Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu masalah gangguan kesehatan yang menonjol  pada usia
lanjut adalah gangguan muskoloskeletal, terutama osteoartritis dan
osteoporosis. Menghadapi problem ini tanpa adanya persiapa yang baik, di
khawatirkan akan menjadikan beban yang akan di tanggung pemerintah,
masyarakat, dan warga usia lanjut  dengan keluarga akan menjadi  sangat
besar dan akan  menghambat perkembangan ekonomi  serta memperburuk
kualitas hidup manusia secara utuh (isbagio H dalam Daniel, 2010).
Osteoporosis adalah suatu problem klimakterium yang serius. Di
amerika serikat dijumpai  satu kasus osteoporosis  di antara dua sampai
tiga wanita pascamonopause. Massa tulang pada manusia mencapai
maksimum pada usia sekita 35 tahun, kemudian terjadi penurunan massa
tulang secara eksponensial. Penurunan massa tulang ini berkisar  antara 3-
5% setiap decade, sesuai dengan kehilangan massa otot  dan hal ini di
alami baik pada pria dan wanita. Pada masa klimakterium, penurunan
massa tulang pada wanita lebih mencolok  dan dapat mencapai 2-3% 
setahun secara eksponensial. Pada usia 70 tahun  kehilangan massa tulang
pada wanita  ini baru mencapai 25% .
Osteoporosis sering menimbulkan fraktur kompresi pada vertebra 
torakalis. Terdapat penyempitan diskus  vertebra, apabila penyebaran
berlanjut keseluruh korpus vertebra akan menimbulkan kompresi vertebra 
dan terjadi gibus. Fraktur kolum femur  sering terjadi pada usia di atas 60
tahun dan lebih sering pada perempuan, yang disebabkan oleh penuaan
dan osteoporosis pascamenopause.
Kolaps bertahap tulang vertebra mungkin tidak menimbulkan
gejala, namun terlihat sebagai kifosis progresif. Kifosis dapat
mengakibatkan pengurangan tinggi badan. Pada beberapa perempuan
dapat kehilangan  tinggi badan sekitar 2,5-15 cm, akibat kolaps vertebra.

1
B. Tujuan Penulisan
a) Tujuan Umum
Untuk mengetahui konsep dasar terkait penyakit osteoporosis dan
pengaplikasian dalam asuhan keperawatan.
b) Tujuan Khusus
- Untuk mengetahui pengetian terkait osteoporosis
- Untuk mengetahui etiologi dan klasifikasi terkait
osteoporosis
- Untuk mengetahui tanda dan gejala terkait osteoporosis
- Untuk mengetahui penatalaksanaan dan pemeriksaan
penunjang terkait osteoporosis
- Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan yang akan
diberikan pada klien dengan osteoporosis

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

1. Defenisi Osteoporosis
Osteoporosis adalah suatu kondisi berkurangnya massa tulang
secara nyata yang berakibat pada rendahnya kepadatan tulang, sehingga
tulang menjadi keropos dan rapuh. “Osto” berarti tulang, sedangkan
“porosis” berarti keropos. Tulang yang mudah patah akibat Osteoporosis
adalah tulang belakang, tulang paha, dan tulang pergelangan tangan
(Endang Purwoastuti : 2011) .
Osteoporosis yang dikenal dengan keropos tulang menurut WHO
adalah penyakit skeletal sistemik dengan karakteristik massa tulang yang
rendah dan perubahan mikroarsitektur dari jaringan tulang dengan akibat
meningkatnya fragilitas tulang dan meningkatnya kerentanan terhadap
tulang patah. Osteoporosis adalah kelainan dimana terjadi penurunan
massa tulang total (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Osteoporosis adalah kelainan di mana terjadi penurunan massa
tulang total. Terdapat perubahan pergantian tulang homeostasis normal,
kecepatan resorpsi tulang lebih besar dari kecepatan pembentukan tulang,
pengakibatkan penurunan masa tulang total. Tulang secara progresif
menjadi porus, rapuh dan mudah patah; tulang menjadi mudah fraktur
dengan stres yang tidak akan menimbulkan pengaruh pada tulang normal.

2. Klasifikasi Osteoporosis
Klasifikasi osteoporosis dibagi ke dalam dua kelompok yaitu
osteoporosis primer dan osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer

3
terdapat pada wanita postmenopause (postmenopause osteoporosis) dan
pada laki-laki lanjut usia (senile osteoporosis). Penyebab osteoporosis
belum diketahui dengan pasti. Sedangkan osteoporosis sekunder
disebabkan oleh penyakit yang berhubungan dengan Kelainan endokrin
misalnya Chusing’s disease, hipertiriodisme, hiperparatiriodisme,
hipogonadisme, kelainan hepar, gagal ginjal kronis, kurang gerak,
kebiasaan minum alcohol, pemakaian obat-obatan/kortikosteroid,
kelebihan kafein, dan merokok.
Djuwantoro (1996), membagi osteoporosis menjadi osteoporosis
postmenopause (Tipe I), Osteoporosis involutional (Tipe II), osteoporosis
idiopatik, osteoporosis juvenil dan osteoporosis sekunder.
1) Osteoporosis Postmenopause (Tipe I)
Merupakan bentuk yang paling sering ditemukan pada wanita
kulit putih dan Asia. Bentuk osteoporosis ini disebabkan oleh
percepatan resopsi tulang yang berlebihan dan lama setelah penurunan
sekresi hormon estrogen pada masa menopause.
2) Osteoporosis involutional (Tipe II)
Terjadi pada usia diatas 75 tahun pada perempuan maupun laki-
laki. Tipe ini diakibatkan oleh ketidakseimbangan yang samar dan
lama antara kecepatan resorpsi tulang dengan kecepatan pembentukan
tulang.
3) Osteoporosis idiopatik
Adalah tipe osteoporosis primer yang jarang terjadi pada wanita
premenopouse dan pada laki-laki yang berusi di bawah 75 tahun. Tipe
ini tidak berkaitan dengan penyebab sekunder atau faktor resiko yang
mempermudah timbulnya penurunan densitas tulang.
4) Osteoporosis juvenil
Merupakan bentuk yang paling jarang terjadi dan bentuk
osteoporosis yang terjadi pada anak-anak prepubertas.
5) Osteoporosis sekunder.

4
Penurunan densitas tulang yang cukup berat untuk
menyebabkan fraktur atraumatik akibat faktor ekstrinsik seperti
kelebihan kortikosteroid, atraumatik reumatoid, kelainan hati/ ginjal
kronis, sindrom malabsorbsi, mastisitosis sistemik, hipertiriodisme ,
varian status hipogonade dan lain-lain.

3. Etiologi Osteoporosis
Osteoporosis postmenopouse terjadi karena kekurangan estrogen
(hormon utama pada wanita), yang membantu mengatur pengangkutan
kalsium ke dalam tulang pada wanita. Biasanya gejala timbul pada wanita
yang berusia diantara 51-75 tahun, tetapi bisa mulai muncul lebih cepat
ataupun lebih lambat. Tidak semua wanita memiliki resiko yang sama
untuk menderita osteoporosis postmenopouse, pada wanita kulit putih dan
daerah timur lebih mudah menderita penyakit ini daripada wanita kulit
hitam (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Osteoporosis senilis kemungkinan merupakan akibat dari
kekurangan kasium yang berhubungan dengan usia dan
ketidakseimbangan diantara kecepatan hancurnya tulang dan pembentukan
tulang yang baru. Senilis yaitu keadaan penurunan masa tulang yang hanya
terjadi pada usia lanjut. Penyakit ini biasanya terjadi pada usia diatas 70
tahun dan dua kali lebih sering menyerang wanita. Wanita sering kali
menderita osteoporosis senilis dan postmenopouse (Lukman, Nurma
Ningsih : 2009).
Kurang dari lima persen penderita osteoporosis juga mengalami
osteoporosis sekunder, yang disebabkan oleh keadaan medis lainnya atau
oleh obet-obatan. Penyakit ini bisa disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan

5
kelainan hormonal (terutama tiroid, paratiroid, dan adrenal) dan obat-
obatan (misalnya kortikosteroid, barbiturat, anti-kejang, hormon tiroid
yang berlebihan). Pemakaian alkohol yang berlebihan dan kebiasaan
merokok bisa memperburuk keadaan ini (Lukman, Nurma Ningsih :
2009).
Osteoporosis juvenil idiopatik merupakan jenis osteoporosis yang
penyebabnya tidak diketahui. Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa
yang normal dan tidak memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang
(Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Faktor genetik juga berpengaruh terhadap timbulnya osteoporosis.
Pada seseorang dengan tulang yang kecil akan lebih mudah mendapat
risiko fraktur daripada seseorang dengan tulang yang besar. Sampai saat
ini tidak ada ukuran universal yang dapat dipakai sebagai ukuran tulang
normal. Setiap individu memiliki ketentuan normal sesuai dengan sifat
genetiknya beban mekanis dan besar badannya. Apabila individu dengan
tulang besar, kemudian terjadi proses penurunan massa tulang
(osteoporosis) sehubungan dengan lanjutnya usia, maka individu tersebut
relatif masih mempunyai tulang lebih banyak daripada individu yang
mempunyai tulang kecil pada usia yang sama (Lukman, Nurma Ningsih :
2009).

4. Patofisiologi Osteoporosis
Genetik, nutrisi, gaya hidup (misal merokok, konsumsi kafein, dan
alkohol), dan aktivitas mempengaruhi puncak massa tulang. Kehilangan
masa tulang mulai terjadi setelah tercaipainya puncak massa tulang. Pada
pria massa tulang lebih besar dan tidak mengalami perubahan hormonal
mendadak. Sedangkan pada perempuan, hilangnya estrogen pada saat
menopouse  dan pada ooforektomi mengakibatkan percepatan resorpsi
tulang dan berlangsung terus selama tahun-tahun pasca menopouse
(Lukman, Nurma Ningsih : 2009).

6
Diet kalsium dan vitamin D yang sesuai harus mencukupi untuk
mempertahankan remodelling tulang selama bertahun-tahun
mengakibatkan pengurangan massa tulang dan fungsi tubuh. Asupan
kasium dan vitamin D yang tidak mencukupi selama bertahun-tahun
mengakibatkan pengurangan massa tulang dan pertumbuhan osteoporosis.
Asupan harian kalsium yang dianjurkan (RDA : recommended daily
allowance) meningkat pada usia 11 – 24 tahun (adolsen dan dewasa muda)
hingga 1200 mg per hari, untuk memaksimalakan puncak massa tulang.
RDA untuk orang dewasa tetap 800 mg, tetapi pada perempuan pasca
menoupose 1000-1500 mg per hari. Sedangkan pada lansia dianjurkan
mengkonsumsi kalsium dalam jumlah tidak terbatas. Karena penyerapan
kalsium kurang efisisien dan cepat diekskresikan melalui ginjal (Smeltzer,
2002).
Demikian pula, bahan katabolik endogen (diproduksi oleh tubuh)
dan eksogen dapat menyebabkan osteoporosis. Penggunaan kortikosteroid
yang lama, sindron Cushing, hipertiriodisme dan hiperparatiriodisme
menyebabkan kehilangan massa tulang. Obat- obatan seperti isoniazid,
heparin tetrasiklin, antasida yang mengandung alumunium, furosemid,
antikonvulsan, kortikosteroid dan suplemen tiroid mempengaruhi
penggunaan tubuh dan metabolisme kalsium.
Imobilitas juga mempengaruhi terjadinya osteoporosis. Ketika
diimobilisasi dengan gips, paralisis atau inaktivitas umum, tulang akan
diresorpsi lebih cepat dari pembentukannya sehingga terjadi osteoporosis.
5. Manifestasi Klinis Osteoporosis
Kepadatan tulang berkurang secara perlahan, sehingga pada
awalnya osteoporosis tidak menimbulkan gejala pada beberapa penderita.
Jika kepadatan tulang sangat berkurang yang menyebabkan tulang menjadi
kolaps atau hancur, maka akan timbul nyeri tulang dan kelainan bentuk.
Tulang-tulang yang terutama terpengaruh pada osteoporosis adalah radius
distal, korpus vertebra terutama mengenai T8-L4, dan kollum femoris
(Lukman, Nurma Ningsih : 2009).

7
Kolaps tulang belakang menyebabkan nyeri punggung menahun.
Tulang belakang yang rapuh bisa mengalami kolaps secara spontan atau
karena cedera ringan. Biasanya nyeri timbul secara tiba-tiba dan dirasakan
di daerah tertentu dari pungung yang akan bertambah nyeri jika penderita
berdiri atau berjalan. Jika disentuh, daerah tersebut akan terasa sakit, tetapi
biasanya rasa sakit ini akan menghilang secara bertahap setelah beberapa
minggu atau beberapa bulan. Jika beberapa tulang belakang hancur, maka
akan terbentuk kelengkungan yang abnormal dari tulang belakang
(punuk), yang menyebabkan terjadinya ketegangan otot dan rasa sakit
(Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Tulang lainnya bisa patah, yang sering kali disebabkan oleh
tekanan yang ringan atau karena jatuh. Salah satu patah tulang yang paling
serius adalah patah tulang panggul. Selain itu , yang juga sering terjadi
adalah patah tulang lengan (radius) di daerah persambungannya dengan
pergelangan tangan, yang disebut fraktur Colles. Pada penderita
osteoporosis, patah tulang cenderung mengalami penyembuhan secara
perlahan (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).

6. Penatalaksanaan Osteoporosis
Pengobatan osteoporosis yang telah lama digunakan yaitu terapi
medis yang lebih menekankan pada pengurangan atau meredakan rasa
sakit akibat patah tualng. Selain itu, juga dilakukan terapi hormone

8
pengganti (THP) atau hormone replacement therapy (HRT) yaitu
menggunakan estrogen dan progresteron. Terapi lainnya yaitu terapi non
hormonal antara lain suplemen kalsium dan vitamin D.
1) Terapi medis.
Sebenarnya belum ada terapi yang secara khusus dapat
mengembalikan efek dari osteoporosis. Hal yang dapat dilakukan
adalah upaya-upaya untuk menekan atau memperlambat menurunnya
massa tulang serta mengurangi rasa sakit.
a) Obat pereda sakit
Pada tahap awal setelah terjadinya patah tulang, biasanya
diperlukan obat pereda sakit yang kuat, seperti turunan morfin.
Namun, obat tersebut memberikan efek samping seperti
mengantuk, sembelit dan linglung. Bagi yang mengalami rasa sakit
yang sangat dan tidak dapat diredakan dengan obat pereda sakit,
dapat diberikan suntikan hormone kalsitonin.
Bila rasa sakit mulai mereda, tablet pereda rasa sakit seperti
paracetamol atau codein ataupun kombinasi keduanya seperti co-
dydramol, co- codramol, atau co-proxamol bagi banyak pasien
cukup memadai untuk menghilangkan rasa sakit sehingga pasien
dapat melakukan aktivitas sehari-hari.
2) Terapi hormone pada wanita
Osteoporosis memang tidak dapat disembuhkan, semua upaya
pengobatan hanya dimaksudkan untuk mencegah kehilangan massa
tulang yang lebih besar. Namun, demikian, pengobatan masih perlu
dilakukan pada kasus osteoporosis berat untuk mencegah terjadinya
patah tulang. Obat-obat untuk mencegah penurunan massa tulang
biasanya bekerja lambat dan efeknya kurang terasa sehingga banyak
pasien penderita osteoporosis merasa putus asa dan menghentikan
pengobatan. Hal tersebut sangat tidak baik karena pengobatan jangka
panjang diperlukan untuk dapat secara maksimal menekan laju
penurunan massa tulang dan patah tulang.

9
Terapi hormone pada wanita diberikan pada masa
pramenopause. Lamanya pemberian terapi hormone sulit ditentukan.
Yang jelas jika ingin terhindar dari osteoporosis, terapi hormone dapat
terus dilakukan. Sebagian dokter menganjurkan untuk dilakukan terapi
hormone seumur hidup semenjak menopause pada wanita yang
mengalami osteoporosis. Namun, sebagian juga berpendapat bahwa
penggunaan terapi hormone sebaiknya dihentikan setelah penggunaan
selama 5-10 tahun untuk menghindari kemungkinan terjadinya kanker.
a) Hormone Replacement Theraphy (HRT)
Hormone Replacement Theraphy (HRT) atau terapi
hormone pengganti (THP) menggunakan hormone estrogen atau
kombinasi estrogen dan progesterone. Hormone-hormon tersebut
sebenarnya secara alamiah diproduksi oleh indung telur, tetapi
produksinya semakin menurun selama menopause sehingga perlu
dilakukan HRT.
Penggunaan estrogen memang efektif  dalam upaya
pengobatan dan pencegahan osteoporosis. Namun, tidak terlepas
dari kemungkinan terjadinya efek samping berupa munculnya
kanker endometrium (dinding rahim). Dengan adanya hormone
tersebut akan merangsang pertumbuhan sel-sel di dinding rahim
yang apabila pertumbuhannya terlalu pesat dapat berkembang
menjadi kanker ganas. Oleh karena itu, penggunaan estrogen
biasanya di kombinasikan dengan progesterone untuk mengurangi
resiko tersebut.
Efek lain yang juga dapat timbul dalam pemberian terapi
hormone, diantaranya adalah pembesaran payudara, kembung,
retensi cairan, mual, muntah, sakit kepala, gangguan pencernaan,
dan gangguan emosi. Namun, demikian, efek tersebut biasanya
hanya terjadi pada awal terapi dan kondisi berangsur membaik
dengan sendirinya. Dapat juga dilakukan pemberian hormone

10
estrogen dan progesterone secara bertahap, dosis kecil diberikan
pada awal terapi dilihat dulu reaksinya terhadap tubuh. Bila dosis
dapat diterima tubuh, dosis kemudian dinaikkan secara bertahap.

b) Kalsitonin.
Selain hormone estrogen dan progesterone, hormone lain
yang biasa digunakan dalam pencegahan dan pengobatan
osteoporosis adalah kalsitonin. Kalsitonin turut menjaga kestabilan
struktur tulang dengan mengaktifkan kerja sel osteoblast dan
menekan kinerja sel osteoclast.
Kalsitonin juga berperan dalam mengurangi rasa sakit yang
mungkin timbul pada keadaan patah tulang. Hormone ini secara
normal dihasilkan oleh kelenjar tiroid yang memiliki sifat
meredakan rasa sakit yang cukup ampuh. Kalsitonin biasanya
diberikan dalam bentuk suntikan yang diberikan setiap hari atau
dua hari sekali selama dua atau tiga minggu. Hormone ini juga
dapat menimbulkan efek samping  berupa  rasa mual dan muka
merah, mungkin pula terjadi muntah dan diare serta rasa sakit pada
bekas suntikan.
c) Testosterone
Testosterone adalah hormone yang biasa dihasilkan oleh
tubuh pria. Penggunaan hormone testosterone pada wanita dengan
osteoporosis pasca menopause mampu menghambat kehilangan
massa tulang. Namun, dapat muncul efek maskulinasi seperti
penambahan rambut secara berlebihan di dada, kaki, tangan,
timbulnya jerawat dimuka dan pembesaran suara seperti yang biasa
terjadi pada pria.
3) Terapi non-hormonal

11
Terapi hormone selama ini memang dianggap sebagai jalan
yang paling baik untuk mengobati osteoporosis. Namun, karena
banyaknya efek samping yang dapat ditimbulkan  dan tidak dapat
diterapkan pada semua pasien osteoporosis, maka sekarang mulai
dikembangkan terapi non-hormonal.
a) Bisfosfonat
Bisfosfonat merupakan golongan obat sintetis yang saat ini
sangat dikenal dalam pengobatan osteoporosis non-hormonal. Efek
utama dari obat ini adalah menonaktifkan sel-sel penghancur
tulang (osteoclast) sehingga penurunan massa tulang dapat
dihindari. Obat-obat yang termasuk golongan bisfosfonat adalah
etidronat dan alendronat.

b) Etidronat.
Etidronat adalah obat golongan bisfosfonat pertama yang
biasa digunakan dalam pengobatan osteoporosis. Obat ini diberikan
dalam bentuk tablet dengan dosis satu kali sehari selama dua
minggu. Penggunaan obat ini harus dikombinasikan dengan
konsumsi suplemen kalsium. Namun, perlu diperhatikan agar
konsumsi suplemen kalsium harus dihindari dalam waktu dua jam
sebelum dan sesudah mengkonsumsi etidronat karena dapat
mengganggu penyerapannya. Kadang kala konsumsi etidronat
memberikan efek samping,tetapi relative kecil. Misalnya timbul
mual, diare, ruam kulit dan lain-lain.
c) Alendronat
Alendornat mempunyai fungsi dan peran yang serupa
dengan etidronat, perbedaannya adalah pada penggunaannya tidak
perlu dikombinasikan dengan konsumsi suplemen kalsium, tetapi 
bila asupan kalsium masih rendah, pemberian kalsium tetap
dianjurkan. Efek samping yang mungkin ditimbulkan pada

12
konsumsi alendronat adalah timbulnya diare, rasa sakit dan
kembung pada perut, serta gangguan pada tenggorokan.
4) Terapi alamiah
Terapi alamiah adalah terapi yang diterapkan untuk mengobati
osteoporosis tanpa menggunakan obat-obatan atau hormone. Terapi ini
berhubungan dengan gaya hidup dan pola konsumsi. Beberapa
pencegahan yang dapat diberikan yaitu dengan berolahraga secara
teratur, hindari merokok, hindari minuman beralkohol dan menjaga
pola makan yang baik.

7. Pemeriksaan Diagnostik
Sebenarnya langkah terbaik dalam penanganan osteoporosis adalah
pencegahan karena bila sudah terkena susah, bahkan tidak dapat
dipulihkan. Seyogyanya, sedini mungkin dilakukan diagnosis untuk
mendeteksi keadaan massa tulang sebelum  terjadi akibat yang lebih fatal
seperti  terjadinya patah tulang . penilaian langsung tulang untuk
mengetahui ada tidaknya osteoporosis  dapat dilakukan dengan berbagai
cara , yaitu sebagai berikut :
 Pemeriksaan radiologic
 Pemeriksaan radioisotope
 Pemeriksaan Quantitative
 Magnetic resonance imaging (MRI)
 Quantitative Ultra Sound (QUS)

13
 Densitometer (X-ray absorptiometry)
 Tes darah dan urine

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN KASUS

A. Penkajian
1. Identitas Klien
Nama : Tn. I
Umur : 75 tahun
Agama : islam
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Wirausaha
Status Pernikahan : Nikah
Alamat : Jl. Seberang Padang

14
Tanggal Masuk RS : 23-09-2017
Diagnosa Medis : Osteoporosis
2. Keluhan Utama
Klien mengatakan bahwa merasakan nyeri pada punggung nya
sehingga klien Riwayat Kesehatan
a. Riwayat Kesehatan Sekarang
Saat di lakukan pengkajian pada tanggal 7 Agustus 2017
klien mengatakan bahwa nyeri pada punggungnya, klien
mengatakan sakit hebat dan terlokalisasi pada vertebra yg
terserang. Pasien mengatakan nyeri berkurang pada saat istirahat di
tempat tidur. Klien tampak meringis dan gelisah menahan nyeri
tersebut. Selain itu klien juga mengatakan bahwa ia mengalami
kesulitan untuk beraktivitas, klien mengeluh kesakitan tiap kali
bergerak, klien juga mengatakan bahwa ia membutuhkan bantuan
orang lain untuk bergerak. Klien tampak lemas, dan klien tampak
terbaring di tempat tidur.
Adapun hasil pemeriksaan TTV klien yaitu :
TD : 110/70mmHg S : 36.5°C
N : 76x/i RR : 20x/i

Sedangkan hasil dari pengkajian nyeri yaitu :


P : Adanya pergerakan fragmen tulang dan spasme otot
Q : Tumpul
R : Punggung
S:7
T : Hilang timbul

b. Riwayat Penyakit Dahulu


Klien mengatakan bahwa seiring bertambahnya usia klien
sering mengalami nyeri pada punggungnya. Saat nyeri klien hanya

15
beli obat di apotek, minum jamu/herbal. Namun seiring
berjalannya waktu, rasa nyeri yang dialaminya semakin parah
itulah mengapa pada 7 Agustus 2017 klien datang ke RS untuk
berobat.

c. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang sama dengan
klien

Genogram

3. Pemeriksaan Head To Toe


a. Tanda-tanda vital meliputi : TD : 110/70 N : 76 x/i
S : 36,5 C RR : 20 x/i
b. Pemeriksaan Kepala
Inspeksi kepala : Bentuk : simetris
Karakteristik rambut : gelombang
Kebersihan : bersih
Palpasi kepala : Tidak ada benjolan/lesi

16
c. Pemeriksaan mata
Inspeksi : Sklera : ikterik
Conjungtiva : anemis
Kornea : Normal
Iris : Normal
Tanda-tanda radang : tidak ada
Edema palpebrae : tidak ada nyeri tekan
Rasa sakit : tidak ada rasa nyeri
d. Telinga
Inspeksi : Daun telinga : Simetris, tidak ada massa
Liang telinga : Bersih
Membran tympani : tidak ada kelainan
Pendarahan : tidak ada
e. Hidung
Simetris/ tidak : cuping hidung simetris kiri dan kanan
Membran mukosa : tidak ada secret
Test penciuman / ketajaman membedakan bau : tidak ada kelainan
Alergi terhadap sesuatu : tidak ada alergi
f. Mulut dan tenggorokan
Inspeksi : Mulut : lembab
Mukosa mulut : bersih
Lidah : merah muda, tidak ada bintik-bintik
putih
Kesulitan menelan : tidak kesulitan dalam
menelan
g. Leher
Inspeksi leher : Normal
Kelenjar tyroid : tidak ada pembesaran
Palpasi : Normal
Arteri carotis : tidak ada kelainan
Vena jugularis : tidak ada kelainan

17
Kelenjar tyroid : tidak ada pembesaran
Nodus limfa : tidak ada kelainan
Pembesaran kelenjar : tidak ada pembesaran
kalenjar
h. Thorak/paru
Inspeksi : Bentuk thorak : Normal
Warna kulit : Kuning langsat
Pola nafas : efektif
Palpasi : Vocal remitus : Normal ada getaran
Perkusi : Batas paru kanan : Normal
Batas paru kiri : Normal
Auskultasi : Suara nafas : Normal
i. Kardiovaskuler
Inspeksi : Iictus cordis : tidak ada kelainan
Palpasi : Ictus cordis : Normal
Heart rate : Normal
Perkusi : Batas jantung : normal
Auskultasi : Bunyi jantung I&II : Normal
j. Abdomen
Inspeksi : Kuadran regio : -
Umbilikus : ada
Distensi : tidak mengalami distensi
k. Pola nutrisi
1. Berat badan : 45kg tinggi badan :150 cm sakit: bb 42 kg
2. Frekuensi makan : 3 kali sehari setelah sakit : 3 kali sehari

1. Pola tidur dan istirahat


- Waktu tidur : 21.00-05.00 wib setelah sakit : 21.00-
04.00 wib
- Lama tidur : 8jam/hari setelah sakit :
7jam/hari

18
- Kesulitan dalam hal tidur: sulit tidur karena nyeri pada sendi lutut

2. Pola aktivitas & latihan


Kemampuan perawatan 0 1 2 3 4
diri
Makan/ minum 
Toileting 
Berpakaian 
Mobilitas di tempat tidur 
Berpindah 
Ambulasi/ROM 

Ket : 0 :mandiri 1: dengan alat bantu 2 : dibantu orang lain 3: dibantu


orang lain dan alat 4: tergantung totl oksigenisasi

3. Analisa Data
Nama Klien : Tn.I No. Register : .....
Umur : 75 tahun Diagnosa Medis :
OSTEOPOROSIS

19
Ruang Rawat : R IV Interne Alamat : Jl
Seberang padang
No. Data Etiologi Masalah
1. Ds : Adanya Nyeri akut
• Klien mengatakan pergerakan
nyeri pada punggungnya fragmen tulang
• Nyeri berkurang dan spasme
saat klien beristirahat di otot
tempat tidur
Do :
• Klien tampak
meringis menahan nyeri
• Klien tampak
gelisah

2. Ds : Disfungsi Hambatan
• Klien mengatakan sekunder akibat mobilitas fisik
tidak bisa bergerak dan perubahan skeletal
beraktivitas (kifosis)
• Klien mengatakan
tidak bisa beranjak dari
tempat tidur
Do :
• Klien tampak lemah
• Klien tampak
terbaring di tempat tidur

B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d fragmen tulang dan spasme otot

20
2. Hambatan mobilitas fisik b.d disfungsi sekunder skeletal

C. Intervensi
N Dx. Keperawatan NOC NIC
o.
1 Nyeri akut b.d perubahan  Pain level Pain mangement
. patologis oleh atritis rematik  Pain  Laku
control kan
 Comfort pengkajian
level nyeri secara
Kriteria hasil : komprehens
 Mampu if termasuk
mengontrol nyeri lokasi,
(tahu penyebab karakteristik
nyeri, mampu , durasi,
menggunakan frekuensi,
tehnik kualitas dan
nonfarmakologi faktor
untuk presipitasi
mengurangi  Obse
nyeri, mencari rvasi reaksi
bantuan) nonverbal
 Melapork dari
an bahwa nyeri ketidaknya
berkurang manan
dengan  Gun
menggunakan akan teknik
manajemen nyeri komunikasi
 Mampu terapeutik
mengenali nyeri untuk
(skala, intensitas, mengetahui

21
frekuensi dan pengalaman
tanda nyeri) nyeri pasien
2 Hambatan mobilitas fisik b.d  join Execise
. kerusakan integritas struktur movement : therapy :
tulang, kekakuan sendi active ambulation
 mobility  moni
Level toring vital
 transfer sign
perfomance sebelum/ses
kriteria Hasil : udah latihan
 klien dan lihat
meningkat dalam respon
aktivitas fisik pasien saat
 mengerti latihan
tujuan dari  kons
peningkatan ultasikan
mobilitas dengan
 memverb terapi fisik
alisasikan tentang
perasaan dalam rencana
meningkatkan ambulasi
kekuatan dan sesuai
kemampuan dengan
berpindah kebutuhan
 bantu
klien untuk
menggunaka
n tongkat
saat berjalan
dan cegah
terhadap

22
cedera
 ajark
an pasien
atau tenaga
kesehatan
lain tentang
teknik
ambulasi
 kaji
kemampuan
pasien
dalam
mobilisasi

23
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Osteoporosis merupakan kondisi terjadinya penurunan densitas/
matriks/massa tulang, peningkatan prositas tulang, dan penurunan proses
mineralisasi deisertai dengan kerusakakn arsitektur mikro jaringan tulang
yang mengakibatkan penurunan kekokohan tulang sehingga tulang
menjadi mudah patah.
Beberapa faktor resiko Osteoporosis antara lain yaitu : usia,
genetik, defisiensi kalsium, aktivitas fisik kurang, obat-obatan
(kortikosteroid, anti konvulsan, heparin, siklosporin), merokok, alcohol
serta sifat fisik tulang (densitas atau massa tulang) dan lain sebagainya.
Osteoporosis sering mengakibatkan fraktur kompresi. Fraktur
kompresi ganda vertebra mengakibatkan deformitas skelet.

B. Saran
Mahasiswa harus lebih memahami tentang asuhan keperaawatan
pada gangguan system musculoskeletal “osteoporosis” sehingga mampu
menerapkannya di lahan praktik demi memberi pelayanan kesehatan yang
baik bagi klien.

24
DAFTAR PUSTAKA

Huda Amin Nurarif dan Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan


Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis NANDA & NIC NOC. Jogjakarta :
Mediaction.
Heather T. Herdman & Shigemi Kamitsuru. 2015. Diagnosis
Keperawatan : Definis & Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10 Terjemahan Indonesia.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
M. Gloria Bulechek, dkk. 2016. Nursing Intervention Classification (NIC).
Singapore : El Sevier.
Moorhead Sue, dkk. 2016. Nursing Outcomes Classification (NOC).
Singapore : El Sevier.
Lukman, Ningsih Nurma. 2012. ASUHAN KEPERAWATAN PADA
KLIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM MUSKULOSKELETAL. Jakarta :
Salemba Medika

25

Anda mungkin juga menyukai