Anda di halaman 1dari 5

NAMA : Arif Nur Salim

NIM : 30301609500

MATKUL : Perbandingan Hukum Pidana

1. Sebutkan pembagian keluarga/sistem hukum menurut Marc Ancel dan apa dasar kriteria
pembagian tersebut.
 Pengelompokan keluarga hukum didasarkan pada :
- Asal usulnya (their origin);
- Sejarah perkembangannya (their historical development);
- Metode penerapannya (their method of application).
 Ada 5 keluarga hukum :
1. Sistem Eropa Kontinental & Amerika Latin (disebut System of Civil Law);
2. Sistem Anglo-American (disebut Common Law System)
3. Sistem Timur Tengah (Middle East System)
4. Sistem Timur Jauh (Far East System)
5. Sistem negara-negara sosialis (Socialist Law System)
2. Jelaskan alasan perlunya kajian perbandingan hukum pidana dan sebutkan undang-undang
yang telah merafikasi dokumen internsional.
 Alasan perlunya kajian perbandingan hukum pidana.
- Adanya asas nasional aktif dalam KUHP kita, yaitu Pasal 5 ayat 1 ke-2,
- Adanya beberapa ketentuan dalam UU di luar KUHP yang memperluas jurisdiksi
teritorial ke luar wilayah Indonesia (a.l. Pasal 97 UU Narkotika; Pasal 16 UU TPK;
Pasal 3 (1) dan Pasal 4 UU Terorisme; Pasal 7 UU Pencucian Uang; Psl. 2 UU-ITE
no. 11/2008);
- Banyaknya UU yang telah meratifikasi berbagai ketentuan/dokumen internasional
- Adanya berbagai UU tentang perjanjian bilateral; dan perjanjian timbal balik dalam
masalah pidana atau Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters (a.l. UU
No. 1/2006, UU No. 8/2006);
- Adanya perkembangan Cybercrime yang merupakan “transborder/transnational
crime”. dapat membawa sikap kritis terhadap sistem hukum sendiri (Prof. Soedarto)
untuk pemecahan masalah-masalah hukum secara adil dan tepat (Prof. Soerjono
Soekanto).
 Undang-Undang yang telah meratifikasi dokumen internasional.
Antara lain :
- UU No. 7/1997 mengesahkan United Nations Convention Against Illicit Traffic in
Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988;
- UU No. 5/1998 mengesahkan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman
or Degrading Treatment or Punishment;
- UU No. 11/2005 meratifikasi International Covenant on Economic, Social and
Cultural Rights;
- UU No. 12/2005 meratifikasi ICCPR;
- UU No. 5/2006 meratifikasi International Convention For the Suppression of
Terrorist Bombings,1997;
- UU No. 6/2006 meratifikasi International Convention for the Suppression of the
Financing of Terrorism, 1999;
- UU No. 7/2006 meratifikasi UNCAC-United Nations Convention Against
Corruption, 2003);
- Akan diratifikasi : EUROPEAN UNION CONVENTION ON CYBERCRIME, 2001
di Budapest.
3. Sebutkan kriteria yang menentukan klasifikasi pembagian sistem hukum menurut Konrad
Zweigert dan Kotz dan sebutkan pembagian keluarga hukum/famili hukum tersebut serta
termasuk dalam sistem hukum yang mana KUHP Indonesia menurut pembagian tersebut.
 Yang menentukan klasifikasi ialah “gaya (style) sistem hukum”, yaitu :
- Asal dan perkembangan historis;
- Cara pemikiran hukum yg spesifik;
- Lembaga-lembaga hukum yg karakteristik
- Sumber-sumber hukum dan interpretasinya;
- Faktor ideologis
 KELUARGA HKM AGAMA & ADAT
1. Keluarga. Hukum Agama
- Arab Saudi
- Iran
- Sudan
- Suriah
- Vatikan – canon law
2. Keluarga Hukum Adat
- Mongolia
- Sri Lanka
- Indonesia
 Sistem hukum dunia di masa kini terdiri dari:
1. Hukum sipil
2. Sistem hukum Anglo Saxon atau dikenal juga dengan Common Law.
3. Hukum agama
4. Hukum adat
5. Hukum negara blok timur (Sosialis)
4. Jelaskan perbedaan sumber hukum pidana menurut hukum pidana Indonesia dan hukum
pidana Inggris.
 Sekilas Sistem Peradilan Pidana Inggris
Sampai akhir 1986, proses penuntutan bagi perkara-perkara ringan di Inggris dilakukan
oleh Polisi sendiri (Police Prosecutor). Sedangkan perkara yang agak berat dilakukan
oleh pengacara yang disebut Solicitor. Dan perkara-perkara yang berat disidangkan di
pengadilan tinggi (tingkat banding) dengan penuntut Umum pengacara yang disebut
Barrister. Namun sejak 1986 yang menentukan apakah perkara yang disidik Polisi dapat
diajukan ke pengadilan atau tidak adalah Jaksa yang tergabung dalam Crown Prosecution
Secvice (CPS). Dan di Inggris terdapat 31 kejaksaan atau CPS yang terdiri dari Crown
Prosecutor, senior Crown Prosecutor, Assistant branch CPS, Branch prosecutor (di
Indonesia setingkat Kepala Kejaksaan Negeri), dan Chief Prosecutor (setingkat Kepala
Kejaksaan tinggi).
- Sumber hukum dalam sistem peradilan pidana di Inggris terdiri dari :
1) Custom, merupakan sumber hukum tertua. Tumbuh dan berkembang dari
kebiasaan suku Anglo Saxon pada abad pertengahan yang melahirkan Common Law.
Sehingga sistem hukum Inggris disebut juga sistem anglo saxon.
2) Legislation/statute, berupa Undang-undang yang dibuat melalui parlemen.
3) Case law/judge made law, hukum kebiasaan yang berkembang di masyarakat
melalui putusan hakim yang kemudian diikuti oleh hakim berikutnya melahirkan asas
precedent.
Dalam sistem Common Law seperti di Inggris, adat istiadat atau kebiasaan masyarakat
(custom) yang dikembangkan berdasarkan putusan Pengadilan mempunyai kedudukan
yang sangat kuat karena berlaku asas STARE DECISIS atau ASAS BINDING FORCE
OF PRECEDENTS. Asas ini mewajibkan hakim untuk mengikuti putusan hakim yang
ada sebelumnya. Bagian putusan hakim yang harus diikuti dan mengikat adalah bagian
pertimbangan hukum yang disebut sebagai ratio decidendi sedangkan hal selebihnya yang
disebut obiter dicta tidak mengikat.
Dalam sistem peradilan Inggris benar salahnya terdakwa ditentukan oleh juri yang
direkrut dari masyarakat biasa. Tugas hakim hanya memastikan persidangan berjalan
sesuai prosedur dan menjatuhkan hukuman sesuai hukum. Oleh karena itu, tugas jaksa
dan pengacara dalam persidangan adalah meyakinkan juri bahwa terdakwa bersalah atau
tidak. Berbeda dengan sistem civil law yang dianut di Indonesia sebagai kelanjutan dari
sistem hukum yang dianut Belanda, maka tugas hakim di pengadilan lebih berat karena
selain harus menentukan benar salahnya terdakwa juga menetapkan hukuman (vonis)
nya.
Pada tahun 1994 telah terjadi pergeseran sistem akusator menjadi sistem inquisitor dalam
hukum acara Pidana Inggris. Hal ini dilatarbelakangi karena Polisi di Inggris kesulitan
untuk mengungkap atau menyelesaikan berbagai kasus yang menimbulkan ancaman
serius bagi masyarakat terutama terorisme. Karena tersangka berlindung dibalik
kekebalan hukum yang diberikan oleh UU antara lain hak untuk diam (right to remain
silent). Perubahan tersebut dilihat dari konteks keberadaan sistem hukum yang ada di
dunia (civil law dan common law) ternyata saat ini bukan saatnya lagi memperdebatkan
secara tajam perbedaan antara kedua sistem hukum tersebut.
 Sistem Peradilan Pidana Terpadu di Indonesia.
Sistem peradilan pidana di Indonesia sebagaimana diatur dalam KUHAP (Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana) atau Undang-undang No.8 tahun 1981, sebenarnya identik
dengan penegakan hukum pidana yang merupakan suatu sistem kekuasaan/kewenangan
dalam menegakkan hukum pidana. Sistem penegakan hukum pidana ini sesuai ketentuan
dalam KUHP dilaksanakan oleh 4 sub sistem yaitu:
1) Kekuasaan Penyidikan oleh Lembaga Kepolisian.
2) Kekuasaan Penuntutan oleh Lembaga Penuntut Umum atau Kejaksaan.
3) Kekuasaan mengadili oleh Badan Peradilan atau Hakim.
4) Kekuasaan pelaksanaan hukuman oleh aparat pelaksana eksekusi (jaksa dan
lembaga pemasyarakatan)
Keempat subsistem itu merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang
integral atau sering disebut dengan istilah integrated criminal justice system atau sistem
peradilan pidana terpadu. Menilik sistem peradilan pidana terpadu yang diatur dalam
KUHAP maka keempat komponen penegakan hukum Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan
dan Lembaga Pemasyarakatan seharusnya konsisten menjaga agar sistem berjalan secara
terpadu. Dengan cara melaksanakan tugas dan wewenang masing-masing sebagaimana
telah diberikan oleh Undang-undang. Karena dalam sistem Civil Law yang kita anut,
Undang-undang merupakan sumber hukum tertinggi. Karena disana (dalam Hukum Acara
Pidana) telah diatur hak dan kewajiban masing-masing penegak hukum dalam subsistem
peradilan pidana terpadu maupun hak-hak dan kewajiban tersangka/terdakwa.
5. Bagaimana asas legalitas dalam hukum pidana Inggris bandingkan dengan menurut KUHP
Indonesia.
 Asas Legalitas di Indonesia
Asas legalitas di Indonesia terdapat dalam pasal 1 ayat 1 KUHP yang berbunyi : “tiada
suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturanpidana dalam perundang-
undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Konsekuensi dari pasal tersebut
ialah bahwa perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam undang-undang sebagai
suatu tindak pidana juga tidak dapatdipidana; jadi dengan asas ini hukum yang tidak
tertulis tidak memiliki kekuatan hukum untuk diterapkan. Namun atas hal itu dikecualikan
terhadap daerah-daerah yang dulu termasuk kekuasaan pengadilan swapraja dan
pengadilan adat dengan dilakukan pembatasan-pembatasan tertentu.Selain itu KUHP
Indonesia juga melarang adanya analogi terhadap suatu perbuatan konkret yang tidak
diatur oleh undang-undang.
 Asas Legalitas Di Inggris
Asas Legalitas di Inggris walaupun asas ini tidak pernah secara formal dirumuskan dalam
perundang-undangan, namun asas ini menjiwai putusan-putusan pengadilan. Karena
bersumber pada case law, pada mulanya pengadilan di inggris merasa dirinya berhak
menciptakan delik. Namun dalam perkembangannya, pada 1972 House of Lords menolak
secara bulat adanya kekuasaan pengadilan untuk menciptakan delik-delik baru atau
memperluas delik yang ada. Jadi tampaknya ada pergeseran dari asas legalitas dalam
pengertian materiil ke asas legalitas dalam pengertian pengertian formal. Artinya, suatu
delik oleh hakim berdasarkan common law (hukum kebiasaan yang dikembangkan lewat
putusan pengadilan), namun dalam perkembangannya hanya dapat ditetapkan berdasarkan
undang-undang (statute law). Sehingga di dalam Sistem Hukum Inggris yaitu Common
Law dimana prinsipnya hukum tidak tertulis (yang jadi patokan nilai yang ada pada
masyarakat. Peran hakim menciptakan kaidah-kaidah hukum yang mengatur tata
kehidupan masyarakat. Hakim terikat pada prinsip hukum dalam putusan pengadilan yang
sudah ada dari perkara-perkara sejenis (asas doctrine of precedent). Sumber hukum utama
adalah putusan hakim (yurisprudensi).
- Sehingga dari kedua Asas diatas dapat diketahui perbedaannya yaitu:
1) Asas Legalitas dalam Sistem Hukum Inggris adalah tidak ada perbuatan yang
dapat dipidana kalau tidak ada aturan yang mengatur hal tersebut dimana aturan
tersebut bersumber dari putusan hakim (yurisprudensi). Jadi dalam memutuskan suatu
perbuatan pidana di inggris biasanya bersumber pada yurisprudensi hakim.
2) Asas Legalitas dalam Sistem Hukum Indonesia adalah tidak ada perbuatan yang
dapat dipidana kalau tidak ada aturan yang mengatur hal tersebut dimana aturan
tersebut bersumber dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan dalam
pemutusan suatu perbuatan pidana Indonesia tetap bersumber menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Anda mungkin juga menyukai