Pemeriksaan penunjang pada vertigo meliputi tes audiometric, vestibular testing, evaluasi
laboratoris, dan evaluasi radiologis.
1. Tes audiometric tidak selalu diperlukan pada pasien dengan keluhan pusing, namun dapat
dilakukan apabila pusing yang dirasakan pasien di sertai dengan gangguan pada
pendengaran, beberapa test yang dapat dilakukan :
a. Audiogram : Tes untuk menilai pendengaran. Abnormalitas memberikan kesan
vertigo otologic, tes ini cukup untuk mendiagnosis vertigo otologic dari kelainan
vertigo lain.
b. Brain Auditory Evoked Potential (BAEP) : Merupakan tes yang dilakukan apabila ada
kecurigaan adanya cerebello pontine tumor, terutama pada neuroma akustikus atau
multiple sclerosis. Kombinasi tes ini dengan CT Scan dapat menunjukan konfirmasi
diagnostic tumor.
c. Otoacoustic Emission (OAE) : merupakan tes untuk menilai suara oleh telinga. Tes ini
berguna dalam mendeteksi malingering, gangguan pendengaran sentral, dan orang-
orang dengan neuropati auditorik.
d. Electrochleography (ECOG) : Merupakan penilaian potensi bangkitan menggunakan
elektroda perekam yang diposisikan dalam gendang telinga. ECOG membutuhkan
frekuensi pendengaran yang tinggi. ECOG yang abnormal memberi kesan penyakit
Meniere. ECOG itu sulit dan interpretasi dari hasil harus memenuhi bentuk
gelombang.
2. Tes vestibular, tes ini dilakukan apabila melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik belum bisa
menegakan diagnosis pada vertigo. Tes yang dilakukan berupa Electronystagmography
(ENG), Vestibular Evoked Myogenic Potential (VEMP), dan posturografi.
a. ENG : Merupakan prosedur beruntun yang dapat mengidentifikasi vestibular
asimetris (pada neuritis vestibular) dan membuktikan nystagmus spontan dan posisi
(pada kasus BPPV). Apabila terdapat hasil yang kurang sesuai dengan gejala klinis,
perlu dikonfirmasi dengan tes VEMP.
b. VEMP : merupakan tes vestibular dasar karena ini memberikan keseimbangan yang
baik untuk keperluan diagnostic dan toleransi pasien. Tes ini sensitive pada sindrom
dehiscence kanal superior, gangguan vestibular bilateral, dan neuroma kaustik. Hasil
VEMP dapat normal paa kasus neuritis dan penyakit meniere.
c. Posturografi : Merupakan instrument dari tes Romberg. Tes ini berguna pada kasus
malingering, dan juga berguna untuk melihat perkembangan pada pasien dalam
pengobatan.
3. Evaluasi Laboratorium : Dilakukan bila ada gejala spesifik kompleks dan tidak ada
pemeriksaan rutin untuk pasien dengan keluhan pusing. Pemeriksaan yang sering dilakukan
adalah pemeriksaan darah lengkap, kimia darah, tes toleransi glukosa, dan tes alergi.
4. Evaluasi radiologi : Pemeriksaan untuk mengevaluasi keterlibatan system pusat saraf
dalam kasus vertigo. Pemeriksaan yang dapat dilakukan berupa foto tengkorak, foto
vertebra servikal, CT Scan kepala dan sinus, serta MRI. Pemeriksaan radiologi tidak
direkomendasikan untuk dilakukan secara rutin untuk mengevaluasi vertigo.
a. MRI : Pemeriksaan radiologi yang berguna untuk mengevaluasi kesatuan struktur
otak, serebelum, periventrikuler, substansia putih, dan kompleks nervus VIII.
b. CT Scan : Pemeriksaan tulang temporal memberikan resolusi tinggi dari struktur
telinga daripada MRI dan juga lebih baik untuk evaluasi lesi yang melibatkan tulang.
CT Temporal mutrlak dibutuhkan untuk diagnosis dehiscence canal superios. Jenis
koronal langsung resolusi tinggi adalah yang terbaik untuk diagnosis ini. CT Scan
Temporal banyak memancarkan radiasi dan untuk alas an ini, tes VEMP
direkomendasikan sebagai tes awal untuk dehiscence canal superior.
Tatalaksana
Tatalaksana vertigo terbagi menjadi tatalaksana non farmakologi, farmakologi, dan operasi.
Tatalaksana non farmakologi dapat dilakukan dengan pemberian terapi dengan manuver
reposisi partikel / Particle Repositioning Maneuver (PRM) yang dapat secara efektif menghilangkan
vertigo pada BPPV, meningkatkan kualitas hidup, dan mengurangi risiko jatuh pada pasien.
Keefektifan dari manuver-manuver yang ada bervariasi mulai dari 70%-100%. Efek samping yang
dapat terjadi dari melakukan manuver seperti mual, muntah, vertigo, dan nistagmus. Hal ini terjadi
karena adanya debris otolitith yang tersumbat saat berpindah ke segmen yang lebih sempit misalnya
saat berpindah dari ampula ke kanal bifurcasio. Setelah melakukan manuver hendaknya pasien tetap
berada pada posisi duduk minimal 10 menit untuk menghindari risiko jatuh. Tujuan dari manuver
yang dilakukan adalah untuk mengembalikan partikel ke posisi awalnya yaitu pada makula utrikulus.
a. Manuver Epley, manuver Epley adalah yang paling sering digunakan pada kanal
vertikal. Pasien diminta untuk menolehkan kepala ke sisi yang sakit sebesar 45° lalu
pasien berbaring dengan kepala tergantung dan dipertahankan 1-2 menit. Lalu
kepala ditolehkan 90° ke sisi sebaliknya, dan posisi supinasi berubah menjadi lateral
dekubitus dan dipertahan 30-60 detik. Setelah itu pasien mengistirahatkan dagu
pada pundaknya dan kembali ke posisi duduk secara perlahan.
b. Manuver Semont, manuver ini diindikasikan untuk pengobatan cupulolithiasis kanan
posterior. Jika kanal posterior terkena, pasien diminta duduk tegak, lalu kepala
dimiringkan 45° ke sisi yang sehat, lalu secara cepat bergerak ke posisi berbaring dan
dipertahankan selama 1-3 menit. Ada nistagmus dan vertigo dapat diobservasi.
Setelah itu pasien pindah ke posisi berbaring di sisi yang berlawanan tanpa kembali
ke posisi duduk lagi.
c. Manuver Lempert, manuver ini dapat digunakan pada pengobatan BPPV tipe kanal
lateral. Pasien berguling 360° yang dimulai dari posisi supinasi lalu pasien
menolehkan kepala 90° ke sisi yang sehat, diikuti dengan membalikkan tubuh ke
posisi lateral dekubitus. Lalu kepala menoleh ke bawah dan tubuh mengikuti ke
posisi ventral dekubitus. Pasien kemudian menoleh lagi 90° dan tubuh kembali ke
posisi lateral dekubitus lalu kembali ke posisi supinasi. Masing-masing gerakan
dipertahankan selama 15 detik untuk migrasi lambat dari partikel-partikel sebagai
respon terhadap gravitasi.
d. Forced Prolonged Position, manuver ini digunakan pada BPPV tipe kanal lateral.
Tujuannya adalah untuk mempertahankan kekuatan dari posisi lateral dekubitus
pada sisi telinga yang sakit dan dipertahankan selama 12 jam.
e. Brandt-Daroff exercise, manuver ini dikembangkan sebagai latihan untuk di rumah
dan dapat dilakukan sendiri oleh pasien sebagai terapi tambahan pada pasien yang
tetap simptomatik setelah manuver Epley atau Semont. Latihan ini juga dapat
membantu pasien menerapkan beberapa posisi sehingga dapat menjadi kebiasaan.
2. Tatalaksana Farmakologis
a. Antihistamine
Antihistamin mempunyai efek supresif pada pusat muntah sehingga dapat mengurangi mual
dan muntah karena motion sickness. Antihistamin yang sering digunakan pada pasien vertigo adalah
betahistine. Betahistine merupakan obat yang umum digunakan untuk meredakan gejala vertigo,
bekerja dengan cara menyekat reseptor histamin H3 (presinaps) dan H2 (postsinaps, lemah).
Betahistine dapat meningkatkan sirkulasi mikro darah ke telinga dalam (labirin). Efek terapeutik yang
optimal tercapai dalam jangka waktu panjang, sehingga dosis pemberian betahistine
direkomendasikan sebesar 24 mg, 2 kali sehari, selama 2-3 bulan. Betahistine umum digunakan pada
vertigo dengan penyebab di perifer seperti penyakit Meniere dan benign paroxysmal positional
vertigo (BPPV). Harus diperhatikan bahwa benzodiazepine dan antihistamine dapat mengganggu
kompensasi sentral pada kerusakan vestibular sehingga penggunaannya diminimalkan.
Antihistamin lain yang dapat diberikan adalah Dimenhidramit dengan dosis 25-50 mg,
dengan pemberian 4x sehari per oral, atau dapat diberikan Difenhidramin HCL dengan dosis 25-50
mg yang diberikan 4x sehari per oral.
b. Kalsium antagonis
Cinnarizine mempunyai khasiat menekan fungsi vestibular dan dapat mengurangi respon
terhadap akselerasi angular dan linier. Dosis biasanya ialah 15-30 mg, 3 kali sehari atau 1x75 mg
sehari
3. Operasi
Operasi dapat dilakukan pada pasien BPPV yang telah menjadi kronik dan sangat sering
mendapat serangan BPPV yang hebat, bahkan setelah melakukan manuver-manuver yang telah
disebutkan di atas. Dari literatur dikatakan indikasi untuk melakukan operasi adalah pada intractable
BPPV, yang biasanya mempunyai klinis penyakit neurologi vestibular, tidak seperti BPPV biasa.
Terdapat dua pilihan intervensi dengan teknik operasi yang dapat dipilih, yaitu singular
neurectomy (transeksi saraf ampula posterior) dan oklusi kanal posterior semisirkular. Namun lebih
dipilih teknik dengan oklusi karena teknik neurectomi mempunyai risiko kehilangan pendengaran
yang tinggi.