Ditulis untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Diagnostik Laboratorium
Dosen Pengampu:
Drh. Trian Mahawan
Aldzalita Rizkika
130212200019
PENDAHULUAN
Pada sapi, umumnya infestasi cacing sering ditemukan pada saluran pencernaan dan
hati. Berdasarkan bentuknya, jenis cacing yang dapat menyerang sapi dapat dikelompokkan
menjadi tiga golongan yaitu cacing gilig (Nematoda), cacing pita (Cestoda) dan cacing daun
atau cacing hati (Trematoda) (Widyani,2016). Sedangkan protozoa yang dapat menyerang
sapi, biasanya merupakan protozoa gastrointestinal.
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah pada laporan ini adalah bagaimana
cara memeriksa keberadaan telur cacing menggunakan uji sedimentasi dan uji apung?
1.3. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan laporan ini adalah untuk mengetahui cara
memeriksa kemeradaan telur cacing menggunakan uji sedimentasi dan uji apung.
BAB II
MATERI DAN METODE
Pemeriksan telur cacing menggunakan sampel feses segar dapat dilakukan dengan
menggunakan beberapa metode, yaitu metode kualitatif dan metode kuantitatif. Metode
kualitatif dibagi menjadi uji sedimentasi sederhana dan uji apung sederhana sedangkan
metode kuantitatif dapat menggunakan uji Mc master.
2.1. Materi
Untuk melakukan pemeriksaan sampel feses diperlukan beberapa alat dan bahan sebagai
berikut:
2.2. Metode
1. Pertama-tama, plastik bersih disediakan lalu tangan dimasukkan ke dalam plastik tersebut
2. Selanjutnya, Feses diambil sebanyak 5 gram dengan tangan yang dibungkus oleh plastik ke
dalam rectum.
3. Tangan dikeluarkan dari rectum, lalu plastik dibalik sehingga feses berada di dalam plastik.
2. Air dimasukkan ke dalam cawan petri secukupnya lalu diaduk hingga homogen.
3. Feses dituang ke dalam gelas kerucut dan sambil disaring menggunakan saringan.
4. Air ditambahkan ke dalam gelas kerucut sampai volume menjadi 250 ml dan ditunggu
sampai lima menit atau sampai larutan mengendap dan air mulai jernih. Langkah ini diulang
sampai 3 kali.
6. Larutan ditambahkan pewarna methylen blue 1% ke dalam cawan petri sebanyak satu tetes
dengan menggunakan pipet.
3. Larutan gula jenuh dengan BJ 1,2 ditambahkan ke dalam corning tube sampai 15 ml.
5. Larutan dipindahkan dan dimasukkan ke dalam tabung sentrifus dan disentrifugasi dengan
kecepatan 1500rpm selama 2 menit.
6. Larutan ditambahkan dengan larutan gula jenuh BJ 1,2 sampai cembung.
7. Cover glass diletakkan di atas larutan dan ditunggu sampai lima menit
1. Feses ditimbang sebanyak 3 gram atau 3 ml untuk feses diare dan dimasukkan ke dalam
tabung sentrifus 50 ml.
2. Sebanyak 42 ml air ditambahkan dan diaduk sampai homogen, bisa juga dilakukan
homogenisasi dengan vortex.
3. Larutan disaring dan filtrat ditampung dalam tabung sentrifus 50 ml, kemudian kemudian
larutan dikocok dan dituangkan ke tabung 15 ml.
5. Supernatan dibuang kemudian ditambahkan larutan gula BJ 1,2 sampai total volume 15 ml.
7. Telur cacing di setiap grid dari slide Mc Mater lalu diidentifikasi lalu dihitung jumlahnya
menggunakan mikroskop perbesaran 40-100 kali.
BAB III
HASIL
No Gambar Jenis Uji Keterangan
.
1 Uji Kualitatif Temuan telur: Telur
Sedimentasi cacing
Sederhana Paramphistomum sp
Perbesaran Mikroskop
Stereo no.5
Metode apung (Floatation methode) digunakan untuk jenis telur cacing parasit yang
dapat mengapung dengan mengunakan larutan garam jenuh (Tantri, 2013). Sedangkan
metode sedimentasi adalah metode diagnostik parasitologi yang digunakan untuk
mengidentifikasi cacing Trematoda, acanthocephalans, dan beberapa cacing pita dan
nematoda yang telurnya tidak mengapung dalam uji apung. Uji sedimentasi merupakan uji
yang digunakan untuk jenis telur parasit yang mengendap bersama feses, seperti Fasciola sp,
Paramphistomum sp, dan Buxtonella sp. Metode ini untuk mengidentifikasi telur cacing yang
tidak dapat mengapung dalam pelarut gula garam dan memiliki berat jenis yang lebih besar
dibandingkan dengan pelarut gula (Foreyt, 2013). Pada metode sedimentasi sederhana, air
dialirkan ke dalam gelas kerucut lalu feses dimasukkan ke dalam gelas kerucut tersebut.
Selanjutnya feses dibiarkan mengendap sebentar sebelum supernatan dihilangkan. Hal ini
memungkinkan penghilangan partikel sampah yang terdapat dalam feses. Berbeda dengan uji
apung, metode sedimentasi hanya memiliki kemampuan dengan konsentrasi yang terbatas.
Pada pemeriksaan feses menggunakan uji kualitatif ditemukan satu telur cacing
menggunakan metode sedimentasi dan satu protozoa menggunakan metode apung. Pada
metode sedimentasi ditemukan telur cacing Paramphistomum sp. Cacing Paramphistomum
sp. menyebabkan terjadinya penyakit paramphistomiasis. Paraphistomiasis memiliki
distribusi geografis yang luas di daerah sub-tropis dan tropis. Cacing dewasa umumnya
dianggap patogenik untuk host terinfeksi, migrasi cacing dewasa di mukosa duodenum
menyebabkan enteritis akut, nekrosis dan hemoragi, anoreksia, polidipsia, diare berat dan
kematian (Khedri et al.,2015).
Salah satu jenis yang sering terdapat pada sapi adalah Paramphistomum cervi (Subronto,
2007). Hewan yang diserang Paramphistomum sp. sebagai hospes definitif, yaitu hewan
ternak (kerbau, sapi, domba, kambing) dan ruminansia lain. Paramphistomum spp. disebut
juga sebagai cacing hisap karena pada saat menempel, cacing ini menghisap makanan berupa
jaringan atau cairan tubuh hospesnya (Boray, 1959). Cacing muda Paramphistomum sp.
berpredeliksi di dalam usus halus dan akan bermigrasi ke dalam rumen dan retikulum setelah
dewasa. Daerah penyebaran Paramphistomum sp. adalah daerah yang memiliki suhu udara
25-30 0C dengan kelembaban kira-kira 85% (Darmin, 2014).
Infeksi Paramphistomum sp. terdiri atas dua fase, yaitu fase intestinal dan fase ruminal.
Pada fase intensital, bentuk infeksi cacing yang belum dewasa dalam usus halus dapat
menyebabkan edema, hemoragi, inflamasi, kerusakan vili usus, duodenitis dan abomasitis.
Pada kasus infeksi massal, pertumbuhan cacing menjadi lambat sehingga gejala klinis akan
terlihat lebih lama. Pada fase ruminal, cacing akan menyebabkan perubahan epitel dari rumen
yang menganggu kapasitas resorbsi. Pencernaan dan penyerapan yang rusak menyebabkan
anoreksia, diare dan kelemahan (Sandjaja, 2007; Darmin, 2014). Kadang-kadang ditemukan
juga pada sapi adanya pendarahan pada rektal setelah mengejan berkepanjangan. Tingkat
kematian pada kasus paramphistomiasis akut ialah 90% (Taylor et al.,2016).
Infeksi Paramphistomum sp. umumnya terjadi saat sapi sebagai hospes definitif
memakan rumput atau jerami yang mengandung metaserkaria. Metaserkaria adalah
larva infektif yang akan menembus dan memakan jaringan dari dinding usus halus
kemudian bermigrasi ke dalam rumen (Njoku and Nwoko, 2009). Kelangsungan hidup serta
penyebaran Paramphistomum sp.bergantung pada kehadiran siput (Lymnea rubiginosa)
sebagai hospes. Siput Lymnea rubiginosa yang biasanya hidup di sawah tidak tahan
kekeringan dan akan mati apabila tidak ditemukan tempat yang berair (Kusumamiharja,
1992).
Untuk membunuh siput sebagai hospes perantara dapat diberikan CuSO4. Pengeringan
parit dan air genangan perlu dilakukan untuk mencegah paramphistomiasis dan parasitisme
lainnya.Pemberian obat cacing secara rutin dapat dilakukan untuk pengendalian parasit
gastrointestinal. Pengobatan paramphistomiasis dapat dilakukan dengan pemberian CCl4 dan
hexacloethan yang memberikan respon bagus terhadap cacing dewasa (Kaufmann, 1996;
Morgan, 2003). Selain pengobatan dan kontrol hospes perantara, sanitasi kandang juga perlu
dijaga. Pakan diusahakan terhindar dari kontaminasi.
Protozoa yang ditemukan saat melakukan pemeriksaan dengan metode apung adalah
Eimeria sp. Eimeria sp. merupakan protozoa obligate intracellular yang menyerang sel-sel
epitel dan kelenjar-kelenjar pada saluran pencernaan sehingga menyebabkan koksidiosis pada
hewan (Makau, 2014). Ookista Eimeria sp. berbentuk bulat, ovoid dan elips dengan
permukaan dinding ookista halus, homogen, dan transparan. Umumnya oosista tidak
berwarna, namun beberapa diantaranya mempunyai warna kuning muda.
Eimeria sp. adalah salah satu protozoa saluran pencernaan yang susah untuk
dikendalikan di industri peternakan. Penyakit ini dilaporkan mampu mempengaruhi
pertumbuhan, produktivitas serta tingkat morbiditas dan mortalitas ternak (Astiti et al. 2011;
Marquez 2014). Spesies Eimeria sp. pada sapi yang memiliki tingkat patogenitas tinggi
adalah E. bovis dan E. zuernii karena kedua spesies tersebut dapat menyebabkan kematian,
terutama pada ternak muda (Rehman et al. 2011; Koutny et al. 2012).
Walaupun Eimeria sp. yang non patogen tidak menimbulkan kematian, namun spesies-
spesies tersebut menyebabkan kerusakan pada jaringan sehingga meningkatkan kepekaan
terhadap infeksi penyakit menular lainnya. Ekawasti et al. (2019) menyatakan bahwa
koksidiosis berpotensi sebagai pembuka pintu terhadap agen-agen penyakit lainnya, seperti
virus, bakteri, jamur atau parasit lainnya. Oleh karena itu, manajemen strategi pengendalian
koksidiosis pada industri peternakan harus diperhatikan, terutama melakukan deteksi untuk
mengetahui spesies Eimeria yang berdistribusi di peternakan tersebut. Strategi pengendalian
yang kurang tepat akan meningkatkan kasus kosksidiosis karena oosista akan terus
mencemari lingkungan dan berpotensi menjadi sumber penularan bagi ternak, khususnya
ternak muda.
Pencegahan koksidiosis dapat dilakukan dengan penerapan dan tindakan biosecurity dan
pemberian vaksin secara teratur. Selain itu meningkatkan sanitasi dan kebersihan kandang.
Sanitasi difokuskan pembuangan atau pembersihan peralatan kandang yang tercemar karena
oosista koksidia resisten terhadap desinfektan. Pemberian koksidiosidal dan koksidiostat juga
perlu pada hewan yang sakit.
5.2. Saran
Berikan anthelmentik berspektrum luas pada ternak setiap 3 bulan sekali.
DAFTAR PUSTAKA
Kusnoto. (2015). Ilmu Penyakit Helmin Kedokteran Hewan. Sidoarjo: Zifatama.
Widyani, Retno. 2016. Efektifitas Organic Supplement Energizer (OSE) terhadap
Helminthiasis pada Sapi Potong. JURNAL ILMU TERNAK, DESEMBER 2016,
VOL.16, NO.2
Indraswari AAS, Suwiti NK, Apsari IAP. 2017. Protozoa gastrointestinal: Eimeria
auburnensis dan Eimeria bovis menginfeksi sapi bali betina di nusa penida. Buletin
Veteriner Udayana 9(1): 112-116.
Taylor M.A., Coop R. L., Wall R..L.2016. Veterinary Parasitology, 4th Ed. Wiley Blackwell
Publishing, USA.
Kusumamiharja S.1992. Parasit dan parasitosis pada hewan ternak dan hewan piaraan
di Indonesia. Bogor: Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor.
Njoku TRF, Nwoko BEB. 2009. Prevalance of paramphistomiasis among sheep slaughtered
in some selected abattoirs in imo state, Nigeria. Science WorldJournal4(4):12-15.
Khedri, J., Radfar, M.H., Borji, H., Mirzaei, M.2015. Prevalence and Intensity of
Paramphistomum Spp. In Cattle from South-Eastern Iran. Iran J Parasitol. 10(2) : 268-
272
Subronto. 2007. Ilmu penyakit ternak II (mamalia) manajemen kesehatan ternak parasitisme
gastrointestinal dan penyakit metabolisme. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University
Press
Wisesa IBGR, Siswanto FM, Putra TA, Oka IBM, Suratma NA. 2015. Prevalence of
Balantidium sp. in bali cattle at different areas of Bali. International Journal of
Agriculture Forestry and Plantation 1(Sept): 49-53.
Tantri Novese. Setyawati Tri Rima. Khotimah Siti. “Prevalensi dan Intensitas Telur Cacing
Parasit pada Feses Sapi (Bos Sp.) Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Pontianak
Kalimantan Barat. Jurnal Protobiont no.2 (2013): 102-106.
Calnek BW, Barnes HJ, Beard CW, Reid WM, Yoder HW. 1994. Diseases of Poultry. 9th
Ed. Iowa (US): Iowa State University Press.
Arsyitahlia, Ninis. 2019. Prevalensi Infeksi Eimeria spp. Pada Ayam Pedaging Yang Diberi
Pakan Tanpa Antibiotik Growth Promoters (AGP) Di Kabupaten Tabanan, Bali.
Indonesia Medicus Veterinus. Maret 2019 8(2): 186-192
Astiti LGS, Panjaitan T, Prisdiminggo. 2011. Identifikasi Parasit Internal pada Sapi Bali di
Wilayah Dampingan Sarjana Membangun Desa di Lokasi Bima. Dalam: Prasetyo LH,
Damayanti R, Iskandar S, Herawati T, Priyanto D, Puastuti W, Anggraeni A, Tarigan S,
Wardhana AH, Darmayanti NLPI, penyunting. Teknologi Peternakan dan Veteriner
untuk Peningkatan Produksi dan Antisipatif terhadap Perubahan Iklim. Prosiding
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 7-8 Juni 2011. Bogor
(Indonesia): Puslitbangnak. hlm. 384- 387.
Marquez JC. 2014. Calf intestinal health: assessment and diatery interventions [Disertation].
[Illinois (USA)]: University of Illinois at Urbana-Champaign
Rehman TU, Khan MN, Sajid MS, Abbas RZ, Arshad M, Iqbal Z, Iqbal A. 2011.
Epidemiology of Eimeria and associated risk factor in cattle of district Toba Tek Singh,
Pakistan. Parasitol Res. 108:1171-1177.