Anda di halaman 1dari 7

REVIEW BUKU NEGARA DAN ETNIS TIONGHOA KASUS INDONESIA

Bambang Bayu Pamungkas


121811433026
Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga

Gambar 1: Cover buku Negara Dan Etnis Tionghoa Kasus Indonesia

Sumber: https://www.bukalapak.com/p/hobi-koleksi/buku/sosial/dzrqun-jual-negara-dan-etnis-
tionghoa-kasus-indonesia
A. Identitas Buku

Judul Buku : Negara dan Etnis Tionghoa Kasus Indonesia


Penerbit : Pustaka LP3ES Indonesia, anggota IKAPI
Pengarang : Leo Suryadinata
ISBN : 979-8391-99-3
Ukuran : 15.5x23 cm
Halaman : viii, 295 hal
Harga : Rp. 65.000,-
Tahun : 2002

B. Pendahuluan

Dr. Leo Suryadinata menjabat sebagai Guru Besar (Professor) di Jurusan Ilmu Politik,
Universitas Nasional Singapura (NUS) sampai Juni 2002 dan Presiden Singapore Society of
Asian Studies (1998-2002). Lahir di Jakarta dan memperoleh gelar B.A. dari Malang University
(Singapura), Drs. (Universitas Indonesia), M.A. (Monash University, Australia dan Ohio
University), dan Ph.D. (American University, Washington D. C.) Selain mengajar ia juga
menjadi co-leader Asian Journal of Political Science (Juni 1993-Juni 2002) dan editor-in-chief
jurnal dwi bahasa Asian Culture (Yazhou Wenhua 1990-sekarang). Pernah mengajar di Amerika
Serikat dan bekerja sebagai peneliti senior di Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) di
Singapura (1976-1982). Setelah mengajar di NUS selama 20 tahun kini kembali berbakti di
ISEAS sebagai peneliti senior. Banyak menulis artikel di jurnal internasional dan berbakti di
ISEAS sebagai peneliti senior. Banyak menulis artikel di jurnal internasional dan aktif mengikuti
seminar atau konferensi antar bangsa. Spesialisasinya mengenai masalah etnisitas, politik Asia
Tenggara dan hubungan internasional Asia. Telah menghasilkan lebih dari tiga puluh buku baik
dalam Bahasa Inggris, Indonesia dan Tionghoa. Buku dalam Bahasa Indonesia diantaranya:
Dilema Minoritas Tionghoa (1984-1985), Politik Tionghoa Peranakan di Jawa (1986),
Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia (1988), Mencari Identitas Nasional (1990),
Golkar dan Militer: Studi tentang Budaya Politik (1992-1993), Sastra Peranakan Tionghoa
Indonesia (1996), Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto (1998) dan Etnis Tionghoa
dan Pembangunan Bangsa (1999). Sedangkan salah satu contoh karya terbaru dalam Bahasa
Inggris beliau ialah Ethnis Chinese in Singapore and Malaysia: A Dialogue between Tradition
and Modernity (2002) dan Elections and Politics in Indonesia (2002).
Keadaan Etnis Tionghoa di negara-negara Asia Tenggara terkait dengan konsep bangsa
dan kebijakan pemerintah tempat mereka berada. Tak terkecuali di Indonesia. Dinamika keadaan
mereka di negeri ini, secara tak langsung, merefleksikan watak penguasa pada masanya,
setidaknya sejak masa demokrasi liberal hingga masa pasca-Orde Baru ini. Karena itu, tidaklah
mengherankan bila eksistensi mereka terkesan “terombang-ambing”. Entah kapan keadaan
seperti ini akan selesai tuntas. Tapi, dalam hal ini, perbaikan keadaan ekonomi dan social
merupakan hal yang diperlukan, selain mereka sendirilah yang harus aktif memperjuangkan
nasibnya, termasuk, misalnya, mengubah konsep bangsa Indonesia agar mereka menjadi bagian
integral di dalamnya serta mau bekerja sama dengan para pribumi. Bagaimanapun,
sesungguhnya etnis Tionghoa mampu memberikan masukan yang berarti kepada pihak
pemerintah.
Setelah Soeharto lengser, masyarakat Indonesia memasuki era reformasi atau era baru
yang lebih demokratis. Masyarakat pribumi dan non pribumi juga mulai melihat “masalah
Tionghoa” dari sebuah sudut pandang baru. Apa sebetulnya yang disebut “Masalah Tionghoa”
atau “Masalah Cina” itu? Apa hakikat masalah tersebut? Apa peran negara dalam menangani
masalah tersebut? Apa identitas Tionghoa di Indonesia? Apa hubungannya dengan kebudayaan
dan masyarkat setempat? Semua ini tentu saja tidak mudah dijawab secara tuntas. Namun, ada
baiknya kalua kita mempelajari aspek-aspek tersebut supaya kita bisa lebih arif dalam menangani
masalah ini.
Dalam beberapa tahun terakhir, kita pastinya sering mengikuti pembahasan seminar
maupun webinar yang membahas menegenai masalah Tionghoa, dan saya menulis beberapa
makalah. Ide-idenya sebetulnya tidaklah baru, banyak yang telah tertuang dalam makalah-
makalah bahkan buku-buku yang sudah pernah ditulis sebelumnya. Buku ini merupakan
gabungan dari setiap makalah dan tulisan pendek yang pernah Dr. Leo Suryadinata buat,
termasuk juga terdapat di beberapa tulisan pendek. Wawancara di majalah-majalah Indonesia
bahkan sampai ada juga yang dijadikan menjadi sebuah buku. Yang pastinya buku ini menjadi
tulisan yang sangat bermanfaat bagi para generasi muda terlebih lagi bagi para Mahasiswa
seperti saya.
Buku ini terbagi menjadi dua bagian: Pertama, merupakan makalah ilmiah yang sedikit
panjang; kedua, terdiri atas karangan-karangan pendek dan wawancara-wawancara yang pernah
dimuat sebelumnya. Dari bentuk tulisan yang berbeda ini, diharapkan oleh sang penulis sendiri
semoga pembaca bisa semakin menikmati apa yang ada di dalam pikiran dalam bentuk tulisan
ini. Perlu diterangkan bahwasanya pada bagian pertama buku ini menggunakan istilah Tiongkok
untuk merujuk kepada “negeri Cina daratan”, dan Tionghoa untuk “orang Cina”. Namun dalam
Bagian kedua dari buku ini yang merupakan bagian dari tulisan-tulisan karangan pendek, yang
pastinya pernah dimuat diberbagai media cetak, sang penulis tidak pernah melakukan perubahan
maupun penyesuaian dengan sebutan-sebutan baru tersebut. Karena karangan-karangan pendek
dan berbagai wawancara-wawancar tersebut ditampilkan dalam bentuk yang orisinil. Penyunting
buku yang memiliki judul “Negara dan Etnis Tionghoa: Kasus Indonesia” ini bernama Sdr.
Johan Hasan.
A. Ringkasan Bab
Bagian I
Bab 1 : Etnis Tionghoa di Asia Tenggara dan Indoensia Kebijakan dan Tanggapannya.
Bab 2 : Pemikiran Politik Minoritas Tionghoa di Indonesia.
Bab 3 : Negara dan Minoritas Tionghoa di Indonesia.
Bab 4 : Istilah “Cina” dan “Tionghoa” di Indonesia, Sebuah Tujuan Historis.
Bab 5 : Elite Ekonomi Tionghoa dan Negara Indonesia.
Bab 6 : Konghucuisme dan Agama Konghucu di Indonesia, Sebuah Kajian Awal.
Bab 7 : Etika Konghucuisme dan Bisnis Tionghoa Perantauan.
Bab 8 : Ceria Silat, Kebijakan Pemerintah dan Masyarkat Indonesia.

Bagian II
Cina Perantauan
Memahami “Eksodus” Tionghoa.
Pemilu dan Masyarakat Tionghoa.
Sastra Peranakan
Sastra Indonesia Berbahasa Tionghoa Tampil Kembli, Menyongsong Terbitnya Pesona
Indonesia
Orang Cina Ditonjolkan sebagai Contoh Jelek
Membuang Mitos Cina
Ditendang bagai Bola
Lampiran dan Indeks

Baru-baru ini, banyak sarjana memfokuskan kembali perhatiannya pada peranan negara
(state). Namun, teori negara tetap simpang siur, tidak jelas. Penganut Marxis orthodox
berpendapat bahwa negara adalah alat sebuah kelas, dan negara modern umumnya alat
pemerintahan kaum borjuis untuk membela kepentingan kelas tersebut. Akan tetapi ada juga
yang berpendapat bahwa negara sebagai gabungan berbagai institusi yang berkuasa bisa
berdikari. Jadi, lebih kompleks dari apa yang sebenarnya digambarkan sebelumnya. Dalam buku
ini Dr. Leo Suryadinata, sang penulis menggunakan konsep negara sebagai gabungan dari
pemerintah, birokrasi, militer, polisi dan semua institusi yang dikuasai oleh yang sedang
berkuasa. Jika kita meneliti peranan negara di Asia Tenggara umumnya dan di Indonesia pada
khususnya, tidak bisa disangkal bahwa dampak negara luar biasa besarnya. Negara sangat
menentukan banyak hal, terutama kalua negara tersebut kuat (storng state).
Bab 1, membahas perihal etnis Tionghoa di Asia Tenggara, yang mengkaji berbagai
konsep nation atau bangsa yang dianut negara serta kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
Dalam hal ini, bisa dilihat bahwa banyak negara memiliki konsep bangsa yang sempit, sering
menimbulkan masalah terhadap etnis Tionghoa. Terbaur atau tidaknya etnis Tionghoa di Asia
Tenggara sebagian tergantung pada konsep bangsa yang dianut oleh negara tersebut. Indonesia,
yang hingga zaman Soeharto, menganut konsep bangsa sangat ketat dan sempit menyebabkan
sukarnya etnis Tionghoa menjadi bagian integral dari “bangsa Indonesia”.
Bab 2, membahas mengenai etnis Tionghoa di Indonesia, dimana mereka merupakan
suatu kelompok yang homogen. Dari latar kebudayan dan sejarah, penduduk Tionghoa di
Indonesia bisa dibagi atas beberapa kelompok. Kelompok paling umum ialah kaum Peranakan
yang kebudayaannya sudah mengindonesia dan kaum totok yang masih sangat pekat unsur
ketionghoaannya. Lambat laun jumlah kaum Peranakan makin bertambah, sedangkan kaum
totok justru semakin berkurang, sehingga cepat atau lambat kaum totok akan lenyap dengan
sendirinya apabila tidak terjadi yang namanya regenerasi dari kalangan etnis Tionghoa itu
sendiri. Kedua kelompok etnis Tionghoa yang saling berbeda satu sama lain ini juga memiliki
sudut pandangan politik yang berbeda pula. Namun, yang jelas ialah yang paling terlibat dalam
mempengaruhi pikiran politik Tionghoa adalah kebijakan negara. Zaman negara kolonial, karena
dasar politiknya berdasarkan ras, maka pikiran politik etnis Tionghoa berkisar pada ras. Setelah
Indonesia merdeka, karena aliran asimilatif mulai menonjol, bahkan dominan, pikiran politik
masyarakat Tionghoa pastinya juga menuju ke arah sana. Namun perbedaan pikiran politik tidak
pernah lenyap. Dengan timbulnya demokratisasi, pikiran politik etnis Tionghoa pun mulai lebih
beraneka ragam.
Bab 3, memaparkan mengenai kebijakan pemerintah kolonial Belanda dan negara
Republik Indonesia terhadap etnis Tionghoa. Dalam hal ini, yang tampak adalah negara colonial
mengambil “ras” (race) sebagai ideology negara dan memisahkan etnis Tionghoa dari “ras” yang
lain, terutama “ras” pribumi. Rupanya, ini merupakan tulang pinggung negara colonial.
Terintegrasinya berbagai suku bangsa dan ras akan membahayakan pemerintah kolonial. Namun
setelah Indonesia merdeka, struktur masyarkat belum beragam pembedaan ras dan keturunan.
Meskipun sistem politik Republik Indonesia berbeda dari masa ke masa, tetapi kebijakan
asimilatif merupakan suatu arus yang paling kuat. Kebijakan ini baru ditinjau kembali setelah
masa Orde Baru tumbang.
Mengenai Orde Baru, yang menarik adalah bahwa rezim ini dikuasai oleh kaum militer
yang dipimpin oleh mantan Jenderal Soeharto. Untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia,
negara telah mengambil suatu kebijakan terhadap suatu etnis minoritas yang dianggap
“berbahaya” dan menggantikan sebutannya dari yang sebelumnya “Tionghoa” menjadi “Cina”.
Menurut Gordon Allport, namecalling atau memanggil orang dengan nama yang tidak senonoh
adalah semacam manifestasi prasangka (prejudice) yang mendalam. Namun hal ini, politik
militer memainkan peranan penting. Negara Indonesia telah mencoba menghapus istilah
“Tionghoa” dan generasi muda, tertama para pri(bumi), sehingga banyak yang mengenal
sekaligus menggunakan kata “Cina”.
Bab 4, membahas pemakaian istilah “Tionghoa” dan “Cina” dalam perkembangan
sejarah Indonesia, termasuk perkembangannya yang terbaru. Ini adalah sebuah contoh betapa
kuatnya pengaruh kebijakan negara terhadap masyarkat mayoritas dan minoritas!. Biarpun orang
Tionghoa dianggap sebagai minoritas pedagang, dan banyak terdapat kaum kapitalis atau para
konglomerat di Indonesia adalah etnis Tionghoa, namun jumlah konglomerat Tionghoa sedikit.
Mereka merupakan para elite ekonomi Tionghoa, bukan berasal dari golongan rakyat menengah
kebawah.
Bab 5, membahas segala sesuatu yang berkaitan dengan sejarah munculnya elite ekonomi
Tionghoa mulai dari sebelum Perang Dunia Kedua hingga pasca perang. Dari munculnya para
Kapitan sampai lahirnya para Cukong atau Konglomerat. Jika kita teliti, kebijakan Orde Barulah
yang bertanggung jawab dalam hal memeperkuat posisi etnis Tionghoa di bidang ekonomi,
terutama membesarnya jumlah pedagang Tionghoa. Walaupun Rezim Orde Baru berusaha
memaksakan etnis Tionghoa untuk berasimilasi, namun negara authoritarian juga
memberlakukan kebijakan yang anti-asimilasi. Di samping itu, ideologi Pancasila menjamin
kebebasan beragama, salah satu hak asasi manusia. Etnis Tionghoa rupanya merasa bisa
berlindung di belakang ideology ini untuk kepentingan agama atau kepercayaan mereka. Tetapi
pemerintah Orde Baru berusaha untuk tidak mengakui agama Konghucu agama asli orang-orang
Tionghoa di Indonesia supaya mereka bersedia mengambil salah satu agama asli lokal dan
berharap meninggalkan aliran agama peninggalan leluhur mereka.
Bab 6, membahas seputar sejarah perkembangan agama Konghucu di Nusantara sejak
awal kemunculannya hingga saat ini. Transformasi Konghucuisme di Indonesia menjadi sebuah
agama Indonesia merupakan perkembangan yang unik sekali dan patut dikaji lebih lanjut.
Tidaklah dapat diartikan bahwa etnis Tionghoa memainkan peranan penting dalam bidang
ekonomi di Asia Tenggara pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya. Karena itu,
muncullah banyak mitos yang mengatakan bahwa orang Tionghoa sejak lahir sudah pandai
berdagang. Ada pula yang berpendapat hal ini disebabkan oleh “kekuatan” Konghucuisme,
seakan0akan Konghucuisme itu adalah sumber dari kesuksesan ekonomi entis Tionghoa itu
sendiri.
Bab 7, membahas mengenai etika Konghucuisme dan hubungannya dengan keadaan
ekonomi etnis Tionghoa di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Ternyata, keberhasilan etnis
Tionghoa dalam bidang ekonomi yang sangat kompleks dan perkembangan kapitalisme serta
kebijakan negara juga harus dipertimbangkan.
Bab 8, menjabarkan perihal kehidupan masa lampau dari orang-orang etnis Tionghoa,
karena dalam sejarahnya orang Tionghoa hanya ditonjolkan sebagai mahkluk yang fokus
terhadap unsur materi atau ekonomi saja, sehingga orang-orang selain etnis Tionghoa lupa
bahwa etnis minoritas ini sesungguhnya jug amemiliki kesusastraan dan budayanya sendiri.
Kesusastraan tersebut mereka bagi atas dua jenis, pertama ialah sastra Peranakan yang ditulis
dalam bahasa Melayu maupun Indonesia, dan yang kedua ialah sastra totok yang ditulis
menggunakan bahasa asli etnis Tionghoa. Namun kebijakan negara Indonesia pada zaman Orde
Baru telah membatasi, dengan kata lain berusaha untuk menghilangkan unsur-unsur bahasa
Tionghoa di dalam penulisan sastra mereka. Sehingga sastra peranakan menjadi lebih
diuntungkan akibat kebijkana negara supaya dapat menyatu dengan sastra pribumi, sampai
terkadang pula sulit untuk membedakan antara mana karya dari etnis Tionghoa dan mana karya
yang berasal dari etnis pribumi. Namun, satu hal yang masih berbau “etnis” Tionghoa ialah
cerita-cerita bernuansa silat (cersil) atau lebih dikenal dengan nama kung fu yang ditulis dalam
bahasa Melayu maupun Indonesia, saking populernya sehingga di kalangan pribumi sendiri pun
memiliki banyak sekali penggemarnya. Bahkan cerita silat versi pribumi sampai dibuat dengan
menggunakan tokoh serta latar belakang sejarah asli Nusantara seperti Pitung, Samson dan lain
sebagainya. Hal itu muncul akibat pengaruh dari cerita silat asli etnis Tionghoa yang begitu kuat
pada waktu itu. Orang di luar etnis Tionghoa bisa saja berkata bahwasanya cerita silat asal
Tionghoa banyak memiliki unsur dan semangat Tionghoa. Namun, jika diteliti lebih dalam cerita
silat etnis Tionghoa ini banyak sekali mengandung nilai-nilai norma baik yang sifatnya tidak
hanya berlaku kepada satu etnis tetapi lebih cenderung bersifat universal. Di satu pihak pada bab
ini juga menjelaskan mengenai peranan dari pihak kekuasaan negara selaku pemerintah supaya
membuat sastra Peranakan Tionghoa menjadi lebih memiliki corak tersendiri yakni bercorak
“sastra nasional” Indonesia, tetapi disamping itu juga menunjukan bahwasanya peran negara
tidak cukup kuat untuk mampu menghilangkan unsur etnisitas Tionghoa khususnya dalam hal
cerita silat.

Anda mungkin juga menyukai