Anda di halaman 1dari 8

Nama : Denis Tesalonika E.

A
NIM : 1808551054
TUPOKSI APOTEKER DI INDUSTRI OBAT
Undang-udang apoteker di industri obat dimuali dari yang terdasar dulu yaitu UUD 1945, lalu
masuk ke UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, lalu UU No. 8 tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen, lalu PP No. 51 tahun 2009 tentang tenaga kefarmasian, lalu PP No.
72 tahun 1998 tentang pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan, lalu Permenkes RI
No. 377/MENKES/PER/V/2009 tentang teknis jabatan fungsional apoteker, lalu Permenkes
No. 1799 tahun 2010 tentang industri farmasi. Industri farmasi adalah perusahaan berbentuk
badan hukum yang memiliki izin untuk melakukan kegiatan produksi atau pemanfaatan
sumber daya produksi, penyaluran obat, bahan obat dan firofarmaka, melaksanakan
Pendidikan dan pelatihan dan/atau penelitian dan pengembangan. Mulai dari ilmu membuat
obat dalam skala besar, regulasi mengenai obat (CPOB) dan flow peocess bisnis obat.
Industri farmasi ada dua bentuk, yaitu ptimary industry dan secondary industry. Primary
industry terfokus pada penemuan bahan-bahan obat baru (new drug substances), sedangkan
secondary industry terfokus pada usaha pengelolaan bahan baku menjadi produk jadi. Saat
ini, Sebagian besar industry farmasi di Indonesia adalah secondary industry. Hal ini berkaitan
dengan nilai investasi yang sangat tinggi, baik dalam bentuk biaya, fasilitas maupun waktu
yang Panjang. Peran apoteker sendiri dalam industry obat sangat vital, dalam undang-undang
hanya disebut 3 apoteker penanggung jawab dalam industry farmasi yaitu apoteker
penanggung jawab Quality Assurance (QA), Quality Control (QC) dan produksi. Bagian QA
merupakan bagian yang sangat vital dalam pabrik obat karena berkaitan dengan mutu,
walaupun mutu sebenarnya bukan hanya tanggung jawab QA tapi semua bagian. Karena
terkait dengan utamanya Mutu maka apoteker bagian QA dituntut untuk mengerti bagian lain
misalnya produksi dan QC. Keseharian di bidang QA diantaranya adalah perilisan produk
jadi, penanganan complain, kalibrasi, kualifikasi, validasi, registrasi, dokumentasi dan lain-
lain. Apoteker yang bekerja di bagian QC kesehariannya berkutat dalam pelulusan produk
jadi, bahan baku dan pemeriksaan lingkungan (pemeriksaan limbah, air, udara). Apoteker QC
juga harus kuat dalam logika analisis, mengerti berbagai macam analisis kimia, fisika dan
mikrobiologi. Bagian produksi merupakan inti dari pembuatan obat. Bagian produksi intinya
adalah mengatur produksi obat mulai dari Langkah penimbangan sampai dengan produk jadi
dirilis QA.
Semua industri farmasi wajib memiliki izin untuk usaha, izin tersebut diperoleh dari
Menteri Kesehatan melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Berdasarkan SK
Menkes RI No. 1191/Menkes/SK/IX/2002. Persyaratan yang harus dipenuhi di industry
farmasi untuk mendapatkan izin usaha yaitu :
1. Dilakukan oleh perusahaan umum, badan hukum berbentuk perseroan terbatas atau
koperasi.
2. Memiliki rencana investasi.
3. Memilki nomor pokok wajib pajak (NPWP).
4. Industri farmasi obat jadi bahan baku obat wajib memenuhi persyaratan cara
oembuatan obat yang baik (CPOB).
5. Industri farmasi obat jadi dan bahan baku obat wajib memperkerjakan secara tetap
sekurang-kurangnya 2 (dua) orang apoteker warga negara Indonesia masing-masing
sebagai penanggung jawab produksi dan penanggung jawab pengawasan mutu sesuai
dengan persyaratan CPOB.
6. Obat jadi yang diproduksi oleh perusahaan Industri Farmasi hanya dapat diedarkan
setelah memperoleh persetujuan dengan ketentuan perundang-udangan yang berlaku.
Setelah memperoleh izin usaha, terdapat beberapa kewajiban lain yang harus dilakukan
oleh perusahaan yang telah memperoleh Izin Usaha Industri Farmasi, yaitu :
1. Membuat laporan jumlah dan nilai produksinya sekali dalam 6 (enam) bulan.
Sedangkan untuk laporan lengkap wajib disampaikan sekali dalam setahun.
2. Menyalurkan produksinya sesuai dengan ketentuan perundang-udangan yang
berlaku.
3. Melaksanakan upaya keseimbanagn dan kelestarian serta mencegah pencemaran
lingkungan.
4. Melaksanakan keamanan dan keselamatan alat, bahan baku, proses, hasil produksi,
pengangkutan dan keselamatan kerja.
5. Melakukan Analisa Dampak Lingkungan (AMDAL) berupa upaya pengelolaan
lingkungan (UKL) dan upaya pemantauan lingkungan (UPL).
Kosmetika adalah salah satu bagian dari industri farmasi.Definisi kosmetika menurut
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1175/MENKES/PER/VIII/2010, tentang izin produksi
kosmetika, Kosmetika adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada
bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ genital bagian luar)
atau gigi dan membrane mukosa mulut terutama membersihkan, mewangikan, mengubah
penampilan dan atau memperbaiki bay badan atau melindungi atau memelihara tubuh pada
kondisi baik. Adapun industri kosmetik golongan A dan golongan B. Dalam izin industri
kosmetika golongan A harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. Memiliki apoteker sebagai penanggung jawab.
2. Memiliki fasilitas produksi sesuai dengan produk yang akan dibuat.
3. Memiliki fasilitas laboratorium.
4. Wajib menerapkan CPKB.
Sedangkan industri kosmetika golongan B harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. Memiliki sekurang-kurangnya tenaga teknis kefarmasian sebagai penanggung
jawab,
2. Memiliki fasilitas produksi dengan teknologi sederhana sesuai produk yang akan
dibuat.
3. Mampu menerapkan hygiene sanitasi dan dokumentasi sesuai CPKB.
Adapun tupoksi apoteker dalam notifikasi kosmetika yaitu :
1. Mampu melakukan pengurusan notifikasi kosmetika
2. Memahami persyaratan yang diperlukan dalam pengurusan notifikasi kosmetika
3. Mampu menyiapkan dan mengajukan dokumen-dokumen persyaratan yang
berkaitan dengan produk yang dibuat.
Sediaan kosmetik yang berfungsi sebagai pemutih kulit masih beredar sebagai kosmetik
yang digemari, oleh karena itu bahan-bahan yang dapat digunakan sebagai pemutih kulit
banyak diteliti dan dikembangkan. Salah satu bahan pemutih kulit yang terkenal dan telah
banyak digunakan adalah hidrokuinon (Carissa, 2014). Hidrokuinon bekerja dengan
menghambat pembentukan melanin dengan cara merusak melanosit. Melanin merupakan
pigmen coklat tua yang dihasilkan oleh melanosit dan disimpan dalam sel epidermis kulit
yang berfungsi melindungi epidermis dan dermis dari bahaya sinar ultraviolet. Dengan
pembentukan melanin yang terhambat, maka lama-lama kulit akan kehilangan melanin yang
akan mudah sekali terpapar oleh sinar matahari yang dapat menimbulkan efek toksik. Produk
pencerah kulit menganggu fungsi kekebalan tubuh manusia, kulit epidermis mengalami
kerentanan terhadap infeksi lokal atau sistemik semenjak penggunaan dalam waktu yang
lama. Pada permukaan tubuh dan di bawah kondisi yang lembab meningkatkan penyerapan
perkutan. Krim yang mengandung hidrokuinon dapat menimbulkan potensi risiko seperti
ochronosis eksogen (Siyaka et al., 2016).
Hidrokuinon dalam kosmetik mampu mengelupas kulit bagian luar dan menghambat
pembentukan melanin yang membuat kulit tampak hitam. Berdasarkan Peraturan Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. 18 tahun 2015 menyatakan bahwa
hidrokuinon hanya dapat digunakan untuk kuku artifisial dengan kadar maksimum 0,02%
setelah pencampuran sebelum digunakan (BPOM RI, 2015).  Hidrokuinon lebih dari 2%
merupakan golongan obat keras dan penggunaanya harus berdasarkan resep dokter. Bahaya
pemakaian hidrokuinon tanpa pengawasan dokter dapat menyebabkan iritasi kulit, kulit
kemerahan, rasa terbakar, kelainan ginjal, kanker darah dan kanker hati (BPOM RI, 2007).
Berdasarkan hal tersebut, maka masyarakat perlu bijak dalam menggunakan kosmetika
terumata krim pemutih dan mengecek nomor registrasi dari sediaan kosmetika tersebut,
sehingga masyarakat akan lebih aman dalam menggunakan kosmetik. Dengan
berkembangnya zaman, pengecekan registrasi saat ini dapat dilakukan melalui web resmi
bpom atau dengan menginstal aplikasi di playstore.
Menurut UU RI N0. 36 TH 2009 Pasal 1 Ayat 9. Obat tradisional adalah bahan atau
ramuan bahan yang berupa tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenic)
atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk
pengobatan dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Cara
pembuatan obat Tradisional yang baik yang selanjutnya disebut CPOTB adalah seluruh aspek
kegiatan pembuatan obat tradisional yang bertujuan untuk menjamin agar produk yang
dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan sesuai dengan tujuan
penggunaanya. Undang undang yang membahas registrasi obat tradisional yaitu Permenkes
RI no. 007 tahun 2012 dan Kep. Ka. BPOM RI No. HK.00.05.41.1384. Membahas tentang
pengelompokkan dan pendandaan obat bahan alam Indonesia terdapat dalam Kep. Ka.
BPOM RI No. HK.00.05.4.2411. yaitu jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka. Obat
herbal terstandar adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan
khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan bahan bakunya telah distandarisasi.
Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya
secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik, bahan bakunya telah distandarisasi. Peranan
apoteker dalam industry obat tradisional sesuai CPOTB dibagi menjadi tiga yaitu kepala
bagian produksi, kepala bagian pengawasan mutu, dan kepala bagian manajemen mutu.
Adapun tupoksi apoteker sebagai keoala yaitu :
1. Memastikan bahwa obat tradisional diproduksi dan disimpan sesuai prosedur agar
memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan.
2. Memberikan persetujuan petunjuk kerja yang terkait dengan produksi dan
memastikan bahwa petunjuk kerja diterapkan secara tepat.
3. Memastikan bahwa catatan produksi telah dievalusai dan ditandatangani oleh
kepala bagian Produksi sebelum diserahkan kepala kepala bagian Manajemen mutu
(pemastian mutu)
4. Memeriksa pemeliharaan bangunan dan fasilitas serta peralatan di bagian Produksi.
5. Memastikan bahwa validasi yang sesuai telah dilaksanakan.
6. Memastikan bahwa pelatihan awal dan berkesinambungan bagi personil di
departemennya dilaksanakan dan diterapkan sesuai kebutuhan.
Adapun larangan terhadap obat tradisional yaitu :
1.  Obat tradisional dilarang dalam bentuk sediaan intravaginal, tetes mata, parenteral,
supositoria (kecuali digunakan untuk obat tradisional wasir).
2.  Obat tradisional dan suplemen kesehatan dilarang mengandung :
a. Bahan kimia isolasi atau sintetik berkhasiat obat, untuk obat tradisional :
Narkotika, psikotropika, bahan obat
b.  Hewan atau tumbuhan yang dilindungi : Alkohol lebih dari 1 % untuk bentuk
sediaan cairan obat dalam
c. Mengandung bahan yang dilarang sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan
Terkait dengan izin edar, perusahan harus melakukan pendaftaran ulang produk yang
sama dengan peningkatan kualitas namun tidak mengubah manfaat. Menurut Peraturan
BPOM RI NOMOR : HK.00.05.41.1384 tahun 2005 tentang Kriteria dan Tata Laksana
Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar, dan Fitofarmaka, produk yang
dimaksud ini termasuk kedalam produk kategori 11. Dimana produk kategori 11 ini ditujukan
untuk pendaftaran obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka yang telah
mendapat izin edar dengan perubahan formula atau komposisi termasuk bahan tambahan
yang tidak mengubah khasiat. Selain itu, produk kategori 11 ini memiliki jalur penilaian yang
berbeda, yaitu berada pada jalur 11. Penilaian ini baru bisa dilakukan apabila produk yang
dimaksud telah didaftarkan di BPOM dan telah melalui tahapan penilaian. Sampai saat ini
belum ada peraturan BPOM yang mengatur hal tersebut. Namun, menurut PP No. 7 Tahun
1999 tentang jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi, dijelaskan bahwa
tanaman/tumbuhan dan satwa yang dilindungi tidak boleh digunakan termasuk untuk Obat
Tradisional, Suplemen Makanan dan Kosmetik, termasuk produk daftar ulang. 

Aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam sistem GMP suatu industri farmasi yaitu
dilihat dari bagaimana keadaan ruang pengolahan, keadaan tempat produksi, peralatan
produksi, suplai air, dan hygiene perorangan. Selanjutnya akan dilakukan penilaian dari
masing-masing unsur tersebut dengan parameter standar yang ditetapkan. Penarikan Obat
adalah proses penarikan obat yang telah diedarkan yang tidak memenuhi standar dan/atau
persyaratan keamanan, khasiat, mutu dan label. Obat legal yang beredar di masyarakat sudah
memenuhi persyaratan yang ditetapkan dan sesuai dengan tujuan penggunaannya termasuk
sudah lolos uji yang disyaratkan. Penarikan izin edar obat dapat terjadi karena ditemukannya
kajian risiko dan hasil  pengujian laboratorium yang menunjukkan obat tersebut tidak layak
untuk digunakan. Maka dalam rangka kehati-hatian dan perlindungan masyarakat, obat
tersebut ditarik peredarannya. Termasuk melanggar peraturan dan karena perdagangan yang
dilakukan tanpa izin BPOM maka penjual tetap mendapatkan hukuman sanksi seperti yang
tertera pada Pasal 19 Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen. Jika konsumen
menderita kerugian berupa terjadinya kerusakan, pencemaran, atau kerugian finansial dan
kesehatan karena mengonsumsi produk yang diperdagangkan maka bentuk
pertanggungjawaban yang diberikan perusahaan terhadap konsumen yaitu pelaku usaha
bertanggung jawab memberikan ganti rugi. Ganti rugi tersebut berupa pengembalian uang,
perawatan kesehatan dan pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan tersebut tidak dimaksudkan supaya persoalan
tidak diselesaikan melalui pengadilan, tetapi merupakan kewajiban mutlak bagi perusahaan
untuk memberi penggantian kepada konsumen, kewajiban yang harus dipenuhi seketika.
Berdasarkan sanksi menurut UU, dikenakan Undang Undang No 36 Tahun 2009 tentang
kesehatan Pasal 196. Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan
sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan
keamanan, khasiat atau kemanfaatan dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat
(2) dan ayat (3) dipidana penjara paling lama 10 tahun atau di denda paling banyak
Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah). Dan jika produk tersebut tidak memiliki izin edar
(notifikasi) dari BPOM RI, bisa dikenakan denda berlapis yaitu padal 197 dimana yang
berbunyi setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi
dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak
Rp1.500.000.000 (satu miliar lima ratus juta rupiah). Kemudian ditambah bisa dikenakan dari
Undang Undang Perlindungan Konsumen. Penarikan kembali kosmetik dilaksanakan oleh
Pemilik Nomor Notifikasi atas perintah Kepala Badan atau prakarsa Pemilik Nomor
Notifikasi. Pelaksanaan Penarikan oleh Pemilik Nomor Notifikasi atas perintah Kepala Badan
dilakukan berdasarkan: 
a. temuan hasil inspeksi di sarana produksi, importir/usaha perorangan atau badan usaha
yang melakukan kontrak produksi, dan/atau distribusi 
b. hasil sampling dan pengujian 
c. hasil evaluasi Penandaan 
d. hasil penerimaan Post Market Alert System (PMAS) 
e. hasil audit Dokumen Informasi Produk (DIP) 
f. tindak lanjut hasil evaluasi terhadap keluhan/pengaduan masyarakat 
g. hasil monitoring efek samping Kosmetika. 

Penarikan dilakukan terhadap keseluruhan batch yang diedarkan untuk Kosmetika


mengandung bahan dilarang, mencantumkan penandaan yang tidak objektif, dan
menyesatkan atau tidak berisi informasi seolah-olah  sebagai obat. Kosmetika yang telah
ditarik dari peredaran oleh Pemilik Nomor Notifikasi wajib dilakukan pemusnahan. Dalam
proses pemusnahan harus memenuhi ketentuan yang sesuai dengan UU yang berlaku seperti
tidak mencemari lingkungan, tidak membahayakan kesehatan masyarakat sekitar, dan
disaksikan oleh Petugas. Dalam Pemusnahan Kosmetika, Pemilik Nomor Notifikasi wajib
membuat Berita Acara Pemusnahan; dan Laporan pelaksanaan Pemusnahan kepada Kepala
Badan. Dalam hal Pemilik Nomor Notifikasi tidak memungkinkan melakukan Penarikan dan
Pemusnahan dikarenakan lokasi sulit dijangkau maka Pemilik Nomor Notifikasi dapat
menunjuk salah satu pemilik sarana  distribusi untuk melakukan Penarikan atau Pemusnahan
yang berada di daerah tersebut (Dimuat dalam Perka BPOM NO. 11 tahun 2017 tentang
Kriteria dan Tata Cara Penarikan dan Pemusnahan Kosmetika). Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM) sebagai lembaga pemerintah non kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan, menyediakan Unit Pelayanan
Pengaduan Konsumen (ULPK) yang merupakan salah satu upaya untuk melindungi
masyarakat Indonesia terkait obat yang tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan
manfaat. Keluhan yang diterima kemudian dikaji dan dilakukan tindak lanjut. Berdasarkan
Perpress No. 80 Tahun 2017, BPOM mempunyai tugas menyelenggarakan tugas pemerintah
di bidang pengawasan Obat dan Makanan yang terdiri atas obat, adiktif, obat tradisional,
suplemen kesehatan, kosmetik, dan pangan olahan sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan. Fungsi BPOM yaitu melakukan pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di
bidang pengawasan obat dan makanan. Pelaksana kebijakan tersebut adalah tugas dari Unit
Pelaksana Teknis BPOM yaitu Balai besar/Balai POM.pengawasan obat oleh BPOM terdiri
dari pengawasan pre market atau sebelum produk beredar dan post market atau setelah
produk beredar. Pengawasan post market bertujuan untuk melindungi masyarakat dari produk
yang tidak memenuhi syarat, menjamin konsistensi produk pasca pemasaran, dan mendeteksi
dini produk palsu, illegal/ tidak terdaftar. Apoteker berperan dalam melakukan pengawasan
pre market yaitu evaluasi produk obat berkaitan dengan keamanan, khasiat dan mutu,
sedangkan dalam pengawasan post market apoteker berperan dalam melakukan audit
komprehensif dari hulu-hilir secara rutin dan insidentil, Monitoring Efek Samping Obat
(MESO), dan Monitoring Efek Samping Obat Tradisional (MESOT). Dalam Pasal 8 UUPK
mengatur mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha yang pada intinya pasal ini
ditujukan pada dua hal yaitu: larangan memproduksi barang/jasa dan larangan
memperdagangkan barang/jasa yang tidak sesuai dengan standar mutu. 13 Apabila pelaku
usaha memperdagangkan kosmetik impor yang termasuk perbuatan yang dilarang bagi pelaku
usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (4) UUPK, maka barang tersebut wajib ditarik
dari peredarannya. Pelanggaran terhadap peredaran kosmetik yang tidak memenuhi standar
mutu dan tidak memiliki izin edar diatur dalam Pasal 13 Peraturan Kepala Badan
Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.12.11.10052 Tahun
2011 tentang Pengawasan Produksi dan Peredaran Kosmetika, dapat dikenakan sanksi
administratif maupun sanksi pidana, diantaranya peringatan tertulis, larangan mengedarkan
kosmetik untuk sementara, penerikan kosmetik dari peredaran, pemusnahan kosmetik,
pemberhentian sementara kegiatan produksi dan importasi, pembatalan notofikasi atau
penutupan sementara akses online pengajuan permohonan notifikasi.

Anda mungkin juga menyukai