Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkembangan Islam Pada Zaman Nabi Muhammad SAW dan para Sahabat adalah
merupakan Agama Islam pada zaman keemasan, hal itu bisa terlihat bagaimana kemurnian Islam
itu sendiri dengan adanya pelaku dan faktor utamanya yaitu Rasulullah SAW. Kemudia pada
zaman selanjutnya yaitu zaman para Sahabat, terkhusus pada zaman khalifah empat atau yang
lebih terkenal Khulafaur Rasyidin, Islam berkembang dengan pesat dimana hamper 2/3 bumi
yang kita huni ini hampir dipegang dan dikendalikan oleh Islam. Hal itu tentunya tidak lepas dari
para pejuang yang sangat gigih dalam mempertahankan dan juga dalam menyebarkan Islam
sebagai agama Tauhid yang diridhoi.
Perkembangan Islam pada zaman inilah merupakan titik tolak perubahan peradaban kearah
yang lebih maju. Maka tidak heran para sejarawan mencatat bahwa Islam pada zaman Nabi
Muhammad dan Khulafaur Rasyidin merupakan Islam yang luar biasa pengaruhnya. Namun
yang terkadang menjadi pertanyaan adalah kenapa pada zaman sekarang ini seolah kita
melupakannya. Sekaitannya dengan itu perlu kiranya kita melihat kembali dan mengkaji kembali
bagaimana sejarah islam yang sebenarnya.
Pertama kali yang dirasakan kaum muslimin ketika mengkaji sejarah tentang Ali bin Abi
Thalib adalah kerumitan-kerumitan yang menjadi tanda tanya besar bagi kami. Pada waktu itu,
terjadi berbagai konflik atau tepatnya fitnah di kalangan para sahabat, seperti Perang Jamal
(terjadi antara golongan Ali dan Aisyah) dan perang Shifin (terjadi antara golongan Ali dan
Muawiyah). Generasi sahabat yang disebut di dalam al-Qur’an sebagai Khairu Ummah
mengalami peristiwa yang benar-benar tidak terduga, bahkan oleh para sahabat di masa itu sekali
pun. Hal itu menimbulkan banyak pertanyaan yang harus diselesaikan oleh kaum muslim,
terutama para pengkaji sejarah Islam.
1.2 Rumusan Masalah
1. Mengetahui Biografi Khalifah Ali bin Abi Thalib
2. Mengetahui Pengertian Pemerintahan Islam
3. Mengetahui Sistem Pemerintahan Islam
4. Mengetahui Prinsip-prinsip dalam Pemerintahan Islam

1
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui dan memahami bagaimana biografi Khalifah Ali bin Abi Thalib
2. Mengetahui Pengertian Pemerintahan Islam
3. Mengetahui Sistem Pemerintahan Islam
4. Mengetahui Prinsip-prinsip dalam Pemerintahan Islam
1.4 Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam pembuatan makalah ini adalah Studi pustaka
dan internet.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Biografi Khalifah Ali bin Abi Thalib


Ali bin Abi Thalib adalah seorang putra yang lahir dari pertautan syar’i antara Abu Thalib
bin Abdul Muthalib dengan Fatimah binti As’ad bin Hasyim bin Abdul Manaf. Ia lahir disaat
peta sosial masyarakat Arab saat itu dalam keadaan berhadapan-hadapan, disatu sisi terdapat
barisan Rasulullah Saw yang dengan milisinya terus melakukan internalisasi kesadaran religius
bagi masyarakat yang nota benenya masih dominan menyembah berhala, dan disisi lain terdapat
klan-klan kekuatan penolak yang secara sadar menolak tawaran-tawaran Rasulullah Saw
tersebut.
Menurut Ibnu Saad bahwa Ali dilahirkan malam 12 rajab tahun 30 dari tahun gajah pada
abad ke-6M. Abu Thalib adalah saudara kandung Abdullah ayah Nabi Muhammad Saw, karena
itu pula Ali tergolong sebagai keturunan keluarga Hasyimiyah, sama dengan garis keturunan
Nabi Muhammad Saw, dan garis keturunan inilah yang menduduki kekuasaan tertinggi atas
Ka'bah dan sekitarnya sebelum Nabi lahir.
Ketika berusia 6 tahun, Ali diambil sebagai anak asuh oleh Nabi Muhammad
SAW sebagaimana beliau pernah diasuh oleh ayahnya (Abi Thalib). Ali adalah orang kedua yang
menerima da'wah Islam setelah Khadijah binti Khuwailid, isteri Nabi Muhammad SAW sejak itu
ia selalu bersama Rasulullah dan banyak menyaksikan Rasulullah SAW menerima wahyu.
Sebagaimana anak asuh Nabi, ia banyak menimbah ilmu mengenai rahasia ketuhanan maupun
persoalan keagamaan, entah itu teoritis atau pun praktis. Pada tahun ke-2 hijriah, tepatnya ketika
Ali berusia 21 tahun 5 bulan, Ia dinikahkan dengan Fatimah al-Zahra yang berusia 15 tahun.
Ali dikenal cerdas dan menguasai masalah keagamaan secara mendalam, sebagaimana
tergambar dari sabda Nabi Muhammad SAW, "Aku kota ilmu pengetahuan sedang Ali  pintu
gerbangnya" Ia adalah sosok pemuda yang keberaniaanya luar biasa dalam perjuangan membela
Islam. Setelah Nabi Muhmmad SAW wafat, Ali banyak mendukung pemerintahan Abu
Bakar.  Ketika muncul Nabi-nabi palsu, ia turut ambil bagian dalam mengamankan stabilitas
Madinah. Setelah Abu Bakar wafat ia segera membai'at Umar sebagai khalifah ke dua. Untuk
mempererat  hubungan persaudaraan, Ali memperkenankan menikahi salah seorang  putrinya,
yakni ummi Kalsum. Ia selalu membantu Umar dalam mengatur pemerintahan Islam, ketika

3
terjadi pencalonan khalifah ketiga Ali menyampaikan dukungan suaranya terhadap Usman. Dan
ketika Usman terkepung oleh gerombolan pemberontak dan memerintahkan putranya yang
bernama Hasan untuk menjaga keamanan pintu rumah Usman.
2.1.1 Kepemimpinan Ali bin Abi Thalib
Hal yang paling substansial menjadi perdebatan Setelah kepergian Rasulullah Saw ialah
persoalan kepemimpinan, khususnya tentang siapa yang berhak menjadi pengganti beliau dalam
melanjutkan kepemimpinan dan menjaga serta melestarikan nilai-nilai  yang telah diajarkan
peribadi agung ini dalam kehidupan individu maupun sosial kemasyarakatan.
Beragam gagasan dan konsepsi tentang kasus ini telah mewarnai perjalanan sejarah umat
terdahulu, mulai dari pengangkatan Abu Bakar As-Shiddiq di Balariung Sakifah melalui
musyawarah oleh segelentir kaum muslimin, penunjukan Abu Bakar kepada Umar bin Khattab
sebagai pengganti, penetapan dewan syura’ oleh Umar bin Khattab untuk mengurus
penggantinya (terpilih Usman bin Affan), dan baiat secara massal dari publik kepada Ali bin Abi
Thalib setelah Usman bin Affan.
Meski dalam putaran roda waktu tersebut, sejarah Islam awal (pasca wafatnya
Rasulullah) telah diwarnai dengan beragam pola/skema penetapan kepemimpinan (bahkan ada
yang berujung pada konflik yang berkepanjangan), tapi paling tidak terdapat satu hal yang
menjadi perekat dari semuanya, yakni kesepakatan oleh kaum Muslimin akan pentingnya
pemimpin dan kepemimpinan dalam Islam.
Konflik internal yang kontras dalam catatan sejarah umat Islam awal ialah setelah terbunuhnya
Khalifah ke tiga (Usman bin Affan). Khawatir akan terjadinya fitnah yang berujung pada
perpecahan berlarut, maka masyarakat Madinah tidak membiarkan kesenjangan ini, dan bergegas
memilih Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin pengganti, dan memang selaku kandidat terkuat
menurut pengamatan dewan syura’ bentukan Umar bin Khattab yang masih hidup. Bahkan para
sejarawan bersepakat bahwa Ali dipilih secara aklamasi, dan menuntut baiat
(pengakuan/legitimasi) di masjid secara terbuka dengan kesepakatan seluruh hadirin. Maka dari
itu bisa dipahami bahwa Ali adalah khalifah pertama dan satu-satunya yang terpilih secara umum
dalam sejarah kekhalifaan.
Kekhawatiran kaum muslimin akan terjadinya fitnah dan konflik internal pasca
terbunuhnya Usman bin Affan, pun ternyata tidak dapat dibendung. Kaum muslimin terkotak-
kotakkan kedalam bebarapa kelompok, dan masing-masing dari mereka membangun sistem

4
pemekirian tersendiri. Tidak hanya sampai disitu, saling mengintrik antara satu komuntisa yang
satu dengan komunitas yang lainnya pun terkumandangkan, endingnya adalah pertentangan dan
perang. Dan inilah fase tantangan yang harus dihadapi oleh Ali bin Abi Thalib AS.

2.1.2 Pergolakan Masa Ali bin Abi Thalib


Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya bahwa pada kepemimpinan Ali bin Abi
Thalib, konflik internal mewarnai perjalanan historisnya. Konflik ini tak hanya berbau politis
melainkan telah mengaitkan persoalan-persoalan teologis (mazhab-mazhab mulai terbentuk).
Tantangan Yang Dihadapi Oleh Ali bin Abi Thalib adalah sebagai berikut :
1.      Khawarij
Khawaij adalah aliran yang pertama kali muncul dalam teologi Islam, pada abad ke-7,
terpusat didaerah yang kini ada di Irak selatan. Dan mereka merupakan bentuk yang berbeda dari
sunni dan syi’ah. Mereka merupakan Pengikut Ali bin Abi Thalib, yang kemudian keluar
meninggalkan barisan karena tidak sepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase
dalam perang siffin pada tahun 37 H / 684 M, dengan Kelompok bughat Muawiyyah bin Abi
Sufyan perihal persengketaan Khalifah.1[3]
Benih perlawanan dari kelompok ini mulai nampak saat Amr Ibn al-As mengacungkan al-
Qur’an di ujung tombak di perang Shiffin, pengacungan ini dimaksudkan untuk berdamai
melalui arbitrase. Kelompok ini menekan khalifah Ali bin Abi Thalib agar menerima tawaran
tersebut. Dan demi menjaga ritme barisan, Ali bin Abi Thalib pun menerima tawaran itu dan
meminta Abudllah Ibn Abbas (sebagai arbitrator), namun kelompok (yang cikal bakal jadi
khawarij ini) menolak nama yang diusulkan oleh Ali dengan alasan bahwa yang dimaksudkan
adalah bagian dari keluarga Ali bin Abi Thalib. Penolakan tersebut diiringi dengan penawaran
nama baru, yakni Abu Musa al-Asy’ari.2[4]
Setelah penentapan nama tersebut dari mereka, proses arbitrase antara pasukan Mu’awiyah
dengan pasukan Ali bin Abi Thalib dilaksanakan, dan keputusan yang dilahirkan dari seremoni
itu rupanya ditolak oleh barisan yang sama dengan alasan bahwa keputusan itu tidak sesuai
dengan hukum Allah. Kelompok inilah kemudian nantinya yang dinamai dengan Khawarij

1
2

5
(berasal dari kata kharaja : keluar)dari mereka adalah al-Asy’asy Ibn Qais al-Kindi, Mas’ar ibn
Fudaki at-Tamami dan Zaid ib Husain ath-Thai.
Dengan apa yang diungkapkan oleh Muhammad ‘Ali al-Sayis bahwa
penerimaan tahkim oleh pihak ‘Ali bin Abi Thalib merupakan sumber lahirnya golongan
Khawarij, yaitu orang-orang dari pihak ‘Ali bin Thalib yang tidak menyetujui keputusan
‘Ali bin Abi Thalib untuk menerima tahkimitu. Karena menganggap praktek seperti itu
tidak pernah dicontohnkan di masa Rasulullah SAW dan juga tidak ada dalilnya dalam
Alquran, maka perbuatan tersebut dinilai sebagai prilaku yang menyalahi hukum Allah.
Mereka keluar dari barisan ‘Ali bin Abi Thalib dan mengancam akan melawan balik
kecuali jika beliau secara resmi mengakui kesalahannya dan membatalkan semua syarat
yang dikemukakan oleh pihak Mu’awiyah, dan terus menggempur hingga hancur atau
kembali kepada jalan yang diridhai oleh Allah.
Keluarnya kelompok ini dari barisan Ali menandakan tidak sepakatnya dengan
kepemipinan Ali bin Abi Thalib beserta klan Mu’awiyah. Konsekuensi logis dari kenyataan ini
ialah mereka menetapkan pemimpin sendiri dari kalangan mereka, dan dipililah Abdullah Ibn
Wahb Al-Rasidi sebagai amirul mukininnya. Dari sini dapat dilihat bahwa dalam perspektif
historis, dasar awal yang menyebabkan munculnya golongan Khawarij adalah arbitrase
(tahkim). Pengamat Barat W. Montgomery juga mengajukan hipotesa tersebut sebagai gambaran
asal mula sekte-sekte Islam.
Akhir dari proses ini ialah semakin menajamnya konflik internal dikalangan umat Islam,
bahkan posisi Ali bin Abi Thalib pun mulai tersudut karena kelompok ini juga menyatakan
perang kepadanya, pun dengan pasukan Mu’awiyah.
2.     Thalha Dan Al-Zubair
Menurut Mahmoud M. Ayoub bahwa kasus Thalah dan Al-Zubair adalah kasus yang
sangat khas dan menarik, oleh karena keduanya termasuk sahabat yang pertama kali membaiat
Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah dan mereka pula yang pertama kali menyatakan perang
terhadapnya.
Ya’qubi meriwayatkan bahwa keduanya mengeluh pada Ali karena jatuh miskin setelah
wafatnya Nabi dan meminta Ali agar menjadikan keduanya sebagai sekutu dalam kekuasaan. Ali
menjawab “Sungguh, kalian adalah sekutu dalam kekuatan dan kejujuran, serta penolongku saat
kelemahan dan ketidakmampuan”. Dan setelah itu Ali menulis surat pengangkatan untuk Thalha

6
sebagai Gubernur Yaman dan Al-Zubair sebagai gubernur wilayah Yamamah dan Bahrain. Tapi
keduanya rupanya tidak puas dengan keputusan Ali tersebut, mereka malah meminta bagian
yang lebih besar dari bait al-mal sebagai perwujudan kebaikan kepada keluarga dekat. Lalu
dengan murka Ali membatalkan pengangkatan mereka sambil mengatakan, “Bukankah aku telah
menunjukkan kebaikan kepadamu dengan mengangkatmu sebagai pemegang  amanat atas urusan
kaum Muslimin?”.
Pembatalan yang dilakukan oleh Ali terhadap posisi yang tadinya diberikan kepada dua
orang tersebut (Thalha dan al-Zubair), menyulut kebencian keduanya terhadap Ali. Akhirnya
mereka pun memilih untuk banting setir menentang Ali bin Abi Thalib, dengan cara menggalang
dukungan politis dari berbagai pihak yang menurutnya bisa dimanfaatkan untuk meronrong
kepemimpinan Ali bin Abi Thalib.
Langkah awal yang mereka lakukan ialah berangkat ke Mekkah untuk berdiplomasi
dengan Aisyah (dan disinyalir memang punya hubungan keluarga dengan Thalhah), setelah
mereka berhasil meyakinkan Aisyah maka Aisyah kemudian bertanaya “apa yang harus saya
lakukan?” Dengan tangkas Thalha dan Zubair menjawab bahwa “sampaikan kepada masyarakat
bahwa Usman telah dibunuh secara zalim, dan urusan harus diserahkan kepada Dewan Muslim
yang dibentuk Umar ibn Khattab”.
Bergabungnya Aisyah dalam barisannya, jelas merupakan langkah maju bagi Thalha dan
Zubair, apalagi dengan dideklarasikannya penanggung jawab pengusutan kasus kematian Usman
bin Affan kepada Dewam Muslim yang juga dianggotai oleh Thalha, Zubair dan Sa’ad bin Abi
Waaqqash.
Menurut Ibn Abi Al-Hadid bahwa salah satu motif yang menguatkan posisi Thalhah dan
Zubair untuk melakukan pemberontakan karena hasutan dari Mu’awiyah, isu yang ditawarkan
oleh Mu’awiyah kepadanya untuk diangkat sebagai legitimasi pemberontakan ialah menuntut
balas atas kematian Usman. Dan setelah meyakinkan Zubair  akan loyalitas masyarakat Suriah
terhadapnya sebagai khalifah, Mu’awiyah melanjutkan bahwa segeralah ke Kufah dan Bashrah
sebelum Ali bin Abi Thalib mendahuluimu kesana, karena kalian tidak akan memperoleh apa-
apa jika kalian kehilangan kedua kota tersebut.
Akhir dari kualisi-kualisi taktis politis ini ialah meletusnya perang Jamal di Basrah pada
tanggal 16 Jumadil Tsani 36 H / 6 Desember 656M mengendarai unta. Dan saat perang tersebut
berlangsung Zubair berkata kepada Ali bahwa anda tidak lebih berhak atau tidak lebih memenuhi

7
syarat untuk memegang jabatan khalifah, melainkan kami (Zubair, Thalhah dan Sa’ad bin Abi
Waqqas) pun sama-sama memiliki hak dan sama-sama memenuhi syarat untuk itu.
Meski dukungan demi dukungan mereka berhasil dapatkan untuk melakukan konfrontasi di
Perang Jamal nantinya, tapi fakta dalam sejarah membuktikan bahwa mereka ternyata berhasil
ditaklukkan oleh barisan Ali bin Abi Thalib. Tokoh-tokoh penggerak perang tersebut dapat
dipatahkan, hingga dalam sejarah tercatat bahwa Thalhah terbunuh  oleh anak panah yang
dibidikkan oleh Marwan ibn Al-Hakam. Melihat nasib sekutunya, Zubair segera meninggalkan
medan perang, namun ia diburuh dan dibunuh oleh seorang suku Tamim atas suruhan al-Ahnaf
ibn Qais (pemuka Anshar/pendukung setia Ali bin Abi Thalib).
3.       Mu’awiyah
Salah satu tantangan berat yang dihadapi oleh Ali bin Abi Thalib pada masa
kepemimpinannya ialah tekanan yang dilakukan oleh Mu’waiyah kepadanya. Tekanan ini
besumber dari bangunan asumsi yang diyakini oleh Mu’waiyah bahwa dirinya merupakan
pewaris (wali) Utsman dalam menuntut balas atas darahnya (kematiannya). Bahkan lebih jauh
Mu’wiyah berkeyakinan bahwa dirinya juga adalah khalifah yang sah (pengganti Usman bin
Affan) berdasarkan bai’at yang dilakukan oleh masyarakat Suriah terhadapnya setelah Ali bin
Abi Thalib memangku jabatan tersebut.
Meski demikian, perjalanan sejarah mencatat bahwa terdapat berbagai keputusan politis
praktis yang Mu’awiyah tempuh untuk memuluskan ambisi kuasanya. Diantaranya ialah, saran
yang disampaikan melalui Jarir (utusan Ali untuk meminta bai’at pada masyarakat Suriah,
namun tidak membuahkan  hasil yang signifikan) agar Ali memberikan Suriah dan Mesir
kepadanya dan Ali mengambil Irak dan Hijaz sebagai wilaya kekuasaan.
Dari keadaan tersebut terdapat dua hal yang menjadi motif konprontasi Mu’awiyah
terhadap Ali bin Abi Thalib, dalam hal ini ialah pengusutan para pembunuh khalifah sebelumnya
dan yang kedua ialah isu dualisme kepemimpinan (Ali dan dirinya). Kedua hal ini dijadikan
sebagai penguat alasan oleh Mu’awiyah untuk terus menerus melakukan tekanan kepada Ali bin
Abi Thalib selaku khalifah resmi. Tuntutan yang paling jelas sebagaimana yang ditegaskan oleh
Harun Nasution ialah mengusut tuntas serta mengeksesui pembunuh Usman bin Affan. Disisi
lain, Mu’awiyah bahkan menuduh Ali bin Abi Thalib sebagai salah satu agen dalam proses
pembunuhan tersebut.

8
2.1.3 Akhir Riwayat Ali bin Abi Thalib
Masa kekhalifahan Ali penuh dengan pergolakan, cita-cita Ali ingin mengadakan
konsolidasi interen dalam pemerintahannya tidak tercapai. Kemungkinan hal ini terjadi karena
Ali menjalankan pemerintahan dengan pendekatan revolusioner atau hanya menerima sisa-sisa
kekecewaan akibat sistem pemerintahan yang dijalankan Usman bin Affan.
Pada waktu Ali bersiap-siap hendak mengirim pasukan sekali lagi untuk memerangi
Mu'awiyah, terbentuklah suatu komplotan untuk mengakhiri hidupnya. Kelompok itu terdiri dari
tiga orang Khawarij yang bersepakat hendak membunuh Ali, Mu'awiyah serta Amr  bin Ash
yang dilakukan pada malam yang sama. Barak ibnu Abdullah al-Tamimi menuju Syam untuk
membunuh Amr bin Ash dan Ibnu Muljam yang berhasil membunuh Ali yang sedang
memanggil orang untuk shalat.
Diceritakan dalam sebuah riwayat bahwa Ibnu Muljam adalah satu dari tiga orang yang
bersumpah didepan ka’bah bahwa pada hari yang sama mereka akan membersihkan  komonitas
Islam dari tiga tokoh pengacau: Ali, Mu’awiyah, dan Amr ibn Ash. Tempat terpencil di dekat
Kufah yang menjadi makam Ali, kini masyhad Ali di Najaf berkembang menjadi salah satu pusat
ziarah terbesar dalam agama Islam.

2.2 Pengertian Pemerintahan Islam


Dalam pemerintahan Islam atau dapat disebut juga sebagai Khilafah adalah sebuah
kekuasaan yang menerapkan syariah islam secara kaffah(menyeluruh)15. Dalam sebuah Negara,
adanya seorang pemimpin merupakan sebuah kebutuhan bagi umat Islam untuk mengangkat
seorang Khalifah yang akan memimpin umat Islam dengan baik dan benar, sesuai dengan yang
disyariah Islam dalam al-Qur’an dan hadis.
Maka, tegaknya Daulah Khilafah adalah sebuah kewajiban, dan setiap kelalaian dalam
upaya untuk menegakannya merupakan dosa besar. RasulullahSAW memerintahkan umat Islam
untuk memberikan bai’at kepada seorang Khalifah. Dengan Syariah Islam, Khilafah memelihara
seluruh urusan umat manusia. Jika syariah tidak diterapkan dalam naungan Daulah Khilafah,
maka kedaulatan Islam dalam seluruh aspek kehidupan manusia tidak akan pernah terwujud
secara nyata. Maka kerahmatan Islam yang dijanjikan juga tidak bisa dirasakan secara nyata
pula16.Khilafah adalah sistem politik Islam. Khilafah tidak sama dengan sistem diktator, tapi
juga bukan sistem demokrasi.Menurut teori Islam, dalam mekanisme operasional pemerintahan
negara seyogiyanya mengacu pada prinsip-prinsip syariah. Islam sebagai landasanetika dan
9
moreal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Secara konseptual di
kalangan ilmuan danpemikir politik Islam era klasik,Dalam pemerintahan Islam setiap orang,
kelompok, partai, anggota Majlis Umat atau qodhi mahkamah madzalim bisa mengontroldan
mengoreksi Khalifah. Islam memerintahkan untuk memberhentikan seorang Khalifah jika
terbukti memerintah bukan dengan syariah Islam (Al-qur’an dan Hadis), atau bersikap dzalim
kepada rakyat. Maka jika kedzaliman terjadi, masyarakat berhak mengajukan pengaduan kepada
mahkamah madzalim. Jika kedzaliman itu terbukti dilakukan oleh Khalifah, maka Mahkamah
Madzalim berhak memberhentikanya.

2.3 Sistem Pemerintahan Islam


Sistem pemerintahan Islam merupakan sebuah sistem pemerintahan yang demokratis,
karena dalam pemerintahan Islam dikenal dengan adanya kekuasaan Legislative, Eksekutif dan
Yudikatif. 1.Ahlul-halli wal-aqdi (legislative)Badan legislative adalah: lembaga pemerintahan
yang secara terminologi fiqih disebut lembaga penengah dan pemberi fatwa. Yang di Negara-
negara modern disebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Majlis Permusyawaratan
Rakyat (MPR).
Kekuasaan yang berfungsi membuat undang-undang atau lembaga pemegang pemberi
fatwa, yang mereka sampaikan itu tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Hadits.
Dimasa pemerintahan Rasullullah, ketiga kekuasaan itu dipegang langsung oleh Rasullallah
sendiri, karena di masa itu wilayah Islam baru sedikit dan cukup ditangani oleh beliau sendiri.
Rasullullah sebagai pemegang kekuasaan legislatif, beliau menyampaikan apa saja yang diterima
dari Allah dan ditambahkan dengan amalan Rasul dengan bentuk sunahnya yang memiliki
otoritas dan fungsi sebagai sumber hukum. Sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dan
kekuasaan yudikatif beliau bertugas mengatur mekanisme pemerintahan dan kemaslahatan, serta
mengadili pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Berbeda dengan masa khalifah Ali bin Abi
Thalib, jabatan yudikatif ini pernah di pegang oleh beberapa orang yaitu:
a. Syuraih bin Harits di Kufah
b. Abu Musa al-Asy’ari di Kufah
c. Malik bin Harits di Mesir
d. Ubaidillah bin Mas’ud di Yaman
e. Usman bin Hanif di Mesir
f. Qais bin Said di Mesir
10
g. Umarah bin Syihab di Kufah
h. Qatsam bin Abbas di Basrah
i. Ju’adah bin Hubairah al-Mahzumi di Khurazan
j. Abdullah bin Abbas di Basrah
k. Sa’id bin Namran al-Hamadzani di Kufah
l. Baidah al-Salmani di kufah
m. Muhammad bin Yazid bin Khalidah al-Saibani di Kufah
Itulah beberapa orang yang pernah memegang jabatan yudikatif pada masa pemerintahan
khalifah Ali bin Abi Thalib.

2.4 Prinsip-prinsip dalam Pemerintahan Islam


Menurut teori Islam, dalam mekanisme operasional pemerintahan Negara seyogianya
mengacu pada prinsip-prinsip syariah. Islam sebagai landasan etika dan moral dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Secara konseptialdikalangan ilmuwan dan pemikir
politik Islam era klasik, menurut Mumtaz Ahmad dalam bukunya State, Politics, and Islam,
menekankan tiga ciri penting sebuah Negara dalam perspektif Islam, yakni adanya masyarakat
muslim (ummah), hukum Islam (syariah) dan kepemimpinan masyarakat muslim (Khilafah).
Prinsip-prinsip dalam pemerintahan Islam tersebut ada yang berupa prinsip-prinsip dasar
yang mengacu pada teks-teks syariah yang jelas dan tegas.1.Prinsip-prinsip dari Al-Qur’an.
a. Kedudukan manusia diatas bumi setatus menjadi Khalifah Allah menimbulkan peran-peran
tertentu yangharus dijalankan oleh manusia. Manusia bertugas untuk mengatur dan memimpin
bumi dengan baik sesuai dengan kualitas dan sifat-sifat Allah tetapi hanya sebatas kemampuan
manuasia. Oleh sebab itu manusia harus menyebarkan kebaikan di muka bumi dan mencegah
serta menghilangkan segala bentuk kemudharatan dimuka bumi. Oleh karena itu manusia wajib
mengelola, merawat, dan memanfaatkan hasilnya untuk kesejahtraan seluruh mahluk. Abul A’la
al Maududi meletakan prinsip kekhalifahan manusia sebagai salah satu dari tiga prinsip yang
mendasar sistem politikIslam. Dua prinsip lainnya adalah prinsip keesaan Tuhan (Tauhid) dan
prinsip kerasulan. Menurut ajaran Islam, manusia adalah wakil tuhan dimuka bumi karena
manusia mengemban kuasa yang didelegasikan tuhan dalam batas-batas yang ditentukan-nya dan
bertugasmelaksanakan kekuasaan tuhan tersebut sesuai dengan kehendak tuhan.
b. Prinsip manusia sebagai umat yang Satu meskipun manusia berbeda sukubangsa, warna kulit,
bahkan agama.Walau dalam negara kita banyak sekali suku bangsa, warna kulit serta agama,
11
akan tetapi merupakan satu kesatuan manusia karena sama-sama mahluk Allah. Dengan
demikian, perbedaan antar manusia harus disikapi dengan pikiran yang positif untuk saling
memberikan kelebihan masing-masing dan saling menutupi kekurangan masing-
masing.Keberpihakan Islam pada prinsip persaudaraan dan persamaan didasarkan pada tujuan
yang hendak diraih yakni adanya pengakuan terhadap persaudaraan semesta dan saling
menghargai diantara sesama umat manusia sehingga dapat tercipta kehidupan yang toleran dan
damai.
c. Prinsip menegakan kepastian hukum dan keadilan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.Amanah merupakan amanah rakyat yang diberikan kepada seorang pemimpin untuk
menjalankan roda pemerintahan yang di dalamnya terkandung nilai-nilai kontrak sosial. Bagi
pengemban amanah harus mampu menjalankan titah rakyat sekaligus harus mampu menjadi
pelayan rakyat dan wajib hukumnya untuk bersikap adil.
d. Prinsip kepemimpinan. Allah telah menjadikan kalian sebagai penguasa diatas muka bumi,
yang telah menggantikan umat dan masyarakat yang sebelum-nya, juga Allah telah mengangkat
sebagian dari kamu beberapa derajat tingkat dari yang lain, kekuasaan dan ketinggian derajat itu
tidak lain Allah akan menguji kaliandengan ujian yang sesuai atas kemampuan manusia itu
sendiri, karena allah tidak akan memberikan ujian atau cobaan di luar kemampuan umatnya,
bagaimana menerima, mempergunakan dan mensyukuri pemberian tuhanmu itu.
e. Prinsip musyawarah. Prinsip ini menghendaki agar hukum perundang-undangan dan kebijakan
politik diterapkan melalui musyawarah di antara mereka yang berhak. Masalah yang
diperselisihkan para peserta musyawarah harus diselesaikan dengan menggunakan ajaran-ajaran
dan cara-cara yang terkandung dalam al-Qur’an dan sunah Rasullallah SAW.Prinsip
musyawarah ini diperlukan agar para penyelenggara Negara dapat melaksanakan tugasnya
dengan baik dan bertukar pikiran dengan siapa saja yang dianggap tepat, guna mencapai tujuan
yang terbaik untuk semua.
f. Prinsip persatuan dan persaudaraan. Terkandung dalam surat Al-Hujarat ayat 10.
g. Prinsip hidup bertetangga/hubungan antara negara bertetangga.Kemestian mempertahankan
kedaulatan Negara, dan larangan melakukan Agresidan Infasi,tercantum dalam surat Al-Baqarah
ayat 190.

12
h. Prinsip perdamaian dan peperangan/hubungan Internasional.Islam sebagai Agama rahmatan lil
alamin mengedepankan prinsip perdamaian dalam segala aspek kehidupan sesuai dengan tujuan
risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW tersebut.
i. Prinsip ekonomi dan perdagangan.Dalam kehidupan masyarakat tentunya tak lepas dari
kegiatan ekonomi, di daalam ilmu fiqih ini sudah diatur secara jelas bagaimana bentuk
bermuamalah dengan baik.
j. Prinsip hak-hak asasi. Semua warga Negara dijamin hak-hak pokok tertentu.Menurut Subhi
Mahmassani dalam bukunya Arkan Hukuk Al-Insan, bebrapa hak warga Negara yang perlu
dilindungi adalah: jaminan terhadap keamanan pribadi, harga diri dan harta benda, kemerdekaan
untuk mengeluarkan pendapat dan berkumpul, hak untuk mendapatkan pelayanan hukum secara
adiltanpa diskriminasi, hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak, pelayanan medis dan
kesehatan, serta keamanan untuk melakukan aktifitas-aktifitas ekonomi.

13
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dalam pembahasan di atas, penulis menyimpulkan bahwasannya :
1. Sistem pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalim termasuk sistem pemerintahan yang
terkenal tegas, bijaksana dan sangat mementingkan kemaslahatan umatnya. Sistem pemerintahan
Khalifah Ali bin Abi Thalib juga sangat berpegang teguh terhadap al-Qur’an dan as-Sunah.
2. Sistem pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam perspektif fiqih siyasahsalah satunya
tentang kebijakan penetapan hukum,kebijakan peradilan dan politik peperangan, seperti
peperangan yang terjadi dalam perang Siffin, sesungguhnya ali tidak ingin melakukan tahkim
atau arbitrase, karena khalifah Ali sendiri telah mengetahui bahwasanya tahkim yang di lakukan
muawiyyah hanyalah politik untuk mengalahkan pasukan Ali, karena pasukan Muawiyyah telah
terpojok.
Adapun lebih jelasnya sistem pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib sangat
mementingkan kemaslahatan umatnya dan mencegahnya kemudharatan, seperti yang di
terangkan dalam Fiqih Siyasah yaitu suatu konsep yang berguna untuk mengatur hukum
ketatanegaraan dalam bangsa dan Negara yang bertujuan untuk mencapai kemaslahatan dan
mencegah kemudharatan.

14

Anda mungkin juga menyukai