Anda di halaman 1dari 37

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Aspek Legalitas Organisasi

2.1.1 Peraturan Perundang-Undangan

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 72 Tahun 2016,

Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan

pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan

pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Rumah sakit sebagai

organisasi badan usaha di bidang kesehatan mempunyai peran penting

dalam mewujudkan derajat kesehatan masyarakat secara optimal.

Pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat sering

disebut rumah sakit umum atau rumah sakit khusus yang mempunyai misi

memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau untuk

meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang

Nomor 44 tahun 2009, rumah sakit memiliki tugas sebagai pelaksana

upaya pelayanan kesehatan yang berdaya guna dengan mengutamakan

penyembuhan dan pemulihan secara terpadu, dan rumah sakit memberikan

pelayanan kesehatan perseorangan secara paripurna.

Fungsi rumah sakit yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor

44 tahun 2009 adalah menyelenggarakan pelayanan pengobatan dan

pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit,

memelihara serta meningkatkan kesehatan perorangan melalui pelayanan

kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan


medis, menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia

dalam rangka meningkatkan kemampuan dalam memberikan pelayanan

kesehatan, dan menyelenggarakan penelitian serta pengembangan dengan

memperhatikan etika ilmu pengetahuan dalam bidang kesehatan.

Selain menjalankan fungsinya, rumah sakit mempunyai kewajiban

yang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009

diantaranya memberikan informasi yang benar mengenai pelayanan rumah

sakit kepada masyarakat, memberikan pelayanan kesehatan yang aman,

antidiskriminasi, bermutu, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan

pasien, serta memberikan pelayanan gawat darurat.

Salah satu bentuk pelayanan kesehatan yang diselenggarakan di

Rumah Sakit adalah pelayanan kefarmasian (Siregar, 2004). Pelayanan

kefarmasian memiliki standar yang menjadi tolak ukur sebagai pedoman

tenaga kefarmasian untuk menyelenggarakan pelayanan kefarmasian

berdasarkan PMK No. 58 tahun 2014. Standar pelayanan kefarmasian di

rumah sakit dibuat dengan tujuan meningkatkan mutu pelayanan

kefarmasian, menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian, dan

melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak

rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety). Standar

pelayanan kefarmasian di rumah sakit meliputi standar pengelolaan

sediaan farmasi, alat kesehatan, bahan medis habis pakai, dan pelayanan

farmasi klinik.
2.1.2 Struktur Organisasi IFRS

Gambar 2.1 Struktur Organisasi Instalasi Farmasi Rumah Sakit

Panitia farmasi dan terapi (PFT) merupakan salah satu bagian yang

tidak akan terpisahkan dari Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS),

sehingga jalur PFT terhadap IFRS sangat fungsional dalam berkoordinasi

dan bertanggung jawab kepada pimpinan rumah sakit. Tugas PFT adalah

melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelayanan, pengelolaan

sediaan farmasi, dan pengelolaan perbekalan kesehatan di rumah sakit

(Rusli, 2016).

Kepala IFRS adalah seorang Apoteker yang akan bertanggung

jawab secara penuh terhadap segala aspek penyelenggaraan pelayanan

kefarmasian, pengelolaan sediaan farmasi, dan pengelolaan perbekalan

kesehatan di rumah sakit. Litbang merupakan unit yang bertanggung

jawab dalam memfasilitasi penelitian dan pengabdian pada masyarakat.

Diklat dalam susunan organisasi IFRS memegang peran dalam

memfasilitasi tenaga pendidikan kesehatan dan non kesehatan yang akan


melaksanakan praktik kerja sebagai tuntutan kurikulum dan melaksanakan

pelatihan.

Bagian distribusi memegang tugas penuh terhadap alur distribusi

sediaan farmasi dan pengelolaan perbekalan farmasi kepada pasien dari

setiap unit pelayanan, seperti rawat jalan, ICU / ICCU, IRD, kamar

operasi, dan bangsal. Logistik mempunyai tugas menyiapkan dan

memantau segala hal yang berhubungan dengan perlengkapan perbekalan

kesehatan, perencanaan, pengadaan, sistem penyimpanan di gudang, dan

produksi obat dalam kapasitas rumah sakit non steril dan aseptik. Farmasi

klinik yang membidangi aspek asuhan kefarmasian, terutama terhadap

pemantauan terapi obat. Pengendali dalam bidang farmasi klinik

membawahi konseling pasien, pelayanan informasi obat, dan evaluasi

penggunaan obat yang baik bagi pasien di setiap ruangan maupun pasien

ambulatory (Siregar & Lia, 2003).

2.2 Aspek Pengelolaan IFRS

2.2.1 Sumber Daya Manusia

Ruang lingkup kefarmasian di rumah sakit meliputi beberapa

kegiatan. Kegiatan tersebut berupa kegiatan yang bersifat manajerial

seperti pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, bahan medis habis

pakai (BMHP), dan pelayan farmasi klinik. Dalam mendukung kegiatan

kefarmasian yang ada, maka dibutuhkan beberapa faktor terkait salah

satunya yaitu sumber daya manusia.


Sumber daya manusia yang tercakup dalam Permenkes No. 72

Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit,

bahwa instalasi farmasi harus memiliki apoteker dan tenaga teknis

kefarmasian yang sesuai dengan ketentuan klasifikasi dan perizinan rumah

sakit sebagaimana sudah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Uraian tugas

setiap staf instalasi farmasi wajib dituangkan secara tertulis dan wajib

dilakukan peninjauan paling sedikit setiap tiga tahun sesuai dengan

kebijakan instalasi farmasi di rumah sakit. Persyaratan SDM dalam

pelayanan kefarmasian wajib dilakukan oleh apoteker dan tenaga teknis

kefarmasian. Persyaratan administrasi setiap apoteker dan tenaga teknis

kefarmasian wajib memenuhi segala persyaratan yang sudah ditetapkan

dalam perundang-undangan yang berlaku (Kemenkes, 2016).

Jumlah tenaga kefarmasian yang dibutuhkan dalam pelayanan

kefarmasian menurut PMK No. 3 tahun 2020 cukup berbeda dengan PMK

sebelumnya. Dimana dalam peraturan sebelumnya disebutkan jumlah

minimum tenaga kefarmasian yang wajib ada dalam pelayanan, namun

dalam PMK no. 3 tahun 2020 dinyatakan jumlah tenaga kefarmasian

dalam pelayanan di rumah sakit ditentukan berdasarkan analisis beban

kerja. Kebutuhan ideal yang tercantum dalam Permenkes no. 72 tahun

2016, dalam pelayanan rawat jalan 1 apoteker untuk 50 pasien, sedangkan

pelayanan rawat inap idealnya rasio 1 apoteker untuk 30 pasien.

Perhitungan beban kerja apoteker pada pelayanan rawat inap

meliputi pengkajian resep, penelusuran riwayat penggunaan obat,

rekonsiliasi obat, pemantauan terapi obat, pemberian informasi obat (PIO),


konseling, edukasi, dan visit. Beban kerja apoteker yang berada di rawat

jalan pun tak terlalu berbeda dengan apoteker rawat inap, dimana beban

kerjanya meliputi pengkajian resep, penyerahan obat, pencatatan

penggunaan obat (PPP), dan konseling. Kebutuhan apoteker tidak hanya

untuk pelayanan kefarmasian rawat inap dan rawat jalan, tetapi tenaga

apoteker juga dibutuhkan untuk pelayanan farmasi lainnya seperti unit

logistik medik/distribusi, unit produksi steril/ aseptic dispensing, unit

pelayanan informasi obat, dan pelayanan lain yang disesuaikan dengan

kebutuhan setiap instalasi farmasi (Kemenkes, 2014).

Berdasarkan informasi mengenai struktur organisasi sebuah

instalasi farmasi di rumah sakit, bidang pengembangan staf dan program

pendidikan juga dibutuhkan dalam menunjang kegiatan kefarmasian di

rumah sakit. Peran seorang kepala instalasi farmasi dalam

mengembangkan SDM sangat penting karena kesempatan pengembangan

dan pendidikan tersebut dapat membantu meningkatkan pengetahuan dan

keterampilan SDM yang ada (Rusli, 2016). Pengembangan staf dan

program pendidikan yang diatur kepala instalasi meliputi penyiapan

program orientasi staf baru, pendidikan, dan pelatihan, menentukan dan

mengirim staf untuk meningkatkan kompetensi sesuai dengan tugas dan

tanggung jawab masing-masing, dan menentukan staf yang akan dipakai

sebagai narasumber/pelatih/fasilitator yang sesuai kompetensi masing-

masing (Kemenkes, 2016).

Peran dan ruang lingkup asisten tenaga kefarmasian di rumah sakit

meliputi pelaksanaan tugas yang tetapkan oleh apoteker seperti melakukan


pencatatan pembelian dan penyimpanan obat, pendataan persediaan obat,

melakukan pembayaran resep, cek stok harga, penandaan item untuk

penjualan, pencatatan, klaim asuransi, melakukan pemeriksaan kesesuaian

pesanan sediaan farmasi dan perbekalan farmasi, hingga melakukan

pendistribusian sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan untuk keperluan

floor stock (Kemkes, 2016).

2.2.2 Sarana Dan Prasarana

Penyelenggaraan pelayanan kefarmasian di rumah sakit tidak

hanya membutuhkan dukungan dari tenaga kerja yang kompeten, tetapi

penyelenggaraan kebutuhan sarana dan prasarana yang sesuai dengan

ketentuan yang terlampir dalam perundang-undangan sangat penting untuk

diperhatikan. Menurut KBBI, sarana adalah alat yang dipakai dalam

mencapai maksud dan tujuan. Sedangkan prasarana adalah sesuatu yang

menjadi penunjang utama dalam menyelenggarakan suatu kegiatan.

Penyediaan sarana atau peralatan yang digunakan dalam pelayanan

kefarmasian harus dapat menjamin kesensitifan pada alat pengukuran dan

memenuhi syarat, peneraan, dan kalibrasi untuk peralatan tertentu setiap

tahun. Peralatan yang setidaknya wajib memenuhi standar yaitu

perlengkapan peracikan dan penyiapan untuk sediaan steril, non-steril,

maupun cair untuk obat luar atau dalam. Sarana yang tersedia dalam

pelayanan kefarmasian di rumah sakit paling sedikit antara lain seperti

sarana penyimpanan, peracikan, pembuatan obat steril dan non steril,

aseptik atau steril, peralatan administrasi dan arsip, kepustakaan, lemari


penyimpanan khusus narkotika, lemari pendingin, penerangan, sarana air,

ventilasi, pembuangan limbah, dan alarm (Kemenkes, 2016).

Sarana administrasi dan arsip dapat berupa mebeulair seperti meja,

kursi, lemari buku/rak, filing cabinet, komputer, alat tulis kantor, telpon

dan faksimili, dan sistem komputerisasi meliputi jaringan, perangkat

lunak, dan perangkat keras. Sarana konsultasi dan ruang informasi obat

paling sedikit terdapat buku kepustakaan bahan leaflet, brosur, meja, kursi

untuk apoteker dan 2 orang pelanggan, lemari untuk menyimpan profil

pengobatan pasien, komputer, telpon, lemari arsip, kartu arsip, TV dan

VCD player. Peralatan ruang arsip berupa kartu arsip, lemari/rak arsip

(Kemenkes, 2019).

Sarana yang dibutuhkan dalam proses produksi dalam pelayanan

kefarmasian di rumah sakit antara lain peralatan untuk persediaan,

peracikan, pembuatan obat, dan segala peralatan yang digunakan harus

memenuhi persyaratan keamanan cara pembuatan obat yang baik.

Peralatan aseptic dispensing yang dapat menunjang kegiatan seperti

biological safety cabinet/vertical laminar air flow cabinet (untuk

pelayanan sitostatik), horizontal laminar airflow cabinet (untuk

pencampuran obat suntik dan nutrisi parenteral), pass-box dengan pintu

berganda, barometer, termometer, wireless intercom (Siregar, 2004).

Sarana dalam penyimpanan meliputi peralatan penyimpanan

kondisi umum dan kondisi khusus. Penyimpanan kondisi khusus antara

lain lemari yang rapi dan terlindung dari debu, kelembapan dan cahaya

yang berlebihan, serta lantai yang wajib dilengkapi dengan palet.


Penyimpanan kondisi khusus seperti lemari pendingin dan AC untuk obat

termolabil, dimana lemari pendingin harus dilakukan validasi secara

berkala, kemudian lemari khusus menyimpan narkotika dan obat

psikotropika, peralatan untuk penyimpanan, penanganan, dan pembuangan

obat sitotoksik dan obat berbahaya untuk menjamin keamanan petugas,

pasien, dan pengunjung.

Prasarana atau fasilitas ruang yang digunakan dalam pelayanan

kefarmasian di rumah sakit juga harus memadai baik dalam kualitas dan

kuantitas seperti halnya sarana yang digunakan dalam pelayanan. Fasilitas

ruang yang cukup memadai dengan memenuhi standar yang sudah

ditentukan setidaknya dapat menjamin dan menunjang pelayanan

kefarmasian yang aman untuk para petugas, pasien, bahkan memudahkan

segala sistem komunikasi yang berada dalam ruang lingkup rumah sakit

(Kemkes, 2019).

Fasilitas utama yang dibutuhkan dalam kegiatan pelayanan di

instalasi farmasi meliputi ruang kantor/administrasi, ruang penyimpanan

sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai, ruang

distribusi, ruang konsultasi / konseling obat, ruang pelayanan informasi

obat, ruang produksi, ruang aseptic dispensing, dan laboratorium farmasi.

Ruang kantor/administrasi terdiri dari ruang pimpinan, ruang staf, ruang

tata usaha, serta ruang pertemuan. Selanjutnya ruang penyimpanan,

dimana ruangan yang dipakai disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan

setiap rumah sakit dengan tetap memperhatikan kondisi sanitasi,

temperatur, sinar/cahaya, kelembapan, ventilasi, dan pemisahan untuk


menjamin mutu setiap produk yang ada terhadap petugas keamanan atau

pekerja (Kemkes, 2016)

Ruang distribusi sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP

dipisahkan menjadi dua yaitu rawat jalan dan rawat inap (satelit farmasi).

Ruang distribusi untuk pelayanan rawat jalan dibuat ruangan khusus atau

terpisah antara penerimaan resep dan peracikan, sedangkan rawat inap

dibuat dengan model ruangan sentralisasi maupun desentralisasi di setiap

masing-masing ruangan rawat inap. Ruang konsultasi atau konseling obat

harus berada jauh dari hiruk pikuk kebisingan lingkungan rumah sakit

sehingga proses interaksi antara pasien dan apoteker dapat berjalan dengan

baik. Ruangan konseling dapat berada di instalasi rawat jalan maupun

rawat inap (Kemkes, 2019).

Ruang produksi harus memenuhi persyaratan bangunan meliputi

lokasi yang jauh dari pencemaran lingkungan, konstruksi yang terlindung

dari cahaya, banjir, rembesan air, dan binatang/serangga, rancangan

bangunan dan penataan gedung harus disesuaikan dengan alur barang, alur

kerja, alur pekerja. Ruang produksi yang baik juga perlu memperhatikan

pengendalian terhadap udara, permukaan langit-langit, dinding, lantai,

barang masuk, serta petugas yang berada di dalam. Luas ruangan minimal

dua kali daerah kerja dan berjarak minimal 2,5 m antara peralatan satu

dengan yang lainnya. Pembagian setiap ruangan juga dibuat terpisah

antara ruang obat jadi dan bahan baku. Ruangan terpisah untuk proses

produksi, produksi obat luar dan obat dalam, produksi antibiotik (bila ada),

dan setiap ruangan tersebut harus memiliki saringan udara dengan efisiensi
minimal 98% dan permukaan lantai, dinding, langit-langit, serta pintu

harus kedap air, tidak terdapat sambungan, pertumbuhan mikroba, dan

mudah dibersihkan (Kemkes, 2016).

Ruang aseptik dispensing harus memenuhi persyaratan tata ruang

seusai dengan macam dan volume kegiatan masing-masing. Spesifikasi

ruangan aseptik dispensing tersebut juga harus memiliki permukaan lantai

yang datar dan halus, tanpa sambungan, bagian dinding tidak memiliki

sudut dan langit-langit dinding dibuat melengkung dengan radius 20-30

mm, setiap colokan listrik harus dibuat datar dengan permukaan yang

kedap air dan mudah dibersihkan, selanjutnya bagian plafon harus diberi

lapisan untuk mencegah kebocoran udara, dan lampu harus dibuat rata

dengan langit-langit (Depkes, 2006). Penataan pintu, aliran udara, tekanan

udara, dan temperatur juga harus tetap diperhatikan sesuai dengan

persyaratan ruangan yang sudah di bentuk. Aliran udara dalam ruangan

aseptik dispensing harus termasuk dalam kelas 10.000 dan pertukaran

udaranya minimal 120 kali perjam dan setiap ruangan harus melalui HEPA

filter. Temperatur di ruangan bersih dan ruang steril harus dipelihara pada

suhu 16-25° C. Tingkat kelembapan relatif 45-55% dan setiap ruangan

harus memiliki perbedaan tekanan udara antara 10-15 pascal (Kemkes,

2016).

Ruangan laboratorium farmasi digunakan untuk melakukan

kegiatan penelitian dan pengembangan yang dilakukan, sehingga dalam

hal ini kebutuhan ruangan tersebut juga harus memenuhi standar yang

sudah ditetapkan. Lokasi laboratorium farmasi harus di bangun terpisah


dari ruang produksi dan konstruksi bangunan serta peralatan tahan asam,

alkali, zat kimia, dan pereaksi lain harus sudah memenuhi persyaratan.

Setiap tata ruang harus disesuaikan dengan kegiatan dan alur kerja, serta

perlengkapan instalasi baik air dan listrik harus sudah memenuhi

persyaratan (Kemkes, 2016).

2.2.3 Pengelolaan Sediaan Farmasi dan BMHP

1) Perencanaan

Perencanaan kebutuhan obat di rumah sakit dilakukan untuk

menentukan jumlah dan periode pengadaan sediaan farmasi, alkes, dan BMHP

agar sesuai dengan kebutuhan dalam kegiatan pelayanan. Perencanaan

kebutuhan obat harus dilakukan dengan menggunakan metode yang dapat

dipertanggungjawabkan, sehingga setiap produk yang didapatkan dapat

dipastikan keamanan, mutu, dan sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan

seperti tepat jenis, tepat jumlah, tepat waktu dan efisien (Kemkes, 2016).

Pertanggungjawaban atas perencanaan dilakukan atas dasar yang telah

ditentukan antara lain konsumsi, epidemiologi, kombinasi metode konsumsi

dan epidemiologi, dan terpenting harus disesuaikan dengan anggaran yang

sudah tersedia. Dasar perencanaan tersebut juga sebaiknya tetap dilakukan

dengan mengacu pada formularium rumah sakit yang telah disusun (Setya,

2017).

Beberapa pedoman dalam perencanaan yang dapat dipertimbangkan

adalah anggaran yang tersedia, penetapan prioritas, sisa persediaan, data


pemakaian periode yang lalu, waktu tunggu pemesanan, dan rencana

pengembangan (Kemkes, 2016). Dalam proses perencanaan tersebut dilakukan

oleh pihak internal instalasi farmasi rumah sakit dan unit kerja yang ada di

rumah sakit. Hal tersebut dilakukan agar apabila terjadi kekosongan obat

akibat kesalahan teknis baik dalam waktu pengiriman, kurang stok dari

penyalur, dan sebab lain dapat diantisipasi dengan baik dan mendapatkan

substitusi lain agar tidak terjadi keterlambatan pelayanan (Kemkes, 2019).

Tahapan perencanaan kebutuhan obat di rumah sakit meliputi

persiapan, pengumpulan data, analisa terhadap usulan kebutuhan, menyusun

dan menghitung rencana kebutuhan obat, melakukan evaluasi, revisi, dan

menyampaikan draf usulan dari pihak IFRS ke manajemen rumah sakit.

Pertama dalam tahap persiapan dapat dilakukan beberapa penyusunan seperti

memastikan program dan komoditas yang akan disusun, menetapkan

stakeholder yang terlibat baik antara pemegang kebijakan dan

pemasok/vendor, kemudian daftar obat sesuai formularium yang telah

diperbaharui, perencanaan waktu yang dibutuhkan baik dalam estimasi

periode pengadaan, safety stock, dan lead time, serta memperhatikan

ketersediaan anggaran dan rencana pengembangan (Setya, 2017).

Pengumpulan data dalam tahap perencanaan dilakukan dengan

menarik data penggunaan obat pasien periode sebelumnya, sisa stok, data

morbiditas, dan usulan setiap kebutuhan obat dari unit pelayanan. Analisa

usulan kebutuhan yang sudah disampaikan dari setiap unit pelayanan tidak

serta merta diterima dan dilakukan pengadaan ke pihak vendor. Hal tersebut

harus dilakukan dengan beberapa tahap analisa antara lain menganalisis


spesifikasi item obat dan menganalisis kuantitas kebutuhan terhadap data

penggunaan pada periode sebelum dan mendapatkan konfirmasi dari

pengusul.

Metode perhitungan RKO dapat dilakukan dengan empat metode

antara lain metode konsumsi, metode morbiditas, metode kombinasi konsumsi

dan morbiditas, dan metode proxy consumption. Pertama mengenai metode

konsumsi, dimana metode tersebut didasari oleh data konsumsi sediaan

farmasi. Penggunaan metode tersebut sering digunakan karena dalam

memperkirakan kebutuhan obat biasanya paling tepat dibandingkan metode

lainnya. Perhitungan metode konsumsi didasarkan data konsumsi ditambah

stok penyangga, stok waktu tunggu, dan sisa stok. Dalam memperhitungkan

kebutuhan obat dengan metode konsumsi perlu diperhatikan beberapa hal

seperti pengumpulan dan pengolahan data, analisis data sebagai bahan untuk

informasi dan evaluasi, perhitungan perkiraan kebutuhan obat, dan

penyesuaian jumlah kebutuhan yang ada dengan pengalokasian dana.

Metode kedua adalah metode morbiditas, dimana metode morbiditas

tersebut merupakan perhitungan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan

obat di rumah sakit berdasarkan pola penyakit. Metode tersebut dianggap

cukup rumit dan membutuhkan banyak waktu karena dalam pengumpulan

data morbiditas yang valid terhadap rangkaian penyakit. Tetapi walaupun

dianggap rumit, metode morbiditas tersebut cukup baik untuk digunakan

dalam perencanaan, pengadaan, atau program baru yang belum ada riwayat

penggunaan obat pada periode sebelumnya. Dalam metode tersebut yang

sangat penting diperhatikan adalah perkembangan pola penyakit dan lead


time. Langkah-langkah perhitungan kebutuhan dengan metode tersebut antara

lain mengumpulkan data dengan menghitung perkiraan jumlah populasi, data

pola morbiditas penyakit, dan standar pengobatan yang harus disesuaikan

dengan standar pengobatan di setiap rumah sakit yang akan menerapkan

metode morbiditas tersebut (Siregar & Lia, 2003).

Metode lain yang dapat diterapkan dalam perencanaan adalah metode

proxy consumption. Metode proxy consumption dapat digunakan dalam

perencanaan untuk rumah sakit baru yang belum memiliki data konsumsi pada

tahun sebelumnya. Metode tersebut merupakan metode perhitungan yang

menggunakan data kejadian penyakit, konsumsi obat, permintaan,

penggunaan, dan pengeluaran obat dari rumah sakit yang sudah memiliki

sistem pengelolaan obat dan mengekstrapolasikan konsumsi atas tingkat

kebutuhan dari cakupan populasi atau tingkat layanan yang diberikan. Metode

tersebut sangat bermanfaat untuk memberikan gambaran terhadap pengecekan

silang dengan metode lain yang menggunakan fasilitas tertentu dengan

fasilitas lain yang memiliki kemiripan profil masyarakat dan jenis pelayanan.

2) Pengadaan

Pengadaan adalah kegiatan yang dimaksudkan untuk merealisasikan

kebutuhan yang telah direncanakan dan disetujui. Kegiatan pengadaan yang

efektif harus menjamin ketersediaan, jumlah, dan waktu yang tepat dengan

harga yang terjangkau, dan sesuai dengan standar mutu. Metode yang tepat

dilakukan untuk mencapai keseimbangan mutu dan harga harus mendasarkan

pada kriteria mutu produk, reputasi produsen, distributor resmi, harga,


berbagai syarat, ketepatan waktu pengiriman, mutu pelayanan pemasok, dapat

dipercaya, kebijakan tentang barang yang dikembalikan, dan pengemasan.

Selain menelusuri kriteria yang mendasari perencanaan, diperlukan

juga spesifikasi yang dipersyaratkan jika melakukan proses pengadaan sediaan

farmasi, alat kesehatan, dan BMHP antara lain bahan baku obat yang harus

memiliki sertifikat analisa, bahan berbahaya harus menyertakan material

safety data sheet (MSDS), produk yang dibeli harus mempunyai nomor izin

edar, dan expired date minimal dua tahun kecuali untuk produk tertentu seperti

vaksin, reagensia, dan yang lainnya. Setiap rumah sakit harus memiliki

mekanisme untuk mengatasi kekosongan stok obat yang secara normal harus

tersedia di rumah sakit dan mendapatkan obat saat instalasi farmasi tutup. Hal

yang perlu diperhatikan dapat dilakukan melalui proses pembelian yang

memperhatikan kriteria umum dan kriteria mutu obat, produksi sediaan

farmasi untuk sediaan yang memiliki formulasi khusus, tidak ada di pasaran,

lebih murah untuk di produksi sendiri, repacking, dan untuk penelitian lain,

dan memperhatikan sumbangan/dropping/hibah dimana instalasi farmasi harus

melakukan pencatatan dan pelaporan penerimaan dan penggunaan terhadap

produk.

3) Penerimaan

Penerimaan menurut Permenkes No. 72 Tahun 2016 adalah kegiatan

untuk menjamin kesesuaian jenis, spesifikasi, jumlah, mutu, waktu

penyerahan, dan harga yang tertera dalam kontrak atau surat pesanan dengan

kondisi fisik yang diterima. Penerimaan obat sebaiknya dilakukan dengan

sangat teliti untuk menghindari kerugian terhadap kerusakan sediaan farmasi


dan perbekalan kesehatan akibat pengantaran obat. Pemeriksaan mutu obat

dilakukan secara organoleptic, terkhusus pada bagian label dan kemasan perlu

dilakukan pengecekan tanggal kadaluarsa, dan nomor batch obat yang

diterima.

Standar prosedur operasional penerimaan obat adalah:

a) Pemeriksaan keabsahan faktur yang meliputi nama dan alamat

pedagang besar (PBF) serta tanda tangan penanggung jawab

dan stempel PBF,

b) Mencocokkan faktur dengan obat antara lain jenis dan jumlah

obat serta nomor batch sediaan,

c) Memeriksa kondisi fisik obat seperti wadah dan tanggal

kadaluwarsa,

d) Setelah dilakukan pemeriksaan faktur ditandatangani dan

diberi tanggal serta stempel.

Penerimaan sediaan farmasi dan BMHP wajib dilakukan oleh apoteker

atau tenaga teknis kefarmasian yang sudah terlatih baik dalam tanggung jawab

dan tugas masing-masing, serta mengerti akan sifat penting dari sediaan

farmasi dan BMHP. Bila terjadi keraguan terhadap mutu obat dapat dilakukan

pemeriksaan mutu atau obat dikembalikan kepada pemasok yang

menyediakan. Semua berkas dokumen harus tersimpan dengan baik, dimana

faktur asli diserahkan kepada sales sedangkan salinan faktur disimpan oleh

pihak penerima sebagai arsip.

4) Penyimpanan
Setelah melalui proses penerimaan barang di instalasi farmasi

diperlukan penyimpanan sebelum dilakukan pendistribusian. Kegiatan

penyimpanan ini dilakukan untuk memelihara sediaan farmasi dan BMHP

dengan cara menempatkan pada tempat yang dinilai aman dari pencurian serta

gangguan fisik yang dapat merusak mutu obat. Persyaratan kefarmasian dalam

penyimpanan meliputi persyaratan stabilitas dan keamanan, sanitasi, cahaya,

kelembapan, ventilasi, dan penggolongan jenis sediaan farmasi dan perbekalan

kesehatan (Akbar et al., 2016).

Beberapa aspek umum yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan

sediaan farmasi dan BMHP meliputi

a) Area penyimpanan obat berada di gudang dan satelit farmasi

tidak boleh dimasuki selain petugas farmasi yang sudah diberi

kewenangan

b) Area penyimpanan obat di ruang perawatan tidak boleh

dimasuki orang sembarangan selain petugas yang diberi

kewenangan oleh kepala ruangan

c) Sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP dilindungi dari

kehilangan misal dengan memberi CCTV di semua area

penyimpanan di rumah sakit, penggunaan kartu stok, dan akses

terbatas untuk instalasi farmasi

d) Elektrolit konsentrasi tinggi yang disimpan pada unit

perawatan pasien dilengkapi dengan pengaman, harus diberi

label yang jelas dan disimpan pada area yang dibatasi dengan

ketat
e) Bahan yang mudah terbakar, disimpan dalam ruangan tahan api

dan diberi tanda khusus bahan berbahaya

f) Gas medis disimpan dengan posisi berdiri, terikat, dan diberi

penandaan khusus untuk menghindari kesalahan pengambilan

jenis gas medis.

Metode penyimpanan dapat dilakukan berdasarkan kelas terapi,

bentuk sediaan, dan jenis sediaan farmasi, dan perbekalan kesehatan yang

disusun secara alfabetis dengan menerapkan prinsip First Expired First

Out (FEFO), First In First Out (FIFO) yang disertai dengan sistem

informasi manajemen. Penyimpanan untuk sediaan yang memiliki

penampilan dan penamaan yang mirip atau biasa disebut Look Alike Sound

Alike (LASA)/ Nama Obat Rupa Ucapan Mirip (NORUM) tidak

ditempatkan berdekatan dan wajib diberi penandaan khusus untuk

mencegah kesalahan pengambilan obat (Kemkes, 2019).

Beberapa kondisi umum untuk ruang penyimpanan adalah obat

jadi, obat produksi, bahan baku obat, alat kesehatan, dan lain sebagainya.

Ruang penyimpanan untuk kondisi khusus antara lain obat termolabil, alat

kesehatan dengan suhu rendah, obat mudah terbakar, obat/bahan obat

berbahaya, dan barang karantina. Pada ruang penyimpan bahan berbahaya

dan beracun harus tersedia beberapa kepentingan seperti eye washer dan

shower, spill kit atau peralatan penanganan tumpahan, lembaran MSDS,

dan rak/wadah penyimpanan yang dilengkapi simbol B3 yang sesuai.

Penyimpanan khusus obat narkotika dan psikotropika masing-

masing harus disimpan dalam lemari terpisah. Penyimpanan obat tersebut


harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Obat

narkotika harus disimpan dalam lemari dengan dua lapis pintu dan dua

jenis kunci berbeda. Penanggung jawab lemari narkotika dan psikotropika

wajib di tentukan dan harus di awasi dan tidak boleh dibiarkan tergantung

pada lemari.

5) Penyaluran / distribusi

Distribusi adalah kegiatan dalam rangka menyalurkan/ menyerahkan

sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan dari tempat penyimpanan sampai

kepada unit pelayanan/pasien dengan tetap menjamin mutu, stabilitas, jenis,

jumlah, dan ketepatan waktu. Tujuan pendistribusian adalah menjaga

tersedianya sediaan farmasi dan BMHP di unit pelayanan secara tepat waktu,

tepat jenis, dan jumlah. Instalasi farmasi rumah sakit diharapkan dapat

menentukan sistem distribusi yang digunakan untuk tetap menjamin

terlaksananya pengawasan dan pengendalian terhadap sediaan farmasi dan

perbekalan kesehatan di setiap unit pelayanan.

Distribusi sediaan farmasi dan BMHP dapat dilakukan dengan

menggunakan satu atau kombinasi sistem sentralisasi dan desentralisasi.

Sistem distribusi sentralisasi yang dimaksud yaitu pendistribusian yang

dilakukan oleh IFRS secara terpusat ke semua unit rawat inap di rumah sakit

secara keseluruhan. Sedangkan sistem distribusi desentralisasi adalah

distribusi yang dilakukan ke beberapa depo yang merupakan cabang

pelayanan di rumah sakit.

Sistem distribusi sediaan farmasi dan BMHP di unit pelayanan untuk

pasien dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain :


a) Persediaan di ruang rawat (floor stock). Pendistribusian sediaan

farmasi dan perbekalan kesehatan disediakan, disiapkan, dan di

kelola oleh instalasi farmasi. Selanjutnya untuk sediaan farmasi

dan BMHP yang tersimpan di ruang rawat akan menjadi tanggung

jawab perawat, tetapi masih dalam pemantauan petugas farmasi

b) Sistem resep perorangan (individual prescription). Sistem

pendistribusian resep individu adalah penyiapan sediaan farmasi

dan BMHP sesuai dengan resep/instruksi pengobatan yang di tulis

oleh dokter secara manual maupun elektronik untuk tiap pasien

dalam satu periode.

c) Sistem dosis unit (unit dose dispensing = UDD dan once daily dose

= ODD). Sistem penyiapan unit dose ini biasa digunakan untuk

pasien rawat inap, dimana dapat menggunakan metode UDD untuk

satu unit penggunaan atau ODD untuk dosis satu hari diberikan.

Penyiapan dengan sistem UDD disarankan untuk digunakan dalam

pelayanan karena mengingat metode tersebut dapat meningkatkan

keselamatan pasien, sehingga dapat mengurangi terjadinya

terlambat atau kesalahan meminum obat.

2.2.4 Administrasi

Kegiatan administrasi dibagi menjadi dua bagian antara lain

administrasi umum dan khusus. Administrasi umum meliputi pencatatan dan

pelaporan obat. Administrasi dilakukan secara tertib dan berkesinambungan untuk


memudahkan setiap penelusuran kegiatan yang dilakukan dalam pelayanan

kefarmasian di rumah sakit.

1) Administrasi umum

Administrasi umum dilakukan untuk pencatatan dan pelaporan sediaan

farmasi dan BMHP yang tidak memiliki peraturan khusus dalam perbekalan

kesehatan maupun pengelolaan resep agar lebih mudah dimonitor dan

dievaluasi. Pencatatan dan pelaporan sediaan farmasi dan BMHP dilakukan

untuk memenuhi persyaratan kementerian kesehatan atau BPOM, sebagai

dasar dan audit rumah sakit, dokumentasi farmasi, komunikasi antar level

manajemen, dan laporan tahunan. Pencatatan dan pelaporan terhadap kegiatan

pengelolaan sediaan farmasi dan BMHP meliputi perencanaan kebutuhan,

pengadaan, penerimaan, pendistribusian, pengendalian persediaan,

pengembalian, pemusnahan, dan penarikan perbekalan farmasi (Kemkes,

2014).

a) Pencatatan

Kegiatan pencatatan bertujuan untuk memonitor transaksi

sediaan farmasi dan BMHP yang keluar dan masuk dari

lingkungan instalasi farmasi di rumah sakit. Pencatatan akan

memudahkan petugas jika terjadi masalah terhadap mutu obat yang

substandard dan harus ditarik dari peredaran. Pencatatan dapat

dilakukan menggunakan untuk digital maupun manual. Pencatatan

yang umum digunakan biasa disebut kartu stok dan kartu stok

induk.
Kartu stok digunakan untuk mencatat sediaan farmasi dan

BMHP dimulai dari proses penerimaan, pengeluaran, hilang, rusak

atau kadaluarsa. Kartu stok hanya diperuntukkan untuk mencatat

data mutasi satu jenis sediaan farmasi dan BMHP yang berasal dari

satu sumber anggaran. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam

pencatatan dalam menggunakan kartu stok antara lain diletakkan

bersamaan dengan sediaan farmasi dan BMHP, dilakukan secara

rutin, setiap mutasi langsung dicatat, dan penerimaan serta

pengeluaran dijumlahkan setiap akhir bulan.

Kartu stok induk digunakan untuk mencatat setiap alat

kendali bagi kepala IFRS terhadap keadaan fisik dalam tempat

penyimpanan dan alat bantu penyusun perencanaan, pengadaan,

distribusi serta pengendalian persediaan.

b) Administrasi keuangan

Administrasi keuangan merupakan pengaturan anggaran,

pengendalian, dan analisa biaya, pengumpulan informasi

keuangan, penyiapan laporan, penggunaan laporan yang

berkaitan dengan setiap kegiatan pelayanan kefarmasian.

2) Administrasi khusus

a) Khusus Obat Narkotika dan Psikotropika

Kegiatan administrasi khusus meliputi beberapa kegiatan,

salah satunya berupa pelaporan. Dimana pelaporan obat narkotika

dan psikotropika merupakan sekumpulan pencatatan dan pendataan


yang disajikan kepada pihak yang berkepentingan atas sediaan

farmasi dan BMHP, tenaga dan perlengkapan kesehatan. Jenis

laporan yang wajib dibuat oleh IFRS meliputi pelaporan

penggunaan narkotik dan psikotropika serta pelaporan khusus bagi

pelayanan kefarmasian yang lain. Tugas penanganan bagi tenaga

yang bertanggung jawab atas pelaporan setiap kegiatan yang

terlampir berupa pengumpulan, perekaman, penyimpanan,

penemuan kembali, meringkas, mengirimkan, dan informasi

penggunaan sediaan farmasi dan BMHP tertentu (Depkes, 2009).

Setiap pergantian shift harus dilakukan pemeriksaan stok

dan serah terima obat narkotik dan psikotropika dan wajib

didokumentasikan. Pencatatan kartu stok obat narkotika dan

psikotropika wajib dilakukan saat terdapat proses keluar masuk

obat dengan informasi dan data yang jelas dengan menyertakan

data bagi yang melakukan mutasi (Kadam et al., 2016).

2.3 Aspek Pelayanan Kefarmasian

2.3.1 Pengelolaan Resep

1) Skrining Resep

Pelayanan resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan,

penyiapan sediaan farmasi dan BMHP termasuk peracikan, pemeriksaan,

penyerahan yang disertai dengan pemberian informasi, setiap alur yang ada

wajib dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan dalam pemberian obat

(medication error). Sehingga untuk menanggulangi hal tersebut dilakukan

kegiatan yang diberi n ama skrining resep. Skrining resep atau pengkajian
resep dilakukan untuk menganalisa segala sesuai yang terkait obat yang

terdapat dalam resep, bila ditemukan masalah terkait maka harus

dikonsultasikan kepada dokter yang memberikan resep. Skrining resep harus

dilakukan oleh Apoteker dan tenaga teknis kefarmasian sesuai dengan

persyaratan administrasi, persyaratan farmasetik, dan persyaratan klinik untuk

pasien rawat inap dan pasien rawat jalan untuk selanjutnya dikerjakan sesuai

dengan alur yang sudah ditetapkan hingga sampai ke pasien.

a) Persyaratan administrasi

Persyaratan administrasi yang wajib dilakukan oleh Apoteker atau

tenaga teknis kefarmasian saat pengkajian resep antara lain

mengkonfirmasi nama, umur, jenis kelamin, berat dana, dan tinggi badang

pasien, selanjutnya mengecek nama, nomor ijin, alamat dan parah dokter,

tanggal resep, dan ruangan/unit asal resep.

b) Kesesuaian farmasetik

Pengkajian resep selanjutnya yang dilakukan setelah menganalisis

data administrasi pasien dilanjutkan dengan mengkaji kesesuaian

farmasetik. Beberapa persyaratan farmasetik meliputi skrining nama obat,

bentuk, dan kekuatan sediaan, dosis dan jumlah obat, stabilitas obat, aturan

dan cara penggunaan obat yang sesuai.

c) Pertimbangan klinis

Berhubungan erat dengan pengkajian resep dari aspek farmasetik,

dimana hal tersebut berkelanjutan dengan pertimbangan aspek klinis yang

harus dilakukan. Beberapa persyaratan pengkajian dari aspek klinik seperti

pengkajian ketepatan indikasi, dosis, waktu jam penggunaan obat,


duplikasi pengobatan, alergi, reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD),

kontraindikasi, dan interaksi obat

2) Penyiapan obat

a) Harga obat

Menurut Permenkes No. 98 Tahun 2015 tentang Pemberian

Informasi Harga Eceran Tertinggi Obat, terdapat beberapa penjelasan

mengenai harga eceran tertinggi yang disingkat HET dan harga netto

apotek yang disingkat HNA. HET merupakan harga jual tertinggi di

apotek, toko obat, dan instalasi farmasi rumah sakit/klinik. HNA adalah

harga jual termasuk pajak pertambangan nilai (PPN) dari pedagang besar

farmasi (PBF) kepada apotek, toko obat, dan instalasi farmasi rumah

sakit/klinik.

Pada Permenkes No. 98 Tahun 2015 BAB III pasal 7 dinyatakan

bahwa setiap apotek, toko obat, dan instalasi farmasi rumah sakit/klinik

dapat menjual obat dengan harga yang sama atau lebih rendah dari HET

yang yang dicantumkan oleh industri farmasi. Dimana mengenai informasi

HET yang dicantumkan pada label kemasan dari industri farmasi sudah

ditentukan berdasarkan HNA yang ditambah dengan biaya pelayanan

kefarmasian sebesar 28% dari HNA. Hal tersebut dinyatakan pada Pasal 3

ayat (2) huruf b bahwa “HET = harga obat katalog elektronik setiap

provinsi + biaya pelayanan kefarmasian sebesar 28% dari harga katalog

elektronik setiap provinsi”.


Perihal pemberian informasi mengenai harga obat tersebut

dimaksudkan untuk memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur

mengenai harga obat atau harga eceran tertinggi yang diberikan kepada

masyarakat. Hal ini menjadi salah satu cara terbaik yang dilakukan dalam

pelayanan kefarmasian terlebih di rumah sakit, karena dengan memberikan

informasi harga obat akan memberikan hak pasien atau keluarga untuk

menentukan pilihan obat berdasarkan informasi harga obat yang

disampaikan oleh apoteker atau tenaga teknis kefarmasian.

b) Etiket

Komponen penting yang harus diperhatikan dalam pelayanan

kefarmasian salah satunya adalah pemberian etiket atau label. Etiket atau

label obat merupakan penandaan yang diberikan oleh fasilitas pelayanan

kesehatan yang biasanya ditempelkan di depan obat atau alat kesehatan

yang akan digunakan dengan tujuan memberikan informasi kepada pasien

atau pemakai obat atau alat kesehatan tersebut (Stefanus, 2017). Beberapa

etiket yang familiar dalam pelabelan obat di pelayanan kefarmasian terdiri

dari dua yaitu etiket putih dan etiket biru. Etiket biru adalah etiket yang

digunakan terkhusus obat yang dikonsumsi melalui saluran pencernaan,

sedangkan etiket biru digunakan untuk obat yang tidak dikonsumsi melalui

saluran pencernaan.

Pada umumnya bagian yang terdapat pada etiket obat meliputi logo

instansi, nama fasilitas pelayanan, alamat dan nomor telepon fasilitas

pelayanan, nomor resep atau nomor rekam medis pasien, tanggal resep

tersebut diberikan ke pasien, nama pasien, aturan pakai obat, bentuk


sediaan, waktu konsumsi obat, nama obat, jumlah obat, kadaluwarsa obat,

dan paraf bagi yang menyerahkan obat. Perbedaan yang terdapat dari

etiket putih dan etiket biru tidak banyak berbeda, selain warna label yang

berbeda terdapat juga tulisan “obat luar” yang terdapat pada etiket biru

untuk menjelaskan bahwa obat tersebut bukan untuk diminum (Kemkes,

2014).

Berdasarkan Permenkes No. 72 Tahun 2016 dinyatakan bahwa

setiap obat dan bahan kimia yang akan digunakan wajib untuk untuk diberi

label yang jelas dan mudah terbaca dan peringatan khusus untuk sediaan

farmasi, alat kesehatan, dan BMHP khusus. Label merupakan petunjuk

tambahan selain etiket yang terdapat pada obat berisi tentang peringatan

untuk diperhatikan pasien sebelum mengkonsumsi atau menggunakan

obat. Hal tersebut ditunjukkan seperti pemberian label “kocok dahulu”

untuk obat berbentuk larutan, label “tidak boleh diulang tanpa resep

dokter” khusus golongan obat keras dan narkotika, label “habiskan”

khusus obat antibiotik, dan beberapa pelabelan khusus obat yang berisiko

tinggi wajib diberikan label “High Alert”, label “radioaktif”, label

“oksidator”, dan label “cytostatic”.

c) Penyiapan obat jadi dan racikan

Penyiapan atau biasa disebut dispensing sediaan farmasi dan

BMHP merupakan salah satu kegiatan untuk memenuhi kebutuhan setiap

pasien. Penyiapan obat terdiri dari penyiapan obat jadi dan penyiapan obat

racikan, dimana penyiapan obat jadi merupakan kegiatan pengambilan

obat sesuai dengan kebutuhan dan penyiapan obat racikan adalah kegiatan
yang dilakukan oleh tanaga kefarmasian dari pengambilan obat di rak obat

sampai kepada proses peracikan obat. Beberapa metode penyiapan sediaan

farmasi dan BMHP di pelayanan kefarmasian untuk pasien seperti

persediaan di ruang rawat (floor stock), penyiapan resep perorangan

(individu), dan penyiapan obat dosis unit baik UDD maupun ODD.

Penyiapan floor stock dilakukan oleh perawat berdasarkan instruksi resep

yang ditulis dokter, tetapi masih dalam pengelolaan farmasi. Penyiapan

obat di rawat jalan biasanya merupakan resep individu, dimana penyiapan

obat berdasarkan resep yang ditulis dokter. Penyiapan obat dengan dosis

unit terdapat dua sistem yaitu sistem UDD dan ODD.

Berdasarkan Permenkes No. 72 tahun 2016 waktu tunggu pasien

dalam pelayanan kefarmasian dibagi menjadi dua, yaitu waktu tunggu

resep obat jadi dan waktu tunggu obat racikan. Waktu tunggu resep obat

jadi ditetapkan kementerian kesehatan yaitu ≤30 menit dimulai dari pasien

menyerahkan resep sampai pasien menerima obat, sedangkan waktu

tunggu resep obat racikan minimal ≤60 menit sejak pasien menyerahkan

resep ke pelayanan farmasi hingga pasien menerima obat.

d) Kemasan obat yang diberikan

Kemasan atau wadah merupakan salah satu yang sangat perlu

diperhatikan dalam penyiapan obat, sebelum diserahkan kepada pasien.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada kemasan obat antara lain

kemasan harus tersegel dengan baik (khusus obat yang tidak di repack),

tidak rusak, tidak berlubang, dan terdapat tanggal kadaluarsa yang terbaca

jelas. Obat dan sediaan farmasi yang diserahkan kepada pasien dengan
bentuk sediaan tablet, kapsul, puyer, larutan, dan lain sebagainya yang

tidak memiliki aturan khusus yang hanya perlu di kemas dalam wadah

yang aman dan tidak memberikan efek kontam terhadap sediaan.

Berbeda dengan hal nya pengemasan khusus obat kanker atau

sediaan sitostatik. Dimana penanganan khusus sediaan sitostatik harus

dilakukan penanganan secara aseptis dalam kemasan tertentu seperti

diberikan pada wadah berwarna ungu sebagai tanda obat sitostatik.

Pengemasan kembali atau disebut repacking dimana obat dikeluarkan dari

kemasan bawaan industri ke dalam kemasan yang lebih kecil wajib

mempertimbangkan dan mencantumkan waktu kadaluarsa obat dengan

jelas. Beberapa obat yang harus terlindung dari cahaya matahari harus

dikemas ke dalam wadah berwarna hitam atau gelap, atau menggunakan

aluminium foil, salah satu contohnya adalah ranitidin.

e) Penyerahan obat

Penyerahan obat dapat dilakukan oleh Apoteker kepada perawat

(untuk pasien rawat inp) atau kepada pasien/keluar (untuk pasien rawat

jalan). Sebelum dilakukan penyerahan obat, Apoteker wajib melakukan

telaah obat yang meliputi pemeriksaan kembali obat yang telah disiapkan

sesuai dengan resep. Aspek yang perlu diperhatikan dalam telaah obat

meliputi tepat obat, tepat pasien, tepat dosis, tepat rute, dan tepat waktu

pemberian.

Pada penyerahan obat untuk pasien rawat inap diserahkan kepada

perawat dengan menyertakan nama obat, nomor rekam medis pasien,

jumlah obat, dan jadwal pemakaian obat. Berbeda dengan pasien rawat
inap, proses penyerahan obat kepada pasien rawat jalan apoteker langsung

menyerahkan obat kepafa pasien/keluarga. Pada penyerahan obat untuk

pasien rawat jalan, harus disertai dengan pemberian informasi mengenai

nama obat, kegunaan/indikasi obat, aturan pakai, efek terapi, dan beberapa

efek samping yang mencolok, serta cara penyimpanan obat.

f) Informasi obat

Pelayanan informasi obat (PIO) merupakan salah satu kegiatan

penting dalam menjalin komunikasi antara pasien dan/atau keluarga pasien

atau perawat oleh Apoteker. Kegiatan PIO merupakan penyediaan dan

pemberian informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat, tidak

bias, terkini dan komprehensif yang dilakukan apoteker kepada dokter,

apoteker, perawat, profesi kesehatan lain, serta pasien dan pihak lain dari

luar rumah sakit. Pelayanan informasi obat dibuat dengan tujuan dapat

menunjang penggunaan obat yang rasional, mendorong penggunaan obat

yang aman demi meminimalkan efek yang merugikan, dan mendorong

penggunaan obat yang efektif gar tercapai tujuan terapi yang optimal serta

mendapatkan efektifitas biaya.

Kegiatan PIO dapat meliputi interaksi dua arah atau lebih melalui

tanya jawab, menerbitkan buletin, leaflet, poster, dan newsletter, serta

menyediakan berbagai informasi bagi tim farmasi dan terapi sehubung

dengan penyusunan formularium rumah sakit, melakukan pengkajian obat

untuk uji klinik di rumah sakit, dan masih banyak lagi. Pelayanan

informasi obat dilakukan tidak hanya berlalu begitu saja, tetapi apoteker

memiliki tanggung jawab dan peran untuk melakukan follow-up mengenai


perihal yang sudah ditanyakan oleh pihak sasaran terhadap ketepatan

informasi dan ketepatan jawaban yang diterima.

2.3.2 Pengelolaan obat High Alert

Obat high alert adalah obat yang harus diwaspadai karena

memberikan dampak serius pada keselamatan pasien jika terjadi kesalahan

dalam penggunaannya. Obat-obatan yang beresiko tinggi disimpan

terpisah dan diberi label “High Alert”. Setiap daftar obat beresiko tinggi

ditetapkan oleh rumah sakit dengan mempertimbangkan data referensi dan

data internal rumah sakit. Referensi yang dapat digunakan dan menjadi

acuan antara lain daftar yang diterbitkan oleh ISMP (Institute For Sale

Medication Practice).

Obat high alert mencakup :

1) Sediaan farmasi dengan zat yang menimbulkan kematian atau

kecacatan bila dalam penggunaan terjadi kesalahan seperti insulin,

heparin, atau kemoterapeutik

2) Elektrolit konsentrat seperti kalium klorida dengan konsentrasi sama

atau lebih dari 2 mEq/ml, kalium fosfat, natrium klorida dengan

konsentrasi lebih dari 0,9%, dan magnesium sulfat injeksi dengan

konsentrasi 50% atau lebih

3) Elektrolit konsentrasi tertentu seperti kalium klorida dengan

konsentrasi 1 mEq/ml, magnesium sulfat 20% dan 40%

4) Obat yang terlihat mirip dan kedengaran mirip (LASA/NORUM)

Pelabelan yang disarankan untuk produk high alert diberikan label

dari gudang agar potensi terlupa pemberian label high alert di satelit
farmasi dapat diminimalkan. Stiker high alert ditempelkan pada kemasan

satuan terkecil contohnya ampul atau vial. Tampilan stiker high alert

diharapkan diberikan dengan warna mencolok dengan tulisan kontras dan

terbaca jelas. Elektrolit konsentrat dan elektrolit konsentrasi tertentu hanya

tersedia di instalasi farmasi atau satelit farmasi. Elektrolit konsentrat dan

elektrolit konsentrasi tertentu disimpan dengan lokasi akses terbatas dan

penandaan yang jelas untuk menghindari kesalahan pengambilan dan

penggunaannya.

2.3.3 Pengelolaan obat rusak, kadaluarsa, dan pemusnahan obat dan resep

1) Pengelolaan obat rusak dan obat kadaluarsa

Menurut Kadam et al., (2016) pengelolaan obat rusak maupun obat

kadaluarsa dapat dilakukan dengan mengembalikan produk obat ke produsen

atau pada obat kadaluarsa dapat juga dilakukan dengan memusnahkan obat.

Pengelolaan obat kadaluarsa ditentukan berdasarkan kebijakan rumah sakit,

biasanya 3 sampai 6 bulan sebelum tanggal kadaluwarsa obat. Pengelolaan

obat kadaluarsa dalam penyimpanannya disimpan terpisah dan harus diberikan

penandaan khusus untuk selanjutnya dapat diteruskan sesuai kebijakan dan

perjanjian antar vendor dan rumah sakit atau dilanjutkan ke tahap

pemusnahan.

Penjelasan WHO (1999) pengelolaan obat kadaluarsa dapat dilakukan

dengan berbagai metode antara lain mengembalikan obat ke produsen atau

pabrik, imobilisasi limbah enkapsulasi, imobilisasi limbah inertisasi,

pembuangan ke saluran atau dibakar ditempat terbuka. Mengenai pengelolaan


obat yang dikembalikan ke produsen atau pabrik merupakan salah satu cara

yang dapat digunakan agar tidak terjadi penyalahgunaan obat oleh masyarakat.

Tetapi dalam menangani hal tersebut tetap ada persetujuan antara kedua belah

pihak.

2) Pemusnahan obat dan resep

Pemusnahan obat dan resep menurut Permenkes No. 72 tahun 2016

tentang standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit, dilaksanakan apabila

sediaan farmasi, alkes, dan BMHP yang tidak dapat digunakan dengan cara

yang sesuai dengan ketentuan perundang undangan yang berlaku. pemusnahan

terhadap obat dapat dilakukan apabila telah dicabut izin edarnya, tidak

memenuhi syarat untuk digunakan, telah kadaluarsa, serta produk tidak

memenuhi persayaratan mutu.

Tahapan pemusnahan obat terdiri dari membuat daftar sediaan farmasi,

alat kesehatan, dan BMHP, menyiapkan berita acara pemusnahan,

mengoordinasikan jadwal, metode, dan tempat pemusnahan kepada pihak

terkait, menyiapkan tempat pemusnahan, dan melakukan pemusnahan yang

sudah disesuaikan dengan jenis dan bentuk sediaan serta peraturan yang

berlaku. Pemusnahan obat narkotika, psikotropika, dan prekursor dilakukan

jika didapatkan sisa obat memungkinkan untuk disalahgunakan. Pemusnahan

khusus narkotika wajib disaksikan oleh dua petugas yang berbeda profesi dan

didokumentasikan dalam formulir/berita acara pemusnahan sisa narkotika.


DAFTAR PUSTAKA

Akbar, N. H., Kartinah, N., & Wijaya, C. (2016). Analisis Manajemen


Penyimpanan Obat Di Kota Banjarbaru. Journal Manajemen Dan
Pelayanan Farmasi. Vol. 4 No. 4-255-260.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2009). UU Nomor 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan. Jakarta: Depkes RI.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2009). UU Nomor 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika. Jakarta: Depkes RI.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2009). UU Nomor 44 Tahun 2009
Tentang Rumah Sakit. Jakarta: Depkes RI.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2014). UU Nomor 36 Tahun 2014
Tentang Tenaga Kesehatan. Jakarta: Depkes RI.
Kadam, A., Patil, S., & Tumkur, A. (2016). Pharmaceutical Waste Management
An Overview. Indian Journal Of Pharmacy Practice. Vol 9, Hlm. 2-8.
KBBI. 2021. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online.
http://Kbbi.Web.Id/.Prasarana. Di Akses Tanggal 10 Maret 2021.
KBBI. 2021. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online.
http://Kbbi.Web.Id/.Sarana. Di Akses Tanggal 10 Maret 2021.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Keputusan Menteri
Kesehatan RI Nomor 129/Menkes/SK/II/2008 Tentang Standar Pelayanan
Minimal Rumah Sakit. Jakarta: Kemkes RI.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2014). Peraturan Menterian
Kesehatan RI Nomor 58 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian Di Rumah Sakit. Jakarta: Kemkes RI.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2015). Pemberian Informasi Harga
Eceran Tertinggi Obat. Jakarta: Kemkes RI.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2016). Peraturan Menterian
Kesehatan RI Nomor 72 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian Di Rumah Sakit. Jakarta: Kemkes RI.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2019). Petunjuk Teknis Standar
Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit. Jakarta: Kemkes RI.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2020). Peraturan Meteri Kesehatan
Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Klasifikasi Dan Perizinan Rumah Sakit.
Jakarta: Kemkes RI.
Rusli. (2016). Farmasi Rumah Sakit Dan Klinik. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
Setya, E. R. (2017). Farmasi Rumah Sakit. Yogyakarta: Deepublish.
Siregar, C. J. P., & Lia, L. (2003). Farmasi Rumah Sakit: Teori Dan Penerapan.
Jakarta: EGC.
Siregar, C. J. P. (2004). Farmasi Rumah Sakit: Teori Dan Terapan. Jakarta: EGC.
Stefanus, T. J. (2017). Manajemen Farmasi. Manado: Poltekkes Kemkes.

Anda mungkin juga menyukai