner menekankan pengaruh lingkungan (termasuk kebudayaan) dalam

membentuk kepribadian seseorang. Kepribadian tidak lain daripada pola

perilaku yang konsisten yang menggambarkan sejarah penguatan yang

dimiliki.

3. Orang Lain yang Dianggap Penting

Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan

keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting

tersebut.
4. Media Massa

Sebagai sarana komunikasi, berbagai media massa seperti televise, radio,

mempunyai pengaruh besar dalam pembentukkan opini dan kepercayaan

orang.

5. Institusi Pendidikan dan Agama.

Sebagai suatu system, institusi pendidikan dan agama mempunyai pengaruh

kuat dalam pembentukan sikap karena keduanya meletakan dasar pengertian

dan konsep moral dalam diri individu.

6. Faktor Emosi dalam Diri.

Tidak semua bentuk sikap ditentukan oleh situasi lingkungan dan pengalaman

pribadi seseorang. Sikap demikian bersifat sementara dan segera berlalu begitu

frustasi telah hilang akan tetapi dapat pula merupakan sikap yang lebih

persisten dan lebih tahan lama. Contohnya, bentuk sikap yang didasari oleh

faktor emosional adalah prasangka (Fitriyah L, 2014).

2.3.5 Cara Mengukur Sikap

Skala Likert: digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi

seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial. Dengan kriteria

penilaian sebagai berikut:

Pernyataan Positif Pernyataan Negatif


1 Sangat Setuju (SS) 4 0
2 Setuju (S) 3 1
3 Kurang Setuju 2 2
4 Tidak Setuju (TS) 1 3
5 Sangat Tidak Setuju (STS) 0 4

Nilai untuk masing-masing pernyataan dan seseorang sangat setuju terhadap

pernyataan tersebut maka orang yang bersangkutan memperoleh skor 4.


sebaliknya bila sesuatu pernyataan bersifat negative dan orang memperoleh skor

0. Jumlah nilai yang dicapai oleh seseorang merupakan indikasi bahwa seseorang

tersebut sikapnya makin positif terhadap objek sikap demikian sebaliknya.

Prosedur perskalaan (scaling) yaitu penentuan pemberian angka atau skor yang

harus diberikan pada setiap kategori respon perskala terhadap pernyataan

favorable dan pernyataan unfavorable (Notoatmodjo, 2012).

Menurut Budiman & Riyanto (2013), hasil ukur sikap dikategorikan

menjadi dua, yaitu:

1. Positif bila nilainya ≥ mean

2. Negatif bila nilainya < mean

2.4 Konsep Pengetahuan

2.4.1 Definisi

Pengetahuan adalah hasil ‘tahu’, dan ini terjadi setelah orang melakukan

penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui

pancaindra manusia, yakni: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan

raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melauli mata dan telinga

(Notoatmodjo, 2012). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), pengetahuan

adalah sesuatu yang diketahui berkaitan dengan proses pembelajaran. Proses

belajar ini dipengaruhi berbagai faktor dari dalam, seperti motivasi dan faktor luar

berupa sarana informasi yang tersedia, serta keadaan sosial budaya. Dalam

Wikpedia, pengetahuan adalah informasi atau maklumat yang diketahui atau

disadari oleh seseorang (Budiman & Agus, R. 2013).

Pengetahuan diperoleh dari informasi baik secara lisan ataupun tertulis

dari pengalaman seseorang. Pengetahuan diperoleh dari fakta atau kenyataan


dengan mendengar radio, melihat televise, dan sebagainya. Serta dapat diperoleh

dari pengalaman berdasarkan pemikiran kritis. Pengetahuan merupakan domain

yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Dengan kata lain

pengetahuan mempunyai pengaruh sebagai motivasi awal bagi seseorang dalam

berprilaku. Namun perlu diperhatikan bahwa perubahan pengetahuan tidak selalu

menyebabkan perubahan prilaku, walaupun hubungan positif antara variabel

pengetahuan dan variabel perilaku telah banyak diperlihatkan (Sembiring R,

2011).

Menurut peneliti, asumsi Pengetahuan merupakan pengalaman seseorang

berdasarkan kejadiaan yang nyata atau fakta yang mempengaruhi motivasi dan

faktor luar berupa sarana informasi yang tersedia, serta keadaan sosial budaya.

2.4.2 Tingkat Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2012) Untuk mengukur tingkat pengetahuan terdiri

dari enam, antara lain:

1. Tahu ( know)

Tahu diartikan sebagai suatu kemampuan untuk mengingat sesuatu materi yang

telah dipelajari sebelumnya. Termasuk dalam tingkat ini adalah mengingat

kembali (recall) terhadap sesuatu spesifik terhadap suatu bahan yang telah

dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh karena itu, tahu ini

merupakan sumber tingkat pengetahuan yang lebih rendah.

2. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai kemampuan menjelaskan secara benar tentang

objek yang diketahui dan dapat mengintrepretasi materi tersebut secara benar.

Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan,
menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap

objek yang dipelajari.

3. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah

dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Dalam situasi yang lain

misalnya dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah dalam

pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang diberikan

4. Analisis (analysis)

Analisis merupakan kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek

kedalam komponen-komponen, tetapi masih didalam suatu struktur organisasi

tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain.

5. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjuk pada suatu kemampuan untuk melakukan atau

menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru

dari formulasi-formulasi yang ada.


6. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau

penilaian terhadap sesuatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu

berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan criteria-

kriteria yang telah ada.

2.4.3 Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Menurut Budiman & Riyanto (2013), pengetahuan seseorang

dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain yaitu:

1. Pendidikan

Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan

kemampuan di dalam dan di luar sekolah (baik formal maupun nonformal),

berlangsung seumur hidup. Pendidikan adalah sebuah proses pengubahan sikap

dan tata laku seseorang atau kelompok dan juga usaha mendewasakan manusia

melalui upaya pengajaran dan pelatihan.

Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan

seseorang, makin mudah orang tersebut untuk menerim informasi. Dengan

pendidikan tinggi, maka seseorang akan cenderung untuk mendapatkan informasi,

baik dari orang lain maupun dari media massa. Semakin banyak informasi yang

masuk semakin banyak pula pengetahuan yang didapat tentang kesehatan.

2. Informasi/Media Massa

Informasi didefinisikan sebagai suatu tehnik untuk mengumpulkan,

meyiapkan, menyimpan, memanipulasi, mengumumkan, menganalisis, dan

menyebarkan informasi dengan tujuan tertentu (Undang-Undang Teknologi

Informasi). Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non
formal dapat membersihkan pengaruh jangka pendek (immediate impact).

Sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan.

3. Sosial, Budaya, dan Ekonomi

Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan oleh orang-orang tanpa melalui

penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk. Dengan demikian,, seseorang

akan bertambah pengetahuannya walaupun tidak melakukan. Status ekonomi

seseorang juga akan menentukan tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan untuk

kegiatan tertentu sehingga status sosial ekonomi ini akan mempengaruhi

pengetahuan seseorang.

4. Lingkungan

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitar individu, baik

lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh terhadap

proses masuknya pengetahuan ke dalam individu yang berada dalam lingkungan

tersebut. Hal ini terjadi karena adanya interaksi timbal balik ataupun tidak, yang

akan direspons sebagai pengetahuan oleh setiap individu.

5. Pengalaman

Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk

memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali

pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi masa

lalu.

6. Usia

Usia mempengaruhi daya tangkap dan pola piker seseorang. Semakin

bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya
sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik (Budiman & Agus,

R. 2013).

Menurut Budiman & Riyanto (2013) pengetahuan seseorang dapat

diketahui dan diinterpretasikan dengan kategori, yaitu :

a. Pengetahuan dikatakan baik jika seseorang mampu menjawab pertanyaan

yang diberikan dengan skor benar > 75%

b. Pengetahuan dikatakan kurang jika seseorang mampu menjawab pertanyaan

yang diberikan dengan skor benar < 75%

Perawat memiliki kemampuan dan kewenangan melakukan tindakan

keperawatan berdasarkan ilmu yang dimiliki dan diperoleh melalui pendidikan

keperawatan. Perawat harus menyadari perannya sehingga harus berpartisipasi

aktif dalam mewujudkan keselamatan pasien rumah sakit. Perawat harus

memahami tentang apa yang dimaksud dengan keselamatan pasien rumah sakit

(KPRS) serta dalam pelaksanan pelayanan harus mengetahui enam sasaran

keselamatan pasien yaitu: ketepatan identifikasi pasien, peningkatan komunikasi

efektif peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai, kepastian tepat lokasi,

tepat prosedur, tepat pasien operasi, pengurangan resiko infeksi terkait pelayanan

kesehatan, pengurangan resiko jatuh sehingga perawat dapat melaksanakan

asuhan keperawatan kepada pasien secara aman (Renoningsih, 2016).

Perilaku yang terbentuk pada individu dipengaruhi oleh persepsi individu

berupa pengetahuan dan keyakinan terhadap suatu objek. Pengetahuan seseorang

erat hubungannya dengan tindakan seseorang dalam memenuhi kewajibannya,

sehingga pendidikan lanjut sangat penting dalam usaha meningkatkan perawat

dalam memperoleh pengetahuan. Keselamatan pasien bagi perawat tidak hanya


merupakan pedoman tentang apa yang seharusnya dilakukan, namun keselamatan

pasien merupakan komitmen yang tertuang dalam kode etik perawat dalam

memberikan pelayanan yang aman, sesuai kompetensi, dan berlandaskan kode

etik bagi pasien (Darliana, 2016).


2.5 Penelitian Terkait

Nama Metode Perbedaan dengan


No Judul penelitian Tahun Tujuan penelitian Hasil penelitian
penelitian penelitian peneliti
1 Bawelle Hubungan pengetahuan 2014 Metode Untuk mengetahui Hasil analisis statistik menunjukan hasil Variabel penelitian
dan sikap perawat kuantitatif hubungan pengetahuan bahwa ada hubungan pengetahuan perawat
dengan pelaksanaan dan sikap perawat dengan pelaksanaan keselamatan pasien
keselamatan pasien dengan pelaksanaan (patient safety) di Ruang Rawat Inap
(Patient Safety) di ruang keselamatan pasien RSUD Liun Kendage Tahuna, p-value
rawat inap RSUD Liun (Patient Safety) di =0,014 (<0,05). Ada hubungan sikap
Kendage Tahuna ruang rawat inap RSUD perawat dengan pelaksanaan keselamatan
Liun Kendage Tahuna pasien (patient safety) di Ruang Rawat
Inap RSUD Liun Kendage Tahuna, p-
value=0,000 (α<0,05).
2 Darliana Hubungan pengetahuan 2016 Metode Untuk mengetahui Hasil penelitian menunjukkan terdapat Jumlah responden
perawat dengan upaya kuantitatif hubungan pengetahuan hubungan pengetahuan perawat dengan
penerapan patient safety perawat dengan upaya upaya penerapan patient safety dengan p-
di ruang rawat inap penerapan patient value 0,001.
Rumah Sakit Umum safety di ruang rawat
Daerah dr. Zainoel inap Rumah Sakit
Abidin Banda Aceh Umum Daerah dr.
Zainoel Abidin Banda
Aceh
3 Listianawati Hubungan pengetahuan 2018 Metode Untuk mengetahui Hasil penelitian pengetahuan perawat Jumlah responden
perawat tentang kuantitatif hubungan pengetahuan tentang keselamatan pasien (patient safety)
keselamatan pasien perawat tentang di ruang rawat inap kelas III RSUD dr.
(patient safty) dengan keselamatan pasien Loekmono Hadi Kudus masuk dalam
sikap perawat terhadap (patient safty) dengan kategori baik sebanyak 51 orang (87,9%),
pemberian obat diruang sikap perawat terhadap dan pengetahuan kurang baik hanya
rawat inap kelas III pemberian obat diruang sebanyak 7 orang (12,1%). Sedangkan
RSUD dr. Loekmono rawat inap kelas III sikap perawat dalam memberian obat
Hadi Kudus RSUD dr. Loekmono dalam kategori baik sebanyak 55 orang
Hadi Kudus (94,8%), pada kategori sikap kurang baik
sebanyak 3 orang (5,2%). Hasil analisis
bivariat diperoleh nilai p value = 0,002
dimana p lebih kecil dari α = 0,05 maka Ha
diterima dan Ho ditolak. Ada hubungan
yang signifikan antara pengetahuan
perawat tentang keselamatan pasien
(patient safety) dengan sikap perawat
terhadap pemberian obat di ruang rawat
inap kelas III RSUD dr. Loekmono Hadi
Kudus.
4 Renongsih Faktor-faktor yang 2016 Metode Untuk mengetahui Hasil penelitian menunjukkan ada Variabel penelitian
berhubungan dengan kuantitatif faktor-faktor yang hubungan antara pendidikan (p = 0,010;
penerapan patient safety berhubungan dengan OR = 2,92), pelatihan (p = 0,039; OR =
di Instalasi Rawat Inap penerapan patient 5,70), pengetahuan (p=0,034; OR =2,44)
Rumah Sakit Umum safety di Instalasi dan motivasi (p=0,032; OR= 2,45 ) dengan
GMIM Pancaran Kasih Rawat Inap Rumah penerapan patient safety di Instalasi Rawat
Manado. Sakit Umum GMIM Inap Rumah Sakit Umum Pancaran Kasih
Pancaran Kasih GMIM Manado.
Manado.
5 Pratama Hubungan tingkat 2017 Metode untuk mengetahui Hasil penelitian menunjukkan 114 Variabel penelitian
pengetahuan tentang kuantitatif hubungan tingkat responden (99,1%) memiliki tingkat
penerapan patient safety pengetahuan tentang pengetahuan tentang penerapan patient
dengan persepsi penerapan patient safety baik dan 1 responden (0,9%)
penerapan patient safety safety dengan persepsi memiliki tingkat pengetahuan cukup.
oleh perawat di RSUD penerapan patient Sedangkan untuk persepsi tentang
dr. Soediran Mangoen safety oleh perawat di penerapan patient safety, 74 responden
Soemarso RSUD dr. Soediran (64%) memiliki persepsi positif dan 41
Wonogiri. Mangoen Soemarso responden (36%) memiliki persepsi
Wonogiri. negatif. Analisis data berdasarkan tes rank
spearman didapatkan (nilai ρ) (0,180) > α
(0,05) yang berarti tidak ditemukan
hubungan tingkat pengetahuan tentang
penerapan patient safety dengan persepsi
penerapan patient safety oleh perawat di
RSUD dr. Soediran Mangoen Soemarso
Wonogiri.
2.6 Kerangka Teori

Bagan 2.1
Kerangka Teori

Faktor Predisposisi
Pengetahuan
Sikap
Praktik

Faktor Pendukung
Perilaku perawat
1. Keluarga
2. Pengalaman

Pelaksanaan keselamatan
Faktor Penguat
pasien
Petugas kesehatan
Tokoh masyarakat
Kenyamanan

Sumber: Notoatmodjo (2012), Budiman & Riyanto (2013), Menap (2018), Hidayat (2012)

2.7 Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan antara

konsep-konsep yang ingin diukur melalui penelitian yang akan dilakukan (Notoadmodjo,

2013). Maka digambarkan kerangka konsep seperti di bawah ini :

Bagan 2.2
Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Pengetahuan
Pelaksanaan Patient
Safety
Sikap
2.8 Hipotesis

1. Ada hubungan pengetahuan dengan pelaksanaan keselamatan pasien (patient safety)

di Rumah Sakit

2. Ada hubungan sikap dengan pelaksanaan keselamatan pasien (patient safety) di

Rumah Sakit
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Desain penelitian ini merupakan penelitian observasi analitik. Berdasarkan

pendekatannya kuantiatif, penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional untuk

menganalisis adanya hubungan pengetahuan dan sikap perawat yang merupakan variabel

independen dengan pelaksanaan keselamatan pasien (patient safety) sebagai variabel

dependen.

3.2 Alur Penelitian

Peneliti menyampaikan surat permohonan izin penelitian


kepada direktur RS

Peneliti menerima surat balasan izin penelitian dari


Tahap Persiapan direktur RS

Peneliti mendatangi ruangan rawat inap RS dan meminta


izin kepada kepala ruangan untuk melakukan penelitian di
ruangan tersebut

Setelah mendapat izin, peneliti menetapkan responden

Peneliti memberikan penjelasan mengenai maksud dan


tujuan penelitian yang akan dilakukan

Responden bersedia

Tahap penatalaksanaan
Responden menandatangani surat persetujuan

Peneliti memberikan lembar kuesioner

Lembar kuesioner dikumpulkan dan dilakukan


Tahap pengecekan
pendokumentasian
Data dianalisis dengan menggunakan SPSS
3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua perawat Ruang Rawat Inap

3.3.2 Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian perawat di Rumah Sakit. Pada penelitian

kali ini sampel yang akan diambil adalah perawat yang bekerja di ruang rawat inap bedah.

3.4 Variabel Penelitian

Dalam penelitian variabel independen adalah pengetahuan dan sikap sedangkan

variabel dependen pelaksanaan keselamatan pasien (patient safety).

3.5 Definisi Variabel Operasional

Definisi Skala
No Variabel Cara ukur Alat ukur Hasil ukur
operasional Ukur
1 Keselamatan Proses dalam suatu Wawancara Kuesioner 1. Tidak Ordinal

pasien/patie Rumah Sakit yang dan beresiko (bila

nt safety memberikan observasi skor 0-24),

pelayanan pasien 2. Resiko

yang lebih aman rendah (bila

skor 25-50)

3. Resiko tinggi

(bila skor >

51)
2 Pengetahuan Semua yang Wawancara Kuesioner 1. Baik : bila Ordinal

diketahui perawat dan responden

tentang kuesioner dapat


keselamatan pasien menjawab >

(patient safety) 75%

pertanyaan

dengan benar

2. Kurang : bila

responden

dapat

menjawab <

75%

pertanyaan

dengan benar
3 Sikap Keadaan perawat Wawancara Skala likert 1. Positif: bila

untuk bertindak checklist responden

atau berbuat dalam mendapatkan

memenuhi skor > 36

keselamatan pasien 2. Negatif: bila

(patient safety) responden

mendapatkan

skor < 36

3.6 Instrumen Penelitian

Instrumen dalam penelitian ini adalah lembar kuesioner, lembar observasi dan lembar

checklist. Pengisian kuesioner pengetahuan perawat dengan kategori yaitu baik (bila >

75% menjawab benar) dan kurang (bila < 75% menjawab benar), sikap dengan kategori
positif (bila skor > mean) dan negatif (bila skor < mean) dan pelaksanaan keselamatan

pasien (patient safety) dengan kategori tidak beresiko (bila skor 0-24), resiko rendah (bila

skor 25-50) dan resiko tinggi (bila skor > 51). Penilaian skala likert dalam penelitian ini

yaitu:

Pernyataan Positif Pernyataan Negatif


1 Sangat Setuju (SS) 4 0
2 Setuju (S) 3 1
3 Kurang Setuju 2 2
4 Tidak Setuju (TS) 1 3
5 Sangat Tidak Setuju (STS) 0 4

3.7 Cara Pengumpulan Data

3.7.1 Data Primer

Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari lembar observasi dan lembar

kuesioner.

3.7.2 Data Sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini berupa data-data perawat yang ada di Rumah

Sakit, buku-buku serta jurnal terkait dengan penelitian.

3.7.3 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan wawancara langsung dan

lembar kuesioner yang dibagikan kepada responden.

3.8 Pengolahan Data dan Metode Analisa Data

3.8.1 Pengolahan Data

Untuk memudahkan pengolahan data, maka dilakukan beberapa tahapan meliputi:

1. Editing (Pengeditan)
Dalam hal ini penelitian melakukan pengecekan isian formulir atau kuesioner apakah

jawaban yang ada di lembar observasi sudah lengkap, jelas, relevan dan konsisten.

2. Coding (Pengkodean)

Tahap ini peneliti mengklarifikasikan hasil kuesioner menurut kriteria tertentu. Klarifikasi

pada umumnya di tandai dengan kode tertentu yang biasanya berupa angka.

3. Entry Data (Pemasukan)

Data yang telah selesai di coding dalam kartu tabulasi (secara komputerisasi dalam

bentuk tabel).

4. Cleaning Data (Pembersihan)

Setelah pemasukan data selesai, dilakukan proses untuk menguji kebenaran data sehingga

data yang masuk benar-benar bebas dari kesalahan.


3.8.2 Teknik Analisa Data

3.8.2.1 Analisa Univariat

Analisa data yang dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi dari tiap-

tiap variabel, dari variabel independen (pengetahuan dan sikap) dan variabel

dependen (pelaksanaan keselamatan pasien/patient safety).

3.8.2.2 Analisa Bivariat

Analisa ini bertujuan untuk melihat hubungan antara dua variabel yaitu:

variabel dependen yaitu pelaksanaan keselamatan pasien/patient safety dan variabel

independen pengetahuan dan sikap dengan menggunakan uji statistik Chi-Square

dengan batas kemaknaan α = 0,05. Keputusan hasil statistik diperoleh dengan cara

membanding p value dengan α keputusannya hasil uji statistik, yaitu:

1. Apabila p value < α 0,05 berarti ada hubungan antara variabel independen dengan

variabel dependen.

2. Apabila p value > α 0,05 berarti tidak ada hubungan antara variabel independen

dengan variabel dependen

3.9 Etika Penelitian

Masalah etika yang harus diperhatikan antara lain sebagai berikut:

3.9.1 Informed Consent (Lembar persetujuan)

Informed Consent merupakan bentuk persetujuan anatra peneliti dengan

responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Informed Consent ini

diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan memberikan lembar persetujuan untuk

menjadi responden.

3.9.2 Anonimity (Tanpa nama)

Masalah etik keperawatan merupakan masalah yang memberikan jaminan


dalam penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak memberikan atau

mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan nama

inisial pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan disajikan.

3.9.3 Confidentiality (Kerahasiaan)

Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan

kerahasisaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah lainnya.

Semua informasi dijamin kerahasiaannya oleh peneliti.

3.9.4 Protection from discomfort (perlindungan dari ketidaknyamanan)

Untuk melindungi pasien dari ketidaknyamanan, baik fisik maupun psikologis.

Anda mungkin juga menyukai