Anda di halaman 1dari 26

KIMIA ANALISIS KUANTITATIF

METODA TITRIMETRI ASAM – BASA

DI SUSUN OLEH :

1. ETRINALDI VALENT

2. ANGGI ARIAWAN

3. BAYU ANATIVANI

PROGRAM STUDI KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA Dan ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH RIAU


2011

KATA PENGANTAR

Rasa syukur kami panjatkan Kepada ALLAH atas ramat dan hidayah-Nya, kami dapat
menyelesaikan tugas makalah kimia analisis metode titrimetri dengan penekanan pada prinsip titrasi
asam basa.

Dan tidak lupa pula kepada dosen pembimbing mata kuliah kimia analisis (Hasmalina, M.S.i)
atas pengarah dan bimbingannya, sehing kami dapat menyelesaikan tugas ini. Serta tak lupa pula kami
ucapkan terimakasih kepada rekan-rekan yang telah banya memberikan kontribusi dalam
mewujudkan tugas ini sehingga kami sebagi penulis dapat mengerjakan tugas ini dengan sebaik
mungkin.

Tugas ini dibuat dan disusun sebagia bukti atas pembelajaran yang kami ikuti, dan semoga
tugas ini dapat memberikan kontribusi yang berarti dalam pembelajaran danpenilain, amin.

Tugas yang kami buat dan susun ini tentu jauh dari kesempurnaan, untuk itu kami mohon
kerjasamanya untuk kesempurnaan tugas-tugas kami berikutnya.

Perawang, November 2011


Penyusun

DAFTAR ISI

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

1.2. Penggolongan Analisis Titrimetri

1.2.1. Berdasarkan Reaksi Kimia

1.2.2. Berdasarkan Cara Titrasi

1.2.3. Berdasarkan Jumlah Sampel

1.3. Larutan Standar

1.3.1. Larutan Standar Primer

1.3.2. Larutan Standar Sekunder

1.3.3. Larutan Standar Tersier

BAB II

Titrasi Asam - Basa

2.1. Prinsip Dasar Titrasi

2.2. Asidi - Alkalimetri

2.3. Cara Mengetahui Titik Eqivalen

2.4. Indikator Asam - Basa

2.5. Rumus Umum Titrasi

2.6. Berat Eqivalen

2.7. Titrasi Balik

BAB III

Aplikasi Titrasi Asam - Basa


3.1. Titrasi Asam – Basa : Basa Lemah vs Asam Kuat

3.2. Titrasi Asam – Basa : Asam Lemah vs Basa Kuat

3.3. Titrasi Asam – Basa : Asam Kuat vs Basa Kuat

3.4. Mencari Trayek pH Indikator untuk Titrasi Asam – Basa

BAB IV

PENUTUP

4.1 Simpulan

4.2. Saran
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Analisa titrimetri atau analisa volumetric adalah analisis kuantitatif dengan


mereaksikan suatu zat yang dianalisis dengan larutan baku (standar) yang telah diketahui
konsentrasinya secara teliti, dan reaksi antara zat yang dianalisis dan larutan standar tersebut
berlangsung secara kuantitatif.

Larutan baku (standar) adalah larutan yang telah diketahui konsentrasinya secara teliti, dan
konsentrasinya biasa dinyatakan dalam satuan N (normalitas) atau M (molaritas).

Indikator adalah zat yang ditambahkan untuk menunjukkan titik akhir titrasi telah di capai.
Umumnya indicator yang digunakan adalah indicator azo dengan warna yang spesifik pada berbagai
perubahan pH.

Titik Ekuivalen adalah titik dimana terjadi kesetaraan reaksi secara stokiometri antara
zat yang dianalisis dan larutan standar.

Titik akhir titrasi adalah titik dimana terjadi perubahan warna pada indicator yang
menunjukkan titik ekuivalen reaksi antara zat yyang dianalisis dan larutan standar.

Pada umumnya, titik ekuivalen lebih dahulu dicapai lalu diteruskan dengan titik akhir titrasi.
Ketelitian dalam penentuan titik akhir titrasi sangat mempengaruhi hasil analisis pada suatu senyawa.

Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat dilakukan analisis


volumetric adalah sebagai berikut :
1. Reaksinya harus berlangsung sangat cepat.
2. Reaksinya harus sederhana serta dapat dinyatakan dengan persamaan reaksi yang
kuantitatif/stokiometrik.
3 Harus ada perubahan yang terlihat pada saat titik ekuivalen
tercapai, baik secara kimia maupun secara fisika.
4. Harus ada indicator jika reaksi tidak menunjukkan perubahan kimia
atau fisika. Indikator potensiometrik dapat pula digunakan.
Alat-alat yang digunakan pada analisa titrimetri ini adalah sebagai
berikut :
1. Alat pengukur volume kuantitatif seperti buret, labu tentukur, dan
pipet volume yang telah di kalibrasi.
2. Larutan standar yang telah diketahui konsentrasinya secara teliti
atau baku primer dan sekunder dengan kemurnian tinggi.
3. Indikator atau alat lain yang dapat menunjukkan titik akhir titrasi
telah di capai.

Baku primer adalah bahan dengan kemurnian tinggi yang digunakan untuk
membakukan larutan standar misalnya arsen trioksida pada pembakuan larutan iodium.

Baku sekunder adalah bahan yang telah dibakukan sebelumnya oleh baku primer, dan
kemudian digunakan untuk membakukan larutan standar, misalnya larutan natrium tiosulfat
pada pembakuan larutan iodium.

Gambar 1. Peralatan yang dipergunakan dalam volumetri (Chang, 2005)

1.2. Penggolongan Analisis Titrimetri

Analisi kuantitatif titrimetri sangat banyak dipakai dalam analisa jumlah di


laboratorium analisis maupun laboratorium industri. Keberagaman analisa titrimetri ini dapat
di kelompokkan berdasarkan analit yang aakan di uji, proses dari reaksi selama titrasi dan
lainnya. Berikut kami sajikan pengelompokan analisis titrimetri :
1.2.1. Berdasarkan reaksi kimia

a. Reaksi asam-basa (reaksi netralisasi)

b. Reaksi oksidasi-reduksi (redoks)

c. Reaksi Pengendapan (presipitasi)

d. Reaksi pembentukan kompleks

1.2.2. Berdasarkan cara titrasi

a. Titrasi langsung

b. Titrasi kembali (titrasi balik/residual tiitration)

1.2.3. Berdasarkan jumlah sampel

a. Titrasi makro

Jumlah sampel : 100 mg – 100 mg


Volume titran : 10 – 20 mL
Ketelitian buret : 0,02 mL.
· b. Titrasi semi mikro

Jumlah sampe : 10 mg – 100 mg


Volum titran : 1 mL – 10 mL
Ketelitian buret : 0,001 mL
· c. Titrasi mikro
Jumlah sampel : 1 mg – 10 mg
Volume titran : 0,1 mL – 1 mL
Ketelitian buret : 0,001 mL

Analit adalah zat yang akan ditentukan konsentrasi/kadarnya. Titran merupakan zat
yang digunakan untuk mentitras
1.3. Larutan Standar
Proses analisis untuk menentukan jumlah yang tidak diketahui dari suatu zat, dengan
mengukur volume larutan pereaksi yang diperlukan untuk reaksi sempurna disebut analisis
volumetri. Analisis ini juga menyangkut pengukuran volume gas.

Proses mengukur volume larutan yang terdapat dalam buret yang ditambahkan ke
dalam larutan lain yang diketahui volumenya sampai terjadi reaksi sempurna disebut titrasi.
Larutan yang diketahui konsentrasinya disebut larutan standard. Proses penentuan
konsentrasi larutan standard disebut “menstandardkan” atau “membakukan”. Larutan
standard adalah larutan yang diketahui konsentrasinya, yang akan digunakan pada analisis
volumetrik. Ada cara dalam menstandarkan larutan yaitu:

1. Pembuatan langsung larutan dengan melarutkan suatu zat murni dengan berat tertentu,
kemudian diencerkan sampai memperoleh volume tertentu secara tepat. Larutan ini
disebut larutan standard primer, sedangkan zat yang digunakan disebut standard
primer.
2. Larutan yang konsentrasinya tidak dapat diketahui dengan cara menimbang zat
kemudian melarutkannya untuk memperoleh volume tertentu, tetapi dapat
distandardkan dengan larutan standard primer, disebut larutan standard sekunder. 

1.3.1. Larutan Standra Primer

Larutan titran haruslah diketahui komposisi dan konsentrasinya.


Idealnya kita harus memulai dengan larutan standar primer. Larutan standar
primer dibuat dengan melarutkan zat dengan kemurnian yang tinggi
(standar primer) yang diketahui dengan tepat beratnya dalam suatu larutan
yang diketahui dengan tepat volumnya. Apabila titran tidak cukup murni,
maka perlu distandardisasi dengan standar primer.

Persyaratan standar primer

1. Kemurnian tinggi

2. Stabil terhadap udara


3. Bukan kelompok hidrat
4. Tersedia dengan mudah

5. Cukup mudah larut


6. Berat molekul cukup besar

Contoh larutan standar primer :

 Arsen trioksida (As2O3) dipakai untuk membuat larutan natrium arsenit NaASO2 yang
dipakai untuk menstandarisasi larutan natrium periodat NaIO4, larutan iodine I2, dan
cerium (IV) sulfat Ce(SO4)2.
 Asam bensoat dipakai untuk menstandarisasi larutan natrium etanolat, isopropanol
atau DMF.

 Kalium bromat KBrO3 untuk menstandarisasi larutan natrium tiosulfat Na2S2O3.

 Kalium hydrogen phtalat (KHP) dipakai untuk menstandarisasi larutan asam perklorat
dan asam asetat.

 Natrium Karbonat dipakai untuk standarisasi larutan H2SO4, HCl dan HNO3.

 Natrium klorida (NaCl) untuk menstandarisasi larutan AgNO3

 Asam sulfanilik (4-aminobenzene sulfonic acid) dipakai untuk standarisasi larutan


natrium nitrit.

1.3.2. Larutan Standar Sekunder

Larutan standar sekunder adalah larutan yang konsentrasinya diperoleh dengan cara
mentitrasi dengan larutan standar primer. NaOH tidak dapat dipakai untuk standar primer
disebabkan NaOH bersifat higroskopis oleh sebab itu maka NaOH harus dititrasi dahulu
dengan KHP agar dapat dipakai sebagai standar primer. Begitu juga dengan H2SO4 dan HCl
tidak bisa dipakai sebagai standar primer, supaya menjadi standar sekunder maka larutan ini
dapat dititrasi dengan larutan standar primer NaCO3.

1.3.3. Larutan Standar Tersier


Larutan standar tersier adalah larutan yang konseentrasinya diperoleh dengan cara
menitrasi dengan larutan standar sekunder yang terlebih dahulu telah distandarisasi dengan
larutan standar primer.

BAB II

TITRASI ASAM - BASA

Titrasi asam basa atau yang lebih dikenal dengan analisis volumetri metoda asidi –
alkalimetri, merupakan metoda titrimetri dengan larutan yang bersifat asam ataupun basa.

2.1. Prinsip Dasar Titrasi

Reaksi penetralan dalam analisis titrimetri lebih dikenal sebagai reaksi asam basa.
Reaksi ini menghasilkan larutan yang pH-nya lebih netral. Secara umum metode titrimetri
didasarkan pada reaksi kimia sebagai berikut :

aA + tT  produk

dimana a molekul analit A bereaksi dengan t molekul pereaksi T. untuk menghasilkan produk
yang sifat pH-nya netral. Dalam reaksi tersebut salah satu larutan (larutan standar)
konsentrasi dan pH-nya telah diketahui. Saat equivalen mol titran sama dengan mol analitnya
begitu pula mol equivalennya juga berlaku sama.

n titran = n analit

n eq titran = n eq analit

Dengan demikian secara stoikiometri dapat ditentukan konsentrasi larutan ke dua. (anonim,
2009).

Dalam analisis titrimetri, sebuah reaksi harus memenuhi beberapa persyaratan


sebelum reaksi tersebut dapat dipergunakan, diantaranya:

1. reaksi itu sebaiknya diproses sesuai persamaan kimiawi tertentu dan tidak adanya
reaksi sampingan

2. reaksi itu sebaiknya diproses sampai benar-benar selesai pada titik ekivalensi.
Dengan kata lain konstanta kesetimbangan dari reaksi tersebut haruslah amat besar besar.
Maka dari itu dapat terjadi perubahan yang besar dalam konsentrasi analit (atau titran) pada
titik ekivalensi.

3. diharapkan tersedia beberapa metode untuk menentukan kapan titik ekivalen


tercapai. Dan diharapkan pula beberapa indikator atau metode instrumental agar analis dapat
menghentikan penambahan titran

4. diharapkan reaksi tersebut berjalan cepat, sehingga titrasi dapat dilakukan hanya
beberapa menit. (anonim, 2009).

Titrasi merupakan suatu metode untuk menentukan kadar suatu zat dengan
menggunakan zat lain yang sudah diketahui konsentrasinya. Titrasi biasanya dibedakan
berdasarkan jenis reaksi yang terlibat di dalam proses titrasi, sebagai contoh bila melibatan
reaksi asam basa maka disebut sebagai titrasi asam basa, titrasi redoks untuk titrasi yang
melibatkan reaksi reduksi oksidasi, titrasi kompleksometri untuk titrasi yang melibatkan
pembentukan reaksi kompleks dan lain sebagainya (Day, dkk, 1986).

Larutan yang telah diketahui konsentrasinya disebut dengan titran. Titran


ditambahkan sedikit demi sedikit (dari dalam buret) pada titrat (larutan yang dititrasi) sampai
terjadi perubahan warna indikator baik titrat maupun titran biasanya berupa larutan. Saat
terjadi perubahan warna indikator, maka titrasi dihentikan. Saat terjadi perubahan warna
indikator dan titrasi diakhiri disebut dengan titik akhir titrasi dan diharapkan titik akhir titrasi
sama dengan titik ekivalen. Semakin jauh titik akhir titrasi dengan titik ekivalen maka
semakin besar kesalahan titrasi dan oleh karena itu, pemilihan indikator menjadi sangat
penting agar warna indikator berubah saat titik ekivalen tercapai. Pada saat tercapai titik
ekivalen maka pH-nya 7 (netral).

Proses penambahan larutan standar sampai reaksi tepat lengkap, disebut titrasi. Titik
dimana reaksi itu tepat lengkap, disebut titik ekivalen (setara) atau titik akhir teoritis. Pada
saat titik ekivalen ini maka proses titrasi dihentikan, kemudian kita mencatat volume titer
yang diperlukan untuk mencapai keadaan tersebut. Dengan menggunakan data volume titran,
volume dan konsentrasi titer maka kita bisa menghitung kadar titran. Lengkapnya titrasi,
harus terdeteksi oleh suatu perubahan, yang tak dapat disalah lihat oleh mata, yang dihasilkan
oleh larutan standar (biasanya ditambahkan dari dalam sebuah buret) itu sendiri, atau lebih
lazim lagi, oleh penambahan suatu reagensia pembantu yang dikenal sebagai indikator
(Anonim, 2009).
2.2. Asidi – Alkalimetri

Asidimetri dan alkalimetri termasuk reaksi netralisasi yakni reaksi antara ion hidrogen
yang berasal dari asam dengan ion hidroksida yang berasal dari basa untuk menghasilkan air
yang bersifat netral. Netralisasi dapat juga dikatakan sebagai reaksi antara donor proton
(asam) dengan penerima proton (basa).

H+ + OH-  H2O

Asidimetri merupakan penetapan kadar secara kuantitatif terhadap senyawa-senyawa


yang bersifat basa dengan menggunakan baku asam, sebaliknya alkalimetri adalah penetapan
kadar senyawa-senyawa yang bersifat asam dengan menggunakan baku basa.

Untuk menetapkan titik akhir pada proses netralisasi ini digunakan indikator. Menurut
W. Ostwald, indikator adalah suatu senyawa organik kompleks dalam bentuk asam atau
dalam bentuk basa yang mampu berada dalam keadaan dua macam bentuk warna yang
berbeda dan dapat saling berubah warna dari bentuk satu ke bentuk yang lain ada konsentrasi
H+ tertentu atau pada pH tertentu.

Jalannya proses titrasi netralisasi dapat diikuti dengan melihat perubahan pH larutan
selama titrasi, yang terpenting adalah perubahan pH pada saat dan di sekitar titik ekuivalen
karena hal ini berhubungan erat dengan pemilihan indikator agar kesalahan titrasi sekecil-
kecilnya.

Larutan asam bila direaksikan dengan larutan basa akan menghasilkan garam dan air.
Sifat asam dan sifat basa akan hilang dengan terbentuknya zat baru yang disebut garam yang
memiliki sifat berbeda dengan sifat zat asalnya. Karena hasil reaksinya adalah air yang
memiliki sifat netral yang artinya jumlah ion H+ sama dengan jumlah ion OH- maka reaksi itu
disebut dengan reaksi netralisasi atau penetralan. Pada reaksi penetralan, jumlah asam harus
ekivalen dengan jumlah basa. Untuk itu perlu ditentukan titik ekivalen reaksi. Titik ekivalen
adalah keadaan dimana jumlah mol asam tepat habis bereaksi dengan jumlah mol basa. Untuk
menentukan titik ekivalen pada reaksi asam-basa dapat digunakan indikator asam-basa.
Ketepatan pemilihan indikator merupakan syarat keberhasilan dalam menentukan titik
ekivalen. Pemilihan indikator didasarkan atas pH larutan hasil reaksi atau garam yang terjadi
pada saat titik ekivalen.

Salah satu kegunaan reaksi netralisasi adalah untuk menentukan konsentrasi asam
atau basa yang tidak diketahui. Penentuan konsentrasi ini dilakukan dengan titrasi asam-basa.
Titrasi adalah cara penentuan konsentrasi suatu larutan dengan volume tertentu dengan
menggunakan larutan yang sudah diketahui konsentrasinya. Bila titrasi menyangkut titrasi
asam-basa maka disebut dengan titrasi adisi-alkalimetri.

Asidi dan alkalimetri ini melibatkan titrasi basa yang terbentuk karena hidrolisis
garam yang berasal dari asam lemah (basa bebas) dengan suatu asam standar (asidimetri), dan
titrasi asam yang terbentuk dari hidrolisis garam yang berasal dari basa lemah (asam bebas)
dengan suatu basa standar (alkalimetri). Bersenyawanya ion hidrogen dan ion hidroksida
untuk membentuk air merupakan akibat reaksi-reaksi tersebut.

Titrasi asam basa melibatkan asam maupun basa sebagai titer ataupun titran. Titrasi
asam basa berdasarkan reaksi penetralan. Kadar larutan asam ditentukan dengan
menggunakan larutan basa dan sebaliknya. reaksi). Keadaan ini disebut sebagai “titik
ekivalen”.

Pada saat titik ekivalen ini maka proses titrasi dihentikan, kemudian kita mencatat
volume titer yang diperlukan untuk mencapai keadaan tersebut. Dengan menggunakan data
volume titran, volume dan konsentrasi titer maka kita bisa menghitung kadar titran.

2.3. Cara Mengetahui Titik Ekivalen

Ada dua cara umum untuk menentukan titik ekivalen pada titrasi asam basa, yaitu:

1. Memakai pH meter untuk memonitor perubahan pH selama titrasi dilakukan,


kemudian membuat plot antara pH dengan volume titran untuk memperoleh kurva titrasi.
Titik tengah dari kurva titrasi tersebut adalah titik ekuivalen.

2. Memakai indikator asam basa. Indikator ditambahkan pada titran sebelum proses
titrasi dilakukan. Indikator ini akan berubah warna ketika titik ekuivalen teradi, pada saat
inilah titrasi kita hentikan.

2.4. Indikator asam basa


Untuk memperoleh ketepatan hasil titrasi maka titik akhir titrasi dipilih sedekat
mungkin dengan titik ekivalen, hal ini dapat dilakukan dengan memilih indiator yang tepat
dan sesuai dengan titrasi yang akan dilakukan.

Keadaan dimana titrasi dihentikan dengan cara melihat perubahan warna indiator
disebut sebagai titik akhir titrasi (Anonim, 2009). Titik akhir titrasi adalah keadaan dimana
reaksi telah berjalan dengan sempurna yang biasanya ditandai dengan pengamatan visual
melalui perubahan warna indikator. Indikator yang digunakan pada titrasi asam basa adalah
asam lemah atau basa lemah. Asam lemah dan basa lemah ini umumnya senyawa organik
yang memiliki ikatan rangkap terkonjugasi yang mengkontribusi perubahan warna pada
indikator tersebut. Jumlah indikator yang ditambahkan kedalam larutan yang akan dititrasi
harus sesedikit mungkin, sehingga indikator tidak mempengaruhi pH larutan dengan
demikian jumlah titran yang diperlukan untuk terjadi perubahan warna juga seminimal
mungkin. Umumnya dua atau tiga tetes larutan indikator 0,1% ( b/v ) diperlukan untuk
keperluan titrasi. Dua tetes ( 0,1 ml ) indikator ( 0,1% dengan berat formula 100 ) adalah
sama dengan 0,01 ml larutan titran dengan konsentrasi 0,1 M.

Indikator asam basa akan memiliki warna yang berbeda dalam keadaan tak terionisasi
dengan keadaan terionisasi. Sebagai contoh untuk indikator phenolphthalein ( pp ) seperti di
atas dalam keadaan tidak terionisasi ( dalam larutan asam ) tidak akan berwarna ( colorless )
dan akan berwarna merah keunguan dalam keadaan terionisasi ( dalam larutan basa ).

Warna yang akan teramati pada penentuan titik akhir titrasi adalah warna indikator
dalam keadaan transisinya. Untuk indikator phenolphthalein karena indikator ini bertransisi
dari tidak berwarna menjadi merah keungguan maka yang teramati untuk titik akhir titrasi
adalah warna merah muda. Contoh lain adalah metil merah. Oleh karena metil merah
bertransisi dari merah ke kuning, maka bila indikator metil merah dipakai dalam titrasi maka
pada titik akhir titrasi warna yang teramati adalah campuran merah dengan kuning yaitu
menghasilkan warna orange (Anonim, 2009).

Contoh indikator asam-basa

Nama Indikator Warna asam Warna basa Trayek pH

Alizarin kuning kuning ungu 10,1 -12,0

Fenolftalein tak berwarna merah 8,0 -9,6


Timolftalein tak berwarna biru 9,3 – 10,6

Timolftalein tak berwarna biru 9,3 – 10,6

Fenol merah kuning merah 6,8 -8,4

Bromtimol blue kuning biru 6,0-7,6

Metil merah merah kuning 4,2 -6,2

Metil jingga merah kuning 3,1 -4,4

Para nitrofenol tak berwarna kuning 5,0 -7,0

Timol blue kuning biru 8,0 -9,6

Tropeolin OO merah kuning 1,3 -3,0

2.5. Rumus Umum Titrasi

Pada saat titik ekuivalen maka mol-ekuivalent asam akan sama dengan mol-
ekuivalent basa, maka hal ini dapat kita tulis sebagai berikut:

mol-ekuivalen asam = mol-ekuivalen basa

Mol-ekuivalen diperoleh dari hasil perkalian antara Normalitas dengan volume maka
rumus diatas dapat kita tulis sebagai:

NxV asam = NxV basa

Normalitas diperoleh dari hasil perkalian antara molaritas (M) dengan jumlah ion H+
pada asam atau jumlah ion OH- pada basa, sehingga rumus diatas menjadi:

nxMxV asam = nxVxM basa

keterangan :

N = Normalitas

V = Volume

M = Molaritas
H+ (pada asam) atau OH – (pada basa)

2.6. Berat Eqivalent

BE dalam titrasi asam – basa adalah banyaknya mol suatu zat yang setara dengan ion
OH- atau ion H+.

Contoh :

HCl  H+ + Cl-

1mol HCl setara dengan 1mol H+

BE HCl = 1 mol

H2SO4  2H+ + SO42-

1mol H2SO4 setara dengan 2 mol H+

½ mol H2SO4 setara dengan 1 mol H+

BE H2SO4 = ½ mol

2.7. Titrasi balik (back-titration)

Terkadang suatu reaksi berlangsung lambat dan tidak dapat diperoleh


titik akhir yang tegas. Untuk itu metoda titrasi balik dapat digunakan untuk
mengatasinya. Caranya dengan menambahkan titran secara berlebih,
setelah reaksi dengan analit berjalan sempurna, kelebihan titran ditentukan
dengan menitrasi dengan larutan standar lainnya. Dengan mengetahui
mmol titran dan menghitung mmol yang tak bereaksi, akan diperoleh mmol
titran yang bereaksi dengan analit.

T (mmol titran yang bereaksi) = mmol titran berlebih - mmol titrasi balik
mg analit = T x faktor (mmol analit/mmol titran yang bereaksi) x BM analit
BAB III

APLIKASI TITRASI ASAM – BASA

3.1. Titrasi Asam Basa: Basa Lemah Vs Asam Kuat

Titrasi basa lemah dan asam kuat adalah analog dengan titrasi asam lemah dengan
basa kuat, akan tetapi kurva yang terbentuk adalah cerminan dari kurva titrasi asam lemah vs
basa kuat. Sebagai contoh disini adalah titrasi 0,1 M NH 4OH 25 mL dengan 0,1 HCl 25 mL
dimana reaksinya dapat ditulis sebagai:

NH4OH + HCl  NH4Cl + H2O

Kurva titrasinya dapat ditulis sebagai berikut:

Kurva 1: Kurva titrasi 0,1 M NH4OH dengan 0,1 M HCl

Pada awal titrasi dalam Erlenmeyer hanya terdapat NH4OH, karena NH4OH adalah
basa lemah maka tidak semua akan terionisasi untuk mencari pH nya maka kita gunakan
rumus:
[OH-] = (10exp-5 x 0,1 )exp1/2 [OH-] = 10-3 M pH = 11

Setelah titrasi berlangsung maka akan terbentuk sistem buffer disebabkan dalam
larutan sekarang terdapat NH4OH dan NH4Cl. Pada saat ini kurva titrasi berada pada daerah
yang landai dan pH larutan ditentukan oleh pebandingan [NH4Cl]/[NH4OH].

Pada titik tengah titrasi yaitu setengah jumlah mol baik HCl dan NH 4OH bereaksi
maka [NH4Cl] akan sama dengan [NH4OH] akibatnya pH akan sama dengan pKb (ingat
persamaan Henderson-Hasselbalch. Kb NH4OH adalah 10-5.

pH = pKb = 5

Pada saat titik ekuivalen dicapai maka dalam larutan sekarang hanya terdapat NH 4Cl
adalah garam dari asam kuat dan basa lemah sehingga dalam larutan akan terhidrolisis parsial
dengan reaksi sebagai berikut:

NH4Cl  NH4+ + Cl-

NH4+ + H2O  NH4OH + H+

Dalam larutan sekarang akan bersifat asam disebabkan terdapat H+ dari hidrolisis
parsial NH4Cl. pH larutan dapat dihitung dengan persamaan:

[H+] = { (10exp-14/10exp-5) }exp1/2 . 0,05 [H+] = 7.07.10-6 M pH = 5,15

karena pH pada titik ekuivalen titrasi NH4OH dengan HCl jatuh pada kisaran pH 5,15
maka indicator yang memenuhi trayek pH ini adalah metil merah yang memiliki trayek pH
4,4 sampai dengan 6,2 atau juga bisa digunakan metil orange (MO) yang trayek pHnya 3,1 –
4,4.
3.2. Titrasi Asam Basa: Asam Lemah VS Basa Kuat

Asam lemah yang dicontohkan disini adalah asam asetat CH3COOH (biasanya kita
singkat menjadi HOAc) dan dititrasi dengan basa kuat NaOH. Reaksi yang terjadi dapat
ditulis sebagai berikut:

HOAc + NaOH  NaOAC + H2O

Dan kurva titrasi antara 0,1 M HOAc 50 mL dengan 0,1 M NaOH 50 mL dapat
digambarkan sebagai berikut:

Kurva 2 : Kurva titrasi 0,1 M CH3COOH dengan 0,1 M NaOH

Pada saat sebelum titrasi dalam Erlenmeyer hanya terdapat asam asetat. HOAc adalah
asam lemah sehingga dalam laruta tidak terdisosiasi sempurna, dan untuk mencari
konsentrasi H+ nya kita menggunaka rumus pH asam lemah. 0,1 M HOAc dengan volume 50
mL memiliki pH sekitar 3.

pH dihitung dengan rumus:

Setelah titrasi dijalankan dengan penambahan sedikit demi sedikit NaOH maa dalam
larutan akan terbentuk NaOAc sebagai hasil reaksi antara NaOH dan HOAc. Dalam larutan
sekarang terdapat HOAc yang belum bereaksi serta NaOAc sehingga terbentuk sistem buffer.
pH larutan pun sedikit demi sedikit beranjak naik sebagai fungsi perubahan perbandingan
[OAc-]/[HOAc].

Penambahan 10 mL NaOH 0,1 M pada analit HOAc akan merubah pH larutan


menjadi 4,3 (hitung pH dengan persamaan Henderson-Hasselbalch).

pH = 5 + log 0,0167/0,067

pH = 4,3

Pada titik tengah titrasi dimana setengah dari jumlah total mol baik NaOH dan HOAc
telah bereaksi maka konsentrasi OAc- akan sama dengan konsentrasi HOAc ( [OAC -] =
[HOAc] ) sehingga pH nya akan sama dengan pKa yaitu 5.

pH = 5 + log 0,033/0,33

pH = 5

Pada titik ekuivalen, HOAc habis bereaksi dan sekarang kita mempunyai larutan
NaOAc. NaOAc adalah garam yang dibangun dari basa kuat dan asam lemah, sehingga
dalam air akan terhidrolisis sebagian dengan reaksi sebagai berikut:

NaOAc  Na+ + OAc-

OAc- + H2O  HOAc + OH-

Adanya OH- sebagai akibat hidrolisis parsial NaOAc akan menyebabkan pH larutan
menjadi bersifat basa, sehingga pH pada titik ekuivalen

titrasi asam lemah dan basa kuat adalah basa, dan pHnya ditentukan oleh konsentrasi
NaOAc.
[OH-] = { (10exp-14/10exp-50 }exp1/2 . 0,05

[OH-] = 7.07.10-6 M

pOH = -log 7.07.10-6 M = 5,15

pH = 14 – 5,15 = 8,85

Jadi pH larutan pada saat titik ekuivalen adalah 8,85. pH ini adalah berada pada trayek
pH indicator pp oleh sebab itu titrasi asam asetat dengan NaOH dipakai indicator pp. Jika
indicator MO dipakai maka warnanya akan berubah begitu titrasi dimulai dan secara gradual
berubah menjadi warna pada kondisi basa pada sekitar pH diatas 6 sebelum titik akhir titrasi
di capai. Oleh sebab itulah maka indicator titrasi asam lemah yang diapaki adalah indicator
yang memiliki transisi perubahan warna pada kisaran pH 7 sampai 10 dan indicator pp
memenuhi kriteria ini.

Dengan penambahan NaOH maka OH- dari hasil hidrolisis NaOAc dapat diabaikan
sebab OH- dari NaOH yang akan mendominasi. Oleh sebab itu adanya penambahan NaOH
maka pHnya ditentukan oleh konsentrasi OH- dari NaOH dengan demikian pHnya semakin
naik ke pH basa.

3.3. Titrasi Asam Basa: Asam Kuat VS Basa Kuat

Titrasi asam basa melibatkan reaksi neutralisasi dimana asam akan bereaksi dengan
basa dalam jumlah yang ekuivalen. Titran yang dipakai dalam titrasi asam basa selalu asam
kuat atau basa kuat. Titik akhir titrasi mudah diketahui dengan membuat kurva titrasi yaitu
plot antara pH larutan sebagai fungsi dari volume titran yang ditambahkan.

Sebagai contoh titrasi asam kuat dan basa kuat adalah titrasi HCl dengan NaOH.
Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:

HCl + NaOH  NaCl + H2O

H+ + OH-  H2O

Reaksi umum yang terjadi pada titrasi asam basa dapat ditulis sesuai dengan reaksi
kedua diatas. Ion H+ bereaksi dengan OH- membentuk H2O sehingga hasil akhir titrasi pada
titik ekuivalen pH larutan adalah netral. Kurva titrasi antara 50 mL HCl 0,1 M dengan 50 mL
NaOH 0,1 M dapat ditunjukkan dengan gambar berikut ini:
Kurva 3 : Kurva Titrasi 0,1 M HCl dengan 0,1 M NaOH

Pada awal sebelum titrasi berlangsung maka dalam Erlenmeyer hanya terdapat 0,1 M
HCl shingga pH larutan adalah 1. Selanjutnya setelah proses titrasi berlangsung maka pH
meningkat sedikit demi sedikit dikarenakan jumlah H+ yang semakin berkurang. Sebagai
perbandingan saja jika 90% HCl telah bereaksi dengan NaOH maka konsentrasi H + dalam
larutan berkisar 5,3.10-3 M dan pHnya adalah 2,3, dan secara gradual pHnya akan meningkat
sampai pada saat titik ekuivalen diperoleh. Pada titik ekuivalen maka pH larutan adalah sama
dengan 7, dalam larutan hanya terdapat NaCl dan H2O.

Penambahan NaOH selanjutnya akan membuat pH semakin meningkat dari


konsentrasi 10-7 M untuk OH- hingga bisa mencapai 10-3 M hanya dengan penambahan 5 mL
NaOH saja.

Pada kurva titrasi diatas ditunjukkan 2 penggunaan indicator yaitu metil orange (MO)
dan fenolthalein (PP). Untuk titrasi HCl dan NaOH diatas maka digunakan indicator pp
disebabkan trayek pH indicator pp adalah 8,3 – 10 dimana trayek pH ini adalah dekat dengan
pH titik ekuivalen titrasi HCl-NaOH yaitu pada pH 7. Pemilihan indicator yang baik adalah
setidak-tidaknya antara -1 pH titik ekuivalen sampai dengan +1 pH titik ekuivalen. Indikator
lain yang bisa dipakai adalah Bromothymol blue.

Jika kita pergunakan indicator MO maka titik akhir titrasi akan terjadi terlebih dahulu
sebelum titik ekuivalen tercapai. Hal ini tentu saja akan membuat perhitungan analisa kita
jauh dari akurat.
Bila yang dipergunakan sebagai titer adalah HCl maka kurva titrasinya adalah
kebalikan dari kurva titrasi HCl - NaOH diatas.

3.4. Mencari Trayek pH Indikator untuk Titrasi Asam Basa

Indikator untuk titrasi asam basa memegang peranan yang amat penting disebabkan
indicator ini akan menunjukkan kita dimana titik akhir titrasi berlangsung. Pemilihan
indicator yang tepat akan sangat membantu dalam keberhasilan titrasi yang akan kita
lakukan. Jangan sampai kita salah memilih indicator yang menyebabkan terjadinya kesalahan
dalam penentuan titik akhir titrasi.

Untuk memilih indicator yang akan dipakai pada titrasi asam basa maka terlebih
dahulu kita harus memperhatikan trayek pH indicator tersebut. Misalkan kita memiliki
indicator asam lemah HIn dimana bentuk takterionisasinya berwarna merah sedangkan
bentuk terionisasinya berwarna kuning.

HIn  H+ + In-

Merah Kuning

Perubahan warna HIn terjadi pada kisaran pH tertentu. Perubahan ini tampak
bergantung pada kejelihan penglihatan orang yang melakukan titrasi. Untuk warna indicator
yang terjadi akibat terbentuknya dari transisi kedua warna (misal HIn berubah dari warna
merah ke kuning maka kemungkinan warna transisinya adalah oranye), maka umumnya
hanya satu warna yang akan teramati jika perbandingan kedua konsentrasi adalah 10 : 1 jadi
hanya warna dengan konsentrasi yang paling tinggi yang akan terlihat.

Sebagai contoh jika hanya warna kuning yang terlihat maka konsentrasi [In -]/[HIn] =
10/1 dan jika kita masukkan ke persamaan Henderson-Hasselbalch diperoleh

pH = pKa + log 10/1 = pKa + 1

dan jika hanya warna merah yang terlihat maka konsentrasi [In]/HIn] = 1/10 sehingga:

pH = pKa + log 1/10 = pKa – 1

Jadi pH indicator akan berubah dari kisaran warna yang satu dengan yang lain adalah
berkisar antara pKa-1 sampai dengan pKa + 1, dan pada titik tengah daerah transisi
perubahan warna indicator konsentrasi [In-] akan sama dengan [HIn] oleh sebab itu pH =
pKa.

Dengan demikian kita dapat memilih suatu indicator dengan cara mimilih indicator
yang nilai pKa-nya adalah mendekati nilai pH pada titik ekuivalen atau untuk pH indicator
dari basa lemah nilai pKb-nya yang mendekati nilai pH ekuivalen. Contoh indicator pp yang
dipakai untuk titrasi asam kuat dan basa kuat atau asam lemah dan basa kuat, indikato metil
merah yang dipakai untuk titrasi basa lemah dan asam kuat.

Beberapa contoh indicator dan perubahan warnanya adalah sebagai berikut: (sumber:
wikipedia.org).
BAB IV

PENUTUP

4.1. Simpulan

Analisis kuantitatif dengan menggunakan metoda volumetri asam – basa sangan banyak
digunakan sebagai metoda dalam penelitian dan dunia industri untuk analisis suatu analit yang
memiliki sifat asam atu basa.

Titrasi asam basa atau yang lebih dikenal dengan nama asidi - alkalimetri merupakan analisis
konvensional, dimana mengunakan larutan yang bersifaat asam maupun basa. Dasar dari analisis ini
adalah reaksi yang terjadi dari senyawa yang bersif asam dengan senyawa lain yang bersifat baasa.

HA + OH-  A- + H2O

( analit asam, titran basa )

BOH + H3O+  B+ + 2H2O

( analit basa, titran asam )

Dalam analisis titrimetri asam – basa untuk menunjukkan ketuntasan suatu reaksi
maka dapat digunakan pH meter dan larutan indikator yang harus di sesuaikan dengan titik
ekivalen yang akan dicapai dari reaksi yang terjadi nantinya.

4.2. Saran

Metoda titrasi asam basa sangan dipengaruhi ole perubahan pH titrasi. Untuk menunjukkan
perubahan pH harus lah digunakan indikator yang sensitif terhadap perubah nilai pH selam titrasi
berlangsung. Perubahn ini bisa berupa perubahn warna larutan yang dititrasi, perubahan warna ini
harus spesifik.

Harus lebih diperhatikan adalahpenggunaan indikator yang tepat dari analit yang di uji karena
setiap indikator mempuntai trayek perubahan pH yang berbeda.

Dalam analisis volumetri secara keseluruhan kita mengenal isilah larutan standar, yaitu
larutan yang telah diketahui konsentrasinya secara tepat. Ketepatan konsentrasi dari larutan standar
sngan mempengaruhi perhitungan dari konsentrasi analit yang diuji nantinya.
DAFTAR PUSTAKA

Harjadi W. 1986. Ilmu Kimia Analitik Dasar, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama

Khopkar SM. 1990. Konsep dasar Kimia Analitik. Jakarta : UI Press.

Valcarcel M. 2000. Principles of Analytical Chemistry. New York : Springer.

Pierce WC, Sawyer DT, Haenisch EL. 1967. Quantitative Analysis. New York : John Wiley
and Sons, Inc.

Watson D G.2009. Analisis Farmasi. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai