NIM : A031181004
Semua perencanaan pajak yang diterapkan oleh perusahaan harus sudah sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
Rate yang berbeda ini mendorong adanya tax planning, sehingga dalam melakukan impor, tax
planner sering merekomendasikan impor dengan API. Akibatnya banyak orang yang memfasilitasi
penggunaan (“peminjaman”) API, dengan menggunakan API pengusaha yang seharusnya
menggunakan tarif pajak 7,5% menjadi 2,5%. Hal ini dapat menghemat cash flow perusahaan selama
masa tertentu, walaupun pada akhirnya PPh Pasal 22 ini akan menjadi kredit pajak dari PPh Badan
yang terutang dalam SPT Tahunan PPh badan (bila perusahaan dapat profit).
Dalam dunia shipping (laut dan udara), ada istilah “hadling fee”, yakni jumlah fee yang harus
dibayar berdasarkan perjanjian handling fee antara importir yang mempunyai API dengan pemilik
barang atas jasa yang diberikan. Atas pengenaan handling fee tersebut, dipotong PPh Pasal 23. Cara
ini dapat dipakai oleh orang atau perusahaan yang tidak mempunyai API dengan “meminjam” bendera
perusahaan yang punya API untuk mengeluarkan barang impornya dengan kompensasi pemberian
“hadling fee”. Bila benefitnya (5%) lebih besar dari cost of handling fee yang dikeluarkan (misalnya
1,5% - 2%), maka si pemilik barang masih bisa memperoleh tax saving dalam PPh Pasal 22 sebesar
3% - 3,5% dari harga barang impor. Cara ini juga dapat menghemat cash flow untuk masa tertentu,
karena kredit pajak dari PPh Pasal 22 tersebut hanya akan menyebabkan lebih bayar.
Tetapi perusahaan yang meminjamkan benderanya juga harus berhati-hati, karena masalah
transaksi peminjaman bendera ini selain dapat menimbulkan masalah pajak, juga dapat menimbulkan
masalah hukum dalam kasus di mana transaksi tersebut dimanfaatkan untuk hal-hal negatif atau
melanggar hukum. Bila hal ini terjadi, maka pihak yang harus bertanggung jawab adalah pihak
perusahaan yang meminjamkan benderanya itu. Berbeda dengan pajak, masalah pajak dalam suatu
aktivitas bisnis lebih melihat kepada apakah ada objek pajak atau tidak dan apakah kewajiban
perpajakannya telah dilaksanakan secara benar sesuai ketentuan perpajakan, serta syarat formal dan
material pembukuannya terpenuhi dalam arti semua transaksi harus mempunyai bukti pendukung yang
sah dan valid serta dapat dibuktikan legalitas transaksinya.
Tax management dan tax planning yang baik mensyaratkan beberapa hal, seperti tidak
melanggar ketentuan perpajakan, secara bisnis masuk akal (reasonable), serta didukung oleh bukti-
bukti pendukung yang memadai (kontrak, invoicen dan sebagainya).
Solusinya:
Agar biaya sewa bangunan dapat dibiayakan, termasuk pajaknya (deductible), maka kontrak perjanjian
tersebut harus diuabh dulu, termasuk mengubah invoice, faktur pajak, dan dokumen lain yang
mengakomidir pemotongan pajak PPh Pasal 23 atas transaksi pembayaran sewa bangunan tersebut,
agar terdapat kesesuaian antara penerima dan pemberi jasa. Jadi kontrak perjanjian harus direvisi
dengan mencantumkan nilai sewa bangunan setelah di groos up sebesar Rp 80 juta, dan setelah itu
pemilik gedung memotong PPh Pasal 4 (2) final 10% x Rp 80 juta = Rp 8 juta, dan menyetorkannya ke
kas Negara atau bank persepsi.
PPh Pasal 26
PPh Pasal 26 mirip dengan PPh Pasal 23, bedanya, PPh Pasal 26 untuk dibayarkan kepada
wajib pajak luar negeri. Kalau PPh 26 ini rate nya 20%, ada tax treaty. Kalau tax treaty nilai efektifnya
10%, tapi bisa juga 5% dan bisa juga 0%.
Pokok Perubahan UU PPh No. 36 Tahun 2008 Atas Objek Pasal 4 Ayat (2) Menegaskan objek
PPh Pasal 4 ayat (2) yang baru, yang selama ini tidak secara eksplisit diatur dalam ketentuan, seperti
bunga obligasi dan Surat Utang Negara. Berbeda dengan Reksadana yang terdaftar pada Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, sehingga pasar obligasi Reksadana bergairah;
bunga dan atau diskonto dari obligasi yang diterima atau diperoleh wajib pajak secara gradual dikenai
PPh Pasal 4 (2) Final sebagai berikut:
Tax planner bisa membandingkan dan menarik keuntungan dari perbedaan tarif bunga di atas, dengan
segala kelebihan dan kekurangan dari reksadana dibanding dengan obligasi yang dipasarkan di bursa
efek.
Beberapa hal kruasial dalam penanganan PPh Pasal 22/23/26 dan PPh Final:
Pada transaksi yang merupakan objek PPh Pasal 23/26/Final, hal pokok yang harus
diperhatikan adalah masalah pembuatan kontrak. Kontrak bisa dikatakan sebagai cikal bakal
terjadinya transaksi antara pihak-pihak terkait. Jika kontrak tidak ada, dapat digantikan oleh SPK
(Surat Perintah Kerja), atau PO (Purchase Order). Oleh karena itu kesepakatan yang dibuat di
dalam kontrak harus mencakup kesepakatan yang memengaruhi hak dan kewajiban perpajakan
masing-masing pihak.
Jika di dalam kontrak jelas disebutkan nilai jasa dan nilai materialnya, maka PPh Pasal 23/26
hanya akan dikenakan atas jasa yang diberikan saja, kecuali untuk jasa konstruksi dan jasa catering
(termasuk nilai materialnya). Sebaliknya, jika di dalam kontrak tidak ada pemisahan antara nilai jasa
dan nilai material, maka PPh Pasal 23 dikenakan atas keseluruhan nilai kontrak.
Oleh karena kewajiban pemotongan, penyetoran, dan pelaporan ada pada pemberi
penghasilan maka konflik dapat diatasi dengan cara negosiasi ulang dengan pihak pemberi jasa.
Jika pemberi jasa tetap tidak bersedia dipotong pajaknya, maka perusahaan dapat melakukan salah
satu dari dua cara berikut ini, membayarkan sendiri pajak yang terutang (PPh ditanggung) atau
melakukan gross up atas nilai kontrak (diberikan tunjangan PPh). Jika perusahaan membayarkan
sendiri pajak yang terutang, maka pajak tersebut tidak boleh dikurangkan. Sementara itu jika
perusahaan melakukan gross up maka pajak yang terutang boleh dibiayakan, kecuali deviden dan
PPh Final. Gross up sebaiknya dimulai dari kontrak perjanjian, invoice, FP, dan dokumen lain yang
terkait agar terdapat kesesuaian antara penerima dan pemberi jasa.
Kewajiban wajib pajak dalam kedudukan sebagai pemotong atau pemungut (withholder)
perlu mendapat perhatian serius dari perusahaan. Oleh karena itu perlu dilakukan pengendalian
perpajakan (tax control) untuk memastikan bahwa seluruh objek withholding tax sudah dilakukan
pemotongan atau pemungutannya.
Caranya adalah dengan rekonsiliasi atau ekualisasi antara SPT Masa dengan objek PPh
yang terdapat dalam laporan keuangan komersial.
Dalam hal ini terdapat akun-akun yang sepenuhnya merupakan objek withholding tax dapat
langsung diperbandingkan. Akan tetapi atas akun-akun yang di dalamnya hanya terdapat sebagian
saja yang merupakan objek withholding tax, maka perlu dilakukan pemisahan antara yang objek
dan yang bukan objek withholding tax. Bila diperlukan dapat dibuat buku pembantu untuk mencatat
rincian objek withholding tax dikaitkan dengan buku besarnya, mulai dari nama akun, tanggal
transaksi, nomor journal voucher, jenis transaksi, jumlah objek, masa perolehan, dan nomor serta
tanggal bukti pemotongan PPh yang dibuat.
Di samping harus mengatur klausul perpajakn secara jelas dan rinci, khusus kontrak dengan
pihak Wajib Pajak Luar Negeri harus memperhatikan beberapa hal, antara lain:
• Negara asal WPLN tersebut, sehingga perusahaan mengetahui apakah perlu melihat pada
ketentuan tax treaty atau tidak.
• Jika kontrak dilakukan dengan WPLN di Negara treaty partner, perlu diperhatikan agar
WPLN memberikan CRT (certificate of residence) kepada perusahaan sebelum dilakukan
pembayaran atau penagihan. Dan hal ini diakomodasi di dalam kontrak dengan WPLN
tersebut.
“Jika pajak keluaran lebih besar dari pajak masukan, maka selisihnya merupakan PPN yang harus
dibayar.”
“Jika pajak keluaran lebih kecil dari pajak masukan, maka selisihnya merupakan kelebihan bayar PPN
yang bisa dikompensasi dengan masa pajak berikutnya atau dikenakan restitusi.”
Pasal 9 UU Nomor 42 tahun 2009 mengatur lebih jauh mengenai mekanisme pengkreditan pajak
masukan. Pasal ini mengatur dimana pajak masukan dikreditkan dengan pajak keluaran untuk masa
pajak yang sama.
Selain menerapkan mekanisme pengkreditan pajak yang tepat, penting untuk menyetorkan SPT Masa
PPN dalam jangka waktu yang ditetapkan, paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa
pajak.
Perlu diperhatikan juga, bahwa pajak masukan yang dapat dikreditkan harus memenuhi persyaratan
formal maupun material. Tidak semua pajak masukan dapat dikreditkan, contohnya dalam faktur pajak
tidak lengkap.
o Mampu mengendalikan pajak masukan sehingga dapat memaksimalkan pengelolaan cashflow dimana
pajak masukan yang seharusnya dikreditkan telah dapat dikreditkan dengan benar dan terhindar dari
cacat material dan formal