Anda di halaman 1dari 4

Menakar Perspektif Kebenaran

Oleh: Magnolia (pegiat literasi Islam)

Pernahkah anda mendengar pendapat seseorang, tetapi merasakan bahwa itu adalah bukan suatu kebenaran.
Dalam hati dan perasaan pribadi terdalam, merasakan ada sesuatu yang salah.

Dewasa ini sering kita dapati keraguan tersebut di dalam wacana-wacana, buah pikiran yang bersentuhan
langsung dengan kepentingan dan harmoni anak bangsa sebagai masyarakat bernegara kesatuan.

Benar. Setiap orang dapat mengeluarkan pendapat yang notabene adalah hasil pemikiran dan wawasannya,
baik yang tertuang dalam sistem peraturan kehidupan bermasyarakat/bernegara atau pun tidak. Namun,
apakah itu adalah kebenaran? Apalagi disebut sebagai kebenaran absolut.

Pun era imam mazhab, kita mendapati perbedaan pendapat, hasil istinbat oleh para mujtahid mazhab yang
tidak sama di antara mereka. Terkait hukum meninggalkan shalat wajib, Imam Ahmad bin Hambal
menghukumi orang-orang tersebut dengan kafir. Hal ini Beliau istinbatkan berdasarkan hadis Rasulullah
Shallalallahu 'alaihiwasallam: "Shalat itu adalah tiang agama (Islam), maka barangsiapa mendirikan sungguh
ia telah mendirikan agama dan barangsiapa meninggalkannya, maka sungguh ia telah merubuhkan agama".

Imam Asy-Syafii yang semasa (berjumpa) dengan Imam Ahmad mengeluarkan hasil istinbat hukum yang
berbeda, terhadap muslim yang meninggalkan kewajiban shalat, yaitu fasik jika tidak dimaksudkan dengan
sengaja meninggalkannya.

Ijtihad adalah menggali hukum terhadap suatu permasalahan dalam kehidupan muslim berdasarkan Al
Qur'an; Hadis; Qiyas dan 'kesepakatan (ijma') Mujtahid' yang memiliki keluasan kapabilitas dan keluasan
kompetensi dalam melakukan ijtihad. Sehingga Imam Mazhab secara personal bukanlah merupakan sumber
hukum.

Mujtahid mutlak, mujtahid mazhab, dan mujtahid al-mas'alatu al-wahidah adalah mereka-mereka yang
memiliki dan memegang kunci pintu ijtihad. Jadi bukan dan tidak dilakukan oleh mereka yang jahil atau
awam. Para mujtahid memiliki kriteria kelayakan khusus yang harus terpenuhi dan tidak bisa ditoleransi.

Kasus lebih ekstrim adalah ketika sahabat Mu'awiyah bin Abu Sufyan Radhiyallahu 'Anhu melakukan
pembangkangan dan perang (Shiffin) terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'Anhu Perang ini
dipicu atas protes keras Gubernur Syam, Mu'awiyah bin Abu Sufyan, yang merupakan kerabat dekat
Khalifah Utsman bin Affan Radhiyallahu 'Anhu yang dibunuh sekelompok khawarij.

Ijtihad Mu'awiyah adalah keutamaan mencari; menangkap dan menqisas mereka yang membunuh Khalifah
Utsman. Berbeda dengan ijtihad Ali, yaitu mengangkat dan mengambil baiat khalifah adalah yang terlebih
dahulu dilaksanakan.
Pertempuran saudara ini, Ali dan Mu'awiyah merupakan saudara sepupuan. Oleh DR. Ali Muhammad
Ash-Shallabi dalam bukunya "Mu'awiyah bin Abu Sufyan" tergambarkan bagaimana uniknya perang
Shiffin ini terjadi. Membuat pembaca seakan tidak mempercayai apa yang sedang dibacanya. Tercengang
mengetahui tabiat dari kedua kubu yang saling menghunus pedang, disebabkan keyakinan atas kebenaran
masing-masing kubu.

Pertempuran hanya terjadi di siang hari. Pada malam hari mereka saling mengunjungi tenda teman antara
dua kubu. Juga saling bertemu dan menyapa saat mengambil air bersih, karena asal sumber yang satu
dipakai secara bersama.

Kubu Mu'awiyah yang terlebih dahulu sampai di Shiffin menetapkan lokasi markas dan sungai sebagai satu-
satunya sumber air tercakup di dalamnya. Namun, Mu'awiyah mengizinkan saudara-saudara mereka -dari
kubu Ali yang sampai kemudian- untuk mengambil air di sungai tersebut.

Baik Ali atau Mu'awiyah beranggapan bahwa hasil ijtihad mereka adalah benar dan masing-masing mereka
memiliki pengikut dan pasukan yang siap membela pimpinannya. Hal inilah yang memuluskan kobaran api
pertikaian, akibat adu domba dan fitnah para khawarij pembunuh Khalifah Utsman bin Affan ra.

Pertempuran Shiffin berlangsung selama 3 hari dan berhenti ketika malam tiba, total kolektif waktu adalah
30 jam. Pertempuran terhenti ketika sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihiwasallam, Ammar bin Yasir yang
berada dalam kubu Khalifah Ali meninggal karena pedang lawan. Saat itu juga kaum Muslimin geger.
Memberikan efek dan pengaruh teramat besar kepada kubu Mu'awiyah.

Tak seorang pun dari para sahabat yang tak mendengar atau mengetahui Sabda Rasulullah Shallallahu
'alaihiwasallam kepada Ammar bin Yasir: bahwa "Kamu akan dibunuh oleh kelompok yang zhalim
(pembangkang)."
Demikian terguncangnya mereka semua atas kebenaran sabda Rasulullah yang memenangkan kebenaran
ijtihad Khalifah Ali, sehingga akhirnya semua tanpa terkecuali sepakat melakukan "Tahkim" dan
mengangkat mushaf Al Quran dengan cara mengikat pada ujung-ujung tombak mereka.

Adapun Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib senantiasa memeriksa para korban selama pertempuran,
mendoakan mereka yang meninggal dan melarang mereka melaknat Mu'awiyah. Saat Tahkim telah
dilaksanakan, Khaliah Ali berdiri dan berkata: "Semoga Allah mengampuni kalian. Semoga Allah
mengampuni kalian". Beliau mengucapkan itu di depan dua kubu berbeda yang telah bersatu kembali.

Gamblang dapat kita cerna, begitulah istinbat para imam mazhab, pun para sahabat dapat berbeda secara
pribadi dapat berbeda antara satu dengan lainnya. Di mana sumber rujukan utama hukum syara' adalah Al
Quran dan Hadis. Oleh kesepakatan ijtihad para mujtahid menghasilkan dalil-dalil syara' yang lebih rinci
dalam bentuk Ijma' dan Qiyas. Sehingga sumber hukum syara' secara utuh dan rinci termaktub dalam
empat sumber tersebut. Adapun mazhab sahabat tidak termasuk ke dalamnya, selain perang Shiffin juga
dapat kita lihat hal hukum talak pada masa Khalifah Umar bin Khattab Radhiyallahu 'Anhu yang berbeda
dengan Kekhalifahan Abu Bakar ash Shiddiq Radhiyallahu 'Anhu.
Untuk itu, maka Imam Asy-Syafii berkata: "Setiap masalah yang di sana ada hadis shahihnya menurut para
ahli hadis, lalu hadis tersebut bertentangan dengan dengan pendapatku, maka aku menyatakan rujuk
(meralat) dari pendapatku tadi baik semasa hidupku maupun sesudah matiku".

Dalam Ilmu Filsafat terdapat jenjang tingkat pemikiran yang merupakan produk dari akal manusia: (1)
pemikiran pseudo-ilmiah (mitos), (2) pemikiran awam (akal sehat), (3) pemikiran ilmiah
(metode/pendekatan), (3) pemikiran filsafat (analisis; pemahaman; deskriptif; penilaian; penafsiran).

Namun bagi manusia yang beriman kepada keberadaan Allah Subhanahu wata'ala, maka pemikiran tidak
semata adalah hasil dari proses berfikirnya akal manusia itu sendiri. Melainkan mengharuskannya bersandar
dan terikat kepada Kalamullah juga Hadits Rusulullah Shallallahu alaihiwasallam. Karena itu dalil aqli
(dapat dijangkau oleh akal) dan dalil naqli (tidak terjangkau oleh akal) adalah sederajat, diimani oleh kaum
muslim. Dalam Ilmu Filsafat disebut sebagai 'Pemikiran Religus'.

Pemikiran religius adalah senantiasa menghadirkan keterikatan ruh dalam setiap amal perbuatan, hanya
mengharap keridhaan Allah Ta'ala semata. Ketundukan terhadap perintah dan larangan-Nya yang diatur
dalam dalil-dalil hukum syara'. Umat religius meyakini adanya pahala dan sangsi (hisab) yang menentukan
syurga dan neraka di kehidupan setelah kematian (alam barzah) mereka kelak. Oleh karena itu, muslim
hendaknya melakukan amalan dan aktivitas di dalam kehidupannya dengan ilmu. Mempelajari agamanya
adalah fardu kifayah untuk setiap mukalaf.

Sesuai firman Allah Subhanahu wata'ala: "Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui.
Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggung-jawabannya"
(TQS. Al-Isra [17]: 36)

Pemikiran religius adalah pemikiran yang memuaskan akal dan menentramkan hati setiap insan manusia.
Anda tidak bisa bertanya apakah kebenaran surga dan neraka itu ada? Karena keberadaannya telah
dikabarkan kebenarannya oleh Rasulullah Muhammad Shallallahu "alahiwasallam saat Beliau melakukan
Isra Mi'raj dan perintah shalat diturunkan ke seluruh umat muslimin. Di saat yang bersamaan Beliau juga
mengambarkan perjumpaannya dengan para nabi; malaikat dan berdialog langsung untuk menerima
perintah shalat wajib dari Allah Subhanahu wata'ala.

Begitulah umat menjaga akal sehatnya, karena pemikiran adalah produk akal. Merupakan perspektif
manusia yang dipengaruhi oleh kemampuannya dalam mengindra dan analisis berdasarkan: data; fakta; dan
tingkat intelektual. Kebenaran pemikiran mereka (manusia) bergantung kepada asumsi dan tingkat
signifikan juga etika penelitian.

Berbeda dengan Kalamullah dan Hadis shohih adalah sumber kebenaran utama dan absolut bagi umatnya.
Kalamullah adalah perkataan Allah Ta'Ala, tak ada yang menyerupainya. Bahkan Allah Ta'Ala menantang
makhluk di muka bumi untuk membuat satu yang menyerupainya. Hadis Rasulullah adalah segala
perkataan; perbuatan dan diamnya Rasul yang diyakini sebagai tuntunan langsung Allah Ta'Ala melalui
malaikat Jibril 'Alaihisallam. Al Quran dan Sunah adalah satu kesatuan sumber hukum utama tak
terpisahkan.

Firman Allah Subhanahu wata'ala:


"Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah
wahyu yang diwahyukan (kepadanya)", (An-Najm [•]: 3-4).

Rasulullah Shallallahu 'Alaihiwasallam bersabda:


"Ketahuilah sesungguhnya Aku telah diberi (oleh Allah) al-kitab (Al Quran) dan semisalnya (As Sunnah)
bersamanya (HR. Ahmad, Abu Daud dan at Thabrani)

Wallahu 'alam bish-shawab

Anda mungkin juga menyukai