Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Trauma Kepala
1. Definisi
Trauma kepala atau cedera kepala atau trauma kapitis menurut Konsensus
Nasional Penanganan Trauma Kapitis didefinisikan sebagai trauma mekanik
terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan
gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik
temporer maupun permanen (PERDOSSI, 2006).

Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatic dari fungsi otak yang disertai atau
tanpa pendarahan intestinaldalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitasotak. Cedera kepala merupakan adanya pukulan atau benturan
mendadak pada kepala dengan atau tanpa kehilangan kesadaran (Febriyanti, dkk,
2017).

Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), trauma kepala
adalah suatu trauma kranioserebral, secara spesifik terjadinya cedera pada kepala
(akibat trauma tumpul atau tajam atau akibat daya akselerasi atau deselerasi) yang
terkait dengan gejala akibat cedera tersebut seperti penurunan kesadaran, amnesia,
abnormalitas neurologi atau neuropsikologi lainnya, fraktur tengkorak, lesi
intrakranial atau kematian (CDC, 2010).

Menurut Brain Injury Assosiation of America (2012), cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif
dan fungsi fisik.

Berdasarkan defenisi cedera kepala diatas maka kelompok dapat menarik suatu
kesimpulan bahwa cedera kepala adalah suatu cedera yang disebabkan oleh
trauma benda tajam maupun benda tumpul yang menimbulkan perlukaan pada
kulit, tengkorak, dan jaringan otak yang disertai atau tanpa pendarahan.
Berdasarkan Advanced Traumatic Life Support (ATLS, 2014) cedera kepala
diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi
klasifikasi, yaitu berdasarkan ; mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi.
a. Mekanisme Cedera Kepala
Percobaan biomekanika cedera kepala telah banyak dipelajari pada hewan
coba, cadaver manusia, dan model eksperimental tulang kepala dan otak. Pada
tahun 1943, Holbourn menunjukkan efek kekuatan rotasional dengan gel pada
tengkorak manusia, dan 3 tahun kemudian, (Pudenzand Shelden, 1947)
merekam fenomena ini pada tengkorak monyet yang digantikan dengan plastic
transparan. Perkembangan teknologi memungkinkan dengan Computed
Tomography (CT Scan) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) mempelajari
efek linier dan angular akselerasi pada otak pasien percobaan (Bayly dkk,
2005).

Dengan mekanisme fisiologis pada cedera kepala akan dapat memperkirakan


dampak pada cedera kepala primer. Komponen utama diantaranya kekuatan
cedera (kontak atau gaya), jenis cedera (rotasional, translational, atau angular),
dan besar serta lamanya dampak tersebut berlangsung. Kekuatan kontak
terjadi ketika kepala bergerak setelah suatu gaya, sedangkan gaya inersia
terjadi pada percepatan atau perlambatan kepala, sehingga gerak diferensial
otak relative terhadap tengkorak.

Meskipun satu proses mungkin mendominasi, sebagian besar pasien dengan


cedera kepala mengalami kombinasi dari mekanisme ini. Mekanisme
fisiologis yang menyebabkan cedera kepala; benturan kepala dengan benda
padat pada kecepatan yang cukup, beban impulsive memproduksi gerak tiba-
tiba kepala tanpa kontak fisik yang signifikan, dan statis beban kompresi statis
atau kuasi kepala dengan kekuatan bertahap. Kekuatan kontak biasanya
mengakibatkan cedera fokal seperti memar dan patah tulang tengkorak.
Kekuatan inersia terutama translasi mengakibatkan cedera fokal, seperti
kontusio dan Subdural Hematoma (SDH), sedangkan cedera rotasi akselerasi
dan deselerasi lebih cenderung mengakibatkan cedera difus mulai dari gegar
otak hingga Diffuse Axonal Injury (DAI). Cedera rotasi secara khusus
Menyebabkan cedera pada permukaan kortikal dan struktur otak bagian dalam
(Youmans, 2011).

Percepatan sudut merupakan kombinasi dari percepatan translasi dan rotasi,


merupakan bentuk yang paling umum dari cedera inersia. Karena sifat
biomekanis kepala dan leher, cedera kepala sering mengakibatkan defleksi
kepala dan leher bagian tengah atau tulang belakang leher bagian bawah
(sebagai pusat pergerakan). Cedera lainnya merupakan trauma penetrasi atau
luka tembak yang mengakibatkan perlukaan langsung organ intrakranial, yang
pasti membutuhkan intervensi pembedahan.

b. Beratnya Cedera Kepala


Terlepas dari mekanisme cedera kepala, pasien diklasifikasikan secara klinis
sesuai dengan tingkat kesadaran dan distribusi anatomi luka. Kondisi klinis
dan tingkat kesadaran setelah cedera kepala dinilai menggunakan Glasgow
Coma Scale (GCS), merupakan skala universal untuk mengelompokkan
cedera kepala dan factor patologis yang menyebabkan penurunan kesadaran.

Glasgow Coma Scale (GCS) dikembangkan oleh Teasdale and Jennett pada
1974 dan saat ini digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya penderita
cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua matanya secara spontan,
mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar 15,
sementara pada penderita yang keseluruhan otot ekstrimitasnya flaksid dan
tidak membuka mata atau pun tidak bersuara maka nilai GCS-nya minimal
atau sama dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai
koma atau cedera otak berat.
Berdasarkan derajat kesadaran berdasarkan Skala Koma Glasgow dibagi
menjadi :
1) Cedera kepala ringan (CKR)
GCS antara 13-15, dapat terjadi kehilangan kesadaran kurang dari 30
menit, tetapi ada yang menyebut kurang dari 2 jam, jika ada penyerta
seperti fraktur tengkorak, kontusio atau temotom (sekitar 55% ).
2) Cedera kepala sedang (CKS)
GCS antara 9-12, hilang kesadaran atau amnesia antara 30 menit -24 jam,
dapat mengalami fraktur tengkorak, disorientasi ringan ( bingung ).
3) Cedera kepala berat (CKB)
GCS 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam,juga meliputi contusio
cerebral, laserasi atau adanya hematoina atau edema
(PERDOSSI, 2006)

c. Morfologi Cedera Kepala


Secara morfologi cedera kepala data dibagi atas :(Pascual, 2008)
1) Laserasi Kulit Kepala
Luka laserasi adalah luka robek yang disebabkan oleh benda tumpul atau
runcing. Dengan kata lain, pada luka yang disebabkan oleh benda tajam
luka nya akan tampak rata dan teratur. Luka robek adalah apabila terjadi
kerusakan seluruh tebal kulit dan jaringan bawah kulit. Laserasi kulit
kepala sering didapatkan pada pasien cedera kepala. Kulit kepala terdiri
dari lima lapisan yang disingkat dengan akronim SCALP yaitu skin,
connective tissue, apponeurosis galea, loose connective tissue dan
percranium. Diantara galea aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan
ikat longgar yang memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada
fraktur tulang kepala sering terjadi robekan pada lapisan ini.

2) Fraktur tulang kepala


Fraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur dibagi menjadi :
a) Fraktur Linier
Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau
stellata pada tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang
kepala.
b) Fraktur Diastasis
Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulang
tengkorak yang menyebabkan pelebaran sutura-sutura tulang kepala.
Jenis fraktur ini terjadi pada bayi dan balita karena sutura-sutura belum
menyatu dengan erat.
c) Fraktur kominutif
Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang memiliki
lebih dari satu fragmen dalam satu area fraktur
d) Fraktur impresi
Fraktur impresi tulang pepala terjadi akibat benturan dengan tenaga
besar yang langsung mengenai tulang kepala. Fraktur impresi pada
tulang kepala dapat menyebabkan penekanan atau laserasi pada
duramater dan jaringan otak, fraktur impresi dianggap bermakna
terjadi jika tabula eksterna segmen tulang yang impresi masuk hingga
berada dibawah tabula interna segmen tulang yang sehat
e) Fraktur basis crania
Fraktur basis crania adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar
tulang tengkorak. Fraktur ini sering kali disertai dengan robekan pada
duramater yang melekat erat pada dasar tengkorak. Pada pemeriksaan
fisik dapat ditemukan adanya rhinorrhea dan racon eyes sign pada
fraktur basis crania fossa anterior, atau ottorhea dan battle’s sign pada
fraktur basis crania fossa media.

3) Luka memar (kontusio)


Luka memar pada kulit terjadi apabila kerusakan jaringan subkutan
dimana pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap
kejaringan sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan berwarna
merah kebiruan. Luka memar pada otak terjadi apabila otak menekan
pembuluh darah kapiler pecah. Biasanya terjadi pada tepi otak seperti pada
frontal, temporal dan oksipital. Kontusio yang besar dapat terlihat di CT-
Scan atau MRI (Magnetic Resonance Imaging). Pada kontusio dapat
terlihat suatu daerah yang mengalami pembengkakan yang disebut edema.
Jika pembengkakan cukup besar dapat menimbulkan penekanan hingga
dapat mengubah tingkat kesadaran (Corrigan, 2004).

4) Abrasi
Luka abrasi yaitu luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial. Luka ini
bisa mengenai sebagian atau seluruh kulit. Luka ini tidak sampai pada
jaringan subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri karena banya kujung-
ujung saraf yang rusak

5) Avulsi
Luka avulse yaitu apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas, tetapi
sebagian masih berhubungan dengan tulang kranial. Dengan kata lain
intak kulit pada cranial terlepas setelah cedera (Mansjoer,2010)

2. Etiologi
Menurut Tarwoto (2007), penyebab cedera kepala adalah karena adanya trauma
yang dibedakan menjadi 2 faktor yaitu :
a. Trauma primer
Trauma primer terjadi karena benturan langsung atau tidak langsung
(akselerasi dn deselerasi)
1) Kecelakaan lalu lintas
2) Pukulan dan trauma tumpul pada kepala
3) Terjatuh
4) Benturan langsung dari kepala
5) Kecelakaan pada saat olahraga
6) Kecelakaan industry

b. Trauma sekunder
Terjadi akibat dari truma saraf (melalui akson) yang meluas, hipertensi
intrakranial, hipoksia, hiperkapnea atau hipotensi sistemik.

3. Patofisiologi
Adanya cedera kepala dapat menyebabkan kerusakan struktur, misalnya
kerusakan pada parenkim otak, kerusakan pembuluh darah, perdarahan, edema
dan gangguan biokimia otak sepertipenurunan adenosis tripospat, perubahan
permeabilitas vaskuler. Patofisiologi cedera kepala dapat terbagi atas dua proses
yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder, cedera kepala primer
merupakan suatu proses biomekanik yang terjadi secara langsung saat kepala
terbentur dan dapat memberi dampak kerusakan jaringan otak. Pada cedera kepala
sekunder terjadi akibat dari cedera kepala primer, misalnya akibat dari
hipoksemia, iskemia dan perdarahan.

Perdarahan cerebral menimbulkan hematoma misalnya pada epidural hematoma,


berkumpulnya antara periosteun tengkorak dengan durameter, subdura hematoma
akibat berkumpulnya darah pada ruang antara durameter dengan subaraknoid dan
intra cerebral, hematoma adalah berkumpulnya darah didalam jaringan cerebral.
Kematian pada penderita cedera kepala terjadi karena hipotensi karena gangguan
autoregulasi, ketika terjadi autoregulasi menimbulkan perfusi jaringan cerebral
dan berakhir pada iskemia jaringan otak (Tarwoto, 2007).

Patofisiologi cedera kepala dapat dijelaskan sebagai berikut :


a. Cedera Primer
Kerusakan akibat langsung trauma, antara lain fraktur tulang tengkorak, robek
pembuluh darah (hematom), kerusakan jaringan otak (termasuk robeknya
duramater, laserasi, kontusio).
b. Cedera Sekunder
Kerusakan lanjutan oleh karena cedera primer yang ada berlanjut melampaui
batas kompensasi ruang tengkorak. Hukum Monroe Kellie mengatakan bahwa
ruang tengkorak tertutup dan volumenya tetap. Volume dipengaruhi oleh tiga
kompartemen yaitu darah, liquor, dan parenkim otak. Kemampuan
kompensasi yang terlampaui akan mengakibatkan kenaikan TIK yang
progresif dan terjadi penurunan Tekanan Perfusi Serebral (CPP) yang dapat
fatal pada tingkat seluler.

Cedera Sekunder dan Tekanan Perfusi :


CPP = MAP –ICP
CPP : Cerebral Perfusion Pressure
MAP : Mean Arterial Pressure
ICP : Intra Cranial Pressure

Penurunan CPP kurang dari 70 mmHg menyebabkan iskemia otak. Iskemia


otak mengakibatkan edema sitotoksik –kerusakan seluler yang makin parah
(irreversibel). Diperberat oleh kelainan ekstrakranial hipotensi/syok,
hiperkarbi, hipoksia, hipertermi, kejang, dll.

c. Edema Sitotoksik
Kerusakan jaringan (otak) menyebabkan pelepasan berlebih sejenis
Neurotransmitter yang menyebabkan Eksitasi (Exitatory Amino Acid a.l.
glutamat, aspartat). EAA melalui reseptor AMPA (N-Methyl D-Aspartat) dan
NMDA (Amino Methyl Propionat Acid) menyebabkan Ca influks berlebihan
yang menimbulkan edema dan mengaktivasi enzym degradatif serta
menyebabkan fast depolarisasi (klinis kejang-kejang).

d. Kerusakan Membran Sel


Dipicu Ca influks yang mengakitvasi enzym degradatif akan menyebabkan
kerusakan DNA, protein, dan membran fosfolipid sel (BBB breakdown)
melalui rendahnya CDP cholin (yang berfungsi sebagai prekusor yang banyak
diperlukan pada sintesa fosfolipid untuk menjaga integritas dan repair
membran tersebut). Melalui rusaknya fosfolipid akan meyebabkan
terbentuknya asam arakhidonat yang menghasilkan radikal bebas yang
berlebih.

e. Apoptosis
Sinyal kemaitan sel diteruskan ke Nukleus oleh membran bound apoptotic
bodies terjadi kondensasi kromatin dan plenotik nuclei, fragmentasi DNA dan
akhirnya sel akan mengkerut (shrinkage).
4. WOC
5. Manifestasi Klinis
a. Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
b. Kebingungan
c. Iritabel
d. Pucat
e. Mual dan muntah
f. Pusing kepala
g. Terdapat hematoma
h. Kecemasan
i. Sukar untuk dibangunkan
j. Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung
(rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.
k. Peningkatan TD, penurunan frekuensi nadi, peningkatan pernafasan

6. Komplikasi
a. Perdarahan intra cranial
b. Kejang
c. Parese saraf cranial
d. Meningitis atau abses otak
e. Infeksi pada luka atau sepsis
f. Edema cerebri
g. Timbulnya edema pulmonum neurogenik, akibat peninggian TIK
h. Kebocoran cairan serobospinal
i. Nyeri kepala setelah penderita sadar

7. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Arif Mutaqin 2008 Pemeriksaan Penujunang Pasien cedera Kepala :
a. CT Scan
Mengidentifikasi luasnya lesi, pendarahan, determinan, ventrikuler, dan
perubahan jaringan otak.
b. MRI
Digunakan sama dengan CT scan dengan/tanpa kontrasradioaktif
c. Cerebral Angiography
Menunjukan anomaly sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak
sekunder menjadi edema, pendarahan, dan trauma.
d. Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis
e. Sinar X
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan/edema), fragmen tulang
f. BAER
Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil
g. PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
h. CSS
Lumbal pungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid
i. Kadar elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan tekanan
intracranial
j. Screen toxilogy
Untuk mendeteksi pengaruhobat yang dapat menyebabkan penurunan
kesadaran
k. Rontgen thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral)
Rontgen thoraks menyatakan akumulasi udara/cairan pada area pleural
l. Toraksentesis menyatakan darah/cairan
m. Analisa Gas Darah (AGD/Astrup)
Analisa gas darah adalah salah satu tes diagnostic untuk menentukan status
repirasi. Status respirasi yang dapat digambarkan melalui pemeriksaan AGD
ini adalah status oksigenasi dan status asam basa

8. Penatalaksanaan
a. Keperawatana
1) Observasi 24 jam
2) Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu. Makanan
atau cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah, hanya cairan infus
dextrose 5%, amnifusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya
kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak
3) Berikan terapi intravena bila ada indikasi
4) Pada anak diistirahatkan atau tirah baring

b. Medis
Terapi obat-obatan
1) Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringannya trauma
2) Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu mannitol 20 % atau
glukosa 40 % atau gliserol 10 %
3) Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau untuk
infeksi anaerob diberikan metronidasol
4) Pembedahan bila ada indikasi (hematom epidural besar, hematom sub
dural, cedera kepala terbuka, fraktur impresi >1 diplo)
5) Lakukan pemeriksaan angiografi serebral, lumbal fungsi, CT Scan dan
MRI
(Satynagara, 2010)

B. Trauma Leher
1. Definisi
Trauma tembus leher merupakan keadaan gawat darurat yang bersifat mengancam
nyawa. Dikatakan trauma tembus leher apabila trauma menembus otot platisma.
Trauma ini memerlukan penanganan yang segera. Di leher terdapat struktur-
struktur vital yang memungkinkan mengalami cedera pada trauma tembus leher
karena organ-organ ini tidak dilindungi oleh tulang. Kasus trauma tembus leher
terjadi antara 5% - 10% dari seluruh trauma. Di berbagai kepustakaan dilaporkan
luka tembak merupakan penyebab terbanyak diikuti luka tusuk/ luka sayat. Hal ini
menyebabkan pembicaraan luka tembus leher sering dikaitkan dengan balistik.
(Newton K, 2006)
Struktur vital di leher dapat dibedakan secara umum menjadi empat kelompok
yaitu
a. saluran nafas (trakea , laring dan faring)
b. pembuluh darah (arteri karotis, vena jugularis, arteri subclavia, arteri
innominata, arkus aorta)
c. traktus digestif (faring dan esophagus)
d. organ neurologis (medula spinalis, pleksus brakhialis, saraf perifer dan saraf
kranial)

Trauma leher dapat berupa :


a. trauma tumpul
trauma yang terjadi akibat kecelakaan lalu lintas
b. trauma tembus (tajam)
Trauma tembus leher dapat diklasifikasikan berdasarkan :
1) lokasi anatomi yang mengalami cedera dibagi menjadi tiga zona yaitu :
a) Zona I disebut juga dasar leher (base of neck) atau leher bagian bawah
merupakan zona horizontal yang berada superior dari fossa
suprasternal dan klavikula sampai bagian bawah kartilago krikoid,
pada zona ini terdapatapeks paru, trakea, esofagus, a. karotis komunis,
v. jugularis interna, a. subklavia, a. Innominata, a. vertebralis, fleksus
brakhialis, tiroid dan medula spinalis (gambar 3 dan4). Zona ini
terlindungi oleh sternum dan klavikula yang menghalangi saat
ekplorasi.
b) Zona II (midneck/ leher bagian tengah) yaitu daerah antara bagian
bawah kartilago krikoid sampai angulus mandibula. Merupakan bagian
leher yang paling terpapar, sehingga merupakan zona yang paling
sering mengalami trauma tembus (60-75%).7Pada zona initerdapat
laring, trakea, esofagus, a. karotis, v. kugularis interna, a. vertebralis,
medula spinalis,n.laringeus rekuren dan saraf kranial.
c) Zona III (leher atas) terletak antara angulus mandibula sampai dasar
tengkorak. Struktur penting yang terdapat pada zona ini adalah a.
Karotis interna bagian distal, v. Jugularis interna,a. vertebralis, cabang-
cabang a. karotis eksterna, faring, kelenjar parotis, medula spinalis dan
saraf kranial IX -XII
2) Stabilitas pasien
a) stabil (tidak mengancam nyawa)
Trauma tembus leher yang stabil datang dengan gejala yang lebih
bervariasi dan biasanya masih cukup waktu untuk mendapatkan
riwayat dan pemeriksaan yang lengkap serta tidak memerlukan operasi
eksplorasi segera.
b) tidak stabil (mengancam nyawa)
Pasien yang tidak stabil ditandai dengan perdarahan masif, hematom
yang luas, hemodinamik yang tidak stabil, hemomediastinum,
hemotoraks, syok hipovolemik, defisit neurologi, gangguan respirasi
dan jalan nafas serta memerlukan operasi eksplorasi segera.

2. Etiologi
Penyebab utama kematian pasien trauma tembus leher adalah perdarahan masif
akibat cedera pembuluh darah, disamping penyebab lain yaitu cedera medula
spinalis, iskemia serebri, sumbatan jalan nafas, emboli udara dan emboli paru
serta sepsis pada kasus cedera esofagus yang tidak terdeteksi. Penyebab terbanyak
luka tembus leher yang datang ke berbagai unit gawat darurat adalah :
a. luka tembak dan luka sayat,
b. kecelakaan saat berburu
c. kecelakaan lalu lintas biasanya berupa trauma tumpul.

Berdasarkan objek penyebab, etiologitrauma tembus leher dibedakan atas :


a. alat penusuk/pembacok (stabbing instruments)
b. alat penembak (shooting instruments)
Trauma tembus akibat tembakan lebih sering menyebabkan cedera struktur
vital leher daripada trauma akibat luka tusuk atau sayat

3. Manifestasi Klinis
a. Berdasarkan struktur yang terlibat
Pada trauma zona I, cedera terhadap pembuluh darah merupakan keadaan
yang paling sering terjadi, lebih kurang 30% pasien yang tanpa gejala
sebenarnya mengalami cedera pembuluh darah pada zona I. Trauma Zona I
juga berisiko terjadi cedera pada trakea dan esofagus. Berbeda dengan trauma
esofagus pada zona II, yang akan menimbulkan gejala beberapa jam setelah
kejadian, cedera esofagus pada zona I tidak menimbulkan gejala sampai
terjadi komplikasi yang serius berupa mediastinitis atau sepsis.
1) Cedera pembuluh darah
a) Syok
b) Hematoma
c) Perdarahan
d) Nadi lemah atau hilang
e) Deficit neurologi
f) Bruit atau thril di leher

2) Cedera laringotrakea
a) Emfisema subkutis
b) Sumbatan jalan nafas
c) Sucking wound
d) Hemoptisis
e) Dyspnea
f) Stridor
g) Suara serak/disfoni

3) Cedera faringoesofagus
a) Emfisema subkutis
b) Hematemesis
c) Disfagia/odinofagia

b. Berdasarkan beratnya trauma


1) Tidak stabil
Pasien trauma yang tidak stabil datang dengan keadaan yang dramatis
seperti defisit neurologi (penurunan kesadaran, paralise), gangguan
respirasi yang berat akibat hemotoraks atau pneumotoraks, syok,
perdarahan yang masif, dan hematom yang luas
2) Stabil
Trauma tembus leher yang stabil datang dengan gejala yang lebih
bervariasi dan biasanya masih cukup waktu untuk mendapatkan riwayat
dan pemeriksaan yang lengkap. Gejala dapat berupa nyeri, disartria, suara
serak, disfagia, odinofagia, hemoptisis, droolingdan demam. Kadang-
kadang pasien juga mengeluhkanhilangnya sensoris daerah wajah.

4. Patofisiologi
Cedera pembuluh darah akan menimbulkan hematom leher atau orofaring, nadi
halus, takikardia, hipotensi, carotid bruitatau thrill.Trauma jalan nafas atas akan
menimbulkan stridor, emfisema subkutis dan adanya gelembung udara dari luka
terbuka. Adanya kelumpuhan saraf kranial, sindoma Horner, hemiplegi dan
kuadriplegi berhubungan dengan cedera terhadap jaringan saraf, yaitu saraf
kranial, pleksus brakhialis, saraf simpatis dan medula spinalis.

5. Komplikasi
Komplikasi trauma tembus leher yang terjadi dapat akibat langsung dari trauma
dan dapat juga sebagai akibat keterlambatan penatalaksanaan atau tidak terdeteksi
saat pemeriksaan. Komplikasi yang mungkin timbul dapat berupa perdarahan
yang persisten, pseudoaneurisma, fistel esofagokutan, fistel esofagotrakeal, fistel
trakeokutan, fistel venoarterial, infeksi yang dapat menyebabkan pembentukan
abses leher, sepsis, mediastinitis, stenosis dari stuktur berlumen seperti trakea dan
esofagus serta defisit neurologi. Cara terbaik untuk mencegah terjadinya
komplikasi adalah melakukan evaluasi yang lengkap dan teliti serta follow-up
ketat pasca tindakan serta pemberian antibiotika.

6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan awal pasien trauma tembus leher sesuaidengan prinsip Advanced
Trauma Life Support (ATLS), yaitu evaluasi terhadap jalan nafas, pernafasan,
sirkulasidanstatus neurologis.
a. Jalan nafas
Penanganan jalan nafas harus merupakan prioritas utama pada pasien trauma
tembus leher. Kegawatan jalan nafas terjadi pada 10% kasus, dan
membutuhkan intubasi atau trakeostomi. Keadaan ini biasanya terjadi akibat
trauma terhadap jalan nafas itu sendiri, perdarahanmasifyang masuk jalan
nafas, penekanan akibat hematom di leher atau emfisema masif di sekitar
leher. Bantuan ventilasi dengan menggunakan bag-valve-mask harus sangat
hat-hati, karena udara dapat terdorong ke jaringan yang cedera yang dapat
menimbulkanemfisema subkutis yang masifatau emboli udara. Bila jalan nafas
sudah stabil, evaluasi terhadap pernafasan harus dilakukan untuk menentukan
ada tidaknya hemotoraks atau pneumo-toraks.

b. Sirkulasi
Menstabilkan status kardio-vaskuler dengan melakukan pemeriksaan
hemodinamik, pemeriksaan nadi, tekanan darah, pemasangan jalur intravena
dan penekanan langsung pada sumber perdarahan. Resusitasi cairan dan
tranfusi darah kadang-kadang diperlukan. Hipotensi yang tidak disertai
takikardia merupakan tandakecurigaan adanya cedera medula spinalis.
Servikal harus diproteksi sampai dapat dipastikan tidak terdapat trauma pada
servikal secara klinis danradiologi tulang servikal, meskipun keadaan ini
jarang terjadi.

c. Neurologis
Pemeriksaan status neurologis (tingkat kesadaran) juga diperlukan.
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan kepala dan leher, terutama terhadap tanda-
tanda trauma. Inspeksi terhadap luka dilakukan tanpa menelusuri luka, karena
akan menyebabkan lepasnya bekuan darah yang dapatmenimbulkan
perdarahan yang hebatdan emboli udara. Inspeksi luka dilakukan untuk
menentukan kedalaman luka dan hubungannya dengan otot platisma.
Mengingat lapisan fasia servikal profunda yang melindungi struktur-struktur
vital berada di bawah platisma, sehingga cedera terhadap platisma harus
dicurigai adanya cedera terhadap struktur vital, dan membutuhkan evaluasi
lebih lanjut.

d. Pemeriksaan pada bagian tubuh diluar kepala dan leher juga harus dilakukan
untuk menyingkirkan kemungkinan adanya trauma multipel.
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium darah rutin dilakukan termasuk hemoglobin dan
hematokrit untuk menentukan perlunya tranfusi segera dan sebagai data awal
untuk perbandingan dengan keadaan pasien tersebut selanjutnya.
b. Pasien memerlukan pemeriksaan radiologi berupa foto polos toraks dan
servikal untuk menilai adanya cedera tulang servikal, adanya sisa benda asing,
emfisemadan mendeteksi pneumotorak, hemotorak atau pneumo-mediastinum.
c. Pemeriksaan laringoskopi fleksibel (di IGD) perlu dilakukan pada trauma
tembus leher zona I. Pemeriksaan ini untuk menilai adanya paralisis pita suara
serta adanya darah atau edema pada jalan nafas atas. Sedangkan pemeriksaan
laringoskopi intra-operatif dan trakeoskopi serta bronkoskopi dilakukan jika
ditemukan kelainan pada pemeriksaan laringoskopi fleksibel
d. Penggunaan CT scan helical/ multidetectordengan kontras dilaporkan cukup
efektif dan aman untuk mendeteksi cedera struktur vital pada trauma tembus
leher, namun tidak untuk cedera esofagus yang kecil akibat luka tusuk
DAFTAR PUSTAKA

Corrigan, P. 2004. How stigma interferes with mental health care. American Psychologist

Febriyanti, dkk. 2017. Pengaruh Terapi Oksigenasi Nasal Prong Terhadap Perubahan
Saturasi Oksigen Pasien Cedera Kepala Di Instalasi GawatDarurat Rsup Prof. Dr. R.
D. Kandou Manado. e-Jurnal Keperawatan (e-Kp) Vol 5 No 1

Muttaqin, Arif & Sari, Kurmala. 2011. Gangguan Gastrointestinal : Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal bedah. Jakarta : Salemba medika

Newton K. 2006. Rosen's Emergency Medicine-Concepts and Clinical Practice, 6th ed.
Massachusetts : Mosby Elsevier

Novialdi, Sukri Rahman. 2017. Trauma Tembus Leher. FK UNAND


http://tht.fk.unand.ac.id/makalah/206-trauma-tembus-leher.html

Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI), 2006. Konsensus Nasional


Penanganan Cedera Kepala dan Cedera Spinal. Perdossi, Jakarta

Pascual,J.L.,et al. 2008. Injury to the brain. In : Flint LF et al, editor . Trauma :
Contemporary Principles and Therapy. Philadelphia: Lippincot

Tarwoto, Wartonah & Suryati. 2007. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem
Pernafasan. Jakarta : Sagung Seto

Anda mungkin juga menyukai