Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Proses morfologis merupakan proses pembentukan kata dengan cara menggabungkan
morfem yang satu dengan morfem yang lain sehingga menghasilkan kata. Proses gramatikal
atau proses gramatis akan memunculkan adanya makna gramatikal atau makna gramatis,
yaitu makna yang timbul akibat bertemunya morfem yang satu dengan morfem yang lain.
Contohnya morfem {meN-} tidak mempunyai makna leksikal. Oleh karena itu morfem
tersebut harus bergabung dengan morfem lain agar memiliki makna. Misal, morfem {meN-}
yang tidak mempunyai makna leksikal itu harus digabung dengan morfem {tari} menjadi
{menari} sehingga morfem {meN-} memiliki makna ‘melakukan sesuatu seperti yang
tersebut pada bentuk dasar’. Makna itulah yang disebut makna gramatikal.

Kata yang mengalami proses morfologis itu mempunyai dua ciri yaitu (1)
polimorfemis, terdiri atas lebih dari satu morfem, dan (2) mempunyai makna gramatis atau
makna gramatikal. Ada tiga cara yang bisa dilakukan dalam proses morfologi bahasa
Indonesia. Ketiga cara itu antara lain: (1) afiksasi, yaitu proses pembentukan kata dengan
cara menggabungkan bentuk dasar dengan afiks sehingga menghasilkan kata berimbuhan, (2)
reduplikasi, yaitu proses pembentukan kata dengan cara menggabungkan bentuk dasar
dengan morfem ulang {R} sehingga menghasilkan kata ulang, dan (3) pemajemukan, yaitu
proses pembentukan kata dengan cara menggabungkan bentuk dasar yang satu dengan bentuk
dasar yang lain sehingga menghasilkan kata majemuk yang memiliki makna baru.

Dalam pemajemukan sering terjadi permasalahan, baik dalam perlakuan terhadap kata
majemuk maupun kerancuannya dengan bentuk yang lain (dalam hal ini adalah frasa, idiom,
dan reduplikasi berubah bunyi). Oleh karena itu, penulis menyusun makalah yang membahas
perlakuan terhadap kata majemuk serta perbedaan kata majemuk dengan frasa, idiom, dan
reduplikasi berubah bunyi agar kata majemuk dapat diperlakukan dengan tepat oleh
pengguna bahasa dan keberadaan kata majemuk tidak lagi disamakan dengan frasa, idiom,
ataupun reduplikasi berubah bunyi.

1
1.2 Masalah

1. Apakah pengertian pemajemukan?

2. Bagaimana ciri-ciri kata majemuk?

3. Apa sajakah jenis kata majemuk?

4. Bagaimana perlakuan terhadap kata majemuk?

5. Bagaimana perbedaan kata majemuk dengan frasa, idiom, dan reduplikasi berubah bunyi?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui pengertian pemajemukan.

2. Mengetahui ciri-ciri kata majemuk.

3. Mengetahui jenis kata majemuk.

4. Mengetahui perlakuan terhadap kata majemuk.

5. Mengetahui perbedaan kata majemuk dengan frasa, idiom, dan reduplikasi berubah bunyi.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pemajemukan

Sumadi (2010:132) mengemukakan bahwa pemajemukan atau komposisi adalah


proses pembentukan kata dengan cara menggabungkan bentuk dasar yang satu dengan bentuk
dasar yang lain dan gabungan itu menimbulkan makna baru yang menyimpang dari makna
konvensional setiap bentuk dasarnya. Pengertian tersebut senada dengan yang disampaikan
oleh Masnur Muslich (2008:57), yaitu peristiwa bergabungnya dua morfem dasar atau lebih
secara padu dan menimbulkan arti yang relatif baru. Sementara menurut Abdul Chaer
(2008:209), pemajemukan atau komposisi adalah proses penggabungan bentuk dasar dengan
bentuk dasar untuk dapat mewadahi suatu konsep yang belum tertampung didalam sebuah
kata-kata.
Dari ketiga pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pemajemukan merupakan
proses pembentukan kata dengan cara menggabungkan bentuk dasar yang satu dengan bentuk
dasar yang lain sehingga menghasilkan kata majemuk dan kata majemuk yang terbentuk itu
memiliki makna baru yang menyimpang dari makna konvensionalnya.

2.2 Ciri Kata Majemuk

Sebagai kata yang telah mengalami proses morfologis, kata majemuk memiliki dua
ciri umum sebagaimana kata berimbuhan dan kata ulang, yaitu (1) polimorfemis dan (2)
memiliki makna gramatikal (Sumadi, 2010:133). Menurut Sumadi (2010:134—136), kata
majemuk juga memiliki berapa ciri khusus yang akan dijelaskan sebagai berikut:

a. Menimbulkan Makna Baru

Dalam kata majemuk, terjadi pertalian makna di antara bentuk dasar yang
membentuknya sehingga penafsiran makna terhadap kata majemuk tidak dapat dilakukan
terhadap makna bentuk dasarnya. Sebagai contoh, kamar mandi adalah kata majemuk,
sedangkan kamar saya bukan kata majemuk. Alasannya, bentuk kamar mandi merujuk pada
ruangan yang dirancang khusus untuk dipakai mandi, sedangkan bentuk kamar saya
menjelaskan bahwa kamar itu milik saya.

3
Dapat disimpulkan bahwa terjadi penyimpangan makna terhadap makna konvensional
yang dimiliki setiap bentuk dasar pada kata majemuk. Penyimpangan ini bervariasi mulai dari
yang agak menyimpang, misalnya rumah sakit hingga yang sangat menyimpang misalnya
silat lidah.

b. Hubungan Antarunsur Sangat Padu

Hubungan antarunsur pembentuk kata majemuk sangat padu sehingga di antara unsur
pembentukya tidak dapat disisipi satuan gramatis yang lain (Sumadi, 2010:135). Menurut
Masnur Muslich (2008:59), bentuk majemuk tergolong konstruksi pekat.Untuk memperjelas
pernyataan tersebut, bandingkan kata majemuk rumah makan dan frasa rumah untuk makan.
Kata majemuk rumah makan memang bisa didefinisikan sebagai ‘rumah untuk makan’
sehingga seakan-akan tidak ada bedanya dengn frase rumah untuk makan. Akan tetapi, perlu
diingat bahwa kata majemuk rumah makan telah memiliki rujukan tertentu, misalnya
restoran, depot, dan kafe. Jadi, tidak semua rumah yang digunakan untuk makan bisa disebut
rumah makan. Selain itu kata majemuk juga diberi keterangan yang digunakan sebagai
penanda bahwa hubungan antarunsur pembentuknya sangat padu.

c. Memiliki Struktur yang Tetap

Karena hubungan di antara satuan gramatis pembentuk kata majemuk itu sangat erat,
maka posisinya tidak dapat dipertukarkan sehingga strukturnya tetap (Sumadi, 2010:135—
136). Sebagai contoh, kata majemuk kamar tidur, tanggung jawab, dan mata air tidak dapat
diubah menjadi tidur kamar, jawab tanggung, dan air mata (bentuk ini ada, tetapi maknanya
tentu berbeda dengan mata air).

2.3 Jenis Kata Majemuk

Ada empat dasar yang biasanya digunakan untuk menjeniskan kata majemuk, yaitu
(1) berdasarkan hubungan gramatik antar usurnya, (2) berdasarkan hubungan semantis
antarunsurnya, (3) berdasarkan jumlah bentuk dasar yang membentuk kata majemuk itu, dan
(4) berdsarkan kelas kata bentuk dasar yang membentuknya.

a. Berdasarkan Hubungan Gramatis Antarunsurnya

Berdasarkan hubungan gramatis antarunsurnya, kata majemuk terdiri atas kata


majemuk endosentris dan kata majemuk eksosentris (Sumadi, 2010: 136) Kata majemuk
endosentris adalah kata majemuk yang unsur pembentuknya ada yang diterangkan (D) dan

4
ada yang menerangkan (M). Strukturnya bisa berupa D-M, misalnya kamar mandi dan hari
besar, atau M-D yamg pada umumnya berasal dari unsur serapan, misalnya perdana menteri
dan akil balig (Masnur Muslich, 2008:62).

Sementara itu, kata majemuk eksosentris atau dwanda adalah kata majemuk yang
hubungan gramatis antarunsurnya sejajar dan tidak saling menerangkan sehingga hanya
bersifat kopulatif (Sumadi, 2010:136; Masnur Muslich, 2008:62). Contoh kata majemuk jenis
ini adalah kaki tangan, tua muda, dan sunyi senyap. Penulisan kata majemuk endosentris
berstruktur D-M apabila diulang, cukup D-nya saja yang diulang. Adapun penulisan kata
majemuk endosentris berstuktur M-D dan kata majemuk eksosentris apabila diulang,
seluruhnya harus diulang (Sumadi, 2010:137).

b. Berdasarkan Hubungan Sematis Antarunsurnya

Berdasarkan hubungan sematis antarunsurnya, kata majemuk terdiri atas (1) kata majemuk
yang hubungan antarunsurnya setara, misalnya tanggung jawab (2) kata majemuk yang
hubungan makna antarunsurnya bersinonim, misalnya pucat pasi, dan (3) kata majemuk yang
hubungan makna antarunsurnya berantonim, misalnya simpan pinjam (Sumadi, 2010:137).

c. Berdasarkan Jumlah Bentuk Dasar yang Membentuknya

Berdasarkan jumlah bentuk dasarnya, kata majemuk dapat dipilah menjadi (1) kata majemuk
yang terdiri atas dua bentuk dasar, misalnya meja tulis, kepala dingin, dan membabi buta,
serta (2) kata majemuk yang terdiri atas tiga bentuk dasar, misalnya telur mata sapi, kereta
api cepat, dan setali tiga uang (Sumadi, 2010:137—138).

d. Berdasarkan Kelas Kata Bentuk Dasar yang Membentuknya

Menurut Sumadi (2010:138), berdasarkan kelas kata bentuk dasarnya, kata majemuk dapat
dipilah menjadi delapan belas, yaitu sebagai berikut:

1. KB-KB, misalnya tuan tanah, tanah air, dan kepala batu.

2. KB-KK, misalnya kamar tidur dan kamar mandi.

3. KB-KS, misalnya orang tua, istri muda, dan kursi malas.

4. KB-KBil, misalnya roda dua, roda empat, dan langkah seribu.

5. KK-KS, misalnya tertangkap basah dan adu untung.

6. KK-KB, misalnya makan hati dan adu mulut.


5
7. KS-KB, misalnya keras kepala dan haus darah.

8. KBil-KB, misalnya setengah hati dan empat mata.

9. KBil-Kbil, misalnya sekali dua.

10. KBil-KK, misalnya setengah hati.

11. KB-PKK, misalnya roti bakar, buku tulis, dan ruang kerja.

12. KS-PKK, misalnya buruk sangka dan salah paham.

13. PKK-PKK, misalnya jual beli dan kerja paksa.

14. KB-KB-KB, misalnya telur mata sapi.

15. KB-KB-KS, misalnya kereta api cepat.

16. KB-KB-KBil, misalnya pedagang kaki lima.

17. KB-KK-KB, misalnya senjata makan tuan.

18. KB-KS-KK, misalnya bus cepat terbatas.

2.4 Perlakuan terhadap Kata Majemuk

Kata jemuk adalah sebuah kata yang terbentuk dari proses pemajemukan, bukan frasa
sehingga perlakuan terhadap kata majemuk harus sama dengan sebuah kata. Seperti halnya
kata, kata majemuk juga dapat mengalami proses afiksasi (mendapat prefiks, dan konfiks).
Jika hanya penambahan prefiks tidak terlalu bermasalah, misalnya kata rumah tangga
mendapat prefik{ber} menjadi berumah tangga, contoh lain pada kata buruk sangka
mendapat prefiks {ber-} menjadi berburuk sangka. Lain ceritanya dengan penambahan
prefiks, penambahan konfiks pada kata majemuk rupanya mengalami masalah. Misalnya
pada kata kambing hitam, jika kata tersebut mendapat konfiks {ke-an} ada yang berpendapat
kata itu menjadi mengambinghitamkan ada juga yang berpendapat menjadi mengmbingkan
hitam.

Masalah senada terjadi pada kata tanggung jawab berkonfiks {ke-an}, satu pendapat
mengatakan menjadi pertanggungjawaban pendapat lain mengatakan pertanggungan jawab.
Hal itu menimbulkan simpang siur sehingga perlu dicari kebenarannya. Manakah yang benar
dari beberapa bentuk di atas?

6
Mengacu pada ciri kata majemuk seperti yang dibahas di atas (2.2.2) bahwa hubungan
antarunsur kata majemuk sangat padu, sehingga tidak dapat disisipi satuan gramatik yang
lain. Berarti, dengan kata lain bentuk-bentuk seperti mengambingkan hitam, dan
pertanggungan jawab merupakan contoh yang salah karena bentuk tersebut menyisipkan afiks
diantara dua unsur pembentuk kata majemuk kambing hitam, dan tanggung jawab. Dengan
begitu, bentuk majemuk yang tepat ketika mendapat konfiks ialah ( prefiks-kata majemuk-
sufiks) seperti pada contoh ialah mengambinghitamkan, dan pertanggungjawaban.

2.5 Kata Majemuk dengan Frasa, Idiom, dan Reduplikasi Berubah Bunyi

Kata majemuk sering rancu dengan frasa dan idiom. Sebagian yang lain ada yang
mengatakan ada jenis kata majemuk yang dibahas dalam reduplikasi berubah bunyi,
contohnya: cantik-molek, basah-kuyup, tua renta, dan hancur luluh (Chaer, 2008:212).
Sebenarnya, antara kata majemuk, frasaa, idiom, dan reduplikasi berubah bunyi tidaklah
sama. Dilihat dari pengertiannya, perbedaannya nampak sebagai berikut.

Frasa merupakan satuan gramatikal yang terdiri atas dua kata atau lebih yang bersifat
nonpredikatif, lebih besar dari kata dan lebih kecil dari klausa. Non predikatif yang dimaksud
ialah kata-kata pembentuk frasa tidak ada yang berkedudukan sebagai predikat. Misalnya,
rumah saya, makan sate, mereka semua, dan hari Sabtu.

Idiom merupakan satuan bahasa yang maknanya tidak sama dengan gabungan makna
unsurnya, tidak dapat diramalkan dari makna leksikal dan makna gramatikal unsurnya.
Misalnya, meja hijau, kambing hitam, panjang tangan, dan membanting tulang.

Reduplikasi berubah bunyi merupakan salah satu jenis kata ulang atau reduplikasi
yang dibentuk dengan cara mengulang bentuk dasar secara utuh tetapi disertai dengan adanya
perubahan bunyi vokal maupun konsonan bentuk dasarnya. Misalnya, mondar-mandir,
warna-warni, corat-coret, dan sayur-mayur.Perbedaan yang nampak dari kata majemuk dan
frasa antara lain

(1) kata majemuk terdiri atas dua bentuk dasar atau lebih (dapat berupa kata, pokok kata, dan
morfem unik), sementara frasa dibentuk dari pengabungan dua kata atau lebih. Misalnya, kata
majemuk yang terbentuk dari kata dengan pokok kata: jagung bakar, dan kata dengan morfem
unik: gelap gulita. Sementara frasa terbentuk dari gabungan kata dengan kata: sudah datang.

(2) kata majemuk menimbulkan makna baru yang menyimpang, sementara frasa tidak
menimbulkan makna baru melainkan tetap sesuai makna leksikal. Misalnya, pada kata

7
majemuk kepala dua yang bermakna ‘berumur 20—29’ berbeda jauh dari makna bentuk
dasar penyusunnya, yaitu kepala ‘bagian tubuh yang di atas leher’ dan dua ‘angka dua’.
Sementara pada frasa makan nasi, makna kata makan ‘memasukkan makanan pokok ke
dalam mulut serta mengunyah dan menelannya’ dan nasi ‘beras yang sudah dimasak’
sehingga makna makan nasi ‘memakan nasi atau memasukkan beras yang sudah dimasak ke
dalam mulut serta mengunyah dan menelannya’.

(3) kata majemuk tidak dapat disisipi satuan gramatis yang lain sedangkan frasa dapat
disisipi. Kata kamar mandi tidak dapat disisipi satuan gramatik yang lain, memang ada
sebagian pengamat bahasa yang mengatakan bahwa bentuk kamar mandi dapat disisipi
konjungsi untuk. Namun perlu dicermati bahwa kamar mandi dan kamar untuk mandi
berbeda makna. Kamar mandi tidak hanya untuk mandi, bisa digunakan untuk buang air kecil
atau sekadar cuci muka. Frasa adik mandi dapat disisipi kata sedang dan makna antara adik
mandi dengan adik sedang mandi artinya sama saja.

(4) struktur kata majemuk tetap sehingga tidak bisa dibolak-balik, sementara frasa dapat
dibolak-balik. Diambil dua contoh yaitu sangat cantik dan mati suri. Pada pola sangat cantik
dapat diutarakan dengan mmembalik unsur-unsurnya menjadi cantik sangat dan keduanya
memiliki makna yang sama, itulah yang disebut frasa, mempunyai sifat dapat dibolak-balik.
Berbeda keadaanya dengan kata majemuk (contoh 2), mati suri yang berarti ‘orang yang mati
tetapi hanya sebentar’ jika kedua unsurnya dibalik menjadi suri mati, komposisi tersebut
tidak memiliki makna apa-apa, sehingga hal itulah yang disebut bahwa kata majemuk tidak
dapat dibolak-balik.

Kata majemuk dan idiom, keduanya sama-sama memiliki makna yang menyimpang
dari makna unsur-unsur pembentuknaya. Bedanya, idiom penyimpangan maknanya sudah
“terlalu jauh” dari makna unsur penyusunnya, seperti meja hijau, kambing hitam, dan hidung
belang, sementara pada kata majemuk makna yang dihasilkan ada yang memang “jauh” ada
pula yang masih bisa diraba-raba dari makna unsur pembentuknya. Contoh kata majemuk
yang maknanya masih dapat diraba dari bentuk dasar penyusunnya antara lain: kamar mandi
makna katanya masih berhubungan dengan kata mandi walaupun kamar mandi tidak selalu
untuk mandi; dan rumah makan, walaupun sudah ada referensinya tersendiri yaitu restoran,
kafetaria, ataupun warung, namun semuanya itu masih berhubungan dengan istilah makan.
Selain itu, perbedaan kata majemuk dengan ialah sudut pandang menanggapi sebuah kata.
Jika kata majemuk memiliki makna yang menyimpang disebut sebagai kata majemuk dari

8
proses pembentukannya, yaitu secara morfologi, idiom dipandang dari segi semantikya, yaitu
“penyimpangan” makna yang dibentuk. Jadi, suatu kata yang mempunyai penyimpangan
makna itu jika dilihat dari segi morfologi adalah sebuah kata majemuk, tetapi jika dilihat dari
segi semantik adalah sebuah idiom.

Mengenai kata majemuk dengan reduplikasi berubah bunyi, ada ahli bahsa yang
mengatakan bahwa kata cantik molek, basah kuyup, tua renta,dan hancur luluh juga lazim
dibahas dalam reduplikasi berubah bunyi. Sementara di atas telah dijelaskan bahwa
perubahan bunyi yang dimakksud adalah pengulangan bentuk dasar pertama secara utuh yang
mengalami perubahan bunyi vokal maupun konsonan. Lantas, apakah pada kata cantik
molek, basah kuyup, tua renta dan hancur luluh bentuk keduanya merupakan pengulangan
bentuk pertama? Tentu bukan. Kata molek, kuyup, renta, dan luluh bukan pengulangan dari
bentuk cantik, basah, tua dan hancur, sehingga cantik molek, basah kuyup, tua renta, dan
hancur luluh tidak bisa dikategorikan sebagai kata ulang atau reduplikasi berubah bunyi, kata
itu merupakan golongan kata majemuk.

9
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pemajemukan merupakan proses pembentukan kata dengan cara menggabungkan


bentuk dasar yang satu dengan bentuk dasar yang lain sehingga menghasilkan kata majemuk
dengan makna baru yang menyimpang dari makna konvensionalnya. Memiliki ciri umum dan
khusus. Ciri umum, berupa polimorfemik dan menimbulkan makna gramatikal. Sementara
ciri khususnya ialah (1) menimbulakan makna baru, (2) hubungan antarunsur sangat padu,
dan (3) strukturnya tetap. Kata majemuk dapat diberi afiks, khususnya prefiks dan konfiks.
Dan kata majemuk berbeda dengan frasa dan idiom, juga tidak bisa dianggap sebagai
reduplikasi berubah bunyi.

3.2 Saran

Hampir terjadi kesamaan bentuk antara kata majemuk, frasa, idiom, dan reduplikasi
berubah bunyi. Bagi orang awam yang sedikit pengetahuannya tentang kebahasaan,
khususnya tentang pemajemukan mungkin sekilas menganggap sama, padahal terdapat
perbedaan di antara bentuk-bentuk tersebut. Oleh karena itu makalah ini membahas tentang
hal tersebut. Semoga penyajian ini dapat memberikan sedikit gambaran untuk dapat
membedakannya. Perlu adanya upaya untuk lebih memahami dengan membaca berbagai
sumber dan literatur yang terpercaya. Dan hal tersebut menjadi tugas utama pengamat bahasa
serta mahasiswa jurusan bahasa dan sastra Indonesia untuk meluruskannya.

10

Anda mungkin juga menyukai