TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Vertigo
2.2.1. Definisi
Vertigo adalah adanya sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh seperti rotasi
(memutar) tanpa sensasi peputaran yang sebenarnya, dapat sekelilingnya terasa
berputar atau badan yang berputar. Vertigo termasuk ke dalam gangguan
keseimbangan yang dinyatakan sebagai pusing atau terasa seperti melayang. Pada
vertigo terjadi persepsi yang salah dari gerakan seseorang atau lingkungan
sekitarnya. Vertigo terjadi karena adanya gangguan pada sistem keseimbangan pada
manusia terutama yang melibatkan kanalis semisirkularis sebagai reseptor, serta
sistem vestibuler dan serebelum sebagai pengolah informasinya, selain itu fungsi
pengelihatan dan propioseptif untuk memberikan informasi rasa sikap dan gerak
anggota tubuh.
2.2.2. Klasifikasi
1. Vertigo vestibular adalah rasa berputar yang timbul pada gangguan sistem
vestibular
1
2.2.3. Faktor Risiko
Beberapa kasus dijumpai setelah mengalami trauma pada kepala atau leher,
adanya pada infeksi telinga tengah atau pernah melakukan operasi stapedektomi.
Vertigo terjadi lebih umum pada usia lanjut dan pada orang yang lebih tua akibat
dari degenerasi sistem vestibular telinga bagian dalam, hal ini terjadi akibat dari
infeksi virus yang mempengaruhi telinga seperti yang menyebabkan vestibular
neurtitis dan penyakit Meniere adalah penyebab signifikan.
2.2.4. Patogenesis
Rasa pusing atau vertigo disebabkan oleh gangguan alat keseimbangan tubuh yang
mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh yang sebenarnya dengan apa yang
dipersepsi oleh susunan saraf pusat.
Ada beberapa teori yang berusaha menerangkan kejadian tersebut :
1. Teori rangsang berlebihan (overstimulation)
Teori ini berdasarkan asumsi bahwa rangsang yang berlebihan menyebabkan hiperemi
kanalis semisirkularis sehingga fungsinya terganggu, akibatnya akan timbul vertigo,
nistagmus, mual dan muntah.
2
Berbeda dengan teori rangsang berlebihan, teori ini lebih menekankan gangguan
proses pengolahan sentral sebagai penyebab.
4. Teori otonomik
Teori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf otonom sebagai usaha adaptasi
gerakan/perubahan posisi, gejala klinis timbul jika sistim simpatis terlalu dominan,
sebaliknya hilang jika sistim parasimpatis mulai berperan.
5. Teori neurohumoral
Munculnya sindroma vertigo berawal dari pelepasan corticotropin releasing factor
(CRF) dari hipotalamus akibat rangsang gerakan. CRF meningkatkan sekresi stress
hormon. dimana akan merangsang korteks limbik/hipokampus (ansietas), dan Iokus
coeruleus ke arah simpatis atau parasimpatis (hipersalivasi, muntah). Bila sindroma
tersebut berulang akibat rangsangan/ latihan maka siklus perubahan dominasi saraf
simpatis dan parasimpatis akan timbul bergantian, sampai terjadi perubahan
sensitivitas (hiposensitif) reseptor dan jumlah reseptor (down regulation), serta
penurunan terhadap influks kalsium.
6. Teori Sinap
Merupakan pengembangan teori sebelumnya yang meninjai peranan neurotransmisi
dan perubahan-perubahan biomolekuler yang terjadi pada proses adaptasi, belajar dan
daya ingat. Rangsang gerakan menimbulkan
3
4
2.2.5. Diagnosis
Penegakkan diagnosis vertigo dapat disimpulkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang memenuhi kriteria vertigo.
Pada anamnesis ditanyakan:
a. Bentuk vertigonya: melayang, goyang, berputar tujuh keliling, rasa
seperti naik perahu, dan sebagainya
b. Sifat serangan vertigo: periodik atau kontinu, ringan atau berat
c. Keadaan yang memprovokasi timbulnya vertigo: perubahan posisi kepala
dan tubuh, keletihan dan ketegangan, emosional, suara bising
d. Profil waktu: apakah timbulnya akut atau perlahan-lahan, hilang timbul,
paroksismal, kronik, progresif, atau membaik
e. Gejala otonom yang menyertai keluhan vertigo: mual, muntah, keringat
dingin
f. Ada atau tidaknya gejala gangguan pendegaran: tinitus atau tuli
g. Tindakan tertentu: temporal bone surgery, transtympanal treatment
h. Penyakit yang diderita pasien: DM, hipertensi, kelainan jantung
i. Defisit neurologis: hemihipestesi, baal wajah satu sisi, perioral
numbness, disfagia, hemiparesis, penglihatan ganda, ataksia serebelaris.
j. Gangguan pendengaran yang biasanya menyertai atau ditemukan pada
lesi alat vestibuler atau n. Vestibularis
k. Penggunaan obat-obatan seperti streptomisin, kanamisin, salisilat,
antimalaria, kemoterapi dan lain-lain yang diketahui ototoksik atau
vestibulotoksik.
c. Uji Unterberger
Berdiri dengan kedua lengan lurus horizontal ke depan dan jalan di
tempat dengan mengangkat lutut setinggi mungkin selama satu menit. Pada
kelainan vestibuler posisi pasien akan menyimpang/berputar ke arah lesi dengan
gerakan seperti orang melempar cakram; kepala dan badan berputar ke arah lesi,
kedua lengan bergerak ke arah lesi dengan lengan pada sisi lesi turun dan yang
lainnya naik. Keadaan ini disertai nistagmus dengan fase lambat ke arah lesi.
e. Uji Babinsky-Weil
Pasien dengan mata tertutup berulang kali berjalan lima langkah ke
depan dan lima langkah ke belakang selama setengan menit; jika ada gangguan
vestibuler unilateral, pasien akan berjalan dengan arah berbentuk bintang.
b. Tes Kalori
Pasien berbaring dengan kepala fleksi 30°, sehingga kanalis
semisirkularis lateralis dalam posisi vertikal. Kedua telinga diirigasi bergantian
dengan air dingin (30°C) dan air hangat (44°C) masing-masing selama 40 detik
dan jarak setiap irigasi 5 menit. Nistagmus yang timbul dihitung lamanya sejak
permulaan irigasi sampai hilangnya nistagmus tersebut (normal 90-150 detik).
Dengan tes ini dapat ditentukan adanya canal paresis atau directional
preponderance ke kiri atau ke kanan. Canal paresis adalah jika abnormalitas
ditemukan di satu telinga, baik setelah rangsang air hangat maupun air dingin,
sedangkan directional preponderance ialah jika abnormalitas ditemukan pada
arah nistagmus yang sama di masing-masing telinga. Canal paresis menunjukkan
lesi perifer di labarin atau n.VIII, sedangkan directional preponderance
menunjukkan lesi sentral.
c. Elektronistagmogram
Pemeriksaan ini hanya dilakukan di rumah sakit, dengan tujuan untuk
merekam gerakan mata pada nistagmus, dengan demikian nistagmus tersebut
dapat dianalisis secara kuantitatif.
2. Fungsi Pendengaran
a. Tes Garpu Tala
Tes ini digunakan untuk membedakan tuli konduktif dan tuli perseptif,
dengan tes-tes Rinne, Weber dan Schwabach. Pada tuli konduktif, tes Rinne
negatif, Weber lateralisasi ke yang tuli dan schwabach memendek.
b. Audiometri
Ada beberapa macam pemeriksaan audiometri seperti Ludness Balance
Test, SISI, Bekesy Audiometry, Tone Decay. Pemeriksaan saraf-saraf otak lain
meliputi: acies visus, kampus visus, okulomotor, sensorik wajah, otot wajah,
pendengaran dan fungsi menelan. Juga fungsi motorik (kelumpuhan
ekstremitas), fungsi sensorik (hipestesi, parestesi) dan serebelar (tremor,
gangguan cara berjalan).
2.2.8. Tatalaksana
Tatalaksana vertigo terbagi menjadi tatalaksana non farmakologi, farmakologi,
dan operasi.
1. Tatalaksana Non Farmakologis.
Operasi dapat dilakukan pada pasien BPPV yang telah menjadi kronik
dan sangat sering mendapat serangan BPPV yang hebat, bahkan setelah
melakukan manuver-manuver yang telah disebutkan di atas. Dari literatur
dikatakan indikasi untuk melakukan operasi adalah pada intractable BPPV,
yang biasanya mempunyai klinis penyakit neurologi vestibular, tidak seperti
BPPV biasa.
Terdapat dua pilihan intervensi dengan teknik operasi yang dapat dipilih,
yaitu singular neurectomy (transeksi saraf ampula posterior) dan oklusi kanal
posterior semisirkular. Namun lebih dipilih teknik dengan oklusi karena
teknik neurectomi mempunyai risiko kehilangan pendengaran yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Chain, T.C. 2009. Practical Neurology 3rd edition: Approach to the Patient with
Dizziness and Vertigo. Illionois: Wolter Kluwe Lippincot. William and Wilkins.