Oleh:
Jaka Sejati
3203122053
Puji syukur kehadirat Tuhan yang maha Esa atas segala limpahan rahmat, hidayah, taufik, dan
ilhamnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya
yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk
maupun pedoman bagi pembaca. Makalah ini disusun dalam rangka menyelesaikan tugas dari dosen
kami Ibu Armita Sari, selaku dosen pengampu mata kuliah psikologi pendidikan.
Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para
pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya
dapat menjadi lebih baik lagi.
Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang sayai miliki sangat kurang.
Oleh karena itu, saya harapkan kepada pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat
membangun untu kesempuraan makalah ini.
Medan,01 Maret
Jaka Sejati
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
PETA KONSEP
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan penulisan
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
PETA KONSEP
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Teori adalah sekumpulan dalil yang berkaitan secara sistematis yang menetapkan kaitan
sebab akibat diantara variabel yang saling bergantung. Belajar adalah perubahan tingkah laku
yang relatif tetap terjadi sebagai hasil latihan atau pengalaman. Perubahan yang dimaksud
harus relatif permanen dan tetap ada untuk waktu yang cukup lama. Oleh karena itu sangat
dibutuhkan teori-teori belajar.
Teori belajar yang secara umum dapat dikelompokkan dalam empat kelompok atau aliran
meliputi:
(a) teori belajar behaviouristik,
(b) teori belajar kognitif,
(c) teori belajar humanistik,
(d) teori belajar sibernetik.
Keempat aliran teori belajar tersebut memiliki karakteristik yang berbeda, yakni aliran
behaviouristik menekankan pada “hasil” daripada proses belajar. Aliran kognitif menekankan
pada “proses” belajar. Aliran humanistik menekankan pada “isi” atau apa yang dipelajari.
Aliran sibernetik menekankan pada “sistem informasi” yang dipelajari.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan. Adapun
permasalahan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah teori belajar:
behavioristik,
kognitif,
humanistik, dan
sibernetik .
2. Bagaimanakah aplikasi dari teori belajar behavioristik, kognitif, humanistik, dan sibernetik
di dalam kelas?
3. Bagaimanakah implementasi teori belajar perspektif Islam?.
4. Bagaimana teori dan aplikasi terapi tingkah laku?
C. Tujuan penulisan
1. Memahami teori belajar serta implikasinya dalam pembelajaran
2. Menerapkan serta mengapliaksikan teori belajar
3. Meninjau implimentasi teori belajar dalam islam
4. Memahami penerapan toeri tingkah laku
BAB II
PEMBAHASAN
TEORI-TEORI BELAJAR DAN IMPLIKASINYA
A. Teori Belajar
Belajar merupakan ciri khas manusia yang membedakannya dengan binatang. Oleh karena itu
tenaga pengajar perlu memahami terlebih dahulu teori belajar, karena akan membantu pelajar
untuk memahami proses belajar yang terjadi didalam dirinya, dengan kondisi ini pengajar
dapat mengerti kondisi-kondisi dan faktor-faktor yang mempengaruhi, memperlancar atau
menghambat proses belajar.
Teori ini merupakan sumber hipotesis atau dugaan-dugaan tentang proses belajar yang dapat
diuji kebenarannya melalui eksperimen atau penelitian, dengan demikian dapat meningkatkan
pengertian seseorang tentang proses belajar mengajar.
1. Aliran Behaviouristik
Pandangan tentang belajar menurut aliran tingkah laku, tidak lain adalah perubahan
dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respons. Atau dengan
kata lain,belajar adalah perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk
bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respons.
Para ahli yang banyak berkarya dalam aliran ini antara lain: Thorndike, (1911); Watson,
(1963); Hull, (1943); dan Skinner, (1968).
A. Thorndike
Menurut Thorndike (1911), salah seorang pendiri aliran tingkah laku, belajar adalah
proses interaksi antara stimulus (yang mungkin berupa pikiran, perasaan, atau gerakan) dan
respons (yang juga bisa berupa pikiran, perasaan, atau gerakan).
B. Watson
Berbeda dengan Thorndike, menurut Watson pelopor yang datang sesudah Thorndike,
stimulus dan respons tersebut harus berbentuk tingkah laku yang “bisa diamati”
(Observable) . Dengan kata lain, Watson mengabaikan berbagai perubahan mental yang
mungkin terjadi dalam belajar dan menganggapnya sebagai faktor yang tidak perlu diketahui.
C. ClarkHull
Menurut Hull, tingkah laku seseorang berfungsi untuk menjaga kelangsungan hidup.
Oleh karena itu, dalam teori Hull, kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis
menempati posisi sentral. Kebutuhan dikonsepkan sebagai dorongan, seperti lapar, haus,
tidur, hilangnya rasa nyeri, dan sebagainya. Stimulus hampir selalu dikaitkan dengan
kebutuhan biologis ini, meskipun respons mungkin bermacam-macam bentuknya.
D.Skinner
Menurut Skinner, deskripsi hubungan antara stimulus dan repons untuk menjelaskan
perubahan tingkah laku (dalam hubungannya dengan lingkungan) menurut versi Watson
adalah deskripsi yang tidak lengkap. Respons yang diberikan oleh siswa tidaklah sesederhana
itu, sebab pada dasarnya setiap stimulus yang diberikan juga menghasilkan berbagai
konsekuensi, yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkah laku siswa.
2. Aliran Kognitif
Teori belajar kognitif merupakan suatu teori belajar yang lebih mementingkan proses belajar
daripada hasil belajar itu sendiri. Bagi penganut aliran ini, belajar tidak sekadar melibatkan
hubungan antara stimulus dan respons. Namun lebih dari itu, belajar melibatkan proses berpikir
yang sangat kompleks.
Menurut teori ini, ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seorang individu melalui proses
interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan. Proses ini tidak berjalan terpatah-patah,
terpisah-pisah, tetapi melalui proses yang mengalir, bersambung-sambung, menyeluruh.
Dalam praktik, teori ini antara lain terwujud dalam “tahap-tahap perkembangan” yang diusulkan
oleh Jean Piaget, “belajar bermakna”nya Ausubel, dan “belajar penemuan secara bebas” (free
discovery learning) oleh Jerome Bruner.
a.Piaget
Menurut Jean Piaget (1975), bahwa proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga tahapan, yakni
(1) asimilasi, (2) akomodasi, (3) equilibrasi (penyimpangan) . Proses asimilasi adalah proses
penyatuan informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam benak siswa. Akomodasi adalah
penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru. Equilibrasi adalah penyesuaian
berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi.
b.Ausubel
Menurut Ausubel (1968), siswa akan belajar dengan baik jika apa yang disebut
“pengatur kemajuan (belajar)” (Advance Organizers) didefinisikan dan dipresentasikan
dengan baik dan tepat kepada siswa.
Ausubel percaya bahwa “advance organizers” dapat memberikan tiga macam manfaat, yakni:
1. Dapat menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi belajar yang akan
dipelajari oleh siswa.
2. dapat berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara apa yang sedang
dipelajari siswa “saat ini” dengan apa yang “akan” dipelajari siswa.
3. mampu membantu siswa untuk memahami bahan belajar secara lebih
Mudah.
c.Bruner
Menurut Bruner, proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru
memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu aturan (termasuk konsep, teori,
definisi, dan sebagainya) melalui contoh-contoh yang menggambarkan (mewakili) aturan
yang menjadi sumbernya. Dengan kata lain, siswa dibimbing secara induktif untuk
memahami suatu kebenaran umum.
3. Afektif
Afektif terdiri dari lima tingkatan, yaitu
1) Pengenalan.
2) Merespons.
3) Penghargaan.
4) Pengorganisasian.
5) Pengamalan.
Pada tingkatan yang lebih praktis, taksonomi ini telah banyak membantu praktisi
pendidikan untuk memformulasikan tujuan-tujuan belajar dalam bahasa yang mudah
dipahami, operasional, serta dapat diukur.
b.kolb
Sementara itu, seorang ahli lain yang bernama Kolb membagi tahapan belajar menjadi
empat tahap, yaitu:
1) Pengalaman konkret.
2) Pengamatan aktif dan reflektif.
3) Konseptualisasi.
4) Eksperimentasi aktif.
a) Pada tahap pertama dalam proses belajar, seorang siswa hanya mampu sekadar ikut
mengalami suatu kejadian.
b) Pada tahap kedua, siswa tersebut lambat laun mampu mengadakan observasi aktif
terhadap kejadian itu, serta mulai berusaha memikirkan dan memahaminya.
c) Pada tahap ketiga, siswa mulai belajar untuk membuat abstraksi atau “teori”
tentang sesuatu hal yang pernah diamatinya.
Pada tahap akhir, siswa sudah mampu mengaplikasikan suatu aturan umum ke
situasi yang baru.
Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa
pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur
dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah
memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar.
Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yang sudah ada
melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan
dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut.
Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang
diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami
oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang
selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik
mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu
dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses
evaluasi belajar, pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga
hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang
memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan
mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat
otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti
kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai
dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur,
maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan
ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam
belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan
atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang
perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk
perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai
penentu keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku
sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar
diri pebelajar.
C. Ibnu sina
Konsep metode pengajaran yang ditawarkan Ibn Sina antara lain terlihat pada setiap materi
pelajaran. Dalam setiap pembahasan materi pelajaran, Ibn Sina selalu membicarakan tentang
cara mengajarkan kepada anak didik. Berdasarkan pertimbangan psikologisnya, Ibn Sina
berpendapat bahwa suatu materi pelajaran tertentu tidak akan dapat dijelaskan kepada
bermacam-macam anak didik dengan satu cara saja, melainkan harus dicapai dengan berbagai
cara sesuai dengan perkembangan psikologisnya. Penyampaian materi pelajaran pada anak
menurutnya harus disesuaikan dengan sifat dari materi pelajaran tersebut, sehingga antara
metode dengan materi yang diajarkan tidak akan kehilangan daya relevansinya. Metode
pengajaran yang ditawarkan Ibn Sina antara lain metode talqin, demonstrasi, pembiasaan dan
teladan, diskusi, magang, dan penugasan.
D. Al-ghazali
Pengertian Belajar
1. Belajar untuk membentuk insan kamil.
2. Cara Belajar/mengajar (metode)
- Berwudhu
- Menghindar dari dosa
- Teladan
- Pembiasaan
E. Al-zamuji
Pengertian Belajar: belajar didasarkan karena Allah SWT.
- Cara mengajar:
Berdasarkan analisa Mochtar Affandi, bahwa dari segi metode pembelajaran yang dimuat Al-
Zarnuji dalam kitabnya itu meliputi dua kategori. Pertama, metode yang bersifat etik antara
lain mencakup niat dalam belajar. Dan metode yang bersifat teknik strategi meliputi cara
memilih pelajaran, memilih guru, memilih teman dan langkah-langkah dalam belajar.
F. Ibnu jama’ah
Pengertian Belajar
-Belajar dikarenakan Allah SWT.
Metode Pengajaran/ cara mengajar
Konsep Ibn Jam’ah tentang metode pembelajaran banyak ditekankan pada hafalan
ketimbang dengan metode lain. Sebagaimana dikatakan bahwa hafalan sangat penting dalam
proses pembelajarannya, sebab ilmu didapat bukan dari tulisan di buku, melainkan dengan
pengulangan secara terus-menerus.
- Metode hafalan memang kurang memberikan kesempatan kepada akal untuk
menyalahgunakan secara maksimal dalam penajaman proses berpikir. Namun, disis lain,
hafalan sesungguhnya menantang kemampuan memori akal untuk selalu aktif dan konsentrasi
dengan pengetahuan yang didapat.
- Sejalan dengan metode pembelajaran ini, Ibn Jam’ah tampak juga menekankan
tentang pentingnya menciptakan kondisi yang mendorong timbulnya kreativitas para siswa.
Menurut Ibn Jam’ah bahwa kegiatan belajar tidak hanya digantungkan sepenuhnya pada
pendidik selaku orang yang memberikan informasi dan ilmu pengetahuan, melainkan juga
pada anak didik. Bagi Ibn Jam’ah peserta didik dapat diposisikan sebagai subyek pendidikan.
Untuk itu perlu diciptakan peluang-peluang yang memungkinkan dapat mengembangkan
daya kreasi dan daya intelek peserta didik oleh peserta didik itu sendiri, disamping peranan
yang dilakukan oleh orang lain. Konsep ini selanjutnya membawa kepada apa yang dikenal
sebagai pemberdayaan peserta didik.
BAB III
TEORI DAN APLIKASI TERAPI TINGKAH LAKU
1. Pandangan Dasar
Sebelum kita mengulas tentang proses dan penerapan dari terapi ini, kita perlu tahu
pandangan dasar dari terapi ini pada manusia itu sendiri. Dimana landasan pijakan terapi
tingkah laku ini yaitu pendekatan behavioristik, pendekatan ini menganggap bahwa “Manusia
pada dasarnya dibentuk dan ditentukan oleh lingkungan sosial budayanya. Segenap tingkah
laku manusia itu dipelajari”. Ini merupakan anggapan dari behavioristik radikal. Namun
behavioristik yang lain yaitu behavioristik kontemporer, yang merupakan perkembangan dari
behavioristik radikal menganggap bahwa setiap individu sebenarnya memiliki potensi untuk
memilih apa yang dipelajarinya. Ini bertentangan dengan prinsip behavioris yang radikal,
yang menyingkirkan kemungkinan individu menentukan diri. Namun, meskipun begitu,
kedua behaviorisme ini tetap berfokus pada inti dari behaviorisme itu sendiri yaitu bagaimana
orang-orang belajar dan kondisi-kondisi apa saja yang menentukan tingkah laku mereka.
Pendekatan tingkah laku memiliki ciri yang unik yang membedakannya dengan pendekatan
yang lain, yaitu:
- Perhatian lebih berpusat pada tingkah laku yang tampak dan spesifik
- Kecermatan dan penguraian tujuan-tujuan treatment
- Perumusan prosedur treatment yang spesifik yang sesuai dengan masalah
- Penaksiran objektif atas hasil-hasil terapi
Jadi pada dasarnya, tujuan terapi ini adalah memperoleh tingkah laku baru, penghapusan
tingkah laku yang maladaptif, serta memperkuat dan mempertahankan tingkah laku yang
diinginkan.
Sedangkan teori dasar dari pendekatan ini yaitu teori Classical Conditioning (Pavlov) dan
Operant Conditioning (Skinner).
1. Classical conditioning merupakan pengkondisian klasik yang melibatkan stimulus tak
terkondisi (UCS) yang secara otomatis dapat membangkitkan respon berkondisi (CR), yang
sama dengan respon tak berkondisi (UCR) bila diasosiasikan dengan stimulus tak berkondisi
(UCS). Contohnya, jika kita memberikan makanan kucing (UCS) maka membangkitkan air
liur kucing (UCR). Berikutnya, ketika setiap kita memberikan makanan pada kucing (UCS)
sambil membunyikan bel (CS) maka kucing akan mengeluarkan air liur (UCR) karena diberi
makanan. Jika hal tersebut dilakukan berulang kali, berikutnya saat kita membunyikan bel
(CS) maka secara otomatis kucing akan mengeluarkan air liur (CR). Hal inilah yang
dinamakan proses pembelajaran yang dikarenakan asosiasi.
2. Operant Conditioning merupakan pengondisian instrumental yang melibatkan ganjaran
(reward atau punishment) kepada individu atas pemunculan tingkah lakunya (yang
diharapkan) pada saat tingkah laku itu muncul. Contohnya, jika kita ingin membuat seorang
anak mengurangi kebiasaan bermain games dan meningkatkan intensitas belajarnya. Maka
pertama kita harus membuat anak betah duduk di meja belajarnya. Hal tersebut dapat
dilakukan dengan memberikan anak pujian (reinforcement) setiap dia duduk di kursi
belajarnya. Bila intensitas waktu anak untuk duduk di kursi belajarnya dan belajar maka
reinforcement di tingkatkan, mungkin dengan mengganti pujian dengan hadiah. Tindakan
tersebut dilakukan hingga menjadi kebiasaan rutin anak.
2. Proses Terapi
a. Tujuan terapi
Tujuan umum yaitu menciptakan kondisi baru untuk belajar. Dengan asumsi bahwa
pemeblajaran dapat memperbaiki masalah perilaku. Sedangkan terapi perilaku kontemporer
menekankan peran aktif klien dalam menentukan tentang pengobatan mereka.
a. Fungsi dan peran terapi
Terapis behavior harus memainkan peran aktif dan direktif dalam pemberian treatment
yaitu dalam penerapan pengetahuan ilmiah dalam memecahkan masalah-masalah para
kliennya. Secara khasnya, terapis berfungsi sebagai guru, pengarah, dan ahli dalam
mendiagnosis tingkah laku yang maladaptif dan dalam menentukan prosedur-prosedur
penyembuhan yang diharapkan mengarah pada tingkah laku yang baru. Fungsi penting
lainnya adalah peran terapis sebagai model bagi klien. Bandura mengungkapkan bahwa salah
satu proses fundamental yang memungkinkan klien bisa mempelajari tingkah laku baru
adalah imitasi atau pencontohan sosial yang disajikan oleh terapis. Karena klien sering
memandang terapis sebagai orang yang patut diteladani, klien sering kali meniru sikap-sikap,
nilai-nilai, kepercayaan-kepercayaan, dan tingkah laku terapis. Jadi, terapis harus menyadari
peranan penting yang dimainkannya dalam proses identifikasi dari klien. Terapis yang tidak
menyadari kekuatan yang dimilikinya dalam mempengaruhi dan membentuk cara berpikir
dan bertindak kliennya, berarti terapis mengabaikan arti penting kepribadiannya sendiri
dalam proses terapi
b. Pengalaman klien dalam terapi
Pengalaman klien dalam terapi sangat mempengaruhi keberhasilan terapi. Dimana bila
klien tidak mau diajak bekerja sama atau aktif maka tipis kemungkinan keberhasilan dari
terapi.
c. Hubungan antara terapi dan klien
Hubungan antara terapi dan klien memberi kontribusi yang signifikan bagi proses perubahan
perilaku. Sehingga terapis dituntut memilki skill yang tinggi dalam membangun rapport pada
klien.
3. Penerapan Terapi :
4. Teknik dan Prosedur
a.Training Relaksasi,
Merupakan teknik untuk menanggulangi stress yang dialami dalam kehidupan sehari-hari,
yang mana seringnya dimanifestasikan dengan simtom psikosomatik, tekanan darah tinggi
dan masalah jantung, migrain, asma dan insomnia. Tujuan metode ini sebagai relaksasi otot
dan mental. Dalam teknik ini, klien diminta rileks dan mengambil posisi pasif dalam
lingkungannya sambil mengerutkan dan merilekskan otot secara bergantian. Hal tersebut
dapat dilakukan dengan menarik nafas yang dalam dan teratur sambil membanyangkan hal-
hal yang menyenangkan.
b. Desensitisasi Sistemik,
Merupakan teknik yang cocok untuk menangani fobia-fobia, tetapi juga dapat diterapkan
pada penanganan situasi penghasil kecemasan seperti situasi interpersonal, ketakutan
menghadapi ujian, ketakutan-ketakutan yang digeneralisasi, kecemasan-kecemasan neurotik
serta impotensi dan frigiditas seksual. Teknik ini melibatkan relaksasi dimana klien dilatih
untuk santai dan keadaan-keadaan santai dengan pengalaman-pengalaman pembangkit
kecemasan yang dibayangkan atau yang divisualisasi. Situasi-situasi dihadirkan dalam suatu
rangkaian dari yang sangat tidak mengancam kepada yang sangat mengancam. Tingkatan
stimulus-stimulus penghasil kecemasan dipasangkan secara berulang-ulang dengan stimulus-
stimulus penghasil keadaan santai sampai kaitan antara stimulus-stimulus penghasil
kecemasan dan respons kecemasan tersebut terhapus.
c.Latihan Asertif
Merupakan teknik terapi yang menggunakan prosedur-prosedur permainan peran dalam
terapi. Latihan asertif ini akan membantu bagi orang-orang yang:
-Tidak mampu mengungkapkan kemarahan/perasaan tersinggung
-Menunjukkan kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk
mendahuluinya.
- Memiliki kesulitan untuk mengatakan ‘tidak’.
- Mengalami kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan respon-respon positif lainnya.
- Merasa tidak punya hak untuk memiliki perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran sendiri.
Fokus terapi ini adalah mempraktekkan kecakapan-kecakapan bergaul yang diperoleh melalui
permainan peran sehingga individu-individu diharapkan mampu mengatasi
ketidakmemadaiannya dan belajar mengungkapkan perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran
mereka secara terbuka disertai kenyakinan bahwa mereka berhak untuk menunjukkan reaksi-
reaksi yang terbuka itu.
e. Self-Management Programs
Teknik ini mencoba menyatukan unsur kognitif dalam proses perubahan perilaku, dengan
asumsi bahwa klienlah yang paling tau apa yang mereka butuhkan. Konselor yang
mempertimbangkan apakah sesi terapi berjalan baik atau tidak, disini konselor merupakan
mediator
.
f. Self-Directed Behavior
Merupakan teknik dimana perubahan perilaku diarahkan pada diri klien itu sendiri. Klienlah
harus merasa bahwa terapi ini penting untuk mengatasi masalahnya. Contohnya, dalam
masalah obesitas. Hal yang dapat dilakukan yaitu misalnya meminta klien untuk menuliskan
program perubahan dirinya dalam diari. Jam berapa dan berapa kali ia akan makan. Jika ia
tidak berhasil, ia harus menuliskan perasaan dan sebab-sebab hal tersebut didalam diarinya.
Atau jika program telah dijalankan, klien dapat memberikan hadiah untuk dirinya sendiri
misalnya pergi shopping.
g. Multimodal Terapi
Didasarkan pada asumsi bahwa semakin banyak pengetahuan yang didapatkan klien selama
terapi maka akan semakin sedikit kemungkinan klien akan mengalami masalah lamanya.
Teknik ini menggunakan pendekatan BASIC ID (behavior, affective respons, sensations,
images, cognitions, interpersonal relationships, dan drugs/biologi.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Teori behaviouristik menekankan pada “hasil” daripada proses belajar. Teori kognitif
menekankan pada “proses” belajar. Teori humanistik menekankan pada “isi” atau apa yang
dipelajari. Teori sibernetik menekankan pada “sistem informasi” yang dipelajari.
B. Saran
Sebagai seorang pengajar perlu sekali mengetahui teori-teori belajar agar pendidikan di
Indonesia menjadi semakin lebih baik di masa sekarang dan yang akan datang.kritik dan
saran yang membangun sangat kami harapkan,untuk kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA