Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PARASITOLOGI

Koasistensi Laboratorium Parasitologi


Balai Veteriner Subang

Ditulis untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Diagnostik Laboratorium
Dosen Pengampu:
Drh. Trian Mahawan

Aldzalita Rizkika

130212200019

PROGRAM PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Balai Veteriner Subang menerima sampel aktif dengan nomor epidemiologi


A08210099. Sampel yang didapat berasal dari hewan sapi dengan ras Peranakan Ongole yang
berasal dari Kecamatan Anjatan Desa Wanguk. Sampel tersebut lalu dilakukan pemeriksaan
ke beberapa laboratorium, salah satunya laboratorium parasitologi untuk dilihat keberadaan
endoparasit dengan melihat telur cacing dan protozoa pada fesesnya.

Parasitologi adalah pengetahuan yang berhubungan dengan parasit (Kusnoto, 2015).


Parasit adalah organisme yang hidup pada atau di dalam organisme yang lain (dikenal
sebagai inang). Parasit dibagi menjadi dua jenis, yaitu ektoparasit dan endoparasit.
Ektoparasit adalah parasit yang hidup dan berkembang biak di luar tubuh inang sedangkan
endoparasit merupakan parasit yang hidup dan berkembang biak di dalam tubuh inang.
Golongan organisme yang bersifat endoparasit biasanya dari golongan cacing dan protozoa.

Pada sapi, umumnya infestasi cacing sering ditemukan pada saluran pencernaan dan
hati. Berdasarkan bentuknya, jenis cacing yang dapat menyerang sapi dapat dikelompokkan
menjadi tiga golongan yaitu cacing gilig (Nematoda), cacing pita (Cestoda) dan cacing daun
atau cacing hati (Trematoda) (Widyani,2016). Sedangkan protozoa yang dapat menyerang
sapi, biasanya merupakan protozoa gastrointestinal.

Beberapa hasil penelitian prevalensi infeksi protozoa gastrointestinal pada sapi


dilaporkan di antaranya, oleh Indraswari et al. (2017) melaporkan di Nusa Penida sebesar
12% dengan dua jenis protozoa yaitu Eimeria auburnensis dan Eimeria bovis, Wisesa et al.
(2015) melaporkan infeksi protozoa Balantidium sp. pada sapi bali di Bali sebesar 17,19%,
Ismail et al. (2010) di Korea melaporkan prevalensi Entamoeba sp. sebesar 4,8%, Wegayehu
et al. (2013) di Ethiopia melaporkan prevalensi Giardia duodenalis sebesar 2,3% dari 384
sapi yang diperiksa.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah pada laporan ini adalah bagaimana
cara memeriksa keberadaan telur cacing menggunakan uji sedimentasi dan uji apung?
1.3. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan laporan ini adalah untuk mengetahui cara
memeriksa kemeradaan telur cacing menggunakan uji sedimentasi dan uji apung.
BAB II
MATERI DAN METODE
Pemeriksan telur cacing menggunakan sampel feses segar dapat dilakukan dengan
menggunakan beberapa metode, yaitu metode kualitatif dan metode kuantitatif. Metode
kualitatif dibagi menjadi uji sedimentasi sederhana dan uji apung sederhana sedangkan
metode kuantitatif dapat menggunakan uji Mc master.

2.1. Materi

Untuk melakukan pemeriksaan sampel feses diperlukan beberapa alat dan bahan sebagai
berikut:

2.1.1. Alat dan Bahan

1. Timbangan digital 12. Sampel Feses segar atau dengan


pengawet formalin 10%
2. Cawan Petri
13. Larutan Gula jenuh BJ 1,2
3. Sendok
14. Methylen blue
4. Saringan
15. Spoit
5. Gelas Kerucut 250 ml
16. Air
6. Beaker Glass
17. Kamar hitung Mc Master
7. Corning tube
18. Tabung Sentrifus
8. Vortex
19. Plastik
9. Alat Sentrifus
20. Gelas Ukur
10. Cover Glass
21. Cool box
11. Object Glass

2.2. Metode

2.2.1. Pengambilan Sampel

1. Pertama-tama, plastik bersih disediakan lalu tangan dimasukkan ke dalam plastik tersebut
2. Selanjutnya, Feses diambil sebanyak 5 gram dengan tangan yang dibungkus oleh plastik ke
dalam rectum.

3. Tangan dikeluarkan dari rectum, lalu plastik dibalik sehingga feses berada di dalam plastik.

4. Kapas dibasahi oleh formalin 10% lalu dimasukkan ke dalam plastik.

5. Plastik kemudian diikat dan dapat disimpan ke dalam cool box.

6. Sampel dibawa ke balai veteriner untuk dilakukan pemeriksaan

2.2.2. Uji Sedimentasi

1. Feses ditimbang sebanyak 3 gram menggunakan timbangan digital dan dimasukkan ke


dalam cawan petri.

2. Air dimasukkan ke dalam cawan petri secukupnya lalu diaduk hingga homogen.

3. Feses dituang ke dalam gelas kerucut dan sambil disaring menggunakan saringan.

4. Air ditambahkan ke dalam gelas kerucut sampai volume menjadi 250 ml dan ditunggu
sampai lima menit atau sampai larutan mengendap dan air mulai jernih. Langkah ini diulang
sampai 3 kali.

5. Selanjutnya supernatan dibuang dan sedimentasi/endapannya dimasukkan ke dalam cawan


petri 10-15 ml.

6. Larutan ditambahkan pewarna methylen blue 1% ke dalam cawan petri sebanyak satu tetes
dengan menggunakan pipet.

7.Sedimentasi diperiksa di bawah mikroskop stereo.

2.2.3. Uji Apung

1. Feses ditimbang sebanyak 2 gram menggunakan timbangan digital dan dimasukkan ke


dalam cawan petri.

2. Feses dimasukkan ke dalam corning tube berukuran 50 ml

3. Larutan gula jenuh dengan BJ 1,2 ditambahkan ke dalam corning tube sampai 15 ml.

4. Larutan dihomogenkan menggunakan vortex.

5. Larutan dipindahkan dan dimasukkan ke dalam tabung sentrifus dan disentrifugasi dengan
kecepatan 1500rpm selama 2 menit.
6. Larutan ditambahkan dengan larutan gula jenuh BJ 1,2 sampai cembung.

7. Cover glass diletakkan di atas larutan dan ditunggu sampai lima menit

8. Cover glass diambil dan diletakkan di atas object glass.

9. Preparat diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran 40-100 kali.

2.2.4. Uji Mc Master

1. Feses ditimbang sebanyak 3 gram atau 3 ml untuk feses diare dan dimasukkan ke dalam
tabung sentrifus 50 ml.

2. Sebanyak 42 ml air ditambahkan dan diaduk sampai homogen, bisa juga dilakukan
homogenisasi dengan vortex.

3. Larutan disaring dan filtrat ditampung dalam tabung sentrifus 50 ml, kemudian kemudian
larutan dikocok dan dituangkan ke tabung 15 ml.

4. Larutan dilakukan sentrifus pada kecepatan 1500 rpm selama 2 menit

5. Supernatan dibuang kemudian ditambahkan larutan gula BJ 1,2 sampai total volume 15 ml.

6. Larutan dihomogenkan dengan membolak-balikan tabung sebanyak 6 kali kemudian pipet


larutan secara cepat ke dalam slide Mc Master.

7. Telur cacing di setiap grid dari slide Mc Mater lalu diidentifikasi lalu dihitung jumlahnya
menggunakan mikroskop perbesaran 40-100 kali.
BAB III
HASIL
No Gambar Jenis Uji Keterangan
.
1 Uji Kualitatif Temuan telur: Telur
Sedimentasi cacing
Sederhana Paramphistomum sp
Perbesaran Mikroskop
Stereo no.5

2 Uji Kualitatif Temuan ookista:


Metode ookista Protozoa
Apung Eimeria sp
Perbesaran Mikroskop
100x
3 Uji Kuantitatif Temuan telur: Telur
Metode cacing
Sedimentasi Paramphistomum sp
Perbesaran Mikroskop
stereo no.4
Jumlah telur yang
ditemukan: 1

Uji Kuantitatif Temuan telur: Telur


Metode protozoa Buxtonella sp
Sedimentasi Perbesaran Mikroskop
stereo no.4
Jumlah telur yang
ditemukan: 1
4 Uji Kuantitatif Temuan ookista:
Mc Master ookista protozoa
metode Apung Eimeria sp Perbesaran
Mikroskop 100x
Jumlah telur cacing: 32
x 30 = 960
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1. Uji Kualitatif
Untuk uji feses dapat dilakukan dengan uji kualitatif dan uji kuantitatif. Uji kualitatif
menggunakan uji apung dan uji sedimentasi untuk melihat morfologi telur cacing sedangkan
uji kuantitatif untuk menghitung jumlah telur cacing menggunakan Mc Master.

Metode apung (Floatation methode) digunakan untuk jenis telur cacing parasit yang
dapat mengapung dengan mengunakan larutan garam jenuh (Tantri, 2013). Sedangkan
metode sedimentasi adalah metode diagnostik parasitologi yang digunakan untuk
mengidentifikasi cacing Trematoda, acanthocephalans, dan beberapa cacing pita dan
nematoda yang telurnya tidak mengapung dalam uji apung. Uji sedimentasi merupakan uji
yang digunakan untuk jenis telur parasit yang mengendap bersama feses, seperti Fasciola sp,
Paramphistomum sp, dan Buxtonella sp. Metode ini untuk mengidentifikasi telur cacing yang
tidak dapat mengapung dalam pelarut gula garam dan memiliki berat jenis yang lebih besar
dibandingkan dengan pelarut gula (Foreyt, 2013). Pada metode sedimentasi sederhana, air
dialirkan ke dalam gelas kerucut lalu feses dimasukkan ke dalam gelas kerucut tersebut.
Selanjutnya feses dibiarkan mengendap sebentar sebelum supernatan dihilangkan. Hal ini
memungkinkan penghilangan partikel sampah yang terdapat dalam feses. Berbeda dengan uji
apung, metode sedimentasi hanya memiliki kemampuan dengan konsentrasi yang terbatas.

Pada pemeriksaan feses menggunakan uji kualitatif ditemukan satu telur cacing
menggunakan metode sedimentasi dan satu protozoa menggunakan metode apung. Pada
metode sedimentasi ditemukan telur cacing Paramphistomum sp. Cacing Paramphistomum
sp. menyebabkan terjadinya penyakit paramphistomiasis. Paraphistomiasis memiliki
distribusi geografis yang luas di daerah sub-tropis dan tropis. Cacing dewasa umumnya
dianggap patogenik untuk host terinfeksi, migrasi cacing dewasa di mukosa duodenum
menyebabkan enteritis akut, nekrosis dan hemoragi, anoreksia, polidipsia, diare berat dan
kematian (Khedri et al.,2015).

Salah satu jenis yang sering terdapat pada sapi adalah Paramphistomum cervi (Subronto,
2007). Hewan yang diserang Paramphistomum sp. sebagai hospes definitif, yaitu hewan
ternak (kerbau, sapi, domba, kambing) dan ruminansia lain. Paramphistomum spp. disebut
juga sebagai cacing hisap karena pada saat menempel, cacing ini menghisap makanan berupa
jaringan atau cairan tubuh hospesnya (Boray, 1959). Cacing muda Paramphistomum sp.
berpredeliksi di dalam usus halus dan akan bermigrasi ke dalam rumen dan retikulum setelah
dewasa. Daerah penyebaran Paramphistomum sp. adalah daerah yang memiliki suhu udara
25-30 0C dengan kelembaban kira-kira 85% (Darmin, 2014).

Infeksi Paramphistomum sp. terdiri atas dua fase, yaitu fase intestinal dan fase ruminal.
Pada fase intensital, bentuk infeksi cacing yang belum dewasa dalam usus halus dapat
menyebabkan edema, hemoragi, inflamasi, kerusakan vili usus, duodenitis dan abomasitis.
Pada kasus infeksi massal, pertumbuhan cacing menjadi lambat sehingga gejala klinis akan
terlihat lebih lama. Pada fase ruminal, cacing akan menyebabkan perubahan epitel dari rumen
yang menganggu kapasitas resorbsi. Pencernaan dan penyerapan yang rusak menyebabkan
anoreksia, diare dan kelemahan (Sandjaja, 2007; Darmin, 2014). Kadang-kadang ditemukan
juga pada sapi adanya pendarahan pada rektal setelah mengejan berkepanjangan. Tingkat
kematian pada kasus paramphistomiasis akut ialah 90% (Taylor et al.,2016).

Infeksi Paramphistomum sp. umumnya terjadi saat sapi sebagai hospes definitif
memakan rumput atau jerami yang mengandung metaserkaria. Metaserkaria adalah
larva infektif yang akan menembus dan memakan jaringan dari dinding usus halus
kemudian bermigrasi ke dalam rumen (Njoku and Nwoko, 2009). Kelangsungan hidup serta
penyebaran Paramphistomum sp.bergantung pada kehadiran siput (Lymnea rubiginosa)
sebagai hospes. Siput Lymnea rubiginosa yang biasanya hidup di sawah tidak tahan
kekeringan dan akan mati apabila tidak ditemukan tempat yang berair (Kusumamiharja,
1992).

Untuk membunuh siput sebagai hospes perantara dapat diberikan CuSO4. Pengeringan
parit dan air genangan perlu dilakukan untuk mencegah paramphistomiasis dan parasitisme
lainnya.Pemberian obat cacing secara rutin dapat dilakukan untuk pengendalian parasit
gastrointestinal. Pengobatan paramphistomiasis dapat dilakukan dengan pemberian CCl4 dan
hexacloethan yang memberikan respon bagus terhadap cacing dewasa (Kaufmann, 1996;
Morgan, 2003). Selain pengobatan dan kontrol hospes perantara, sanitasi kandang juga perlu
dijaga. Pakan diusahakan terhindar dari kontaminasi.

Protozoa yang ditemukan saat melakukan pemeriksaan dengan metode apung adalah
Eimeria sp. Eimeria sp. merupakan protozoa obligate intracellular yang menyerang sel-sel
epitel dan kelenjar-kelenjar pada saluran pencernaan sehingga menyebabkan koksidiosis pada
hewan (Makau, 2014). Ookista Eimeria sp. berbentuk bulat, ovoid dan elips dengan
permukaan dinding ookista halus, homogen, dan transparan. Umumnya oosista tidak
berwarna, namun beberapa diantaranya mempunyai warna kuning muda.

Eimeria sp. adalah salah satu protozoa saluran pencernaan yang susah untuk
dikendalikan di industri peternakan. Penyakit ini dilaporkan mampu mempengaruhi
pertumbuhan, produktivitas serta tingkat morbiditas dan mortalitas ternak (Astiti et al. 2011;
Marquez 2014). Spesies Eimeria sp. pada sapi yang memiliki tingkat patogenitas tinggi
adalah E. bovis dan E. zuernii karena kedua spesies tersebut dapat menyebabkan kematian,
terutama pada ternak muda (Rehman et al. 2011; Koutny et al. 2012).

Walaupun Eimeria sp. yang non patogen tidak menimbulkan kematian, namun spesies-
spesies tersebut menyebabkan kerusakan pada jaringan sehingga meningkatkan kepekaan
terhadap infeksi penyakit menular lainnya. Ekawasti et al. (2019) menyatakan bahwa
koksidiosis berpotensi sebagai pembuka pintu terhadap agen-agen penyakit lainnya, seperti
virus, bakteri, jamur atau parasit lainnya. Oleh karena itu, manajemen strategi pengendalian
koksidiosis pada industri peternakan harus diperhatikan, terutama melakukan deteksi untuk
mengetahui spesies Eimeria yang berdistribusi di peternakan tersebut. Strategi pengendalian
yang kurang tepat akan meningkatkan kasus kosksidiosis karena oosista akan terus
mencemari lingkungan dan berpotensi menjadi sumber penularan bagi ternak, khususnya
ternak muda.

Pencegahan koksidiosis dapat dilakukan dengan penerapan dan tindakan biosecurity dan
pemberian vaksin secara teratur. Selain itu meningkatkan sanitasi dan kebersihan kandang.
Sanitasi difokuskan pembuangan atau pembersihan peralatan kandang yang tercemar karena
oosista koksidia resisten terhadap desinfektan. Pemberian koksidiosidal dan koksidiostat juga
perlu pada hewan yang sakit.

4.2. Uji Kuantitatif


Metode Mc Master dapat menentukan tingkat keparahan infeksi telur cacing parasit dari
hasil perhitungan telur per gram feses (EPG) dengan menggunakan kamar hitung Mc Master
(Mukti, 2006). Feses ditambahkan dengan akuades lalu diaduk menggunakan mortar hingga
homogen. Selanjutnya dimasukkan larutan NaCl ke dalam tabung sentrifuge dan
ditambahkan larutan feses lalu kedua larutan tersebut dihomogenkan. Masukkan larutan ke
dalam kamar Mc Master dan didiamkan selama 5 menit agar telur mengapung ke permukaan.
Dengan mikroskop dihitung jumlah telur pada tiap kamar.
Pada pemeriksaan menggunakan kamar hitung McMaster, ditemukan sebanyak 960
ookista Eimeria sp. Hal ini menunjukan bahwa terdapat infeksi ringan Eimeria sp pada sapi.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Arsyitahlia (2019), Infeksi ringan Eimeria sp
apabila oosista yang ditemukan kurang dari 20.000 oosista/gram, infeksi sedang apabila lebih
dari 20.000 sampai 60.000 oosista/gram, dan infeksi berat apabila lebih dari 60.000
oosista/gram. Menurut Calnek et al. (1994) Koksidiosis yang parah dapat menyebabkan
kematian pada hewan. Infeksi ookista sebanyak 1-3000 dapat menyebabkan gejala
koksidiosis secara umum dan perdarahan pada tinja. Infeksi jumlah tinggi, yaitu 100.000
ookista menyebabkan tingginya morbiditas dan mortalitas serta penurunan bobot badan.
Pada metode sedimentasi secara kuantitatif ditemukan sedikit sekali telur
Paramphistomum dan Buxtonella. Hal ini menunjukkan bahwa sapi mengalami infeksi yang
sangat ringan.
BAB V
SIMPULAN
5.1. Simpulan
Untuk melakukan uji feses dapat dilakukan dengan uji kualitatif dan uji kuantitatif. Uji
kualitatif menggunakan uji apung dan uji sedimentasi untuk melihat morfologi telur cacing
sedangkan uji kuantitatif untuk menghitung jumlah telur cacing menggunakan Mc Master.
Metode apung (Floatation methode) digunakan untuk jenis telur cacing parasit yang dapat
mengapung dengan mengunakan larutan gula jenuh. Uji sedimentasi merupakan uji yang
digunakan untuk jenis telur parasit yang mengendap bersama feses. Metode Mc Master dapat
menentukan tingkat keparahan infeksi telur cacing parasit dari hasil perhitungan telur per
gram feses (EPG) dengan menggunakan kamar hitung Mc Master. Dari perhitungan
menggunakan Mc Master didapatkan bahwa sapi mengalami infeksi ringan koksidiosis.

5.2. Saran
Berikan anthelmentik berspektrum luas pada ternak setiap 3 bulan sekali.
DAFTAR PUSTAKA
Kusnoto. (2015). Ilmu Penyakit Helmin Kedokteran Hewan. Sidoarjo: Zifatama.
Widyani, Retno. 2016. Efektifitas Organic Supplement Energizer (OSE) terhadap
Helminthiasis pada Sapi Potong. JURNAL ILMU TERNAK, DESEMBER 2016,
VOL.16, NO.2

Ekawasti F, Nurcahyo W, Wardhana AH, Shibahara T, Tokoro M, Sasai K, Matsubayashi M.


2019. Molecular characterization of highly pathogenic Eimeria species among beef cattle
on Java Island, Indonesia. J Par Inter. 72:101927.

Darmin, S. 2014. Prevalensi paramphistomiasis pada sapi bali di Kecamatan Libureng,


Kabupaten Bone. Skripsi. Program studi kedokteran hewan. Fakultas kedokteran.
Universitas Hasanuddin, Makassar.

Indraswari AAS, Suwiti NK, Apsari IAP. 2017. Protozoa gastrointestinal: Eimeria
auburnensis dan Eimeria bovis menginfeksi sapi bali betina di nusa penida. Buletin
Veteriner Udayana 9(1): 112-116.

Sandjaja, B. 2007. Parasitologi Kedokteran Buku I: Protozoologi Kedokteran. Prestasi


Pustaka Publisher, Jakarta.
Ismail HA, Jeon HK, Yu YM, Do C, Lee YH. 2010. Intestinal parasite infection in pigs and
beef cattle in rural areas of Chungcheongnam-do, Korea. Korean Journal Parasitology
48(4): 347-349.

Taylor M.A., Coop R. L., Wall R..L.2016. Veterinary Parasitology, 4th Ed. Wiley Blackwell
Publishing, USA.

Kusumamiharja S.1992. Parasit dan parasitosis pada hewan ternak dan hewan piaraan
di Indonesia. Bogor: Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor.

Njoku TRF, Nwoko BEB. 2009. Prevalance of paramphistomiasis among sheep slaughtered
in some selected abattoirs in imo state, Nigeria. Science WorldJournal4(4):12-15.

Kaufmann, J. 1996. Parasitic Infection of Domestic Animal. Basel : Birkhäuser Verlag.

Khedri, J., Radfar, M.H., Borji, H., Mirzaei, M.2015. Prevalence and Intensity of
Paramphistomum Spp. In Cattle from South-Eastern Iran. Iran J Parasitol. 10(2) : 268-
272

Morgan BB. 2003. Veterinary Helminthology. Minneapolis: Burger Publishing Company

Subronto. 2007. Ilmu penyakit ternak II (mamalia) manajemen kesehatan ternak parasitisme
gastrointestinal dan penyakit metabolisme. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University
Press

Wegayehu T, Adamu H, Petros B. 2013. Prevalence of Giardia duodenalis and


Cryptosporodium species infection among children and cattle in North Shewa Zone,
Ethiopia. BioMed Central Infectious Disease 13(417): 1-7.

Wisesa IBGR, Siswanto FM, Putra TA, Oka IBM, Suratma NA. 2015. Prevalence of
Balantidium sp. in bali cattle at different areas of Bali. International Journal of
Agriculture Forestry and Plantation 1(Sept): 49-53.

Tantri Novese. Setyawati Tri Rima. Khotimah Siti. “Prevalensi dan Intensitas Telur Cacing
Parasit pada Feses Sapi (Bos Sp.) Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Pontianak
Kalimantan Barat. Jurnal Protobiont no.2 (2013): 102-106.

Foreyt, W. J. (2013). Veterinary Parasitology Reference Manual. Iowa: Blackwell.


Makau DN. 2014. A study of factors associated with the prevalence of coccidia infection in
cattle and its spatial epidemiology in Busia, Bungoma and Siaya Counties, Kenya
[Tesis]. [Nairobi (Kenya)]: University of Nairobi.

Calnek BW, Barnes HJ, Beard CW, Reid WM, Yoder HW. 1994. Diseases of Poultry. 9th
Ed. Iowa (US): Iowa State University Press.

Arsyitahlia, Ninis. 2019. Prevalensi Infeksi Eimeria spp. Pada Ayam Pedaging Yang Diberi
Pakan Tanpa Antibiotik Growth Promoters (AGP) Di Kabupaten Tabanan, Bali.
Indonesia Medicus Veterinus. Maret 2019 8(2): 186-192

Astiti LGS, Panjaitan T, Prisdiminggo. 2011. Identifikasi Parasit Internal pada Sapi Bali di
Wilayah Dampingan Sarjana Membangun Desa di Lokasi Bima. Dalam: Prasetyo LH,
Damayanti R, Iskandar S, Herawati T, Priyanto D, Puastuti W, Anggraeni A, Tarigan S,
Wardhana AH, Darmayanti NLPI, penyunting. Teknologi Peternakan dan Veteriner
untuk Peningkatan Produksi dan Antisipatif terhadap Perubahan Iklim. Prosiding
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 7-8 Juni 2011. Bogor
(Indonesia): Puslitbangnak. hlm. 384- 387.

Marquez JC. 2014. Calf intestinal health: assessment and diatery interventions [Disertation].
[Illinois (USA)]: University of Illinois at Urbana-Champaign

Rehman TU, Khan MN, Sajid MS, Abbas RZ, Arshad M, Iqbal Z, Iqbal A. 2011.
Epidemiology of Eimeria and associated risk factor in cattle of district Toba Tek Singh,
Pakistan. Parasitol Res. 108:1171-1177.

Koutny H, Joachim A, Tichy A, Baumgartner W. 2012. Bovine Eimeria species in Austria.


Parasitol Res. 110:1893-1901

Anda mungkin juga menyukai