Dari sinilah praktik penindasan, pemerasan dan pemerkosaan hak tanpa perikemanusiaan
makin berlangsung ganas, sehingga kemudian kehidupan sebagian besar rakyat di bawah batas
kelayakan hidup.
Beberapa tahun kemudian investasi besar-besaran yang dilakukan investor Belanda itu
membawa keuntungan yang melimpah bagi mereka. Antara tahun 1867 hingga tahun 1877
mereka berhasil membawa pulang ke negeri Kincir Angin itu sebanyak kurang lebih 15 juta
Gulden. Akan tetapi apa yang diperoleh bangsa Hindia Belanda, adalah tidak lain kemelaratan
yang meraja lela atas kehidupan rakyat dimana-mana.
Masalahnya di dahului oleh Raden Aria Wirjaatmadja (patih purwokerto) sebagai seorang
yang rasa sosialnya tebal. Dengan mendapat bantuan moril atau dorongan-dorongan dari E.
Sieburgh pada tahun 1891 didirikan Bank penolong dan Penyimpanan di Purwokerto, yang
maksud utamanya membebaskan para pegawai dari segala tekanan utang. Pada tahun 1898 E.
sieburgh digantikan oleh De Wolf van Westerrede yang mengharapkan terbentuknya koperasi
simpan pinjam untuk para petani.
Langkah pertama yang dilakukan yaitu memperluas bidang kerja Bank Penolong dan
penyimpanan sehingga meliputi pula pertolongan bagi para petani di daerahnya. Untuk
menyerasikan nama dan tugasnya, bank tersebut mendapatkan perubahan nama menjadi
Purwokerto Hulp Spaar En Landbouwcrediet atau bank penolong, penyimpanan dan kredit
pertanian, yang dapat dikatakan sebagai pelopor berdirinya bank rakyat di kemudian hari.
Menurut De Wolf van Westerrede kebiasaaan-kebiasaan yang telah mendarah daging
pada para petani Indonesia (gotong royong, kerja sama) merupakan dasar yang paling baik untuk
berdirinya dengan subur koperasi kredit yang menjadi cita-citanya. Cita-cita De Wolf sebagai
lanjutan dari perintisan pembentukan koperasi kredit oleh R. Aria Atmadja, untuk mendirikan
koperasi kredit model Raiffeisen memang belum dapat terwujud, akan tetapi sedikit banyak
usahanya telah tampak pada bank-bank desa, lumbung-lumbung desa dan rumah-rumah gadai
yang sempat didirikannya di tanah air kita, yang kesemuanya memang mengembangkan usaha
pemberian kredit kepada para petani dan kaum ekonomi lemah bangsa kita.
Selain dari kegiatan lumbung, bank desa dan bank rakyat yang menyalurkan pinjaman-
pinjaman bentuk padi dan uang kepada petani dan mereka yang ekonomi lemah, aktivitas
penerangan tentang perlunya pembentukan koperasi kepada para petani dilakukan oleh
Departemen Pertanian atau Departemen Pertanian-Kerajinan dan Perdagangan, mulai tahun
1935 dilakukan oleh Departemen Perekonomian.
Belum terbentuknya koperasi pada waktu itu, sebab yang utama karena pemerintahan
kolonial Belanda tidak sungguh-sungguh memperhatikan, politik pemerintahan kolonial masih
memikirkan akibat persatuan rakyat Indonesia yang terbentuk melalui koperasi.
Di masa penjajahan Belanda, gerakan koperasi pertama di Indonesia lahir dari inisatif
tokoh R. A. Wiriaatmadja pada tahun 1986. Wiriaatmadja, patih Purwokerto (Banyumas) ini
berjasa menolong para pegawai, pedagang kecil dan petani dari hisapan lintah darat melalui
koperasi. Beliau dengan bantuan E. Sieberg, Asisten Residen Purwokerto, mendirikan Hulp-en
Spaar Bank. Cita-cita Wiriaatmadja ini juga mendapat dukungan dari Wolf van Westerrode,
pengganti Sieberg. Mereka mendirikan koperasi kredit sistem Raiffeisen. Gerakan koperasi
semakin meluas bersamaan dengan munculnya pergerakan nasional menentang penjajahan.
Pada tahun 1927, usaha koperasi dilanjutkan oleh Indonesische Studie Club yang
kemudian menjadi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) di Surabaya. Berdirinya Boedi Oetomo,
pada tahun 1908 mencoba memajukan koperasi rumah tangga (koperasi konsumsi). Serikat Islam
pada tahun 1913 membantu memajukan koperasi dengan bantuan modal dan mendirikan Toko
Koperasi. Pada tahun 1927, usaha koperasi dilanjutkan oleh Indonesische Studie Club yang
kemudian menjadi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) di Surabaya. Partaui Nasional Indonesia
(PNI) di dalam kongresnya di Jakarta berusah menggelorakan semangat kooperasi sehuingga
kongres ini sering juga disebut “kongres koperasi”. Pergerakan koperasi selam penjajahan
Belanda tidak dapat berjalan lancar. Karena Pemerintahan Belanda selalu berusaha
menghalanginya, baik secara langsug maupun tidak langsung. Selain itu, kesadaran masyarakat
atas koperasi sangat rendah akibat penderitaan yang dialaminya. Untuk membatasi lalu
perkembangan koperasi, pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan koperasi Besluit 7 April
No. 431 tahun 1915. Berdasarkan peraturan ini rakyat tidak mungkin mendirikan koperasi
karena:
Mendirikan koperasi harus mendapat izin dari gubernur jenderal akta dibuat dengan
perantaraan notaris dan dalam bahasa Belanda ongkos materai sebesar 50 golden, hak
tanah harus menurut hukum Eropa harus diumumkan di Javasche Courant yang
biayanya juga tinggi
Peraturan ini mengakibatkan munculnya reaksi dari kaum pergerakan nasional dan
para penganjur koperasi. Oleh karena itu, pada tahun 1920 pemerintah Belanda
membentuk “ Panitia Koperasi ” yang diketuai oleh J. H. Boeke. Panitia ini ditugasi
untuk meneliti mengenai perlunya koperasi. Setahun kemudian, panitia itu
memberikan laporan bahwa koperasi perlu dikembangkan. Pada tahun 1927
pemerintah mengeluarkan peraturan No. 91 yang lebih ringan dari perturan 1915.
Akta tidak perlu dengan perantaraan notaris, tetapi cukup didaftarkan pada Penasehat
Urusan Kredit Rakyat dan Koperasi serta dapat ditulis dalam bahasa daerah
Ongkos materai 3 golden
Hak tanah dapat menurut hukum adat
Berlaku untuk orang Indonesia asli, yang mempunyai hak badan hukum secara adat
Dengan keluarnya peraturan ini, gerakan koperasi mulai tumbuh kemabli. Pada tahun
1932, Partai Nasional Indonesia mengadakan kongres koperasi di Jakarta. Pada tahun 1933,
pemerintah Belanda mengeluarkan lagi peraturan No. 108 sebagai pengganti peraturan yang
dikeluarkan pada tahun 1915. Peraturan ini merupakan salinan dari peraturan koperasi Belanda
tahun1925, sehingga tidak cocok dan sukar dilaksanakan oleh rakyat. Pada masa penjajahan
Jepang, koperasi mengalami nasib yang lebih buruk. Kantor Pusat Jawatan Koperasi diganti oleh
pemerintah Jepang menjadi Syomin Kumiai Cou Jomusyo dan Kantor Daerah diganti menjadi
Syomin Kumiai Saodandyo. Kantor Pusat Kumiai Koperasi diganti oleh pemerintah Jepang
menjadi Syomin Kumiai Cou Jomusyo dan Kantor Daerah diganti menjadi Syomin Kumiai
Saodandyo..Walau hanya berlangsung selama 3,5 tahun tetapi rakyat Indonesia mengallami
penderitaan yang jauh lebih dahsyat. Jadi, dalam masa penjajahan Jepang koperasi Indonesia
dapat dikatakan mati.
Semangat berkoperasi yang sesungguhnya telah luntur pada masa ini karena tugas-tugas
pelaksanaan “kumiai” (koperasi yang didirikan oleh pemerintah jepang). Kemudian mulai timbul
kembali pada saat bergeloranya ”Semangat Nilai-nilai Perjuangan ‘45”, dimana rakyat bahu-
membahu bersama pemerintah untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi.Pengembangan
koperasi dapat berjalan dengan lancar maka pada bulan desember 1946 oleh pemerintah RI telah
diadakan reorganisasi koperasi dan Perdagangan dalam negeri menjadi dua instasi yang terpisah
dan berdiri sendiri. Koperasi dangan tugas tugas mengurus dan menangani pembinaan gerakan
koperasi, sedangkan perdagangan dengan tugas-tugas mengurus perdagangan.
Ketahanan rakyat indonesia dalam menghadapi berbagai masalah yang dihadapi dengan
semangat kekeluargaan, kegotong royongan untuk mencapai masyarakat yang dapat
menignkatkan taraf hidupnya telah mendorong lahirnya berbagai bebagai jenis koperasi dengan
pesat, koperasi pada kurun waktu ini merupakan alat perjuangan dibidang ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat. Pada tahun 1947 tercatat kurang lebih 2500 koperasi yang diawasi
oleh pemerintah RI namun pengawsannya kurang seksama sehingga ada yang mengatakan
koperasi-koperasi yang ada lebih banyak bersifat kuantitas daripada kualitas. Pergerakan
koperasi di RI telah berhasil mewujudkan tiga kegiatannya yang akan selalu tercatat dalam
sejarah perkoperasian Indonesia yaitu:
1) Koperasi Desa
Gagasan tentang perlu dibentuknya koperasi di desa–desa adalah gagasan dari Sir Horace
Plunkett yang berkebangsaan Inggris sebelumnya beliau mengembangkannya di India yang
terkenal dengan “Multy Purposes Cooperative” dan beliau berpendapat bahwa “ Dengan
Koperasi Desa akan tercapai pertanian yang lebih baik, usaha perdagangan yang lebih baik dan
kehidupan yang lebih baik” (Better Farming, Better Business, and Better Living) yang
merupakan cikal-bakal terbentuknya KUD (Koperasi Unit Desa) dimana dalam bentuk koperasi
ini petani diharapkan hendaknya bergabung agar dapat tercapainya peningkatan pendapatan
untuk memenuhi segala kebutuhan mereka baik untuk memproduksi atau keperluan hidup agar
tercapai kesejahteraan hidupnya. Tugas dari Koperasi desa meliputi meningkatkan produksi,
pemasaran hasil produksi secara terpadu, dan mengusahakan kredit untuk memperlancar usaha
tani. Kalau kita hubungkan dengan peranan KUD pada waktu sekarang pada umumnya petani
yang bergabung dalam KUD tingkat kesejahteraan hidupnya adalah lebih baik karena KUD telah
dapat menimbulkan kegairahan kerja untuk meningkatkan produksi dan para petani dibimbing
untuk mengolah lebih lanjut hasil dari pertanian itu untuk menjadi komoditi perdagangan yang
harganya lebih tinggi.
2) Koperasi Batik
Sekitar tahun 1800, warga Tionghoa menanam sejenis kapas (ciam). Dari serat tanaman
jong dan ciam masyarakat Pekajangan berusaha membuat kain dengan alat tenun sederhana. Jiwa
dagang warga daerah ini mendorong perajin dan pedagang bepergian ke daerah lain, termasuk ke
Yogyakarta dan Surakarta yang interaksinya semakin kental dari tahun ke tahun. Situasi
pertekstilan semakin maju tahun 1920 sehingga timbul pengaturan izin lisensi untuk pengusaha
tekstil harus diurus di Batavia (Jakarta) ke Gubernur Jenderal Belanda.
Baru pada tahun 1948 rakyat mencoba lagi menghidupkan kembali gerakan koperasi
dalam batas batas kemungkinan yang diberikan oleh revolusi. Akan tetapi baru sesudah
penyerahan kedaulatan pada permulaan tahun 1950 dapat dikatan dengan sungguh sungguh
tentang adanya perkembangan bebas dari pada gerakan koperasi (Soesastro dkk, 2005:86 ). Pada
tanggal 12 Juli 1953, mengadakan kembali Kongres Koperasi yang ke-2 di Bandung. Kongres
koperasi ke -2 mengambil putusan :
Menjelang saat-saat dilakukannya Konperensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949,
Undang-Undang/Peraturan Koperasi Tahun 1927. Stbl. no. 91 telah ditinjau kembali, ternyata
banyak di antara ketentuannya yang kurang cocok dengan kepribadian bangsa Indonesia, karena
itu diadakan Peraturan Koperasi yang baru, yaitu Peraturan Koperasi Tahun 1949 nomor 179.
Dalam Peraturan Koperasi yang baru ini jelas dinyatakan bahwa "koperasi merupakan
perkumpulan orang-orang atau badan-badan hukum Indonesia yang memberi kebebasan kepada
setiap orang atas dasar persamaan untuk menjadi anggota dan atau menyatakan berhenti dari
padanya.
Maksud utama mereka dalam wadah koperasi ini yaitu memajukan tingkat kesejahteraan
lahiriah para anggotanya dengan melakukan usaha-usaha bersama di bidang perdagangan, usaha
kerajinan, pembelian/pengadaan barang-barang keperluan anggota, tanggung-menanggung
kerugian yang dideritanya, pemberian atau pengaturan pinjaman, pembentukan koperasi harus
diperkuat dengan akta (surat yang sah) dan harus didaftarkan serta diumumkan menurut cara-
cara yang telah ditentukan pemerintah".
Peraturan Koperasi Tahun 1949, No. 179 walau persiapan dan pembentukannya
dilakukan pada saat-saat pemerintah kolonial Belanda sedang sibuk dengan kegiatan
pembentukan Negara federal bersama negara-negara bagian yang telah dibentuknya, jelas
banyak diilhami oleh gerak langkah koperasi-koperasi yang telah dibentuk di daerah-daerah
Republik Indonesia yang telah menyesuaikan diri dengan gelora perjuangan dan pembangunan
bangsa dan negara dalam satu wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dan pada waktu itu koperasi tengah dalam keadaan penyempurnaan hingga pada saat
sistem Liberalisme masuk dan berakar dalam masyarakat kita yang mula-mula terasa di kota-
kota selanjutnya ke desa-desa sehingga gerak langkah koperasi pun terpengaruh. Dimana
liberalisme sangat mengabaikan musyawarah dan mufakat dan pengkotak – kotakan dalam
masyarakat yang sangat bertentangan dengan gotong royong dan kekeluargaan yang menjadi
kepribadian bangsa. Pengaruhnya terhadap Koperasi di Indonesia:
Khusus bagi Koperasi hal ini berarti pennyelewengan yang jauh dari jiwa
koperasi, urusan intern perkumpulan koperasi semakin banyak dicampuri oleh
pemerintah , kebebasan koperasi untuk mengambil keputusan menjadi sangat terbatas dan
hal ini terasa sekali mematikan inisiatif gerakan koperasi. Peraturan Pemerintah (PP)
no.60 Tahun 1959 Merupakan peralihan sebelum dicabutnya UU koperasi tahun 1985
no.79 dan agar gerakan koperasi dapat disesuaikan dengan irama revolusi pada saat itu.
Dan untuk merumuskan pola perkoperasian sehubungan dengan PP no.60 tahun 1959
pada tanggal 25 – 28 Mei 1960 di Jakarta dilangsungkan Musywarah Kerja Koperasi dan
diputusakn beberapa diktum yang berciri pada pola pemikiran Bung karno:
1. Menjadikan Manipol USDEK sebagai landasan Idiil koperasi denga demikian
koperasi harus mengikuti garis- garis yang dikehendaki oleh beliau yang condong
kepada koperasi di negara-negara Komunis.
2. Pelaksanaan ekonomi terpimpin merupakan fungsi koperasi yang berarti
dikuasainya secara ketat perkooperasian oleh pemerintah.
Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 1960 Dengan Instruksi ini dilakukan hal-hal
sebagai berikut: Pendidikan koperasi untuk kader- kader masyarakat. Pemasukkan Mata
Pelajaran Koperasi ke sekolah-sekolah. Musyawarah Nasional Koperasi ke-
1(MUNASKOP I) Bertempat di Surabaya pada tanggal 21 April 1961 diselenggarakan
MUNASKOP 1 yang bertujuan untuk lebih menyempurnakan perkoperasian nasional.
Musyawarah Nasional koperasi Ke 2 (MUNASKOP II) Bertempat di Jakarta pada bulan
Agustus 1965 diselenggarakan MUNASKOP II, ternyata pada kenyataannya
MUNASKOP II malah lebih menghancurkan Ideologi koperasi Indonesia Murni.Dan
ternyata pada masa ini terjadi banyak penyalahgunaan kekuasaan baik Politis maupun
Materil yang dilakukan para petugas maupun pengurus koperasi sehingga bukan koperasi
yang sehat yang terwujud melainkan koperasi yang ingkar terhadap hakikinya.
Sejak saat Jenderal Soeharto efektif memegang kendali kekuasaan pemerintahan sesuai
dengan SUPERSEMAR (Surat Perintah 11 Maret 1966), perbaikan demi perbaikan mulai
dilakukan. Tanpa terkecuali bidang perkoperasian untuk dikembalikan sesuai denga fungsinya
yang sesungguhnya.
Pada tahun 1966 ini pula pemerintah telah mengatur bidang perkoperasian nasional,
dimana urusan pengembangan/pembinaan dialihkan kepada Kementerian Perdagangan melalui
Departemen Koperasi, yang langsung meluruskan kekeliruan yang terjadi di zaman Orde Lama,
yaitu meletakkan asas-asas Sendi Dasar Koperasi sesuai dengan keberadaannya. Oleh karena itu
dikeluarkan Surat Edaran No.1 dan No.2 tahun 1966 oleh Deputi Mentri Perdagangan yang
membawahi Departemen Koperasi di lingkungan Kementerian Perdagangan, yang mengatur
bahwa: koperasi harus bekerja berdasarkan asas dan sendi dasar yang sebenarnya, koperasi
sebagai alat demokrasi ekonomi harus menegakkan asas demokrasi dengan kekuasaan tertinggi
pada Rapat Anggota, dan seterusnya.
Landasan-landasan Koperasi, yaitu antara lain:
Sifat keanggotaannya sukarela dan terbuka untuk setiap warga negara Indonesia.
Rapat anggota merupakan kekuasaan yang tertinggi sebagai pencerminan demokrasi
dalam koperasi.
Pembagian sisa hasil usaha diatur menurut jasa masing-masing anggota.
Adanya pembatasan bunga atas modal.
Mengembangkan kesejahteraan anggota khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Usaha dan ketatalaksanaannya bersifat terbuka.
Swadaya,swakerta, dan swasembada sebagai pencerminan dari prinsip dasar, yaitu
percaya pada diri sendiri.
Masalah manajemen
Masalah modal dan pemupukan modal
Masalah pemasaran dan peningkatan produk
Pada jaman kemerdekaan sampai sekarang telah dikeluarkan UU koperasi, yaitu sebagai
berikut:
DAFTAR PUSTAKA
https://www.coursehero.com/file/25547686/RMK-SAP-2docx/
https://ekonomisajalah.blogspot.com/2015/03/kurun-waktu-mempertahankan-kemerdekaan.html