Anda di halaman 1dari 22

 

Urgensi (Kepentingan) Akhlak


Sebelum mengetahiu lebih dalam lagi tentang apa itu akhlak, maka kita harus
mengenal terlebih dahulu apa itu urgensi. Urgensi merupakan hal terpenting atau
kepentingan.  Sedangkan akhlak merupakan tabiat, perangai, tingkah laku dan kebiasaan.
Jadi, urgensi akhlak adalah hal-hal yang penting atau kepentingan akhlak.
      Pentingnya akhlak adalah untuk membentuk manusia menjadi budi pekerti yang
baik dan sopan, santun, ramah dan sebagainya. Sebenarnya apa hal-hal yang penting
dalam akhlak? Jika kita lihat dari sudut pandangnya maka ada beberapa hal-hal yang
penting dalam akhlak, diantaranya; bagaimana akhlak manusia terhadap sang pencipta
(Allah), akhlak terhadap sesama manusia (hidup bersosial) dan akhlak manusia terhadap
alam atau lingkungan sekitar kita.

A.    Akhlaq
Menurut pendekatan etimologi, perkataan “akhlaq” berasal dari bahasa arab jama’ dari
bentuk mufrodnya ‫خلق‬ yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.

Menurut ibnu athir dalam bukunya an-nihayah menerangkan bahwa hakikat makna


khuluq ialah gambaran batin manusia yang tepat (yaitu jiwa dan sifat-sifatnya), sedangkan
khalqu merupakan gambaran bentuk luarnya (yaitu yang berhubungan dengan jasad/badan).
Menurut abd. Hamid Yunus akhlaq adalah
‫االخالق هي صفاة االنسان االدابية‬
“akhlaq ialah segala sifat manusia yang mendidik.”
Adapun untuk definisi akhlak secara istilah adalah sebagai berikut
1.      Menurut ibnu miskawaih, yang dimaksud dengan akhlaq adalah
‫حال للنفس داعية هلا اىل افعاهلا من غري فكر والروية‬
“Keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa
melalui pertimbangan pikiran terlebih dahulu.”
  
2.      Menurut Imam Al-Ghazali, yang dimaksud dengan akhlaq adalah
‫فاخللق عبارة عن هيئة يف النفس راسخة عنها تصدر االفعال بسهولة ويسر من غري حاجة‬
‫اىل فكر ورؤية‬
“Akhlaq ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya timbul perbuatan-
perbuatan dengan mudah, dengan tidak memerlukan pertimbangan pikiran (lebih dulu).”
3.      Menurut Prof. Dr. Ahmad Amin, yang dimaksud dengan akhlaq adalah
‫عرف بعضهم اخللق بأنه عادة االرادة يعىن ان االرادة اذا اعتادت شيئا فعادهتا هي املسماة‬
‫احلق‬
“Sementara orang mengetahui bahwa yang disebut akhlaq ialah kehendak yang dibiasakan.
Artinya, kehendak itu bila membiasakan sesuatu, kebiasaan itu dinamakan akhlaq.”
Menurut beberapa pengertian di atas, ilmu akhlaq itu mengandung unsur-unsur sebagai
berikut:
a.       Menjelaskan baik dan buruk.
b.      Menerangkan apa yang seharusnya dilakukan seseorang serta bagaimana cara kita bersikap antar
sesama.
c.       Mmenjelaskan mana yang patut kita perbuat.
d.      Menunjukkan jalan lurus yang hendak kita lewati.
Dari beberapa pengertian di atas juga dapat disimpulkan bahwa terdapat 4 ciri-ciri yang
terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu:
a.       Perbuatan akhlaq adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang sehingga
telah menjadi kepribbadiannya
b.      Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah tanpa pemikiran.
c.       Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa
ada paksaan atau tekanan dari luar.
d.      Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau
karena sandiwara.
e.       Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas ssemata-mata karena Allah.
Berdasarkan beberapa bahasan yang berkaitan dengan ilmu akhlaq, maka dapat dipahami
bahwa objek (lapangan/sasaran) pembahasan ilmu akhlaq itu ialah tindakan-tindakan seseorang
yang dapat di berikan nilai baik atau buruknya, yaitu perkataan dan perbuatan yang termasuk ke
dalam kategori perbuatan akhlaq.

B.     Etika
Secara etimologis, etika berasal dari bahasa latin, etos, yang berarti kebiasaan. Berasal
dari bahasa yunani, yaitu ethos yang memiliki pengertian adat istiadat (kebiasaan), perasaan
batin kecenderungan hati untuk melakukan perbuatan. Dalam kajian filsafat, etika merupakan
bagian dari filsafat yang mencakup meta fisika, kosmologi, psikologi, logika, hukum, sosiologi,
ilmu sejarah dan estetika.
Dari  pandangan filosofis Epikuros, dapat di ambil suatu pemahaman tentang arti etika,
yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan nilai-nilai tindakan manusia yang menurut ukuran
rasio dinyatakan  dan diakui sebagai sesuatu yang subtansinya paling benar. Kaidah-kaidah
kebenaran dari yindakan digali oleh akal sehat manusia dan distandardisasi menurut ukuran yang
rasional, seperti sumber kebenaran adalah jiwa, nilai kebenaran jiwa itu kekal, segala yang tidak
kekal pada dasarnya bukan kebenaran subtansial.
Pandangan yang berhubungan dengan pengertian etika di atas, dapat diambil sebagai
suatu pemahaman bahwa etika adalah cara pandang manusia tentang tingklah laku yang baik dan
benar, dan dari cara pandang itu dapat digali dari beberapa sumber, kemudian dijadikan sebagai
tolak ukur bagi suatu tindakan dengan pendekatan yang rasional dan filosofis.
Dari bebearapa definisi etika tersebut, dapat diketahui bahwa etika berhubungan dengan 4
hal sebagai berikut
1.      Dari segi objek pembahasannya, etika berupaya membahas perbuatan yang dilakukan oleh
manusia.
2.      Dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat.
3.      Dari segi fungsinya etika berfungsi sebagai penilai, penentu, dan penetap terhadap suatu
perbuatan yang dilakukan oleh manusia.
4.      Dari segi sifatnya, etika bersifat relatif yakni  sesuai dengan tuntutan zaman.

C.    Pengertian Moral
Kata moral berasal dari bahasa latin “mores” kata jama’ dari “mos” berarti adat
kebiasaan. Dalam bahasa indonesia, moral diterjemahkan dengan arti tata susila. Moral adalah
perbuatan baik dan buruk yang didasarkan pada kesepakatan masyarakat. Moral merupakan
istilah tentang perilaku atau akhlak yang diterapkan kepada manusia sebagai individu maupun
sebagai sosial.
Sidi gazalba mengatakan, moral ialah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang
tindakan manusia, mana yang baik dan yang wajar. Untuk itu dia, menyimpulkan bahwaa moral
itu adalah suatu tindakan yang sesuai dengan ukuran tindakan yang umum diterima oleh
kesatuan sosial atau lingkungan tertentu.
Fran magnis suseno menjelaskan bahwa kata moral selalu mengacu kepada baik
buruknya sebagai seorang manusia. Bidang moral adalah kehidupan manusia dilihat dari segi
kebaikannya sebagai manusia.
D.    Pengertian Susila
Susila atau juga sering disebut kesusilaan, berasal dari kata susila yang berasal dari
bahasa sansekerta, yaitu “su” yang berarti baik dan “sila” yang berarti dasar, prinsip peraturan
hidup atau norma.
Kata susila selanjutnya digunakan untuk arti sebagai aturan hidup yang lebih baik. Orang
yang susila adalah orang yang berkelakuan baik, sedangkan orang yang asusila adalah orang
yang berkelakuan buruk.
Susila dapat pula berarti sopan, beradap, baik budi bahasanya. Dan kesusilaan sama
dengan kesopanan. Kesusilaan menggambarkan keadaan dimana orang selalu menerapkan nilai-
nilai yang dipandang baik.

E.     Pebedaan Akhlak, Etika, Moral Dan Susila


Peredaan antara akhlak, etika, moral dan susila adalah terletak pada sumber yang
dijadikan patokan untuk menentukan baik dan buruk. Jika dalam etika penilaian baik buruk
berdasarkan pendapat akal pikiran, dan pada moran dan susila berdasarkan kebiasaan yang
berlaku secara umum  dimasyarakat, maka pada akhlak ukuran yang digunakan untuk
menentukan baik dan buruk itu adalah berdasarkan al-Qur’an dan al Hadits.
Perbedaan lain antara etika, moral, dan susila terlihat pula pada sifat dan kawasan
pembahasannya. Jika etika lebih banyak bersifat teoritis, maka pada moral dan susila lebih
banyak bersifat praktis. Etika memandang tingkah laku manusia secara umum, sedangkan moral
dan susila menyatakan ukuran tersebut dalam bentuk perbuatan.
Namun demikian akhlak, etika, moral dan susila tetap saling berhubungan dan
membutuhkan. Etika, moral dan susila berasal dari manusia, sedangkan akhlak berasal dari
Tuhan.
Pada sisi lain akhlak juga berperan untuk memberikan batas-batas umum, agar apa yang
dijabarkan dalam etika, moral dan susila tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang luhur dan
tidak membawa manusia menjadi sesat. Dengan kata lain penjabaran etika, moral dan susila akan
tetap sejalan apabila tetap mengedepankan akhlak.

Landasan dan Kedudukan Akhlak

A. Landasan Akhlak
               Dalam Islam, dasar atau alat pengukur yang menyatakan bahwa sifat seseorang itu baik
atau buruk adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Segala sesuatu yang baik menurut Al-Qur’an dan
As-Sunnah (Al Hadits), itulah yang baik untuk dijadikan pegangan dalam kehidupan sehari-hari.
Sebaliknya, segala sesuatu yang buruk menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, berarti tidak baik dan
harus dijauhi. Berikut penjelasan yang lebih lanjut
a.    Al – Qur’an

‫ك َل َع َل ٰى ُخلُ ٍق َعظِ ٍيم‬


َ ‫َوإِ َّن‬
Artinya : “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Q.S Al-Qalam:
4)
Maksud dari ‘sesungguhnya kamu’ yaitu pujian Allah bersifat individual dan khusus hanya
diberikan kepada Nabi Muhammad Saw. karena kemuliaan akhlaknya dan berbudi pekerti yang
agung. Penggunaan istilah khulukin’adhim menunjukkan keagungan dan keanggunan moralitas
rasul, yang dalam hal ini adalah Muhammad saw. Banyak nabi dan rasul yang disebut-sebut
dalam Al- Qur’an, tetapi hanya Muhammad saw yang mendapat pujian sedahsyat itu. Dengan
lebih tegas, Allah pun memberikan penjelasan secara transparan bahwa akhlak Rasulullah sangat
layak untuk dijadikan standar modal bagi umatnya, sehingga layak untuk dijadikan idola yang
diteladani sebagai uswah hasanah, melalui firman Allah dalam Al- Qur’an surat Al-Ahzab 33:21
berikut ini :

َ ‫ُول هَّللا ِ أُسْ َوةٌ َح َس َن ٌة لِ َمنْ َك‬


‫ان َيرْ جُو هَّللا َ َو ْال َي ْو َم‬ ِ ‫ان َل ُك ْم فِي َرس‬ َ ‫َل َق ْد َك‬
‫اآْل خ َِر َو َذ َك َر هَّللا َ َك ِثيرً ا‬

Artinya: : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia
banyak menyebut Allah”. (QS. Al-Ahzab 33:21)
Kepentingan akhlak dalam kehidupan manusia sudah jelas dinyatakan dalam Al-Qur’an.
Al-Qur’an menerangkan berbagai pendekatan yang meletakkan Al-Quran sebagai sumber
pengetahuan mengenai nilai dan akhlak yang paling jelas. Pendekatan Al-Qur’an dalam
menerangkan akhlak yang mulia, bukan pendekatan teoritikal, melainkan dalam bentuk
konseptual dan penghayatan. Akhlak mulia dan akhlak buruk digambarkan dalam perwatakan
manusia, dalam sejarah dan dalam realitas kehidupan manusia semasa Al-Qur’an diturunkan.
     Al- Qur’an menggambarkan aqidah orang-orang beriman, kelakuan mereka yang mulia
dan gambaran mereka yang tertib, adil, luhur, dan mulia. Berbanding terbalik dengan perwatakan
orang-orang kafir dan munafik yang jelek, zalim, dan rendah hati. Gambaran akhlak mulia dan
akhlak keji begitu jelas dalam perilaku manusia disepanjang sejarah. Al- Qur’an juga
menggambarkan perjuangan para rasul untuk menegakkan nilai-nilai mulia dan murni di dalam
kehidupan dan ketika mereka ditentang oleh kefasikan, kekufuran, dan kemunafikan yang
menggagalkan tegaknya akhlak yang mulia sebagai teras kehidupan yang luhur dan murni itu.
b.   Al-Hadist
Dalam ayat Al - Qur’an telah diberikan penegasan bahwa Rasulullah merupakan contoh
yang layak ditiru dalam segala sisi kehidupannya. Disamping itu, ayat tersebut juga
mengisyaratkan bahwa tidak ada satu “sisi-gelap” pun yang ada pada diri Rasulullah, karena
semua isi kehidupannya dapat ditiru dan diteladani. Ayat diatas juga mengisyaratkan bahwa
Rasulullah sengaja diproyeksikan oleh Allah untuk menjadi “lokomotif” akhlak umat manusia
secara universal, karena Rasulullah diutus sebagai rahmatan lil’alamin. Hal ini didukung pula
dengan hadist yang berbunyi :

َ ‫ت ِأل ُ َت ِّم َم‬


‫صال َِح ْاألَ ْخالَ ِق‬ ُ ‫إِ َّن َما ُبع ِْث‬
Artinya : Sesungguhnya saya ini diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.
( HR.Muslim).
Hadist tersebut menunjukkan, karena akhlak menempati posisi kunci dalam kehidupan
umat manusia, maka substansi misi Rasulullah itu sendiri adalah untuk menyempurnakan akhlak
seluruh umat manusia agar dapat mencapai akhlak yang mulia. Yang menjadi persoalan disini
adalah bagaimana substansi akhlak Rasulullah itu. Dalam hal ini, para sahabat pernah bertanya
kepada istri Rasulullah, yakni Aisyah r.a. yang dipandang lebih mengetahui akhlak rasul dalam
kehidupan sehari-hari, maka Aisyah menjawab :
“Akhlak Rasulullah adalah Al – Qur’an.”
Maksud perkataan Aisyah adalah segala tingkah laku dan tindakan Rasulullah SAW., baik
zahir maupun yang batin senantiasa mengikuti petunjuk dari Al-Qur’an. Al-Qur’an selalu
mengajarkan umat Islam untuk berbuat baik dan menjauhi segala perbuatan yang buruk. Ukuran
yang baik dan buruk ini ditentukan oleh Al-Qur’an.
Allah SWT. Berfirman:

ِ ‫ون م َِن ْال ِك َتا‬


ٍ ‫ب َو َيعْ فُو َعنْ َكث‬
‫ِير ۚ َق ْد‬ ِ ‫َيا أَهْ َل ْال ِك َتا‬
َ ُ‫ب َق ْد َجا َء ُك ْم َرسُولُ َنا ُي َبيِّنُ َل ُك ْم َك ِثيرً ا ِممَّا ُك ْن ُت ْم ُت ْخف‬
ٌ‫َجا َء ُك ْم م َِن هَّللا ِ ُنو ٌر َو ِك َتابٌ م ُِبين‬
ِ ‫ور ِبإِ ْذ ِن ِه َو َي ْهد‬
Bٍ ‫م إِلَ ٰى صِ َر‬Bْ ‫ِيه‬
‫اط مُسْ َتق ٍِيم‬ ِ ‫ت إِلَى ال ُّن‬ ُّ ‫َي ْهدِي ِب ِه هَّللا ُ َم ِن ا َّت َب َع ِرضْ َوا َن ُه ُس ُب َل ال َّساَل م َوي ُْخ ِر ُج ُه ْم م َِن‬
ِ ‫الظلُ َما‬ ِ
Artinya:
“Wahai ahli kitab! Sungguh, Rasul kami telah datang kepadamu, menjelaskan kepadamu
banyak hal dari (isi) kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula) yang dibiarkannya.
Sungguh, telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menjelaskan. Dengan kitab
itulah Allah memberi petunjuk kepada orang yang mengikuti keridaan-Nya kejalan keselamatan,
dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang itu dari gelap gulita kepada cahaya
dengan izin-Nya, dan menunjukkan ke jalan yang lurus. (Q.S Al-Maidah/5: 15-16)
   Pribadi Rasulullah SAW., adalah contoh yang paling tepat untuk dijadikan teladan dalam
membentuk pribadi yang akhlakul kharimah.
Firman Allah SWT:
‫ر هَّللا َ َك ِثيرً ا‬Bَ ‫ هَّللا َ َو ْال َي ْو َم اآْل خ َِر َو َذ َك‬B‫جو‬ َ ‫ُول هَّللا ِ أُسْ َوةٌ َح َس َن ٌة لِ َمنْ َك‬
ُ ْ‫ان َير‬ ِ ‫ان لَ ُك ْم فِي َرس‬
َ ‫لَ َق ْد َك‬
Artinya:
“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat  dan yang banyak
mengingat Allah.” (Q.S Al-Ahzab/33: 21)
Disamping itu, Rasulullah SAW. sendiri menyebutkan.

َ ‫ت أِل ُ َت ِّم َم‬


‫صال َِح اأْل َ ْخاَل ِق‬ ُ ‫إِ َّن َما ُبع ِْث‬
 “Sungguh, aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (H.R Muslim)
Hal ini menunjukkan peran penting akhlak dalam Islam.
Oleh karena itu, Islam memiliki hubungan yang sangat erat dengan akhlak. Ini karena
Islam diturunkan oleh Allah Swt. Sebabnya akhlak Islam dapat dikatakan sebagai akhlak yang
Islami karena akhlak yang bersumber pada ajaran Allah dan Rasul-Nya, seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya. Untuk membangun dan mendidik manusia agar bermoral atau berakhlak
baik. Nabi Muhammad SAW. pun menegaskan tugas utamanya, yaitu membangun moralitas
manusia. Sabda Nabi:
“Tidaklah aku diutus melainkan untuk menyempurnakan akhlak manusia.”
Akhlak Islami merupakan amal perbuatan yang sifatnya terbuka sehingga dapat menjadi
indikator seseorang apakah seorang muslim yang baik atau buruk. Sehingga, akhlak merupakan
buah dari akidah dan syariah yang benar. Secara mendasar, akhlak ini erat kaitannya dengan
kejadian manusia yaitu Khaliq (pencipta) dan makhluq (yang diciptakan).
Dalam ajaran agama, akhlak adalah buah dari iman dan ibadah. Menurut Al-Ghazali,
dapat dibentuk dan diarahkan melalui proses pelatihan (mujahadah) dan proses pembiasaan
(riyadhah). Sebagai contoh, siapa yang berkeinginan menjadi orang dermawan, maka ia harus
berlatih dan membiasakan diri berinfak dan membelanjakan hartanya di jalan Allah. Ia harus
melakukan secara terus menerus sampai kegiatan berinfak itu menjadi suatu kenikmatan baginya.
Dalam berbagai literatur tentang Ilmu Akhlak Islami, dijumpai uraian tentang akhlak yang
secara garis besar dapat dibagi dua bagian, yaitu akhlak yang baik (al-akhlaq al-karimah), dan
akhlak yang buruk (al-akhlaq al-mazmumah). Berbuat adil, jujur, sabar, pemaaf, dermawan dan
amanah misalnya termasuk ke dalam akhlak yang baik. Sedangkan berbuat zalim, berdusta,
pemarah, pendendam, kikir dan curang termasuk ke dalam akhlak yang buruk. Bagaimanakah
terjadinya berbagai akhlak yang mulia dan tercela ini? Uraian berikut ini akan mencoba
menjawabnya.
Secara teoritis macam-macam akhlak tersebut berinduk kepada tiga perbuatan yang utama,
yaitu hikmah (bijaksana), syaja’ah (perwira atau ksatria), dan iffah (menjaga diri dari perbuatan
dosa dan maksiat). Ketiga macam induk akhlak ini muncul dari sikap adil, yaitu sikap
pertengahan atau seimbang dalam mempergunakan ketiga potensi rohaniah yang terdapat dalam
diri manusia, yaitu ‘aql (pemikiran) yang berpusat di kepala, ghadab (amarah) yang berpusat di
dada, dan nafsu syahwat (dorongan seksual) yang berpusat di perut. Akal yang digunakan secara
adil akan menimbulkan hikmah, sedangkan amarah yang digunakan secara adil akan
menimbulkan sikap perwira dan nafsu syahwat yang digunakan secara adil akan menimbulkan
iffah yaitu dapat memelihara diri dari perbuatan maksiat. Dengan demikian, inti akhlak pada
akhirnya bermuara pada sikap adil dalam mempergunakan potensi rohaniah yang dimiliki
manusia.
Demikian pentingnya bersikap adil ini di dalam Al-Qur’an kita jumpai berbagai ayat yang
menyuruh manusia agar mampu bersikap adil.

‫اعْ ِدلُوا ه َُو أَ ْق َربُ لِل َّت ْق َو ٰى‬


“Berlaku adilah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (Q.S Al-Ma’idah/5: 8

ُ ‫ان َوإِي َتا ِء ذِي ْالقُرْ َب ٰى َو َي ْن َه ٰى َع ِن ْال َفحْ َشا ِء َو ْال ُم ْن َكر َو ْال َب ْغي ۚ َيع‬ ْ
َ‫م لَ َعلَّ ُك ْم َت َذ َّكرُون‬Bْ ‫ِظ ُك‬ ِ ِ ِ ‫إِنَّ هَّللا َ َيأ ُم ُر ِب ْال َع ْد ِل َواإْل ِحْ َس‬

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu berlaku) adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada
kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.” (Q.S
An Nahl/16: 90)
Ayat-ayat tersebut secara keseluruhan bertemakan perintah berbuat adil yang
dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan yang baik, seperti bertakwa kepada Allah, menetapkan
keputusan yang bijaksana, berbuat kebajikan memberi makan kepada kaum kerabat, menjauhi
perbuatan keji dan munkar serta perbuatan yang menimbulkan permusuhan. Dengan demikian
ayat tersebut dapat dipahami bahwa keadilan erat kaitannya dengan timbulnya berbagai
perbuatan terpuji lainnya.
Pemahaman tersebut pada akhirnya akan membawa kepada timbulnya teori pertengahan,
yaitu bahwa sikap pertengahan sebagai pangkal timbulnya kebajikan. Pemahaman ini sejalan
pula dengan isyarat yang terdpat dalam hadis nabi yang berbunyi,
 “Sebaik-baiknya urusan (perbuatan) adalah yang pertengahan.” (H.R Ahmad)
Sebaliknya akhlak yang buruk atau tercela pada dasarnya timbul disebabkan oleh
penggunaan dari ketiga potensi rohaniah yang tidak adil. Akal yang digunakan secara berlebihan
akan menimbulkan sikap pintar busuk atau penipu; dan akal yang digunakan terlalu lemah akan
menimbulkan sikap dungu atau idiot. Dengan demikian akal yang digunakan secara berlebihan
atau terlalu lemah merupakan pangkal timbulnya akhlak yang tercela.
Demikian pula amarah yang digunakan terlalu berlebihan akan menimbulkan sikap
membabi buta atau hantam kromo, yaitu berani tanpa memperhitungkan kebaikan dan
keburukannya. Sebaliknya, jika amarah digunakan terlalu lemah akan menimbulkan sikap
pengecut.  Dengan demikian, penggunaan amarah secara berlebihan atau berkurang sama-sama
akan menimbulkan akhlak yang buruk. Berkenaan dengan ini di dalam Al-Qur’an dijumpai ayat
yang menunjukkan akhlak yang baik yang dihubungkan dengan sikap yang mampu menahan
amarah. Allah berfirman.
َ ‫اس ۗ َوهَّللا ُ ُيحِبُّ ْالمُحْ سِ ن‬
‫ِين‬ َ ‫ْظ َو ْال َعاف‬
ِ ‫ِين َع ِن ال َّن‬ َ ‫ِين ْال َغي‬
َ ‫ون فِي السَّرَّ ا ِء َوالضَّرَّ ا ِء َو ْال َكاظِ م‬ َ ‫الَّذ‬
َ ُ‫ِين ُي ْنفِق‬
“(orang-orang yang bertakwa yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu
lapang maupun waktu sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan
(kesalahan) orang lain.”
 (Q.S Ali Imran/3: 134)
Pada ayat tersebut kemampuan menahan amarah dijadikan salah satu sifat orang yang
bertakwa dan disebut bersamaan dengan akhlak yang terpuji lainnya, yaitu menafkahkan
sebagian hartanya, baik dalam keadaan lapang maupun keadaan sempit serta mau memaafkan
kesalahan orang lain.
Penggunaan amarah secara pertengahan itu sejalan pula dengan hadist nabi yang berbunyi:
‫ب‬ َ ‫ك َن ْف َس ُه عِ ْندَ ْال َغ‬
ِ ‫ض‬ ُ ِ‫ إِ َّن َما ال َّشدِي ُد الَّذِى َيمْ ل‬، ‫ْس ال َّشدِي ُد ِبالص َُّر َع ِة‬
َ ‫لَي‬
Artinya: “Bukanlah orang kuat (yang sebenarnya) dengan (selalu mengalahkan lawannya
dalam) pergulatan (perkelahian), tetapi tidak lain orang kuat (yang sebenarnya) adalah yang
mampu mengendalikan dirinya ketika marah” [ HR. Muslim ].
Jadi, sudah jelaslah bahwa kata-kata adil dalam Al-Qur’an digunakan untuk berbagai
peristiwa dan aktivitas kehidupan. Ini menunjukkan bahwa teori pertengahan sebagai sumber
timbulnya akhlak yang mulia tidak bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an atau mendapat tempat
di dalam Al-Qur’an. Demikian pentingnya berbuat adil, maka masalah keadilan menjadi hal yang
harus ditegakkan oleh seluruh manusia.

ِ ‫إِ َّن هَّللا َ يَأْ ُم ُر بِ ْال َع ْد ِل َواإْل ِ حْ َس‬


َ‫ان َوإِيتَا ِء ِذي ْالقُرْ بَ ٰى َويَ ْنهَ ٰى ع َِن ْالفَحْ َشا ِء َو ْال ُم ْن َك ِر َو ْالبَ ْغ ِي ۚ يَ ِعظُ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّكرُون‬
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada
kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia
memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (Q.S An Nahl/16: 90)
Jika adil tersebut dihubungkan dengan akhlak yang mulia, maka perintah adil tersebut
berarti perintah berakhlak mulia.
Demikian pula nafsu syahwat yang digunakan secara berlebihan akan menimbulkan sikap
melacur, dan jika nafsu syahwat tersebut digunakan secara lemah akan menimbulkan sikap
tercela, yaitu tidak ada semangat untuk hidup. Nafsu syahwat yang digunakan secara
pertengahanlah yang akan menimbulkan sikap iffah, orang yang dapat menahan syahwat dan
farjinya dari berbuat lacur. Allah SWT. berfirman:
َ ‫) َوالَّذ‬٣(‫ِين ُه ْم َع ِن اللَّ ْغ ِو مُعْ ِرضُون‬
َّ ‫ِين ُه ْم ل‬
‫ِلز َكا ِة‬ َ ‫) َوالَّذ‬٢( ‫ُون‬
َ ‫م َخاشِ ع‬Bْ ‫صالت ِِه‬َ ‫ِين ُه ْم فِي‬ َ ‫) الَّذ‬١( ‫ون‬ َ ‫َق ْد أَ ْفلَ َح ْالم ُْؤ ِم ُن‬
)٥( ‫ون‬ ُ ‫م َحاف‬Bْ ‫ِين ُه ْم لِفُرُو ِج ِه‬
َ ‫ِظ‬ َ ‫) َوالَّذ‬٤( ‫ون‬ َ ُ‫ َفاعِ ل‬ 
Artinya: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang yang
khusyu’ dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan
perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang
yang menjaga kemaluannya.” (QS. Al-Mu’minun, 1-5).
Dengan demikian dari sikap pertengahan dalam menggunakan akal, amarah dan nafsu
syahwat menimbulkan sikap bijaksana, perwira dan dapat memelihara diri. Dan dari tiga sikap
inilah menimbulkan akhlak yang mulia.
Atas dasar itu, maka benar akar akhlak adalah akidah dan pohonnya adalah syariah.
Akhlak itu sudah menjadi buahnya. Buah itu akan rusak jika pohonnya rusak, dan pohonnya
akan rusak jika akarnya rusak. Oleh karena itu akar, pohon, dan buah harus dipelihara dengan
baik.
Bagi Nabi Muhammad SAW., Al-Qur’an sebagai cerminan berakhlak. Orang yang
berpegang teguh pada Al – Qur’an dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari, maka sudah
termasuk meneladani akhlak Rasulullah.
Jadi sudah jelas bahwa akhlak atau sistem perilaku ini terjadi melalui satu konsep atu
seperangkat pengertian tentang apa dan bagaimana sebaiknya akhlak itu harus terwujud. Konsep
atau seperangkat pengertian tentang apa dan bagaimana sebaiknya akhlak itu, disusun oleh
manusia di dalam sistem idenya. Sistem ide ini adalah hasil proses (penjabaran) daripada kaidah
yang dihayati dan dirumuskan sebelumnya (norma yang bersifat normative dan norma yang
bersifat deskriptif). Kaidah atau norma merupakan ketentuan yang timbul dari suatu nilai yang
terdapat pada Al-Qur’an atau Sunnah yang telah dirumuskan melalui wahyu Ilahi maupun yang
disusun oleh manusia sebagai kesimpulan dari hukum-hukum yang terdapat dalam alam semesta
yang diciptakan Allah Swt.
Setelah pola perilaku terbentuk maka sebagai kelanjutannya akan lahir hasil-hasil dari pola
perilaku tersebut yang berbentuk material (artifacts) maupun non-material (konsepsi, ide). Jadi
akhlak yang baik itu (akhlakul karimah) ialah pola perilaku yang dilandaskan pada manifestasi
nilai-nilai Iman, Islam, dan Ihsan.
Akhlak atau sistem perilaku dapat dididik atau diteruskan melalui sekurang-kurangnya
dua pendekatan, yaitu:
1)      Ransangan jawaban (stimulus-response) atau yang disebut proses mengkondisi sehingga terjadi
automatisasi dan dapat dilakukaan dengan cara sebagai berikut:
a.       Melalui cara latihan
b.      Melalui Tanya jawab;
c.       Melalui mencontoh
2)      Kognitif yaitu penyampaian informasi secara teoritis yang dapat dilakukan antara lain sebagai
berikut:
a.       Melalui dakwah
b.      Melalui ceramah
c.       Melalui diskusi, dan lain-lain.

  
B. Kedudukan Akhlak
Dalam Islam, akhlak memiliki posisi yang sangat penting, yaitu sebagai salah satu rukun
agama Islam. Dalam kaitan ini, Rasulullah SAW. pernah ditanya, “Beragama itu apa?” beliau
menjawab, “Berakhlak yang baik” (H.R Muslim). Pentingnya kedudukan akhlak dapat dilihat
ketika melihat bahwa salah satu sumber akhlak adalah wahyu.
Dan Akhlak terpuji sangatlah tinggi kedudukannya dimata Allah swt, bahkan meskipun
seseorang lemah dalam beribadah, namun akhlaknya mulia maka kedudukannya lebih tinggi dari
pada orang yang pandai beribadah tapi akhlaknya buruk. Dari Anas, Rasulullah pernah
bersabda : “Sesungguhnya seorang hamba mencapai derajat yang tinggi di akhirat dan
kedudukan yang mulia karna akhlaknya yang baik walaupun ia lemah dalam ibadah.” (HR.Al-
Tabhrani, Al-Tabhrig 3:404).
Akhlak memberikan peran penting bagi kehidupan, baik yang bersifat individual maupun
kolektif. Tak heran jika kemudian Al-Qur’an memberi penekanan terhadapnya. Al-Qur’an
meletakkan dasar-dasar akhlak mulia. Demikian pula Al-Hadist telah memberikan porsi cukup
banyak dalam bidang akhlak. Menurut satu penelitian, dari 60.000 hadist, 20.000 diantaranya
berkenaan dengan aqidah, sementara sisanya (40.000) berkenaan dengan akhlak dan muamalah.
Ini dapat dijadikan sebagai bukti bahwa Al-Hadist, sebagaimana Al-Qur’an, sangat
memerhatikan urusan akhlak.
               Diantara hadist yang menekankan pentingnya akhlak adalah sabda Rasulullah SAW:

‫أَ ْك َم ُل ْالم ُْؤ ِم ِني َْن إِ ْي َما ًنا أَحْ َس ُن ُه ْم ُخلُ ًقا‬
  “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling bagus akhlaknya.”  (H.R
At Tirmidzi)
  “Sesungguhnya, seorang mukmin akan bisa mencapai derajat sholat malam dan orang
yang puasa dengan akhlaknya yang mulia.” (H.R Ahmad)
Dalam hadist yang lain, Rasulullah SAW. pernah menegaskan:
َ ‫إلسْ الَ ِم ْال‬
‫ـح َيا ُء‬ ِ ‫ْن ُخلُ ًقا َو َخلُ ُق ْا‬
ٍ ‫إِنَّ لِ ُك ِّل ِدي‬
“Setiap agama memiliki akhlak dan akhlak agama Islam adalah rasa malu.” (H.R Imam Malik)
Islam menuntut setiap pemeluknya untuk menjadikan Rasulullah SAW. sebagai contoh
dalam segala aspek kehidupan. Khusus dalam akhlak, Allah SWT. Memuji beliau dengan
diiringi sumpah :

‫ك َل َع َل ٰى ُخلُ ٍق َعظِ ٍيم‬


َ ‫َوإِ َّن‬
  “Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur.” (Q.S Al-Qalam/68: 4)
Nabi Muhammad SAW. pun mengabarkan bahwa orang yang paling sempurna keimanannya
diantara umatnya adalah yang paling baik akhlaknya. Dengan demikian, seyogianya seorang
muslim berusaha dan bersemangat untuk memiliki akhlak yang baik dan merujuk kepada
Rasulullah SAW. dalam berakhlak.
Dalam kaitan dengan kedudukan akhlak, Ibnu Maskawaih menerangkan,
“Islam pada hakikatnya adalah suatu aliran etika. Islam memperbaiki budi pekerti manusia
sedemikian rupa sehingga manusia sanggup menjadi anggota masyarakat pergaulan bersama.
Islam menanamkan bibit cinta kasih sayang di dalam jiwa manusia.”
Paparan ini, dengan jelas bahwa Risalah Islam memperjuangkan kesempurnaan, kebaikan,
dan keutamaan akhlak. Dengan demikian, umat Islam merupakan model terbaik bagi
implementasi akhlak mulia ini, sebagaimana diperlihatkan dengan baik oleh Rasulullah SAW.
dan para pengikutnya.

         Sebab Akhlak memiliki Kedudukan yang Tinggi


1.      Akhlak adalah tujuan utama diangkatnya Nabi Muhammad menjadi nabi yang diutus kepada
manusia
Allah berfirman :

‫يه ْم‬ َ ‫ث فِي اأْل ُ ِّمي‬


ِ ‫ِّين َرسُواًل ِم ْن ُه ْم َي ْتلُو َع َلي ِْه ْم آ َيا ِت ِه َوي َُز ِّك‬ َ ‫ه َُو الَّذِي َب َع‬.....
“Dialah yang mengutus kepada kaum yanng buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang
membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka.” (Q.S Al-Jumuah:2).
    Allah memberi anugerah kepada orang beriman dengan mengutus nabi untuk mengajari
mereka tentang Al-Qur’an dan mensucikan mereka. Yang dimaksud dengan mensucikan adalah
membersihkan hati mereka dari syirik dan akhlak tercela seperti dendam dan iri hati dan
membersihkan perkataan dan perbuatan mereka dari kebiasaan yang buruk. Nabi Muhammad
bersabda dengan jelas, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang
mulia.”(Al-Baihaqi) jadi salah satu sebab diangkatnya Nabi Muhammad menjadi nabi adalah
untuk memperbaiki akhlak individu dan masyarakat.

2.      Akhlak merupakan bagian tak terpisahkan dari iman dan akidah
   Ketika Rasulullah ditanya : “Siapakah orang beriman yang paling utama imannya?” Maka
beliau menjawab, ”yang paling baik akhlaknya.” (HR.At-Tirmidzi,no.1162 dan Abu
Dawud,no.4682)
Allah telah menanamkan iman dengan kebaikan dalam firman-Nya:
ِ ‫م اآْل خ ِِر َو ْال َماَل ِئ َك ِة َو ْال ِك َتا‬Bِ ‫ب َو ٰلَكِنَّ ْال ِبرَّ َمنْ آ َم َن ِباهَّلل ِ َو ْال َي ْو‬
‫ب‬ ِ ‫ْس ْال ِبرَّ أَنْ ُت َولُّوا وُ جُو َه ُك ْم قِ َب َل ْال َم ْش ِر ِق َو ْال َم ْغ ِر‬َ ‫لَي‬
َ ‫وال َّن ِبي‬....
‫ِّين‬ َ

“Bukannlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaikan,akan tetapi
sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian,malaikat-malaikat,
kitab-kitab, nabi-nabi.” (Q.S Al-Baqarah:177). Kata “al-birr” merupakan nama bagi semua jenis
kebaikan, mulai dari akhlak, perkataan dan perbuatan. Karenanya, Nabi Muhammad bersabda,
“yang disebut dengan al-birr (kebaikan) adalah akhlak yang baik.” (HR.Muslim,no.2553).
     Masalah akhlak ini semakin lebih jelas dalam sebuah sabda Nabi Muhammad : “Iman itu
mempunyai enam puluh cabang lebih. Cabang yang paling utama adalah kalimat bahwa tidak
ada tuhan selain Allah dan dan yang paling bawah adalah membersihkan gangguan dari jalan
dan malu merupakan bagian dari iman.”(HR.Muslim,no.35).
3.      Akhlak berkaitan dengan semua bentuk ibadah
Bahwa setiap kali Allah memerintahkan suatu ibadah, Dia juga mengingatkan pada tujuan
akhlaknya dan pengaruhnya bagi jiwa dan masyarakat. Contohnya sangat banyak, antara lain:
Shalat :

‫صاَل َة َت ْن َه ٰى َع ِن ْال َفحْ َشا ِء َو ْال ُم ْن َك ِر‬ َّ ‫َوأَق ِِم ال‬


َّ ‫صاَل َة ۖ إِنَّ ال‬
“Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan
munkar.” (Q. S Al-Ankabut:45).
Zakat :

‫ص ِّل َع َلي ِْه ْم‬


َ ‫يه ْم ِب َها َو‬ َ ‫ُخ ْذ ِمنْ أَم َْوال ِِه ْم‬
ِ ‫صدَ َق ًة ُت َط ِّه ُر ُه ْم َو ُت َز ِّك‬
  “Ambilah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka.” (Q.S At-Taubah:103). Walaupun hakikat zakat adalah berbuat kebaikan
bagi manusia tetapi tujuan lainnya adalah mendidik jiwa dan membersihkannya dari akhlak yang
buruk.
Puasa :

َ ُ‫ِين ِمنْ َق ْبلِ ُك ْم َل َعلَّ ُك ْم َت َّتق‬


‫ون‬ َ ‫ِب َع َلى الَّذ‬
َ ‫ص َيا ُم َك َما ُكت‬
ِّ ‫ِب َع َل ْي ُك ُم ال‬ َ ‫َيا أَ ُّي َها الَّذ‬
َ ‫ِين آ َم ُنوا ُكت‬
“Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu
agar kamu bertaqwa.” (Al-Baqarah:183). Jadi tujuan dari puasa adalah agar bertaqwa kepada
Allah dengan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangann-Nya. Karena itu Nabi
Muhammad bersabda,
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan jahat dan melakukannya maka tidak
ada bagi Allah keperluan darinya untuk meninggalkan makan dan minumnya (yakni Allah tidak
menerima puasanya).” (HR.Al-Bukhari,no.1804). Barangsiapa yang puasanya tidak mengubah
akhlaknya terhadap manusia maka berarti puasanya belum mencapai target yang sesungguhnya.
4.      Banyak keutamaan dan pahala besar yang diberikan Allah kepada orang yang berakhlak mulia
Dalil-dalil yang menunjukkan hal itu sangat banyak baik dari al-qur’an dan hadits,
diantaranya:
   Akhlak mulia menjadi pemberat timbangan amal shalih pada hari kiamat
Nabi Muhammad bersabda, “Tidak ada sesuatu yang lebih berat daripada akhlak mulia yang
disimpan di timbangan nanti. Sesungguhnya orang yang berakhlak mulia akan sederajat dengan
orang yang berpuasa dan menunaikan shalat,” (HR.At-Tirmidzi,no.2003).
   Akhlak mulia merupakan sebab utama bagi seseorang untuk masuk surga
Nabi Muhammad bersabda, “Kebanyakan orang masuk surga karena takwa kepada Allah dan
akhlak yang mulia.” (HR.At-Tirmidzi,no.2004,dan Ibnu Majah,no.4246).
   Orang yang berakhlak mulia adalah orang yang paling dekat tempatnya dari Rasulullah pada
hari kiamat.
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya yang paling aku cintai dari kalian dan yang paling dekat
posisinya dariku pada hari kiamat nanti adalah yang paling mulia akhlaknya.” (HR.At-
Tirmidzi,no.2018)
   Di surga nanti, orang yang berakhlak mulia akan berada ditempat paling tinggi dan dijamin
oleh rasulullah
Nabi Muhammad bersabda, “Aku akan memberikan jaminan sebuah rumah di pinggir surga
bagi orang yang meninggalkan perdebatan sekalipun dia benar, dan rumah ditengah surga bagi
orang yang meninggalkan dusta sekalipun dia bercanda, serta rumah dibagian atas surga bagi
orang yang akhlaknya bagus.” (HR.Abu Dawud dalam As-sunan,no.4800).

C. Kedudukan Akhlak dalam Iman 


Hubungan antara iman dan akhlak sangat erat dan tidak bisa dipisahkan. Tidak bisa
dipercaya bila seorang mengaku baik iman namun akhlak dan perbuatannya jauh dari nilai
keimanan. Begitu pula seorang akan sulit menjaga kebaikan aakhlak dan perbuatannya dalam
segala kondisi, ketika keimanan tidak bersemayam lekat dalam jiwanya. Siapa yang memiliki
perangai dan akhlak yang buruk maka itu pertanda buruknya keimanan dan keislaman dalam
dirinya. Untuk merubah atau menghilangkan akhlak dan perilaku yang tercela perlu dibenahi
juga sisi keimanan dan keislaman dalam jiwa. Karena perilaku dan akhlak merupakan ekpresi
dan sesuatu yang lahir dari apa yang ada dalam jiwa dan hati.
Sebagaimana iman adalah energi yang mendorong seseorang berakhlak baik, menghiasi
dirinya dengan amal shaleh dan menjaganya dari perkara yang tidak terpuji, begitu pula hawa
nafsu bisa mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan sebaliknya. Maka, jika keimanan
mendominasi hati dan jiwa seseorang sehingga ia mengalahkan dorongan hawa nafsu, dalam
kondisi ini, akhlak dan perbuatan baik adalah buah yang lahir darinya. Namun sebaliknya, jika
hawa nafsu mendominasi dan mengalahkan keimanan maka ia akan melahirkan perbuatan akhlak
tercela. Akhlak bisa dijadikan sebagai barometer keimanan seseorang. Ibadah-ibadah yang
disyariatkan sebagai sarana untuk mengkondisikan hati dan meningkatkan keimanan, bisa diukur
baik atau tidaknya pelaksanaan ibadah tersebut, diterima atau tidaknya ibadah tersebut dari sisi
akhlak dan perilaku. Bahwa ibadah sholat yang baik adalah ketika ia mampu mewarnai perilaku
dan perbuatan kita. Baik perbuatan yang hanya berdampak pada diri sendiri maupun orang lain
atau sosial. Shalat yang mampu mengkondisikan jiwa dan keimanan seseorang bisa dinilai dari
perbuatan dan akhlaknya.

D. Kedudukan Akhlak dalam Ihsan


        Nabi Muhammad SAW menjelaskan tentang agama dalam satu kalimat yang sangat
singkat, yakni ad-dinul muamalah. Agama adalah interaksi. Interaksi yang dimaksud di sini
adalah hubungan timbal balik antara manusia dengan Tuhannya. Islam datang membawa ajaran
yang mengarahkan manusia memperbaiki hubungan antara semua pihak. Ihsan dalam arti akhlak
mulia atau pendidikan akhlak mulia sebagai puncak keagamaan dapat dipahami juga dari
beberapa hadits terkenal seperti “Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan
berbagai keluhuran budi.”

Ihsan secara lahiriah melaksanakan amal kebaikan. Ihsan dalam bentuk lahiriah ini, jika
dilandasi dan dijiwai dalam bentuk rohaniah (batin) akan menumbuhkan keikhlasan. Beramal
ihsan yang ikhlas membuahkan taqwa yang merupakan buah tertinggi dari segala amal ibadah
kita. Ihsan dalam akhlak sesungguhnya merupakan buah dari ibadah dan muamalah seseorang
akan mencapai tingkat ihsan dalam akhlaknya apabila ia telah melakukan ibadah seperti yang
menjadi harapan Rasul dalam salah satu haditsnya. Pada akhirnya ia akan berbuah menjadi
akhlak atau perilaku, sehingga mereka yang sampai pada tahap ihsan maka ibadahnya akan
terlihat jelas dalam perilaku dan karakternya. Adapun landasan syar’i ihsan yaitu : pertama, Al-
Qura’anul Karim

َ ‫َوأَحْ سِ ُنوا ۛ إِنَّ هَّللا َ ُيحِبُّ ْالمُحْ سِ ن‬


....‫ِين‬
“Dan berbuat baiklah kalian karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat
baik.” (QS.Al-Baqarah : 195).

ْ
ِ ‫إِنَّ هَّللا َ َيأ ُم ُر ِب ْال َع ْد ِل َواإْل ِحْ َس‬
‫ان‬
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk berbuat adil dan kebaikan.” (QS.Al-Nahl :
90).

‫الذب َْح َة َو ْل ُي ِح َّد أَ َح ُد ُك ْم َش ْف َر َت ُه‬


ِّ B‫ َفإِ َذا َق َت ْل ُت ْم َفأَحْ سِ ُنوا ْالقِ ْتلَ َة َوإِ َذا َذ َبحْ ُت ْم َفأَحْ سِ ُنوا‬،‫ان َعلَى ُك ِّل َشيْ ٍء‬
َ ‫ب ْاإلِحْ َس‬
َ ‫إِنَّ هللاَ َك َت‬
]‫ [رواه مسلم‬. ‫َو ْلي ُِرحْ َذ ِبي َْح َت ُه‬
Kedua, As-Sunnah Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kebaikan pada
segala sesuatu, maka jika kamu membunuh, bunuhlah dengan baik, dan jika kamu menyembelih,
sembelihlah dengan baik.” (HR.Muslim).

1. Akhlak Sebagai Kewajiban Fitrah


 

Dalam Al-Qur’an banyak terdapat keutamaan akhlak yang dapat membedakan perilaku orang
Muslim dengan non muslim. Seperti perintah mengerjakan kebajikan, menepati janji, sabar,
jujur, takut kepada Allah SWT., Bersedekah, adil, pemaaf dan lain – lain. Ayat – ayat Al-Qur’an
tersebut merupakan ketentuan yang diwajibkan pada setiap orang Islam untuk melaksanakan
nilai akhlak mulia dalam semua aktivitas kehidupannya.

Kewajiban yang dibebankan kepada manusia bukanlah kewajiban yang tanpa makna dan keluar 
dari dasar fungsi penciptaan manusia. Al-Qur’an telah menjelaskan masalah kehidupan dengan
penjelasan yang realistis, luas, dan juga telah menetapkan pandangan yang luas pada kebaikan
manusia dan zatnya. Makna penjelasan itu bertujuan agar manusia terpelihara kemanusiaannya
dengan senantiasa dididik akhlaknya, diperlakukan dengan pembinaan yang baik bagi hidupnya,
serta dikembangkan perasaan kemanusiaan dan sumber kehalusan budinya.

Kecenderungan manusia pada kebaikan terbukti dalam kesamaan konsep pokok akhlak pada
setiap peradaban dan zaman. Sedangkan kebaikan yang hakiki tidak dapat diperoleh melalui
pencarian manusia dengan akalnya saja. Kebaikan itu hanya didapat melalui wahyu dari Allah
SWT., karena Allah SWT. Merupakan Dzat YMB dan pemilik segala kebenaran.

Syeikh Muhammad Abduh menjelaskan bahwa’ kebaikan dikatakan dengan kasaba, sedangkan
keburukan dikaitkan dengan iktasaba. Hal ini menandakan bahwa fitrah manusia pada dasarnya
adalah cenderung kepada kebaikan, sehingga manusia dapat melakukan kebaikan dengan mudah.
Berbeda dengan keburukan, yang akan dikerjakan manusia dengan susah payah, penuh
kegoncangan dan kekacauan’.

Dengan demikian, akhlak telah melekat dalam diri manusia secara fitrah. Dengan kemampuan
fitrah ini ternyata manusia mampu membedakan batas kebaikan dan keburukan, dan mampu
membedakan mana yang bermanfaat dan tidak berbahaya.

Ruang Lingkup Akhlak Islami

Ruang lingkup akhlak islami adalah sama dengan ruang lingkup ajaran islam itu
sendiri, khususnya yang berkaitan dengan pola hubungan. Akhlak diniah (agama/ islami)
mencangkup berbagai aspek, dimulai dari akhlak terhadap Allah, hinga kepada sesama makhluk
(manusia, binatang, tumbuhan, dan benda-benda yang tak bernyawa). Berbagai bentuk dan ruang
lingkup akhlak islami yang demikian itu dapat dipaparkan sebagai berikut :
a.         Akhlak Terhadap Allah
Akhlak kepada Allah dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya
dilakukan oleh manusia sebagai makhluk, kepada tuhan sebagai Khalik. Sikap atau perbuatan
tersebut memiliki ciri-ciri perbuatan akhlaki sebagaimana telah disebutkan diatas.
Sekurang-kurangnya ada empat alasan mengapa manusia perlu berakhlak kepada
Allah. Pertama, karena Allah-lah yang telah menciptakan manusia. Dia menciptakan manusia
dari tanah yang diproses menjadi benih. Degan demikian sebagai yang diciptakan sudah
sepantasnya berterima kasih kepada yang menciptakannya. Sebagaimana firman Allah SWT
dalam QS. Al-Thariq, 86: 5-7 :

ِ ‫) يَ ۡخ ُر ُج ِم ۢن بَ ۡي ِن ٱلصُّ ۡل‬٦( ‫ق‬


‫ب‬ ٍ ۬ ِ‫ق ِمن َّمٓا ۬ ٍء َداف‬ َ ِ‫فَ ۡليَنظُ ِر ٱإۡل ِ ن َس ٰـ ُن ِم َّم ُخل‬
َ ِ‫) ُخل‬٥( ‫ق‬
)٧( ‫ب‬ ِ ِ‫َوٱلتَّ َرٓا ِٕٕٮـ‬
Artinya : “Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? Dia diciptakan dari air
yang terpancar, yang keluar dari antara tulang sulbi dan tulang dada.”
Kedua, karena Allah-lah yang telah memberikan perlengkapan pancaindera, berupa
pendengaran, penglihatan, akal pikiran dan hati sanubari, disamping anggota tubuh yang kokoh
dan sempurna kepada manusia.
Ketiga, karena Allah-lah yang telah menyediakan berbagai bahan dan sarana yang
dibutuhkan bagi kelangsungan hidup manusia, seperti bahan makanan yang berasal dari tumbuh-
tumbuhan, air, udara, binatang ternak dan sebagainya.
Keempat, Allah-lah yang telah memuliakan manusia dengan diberikannya
kemampuan menguasai daratan dan lautan.
Banyak cara yang dapat dilakuka dalam berakhlak kepada Allah. Di antaranya
dengan cara tidak menyekutukan-Nya, takwa kepada-Nya, mencintai-Nya, ridho dan ikhlas
terhadap segala ketentuan-Nya da bertaubat, mensyukuri nikmat-Nya, selal bedoa kepada-Nya,
beribadah, dan selalu mencari keridhoan-Nya.
Quraish shihab mengatakan bahwa titik tolak akhlak terhadap Allah adalah
pengakuan dan kesadaran bahwa tiada Tuhan selain Allah. Dia memiliki sifat-sifat terpuji
demikian agung sifat itu, jangankan manusia, malaikat pun tidak akan menjangkaunya.
Berkenaan dengan akhlak kepada Allah dilakukan dengan cara banyak memujinya. Selajutnya
sikap tersebut dilanjutkan dengan senantiasa bertawakkal kepada-Nya, yaitu denganmenjadikan
Tuhan sebagai satu-satunya yang menguasai diri manusia.
b.         Akhlak Terhadap Sesama Manusia
Banyak sekali rincian yang dikemukakan Al-Qur’an berkaitan dengan perilaku
terhadap sesama manusia. Petunjuk mengenai hal ini bukan hanya dalam bentuk larangan
melakukan hal-hal negative seperti membunuh, menyakiti badan, atau mengambil harta tanpa
alasan yang benar, melainkan juga sampai kepada menyakiti hati dengan jalan menceritakan aib
seseorang dibelakangnya, tidak peduli aib itu benar atau salah, walaupun sambil memberikan
materi kepada yang disakiti hatinya itu.
۬ ٌ ۬ ‫قَ ۡو ۬ ٌل َّم ۡعر‬
َ ‫ُوف َو َم ۡغفِ َرةٌ َخ ۡي ۬ ٌر ِّمن‬
‫ص َدقَ ۬ ٍة يَ ۡتبَ ُعهَٓا أَ ًذ ۗى‌ َوٱهَّلل ُ َغنِ ٌّى َحلِي ۬ ٌم‬
Artinya : “Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu
yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.”(QS. Al-
Baqarah ;263)
Disisi lain Al-Qur’an menerangkan bahwa setiap orang hendaknya didudukan secara
wajar. Tidak masuk kerumah orang lain tanpa izin, jika bertemu saling mengucapkan salam, dan
ucapan yang dikeluarkan adalah ucapan yang baik.

‫ون إِاَّل ٱهَّلل َ َوبِ ۡٱل َوٲلِ َد ۡي ِن إِ ۡح َسا ۬نًا َو ِذى‬ َ ‫َوإِ ۡذ أَ َخ ۡذنَا ِميثَ ٰـ‬
َ ‫ق بَنِ ٓى إِ ۡس َر ٓٲ ِء‬
َ ‫يل اَل تَ ۡعبُ ُد‬
‫ڪ ٰوةَ ثُ َّم‬ ْ ُ‫صلَ ٰوةَ َو َءات‬
َ ‫وا ٱل َّز‬ َّ ‫وا ٱل‬ ْ ‫اس ح ُۡس ۬نًا َوأَقِي ُم‬ ِ َّ‫وا لِلن‬ ْ ُ‫ِين َوقُول‬ِ ‫ۡٱلقُ ۡربَ ٰى َو ۡٱليَتَ ٰـ َم ٰى َو ۡٱل َم َس ٰـڪ‬
َ ‫تَ َولَّ ۡيتُمۡ إِاَّل قَلِي ۬الً ِّمنڪُمۡ َوأَنتُم ُّم ۡع ِرض‬
‫ُون‬
Artinya : “Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah kamu
menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak
yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia,
dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali
sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling.” (QS.Al-Baqarah : 83)
Setiap ucapan yang diucapkan adalah ucapan yang benar,

‫وا قَ ۡو ۬الً َس ِدي ۬ ًدا‬


ْ ُ‫وا ٱهَّلل َ َوقُول‬
ْ ُ‫وا ٱتَّق‬
ْ ُ‫ين َءا َمن‬
َ ‫يَ ٰـٓأَيُّہَا ٱلَّ ِذ‬
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah Perkataan
yang benar” (QS. Al-ahzab :70)
Jangan mengucilkan seseorang atau kelompok lain, tidak wajar pula berprasangka
buruk tanpa alasan, atau menceritakan keburukan seseorang, dan menyapa atau memanggil
dengan sebutan buruk. Selanjutnya yang melakukan kesalahan hendaknya dimaafkan. Pemaafan
ini hendaknya disertai dengan kesadaran bahwa yang memaafkan berpotensi pula melakukan
kesalahan. Selain itu juga dianjurkan agar menjadi orang yang pandai mengendalikan nafsu
amarah, mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepetingan sendiri.
c.         Akhlak terhadap Lingkungan
Yang dimaksud dengan lingkungan disini ialah segala sesuatu yang di sekitar
manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak bernyawa.
Pada dasarnya akhlak yang diajarkan Al-Qur’an terhadap lingkungan bersumber
dari fungsi manusia sebagai khalifah. Kekhalifahan menurut adanya interaksi antara manusia
dengan sesamanya dan manusia terhadap alam. Kekhalifahan mengandung arti pengayoman,
pemeliharaan, serta bimbingan, agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya.
Dalam pandangan Islam, seseorang tidak dibenarkan mengambil buah sebelum
matang, atau memetik bunga sebelum mekar, karena hal ini berarti tidak member kesempatan
kepada mahkluk untuk mencapai tujuan penciptaannya.
Ini berarti manusia dituntut untuk mampu menghormati proses-proses yang sedang
berjalan, dan terhadap semua proses yang sedang terjadi. Yang demikian mengantarkan manusia
bertanggung jawab, sehingga ia tidak melakukan perusakan, bahkan dengan kata lain setiap
perusakan terhadap lingkungan harus dinilai sebagai perusakan pada diri manusia sendiri.
Binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda tak bernyawa semuanya diciptaka
oleh Allah SWT, dan menjadi milik-Nya, serta semuanya memiliki ketergantungan kepada-Nya.
Keyakinan ini mengantarkan seorang muslim untuk menyadari bahwa semuanya adalah “umat”
Tuhan yang harus diperlakukan secara wajar dan baik.
Pada saat jaman peperangan terdapat petunjuk Al-Qur’an yang melarang
melakukan penganiayaan. Jangankan terhadap menusia dan binatang, bahkan mencabut dan
menebang pohonpun terlarang, kecuali kalau terpaksa, tetapi itu pun harus seizin Allah, dalam
arti harus sejalan dengan tujuan-tujuan penciptaan dan demi kemashlatan terbesar. Allah
berfirman :

َ ِ‫ى ۡٱلفَ ٰـ ِسق‬


‫ين‬ َ ‫ڪتُ ُموهَا قَٓا ِٕٕٮِـ َمةً َعلَ ٰ ٓى أُصُولِهَا فَبِإِ ۡذ ِن ٱهَّلل ِ َولِي ُۡخ ِز‬
ۡ ‫َما قَطَ ۡعتُم ِّمن لِّينَ ٍة أَ ۡو تَ َر‬
Artinya : “ Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu
biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya, Maka (semua itu) adalah dengan izin Allah; dan
karena Dia hendak memberikan kehinaan kepada orang-orang fasik.” (QS. Al-Hasyr :5)
Alam dengan segala isinya telah ditundukan Tuhan kepada manusia, sehinga
dengan mudah manusia dapat memanfaatkannya. Jika demikian, manusia tidak mencari
kemenangan, tetap keselarasan dengan alam. Keduanya tunduk kepada Allah, sehimgga mereka
harus dapat bersahabat.
Selain itu akhlak Islami juga memperhatikan kelestarian dan keselamatan binatang.
nabi Muhammad SAW. Bersabda : “Bertakwalah kepada Allah dalam perlakuanmu terhadap
binatang, kendarailah, dan beri makanlah dengan baik “.
Uraian tersebut di atas memperlihatkan bahwa akhlak Islami sangat komprehensif,
menyeluruh dan mencangkup berbagai makhluk yang diciptakan Tuhan. Hal yang demikan
dilakuka karena secara fungsional seluruh makhluk tersebut satu sama lain saling membutuhkan.
Punah dan rusaknya salah satu bagian dari makhluk Tuhan itu akan berdampak negative bagi
makhluk lainnya.

Anda mungkin juga menyukai