Anda di halaman 1dari 14

A.

Ciri-Ciri Negara Hukum


Di zaman modern sekarang, konsep negara hukum di Eropa
Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband,
Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman,
yaitu “rechtsstaat’. Sedangkan dalam tradisi Anglo-Amerika, konsep
negara hukum dikembangkan A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule of
Law”. Sebagai ahli hukum Anglo-Amerika, A. V. Dicey menyebut konsep
negara hukum sebagai “The Rule of Law”mengemukakan tiga ciri penting
negara hukum, yaitu :1
1. Supremasi hukum (supremacy of law), dalam arti tidak boleh ada
kesewenang-wenangan sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika
melanggar hukum.
2. Persamaan kedudukan dihadapan hukum (equality before the law),
baik bagi rakyat biasa maupun bagi pejabat.
3. Terjaminnya hak asasi manusia oleh undang-undang dan keputusan-
keputusan pengadilan.
Sedangkan F. Julius Stahl yang menyebut konsep negara hukum
sebagai “Rechtsstaa” menyatakan ada empat ciri penting negara hukum,
yaitu :2
1. Perlindungan hak asasi manusia, hak asasi manusia diakui dan
dilindungi melalui perundang-undangan maupun putusan hakim
2. Pembagian atau pemisahan kekuasaan untuk menjamin hak asasi
manusia, Jimly Ashsiddiqie memberikan pengertian pemisahan
kekuasaan sebagai pemisahan kekuasaan kedalam fungsi-fungsi yang
tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling
mengimbangi, artinya bersifat horizontal. Sedangkan pembagian
kekuasaan adalah dibagi-bagikannya kekuasaan itu dari lembaga

1
A. Irwan Hamzani, Mengagas Indonesia Sebagai Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyat,
(Yustisia, Fak.Hukum Universitas Pancasakti, edisi 90 september 2014), h. 138
2
Ibid, 139
pemegang kekuasaan rakyat tertinggi kepada lembaga-lembaga tinggi
negara di bawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat yang berarti
bersifat vertikal3
3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang, pemerintahan berdasarkan
Undang undang, kelembagaan negara yang menjalankan pemerintahan
harus berpegang teguh kepada sistem konstitusi. Kelembagaan negara
dalam masalah sifat, bentuk maupun wewenangnya telah ditetapkan
dalam undang-undang dasar.
4. Peradilan tata usaha negara, dalam setiap negara hukum harus terbuka
kesempatan bagi setiap warga untuk menggugat keputusan pejabat
administrasi negara dan dijalankannya putusan hakim oleh pejabat
administrasi negara.
B. Indonesia Sebagai Negara Hukum
Istilah negara hukum Indonesia sering disebut dengan rechtsstaat
dan juga istilah the rule of law. Dilihat dari sejumlah konstitusi yang
pernah berlaku di Indonesia, dapat dikatakan bahwa semua konstitusi
dimaksud selalu menegaskan bangsa Indonesia sebagai negara hukum.
Terkait dengan hal itu, istilah yang digunakan dalam UUD 1945 sebelum
perubahan adalah “Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat)”.
Selanjutnya, dalam konstitusi RIS 1949, istilah negara hukum disebutkan
secara tegas, baik dalam Mukadimah maupun di dalam batang tubuhnya.
Dalam alinea ke 4 mukadimah Konstitusi RIS, ditegaskan bahwa “Untuk
mewujudkan kebahagiaan kesejahteraan, perdamaian dan kemerdekaan
dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia merdeka yang berdaulat
sempurna”. Dalam Pasal 1 ayat (1) dipertegas lagi bahwa “Republik
Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum
yang demokrasi dan berbentuk federasi.”.
Hal yang sama dapat juga dilihat dalam UUDS 1950, dimana
istilah negara hukum secara jelas dicantumkan dalam mukadimah dan

3
Muntoha, Negara Hukum Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, (Yogyakarta: Kaukaba
Dipantara, 2013), h.20
batang tubuh. Alinea ke 4 mukadimah UUD 1950 berbunyi: “Maka demi
ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu piagam Negara
yang berbentuk republik kesatuan, berdasarkan pengakuan keTuhanan
Yang Maha Esa, peri-kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan
sosial, untuk mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan, perdamaian dan
kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia Merdeka
yang berdaulat sempurna”. Kemudian dalam Bab I bagian I, Pasal 1 ayat
(1) UUDS 1950, ditegaskan lagi bahwa: “Republik Indonesia yang
merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis dan
berbentuk kesatuan”. Jika dilihat dari kedua UUD tersebut, tampak dengan
jelas bahwa istilah negara hukum dicantumkan secara jelas dan tegas.
Kedua UUD itu menggunakan pengertian negara hukum dengan
pengertian demokratis, sehingga menjadi rumusan negara hukum yang
demokratis.
Selanjutnya, dalam UUD 1945 sebelum perubahan, khususnya
sebagai perubahan ketiga yang dilakukan pada tahun 2001, baik dalam
pembukaan maupun batang tubuh atau pasal-pasalnya, tidak ditemukan
rumusan atau istilah negara hukum. Istilah negara hukum hanya terdapat
dalam Bagian Penjelasan, yaitu “Sistem Pemerintahan Negara” disebutkan
bahwa “Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum
(rechtsstaat)”. Rumusan negara yang berdasarkan atas hukum hampir
menyerupai terminologi yang dikenal di Inggris atau Anglo Saxon, yaitu
seperti the state according to law, sedangkan istilah rechtsstaat di antara
tanda kurung dalam Penjelasan UUD 1945 di atas, merupakan istilah atau
rumusan yang sering digunakan di negara-negara Eropa Kontinental,
seperti Jerman dan Belanda.4 Oleh sebab itu dapat dikemukakan bahwa
penggunaan kedua ungkapan tersebut dalam Penjelasan UUD 1945,
menandakan bahwa substansi negara hukum Indonesia tidak terlepas dari
pengaruh paham Anglo Saxon dan Eropa Kontinental.

4
Haposan Siallagan, Penerapan Prinsip Negara Hukum Indonesia, sosiohumaniora, vol. 18, No. 2
Juli 2016, Fakultas Hukum Universitas HKPB Nomensen, h. 135
Dalam UUD 1945 setelah perubahan, penegasan negara hukum
bagi Indonesia dilakukan melalui Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Namun
demikian, tidak ditemukan penjelasan terkait dengan negara hukum mana
sesungguhnya yang bangsa Indonesia saat ini. Lazimnya konsep negara
hukum selalu merujuk pada dua aliran utama, yaitu negara hukum dalam
arti rechtsstaat dan negara hukum dalam arti the rule of law. Namun
dalam UUD 1945 setelah perubahan, penegasan konsep negara hukum
bagi Indonesia tidak dibarengi dengan penjelasan lanjutan terkait dengan
paham negara hukum yang dianut. Namun demikian, dengan
memperhatikan substansi yang terkandung dalam alinea keempat
pembukaan UUD 1945 yang berbunyi
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia,
yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesiayang
berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha
Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalampermusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Bunyi kalimat terakhir ini merupakan isi yang dinamakan dengan
istilah Pancasila. Maka dapat dipahami bahwa negara hukum yang
dimaksud dalam UUD 1945 adalah negara hukum yang pelaksanaannya
mendasarkan pada upaya pemenuhan seluruh ketentuan yang tertuang
dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itulah, maka
kemudian negara hukum dalam versi UUD 1945 dapat dimaknai sebagai
negara hukum Pancasila. Akan tetapi hingga saat ini konsep negara hukum
pancasila belum ditetapkan secara resmi menjadi konsep negara hukum
yang berlaku di Indonesia. Sudah banyak ahli hukum di Indonesia
menformulasikan konsep Negara hukum Pancasila, namun Negara belum
juga berani menentukan konsep Negara hukum Indonesia ini seperti apa.
Menurut Jimly Asshiddiqie Konsep Negara hukum pancasila
terdiri dari 13 prinsip dari negara hukum Indonesia antara lain: 51.)
Supremasi Hukum6, 2.) Persamaan dalam hukum7, 3.) Asas legalitas8,

5
Muntoha, Negara Hukum Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945..., h.17
6
Adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua
masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Dalam perspektif supremasi
hukum (supremacy of law), pada hakikatnya pemimpin tertinggi negara yang sesungguhnya,
bukanlah manusia, tetapi konstitusi yang mencerminkan hukum yang tertinggi. Pengakuan
normative mengenai supremasi hukum adalah pengakuan yang tercermin dalam perumusan
hukum dan/atau konstitusi, sedangkan pengakuan empirik adalah pengakuan yang tercermin
dalam perilaku sebagian terbesar masyarakatnya bahwa hukum itu memang ‘supreme’. Bahkan,
dalam republik yang menganut sistem presidential yang bersifat murni, konstitusi itulah yang
sebenarnya lebih tepat untuk disebut sebagai ‘kepala negara’.
7
Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui
secara normatif dan dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka prinsip persamaan ini, segala
sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan
tindakan yang terlarang, kecuali tindakan tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang
dinamakan ‘affirmative actions’ guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat
tertentu atau kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga
mencapai tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat
kebanyakan yang sudah jauh lebih maju. Kelompok masyarakat tertentu yang dapat diberikan
perlakuan khusus melalui ‘affirmative actions’ yang tidak termasuk pengertian diskriminasi itu
misalnya adalah kelompok masyarakat suku terasing atau kelompok masyarakat hukum adat
tertentu yang kondisinya terbelakang. Sedangkan kelompok warga masyarakat tertentu yang
dapat diberi perlakuan khusus yang bukan bersifat diskriminatif, misalnya, adalah kaum wanita
ataupun anak-anak terlantar.
8
Dalam setiap Negara Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya
(due process of law), yaitu bahwa segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan
perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tertulis tersebut
harus ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului tindakan atau perbuatan administrasi yang
dilakukan. Dengan demikian, setiap perbuatan atau tindakan administrasi harus didasarkan atas
aturan atau ‘rules and procedures’ (regels). Prinsip normative demikian nampaknya seperti
sangat kaku dan dapat menyebabkan birokrasi menjadi lamban. Oleh karena itu, untuk menjamin
ruang gerak bagi para pejabat administrasi negara dalam menjalankan tugasnya, maka sebagai
pengimbang, diakui pula adanya prinsip ‘frijs ermessen’ yang memungkinkan para pejabat tata
usaha negara atau administrasi negara mengembangkan dan menetapkan sendiri ‘beleid-regels’
(‘policy rules’) ataupun peraturan-peraturan yang dibuat untuk kebutuhan internal (internal
regulation) secara bebas dan mandiri dalam rangka menjalankan tugas jabatan yang dibebankan
oleh peraturan yang sah.
4.)Pembatasan kekuasaan9, 5.) Organ-organ eksekutif independen10, 6.)
Peradilan bebas dan tidak memihak 11, 7.) Peradilan tata usaha negaram12,
8.) Peradilan tata negara13, 9.) Perlindungan hak asasi manusia14, 10.)
Bersifat demokratis15, 11.) Berfungsi sebagai sarana meuwjudkan tujuan
negara.16, 12.) Transparansi dan kontrol sosial17, 13.) Ber-Ketuhanan Yang
Maha Esa.18

9
Adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara dengan cara menerapkan
prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal. Sesuai
dengan hukum besi kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk
berkembang menjadi sewenangwenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton: “Power tends to
corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Karena itu, kekuasaan selalu harus dibatasi
dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat ‘checks and
balances’ dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu
sama lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan membagi-bagi kekuasaan ke dalam
beberapa organ yang tersusun secara vertical. Dengan begitu, kekuasaan tidak tersentralisasi dan
terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya
kesewenangwenangan.
10
Dalam rangka membatasi kekuasaan itu, di zaman sekarang berkembang pula adanya
pengaturann kelembagaan pemerintahan yang bersifat ‘independent’, seperti bank sentral,
organisasi tentara, dan organisasi kepolisian. Selain itu, ada pula lembaga-lembaga baru seperti
Komisi Hak Asasi Manusia, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Ombudsman Nasional (KON),
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan lain sebagainya. Lembaga, badan atau organisasi-organisasi
ini sebelumnya dianggap sepenuhnya berada dalam kekuasaan eksekutif, tetapi sekarang
berkembang menjadi independen sehingga tidak lagi sepenuhnya merupakan hak mutlak seorang
kepala eksekutif untuk menentukan pengangkatan ataupun pemberhentian pimpinannya.
Independensi lembaga atau organ-organ tersebut dianggap penting untuk menjamin demokrasi,
karena fungsinya dapat disalahgunakan oleh pemerintah untuk melanggengkan kekuasaan.
Misalnya, fungsi tentara yang memegang senjata dapat dipakai untuk menumpang aspirasi
prodemokrasi, bank sentral dapat dimanfaatkan untuk mengontrol sumber-sumber kekuangan
yang dapat dipakai untuk tujuan mempertahankan kekuasaan, dan begitu pula lembaga atau
organisasi lainnya dapat digunakan untuk kepentingan kekuasaan. Karena itu, independensi
lembaga-lembaga tersebut dianggap sangat penting untuk menjamin prinsip negara hukum dan
demokrasi.
11
Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary).
Peradilan bebas dan tidak memihak ini mutlak harus ada dalam setiap Negara Hukum. Dalam
menjalankan tugas judisialnya, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena
kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang (ekonomi). Untuk menjamin keadilan
dan kebenaran, tidak diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan putusan
keadilan oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif maupun legislative
ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa. Dalam menjalankan tugasnya, hakim tidak
boleh memihak kepada siapapun juga kecuali hanya kepada kebenaran dan keadilan. Namun
demikian, dalam menjalankan tugasnya, proses pemeriksaan perkara oleh hakim juga harus
bersifat terbuka, dan dalam menentukan penilaian dan menjatuhkan putusan, hakim harus
menghayati nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Hakim tidak hanya
bertindak sebagai ‘mulut’ undangundang atau peraturan perundang-undangan, melainkan juga
‘mulut’ keadilan yang menyuarakan perasaan keadilan yang hidup di tengahtengah masyarakat
C. Hierarki Peraturan Perundang-Undangan
Teori hierarki merupakan teori mengenai sistem hukum yang
diperkenalkan oleh Hans Kelsen, dia menyatakan bahwa sistem hukum
merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang. Hubungan
antara norma yang mengatur perbuatan norma lain dan norma lain tersebut
dapat disebut sebagai hubungan super dan sub-ordinasi dalam konteks

12
Meskipun peradilan tata usaha negara juga menyangkut prinsip peradilan bebas dan tidak
memihak, tetapi penyebutannya secara khusus sebagai pilar utama Negara Hukum tetap perlu
ditegaskan tersendiri. Dalam setiap Negara Hukum, harus terbuka kesempatan bagi tiap-tiap
warga negara untuk menggugat keputusan pejabat administrasi Negara dan dijalankannya
putusan hakim tata usaha Negara (administrative court) oleh pejabat administrasi negara.
Pengadilan Tata Usaha Negara ini penting disebut tersendiri, karena dialah yang menjamin agar
warga negara tidak didzalimi oleh keputusan-keputusan para pejabat administrasi Negara sebagai
pihak yang berkuasa. Jika hal itu terjadi, maka harus ada pengadilan yang menyelesaikan
tuntutan keadilan itu bagi warga Negara, dan harus ada jaminan bahwa putusan hakim tata
usaha Negara itu benarbenar djalankan oleh para pejabat tata usaha Negara yang bersangkutan.
Sudah tentu, keberadaan hakim peradilan tata usaha negara itu sendiri harus pula dijamin bebas
dan tidak memihak sesuai prinsip ‘independent and impartial judiciary’ tersebut di atas.
13
Di samping adanya pengadilan tata usaha negara yang diharapkan memberikan jaminan
tegaknya keadilan bagi tiap-tiap warga negara, Negara Hukum modern juga lazim mengadopsikan
gagasan mahkamah konstitusi dalam sistem ketatanegaraannya, baik dengan pelembagaannya
yang berdiri sendiri di luar dan sederajat dengan Mahkamah Agung ataupun dengan
mengintegrasikannya ke dalam kewenangan Mahkamah Agung yang sudah ada sebelumnya.
Pentingnya peradilan ataupun mahkamah konstitusi (constitutional court) ini adalah dalam upaya
memperkuat sistem ‘checks and balances’ antara cabang-cabang kekuasaan yang sengaja
dipisah-pisahkan untuk menjamin demokrasi. Misalnya, mahkamah ini diberi fungsi pengujian
konstitusionalitas undang-undang yang merupakan produk lembaga legislatif, dan memutus
berkenaan dengan berbagai bentuk sengketa antar lembaga negara yang mencerminkan cabang-
cabang kekuasaan negara yang dipisah-pisahkan. Keberadaan mahkamah konstitusi ini di
berbagai Negara demokrasi dewasa ini makin dianggap penting dan karena itu dapat
ditambahkan menjadi satu pilar baru bagi tegaknya Negara Hukum modern
14
Adanya perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dengan jaminan hukum bagi
tuntutan penegakannya melalui proses yang adil Perlindungan terhadap hak asasi manusia
tersebut dimasyarakatkan secara luas dalam rangka mempromosikan penghormatan dan
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai ciri yang penting suatu Negara Hukum
yang demokratis. Setiap manusia sejak kelahirannya menyandang hak-hak dan kewajiban-
kewajiban yang bersifat bebas dan asasi. Terbentuknya Negara dan demikian pula
penyelenggaraan kekuasaan suatu Negara tidak boleh mengurangi arti atau makna kebebasan
dan hak-hak asasi kemanusiaan itu. Karena itu, adanya perlindungan dan penghormatan
terhadap hak-hak asasi manusia itu merupakan pilar yang sangat penting dalam setiap Negara
yang disebut sebagai Negara Hukum. Jika dalam suatu Negara, hak asasi manusia terabaikan atau
dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang ditimbulkannya tidak dapat diatasi secara adil,
maka Negara yang bersangkutan tidak dapat disebut sebagai Negara Hukum dalam arti yang
sesungguhnya
15
Dianut dan dipraktekkannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peran
serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan
perundang-undangan yang ditetapkan dan ditegakkan mencerminkan nilai-nilai keadilan yang
spasial. Norma yang menentukan pembuatan norma lain adalah superior,
sedangkan norma yang dibuat inferior. Norma hukum yang paling rendah
harus berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah
hukum yang tertinggi (konstitusi) harus berpegangan pada norma hukum
yang paling mendasar. Menurut Kelsen norma hukum yang paling dasar

hidup di tengah masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak
boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan
penguasa secara bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Karena hukum tidak
dimaksudkan hanya menjamin kepentingan segelintir orang yang berkuasa, melainkan menjamin
kepentingan akan rasa adil bagi semua orang tanpa kecuali. Dengan demikian, cita negara hukum
(rechtsstaat) yang dikembangkan bukanlah ‘absolute rechtsstaat’, melainkan ‘democratische
rechtsstaat’ atau negara hukum yang demokratis. Dalam setiap Negara Hukum yang bersifat
nomokratis harus dijamin adanya demokrasi, sebagaimana di dalam setiap Negara Demokrasi
harus dijamin penyelenggaraannya berdasar atas hukum
16
Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama. Cita-cita hukum itu
sendiri, baik yang dilembagakan melalui gagasan negara demokrasi (democracy) maupun yang
diwujudkan melalaui gagasan negara hukum (nomocrasy) dimaksudkan untuk meningkatkan
kesejahteraan umum. Bahkan sebagaimana cita-cita nasional Indonesia yang dirumuskan dalam
Pembukaan UUD 1945, tujuan bangsa Indonesia bernegara adalah dalam rangka melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Negara Hukum berfungsi sebagai sarana
untuk mewujudkan dan mencapai keempat tujuan bernegara Indonesia itu. Dengan demikian,
pembangunan negara Indonesia tidak terjebak menjadi sekedar ‘rule-driven’, melainkan ‘mission
driven’, yang didasarkan atas aturan hukum
17
Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap setiap proses pembuatan dan
penegakan hukum, sehingga kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam mekanisme
kelembagaan resmi dapat dilengkapi secara komplementer oleh peranserta masyarakat secara
langsung (partisipasi langsung) dalam rangka menjamin keadilan dan kebenaran. Adanya
partisipasi langsung ini penting karena sistem perwakilan rakyat melalui parlemen tidak pernah
dapat diandalkan sebagai satusatunya saluran aspirasi rakyat. Karena itulah, prinsip
‘representation in ideas’ dibedakan dari ‘representation in presence’, karena perwakilan fisik saja
belum tentu mencerminkan keterwakilan gagasan atau aspirasi. Demikian pula dalam penegakan
hukum yang dijalankan oleh aparatur kepolisian, kejaksaan, pengacara, hakim dan pejabat
lembaga pemasyarakatan, semuanya memerlukan kontrol sosial agar dapat bekerja dengan
efektif, efisien serta menjamin keadilan dan kebenaran
18
Khusus mengenai cita Negara Hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila, ide kenegaraan
kita tidak dapat dilepaskan pula dari nilai Ketuhanan Yang Maha Esa yang merupakan sila
pertama dan utama Pancasila. Karena itu, di samping ke12 ciri atau unsur yang terkandung dalam
gagasan Negara Hukum Modern seperti tersebut di atas, unsur ciri yang ketigabelas adalah
bahwa Negara Hukum Indonesia itu menjunjung tinggi nilai-nilai ke-Maha Esaan dan ke-Maha
Kuasa-an Tuhan. Artinya, diakuinya prinsip supremasi hukum tidak mengabaikan keyakinan
mengenai ke-Maha Kuasa-an Tuhan Yang Maha Esa yang diyakini sebagai sila pertama dan utama
dalam Pancasila. Karena itu, pengakuan segenap bangsa Indonesia mengenai kekuasaan tertinggi
yang terdapat dalam hukum konstitusi di satu segi tidak boleh bertentangan dengan keyakinan
segenap warga bangsa mengenai prinsip dan nilainilai ke-Maha-Kuasa-an Tuhan Yang Maha Esa
bentuknya tidak kongkrit (abstrak), Contoh norma hukum paling dasar
abstrak adalah Pancasila.19
Mengenai tata urutan peraturan perundang-undangan Indonesia
yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 dan merupakan koreksi
terhadap pengaturan hirarki peraturan perundang-undangan yang selama
ini pernah berlaku yaitu TAP MPR No. XX Tahun 1966 dan TAP MPR
No. III Tahun 2000. Untuk lebih jelasnya Tata Urutan Peraturan
Perundang-Undangan tersebut adalah :
1. TAP MPR No. XX Tahun 1966
 UUD RI 1945
 TAP MPR
 UU/Perpu
 Peraturan Pemerintah
 Keputusan Presiden
 Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya, seperti : Peraturan Menteri
dan Instruksi Menteri
2. TAP MPR No. III Tahun 2000
 UUD RI 1945
 TAP MPR RI
 UU 2.1.4 Perpu
 Peraturan Pemerintah
 Keputusan Presiden
 Peraturan Daerah
3. Undang-Undang No. 10 Tahun 2004
 UUD RI 1945
 UU/Perpu
itu, dan di pihak lain pengakuan akan prinsip supremasi hukum itu juga merupakan
pengejawantahan atau ekspresi kesadaran rasional kenegaraan atas keyakinan pada Tuhan Yang
Maha Esa yang menyebabkan setiap manusia Indonesia hanya memutlakkan Yang Esa dan
menisbikan kehidupan antar sesama warga yang bersifat egaliter dan menjamin persamaan dan
penghormatan atas kemajemukan dalam kehidupan bersama dalam wadah Negara Pancasila
19
Jimly Ashiddiqi dan M. Ali Syafa’at, Theory Hans KelsenTentang Hukum, (Sekretariat Jendreral
dan Kepaniteraan Makamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006), h. .11
 Peraturan Pemerintah
 Peraturan Presiden
 Peraturan Daerah, seperti : pertama, Perda Provinsi dibuat DPRD
Provinsi dengan Gubernur, kedua, Perda Kabupaten/ Kota dibuat
oleh DPRD Kabupaten/ Kota bersama Bupati/Walikota dan
Peraturan Desa/ Peraturan yang setingkat dibuat oleh BPD atau nama
lainnyabersama dengan Kepala Desa atau nama lainnya.
4. Undang-undang No. 12 Tahun 2011
 UUD RI 1945
 TAP MPR
 UU/Perpu
 Peraturan Pemerintah
 Peraturan Presiden
 Peraturan Daerah

 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD


1945)
UUD 1945 adalah hukum dasar dalam Peraturan Perundang-
undangan. UUD 1945 merupakan peraturan tertinggi dalam tata urutan
Peraturan Perundang-undangan nasional.
 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR)
Ketetapan MPR adalah putusan MPR yang ditetapkan dalam sidang
MPR meliputi Ketetapan MPR Sementara dan Ketetapan MPR yang
masih berlaku. Sebagaimana dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan MPR
RI Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status
Hukum Ketetapan MPR Sementara dan MPR 1960 sampai 2002 pada 7
Agustus 2003. Berdasarkan sifatnya, putusan MPR terdiri dari dua
macam yaitu Ketetapan dan Keputusan. Ketetapan MPR adalah putusan
MPR yang mengikat baik ke dalam atau keluar majelis. Keputusan
adalah putusan MPR yang mengikat ke dalam majelis saja.
 UU atau Perppu
UU adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan persetujuan bersama Presiden.
Perppu adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh
Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Mekanisme UU
atau Perppu adalah sebagai berikut: Perppu diajukan ke DPR dalam
persidangan DPR dapat menerima atau menolak Perppu tanpa melakukan
perubahan. Bila disetujui oleh DPR, Perppu ditetapkan menjadi UU. Bila
ditolak oleh DPR, Perppu harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
 Peraturan Pemerintah (PP)
PP adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh
Presiden untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya. PP berfungsi
untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.
 Peraturan Presiden (Perpres)
Perpres adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan
oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan
pemerintahan.
 Peraturan Daerah (Perda) Provinsi
Perda Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi
dengan persetujuan bersama Gubernur. Termasuk dalam Peraturan
Daerah Provinsi adalah Qanun yang berlaku di Provinsi Aceh dan
Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) serta Peraturan Daerah Provinsi
(Perdasi) yang berlaku di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
 Perda Kabupaten atau Kota
Perda Kabupaten atau Kota adalah Peraturan Perundang-undangan
yang dibentuk oleh DPRD Kabupaten atau Kota dengan persetujuan
bersama Bupati atau Walikota. Termasuk dalam Peraturan Daerah
Kabupaten atau Kota adalah Qanun yang berlaku di Kabupaten atau Kota
di Provinsi Aceh

D. Analisis Kasus
Problematika Penegakan Hukum Di Indonesia Oleh Aparat Penegak
Hukum
 Kasus
Permasalahan dalam penegakan hukum di Indonesia bukan hanya
semata-mata terhadap produk hukum yang tidak responsif, melainkan juga
berasal dari faktor aparat penegak hukumnya. Untuk meletakkan pondasi
penegakan hukum, maka pilar yang utama adalah penegak hukum yang
mampu menjalankan tugasnya dengan integritas dan dedikasi yang baik.
Laporan penilaian dan akuntabilitas pelaksanaan penegakan hukum di
Indonesia menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia
terhadap aparat penegakan hukum di Indonesia masih rendah, hanya beberapa
lembaga penegak hukum saja yang mendapat kepercayaan dari masyarakat
yang cukup tinggi. Survei Indo Barometer masih menempatkan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga penegak hukum terpercaya.
Dalam hasil jajak pendapat Januari 2020 yang dilakukan Indo Barometer
menyimpulkan tingkat kepercayaan terhadap KPK yang masih sebesar 81,8
persen dari 1.200 responden. Sementara Mahkamah Agung (MA) menjadi
lembaga penegak hukum terpercaya kedua, dengan tingkat kepercayaan
sebesar 75,4 persen. Namun, lembaga tertinggi yudikasi itu juga mendapatkan
respons tak dipercaya publik di angka 16,3 persen. Kejaksaan Agung
(Kejakgung) menempati peringkat ketiga sebagai lembaga terpercaya. Yaitu,
dengan tingkat kepercayaan, 52,9 persen. Angka ketidakpercayaan publik
terhadap lembaga penuntutan itu pun terbilang tinggi sebesar 38,7 persen.
Sedangkan Polri, menurut survei Indo Barometer, menjadi lembaga hukum
yang paling rendah tingkat kepercayaannya. Qadari mengatakan, dari 1.200
responden, setengahnya tak percaya dengan kepolisian. Kepolisian
mengalami oponi negatif dengan tingkat ketidakpercayaan mencapai 44,9
persen. Padahal, menurut survei Indo Barometer, menengok kepemimpinan
empat lembaga penegak hukum tersebut, pemimpin Polri Jenderal Idham
Aziz, sebagai tokoh penegak hukum yang memuaskan.20
 Analisis
Masyarakat kurang percaya terhadap sistem hukum dan aparat
penegak hukum di Indonesia. Untuk melaksanakan penegakan hukum yang
baik maka diharapkan aparat penegak hukum tidak sekedar menjadi boneka
undang-undang, yang melaksanakan ketentuan undang-undang secara
normatif semata, melainkan dibutuhkan Common Sense yang baik oleh
aparatur penegak hukum. Common Sense mengedepankan prinsip Sense Of
Humanity yang dibutuhkan oleh aparat penegak hukum dalam penanganan
suatu perkara agar ke depan tidak terjadi lagi perkara pilih kasih yang lain
penyebab utama dari kurang dipercayanya aparat penegak hukum oleh
masyarakat disebabkan oleh berbagai faktor antara lain integritas aparat
penegak hukum tersebut, rendahnya tingkat pelaksanaan kinerja oleh aparat
penegak hukum, serta tidak diaplikasikannya nilai-nilai Pancasila dalam
pelaksanaan tugas seharihari oleh aparat penegak hukum. Penegakan hukum
di Indonesia seringkali tidak seiring sejalan dengan apa yang menjadi tujuan
utama hukum yakni terjapainya keadilan. Hukum di Indonesia tidak menjadi
panglima melainkan menjadi alat politik maupun alat kekuasaan. Karena
sebagai panglima, hukum harus mampu menjawab, memutuskan, ataupun
menyelesaikan suatu kasus atau perkara tanpa terpengaruh oleh kepentingan
apapun yang melekat di dalamnya Aparat penegak hukum masih pilih kasih
dalam melakukan penegakan hukum. Hukum masih dirasakan tajam ke
bawah tetapi tumpul ke atas. Asas persamaan dihadapan hukum belum
terimplementasi dengan baik. Dalam melakukan penegakan hukum, aparat
penegak hukum masih membedakan, siapa yang melakukan perbuatan
melawan hukum. Mereka akan mendapatkan perlakuan yang berbeda dalam
penanganan perkaranya. Mereka yang mempunyai kekuasaan akan berbeda

20
https://www.google.com/amp/s/m.republika.co.id/ampq65eo5428
perlakuannya dengan masyarakat biasa ketika sama-sama melakukan
pelanggaran hukum.
Sebagai pilar utama penegakan hukum, Aparat penegak hukum
harus mampu menjalankan tugasnya dengan jujur, adil, dan mempunyai
integritas yang tinggi. Aparat penegak hukum dalam memahami dan
menjalankan aturan harus berlandaskan pada prinsip nilai-nilai kemanusiaan
dan keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Artinya aparat
penegak hukum bukan hanya menjadi corongnya Undang-undang, akan tetapi
dapat mengimplementasikan hukum sesuai dengan rasa kemanusiaan dan
keadilan. Penegak hukum dalam menyelesaikan suatu perkara tidak dapat
dilepaskan dari pengaruh sistem nilai yang dianutnya. Oleh karena itu,
penegak hukum harus dapat menghindarkan diri dari kepentingan pribadi dan
hawa nafsunya, serta mempunyai kepekaan moral dan hati nurani dalam
menyelesaikan suatu perkara. Untuk mengembalikan kepercayaan
masyarakat, maka dibutuhkan aparat penegak hukum yang memiliki integritas
tinggi, aturan hukum yang responsif yang sejalan dengan nilai-nilai Pancasila
dan selanjutnya diimplementasikan ke dalam pelaksanaan tugas sehari-hari
oleh aparat penegak hukum.

Anda mungkin juga menyukai