Anda di halaman 1dari 7

HUKUM DAN PERATURAN PERIKANAN

DISUSUN OLEH :

NAMA : RIZKA REGITA CAHYANI


NIM : 201964016
PRODI : ILMU KELAUTAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2020
SOAL DAN JAWABAN

1. Salah satu fungsi ZEE adalah untuk memberlakukan dan melindungi kekayaan alam
berupa sumber daya perikanan.Untuk itu diperlukan kebijakan hukum. Mengapa
demikian? Menurut sdr apakah kebijakan hukum yang sekarang ada sudah dapat
memberikan perlindungan terhadap sumber daya perikanan di ZEE. Jelaskan
argumentasi sdr dengan disertai pendapat pakar.
Jawab :
Luas wilayah perairan Indonesia merupakan potensi alam yang besar untuk
dimanfaatkan bagi pembangunan nasional. Pembangunan nasional diarahkan pada
pendayagunaan sumber daya laut dan dasar laut nasional serta pemanfaatan fungsi
wilayah laut nasional termasuk Zona Ekonomi Eksklusifnya secara serasi dan seimbang
dengan memperhatikan daya dukung sumber daya kelautan dan kelestariannya untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat serta memperluas kesempatan usaha dan lapangan
kerja. Dengan telah disahkannya rezim hukum Zona Ekonomi Ekslusif dalam lingkup
Hukum Laut Internasional maka sumber daya perikanan yang dimiliki bangsa
Indonesia menjadi bertambah besar jumlahnya dan berperan sangat potensial untuk
menunjang peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat, khususnya
nelayan Indonesia.
Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB tentang
Hukum Laut tahun 1982 dengan Undang-undang Nomor 17 tahun 1985. Konvensi
tersebut telah berlaku pada tanggal 16 November 1994 yakni setahun setelah
sipenuhinya jumlah ratifikasi sebanyak 60 negara oleh Guyana pada tanggal 16
November 1993, sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 308 yang menyatakan bahwa
Konvensi akan berlaku 12 bulan setelah tanggal pendepositan piagam ratifikasi yang
ke-60. Oleh karena itu bagi negara kepulauan dan negara pantai seperti Indonesia,
peristiwa tersebut merupakan langkah yang patut dibanggakan. Dengan berlakuknya
yurisdiksi Konvensi Hukum Laut 1982 berarti status kepulauan Indonesia dengan
yurisdiksi terhadap eksploitasi kekayaan alam hayati dan non hayati, sudah tidak
diragukan lagi secara internasional. Menurut Pasal 56 KHL 1982 negara pantai
(Indonesia) dalam Zona Ekonomi Eksklusifnya mempunyai hak-hak berdaulat untuk
keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan sumber kekayaan
alam, baik hayati maupun non hayati, dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut
dan tanah di bawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi
dan eksploitasi zona tersebut, seperti produksi energi dan air, arus dan angin. Yurisdiksi
di ZEE terbatas pada hak untuk melakukan eksploitasi sumber kekayaan alam yang
dikandungnya, dengan tetap mengakui adanya status lain dari perairan tersebut sebagai
laut bebas, untuk kegiatan-kegiatan yang bukan 15 termasuk ke dalam pemafaatan
kekayaan alam. Dengan perkataan lain, yurisdiksi yang diberikan oleh Konvensi
terbatas terhadap hak-hak ekonomi dan negara pantai atas kekayaan alamnya.
Sedangkan di bidang pelayaran dan pemasangan kabel dan pipa di bawah laut, tetap
merupakan laut bebas. Selain yurisdiksi terhadap kekayaan alam yang terkandung di
ZEE, kegiatan-kegiatan yang sesungguhnya memiliki keterkaitan dengan eksistensi
dari kekayaan tersebut, Konvensi mengakui adanya yurisdiksi yang berkaitan.
Sebagaimana dikatakan dalam Pasal 56 ayat (1) butir (b) bahwa yurisdiksi sebagaimana
ditentukan dalam ketentuan yang relevan dengan Konvensi ini berkenaan dengan : (i)
pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bangunan; (ii) riset ilmiah
kelautan; dan (iii) perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Ditambah dengan hak
dan kewajiban lain sebagaimana ditentukan dalam Konvensi. Namun dalam
melaksanakan hak-hak dan memenuhi kewajibannya berdasarkan Konvensi ini dalam
ZEE, negara pantai harus memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak dan
kewajiban konvensi. Mengenai hak-hak negara lain di ZEE ditegaskan dalam Pasal 58
yang menyatakan bahwa semua negara, baik negara yang pantai atau negara tak
berpantai dengan tunduk pada ketentuan yang relevan dengan konvensi, menikmati
kebebasan pelayaran dan penerbangan, serta kebebasan meletakan kabel dan pipa
bawah laut, dan penggunaan laut lain yang sah menurut hukum internasional yang
bertalian dengan kebebasan-kebebasan kapal, pesawat udara, dan kabel serta pipa
bawah laut.

2. Menurut sdr banyaknya kegiatan illegal unregulated unreported (IUU) yang terjadi di
ZEE apa penyebabnya. Jelaskan pendapat sdr.
Jawab :
Menurut saya banyaknya kegiatan illegal unregulated unreported (IUU) itu dikarenakan
kondisi geografis dan potensi sumber daya ikan yang cukup besar. Dalam definisi
internasional kejahatan perikanan bukan hanya sekedar pencurian ikan (illegal fishing),
namun juga meliputi penangkapan ikan yang tidak dilaporkan (unreported fishing) dan
penangkapan ikan yang tidak diatur (unregulated fishing) atau lebih dikenal dengan
Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (IUU Fishing). Tindakan IUU Fishing
tidak hanya merugikan secara ekonomi dengan nilai triliunan rupiah yang hilang, tetapi
juga menghancurkan perekonomian nelayan di Indonesia. Selain itu juga menimbulkan
dampak politik terhadap hubungan antar negara yang berdampingan, melanggar
kedaulatan negara dan ancaman terhadap kelestarian sumber daya hayati laut. Tindakan
yang melanggar kedaulatan negara dan ancaman terhadap kelestarian sumber daya
hayati laut atau kegiatan yang berkenaan dengan perikanan adalah perbuatan yang
merugikan kedamaian, ketertiban atau keamanan suatu negara.
Perbuatan ini telah diatur dalam United Nations Convention on The Law Sea 1982
(UNCLOS 1982) (I Wayan Parthiana, 2014:107-108). Untuk itu harus ada penegakan
hukum yang tegas berupa penangkapan nelayan asing beserta kapalnya untuk di proses
secara hukum. Sudah banyak regulasi yang diundangkan oleh pemerintah sebagai dasar
hukum terkait IUU Fishing beberapa diantaranya adalah Undang Undang No. 17 Tahun
1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982, Undang Undang No. 31 Tahun 2004
sebagaimana telah diubah melalui Undang Undang No. 45 Tahun 2009 tentang
Perikanan, serta Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Meskipun
telah banyak regulasi yang mengatur IUU Fishing di Indonesia, hal tersebut tidak
menurunkan jumlah kasus IUU Fishing yang terjadi, tetap saja terjadi pelanggaran
Sejak Januari hingga pertengahan September 2017 saja telah ditangkap oleh armada
Kapal Pengawas Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebanyak 107
kapal perikanan ilegal yang terdiri dari 68 kapal perikanan asing (KIA) berbendera
Vietnam, 4 KIA berbendera Philipina, dan 9 KIA berbendera Malaysia, sedangkan 26
kapal lainnya berbendera Indonesia.
Penegakan hukum terhadap pelanggaran IUU Fishing di ZEE memiliki upaya tersendiri
hal ini dikarenakan selain kepentingan negara pantai juga terdapat kepentingan dari
negara bendera kapal. Oleh karenannya jika ditinjau dari hukum internasional
mengenai penegakan hukum terhadap IUU Fishing di ZEE, maka sesuai Pasal 73 ayat
(1) UNCLOS 1982 dijelaskan bahwa jika kapal asing tidak mematuhi peraturan
perundang-undangan perikanan negara pantai di ZEE, maka negara pantai dapat
menaiki, memeriksa, menangkap dan melakukan proses peradilan terhadap kapal asing
tersebut, sebagaimana diperlukan untuk menjamin ditaatinya peraturan perundang-
undangan yang ditetapkan sesuai Penegakan hukum terhadap pelanggaran IUU Fishing
di ZEE memiliki upaya tersendiri hal ini dikarenakan selain kepentingan negara pantai
juga terdapat kepentingan dari negara bendera kapal. Oleh karenannya jika ditinjau dari
hukum internasional mengenai penegakan hukum terhadap IUU Fishing di ZEE, maka
sesuai Pasal 73 ayat (1) UNCLOS 1982 dijelaskan bahwa jika kapal asing tidak
mematuhi peraturan perundangundangan perikana negara pantai di ZEE, maka negara
pantai dapat menaiki, memeriksa, menangkap dan melakukan proses peradilan terhadap
kapal asing tersebut, sebagaimana diperlukan untuk menjamin ditaatinya peraturan
perundang-undangan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan dalam UNCLOS 1982.
Oleh karenanya negara pantai dapat memaksakan berlakunya peraturan perundangan
nasionalnya terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh kapal-kapal
perikanan asing yang melakukan IUU Fishing di wilayah Zona Ekonomi Eksklusifnya.
Adapun dalam melaksanakan kewenangannya sesuai dalam Pasal 73 ayat (1) UNCLOS
1982 tersebut negara pantai dilengkapi dengan ketentuan dalam Pasal 111 UNCLOS
1982 yang memberikan kewenangan kepada negara pantai untuk melakukan
pengejaran seketika (hot pursuit) terhadap kapal perikanan asing yang berdasar bukti
permulaan cukup bahwa kapal tersebut telah melakukan pelanggaran terhadap
peraturan perundang-undangan negara pantai.

3. Jika kegiatan IUU ini terus berlangsung tentunya akan melemahkan perekonomian
Indonesia di bidang perikanan. Apakah pernyataan ini dapat dibenarkan. Jelaskan
pendapat sdr. Dan apa solusi yang dapat sdr sampaikan
Jawab :
Menurut saya pernyataan diatas dapat dibenarkan karena praktik IUUF tak hanya
menimbulkan kerugian ekonomi yang besar terhadap Negara dan masyarakat saja,
melainkan juga merusak ekosistem yang ada di laut dengan sangat cepat. untuk wilayah
di sekitar Samudera Pasifik saja, kerugian akibat praktik IUUF bisa mencapai rerata 4-
7 juta ton komoditas perikanan per tahun. Dari jumlah tersebut, diperkirakan nilai
kerugian secara ekonomi mencapai USD8,3 juta atau Rp116,2 miliar setiap tahunnya.
Tak hanya secara ekonomi, negara yang mengalami praktik IUU Fishing juga
mendapatkan kerugian terhadap keanekaragaman hayati. Bukti lain kalau praktik IUUF
sudah memicu kerusakan lingkungan, adalah rusaknya kawasan hutan rumput laut di
Cile yang diakibatkan praktik penangkapan secara ilegal untuk komoditas Abalon
(Haliotis). Kondisi itu kemudian mengakibatkan keanekaragaman hayati di laut
tersebut menurun dengan sangat cepat. Salah satunya beberapa jenis ikan di zona
bentik.
Dalam melaksanakan aksinya, para pelaku IUUF biasanya membuat berbagai strategi
yang dijadikan modus untuk melaksanakan IUUF. Di antara yang sering dilakukan,
adalah modus dengan menggunakan flag of convenience state atau modus
menggunakan bendera satu negara pada kapal, tapi tidak memiliki hubungan langsung
antara kapal tersebut dengan pemilik kapal dan negara pemilik bendera. Modus
berikutnya yang juga sering dipakai oleh kapal perikanan pelaku IUUF, adalah
penggunaan bendera negara tertentu yang memiliki reputasi tidak baik dalam
pemberantasan IUUF (flags of non compliance). Cara kedua ini, juga memudahkan
kapal untuk bergerak menuju perairan yang dituju untuk melaksanakan praktik
IUUF.Modus ketiga yang juga sering dipakai kapal perikanan pelaku IUUF,
adalah port of convenience. Dengan menggunakan modus ini, kapal bisa memilih lokasi
pendaratan untuk ikan dan logistik di pelabuhan atau tempat pendaratan yang minim
dari inpeksi. salah satu dorongan kenapa praktik IUUF di seluruh dunia bisa terus
muncul, adalah karena adanya pemberian insentif ekonomi, lemahnya posisi
organisasi pengelolaan perikanan regional (RFMO), dan daya tawar pemerintahan
yang lemah. Kita bisa memberikan insentif ekonomi bagi para pelaku usaha yang
patuh, meningkatkan penegakan hukum, dan memperkuat pemerintahan

Saran saya praktik IUUF berdampak negatif terhadap banyak aspek dan harus
dihentikan dengan cepat, karena itu akan terus memicu dampak negatif yang lainnya.
Penghentian praktik IUUF, bisa dilakukan dengan berbagai cara, salah satu yang utama
adalah melalui regulasi yang diterbitkan oleh Negara. Namun demikian, Pemerintah
juga lebih dulu menyadari kalau penerbitan regulasi tidak serta merta akan bisa
langsung menghentikan praktik IUUF. Tetapi, perlu upaya lebih keras dari sekedar
penerbitan regulasi, agar praktik terlarang itu bisa benar-benar punah dari aktivitas
penangkapan ikan yang ada di Indonesia. Upaya untuk menghentikan praktik IUUF
harus terus dilakukan, karena Pemerintah paham benar bahwa ikan merupakan salah
satu alternatif terbaik untuk memenuhi kebutuhan protein bagi masyarakat dunia.
Selain itu, dengan mengonsumsi ikan, ketahanan pangan dunia juga akan bisa terjaga
dengan baik. Namun, ketersediaan stok ikan dunia saat ini juga tengah terancam.
Pasalnya, peningkatan angka konsumsi ikan lebih tinggi dibandingkan dengan
peningkatan populasi ikan di laut. Hal ini salah satunya disebabkan oleh penangkapan
ikan secara berlebihan (overfishing). Tren perikanan tangkap dunia beberapa waktu lalu
memang sempat meningkat, seiring dengan komitmen banyak negara untuk
memberantas aktivitas IUUF di wilayah perairan laut masing-masing. Tetapi, tren
tersebut kemudian menjadi statis, karena penangkapan ikan dilakukan secara
berlebihan.

Anda mungkin juga menyukai