Anda di halaman 1dari 14

Pengaruh VOC Terhadap Aktivitas Pelayaran dan Perdagangan

Maritim di Nusantara
Sejarah Maritim A, Kelompok 3 :
Bambang Bayu Pamungkas (121811433026)
Mochammad Andafi Naufal (121811433050)

Abstrak

Tulisan ini menjelaskan mengenai kedatangan VOC sebagai sebuah


pengaruh yang serius terhadap perkembangan politik maupun perdagangan di
Nusantara. Keunggulan VOC dalam bidang birokrasi dan militer memberikan
kekuatan lebih kepadanya hingga dapat menegakkan sistem monopoli dalam
setiap perdagangan di Hindia Belanda. Dalam tulisan ini akan membahas
mengenai dua hal yakni: (i) peran sekaligus penaklukan yang telah dilakukan
VOC sehingga membuat banyak kota-kota maritim di Nusantara pada masa itu
mengalami keruntuhan dan (ii) hubungan perdagangan yang terjalin antara VOC
dengan orang-orang Tionghoa sebagai mitra yang saling menguntungkan.
Rentang waktu yang digunakan dalam narasi ini ialah pada saat Indonesia
statusnya masih belum merdeka dan berada dibawah bayang-bayang VOC.

Kata Kunci : VOC, Penaklukan, Perdagangan.

Latar Belakang

Pertama kali bangsa Eropa melakukan penjelajahan samudera dimulai


sekitar abad ke-15, pemicu mereka memutuskan untuk melakukan penjelajahan
samudera disebabkan oleh faktor terputusnya jalur perdagangan mereka di laut
tengah yang menghubungkan antara benua Asia dengan benua Eropa, nantinya
gerakan eksplorasi Samudera ini akan dikenal dengan sebutan The Age of
Discovery. Penyebabnya ialah kondisi politik selepas berlangsungnya Perang
Salib sekitar tahun 1096 – 1291. Ditambah dengan jatuhnya (Konstantinopel)
ibukota Romawi Timur ke tangan Dinasti Turki Utsmani pada tahun 1453
dibawah pimpinan Sultan Mahmud II, dimana ia menerapkan kebijakan yang
tentu saja mempersulit bagi para pedagang-pedagang asal Eropa yang ingin

1
melintasi daerah kekuasaan miliknya dengan aman, sehingga bangsa Eropa lebih
memilih untuk melewati jalur samudera mencari jalan memutar dibanding
berurusan dengan kekuatan militer milik Turki Utsmani yang sedang berada pada
masa puncak kejayaan. Hal ini tentu saja menjadi semacam tanda sebagai sebuah
awal lahirnya kolonialisme diseluruh dunia. Karena eksplorasi samudera ini pada
dasarnya menjadi alasan kuat bagi bangsa Eropa dalam menemukan dunia baru
yang sebelumnya belum pernah mereka lihat, sekaligus turut memberikan
sumbangan peningkatkan penting terhadap perkembangan ilmu pengetahuan pada
masa tersebut.

Tentu saja perkembangan teknologi disini memiliki peran sangat besar


disamping keberanian yang dimiliki oleh bangsa Eropa sendiri baik itu Inggris,
Spanyol, Portugis maupun Belanda. Hal ini tentu saja diperlukan agar
mempermudah segala urusan mereka dalam melakukan penjelajahan mengarungi
luasnya samudera yang terkenal ganas. Perkembangan kemajuan teknologi yang
dimaksud antara lain seperti mulai bermunculnya industri-industri pembuatan
kapal milik bangsa Eropa yang dinilai mampu menghasilkan kapal-kapal yang
secara standar layak untuk berlayar diberbagai macam situasi yang tidak menentu
ditengah samudera. Ditambah lagi kemajuan dalam bidang ilmu navigasi kelautan
juga menjadi faktor kunci yang membuat mereka dapat sukses mengarungi
samudera dengan selamat hingga sampai ketempat tujuan, yakni tempat dimana
dunia baru berada. Hasrat berlebih yang dimiliki oleh bangsa Eropa pada masa itu
disertai keingintahuan yang tinggi dan pada akhirnya mampu memotivasi mereka
untuk mampu menemukan jalur rute perdaganan lain yang memutar menuju benua
Asia, selain itu cerita yang beredar dimasyarakat seperti petualangan Marcopolo
juga turut meningkatkan semangat para generasi muda dengan harapan dapat
melihat dunia baru sama seperi yang Marcopolo lihat. Juga kebijakan 3G (Gold,
Gospel, Glory) di beberapa negara Eropa juga turut menjadi motivasi tersendiri
bagi para penjelajah asal Eropa tersebut.

2
Gambar 1. Peta Jalur Pelayaran Bangsa Eropa

(Sumber: Pelayaran Bangsa Portugis dan Spanyol Dalam Mencari Benua


Australia oleh Baihaqi Aditya, S.Pd)

Eksplorasi samudera inilah yang menjadi alasan kuat mengapa bangsa


Eropa mampu menemukan Nusantara, yang dimana wilayah ini terkenal sebagai
sumber sekaligus pusat rempah-rempah di dunia. Disini orang-orang Portugis
berperan sebagai pelopor dalam pelayaran mencari tanah asal rempah-rempah ini
berasal, kemudian disusul oleh para petualang sekaligus para pedagang asal
Spanyol, Inggris, dan Belanda. Komoditas rempah pada waktu itu sangatlah
bernilai, bahkan harga satu gram dari rempah pada masa tersebut harganya dapat
lebih mahal dari satu gram emas. Nilai ekonomi dari rempah yang sangat tinggi
inilah yang menjadi penarik kedatangan bangsa Eropa ke wilayah Nusantara. Para
pedagang asal Belanda juga termasuk dalam salah satunya yang berusaha
menjalin hubungan dagang dengan wilayah-wilayah di Nusantara. Semakin
banyaknya para pedagang Belanda yang datang ke Nusantara ini ternyata
menciptakan permasalahan baru, yakni persaingan diantara mereka sendiri.
Persaingan ini berdampak pada penentuan harga rempah yang akhirnya
menyebabkan penurunan keuntungan dari hasil penjualan rempah-rempah di
benua Eropa. Hal ini mendorong dibentukannya sebuah perusahaan yang
menghimpun perusahaan-perusahaan dagang asal Belanda untuk menghindari
persaingan serta mengurangi kerugian akibat perang dagang. Maka pada tanggal
20 Maret 1602 Staten Generaal mengeluarkan sebuah surat izin pada perusahaan

3
yang dinamakan Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) sebagai serikat
perusahaan Belanda di Asia. Selain memiliki fungsi memperkuat perdagangan
Belanda, VOC juga berfungsi secara efektif sebagai wakil pemerintahan Belanda
di wilayah koloni Hindia Belanda, meski tidak berstatus sebagai bagian dari
administrasi pemerintahan tersebut.

Pengaruh VOC terhadap Keruntuhan Kota-Kota Maritim di Nusantara

Setelah melemahnya Kerajaan Pajang, muncul kerajaan baru yang


bernama Mataram di Yogyakarta di bawah pemerintahan raja Sultan Agung
(1613-1645). Seperti Sultan Pajang sebelumnya, ia sangat berambisi dalam hal
ekspansi dan penaklukan kota-kota pelabuhan di sepanjang pantai utara Jawa.
Hasilnya seluruh pelabuhan di pantai utara Jawa Tengah dan Jawa Timur,
termasuk wilayah Madura, berada di bawah kekuasaan Mataram. Alasan dibalik
keberhasilan itu karena dari segi militer, pemerintahan Sultan Agung dalam
sejarah kerajaan Mataram Islam bisa dikatakan yang terkuat di antara para raja-
raja Mataram sebelumnya. Namun yang menjadi menarik pada masa tersebut ia
harus berhadapan dengan kekuatan besar lainnya yakni armada dagang Belanda
(VOC) yang ternyata jauh lebih kuat. Sebagai contoh kasus, pada saat peperangan
menumpas pemberontakan Trunajaya dari Madura, armada kapal milik Sultan
Agung menang dalam hal jumlah yakni mencapai sekitar 1000 perahu, tetapi
armada kapal tersebut hanya terdiri atas perahu-perahu kecil yang lebih mirip
seperti perahu nelayan dibanding sebagai sebuah armada kapal dari kerajaan
terkuat di Jawa pada masanya. Sebaliknya pihak VOC sendiri memiliki armada
khusus, yakni berupa kapal-kapal jenis fregat yang dirancang secara khusus dalam
menangani medan pertempuran laut. Dengan demikian dari segi kemampuan
tempur jelas armada kapal milik Sultan Agung jauh di bawah armada perang
khusus milik VOC.1

Sementara itu, kedatangan Portugis di Nusantara yang telah lebih dahulu


menguasai Malaka disusul dengan kedatangan Belanda dengan VOC-nya yang
bertujuan untuk berambisi menguasai dan memonopoli kawasan aktivitas
perdagangan. Terutama berbagai komoditi khas dari Nusantara seperti rempah-
1
L. Nagtegaal. Riding the Dutch Tiger: The Dutch East Indies Company and the
Northeast Coast of Java. (Leiden: KITLV Press, 1996), hal. 68-69.

4
rempah, yang menjadi komoditas paling diminati dalam perdagangan
internasional maupun perdagangan antar daerah. Akan tetapi untuk memperoleh
dominasinya di Nusantara, baik Belanda maupun Portugis menjalankan sistem
perdagangan yang dipersenjatai (armed-trading system)2. Selanjutnya sistem
perdagangan VOC sendiri mereka cenderung persanjatai sehingga memperlancar
upaya terjadinya proses aktivitas militerisasi perdagangan di kawasan Nusantara.
Artinya baik Portugis maupun Belanda, mereka sama-sama menggunakan
kekuatan militer untuk mendukung ekspansi perdagangannya masing-masing.3

Karena sebelumnya Malaka sudah dikuasai Portugis, Belanda


mengalihkan perhatiannya ke Maluku sebagai pusat dari produsen rempah-
rempah. Seusai tujuan mereka terpenuhi yaitu menguasai Maluku, yang
wilayahnya juga termasuk Ambon, Belanda kini memusatkan perhatian mereka ke
tanah Jawa, yang sebagian besar sudah didominasi oleh Kerajaan Mataram
dibawah pemerintahan Sultan Agung. Baik dengan cara militer secara terang-
terangan maupun dengan cara ikut terlibat langsung di dalam konflik internal
antara kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa, yang istilah politiknya lebih dikenal
dengan nama politik adu domba. Dengan kedua cara tersebut akhirnya pihak VOC
berhasil menguasai seluruh kota-kota pelabuhan besar yang terdapat di sepanjang
pantai utara Jawa. Dan juga setiap kota-kota yang berhasil dikuasai itu, VOC
mendirikan banteng pertahanan dengan tujuan untuk melindungi kepentingan
bisnis mereka baik dari ancaman bangsa Eropa lain maupun para pemberontak
pribumi.4 Nantinya kota-kota pelabuhan itu ditempatkan atau diintegrasikan
menjadi sebuah sistem jaringan dagang VOC yang saling terhubung antara satu
sama lain. Disini VOC mulai berusaha untuk membuat berbagai macam perjanjian
yang berfungsi sebagai penjamin atas setiap keuntungan yang mereka peroleh dari
hasil produksi maupun perdagangan.5 Perjanjian-perjanjian yang mengikat
2
Perre-Ives, Manguin. Southeast Asia in the Early Modern Era: Trade, Power, and
Belief. “The Vanishing Jong: Insalar Southeast Asian Fleet in Trade and War (Fifteenth to
Seventeeth Centuries)”. Dalam A. Reid (ed.). (Lodon: Cornell University Press, 1993), hal. 198-
199.
3
K. N. Chaudari. Trade and Civilization in Indian Ocean: An Economic History from the
Rise of Islam to 1750. (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), hal. 15.
4
M. C. Ricklefs. A history of Modern Indonesia c. 1300 to the Present. (London:
Macmillan, 1981), hal. 22-46.
5
C. D. Cowan. Continuity and change in the international history of maritime South East
Asia. (2001), hal. 9.

5
tersebut merupakan hal baru, menjerat dan tidak lazim di antara para penguasa
pribumi di Nusantara yang sebelumnya menerapkan sistem pasar bebas.

Setelah berhasil menguasai seluruh kota-kota pelabuhan di sepanjang


pantai utara Jawa, VOC kini mulai menaruh perhatiannya ke luar Jawa. Di
Banjarmasin misalnya yang telah terkenal sejak 1596, sementara disisi lain orang
Portugis sebelumnya telah membeli kapur barus, berlian dan batu bezoar, Belanda
berusaha mengusai atau memonopoli perdagangan lada. Akan tetapi usaha itu
tidak berjalan dengan mulus karena pada dasarnya sifat dari para kepala pribumi
di sana selalu menolak tawaran yang berbau monopoli. Sampai pada tahun 1635
VOC berhasil memaksa penanda tanganan kontrak monopoli perdagangan lada di
kota Banjarmasin.

Setelah beberapa dekade sebelumnya VOC sukses menancapkan


monopolinya atas kepulauan Maluku seperti Ambon dan Ternate pada tahun 1605
dan Banda pada tahun 1609, dan merebut Malaka dari tangan Portugis tahun
1641.6 VOC memutuskan untuk menguasai Makassar di Sulawesi, yang bagi
mereka dipandang sebagai musuh paling berbahaya di wilayah Nusantara bagian
timur dalam rangka menegakkan monopolinya. Demikian pula setelah melalui
perang yang panjang, Belanda akhirnya mampu menaklukkan Makssar pada tahun
1667. Pada tahun yang sama Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani
Perjanjian Bongaya. Selepas penaklukan Makassar bisa dikatakan VOC berhasil
menguasai hampir semua kota-kota pelabuhan atau kerajaan-kerajaan maritim di
seluruh penjuru Nusantara. Selanjutnya dengan politik dagang monopolinya, VOC
dengan cepat semakin berjaya di Nusantara. Akan tetapi monopoli itu tidak hanya
dikenakan kepada penduduk pribumi saja, tetapi juga kepada bangsa Eropa yang
lain. Dalam bidang perdagangan misalnya, VOC digambarkan sebagai kekuatan
yang memaksa dalam menentukan suatu harga penjualan dari produk lokal.
Ditambah lagi VOC juga melarang penjualan rempah-rempah kepada orang Eropa
lain dan apabila para pribumi berani melanggat maka akan teraancam hukuman
langsung dari pihak VOC. Dengan cara yang demikian maka VOC ikut ambil
bagian sebagai pemeran utama dalam mempersulit kehidupan para penduduk di

6
D. H. Burger. Sociologisch-Economische Geschiedenis van Indonesia I. (Amsterdam:
Royal Tropical Institute, 1975), hal. 28.

6
daerah-daerah koloninya, membuat kehancuran bagi sistem perdagangan
masyarakat setempat yang telah ada sebelumnya sehingga sulit untuk bisa bangkit
kembali dan berakhir dengan kemiskinan.7 Rempah-rempah dan segala bentuk
hasil komoditas hutan dari luar pulau Jawa dikirim ke pelabuhan-pelabuhan di
sepanjang pantai utara Jawa untuk selanjutnya dikapalkan menuju Eropa oleh
VOC. Dengan demikian VOC menerapkan reformasi jaringan perdagangan di
Nusantara, yang disesuaikan dengan jaringan pelayaran global.

Salah satu kunci keberhasilan VOC menguasai kerajaan-kerajaan


khususnya kerjaan kota berbasis Maritim di Nusantara adalah penggunaan strategi
politik pecah belah dan menguasai atau nama lain yang lebih umum politik adu
domba (Devide et Impera). Taktik ini biasanya lebih sering digunakan untuk
memperbesar kekuasaan sekaligus memperparah konflik-konflik intern dalam
kerajaan-kerajaan di Nusantara, terutama konflik -konflik atau perang-perang
saudara yang terjadi sesama pribumi.

Gambar 2. Logo VOC

(Sumber: European Trade Functions oleh


Dayesef)

Hubungan antara Etnis Tionghoa dengan VOC dalam bidang Perdagangan


Maritim
7
Nagtegaal, op.cit., hal. 21.

7
Walaupun sebelumnya etnis Tionghoa sudah lama dikenal sebagai
perantau sekaligus pedagang asal Tiongkok. Namun sebelumnya peran mereka
sangatlah kecil dan tidak sepesat pada masa VOC tiba di Nusantara, yakni hanya
sebagai para pengecer atau para pedagang kecil dan hanya sedikit yang berperan
sebagai pedagang besar yang menghubungkan antara kerajaan-kerajaan maritim di
Nusantara dengan dunia luar. Kehadiran VOC tentu saja dengan cepat
memperkuat motif serta pengaruh ekonomi orang-orang Tionghoa Perantauan
dalam menekuni bidang perdagangan khususnya sebagai pihak perantara.8

Para pedagang perantara dalam hal ini sangat melekat diberikan kepada
orang-orang Tionghoa yang berperan sebagai perantara antara produsen bahan
mentah atau komoditas tertentu dengan pihak konsumen dalam sebuah hubungan
perdaganan. Fungsi perantara di sini tentu bervariasi. Mereka dapat berfungsi
sebagai pembeli, pengolah, importir, pemborong, penyalur, maupun sebagai
distributor.9 Dalam hal ini juga fungsi tersebut lebih sering dijumpai dalam bentuk
kombinasi antara salah satu maupun beberapa pihak sekaligus selama hal tersebut
menguntungkan dari sisi ekonomi menurut etnis Tionghoa yang terlibat.

Ditambah lagi sejak awal kedatangan VOC juga telah menganggap baik
keberadaan orang-orang Tionghoa disekitar mereka. Mereka menilai etnis
Tionghoa lebih unggul dibandingkan dengan etnis pribumi lainnya yang ada di
Nusantara, beberapa alasannya karena semangat dagang yang mereka miliki
sangat tinggi dan melihat dari sistem pengelolaan dagang mereka juga cukup baik
menurut sudut pandang pihak VOC. Disamping itu dalam hal budaya etnis
Tionghoa juga cenderung lebih disukai karena setiap kali mereka menerima tamu
selalu disertai dengan adanya semacam acara perjamuan makan lengkap dengan
sikap mereka yang ramah.10

Dengan demikian VOC menerapkan sistem kebijakan yang diskriminatif


dengan tujuan menguatkan posisi orang-orang Tionghoa sebagai pedagang
perantara dalam bidang ekonomi dan secara tidak langsung hal ini membuat para
8
Retno, Winarni. Cina Pesisir: Jaringan Bisnis orang-orang Cina di pesisir Utara Jawa
Timur sekitar Abad XVIII. (Denpasar: Pustaka Larasan, 2009), hal. 98.
9
Donalt Earl, Willmott. The Chinese of Semarang: A Changing Minority in Indonesia.
(New York: Conen University, 1960), hal. 45.
10
Winarni, op.cit., hal. 100.

8
pedagang etnis pribumi menjadi tersisihkan. Kasus yang terjadi di Banten dapat
dijadikan sebagai contoh, dimana pihak VOC yang bekerjasama dengan para
pedagang Tionghoa, berhasil memojokan jalur perdagangan lada yang
sebelumnya telah dikuasai oleh Kesultanan Banten. VOC sebagai kongsi dagang
milik Belanda, juga mempermainkan kurs picis dengan cara mengontrol bahan
bakunya dan memaksakan hanya boleh berdagang langsung dengan VOC
sehingga tercipta sebuah transaksi yang menguntungkan. Seiring dengan
berkembangnya kekuasaan VOC di Nusantara pada umumnya dan di Jawa pada
khususnya, dapat kita lihat bagaimana aktivitas orang-orang Tionghoa tersebut
baik dalam masa awal VOC mencari posisi dalam perdagangan di sepanjang
pesisir pantai utara Jawa maupun sampai saat VOC mampu menguasai dan
mengontrol perdagangan di hamper setiap kota-kota Maritim di seluruh
Nusantara. Dengan demikian sudah jelas bahwa orang-orang Tionghoa merupakan
salah satu mitra dagang penting yang dimiliki oleh VOC.

Sekitar akhir abad ke-17 tampak suatu keadaan baru. Pada masa itu semua
pusat perdagangan maritim di wilayah Nusantara satu persatu jatuh ke tangan
VOC. Para pedagang Pribumi pun sampai mencoba berkali-kali mencari solusi,
tetapi selalu gagal karena adanya blokade yang dilakukan oleh kapal-kapal dagang
milik VOC, karena diterapkannya politik monopoli perdagangan. Setelah Malaka
ditaklukan oleh Portugis pada tahun 1511, maka peran perdagangan kota itu
pindah menuju Aceh dan Banten. Adapun perdagangan di Jawa Timur pada
permulaan abad-17 pindah menuju Makassar dan Banjarmasin karena disebabkan
oleh faktor penyerangan dari pihak Mataram dan kemudian pada akhir abad-17
pindah lagi dari Makassar menuju Banten. Sejarah dari pusat perdagangan itu
adalah sejarah perdagangan laut Indonesia. Pada akhir abad-17, semua pusat
perdagangan maritim yang penting seperti Malaka, Aceh, Banten, Jawa Timur dan
Makassar runtuh satu persatu. Namun sebaliknya, di sisi lain sejak akhir abad-17
VOC telah mencapai puncak dari kekuasaannya.11

Kemudian bagaimanakah nasib dari keberadaan para pedagang perantara


Tionghoa setelah terjadi perubahan dalam struktur perdagangan maritim di

11
D. H. Burger. Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia. (Jakarta: Pradnja Paranita,
1962), hal. 63.

9
Nusantara? Sepeti dikatakan ketika VOC masih dalam rangka mencari posisi
dalam perdagangan di sekitar pantai utara Jawa, VOC telah memilih orang-orang
Tionghoa sebagai mitra dagang mereka. Sejak saat itu telah terjalin sistem
jaringan kerja perdagangan antara VOC dengan para pedagang perantara
Tionghoa. Bahkan justru sejak zaman VOC tersebut sebenarnya perdagangan
modern orang-orang Tionghoa mulai tumbuh secara pasti. Dari sini sudah terlihat
jelas bahwa orang-orang Tionghoa cermat dalam melihat setiap peluang yang
menguntungkan bagi mereka, sehingga inilah yang menjadi alasan meskipun
terjadi perubahan arus politik mereka masih bisa tetap bertahan bahkan dapat terus
berkembang.

Sejak akhir abad ke-17 kekuasaan VOC mulai stabil. Maka perdagangan
orang-orang Tionghoa pun juga mengikuti irama perkembangan perdagangan
VOC tersebut. Sejak saat itu peran para pedagang distribusi Tionghoa yang ada di
Nusantara juga berubah dengan sendirinya. Dari mulai menjadi penghubung
antara para pedagang kelontong besar Tionghoa dan penduduk pribumi seperti
etnis Jawa, Madura dan sebagainya, hingga sampai berubah menjadi penghubung
antara VOC dengan para etnis pribumi. VOC selain menjadi satu-satunya
pedagang besar yang menguasai komoditas rempah-rempah, mereka juga
merangkap sebagai satu-satunya pedagang besar yang mendistribusikan sekaligus
mengangkut berbagai macam barang-barang khas benua Eropa menuju wilayah
koloni di Hindia Belanda. Dalam hal ini VOC mempercayakannya kepada para
saudagar Tionghoa untuk mengurusi segala urusan pengangkutan barang-barang
ekspor yang menjadi keinginan bagi para seluruh penduduk pribumi di seluruh
Nusantara. Sedang pihak VOC sendiri tetap mempertahankan hubungan
perdagangan barang-barang dengan Jepang, serta perdagangan dengan kerajaan di
sepanjang pantai India.12

Melihat pentingnya jaringan kerja perdagangan antara VOC dengan orang-


orang Tionghoa Peranakan dan adanya manfaat yang tercipta dari
diberlakukannya sistem distribusi yang didirikan oleh orang-orang Tionghoa
tersebut, VOC kemudian menawarkan berbagai macam solusi perlindungan dari
persoalan-persoalan ancaman yang dating baik dari tuan tanah atau para Raja,
12
Winarni, op.cit., hal. 114.

10
hingga sampai kenyamanan berlayar karena tidak perlu khawatir kehadiran para
bajak laut selama masih diwilayah VOC. Perlindungan semacam itu diperlukan
untuk menciptakan suatu kondisi yang mendukung orang-orang etnis Tionghoa,
dengan tujuan memperluas jaringan kerja perdagangan mereka keseluruh penjuru
wilayah koloni Hindia Belanda.13

Pada prinsipnya perlindungan terhadap mitra dagang mereka yakni orang-


orang Tionghoa dilakukan pihak VOC dengan maksud melindungi dari ancaman
dan gangguan para bajak laut, yang sejak adanya sistem monopoli perdagangan
diberlakukan menjadi sebuah fenomena umum. Terutama di wilayah Indonesia
bagian Timur yang perdagangan lautnya jelas sangat dirugikan oleh kehadiran
monopoli VOC.14 Kemudian juga ancaman dari perdagangan gelap dan
penyelundupan barang yang banyak terjadi di wilayah Nusantara bagian Barat.
Kebijakan yang dilakukan adalah dengan mengirimkan armada dalam jumlah
kecil untuk melakukan patroli di sepanjang pesisir pantai utara Jawa dan langkah
ini dapat dikatakan berhasil, terbukti pada awal abad ke-17 pembajakan sudah
mulai berkurang khususnya jarang terjadi di tempat-tempat yang dilalui oleh
kapal-kapal patroli ini. Pengawasan rute perdagangan semacam ini selain
menguntungkan pedagang-pedagang Tionghoa dan pedagang Asia lainnya juga
memungkinkan VOC dalam menguatkan sistem monoli yang telah dibentuk
sedemikian rupa di wilayah koloni mereka.15

Kesimpulan

Sebenarnya masih banyak lagi hal-hal yang dapat ditelusuri dari segala
aktivitas yang dilakukan oleh VOC pada masa lalu, tulisan diatas hanya sedikit
memberi gambaran betapa besarnya peran VOC dalam sektor perdagangan
maupun sector politik di Nusantara. Aktivitas perdagangan antara Eropa

13
Burger, op.cit., hal. 34.
14
Ibid., hal. 71.
15
Ibid.

11
khususnya VOC dengan Nusantara sangat penting sehinnga mereka mau berlayar
berbulan-bulan untuk mencapai Batavia, aktivitas dagang ini pun yang telah
membuat negeri Belanda tersebut mencapai masa kejayaannya dalam
perdagangan sehingga mereka mampu memenangkan perang delapan puluh tahun
dan membuat Belanda akhirnya terbebas dari pengaruh Spanyol.

Gambar 3. Rute Perdagangan VOC

(Sumber: Dutch Ships in Tropical Waters oleh R. Parthesius)

Di sisi lain Indonesia juga tidak boleh merasa berkecil hati karena dalam
sejarahnnya berada di posisi sebagai negara terjajah pada masa tersebut, namun
seharusnya kita dapat berpikir sebaliknya yakni dengan merasa bangga karena
memiliki kekayaan alam yang sangat melimpah, sehingga menarik bangsa-bangsa
asing tersebut untuk mencari dan menguasai kota-kota maritim di Nusantara. Hal
ini tentu dapat dijadikan sebuah pelajaran penting baik di masa sekarang maupun
masa yang akan datang supaya kekayaan alam milik Indonesia dapat dinikmati
sendiri demi kemakmuran dan kepentingan bangsa, tidak seperti saat berada pada
masa VOC. Indonesia juga harus mampu kembali menghasilkan komoditas-
komoditas dagang yang berkualitas seperti yang terjadi pada masa lalu, sehingga
produk-produk kita dapat terkenal dan mendominasi di kancah perdagangan
dunia. Suka atau tidak suka kedatangan VOC ke wilayah Nusantara juga

12
merupakan bagian dari sejarah panjang kemaritiman bangsa Indonesia, yang perlu
kita pelajari dan ceritakan ke pada anak cucu kita selaku penerus bangsa.

Daftar Pustaka

Burger, D. H. 1962. Sejarah Ekonomis Sosiologi Indonesia. Jakarta: Pradnja


Paranita, hal. 34-71.
Burger, D. H. 1975. Sociologisch-Economische Geschiedenis van Indonesia I.
Amsterdam: Royal Tropical Institute, hal. 28.

13
Chaudari, K. N, 1989. Trade and Civilization in Indian Ocean: An Economic
History from the Rise of Islam to 1750. Cambridge: Cambridge University
Press, hal. 15.
Cowan, C. D. 2001. Continuity and change in the international history of
maritime South East Asia. hal. 9.
Manguin, Pierre-Ives. 1993. Southeast Asia in the Early Modern Era: Trade,
Power, and Belief. “The Vanishing Jong: Insalar Southeast Asian Fleet in
Trade and War (Fifteenth to Seventeeth Centuries)”. Dalam A. Reid (ed.).
Lodon: Cornell University Press, hal. 198-199.
Nagtegaal, L. 1996. Riding the Dutch Tiger: The Dutch East Indies Company and
the Northeast Coast of Java. Leiden: KITLV Press, hal. 21-69.
Ricklefs, M. C. 1981. A history of Modern Indonesia c. 1300 to the Present.
London: Macmillan, hal. 22-46.
Willmot, Donalt Earl. 1960. The Chinese of SemarangL A Changing Minority in
Indonesia. New York: Conen University, hal. 45.
Winarni, Retno. 2009. Cina Pesisir: Jaringan Bisnis orang-orang Cina di pesisir
Utara Jawa Timur sekitar Abad XVIII. Denpasar: Pustaka Larasan, hal.
98-114

14

Anda mungkin juga menyukai