Anda di halaman 1dari 9

BAB II

PEMBAHASAN

A. Dinasti Umayah

Setelah masa Khalifah al-Rasyidin berakhir, fase selanjutnya adalah zaman tabi’in yang
pemerintahannya dipimpin oleh Dinasti Umayah. Dengan khalifah pertama Mu’awiyah bin Abi
Sufyan, dinasti ini beribukota di Damaskus. Dinasti ini berkuasa selama kurang lebih 91 tahun
dengan 14 orang khalifah. 1

Mu’awiyah adalah putra Abu Sufyan, seorang pemuka Quraisy yang telah sekian lama
menjadi musuh Nabi yang sangat kejam. Mu’awiyah beserta seluruh keluarganya dan seluruh
keluarga keturunan Bani Umayyah memeluk Islam pada saat terjadi penaklukan Makkah. 2 Di
dalam diri Mu’awiyah digabungkannya sifat-sifat seorang pengusaha, politikus, dan
administrator. Mu’awiyah adalah seorang peneliti sifat manusia yang tekun dan memperoleh
wawasan yang tajam tentang pemikiran manusia. Dia berhasil memanfaatkan para pemimpin,
administrator, dan politikus yang paling ahli pada waktu itu. Dia adalah seorang ahli pidato
ulung.3 Nabi pernah mengangkatnya sebagai sekretaris pribadi dan Nabi berkenan menikahi
saudaranya yang perempuan yang bernama Umi Habibah. Karier politik Mu’awiyah mulai
menonjol pada masa pemerintahan Khalifah Umar. Setelah kematian yazid bin Abu Sufyan pada
peperangan Yarmuk, Mu’awiyah diangkat menjadi kepala pada sebuah distric di Syria. Berkat
kecakapan kerjanya dan keberhasilan kepemimpinannya, tidak lama kemudian ia diangkat
menjadi Gubernur menguasai seluruh wilayah provinsi Syria oleh Khalifah Umar. Ketika usman
berkuasa ia tetap dikukuhkan sebagai Gubernur Syria. Selama masa jabatannya sebagai
Gubernur Syria ia giat melancarkan perluasan wilayah kekuasaan islam sampai pada perbatasan
wilayah kekuasaan Bizantine. Dimasa Khalifah Usman, semua daerah Syam itu diserahkan
kepada Mu’awiyah. Dia sendirilah yang mengangkat dan memberhentikan pejabat-pejabat
pemerintahannya. Dengan demikian, Mu’awiyah telah berhasil memegang jabatan Gubernur
selama 20 tahun, dan sesudah itu ia menjadi Khalifah selama 20 tahun pula. Setelah Khalifah
Usman terbunuh, dan Ali diangkat menjadi Khalifah, datanglah masanya bagi Mu’awiyah untuk
memulai peranannya.4 Pada masa Khalifah Ali, Mu’awiyah terlibat konflik dengan Ali untuk
mempertahankan kedudukannya sebagai Gubernur Syria, dan mulai saat itulah mulai timbul
ambisinya menjadi Khalifah dengan mendirikan pemerintahan Dinasti Umayyah. Setelah
menurunkan Hasan Ibn Ali, Mu’awiyah menjadi penguasa imperium Islam.5

1
Alaiddin Koto dan Muhammad husin, Sejarah Peradilan Islam (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2011) h. 77
2
Ali, Sejarah Islam (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada,1996) h. 172
3
Syed Mahmudunnasir,Syed, Islam Konsepsi dan Sejarahnya (Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2005) h. 173
4
A Syalabi Sejarah dan Kebudayan Islam (Jakarta: PT Pustaka Al Husna baru, 2003) h. 26
5
Ali, Sejarah Islam (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada,1996) h. 17
B. Pembentukan Dinasti Umayah

Keberhasilan Mu’awiyah mencapai ambisi mendirikan kekuasaan dinasti Umayah


disebabkan di dalam diri Mu’awiyah terkumpul sifat-sifat penguasa, politikus, dan administrator.
Ia pandai bergaul dengan berbagai temperamen manusia, sehingga ia dapat mengakumulasikan
berbagai kecakapan tokoh-tokoh pendukungnya, bahkan bekas lawan politiknya sekalipun.
Misalnya ia merangkul dan menawarkan kerjasama Amr Ibn Ash, seorang diplomat dan politikus
ulung, mantan Gubernur Mesir yang dicopot oleh Khalifah Usman.6

Mu’awiyah membentuk sistem kekuasaan berdasarkan garis keturunan dengan menunjuk


anaknya sendiri Yazin Ibn Mu’awiyah sebagai putra mahkota. Karenanya Mu’awiyah dipandang
sebagai pendiri sistem kerajaan yang turun temurun dalam sejarah ummat Islam. Tradisi
demokrasi kesukuan nenek moyang bangsa Arab sseketika itu hilang untuk selama-lamanya dan
bergantikan dengan pola kekuasaan individu dan otokrasi. Dalam hal ini Mu’awiyah mengikuti
tradisi kekuasaan absolututisme yang berkembang di Bizantium dan Persia.7

Upaya strategis yang ditempuh Mu’awiyah untuk merebut kekuasaan dan sekaligus
mendirikan Dinasti Umayah antara lain yaitu:

1. Pembentukan kekuatan militer di Syria. Selama dua puluh tahun menjabat gubernur
Syria, suatu wilayah subur yang kuat ekonominya, Mu’awiyah berusaha
mengkonsolidasikan seluruh kekuatan yang ada untuk memperkuat posisinya di
masa-masa mendatang. Langkah strategis yang di tempuh selama menjabat gubernur
Syria antara lain merekrut tentara bayaran baik dari masyarakat asli Syria, maupun
dari Emigran Arab yang mayoritas dari keluarganya sendiri, juga merekrut lawan-
lawan politiknya yang cakap. Ia tidak segan-segan menghamburkan harta kekayaan
untuk tujuan merekrut unsur-unsur kekuatan di atas. Selanjutnya ia juga menjanjikan
kedudukan penting kepada tokoh-tokoh sahabat jika kelak berhasil merebut
kekuasaan sebagai khalifah. Di antara mereka yang bersedia bekerja sama dengan
Mu’awiyah adalah Amr Ibn Ash, penakluk dan sekaligus mantan gubernur Mesir,
diangkat menjadi orang kepercayaan Mua’wiyah.
2. Politisasi tragedi pembunuhan Usman. Pada masa pemerintahan kalifah Ali,
Mu’awiyah berjuang memojokkan sang khalifah dengan melancarkan serang
dilematisyang sukar dicarikan jalan pemecahannya “Bahwa Ali harus segara
mengusut dan sekaligus menghukum pihak-pihak yang terlibat alam pembunuhan
Khalifah Usman. Jika tuntunan ini dipenuhi, maka ia dianggap bersekongkol dengan
kaum pemberontak dan melindungi pembunuh Usman, sehingga Ali sendiri tergolong
6
Ali, Sejarah Islam (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada,1996) h. 167
7
Ali, Sejarah Islam (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada,1996) h. 176
pihak yang dihukum, karenanya ia harus dicopot dari jabatannya sebagai khalifah”.
Implikasi konflik antara Ali dan Mu’awiyah merupakan konflik antara kekuatan front
Irak dengan front Syria. Politisasi tragedi pembunuhan Khalifah Usman ini sangat
efektif menumbuhkan simpatik dan fanatisme masyarakat Syria dalam mendukung
perjuangan Mu’awiyah. Untuk mengobarkan emosi mereka, Mu’awiyah
mempertontonkan baju usman yang berlumuran darah dan potongan jari tangan isteri
Usman, Na’ilah, yang terpotong ketika berusaha melindungi suaminya.
3. Tipu muslihat dalam arbitrase. Ajakan arbitrase yang diusulkan oleh pihak
Mu’awiyah merupakan bagian dari langkah strategis untuk memecah belah kekuatan
Ali. Keputusan Ali menerima ajakan perundingan tersebut mengecewakan sebagian
pengikutnya karena mereka merasa segera mencapai kemenangan dalam peperangan.
Mereka membentuk kelompok khawarij yang anti Ali. Lebih daripada itu, kelebihan
Amr Ibn Ash dalam perundingan tersebut dalaam kapasitasnya sebagai tokoh
diplomat dan politisikus, semata-mata berusaha mengecoh diplomasi pihak Ali yang
diwakili oleh Abu Musa al-As’ari. Sehingga jelaslah bahwa sesungguhnya pihak
Mu’awiyah tidak menawarkan arbitrase sebagai media perundingan damai, melainkan
sebagai tipu muslihat belaka. Secara dejure, perundingan tersebut meningkatkan
kedudukan Mu’awiyah setaraf kedudukan Ali sebagai khalifah. Hasil perundingan
tersebut menetapkan bahwa kedudukan Khalifah Ali harus dilepaskan, dan kemudian
akan dipilih khalifah baru. Hasil perundingan seperti ini sudah barang tentu
menjadikan bara permusuhan pihak Ali semakin berkobar, dan semakin kuatlah
alasan khawarij untuk memisahkan diri dan menentang Ali atas kelalaiannya
menerima ajakan arbitrase tersebut. Sementara itu kekuatan Mu’awiyah semakin
bertambah, sehingga pada tahun berikutnya pasukan Mu’awiyah berhasil mengambil
alih kekuasaan atas Mesir.

Upaya-upaya strategis tersebut di atas cukup efektif dalam memperkuat dukungan dan
posisi Mu’awiyah, sehingga pada akhirnya ia mampu mengalahkan kekuatan Hasan Ibn Ali
sekaligus menobatkan diri sebagai penguasa atas imprerium Muslim. Dengan ini tercapailah
ambisi Mua’wiyah mendirikan Dinasti yang baru.8

C. Kemajuan Dinasti Umayah


8
Ali, Sejarah Islam (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada,1996) h. 167-169
Mu’awiyah adalah pendiri Dinasti Umayah dan penguasa imprerium Islam yang sangat
luas. Mu’awiyah adalah penguasa Islam yang pertama yang menggantikan sistem demokratis
Republik Islam menjadi sistem Monarkis (kerajaan). Pada suatu pidato ia menegaskan bahwa
dirinya adalah seorang raja Islam yang pertama. Mu’awiyah adalah seorang administrator yang
piawai. Ia penguasa Islam yang pertama yang membentuk biro administrasi Negara yang
dinamakan diwan al-Hattam. Membentuk dan menerbitkan jawatan pos yang dinamakan diwan
al-Barid. Bekerjasama dengan Zaid ia membentuk jawatan kepolisian yang dinamakan al-
Syurtha, memisahkan tata administrasi kepidanaan dan tata administrasi nonpidana. Ia
mengangkat sejumlah pegawai pada tingkat provinsi dan mengangkat pejabat khusus yang
menanggung jawab atas pendapatan Negara yang dinamakan Shahib al-Kharaj. Mu’awiyah juga
menetapkan sejumlah kebijaksanaan untuk meningkatkan pendapatan Negara melalui pemasukan
sektor pajak lalu mengambil sebagian dana tersebut untuk santunan fakir miskin.9

Pertempuran di Siffin merupakan bukti dari kecakapan Mu’awiyah, penaklukkan Afrika


Utara juga merupakan keberhasilan ekspansi pada masa pemerintahannya. Ia berhasil
menegakkan sistem pemerintahanan yang stabil dan berhasil menghapuskan segala kerusuhan
yang melanda dalam negeri.10

a. Keberhasilan Militernya

Setelah mengukuhkan kedudukannya di dalam negeri, Mu’awiyah menganut


kebijakan luar negeri yang kuat. Perluasan kekuasaan Muslim yang besar terjadi di
bawah kepemimpinannya. Dia adalah organisator ulung bagi kemenangan-
kemenangannya.

Pada masa kekhalifahan Mu’awiyah, kemajuan besar diperoleh di Timur. Orang-


orang dari Herat memberontak, dan mereka ditindas pada tahun 661M. Dua tahun
kemudian Kabul juga diserbu. Operasi-operasi yang sama dilancarkan terhadap Ghazna,
Balkh, dan kandahar serta benteng-benteng lainnya. Pada tahun 676 M Bukhara direbut,
dan dua tahun kemudian Samarkand dan Tirmid diduduki. Di Timur jauh, tentara muslim
lainnya di bawah pimpinan Mahallib, anak Abu Sufra, maju sampai ke tepi Sungai Indus.
Demikianlah Mu’awiyah menggabungkan seluruh wilayah Asia Tengah sampai ke
daerah-daerah pinggiran Anak benua Indo-Pakistan ke dalam kekuasaannya.

Invasi pertama ke Afrika Utara dilakukan pada masa kekhalifahannya Umar. Di


bawah Usman, kesatuan-kesatuan Arab teleh maju sampai ke Barce. Setelah kekalahan
Gregorius, prefektus Bizantium, dalam pertempuran yang patut dikenang tidak jauh dari
Caethago kuno, bangsa Romawi membayar upeti tahunan kepada bangsa Arab yang
kemudian menarik dari negeri itu dengan hanya meninggalkan garnizun-garnizun kecil di

9
Ali, Sejarah Islam (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada,1996) h. 176-177
10
Ali, Sejarah Islam (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada,1996) h. 178
sana-sini. Gubernur-gubernur Romawi menduduki kembali wilayah-wilayah yang
ditinggalkan itu, tetapi penindasan-penindasan dan pemerasan-pemerasan mereka tidak
tertahankan sehingga tidak lama kemudian para penduduk asli menyerbu bangsa Arab
untuk membebaskan mereka dari penindasan orang-orang Bizantim. Mu’awiyah
meluluskan seruan mereka, dan suatu pasukan di bawah pimpinan Uqbah yang terkenal,
anak Nafe, menyerang Ifrikia, mematahkan semua perlawanan, menundukkan negeri itu
menjadi jajahan Arab. Pada tahun 670 M uqbah mendirikan kota militer yang
termasyhur, Kairowan, di sebelah selatan Tunis untuk tempat mengendalikan bangsa
Berber yang tidak mau tunduk, dan juga untuk menjaga terhadap serangan-serangan
bangsa Romawi dari laut. Penyerbuan Uqbah yang cemerlang dan pukulan-pukulannya
untuk menghancurkan bangsa Romawi dan bangsa Berber menyebabkan negeri itu aman
selama beberapa tahun. Kecuali beberapa saat ketika diselingi orang lain karena Uqbah
dipanggil ke Damaskus, dia memerintah Ifrikia dan tanah jajahan di sebelah baratnya
hingga kematiannya pada tahun 683 M.11

Salah satu ambisi politik Mu’awiyah adalah mengadakan penerangan ke ibukota


Bizantie, yakni kota Kontantinopel. Untuk maksud ini ia telah mempersiapkan sebuah
pasukan besar yang dipimpin oleh putra kesayangannya Yazid, namun ekspedisi ini tidak
berhasil.

Mu’awiyah terukir dalam sejarah umat Islam sebagai pendiri dan pembangunan
pasukan laut islam. Sewaktu menjabat gubernur di Syria Mu’awiyah telah memiliki 50
armada laut yang tangguh dipersiapkan untuk bertempur melawan Yunani di Laut
Tengah. Ketangguhan pasukan laut ini berhasil menaklukkan Cyprus, Rodes dan
beberapa kepulauan lainnya di sekitar Asia Kecil. Mu’awiyah berhasil memperluas
wilayah kekuasaan Islam ke Arah Timur. Herald ditaklukkan pada tahun 41 H/ 661 M,
dan satu persatu ditaklukkan pasukan Mu’awiyah. Luasnya kekuasaan Islam ada saat ini
merupakan bukti kecakapan Mu’awiyah dalam teknik strategisnya dan konsolidasinya.12

b. Pemerintahan Dinasti Umayah

Berdirinya pemerintahan dinasti Umayah tidak semata-mata peralihan kekuasaan


namun peristiwa tersebut mengandung banyak implikasi, di antaranya adalah perubahan
beberapa prinsip dan perkembangannya corak baru yang sangat mempengaruhi imperium
dan perkembangan umat Islam. Selama masa pemerintahan Khulafa al-Rasyidin, khalifah
dipilih oleh para pemuka dan tokoh sahabat di Madinah, kemudian pemilihan dilanjutkan
dengan bai’at oleh seluruh pemuka Arab. Hal serupa ini tidak pernah terjadi pada masa
pemerintahan dinasti Bani Umayah. Semenjak Mu’awiyah, raja-raja Umayah yang
berkuasa menunjuk penggantinya kelak dan para pemuka agama diperintahkan

11
Syed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya (Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2005) h. 173-174
12
Ali, Sejarah Islam (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada,1996) h. 175-176
menyatakan sumpah kesetiaan di hadapan sang raja. Sistem pengangkatan penguasa
seperti ini bertentangan dengan prinsip dasar dan ajaran permusyawaratan Islam.

Pada masa pemerintahan Khulafa al-Rasyidin, baitul mal berfungsi sebagai harta
kekayaan rakyat di mana setiap warga negara memiliki hak yang sama terhadapnya,
tetapi semenjak pemerintahan Mu’awiyah, baitul mal beralih kedudukannya menjadi
harta kekayaan keluarga raja. Seluruh raja dinasti Umayah kecuali Umar Ibn Abdul’Azis
memperlakukan baitul mal sebagai harta kekayaan pribadi yang mana sang raja berhak
membelanjakannya sekehendak hati.

Selama masa pemerintahan demokratis Khulafa al-Rasyidin, khalifah senantiasa


didampingi dewan penasihat yang terdiri dari pemuka-pemuka Islam, di mana secara
terbuka, bahkan rakyat biasa mempunyai hak menyampaikan pertimbangan dalam
pemerintahan. Kebebasan berpendapat dan kebebasan menyampaikan kritik terhadap
kebijakan pemerintah merupakan corak yang dominan dalam pola pemerintahan Khulafa
al-Rasydin. Tradisi musyawarah dan kebebasan menyampaikan pendapat ini tidak
berlaku dalam pemerintahan Bani Umayah. Dewan pemusyawaratan dan dewan
penasihat tidak berfungsi secara efektif, kebebasan mengkritik kebijakan pemerintah
sungguh-sungguh tidak dapat ditolerir.13

Khalifah Mu’awiyah mendirikan suatu pemerintahan yang terorganisasi dengan


baik. “Situasi ketika Mu’awiyah menjadi penguasa mengandung banyak kesulitan.
Pemerintahan imperium itu didesentralisasikan, dan kacau serta munculnya anarkisme
dan ketidaksiplinan kaum nomad yang tidak lagi dikendalikan oleh ikatan agama dan
moral menyebabkan ketidakstabilan di mana-mana dan kehilangan kesatuan. Ikatan
teokrasi yang telah mempersatukan kekhalifahan yang lebih dulu, tanpa dapat di hindari
telah dihancurkan oleh pembunuhan Usman, oleh perang saudara sebagai akibatnya, dan
oleh pemindahan ibu kota dari Madinah. Oligarki di Mekkah dikalahkan dan dicemarkan.
Yang menjadi masalah bagi Mu’awiyah ialah mencari suatu dasar baru bagi kepaduan
imperium itu.

Mu’awiyah melaksanakan perubahan-perubahan besar dan menonjol di dalam


pemerintahaan negeri itu. Dasar yang sebenarnya dari pemerintahannya terdapat dalan
angkatan daratnya yang kuat dan efisien. Dia dapat mengandalkan pasukan orang-orang
Siria yang taat dan setia, Mu’awiyah berusaha mendirikan pemerintahan yang stabil
menurut garis-garis pemerintahan Bizantium. Dia bekerja keras bagi kelancaran sistem
yang untuk pertama kali digunakannya itu.

Mu’awiyah merupakan orang pertama di dalam Islam yang mendirikan suatu


departemen pencatatan (diwanul-kahatam). Setiap peraturan yang di keluarkan oleh
Khalifah harus disalin di dalam suatu register, kemudian yang asli harus disegel dan

13
Ali, Sejarah Islam (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada,1996) h. 170-171
dikirimkan ke alamat yang dituju. Sebelumnya yang dikirimkan ialah perintah-perintah
yang terbuka.

Pelayanan pos (diwanul-barid) kabarnya telah diperkenalkan oleh Mu’awiyah.


Barid (kepala pos) memberi tahu pemerintah pusat tentang apa yang sedang terjadi di
dalam pemerintahan provinsi. Dengan cara ini Mu’awiyah melaksanakan kekuasaan
pemerintah pusat. Mu’awiyah membentuk dua sekretariat-sekretariat imperum (pusat)
yang medinya bahasa Arab, dan sekretariat provinsi yang menggunakan bahasa Yunani
dan bahasa Persia.14

D. Kemundurun Dinasti Umayah


14
Syed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya (Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2005) h. 175
Menurut Ibnu Khaldun, mundurnya suatu dinasti adalah suatu gejala alamiah sejarah.
Usia efektif suatu imperium dinasti tidak bisa lebih dari jangka usia manusia. Dan masa 100
tahun pada umumnya merupakan waktu yang paling lama yang dapat diharapkan bagi usia
seseorang. “bentuk Alamiah ini hanya dapat dihindari dengan pembaruan yang seksama. Dinasti
Umayah telah hidup kira-kira 90 tahun, dan keluarga itu telah memburuk sehingga sama sekali
tidak mungkin diperbaiki.” Mu’awiyah mengesampingkan prinsip pemilihan, dan menyatakan
Yazid sebagai putra mahkotanya. Republikanisme diganti dengan Monarki turun temurun.
Prinsip Islam bahwa kepala negara harus dipilih oleh rakyat, tidak di jalankan. Dengan demikian,
Bani umayah kehilangan dukungan penuh dan kerjasama dari rakyat.

Kelemahan keluarga yang memerintah itu merupakan sebab pertama dan terpenting bagi
kejatuhan Dinasti Umayah. Di antara para Khalifahnya, kecuali Mu’awiyah, Abdul Malik, Walid
I dan Umar II, semua yang lain lemah dan tidak mampu. Hisyam adalah negarawan yang kelima
dan terakhir yang besar dari Umayah. Keempat penggantinya ternyata tidak bermoral dan
merosot akhlaknya. Bahkan sebelum masa Hisyam, bagi para khalifah telah menjadi mode,
sebagaimana ditunjukan Yazid II, untuk menghabiskan waktu dengan berburu dan minum
anggur, dan lebih sibuk dengan syair-syair daripada dengan Qur’an dan urusan-urusan negara.
Karena harta kekayaan yang melimpah dan jumlah budak yang berlebihan, mereka menjadi tidak
mengenal kendali. Bahkan keluarga yang memerintah tidak lagi dapat membanggakan darah
Arabnya yang murni. Yazid III merupakan khalifah Islam pertama yang ibunya seorang budak
belian. Kedua penggantinya juga anak budak belian yang dimerdekakan. Keburukan peradaban
yang khas, terutama yang menyangkut minuman keras, perempuan, dan nyayian, telah meguasai
putra-putra padang pasir itu, dan mulai melemahkan semangat hidup masyarakat Arab yang
masih muda itu.

Orang-orang Islam non-Arab pada umumnya, dan orang-orang Islam Persia pada
khususnya, mempunyai alasan yang baik untuk merasa tidak puas. Khalifah-khalifah Umayah
selalu memperlihatkan sikap bermusuhan terhadap mereka. Alih-alih memperoleh persamaan
yang diharapkan dalam bidang ekonomi dan sosial dengan orang-orang Islam Arab, mereka
bahkan pada umumnya diturunkan ke kedudukan yang bergantung pada majikannya. Orang-
orang Islam Mawali ini mempunyai keluhan-keluhan yang sungguh-sungguh terhadap dinasti
Umayah.

Mu’awiyah telah memperkenalkan kebijakan yang bijaksana dan berpandangan jauh ke


depan, meskipun tidak demokratis, dengan mencalonkan anaknya sebagai penggantinya, tetapi
prinsip kesenioran suku bangsa Arab yang kuno di dalam hal pergantian itu selalu bertentangan
dengan ambisi alami seorang ayah yang memerintah untuk mewariskan kekeuasaan kepada
anaknya. Tentang keempat belas Khalifah Umayah, hanya empat Khalifah, yaitu Mu’awiyah I,
Yazid I, Marwan I, dan Abdul Malik yang menjadikan anak sebagai pengganti langsung mereka.
Masalah yang telah rumit itu dibuat lebih rumit lagi oleh contoh yang diberikan oleh Marwan
yang merencanakan anaknya, Abdul Malik sebagai penggantinya, untuk kemudian diteruskan
oleh anaknya yang kedua abdul Aziz. Abdul Malik juga berusaha untuk mengalihkan hak
pergantian dari saudaranya, Abdul Aziz kepada anaknya, Walid sekaligus merencanakan
anaknya yang lain, Sulaiman sebagai calon yang kedua. Semua muslihat ini, tentu saja sama
sekali tidak mendukung stabilitas dan kelangsungan rezim itu.

Kelalaian dalam urusan administratif dan tidak adanya perhatian terhadap tugas-tugas
negara pada banyak khalifah bani umayah membuat pemerintahan bani mayah sangat tidak
disukai. Para pejabatnya banyak yang korup dan mementingkan diri sendiri. Para khalifah
memercayakan tugas kenegaraan mereka kebanyakan kepada pejabat-pejabat bangsawan yang
mementingkan diri sendiri dan korup yang lebih memperhatikan mereka sendiri sedangkan
kepentingan rakyat dan negara diabaikan. Sebagai akibatnya, pemerintahan menjadi lamban dan
tidak efisien.

Persaingan antara suku yang sudah lama, memperlemah Dinasti Umayah. Untuk
sementara Islam mempersatukan suku-suku Arab yang suka berperang, tetapi permusuhan
antarsuku yang lama mulai memperlihatkan diri lagi. Suku-suku Arabia terbagi ke dalam dua
suku kelompok, yaitu bangsa Arab sebelah Utara yang disebut Mudhariyah yang pada umumnya
bertempat tinggal di Irak, dan bangsa Arab sebelah selatan atau Yamaniyah (Himyariyah), yang
terutama bertempat tinggal di Syria. Khalifah-khalifah Umayah mendukung salah satu kelompok
bangsa Arab melawan yang lain. Kebijakan ini mengguncangkan seluruh impremium Arab ke
dalam rangkaian pertengkaran berdarah di antara kedua kelompok itu. Polarasi Dunia islam
dengan dualisme kedua kelompok ini mempercepat jatuhnya Dinasti Umayah.

Dengan jatuhnya Dinasti Umayah, keagungan Syria sirna, dan hegemoniya berakhir.
Orang-orang Syria terlambat menyadari bahwa inti kekuatan di dalam Islam telah meninggalkan
negeri mereka dan beralih ke sebelah Timur, dan meskipun mereka melakukan beberapa usaha
bersenjata untuk memperoleh kembali kedudukan mereka semula yang penting, tetapi itu
semuanya ternyata sia-sia.15

15
Syed Mahmudunnasir , Islam Konsepsi dan Sejarahnya (Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2005) h.203-206

Anda mungkin juga menyukai