Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Vertigo

2.2.1. Definisi
Vertigo adalah adanya sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh seperti rotasi
(memutar) tanpa sensasi peputaran yang sebenarnya, dapat sekelilingnya terasa
berputar atau badan yang berputar. Vertigo termasuk ke dalam gangguan
keseimbangan yang dinyatakan sebagai pusing atau terasa seperti melayang. Pada
vertigo terjadi persepsi yang salah dari gerakan seseorang atau lingkungan
sekitarnya. Vertigo terjadi karena adanya gangguan pada sistem keseimbangan pada
manusia terutama yang melibatkan kanalis semisirkularis sebagai reseptor, serta
sistem vestibuler dan serebelum sebagai pengolah informasinya, selain itu fungsi
pengelihatan dan propioseptif untuk memberikan informasi rasa sikap dan gerak
anggota tubuh.

2.2.2. Klasifikasi

Klasifikasi vertigo dibagi menjadi :

1. Vertigo vestibular adalah rasa berputar yang timbul pada gangguan sistem
vestibular

Vertigo vestibular dibagi menjadi :

a. Vertigo vestibular sentral

Vertigo yang terjadi karena adanya lesi pada nukleus vestibularis


batang otak, thalamus sampai ke korteks serebri (cerebelum).

b. Vertigo vestibular perifer

Vertigo yang terjadi karena adanya lesi di labirin dan nervus


vestibular (Kanalis semisirkularis).

2. Vertigo non vestibular adalah rasa goyang, melayang karena adanya


gangguan pada sistem propioseptif atau sistem visual

1
2.2.3. Faktor Risiko
Beberapa kasus dijumpai setelah mengalami trauma pada kepala atau leher,
adanya pada infeksi telinga tengah atau pernah melakukan operasi stapedektomi.
Vertigo terjadi lebih umum pada usia lanjut dan pada orang yang lebih tua akibat
dari degenerasi sistem vestibular telinga bagian dalam, hal ini terjadi akibat dari
infeksi virus yang mempengaruhi telinga seperti yang menyebabkan vestibular
neurtitis dan penyakit Meniere adalah penyebab signifikan.

2.2.4. Patogenesis
Rasa pusing atau vertigo disebabkan oleh gangguan alat keseimbangan tubuh yang
mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh yang sebenarnya dengan apa yang
dipersepsi oleh susunan saraf pusat.
Ada beberapa teori yang berusaha menerangkan kejadian tersebut :
1. Teori rangsang berlebihan (overstimulation)
Teori ini berdasarkan asumsi bahwa rangsang yang berlebihan menyebabkan hiperemi
kanalis semisirkularis sehingga fungsinya terganggu, akibatnya akan timbul vertigo,
nistagmus, mual dan muntah.

2. Teori konflik sensorik.


Menurut teori ini terjadi ketidakcocokan masukan sensorik yang berasal dari
berbagai reseptor sensorik perifer yaitu mata/visus, vestibulum dan proprioceptif, atau
ketidakseimbangan/asimetri masukan sensorik. Ketidakcocokan tersebut
menimbulkan kebingungan sensorik di sentral sehingga timbul respons yang dapat
berupa nistagmus (usaha koreksi bola mata), ataksia atau sulit berjalan (gangguan
vestibuler, serebelum) atau rasa melayang, berputar (berasal dari sensasi kortikal).

2
Berbeda dengan teori rangsang berlebihan, teori ini lebih menekankan gangguan
proses pengolahan sentral sebagai penyebab.

3. Teori neural mismatch


Teori ini merupakan pengembangan teori konflik sensorik, menurut teori ini otak
mempunyai memori/ingatan tentang pola gerakan tertentu, sehingga jika pada suatu
saat dirasakan gerakan yang aneh/tidak sesuai dengan pola
gerakan yang telah tersimpan, timbul reaksi dari susunan saraf otonom. Jika pola
gerakan yang baru tersebut dilakukan berulang-ulang akan terjadi mekanisme adaptasi
sehingga berangsur-angsur tidak lagi timbul gejala.

4. Teori otonomik
Teori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf otonom sebagai usaha adaptasi
gerakan/perubahan posisi, gejala klinis timbul jika sistim simpatis terlalu dominan,
sebaliknya hilang jika sistim parasimpatis mulai berperan.

5. Teori neurohumoral
Munculnya sindroma vertigo berawal dari pelepasan corticotropin releasing factor
(CRF) dari hipotalamus akibat rangsang gerakan. CRF meningkatkan sekresi stress
hormon. dimana akan merangsang korteks limbik/hipokampus (ansietas), dan Iokus
coeruleus ke arah simpatis atau parasimpatis (hipersalivasi, muntah). Bila sindroma
tersebut berulang akibat rangsangan/ latihan maka siklus perubahan dominasi saraf
simpatis dan parasimpatis akan timbul bergantian, sampai terjadi perubahan
sensitivitas (hiposensitif) reseptor dan jumlah reseptor (down regulation), serta
penurunan terhadap influks kalsium.

6. Teori Sinap
Merupakan pengembangan teori sebelumnya yang meninjai peranan neurotransmisi
dan perubahan-perubahan biomolekuler yang terjadi pada proses adaptasi, belajar dan
daya ingat. Rangsang gerakan menimbulkan

3
4

stres yang akan memicu sekresi CRF (corticotropin releasing factor),


peningkatan kadar CRF selanjutnya akan mengaktifkan susunan saraf simpatik
yang selanjutnya mencetuskan mekanisme adaptasi berupa meningkatnya
aktivitas sistim saraf parasimpatik. Teori ini dapat menerangkan gejala penyerta
yang sering timbul berupa pucat, berkeringat di awal serangan vertigo akibat
aktivitas simpatis, yang berkembang menjadi gejala mual, muntah dan
hipersalivasi setelah beberapa saat akibat dominasi aktivitas susunan saraf
parasimpatis.

2.2.5. Diagnosis
Penegakkan diagnosis vertigo dapat disimpulkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang memenuhi kriteria vertigo.
Pada anamnesis ditanyakan:
a. Bentuk vertigonya: melayang, goyang, berputar tujuh keliling, rasa
seperti naik perahu, dan sebagainya
b. Sifat serangan vertigo: periodik atau kontinu, ringan atau berat
c. Keadaan yang memprovokasi timbulnya vertigo: perubahan posisi kepala
dan tubuh, keletihan dan ketegangan, emosional, suara bising
d. Profil waktu: apakah timbulnya akut atau perlahan-lahan, hilang timbul,
paroksismal, kronik, progresif, atau membaik
e. Gejala otonom yang menyertai keluhan vertigo: mual, muntah, keringat
dingin
f. Ada atau tidaknya gejala gangguan pendegaran: tinitus atau tuli
g. Tindakan tertentu: temporal bone surgery, transtympanal treatment
h. Penyakit yang diderita pasien: DM, hipertensi, kelainan jantung
i. Defisit neurologis: hemihipestesi, baal wajah satu sisi, perioral
numbness, disfagia, hemiparesis, penglihatan ganda, ataksia serebelaris.
j. Gangguan pendengaran yang biasanya menyertai atau ditemukan pada
lesi alat vestibuler atau n. Vestibularis
k. Penggunaan obat-obatan seperti streptomisin, kanamisin, salisilat,
antimalaria, kemoterapi dan lain-lain yang diketahui ototoksik atau
vestibulotoksik.

Pendekatan klinis terhadap keluhan vertigo ditujukan untuk membedakan


vertigo sentral yang kelainannya berkaitan dengan susunan sistem saraf pusat
atau vertigo perifer yang berkaitan dengan sistem vestibuler. Selain itu harus
dipertimbangkan pula faktor psikologik atau psikiatrik yang dapat mendasari
keluhan vertigo tersebut. Faktor sistemik yang juga harus dipikirkan antara lain
aritmia jantung, hipertensi, hipotensi, gagal jantung kongestif, anemia, dan
hipoglikemia. Penegakan diagnosis vertigo diawali dengan menentukan bentuk
vertigo, letak lesi, dan kemudian penyebabnya, agar dapat diberikan terapi
kausal dan simtomatik yang sesuai.

2.2.6. Pemeriksaan fisik


Ditujukan untuk meneliti faktor-faktor penyebab, baik kelainan sistemik,
otologik atau neurologik-vestibuler atau serebeler, dapat berupa pemeriksaan
fungsi pendengaran dan keseimbangan, gerak bola mata/nistagmus dan fungsi
serebelum. Pendekatan klinis terhadap keluhan vertigo adalah untuk
menentukan penyebab, apakah akibat kelainan sentral yang berkaitan dengan
kelainan susunan saraf pusat (korteks serebrim serebelum, batang otak atau
berkaitan dengan sistim vestibuler/otologik, selain itu harus dipertimbangkan
pula faktor psiikologik/psikiatrik yang dapat mendasari keluhan vertigo
tersebut.
Faktor sistemik yang juga harus dipikirkan/dicari antara lain aritmi
jantung, hipertensi, hipotensi, gagal jantung kongestif, anemi, hipoglikemi.
Dalam menghadapi kasus vertigo, pertama-tama harus ditentukan bentuk
vertigonya, 6 lalu letak lesi dan kemudian penyebabnya, agar dapat diberikan
terapi kausal yang tepat dan terapi simtomatik yang sesuai.
PEMERIKSAAN FISIK UMUM
Pemeriksaan fisik diarahkan ke kemungkinan penyebab sistemik,
tekanan darah diukur dalam posisi berbaring, duduk dan berdiri, bising karotis,
irama (denyut jantung) dan pulsasi nadi perifer juga perlu diperiksa.
PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Pemeriksaan neurologis dilakukan dengan perhatian khusus pada :
1. Fungsi vestibuler/serebelar
a. Uji Romberg
Pasien berdiri dengan kedua kaki dirapatkan, mula-mula dengan kedua
mata terbuka kemudian tertutup. Biarkan pada posisi demikian selama 20-30
detik. Harus dipastikan bahwa pasien tidak dapat menentukan posisinya
(misalnya dengan bantuan titik cahaya atau suara tertentu). Pada kelainan
vestibuler hanya pada mata tertutup badan pasien akan bergoyang menjauhi
garis tengah kemudian kembali lagi, pada mata terbuka badan pasien tetap
tegak. Sedangkan pada kelainan serebelar badan pasien akan bergoyang baik
pada mata terbuka maupun pada mata tertutup.
b. Tandem gait.
Pasien berjalan dengan tumit kaki kiri/kanan diletakkan pada ujung jari
kaki kanan/kiri ganti berganti. Pada kelainan vestibuler, perjalanannya akan
menyimpang dan pada kelainan serebelarpasien akan cenderung jatuh.

c. Uji Unterberger
Berdiri dengan kedua lengan lurus horizontal ke depan dan jalan di
tempat dengan mengangkat lutut setinggi mungkin selama satu menit. Pada
kelainan vestibuler posisi pasien akan menyimpang/berputar ke arah lesi dengan
gerakan seperti orang melempar cakram; kepala dan badan berputar ke arah lesi,
kedua lengan bergerak ke arah lesi dengan lengan pada sisi lesi turun dan yang
lainnya naik. Keadaan ini disertai nistagmus dengan fase lambat ke arah lesi.

d. Past-ponting test (Uji Tunjuk Barany)


Dengan jari telunjuk ekstensi dan lengan lurus ke depan pasien disuruh
mengangkat lengannya ke atas, kemudian diturunkan sampai menyentuh
telunjuk tangan pemeriksa. Hal ini dilakukan berulang- ulang dengan mata
terbuka dan tertutup. Pada kelainan vestibuler akan terlihat penyimpangan
lengan pasien ke arah lesi

e. Uji Babinsky-Weil
Pasien dengan mata tertutup berulang kali berjalan lima langkah ke
depan dan lima langkah ke belakang selama setengan menit; jika ada gangguan
vestibuler unilateral, pasien akan berjalan dengan arah berbentuk bintang.

PEMERIKSAAN KHUSUS OTO-NEUROLOGI


Pemeriksaan ini terutama untuk menentukan apakah letak lesinya di sentral atau
perifer.
1. Fungsi Vestibuler
a. Uji Dix Hallpike
Perhatikan adanya nistagmus, lakukan uji ini ke kanan dan kiri. Dari
posisi duduk di atas tempat tidur, pasien dibaringkan ke belakang dengan cepat,
sehingga kepalanya menggantung 45° di bawah garis horizontal, kemudian
kepalanya dimiringkan 45° ke kanan lalu ke kiri. Perhatikan saat timbul dan
hilangnya vertigo dan nistagmus, dengan uji ini dapat dibedakan apakah lesinya
perifer atau sentral. Perifer, vertigo dan nistagmus timbul setelah periode laten
2-10 detik, hilang dalam waktu kurang dari 1 menit, akan berkurang atau
menghilang bila tes diulang-ulang beberapa kali (fatigue). Sentral, tidak ada
periode laten, nistagmus dan vertigo berlangsung lebih dari 1 menit, bila
diulang-ulang reaksi tetap seperti semula (non-fatigue).

b. Tes Kalori
Pasien berbaring dengan kepala fleksi 30°, sehingga kanalis
semisirkularis lateralis dalam posisi vertikal. Kedua telinga diirigasi bergantian
dengan air dingin (30°C) dan air hangat (44°C) masing-masing selama 40 detik
dan jarak setiap irigasi 5 menit. Nistagmus yang timbul dihitung lamanya sejak
permulaan irigasi sampai hilangnya nistagmus tersebut (normal 90-150 detik).
Dengan tes ini dapat ditentukan adanya canal paresis atau directional
preponderance ke kiri atau ke kanan. Canal paresis adalah jika abnormalitas
ditemukan di satu telinga, baik setelah rangsang air hangat maupun air dingin,
sedangkan directional preponderance ialah jika abnormalitas ditemukan pada
arah nistagmus yang sama di masing-masing telinga. Canal paresis menunjukkan
lesi perifer di labarin atau n.VIII, sedangkan directional preponderance
menunjukkan lesi sentral.
c. Elektronistagmogram
Pemeriksaan ini hanya dilakukan di rumah sakit, dengan tujuan untuk
merekam gerakan mata pada nistagmus, dengan demikian nistagmus tersebut
dapat dianalisis secara kuantitatif.
2. Fungsi Pendengaran
a. Tes Garpu Tala
Tes ini digunakan untuk membedakan tuli konduktif dan tuli perseptif,
dengan tes-tes Rinne, Weber dan Schwabach. Pada tuli konduktif, tes Rinne
negatif, Weber lateralisasi ke yang tuli dan schwabach memendek.
b. Audiometri
Ada beberapa macam pemeriksaan audiometri seperti Ludness Balance
Test, SISI, Bekesy Audiometry, Tone Decay. Pemeriksaan saraf-saraf otak lain
meliputi: acies visus, kampus visus, okulomotor, sensorik wajah, otot wajah,
pendengaran dan fungsi menelan. Juga fungsi motorik (kelumpuhan
ekstremitas), fungsi sensorik (hipestesi, parestesi) dan serebelar (tremor,
gangguan cara berjalan).

2.2.7. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang pada vertigo meliputi tes audiometric, vestibular
testing, evaluasi laboratoris, dan evaluasi radiologis.
1. Tes audiometric tidak selalu diperlukan pada pasien dengan keluhan pusing,
namun dapat dilakukan apabila pusing yang dirasakan pasien di sertai
dengan gangguan pada pendengaran, beberapa test yang dapat dilakukan :
a. Audiogram : Tes untuk menilai pendengaran. Abnormalitas
memberikan kesan vertigo otologic, tes ini cukup untuk
mendiagnosis vertigo otologic dari kelainan vertigo lain.
b. Brain Auditory Evoked Potential (BAEP) : Merupakan tes yang
dilakukan apabila ada kecurigaan adanya cerebello pontine tumor,
terutama pada neuroma akustikus atau multiple sclerosis. Kombinasi
tes ini dengan CT Scan dapat menunjukan konfirmasi diagnostic
tumor.
c. Otoacoustic Emission (OAE) : merupakan tes untuk menilai suara
oleh telinga. Tes ini berguna dalam mendeteksi malingering,
gangguan pendengaran sentral, dan orang-orang dengan neuropati
auditorik.
d. Electrochleography (ECOG) : Merupakan penilaian potensi
bangkitan menggunakan elektroda perekam yang diposisikan dalam
gendang telinga. ECOG membutuhkan frekuensi pendengaran yang
tinggi. ECOG yang abnormal memberi kesan penyakit Meniere.
ECOG itu sulit dan interpretasi dari hasil harus memenuhi bentuk
gelombang.
2. Tes vestibular, tes ini dilakukan apabila melalui anamnesis dan pemeriksaan
fisik belum bisa menegakan diagnosis pada vertigo. Tes yang dilakukan
berupa Electronystagmography (ENG), Vestibular Evoked Myogenic
Potential (VEMP), dan posturografi.
a. ENG : Merupakan prosedur beruntun yang dapat
mengidentifikasi vestibular asimetris (pada neuritis vestibular) dan
membuktikan nystagmus spontan dan posisi (pada kasus BPPV).
Apabila terdapat hasil yang kurang sesuai dengan gejala klinis, perlu
dikonfirmasi dengan tes VEMP.
b. VEMP : merupakan tes vestibular dasar karena ini memberikan
keseimbangan yang baik untuk keperluan diagnostic dan toleransi
pasien. Tes ini sensitive pada sindrom dehiscence kanal superior,
gangguan vestibular bilateral, dan neuroma kaustik. Hasil VEMP
dapat normal paa kasus neuritis dan penyakit meniere.
c. Posturografi : Merupakan instrument dari tes Romberg. Tes ini
berguna pada kasus malingering, dan juga berguna untuk melihat
perkembangan pada pasien dalam pengobatan.
3. Evaluasi Laboratorium : Dilakukan bila ada gejala spesifik kompleks dan
tidak ada pemeriksaan rutin untuk pasien dengan keluhan pusing.
Pemeriksaan yang sering dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap,
kimia darah, tes toleransi glukosa, dan tes alergi.
4. Evaluasi radiologi : Pemeriksaan untuk mengevaluasi keterlibatan system
pusat saraf dalam kasus vertigo. Pemeriksaan yang dapat dilakukan berupa
foto tengkorak, foto vertebra servikal, CT Scan kepala dan sinus, serta MRI.
Pemeriksaan radiologi tidak direkomendasikan untuk dilakukan secara rutin
untuk mengevaluasi vertigo.
a. MRI : Pemeriksaan radiologi yang berguna untuk
mengevaluasi kesatuan struktur otak, serebelum, periventrikuler,
substansia putih, dan kompleks nervus VIII.
b. CT Scan : Pemeriksaan tulang temporal memberikan resolusi tinggi
dari struktur telinga daripada MRI dan juga lebih baik untuk evaluasi
lesi yang melibatkan tulang. CT Temporal mutrlak dibutuhkan untuk
diagnosis dehiscence canal superios. Jenis koronal langsung resolusi
tinggi adalah yang terbaik untuk diagnosis ini. CT Scan Temporal
banyak memancarkan radiasi dan untuk alas an ini, tes VEMP
direkomendasikan sebagai tes awal untuk dehiscence canal superior.

2.2.8. Tatalaksana
Tatalaksana vertigo terbagi menjadi tatalaksana non farmakologi, farmakologi,
dan operasi.
1. Tatalaksana Non Farmakologis.

Tatalaksana non farmakologi dapat dilakukan dengan pemberian terapi


dengan manuver reposisi partikel / Particle Repositioning Maneuver (PRM)
yang dapat secara efektif menghilangkan vertigo pada BPPV, meningkatkan
kualitas hidup, dan mengurangi risiko jatuh pada pasien. Keefektifan dari
manuver-manuver yang ada bervariasi mulai dari 70%-100%. Efek samping
yang dapat terjadi dari melakukan manuver seperti mual, muntah, vertigo,
dan nistagmus. Hal ini terjadi karena adanya debris otolitith yang tersumbat
saat berpindah ke segmen yang lebih sempit misalnya saat berpindah dari
ampula ke kanal bifurcasio. Setelah melakukan manuver hendaknya pasien
tetap berada pada posisi duduk minimal 10 menit untuk menghindari risiko
jatuh. Tujuan dari manuver yang dilakukan adalah untuk mengembalikan
partikel ke posisi awalnya yaitu pada makula utrikulus.
Ada lima manuver yang dapat dilakukan, antara lain:
a. Manuver Epley, manuver Epley adalah yang paling sering digunakan
pada kanal vertikal. Pasien diminta untuk menolehkan kepala ke sisi
yang sakit sebesar 45° lalu pasien berbaring dengan kepala
tergantung dan dipertahankan 1-2 menit. Lalu kepala ditolehkan 90°
ke sisi sebaliknya, dan posisi supinasi berubah menjadi lateral
dekubitus dan dipertahan 30-60 detik. Setelah itu pasien
mengistirahatkan dagu pada pundaknya dan kembali ke posisi duduk
secara perlahan.
b. Manuver Semont, manuver ini diindikasikan untuk pengobatan
cupulolithiasis kanan posterior. Jika kanal posterior terkena, pasien
diminta duduk tegak, lalu kepala dimiringkan 45° ke sisi yang sehat,
lalu secara cepat bergerak ke posisi berbaring dan dipertahankan
selama 1-3 menit. Ada nistagmus dan vertigo dapat diobservasi.
Setelah itu pasien pindah ke posisi berbaring di sisi yang berlawanan
tanpa kembali ke posisi duduk lagi.
c. Manuver Lempert, manuver ini dapat digunakan pada pengobatan
BPPV tipe kanal lateral. Pasien berguling 360° yang dimulai dari
posisi supinasi lalu pasien menolehkan kepala 90° ke sisi yang sehat,
diikuti dengan membalikkan tubuh ke posisi lateral dekubitus. Lalu
kepala menoleh ke bawah dan tubuh mengikuti ke posisi ventral
dekubitus. Pasien kemudian menoleh lagi 90° dan tubuh kembali ke
posisi lateral dekubitus lalu kembali ke posisi supinasi. Masing-
masing gerakan dipertahankan selama 15 detik untuk migrasi lambat
dari partikel-partikel sebagai respon terhadap gravitasi.
d. Forced Prolonged Position, manuver ini digunakan pada BPPV tipe
kanal lateral. Tujuannya adalah untuk mempertahankan kekuatan dari
posisi lateral dekubitus pada sisi telinga yang sakit dan dipertahankan
selama 12 jam.
e. Brandt-Daroff exercise, manuver ini dikembangkan sebagai latihan
untuk di rumah dan dapat dilakukan sendiri oleh pasien sebagai
terapi tambahan pada pasien yang tetap simptomatik setelah manuver
Epley atau Semont. Latihan ini juga dapat membantu pasien
menerapkan beberapa posisi sehingga dapat menjadi kebiasaan.
2. Tatalaksana Farmakologis

Penatalaksanaan dengan farmakologi untuk tidak secara rutin dilakukan.


Beberapa pengobatan hanya diberikan untuk jangka pendek untuk gejala-
gejala vertigo, mual dan muntah yang berat yang dapat terjadi pada pasien
BPPV, seperti setelah melakukan terapi PRM. Pengobatan untuk vertigo
yang disebut juga pengobatan suppresant vestibular yang digunakan adalah
golongan), antihistamine, dan kalsium antagonis (Cinnarizine).
a. Antihistamine

Antihistamin mempunyai efek supresif pada pusat muntah


sehingga dapat mengurangi mual dan muntah karena motion sickness.
Antihistamin yang sering digunakan pada pasien vertigo adalah
betahistine. Betahistine merupakan obat yang umum digunakan untuk
meredakan gejala vertigo, bekerja dengan cara menyekat reseptor
histamin H3 (presinaps) dan H2 (postsinaps, lemah). Betahistine dapat
meningkatkan sirkulasi mikro darah ke telinga dalam (labirin). Efek
terapeutik yang optimal tercapai dalam jangka waktu panjang, sehingga
dosis pemberian betahistine direkomendasikan sebesar 24 mg, 2 kali
sehari, selama 2-3 bulan. Betahistine umum digunakan pada vertigo
dengan penyebab di perifer seperti penyakit Meniere dan benign
paroxysmal positional vertigo (BPPV). Harus diperhatikan bahwa
benzodiazepine dan antihistamine dapat mengganggu kompensasi sentral
pada kerusakan vestibular sehingga penggunaannya diminimalkan.
Antihistamin lain yang dapat diberikan adalah Dimenhidramit
dengan dosis 25-50 mg, dengan pemberian 4x sehari per oral, atau dapat
diberikan Difenhidramin HCL dengan dosis 25-50 mg yang diberikan 4x
sehari per oral.
b. Kalsium antagonis

Cinnarizine mempunyai khasiat menekan fungsi vestibular dan


dapat mengurangi respon terhadap akselerasi angular dan linier. Dosis
biasanya ialah 15-30 mg, 3 kali sehari atau 1x75 mg sehari
3. Operasi

Operasi dapat dilakukan pada pasien BPPV yang telah menjadi kronik
dan sangat sering mendapat serangan BPPV yang hebat, bahkan setelah
melakukan manuver-manuver yang telah disebutkan di atas. Dari literatur
dikatakan indikasi untuk melakukan operasi adalah pada intractable BPPV,
yang biasanya mempunyai klinis penyakit neurologi vestibular, tidak seperti
BPPV biasa.
Terdapat dua pilihan intervensi dengan teknik operasi yang dapat dipilih,
yaitu singular neurectomy (transeksi saraf ampula posterior) dan oklusi kanal
posterior semisirkular. Namun lebih dipilih teknik dengan oklusi karena
teknik neurectomi mempunyai risiko kehilangan pendengaran yang tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Chain, T.C. 2009. Practical Neurology 3rd edition: Approach to the Patient with
Dizziness and Vertigo. Illionois: Wolter Kluwe Lippincot. William and Wilkins.

Lempert, T. Neuhauser, H. 2009. Epidemiologi of vertigo, migraine and vestibular


migraine. Journal Neurology, 25 hal. 333-338.

Bashiruddin J. Vertigo Posisi Paroksismal Jinak. Dalam : Arsyad E, Iskandar N, Editor.


Telinga, Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi Keenam. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI. 2008. Hal. 104-9 4. Li JC & Epley J. Benign Paroxysmal
Positional Vertigo.
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/884261-overview

Labuguen, R H. 2006. Initial Evaluation of vertigo. Journal American Family


Physician, vol73(2).

Mardjono, M. Sidharta, P. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta:Dian Rakyat.

Sura DJ, Newell, S. 2010. Verrtigo-Diagnosis and management in primary care. BJMP,


3(4):a351.

Turnes, B. Lewis, N.E. 2010. Symposium Neurology:Systematic Approach that Needed


for establish of vertigo. The practitioner,254(1732)p.19-23.

Anda mungkin juga menyukai