Anda di halaman 1dari 8

NAMA : Resky Awaliah

NIM : A031181004

UJIAN TENGAH SEMESTER


MATA KULIAH “MANAJEMEN PERPAJAKAN”

1. Perencanaan Pajak dalam pemilihan bentuk usaha dan kegiatan usaha


Pilihan bentuk usaha ternyata berpengaruh terhadap aspek PPh yang akan dihadapi oleh seorang
investor. Kajian dari tiga pilihan apakah usaha perorangan, badan usaha yang modalnya tidak terbagi atas
saham seperti CV atau Firma atau PT ternyata menunjukkan bahwa pilihan bentuk usaha yang tidak terbagi atas
saham memiliki keuntungan pajak tersendiri. Keuntungan tersebut jika dibandingkan dengan usaha perorangan
adalah pengenaan tarif pajak tertinggi yang lebih rendah dibandingkan tarif pajak tertinggi perorangan. Jika
dibandingkan dengan bentuk PT maka keuntungan CV atau Firma adalah tidak dikenakannya pajak ganda
(double tax) atas pembagian laba atau dividen.
Kajian di atas tentunya hanya memandang dari sudut perpajakan khususnya PPh dengan kondisi apapun bentuk
usaha yang dipilih memberikan hasil yang sama bagi seorang investor. Secara lebih mendalam tentu
pertimbangan pemilihan bentuk usaha tidaklah sesederhana itu. Banyak aspek lain yang perlu dipertimbangkan,
seperti aspek tanggung jawab pemegang saham, aspek kemudahan akses ke pihak lain seperti bank, dan lain
sebagainya. Namun demikian sudut pandang aspek pajak ini setidaknya dapat dijadikan sebagai salah satu
pertimbangan dalam memilih bentuk usaha.
Juga ada beberapa poin penting yang perlu kita cermati :
Bisnis dalam bentuk perseorangan bisa memberikan penghematan pajak yang jauh lebih besar daripada bentuk
badan usaha lainnya. Ada beberapa faktor yang membuat pajak nya menjadi lebih hemat dikarenakan adanya
fasilitas pengurang pajak seperti tarif Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan Biaya Jabatan yang tidak diatur
dalam bentuk badan usaha lainnya. Namun, kita tidak boleh tergesa-gesa mengambil keputusan atas dasar
pertimbangan ingin menghemat pajak semata. Harus memperhatikan pertimbangan lain.
Beban pajak yang ditanggung investor / pengusaha melalui persekutuan (CV dan Firma) ternyata lebih kecil dari
beban pajak yang ditanggung oleh badan usaha PT.
Pemilihan badan usaha bisa dijadikan referensi dalam pengambilan keputusan oleh para investor/ pengusaha
untuk menghemat beban pajak. Namun, persoalan pajak bukan satu-satunya pertimbangan dalam mengambil
keputusan bisnis.
Pertimbangan dalam proses pengambilan keputusan bisnis modern, juga harus mengakomodasi masalah
permodalan, risk management, lingkungan hidup, business & market development , serta hak dan kewajiban
lainnya yang timbul dari pemilihan bentuk badan usaha tersebut.
2. a) Tax Planning PPh pasal 21/26 adalah dengan

 Penerapan perencanaan pajak melalui perhitungan pajak penghasilan pasal 21 karyawan


dengan menggunakan metode gross up akan berpengaruh pada kenaikan biaya fiskal
perusahaan. Kenaikan biaya fiskal tersebut menyebabkan penurunan penghasilan kena pajak
dan otomatis pajak penghasilan terutang perusahaan akan menurun.

 penggunaan metode gross up berhasil menurunkan pajak penghasilan perusahaan Sehingga


dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan metode gross up perusahaan mampu
melakukan penghematan Pajak Penghasilan Penerapan perencanaan pajak juga membuat
take home pay karyawan naik jika menggunakan net method sedangkan dengan metode gross
up Selisih yang terjadi setelah menerapkan perencanaan pajak merupakan
penghematan pajak yang dapat diperoleh perusahaan. Dimana sebelum penerapan
perencanaan pajak, pajak penghasilan yang harus dibayar perusahaan . setelah melakukan
penerapan perencanaan pajak sehingga perusahaan memperoleh penghematan pajak

 Semua perencanaan pajak yang diterapkan oleh perusahaan harus sudah sesuai dengan
peraturan yang berlaku.

b) Tax Planning PPh Pasal 22


PPh Pasal 22 impor ini menyangkut pemungutan pajak di sektor impor, yang berhubungan
dengan penyerahan dan pembayaran barang, serta pemasukan barang dari luar daerah pabean.
Dalam hal impor, tariff PPh Pasal 22 bervariasi, dimana kalau mempunyai API tarifnya 2,5% dari nilai
impor dan kalau tidak mempunyai API tarifnya 7,5% dari nilai impor.

Rate yang berbeda ini mendorong adanya tax planning, sehingga dalam melakukan impor, tax
planner sering merekomendasikan impor dengan API. Akibatnya banyak orang yang memfasilitasi
penggunaan (“peminjaman”) API, dengan menggunakan API pengusaha yang seharusnya
menggunakan tarif pajak 7,5% menjadi 2,5%. Hal ini dapat menghemat cash flow perusahaan selama
masa tertentu, walaupun pada akhirnya PPh Pasal 22 ini akan menjadi kredit pajak dari PPh Badan
yang terutang dalam SPT Tahunan PPh badan (bila perusahaan dapat profit).

Dalam dunia shipping (laut dan udara), ada istilah “hadling fee”, yakni jumlah fee yang harus
dibayar berdasarkan perjanjian handling fee antara importir yang mempunyai API dengan pemilik
barang atas jasa yang diberikan. Atas pengenaan handling fee tersebut, dipotong PPh Pasal 23. Cara
ini dapat dipakai oleh orang atau perusahaan yang tidak mempunyai API dengan “meminjam” bendera
perusahaan yang punya API untuk mengeluarkan barang impornya dengan kompensasi pemberian
“hadling fee”. Bila benefitnya (5%) lebih besar dari cost of handling fee yang dikeluarkan (misalnya
1,5% - 2%), maka si pemilik barang masih bisa memperoleh tax saving dalam PPh Pasal 22 sebesar
3% - 3,5% dari harga barang impor. Cara ini juga dapat menghemat cash flow untuk masa tertentu,
karena kredit pajak dari PPh Pasal 22 tersebut hanya akan menyebabkan lebih bayar.

Tetapi perusahaan yang meminjamkan benderanya juga harus berhati-hati, karena masalah
transaksi peminjaman bendera ini selain dapat menimbulkan masalah pajak, juga dapat menimbulkan
masalah hukum dalam kasus di mana transaksi tersebut dimanfaatkan untuk hal-hal negatif atau
melanggar hukum. Bila hal ini terjadi, maka pihak yang harus bertanggung jawab adalah pihak
perusahaan yang meminjamkan benderanya itu. Berbeda dengan pajak, masalah pajak dalam suatu
aktivitas bisnis lebih melihat kepada apakah ada objek pajak atau tidak dan apakah kewajiban
perpajakannya telah dilaksanakan secara benar sesuai ketentuan perpajakan, serta syarat formal dan
material pembukuannya terpenuhi dalam arti semua transaksi harus mempunyai bukti pendukung yang
sah dan valid serta dapat dibuktikan legalitas transaksinya.

Tax management dan tax planning yang baik mensyaratkan beberapa hal, seperti tidak
melanggar ketentuan perpajakan, secara bisnis masuk akal (reasonable), serta didukung oleh bukti-
bukti pendukung yang memadai (kontrak, invoicen dan sebagainya).

c) Strategi penghematan pajak PPh Pasal 23/26


 PPh Pasal 23
Tidak jarang terjadi dispute dalam bisnis tentang kewajiban memungut PPh Pasal 23, di mana
perusahaan pemilik proyek atau penerima jasa mengharuskan adanya pemungutan atau pemotongan
PPh Pasal 23 dari pihak ketiga, sedangkan pihak memberi jasa (kontraktor) tidak bersedia dipotong
pajaknya karena tidak ada pasal pemotongannya dalam kontrak perjanjian. Apabila perusahaan pemilik
proyek tidak memotong PPh Pasal 23, dan transaksi ini ditemukan oleh fiskus pada saat dilakukan
pemeriksaan pajak, maka perusahaan pemilik proyek akan dikenai kewajiban untuk membayar PPh
Pasal 23 (withholding tax) yang terutang ditambah denda keterlambatan penyetoran sebesar 2%
sebulan dari pokok pajak.

Solusinya:

1) Nilai transaksi harus di gross up, misalnya sewa bangunan Rp 72 juta


• Di groos up -> 100/90 x Rp 72 juta = Rp 80 juta
• Pajak yang harus dibayarkan -> Rp 80 juta – Rp 72 juta = Rp 8 juta
• Rp 8 juta ini boleh dibebankan sebagai biaya, kecuali untuk PPh final dan dividen.
2) Apabila Perusahaan pemilik proyek membayar sendiri PPh Pasal 23
• Tanpa di gross up -> 10% x Rp 72 juta = Rp 7,2 juta
• Pajak yang dibayarkan tidak boleh dibebankan sebagai biaya.

Agar biaya sewa bangunan dapat dibiayakan, termasuk pajaknya (deductible), maka kontrak perjanjian
tersebut harus diuabh dulu, termasuk mengubah invoice, faktur pajak, dan dokumen lain yang
mengakomidir pemotongan pajak PPh Pasal 23 atas transaksi pembayaran sewa bangunan tersebut,
agar terdapat kesesuaian antara penerima dan pemberi jasa. Jadi kontrak perjanjian harus direvisi
dengan mencantumkan nilai sewa bangunan setelah di groos up sebesar Rp 80 juta, dan setelah itu
pemilik gedung memotong PPh Pasal 4 (2) final 10% x Rp 80 juta = Rp 8 juta, dan menyetorkannya ke
kas Negara atau bank persepsi.

 PPh Pasal 26

PPh Pasal 26 mirip dengan PPh Pasal 23, bedanya, PPh Pasal 26 untuk dibayarkan kepada
wajib pajak luar negeri. Kalau PPh 26 ini rate nya 20%, ada tax treaty. Kalau tax treaty nilai efektifnya
10%, tapi bisa juga 5% dan bisa juga 0%.

1. Pasal 26 ayat (1) d

Imbalan sehubungan dengan Jasa, Pekerjaan, dan Kegiatan

1) Bila ada Tax Treaty


a. Jika pemberian jasa oleh WPLN kurang dari time test (uji waktu): tidak ada BUT,
maka Indonesia tidak berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima
oleh WPLN. Syarat: agar pemotongan pajak bisa dilakukan sesuai tax treaty,
WPLN harus dapat menunjukkan atau memberikan Certificate of Residence Tax
Payer (CRT) atau Certificate of Domicile (COD) dari Competent Authority di
Negara bersangkutan.
b. Jika pemberian jasa oleh WPLN melebihi time test (uji waktu): ada BUT, maka
Indonesia berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima oelh WPLN
bersangkutan, yang berupa: Corporate Tax (tarif PPh Pasal 17) atau Branch Profit
Tax (tarif PPh Pasal 26).
2) Bila Tidak Ada Tax Treaty
a. Jika pemberian jasa oleh WPLN kurang dari time test (uji waktu): tidak ada BUT,
maka Indonesia mengenakan pajak: basis bruto dan tarif tunggal 20%.
b. Jika pemberian jasa oleh WPLN melebihi time test (uji waktu): ada BUT, maka
Indonesia mengenakan pajak: basis neto dan tarif tunggal 20%.

d) Tax Planning PPh pasal 4 ayat 2


Penjualan saham di bursa efek dikenai PPh final dengan tariff 0,1%. Final ini secara prinsip
selalu meringankan. Bunga obligasi dan Surat Utang Negara dikenai PPh Final tetapi tarif pajak
bunganya tetap sebesar 15% bagi Wajib Pajak Dalam Negeri dan BUT, dan tarif 15% diberlakukan
bagi bunga/diskonto obligasi dengan kupon dan diskonto obligasi tanpa bunga.

Pokok Perubahan UU PPh No. 36 Tahun 2008 Atas Objek Pasal 4 Ayat (2) Menegaskan objek
PPh Pasal 4 ayat (2) yang baru, yang selama ini tidak secara eksplisit diatur dalam ketentuan, seperti
bunga obligasi dan Surat Utang Negara. Berbeda dengan Reksadana yang terdaftar pada Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, sehingga pasar obligasi Reksadana bergairah;
bunga dan atau diskonto dari obligasi yang diterima atau diperoleh wajib pajak secara gradual dikenai
PPh Pasal 4 (2) Final sebagai berikut:

1. 0% untuk tahun 2009 sampai dengan tahun 2010.


2. 5% untuk tahun 2011 sampai dengan tahun 2013.
3. 15% untuk tahun 2014 dan seterusnya.

Tax planner bisa membandingkan dan menarik keuntungan dari perbedaan tarif bunga di atas, dengan
segala kelebihan dan kekurangan dari reksadana dibanding dengan obligasi yang dipasarkan di bursa
efek.

Beberapa hal kruasial dalam penanganan PPh Pasal 22/23/26 dan PPh Final:

1. Masalah Pembuatan Kontrak

Pada transaksi yang merupakan objek PPh Pasal 23/26/Final, hal pokok yang harus
diperhatikan adalah masalah pembuatan kontrak. Kontrak bisa dikatakan sebagai cikal bakal
terjadinya transaksi antara pihak-pihak terkait. Jika kontrak tidak ada, dapat digantikan oleh SPK
(Surat Perintah Kerja), atau PO (Purchase Order). Oleh karena itu kesepakatan yang dibuat di
dalam kontrak harus mencakup kesepakatan yang memengaruhi hak dan kewajiban perpajakan
masing-masing pihak.
Jika di dalam kontrak jelas disebutkan nilai jasa dan nilai materialnya, maka PPh Pasal 23/26
hanya akan dikenakan atas jasa yang diberikan saja, kecuali untuk jasa konstruksi dan jasa catering
(termasuk nilai materialnya). Sebaliknya, jika di dalam kontrak tidak ada pemisahan antara nilai jasa
dan nilai material, maka PPh Pasal 23 dikenakan atas keseluruhan nilai kontrak.

2. Konflik Dalam Withholding Tax

Jika perusahaan memiliki transaksi yang menimbulkan kewajiban untuk memungut


withholding tax, maka penting bagi perusahaan untuk melaksanakan kewajibannya ini sebaik-
baiknya. Konflik dalam withholding tax akan terjadi jika penerima penghasilan tidak bersedia
dipotong pajaknya atau adanya perbedaan penafsiran mengenai jenis pajak dan besarnya tarif
pajak yang akan dipotong.

Oleh karena kewajiban pemotongan, penyetoran, dan pelaporan ada pada pemberi
penghasilan maka konflik dapat diatasi dengan cara negosiasi ulang dengan pihak pemberi jasa.
Jika pemberi jasa tetap tidak bersedia dipotong pajaknya, maka perusahaan dapat melakukan salah
satu dari dua cara berikut ini, membayarkan sendiri pajak yang terutang (PPh ditanggung) atau
melakukan gross up atas nilai kontrak (diberikan tunjangan PPh). Jika perusahaan membayarkan
sendiri pajak yang terutang, maka pajak tersebut tidak boleh dikurangkan. Sementara itu jika
perusahaan melakukan gross up maka pajak yang terutang boleh dibiayakan, kecuali deviden dan
PPh Final. Gross up sebaiknya dimulai dari kontrak perjanjian, invoice, FP, dan dokumen lain yang
terkait agar terdapat kesesuaian antara penerima dan pemberi jasa.

3. Rekonsiliasi Objek Withholding Tax Dengan Laporan Keuangan

Kewajiban wajib pajak dalam kedudukan sebagai pemotong atau pemungut (withholder)
perlu mendapat perhatian serius dari perusahaan. Oleh karena itu perlu dilakukan pengendalian
perpajakan (tax control) untuk memastikan bahwa seluruh objek withholding tax sudah dilakukan
pemotongan atau pemungutannya.

Caranya adalah dengan rekonsiliasi atau ekualisasi antara SPT Masa dengan objek PPh
yang terdapat dalam laporan keuangan komersial.

Dalam hal ini terdapat akun-akun yang sepenuhnya merupakan objek withholding tax dapat
langsung diperbandingkan. Akan tetapi atas akun-akun yang di dalamnya hanya terdapat sebagian
saja yang merupakan objek withholding tax, maka perlu dilakukan pemisahan antara yang objek
dan yang bukan objek withholding tax. Bila diperlukan dapat dibuat buku pembantu untuk mencatat
rincian objek withholding tax dikaitkan dengan buku besarnya, mulai dari nama akun, tanggal
transaksi, nomor journal voucher, jenis transaksi, jumlah objek, masa perolehan, dan nomor serta
tanggal bukti pemotongan PPh yang dibuat.

4. Klausul Kontrak Dengan WPLN

Di samping harus mengatur klausul perpajakn secara jelas dan rinci, khusus kontrak dengan
pihak Wajib Pajak Luar Negeri harus memperhatikan beberapa hal, antara lain:

• Negara asal WPLN tersebut, sehingga perusahaan mengetahui apakah perlu melihat pada
ketentuan tax treaty atau tidak.
• Jika kontrak dilakukan dengan WPLN di Negara treaty partner, perlu diperhatikan agar
WPLN memberikan CRT (certificate of residence) kepada perusahaan sebelum dilakukan
pembayaran atau penagihan. Dan hal ini diakomodasi di dalam kontrak dengan WPLN
tersebut.

e) Tax planning untuk PPN dan PPnBM yaitu dengan

 menerapkan mekanisme pengkreditan PPN yang tepat.Menerapkan Mekanisme Pengkreditan PPN


yang Tepat. Pada dasarnya mekanisme pengkreditan PPN memiliki konsep yang sederhana.

“Jika pajak keluaran lebih besar dari pajak masukan, maka selisihnya merupakan PPN yang harus
dibayar.”

“Jika pajak keluaran lebih kecil dari pajak masukan, maka selisihnya merupakan kelebihan bayar PPN
yang bisa dikompensasi dengan masa pajak berikutnya atau dikenakan restitusi.”

 Pasal 9 UU Nomor 42 tahun 2009 mengatur lebih jauh mengenai mekanisme pengkreditan pajak
masukan. Pasal ini mengatur dimana pajak masukan dikreditkan dengan pajak keluaran untuk masa
pajak yang sama.

 Selain menerapkan mekanisme pengkreditan pajak yang tepat, penting untuk menyetorkan SPT Masa
PPN dalam jangka waktu yang ditetapkan, paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa
pajak.

 Perlu diperhatikan juga, bahwa pajak masukan yang dapat dikreditkan harus memenuhi persyaratan
formal maupun material. Tidak semua pajak masukan dapat dikreditkan, contohnya dalam faktur pajak
tidak lengkap.

• Menerapkan berbagai pengendalian pada saat pelaksanaan kegiatan usaha agar :


o Mampu mengendalikan pajak keluaran sehingga perusahaan terhindar dari pemborosan akibat sanksi
administrasi dan pemborosan cashflow akibat kewajiban untuk menyetor terlebih dahulu PPN atas
faktur pajak yang telah diterbitkan.

o Mampu mengendalikan pajak masukan sehingga dapat memaksimalkan pengelolaan cashflow dimana
pajak masukan yang seharusnya dikreditkan telah dapat dikreditkan dengan benar dan terhindar dari
cacat material dan formal

Anda mungkin juga menyukai