Urgensi Akhlak
Urgensi Akhlak
A. Akhlaq
Menurut pendekatan etimologi, perkataan “akhlaq” berasal dari bahasa arab jama’ dari
bentuk mufrodnya خلق yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.
B. Etika
Secara etimologis, etika berasal dari bahasa latin, etos, yang berarti kebiasaan. Berasal
dari bahasa yunani, yaitu ethos yang memiliki pengertian adat istiadat (kebiasaan), perasaan
batin kecenderungan hati untuk melakukan perbuatan. Dalam kajian filsafat, etika merupakan
bagian dari filsafat yang mencakup meta fisika, kosmologi, psikologi, logika, hukum, sosiologi,
ilmu sejarah dan estetika.
Dari pandangan filosofis Epikuros, dapat di ambil suatu pemahaman tentang arti etika,
yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan nilai-nilai tindakan manusia yang menurut ukuran
rasio dinyatakan dan diakui sebagai sesuatu yang subtansinya paling benar. Kaidah-kaidah
kebenaran dari yindakan digali oleh akal sehat manusia dan distandardisasi menurut ukuran yang
rasional, seperti sumber kebenaran adalah jiwa, nilai kebenaran jiwa itu kekal, segala yang tidak
kekal pada dasarnya bukan kebenaran subtansial.
Pandangan yang berhubungan dengan pengertian etika di atas, dapat diambil sebagai
suatu pemahaman bahwa etika adalah cara pandang manusia tentang tingklah laku yang baik dan
benar, dan dari cara pandang itu dapat digali dari beberapa sumber, kemudian dijadikan sebagai
tolak ukur bagi suatu tindakan dengan pendekatan yang rasional dan filosofis.
Dari bebearapa definisi etika tersebut, dapat diketahui bahwa etika berhubungan dengan 4
hal sebagai berikut
1. Dari segi objek pembahasannya, etika berupaya membahas perbuatan yang dilakukan oleh
manusia.
2. Dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat.
3. Dari segi fungsinya etika berfungsi sebagai penilai, penentu, dan penetap terhadap suatu
perbuatan yang dilakukan oleh manusia.
4. Dari segi sifatnya, etika bersifat relatif yakni sesuai dengan tuntutan zaman.
C. Pengertian Moral
Kata moral berasal dari bahasa latin “mores” kata jama’ dari “mos” berarti adat
kebiasaan. Dalam bahasa indonesia, moral diterjemahkan dengan arti tata susila. Moral adalah
perbuatan baik dan buruk yang didasarkan pada kesepakatan masyarakat. Moral merupakan
istilah tentang perilaku atau akhlak yang diterapkan kepada manusia sebagai individu maupun
sebagai sosial.
Sidi gazalba mengatakan, moral ialah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang
tindakan manusia, mana yang baik dan yang wajar. Untuk itu dia, menyimpulkan bahwaa moral
itu adalah suatu tindakan yang sesuai dengan ukuran tindakan yang umum diterima oleh
kesatuan sosial atau lingkungan tertentu.
Fran magnis suseno menjelaskan bahwa kata moral selalu mengacu kepada baik
buruknya sebagai seorang manusia. Bidang moral adalah kehidupan manusia dilihat dari segi
kebaikannya sebagai manusia.
D. Pengertian Susila
Susila atau juga sering disebut kesusilaan, berasal dari kata susila yang berasal dari
bahasa sansekerta, yaitu “su” yang berarti baik dan “sila” yang berarti dasar, prinsip peraturan
hidup atau norma.
Kata susila selanjutnya digunakan untuk arti sebagai aturan hidup yang lebih baik. Orang
yang susila adalah orang yang berkelakuan baik, sedangkan orang yang asusila adalah orang
yang berkelakuan buruk.
Susila dapat pula berarti sopan, beradap, baik budi bahasanya. Dan kesusilaan sama
dengan kesopanan. Kesusilaan menggambarkan keadaan dimana orang selalu menerapkan nilai-
nilai yang dipandang baik.
A. Landasan Akhlak
Dalam Islam, dasar atau alat pengukur yang menyatakan bahwa sifat seseorang itu baik
atau buruk adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Segala sesuatu yang baik menurut Al-Qur’an dan
As-Sunnah (Al Hadits), itulah yang baik untuk dijadikan pegangan dalam kehidupan sehari-hari.
Sebaliknya, segala sesuatu yang buruk menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, berarti tidak baik dan
harus dijauhi. Berikut penjelasan yang lebih lanjut
a. Al – Qur’an
Artinya: : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia
banyak menyebut Allah”. (QS. Al-Ahzab 33:21)
Kepentingan akhlak dalam kehidupan manusia sudah jelas dinyatakan dalam Al-Qur’an.
Al-Qur’an menerangkan berbagai pendekatan yang meletakkan Al-Quran sebagai sumber
pengetahuan mengenai nilai dan akhlak yang paling jelas. Pendekatan Al-Qur’an dalam
menerangkan akhlak yang mulia, bukan pendekatan teoritikal, melainkan dalam bentuk
konseptual dan penghayatan. Akhlak mulia dan akhlak buruk digambarkan dalam perwatakan
manusia, dalam sejarah dan dalam realitas kehidupan manusia semasa Al-Qur’an diturunkan.
Al- Qur’an menggambarkan aqidah orang-orang beriman, kelakuan mereka yang mulia
dan gambaran mereka yang tertib, adil, luhur, dan mulia. Berbanding terbalik dengan perwatakan
orang-orang kafir dan munafik yang jelek, zalim, dan rendah hati. Gambaran akhlak mulia dan
akhlak keji begitu jelas dalam perilaku manusia disepanjang sejarah. Al- Qur’an juga
menggambarkan perjuangan para rasul untuk menegakkan nilai-nilai mulia dan murni di dalam
kehidupan dan ketika mereka ditentang oleh kefasikan, kekufuran, dan kemunafikan yang
menggagalkan tegaknya akhlak yang mulia sebagai teras kehidupan yang luhur dan murni itu.
b. Al-Hadist
Dalam ayat Al - Qur’an telah diberikan penegasan bahwa Rasulullah merupakan contoh
yang layak ditiru dalam segala sisi kehidupannya. Disamping itu, ayat tersebut juga
mengisyaratkan bahwa tidak ada satu “sisi-gelap” pun yang ada pada diri Rasulullah, karena
semua isi kehidupannya dapat ditiru dan diteladani. Ayat diatas juga mengisyaratkan bahwa
Rasulullah sengaja diproyeksikan oleh Allah untuk menjadi “lokomotif” akhlak umat manusia
secara universal, karena Rasulullah diutus sebagai rahmatan lil’alamin. Hal ini didukung pula
dengan hadist yang berbunyi :
ُ ان َوإِي َتا ِء ذِي ْالقُرْ َب ٰى َو َي ْن َه ٰى َع ِن ْال َفحْ َشا ِء َو ْال ُم ْن َكر َو ْال َب ْغي ۚ َيع ْ
َم لَ َعلَّ ُك ْم َت َذ َّكرُونBْ ِظ ُك ِ ِ ِ إِنَّ هَّللا َ َيأ ُم ُر ِب ْال َع ْد ِل َواإْل ِحْ َس
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu berlaku) adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada
kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.” (Q.S
An Nahl/16: 90)
Ayat-ayat tersebut secara keseluruhan bertemakan perintah berbuat adil yang
dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan yang baik, seperti bertakwa kepada Allah, menetapkan
keputusan yang bijaksana, berbuat kebajikan memberi makan kepada kaum kerabat, menjauhi
perbuatan keji dan munkar serta perbuatan yang menimbulkan permusuhan. Dengan demikian
ayat tersebut dapat dipahami bahwa keadilan erat kaitannya dengan timbulnya berbagai
perbuatan terpuji lainnya.
Pemahaman tersebut pada akhirnya akan membawa kepada timbulnya teori pertengahan,
yaitu bahwa sikap pertengahan sebagai pangkal timbulnya kebajikan. Pemahaman ini sejalan
pula dengan isyarat yang terdpat dalam hadis nabi yang berbunyi,
“Sebaik-baiknya urusan (perbuatan) adalah yang pertengahan.” (H.R Ahmad)
Sebaliknya akhlak yang buruk atau tercela pada dasarnya timbul disebabkan oleh
penggunaan dari ketiga potensi rohaniah yang tidak adil. Akal yang digunakan secara berlebihan
akan menimbulkan sikap pintar busuk atau penipu; dan akal yang digunakan terlalu lemah akan
menimbulkan sikap dungu atau idiot. Dengan demikian akal yang digunakan secara berlebihan
atau terlalu lemah merupakan pangkal timbulnya akhlak yang tercela.
Demikian pula amarah yang digunakan terlalu berlebihan akan menimbulkan sikap
membabi buta atau hantam kromo, yaitu berani tanpa memperhitungkan kebaikan dan
keburukannya. Sebaliknya, jika amarah digunakan terlalu lemah akan menimbulkan sikap
pengecut. Dengan demikian, penggunaan amarah secara berlebihan atau berkurang sama-sama
akan menimbulkan akhlak yang buruk. Berkenaan dengan ini di dalam Al-Qur’an dijumpai ayat
yang menunjukkan akhlak yang baik yang dihubungkan dengan sikap yang mampu menahan
amarah. Allah berfirman.
َ اس ۗ َوهَّللا ُ ُيحِبُّ ْالمُحْ سِ ن
ِين َ ْظ َو ْال َعاف
ِ ِين َع ِن ال َّن َ ِين ْال َغي
َ ون فِي السَّرَّ ا ِء َوالضَّرَّ ا ِء َو ْال َكاظِ م َ الَّذ
َ ُِين ُي ْنفِق
“(orang-orang yang bertakwa yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu
lapang maupun waktu sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan
(kesalahan) orang lain.”
(Q.S Ali Imran/3: 134)
Pada ayat tersebut kemampuan menahan amarah dijadikan salah satu sifat orang yang
bertakwa dan disebut bersamaan dengan akhlak yang terpuji lainnya, yaitu menafkahkan
sebagian hartanya, baik dalam keadaan lapang maupun keadaan sempit serta mau memaafkan
kesalahan orang lain.
Penggunaan amarah secara pertengahan itu sejalan pula dengan hadist nabi yang berbunyi:
ب َ ك َن ْف َس ُه عِ ْندَ ْال َغ
ِ ض ُ ِ إِ َّن َما ال َّشدِي ُد الَّذِى َيمْ ل، ْس ال َّشدِي ُد ِبالص َُّر َع ِة
َ لَي
Artinya: “Bukanlah orang kuat (yang sebenarnya) dengan (selalu mengalahkan lawannya
dalam) pergulatan (perkelahian), tetapi tidak lain orang kuat (yang sebenarnya) adalah yang
mampu mengendalikan dirinya ketika marah” [ HR. Muslim ].
Jadi, sudah jelaslah bahwa kata-kata adil dalam Al-Qur’an digunakan untuk berbagai
peristiwa dan aktivitas kehidupan. Ini menunjukkan bahwa teori pertengahan sebagai sumber
timbulnya akhlak yang mulia tidak bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an atau mendapat tempat
di dalam Al-Qur’an. Demikian pentingnya berbuat adil, maka masalah keadilan menjadi hal yang
harus ditegakkan oleh seluruh manusia.
B. Kedudukan Akhlak
Dalam Islam, akhlak memiliki posisi yang sangat penting, yaitu sebagai salah satu rukun
agama Islam. Dalam kaitan ini, Rasulullah SAW. pernah ditanya, “Beragama itu apa?” beliau
menjawab, “Berakhlak yang baik” (H.R Muslim). Pentingnya kedudukan akhlak dapat dilihat
ketika melihat bahwa salah satu sumber akhlak adalah wahyu.
Dan Akhlak terpuji sangatlah tinggi kedudukannya dimata Allah swt, bahkan meskipun
seseorang lemah dalam beribadah, namun akhlaknya mulia maka kedudukannya lebih tinggi dari
pada orang yang pandai beribadah tapi akhlaknya buruk. Dari Anas, Rasulullah pernah
bersabda : “Sesungguhnya seorang hamba mencapai derajat yang tinggi di akhirat dan
kedudukan yang mulia karna akhlaknya yang baik walaupun ia lemah dalam ibadah.” (HR.Al-
Tabhrani, Al-Tabhrig 3:404).
Akhlak memberikan peran penting bagi kehidupan, baik yang bersifat individual maupun
kolektif. Tak heran jika kemudian Al-Qur’an memberi penekanan terhadapnya. Al-Qur’an
meletakkan dasar-dasar akhlak mulia. Demikian pula Al-Hadist telah memberikan porsi cukup
banyak dalam bidang akhlak. Menurut satu penelitian, dari 60.000 hadist, 20.000 diantaranya
berkenaan dengan aqidah, sementara sisanya (40.000) berkenaan dengan akhlak dan muamalah.
Ini dapat dijadikan sebagai bukti bahwa Al-Hadist, sebagaimana Al-Qur’an, sangat
memerhatikan urusan akhlak.
Diantara hadist yang menekankan pentingnya akhlak adalah sabda Rasulullah SAW:
أَ ْك َم ُل ْالم ُْؤ ِم ِني َْن إِ ْي َما ًنا أَحْ َس ُن ُه ْم ُخلُ ًقا
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling bagus akhlaknya.” (H.R
At Tirmidzi)
“Sesungguhnya, seorang mukmin akan bisa mencapai derajat sholat malam dan orang
yang puasa dengan akhlaknya yang mulia.” (H.R Ahmad)
Dalam hadist yang lain, Rasulullah SAW. pernah menegaskan:
َ إلسْ الَ ِم ْال
ـح َيا ُء ِ ْن ُخلُ ًقا َو َخلُ ُق ْا
ٍ إِنَّ لِ ُك ِّل ِدي
“Setiap agama memiliki akhlak dan akhlak agama Islam adalah rasa malu.” (H.R Imam Malik)
Islam menuntut setiap pemeluknya untuk menjadikan Rasulullah SAW. sebagai contoh
dalam segala aspek kehidupan. Khusus dalam akhlak, Allah SWT. Memuji beliau dengan
diiringi sumpah :
2. Akhlak merupakan bagian tak terpisahkan dari iman dan akidah
Ketika Rasulullah ditanya : “Siapakah orang beriman yang paling utama imannya?” Maka
beliau menjawab, ”yang paling baik akhlaknya.” (HR.At-Tirmidzi,no.1162 dan Abu
Dawud,no.4682)
Allah telah menanamkan iman dengan kebaikan dalam firman-Nya:
ِ م اآْل خ ِِر َو ْال َماَل ِئ َك ِة َو ْال ِك َتاBِ ب َو ٰلَكِنَّ ْال ِبرَّ َمنْ آ َم َن ِباهَّلل ِ َو ْال َي ْو
ب ِ ْس ْال ِبرَّ أَنْ ُت َولُّوا وُ جُو َه ُك ْم قِ َب َل ْال َم ْش ِر ِق َو ْال َم ْغ ِرَ لَي
َ وال َّن ِبي....
ِّين َ
“Bukannlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaikan,akan tetapi
sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian,malaikat-malaikat,
kitab-kitab, nabi-nabi.” (Q.S Al-Baqarah:177). Kata “al-birr” merupakan nama bagi semua jenis
kebaikan, mulai dari akhlak, perkataan dan perbuatan. Karenanya, Nabi Muhammad bersabda,
“yang disebut dengan al-birr (kebaikan) adalah akhlak yang baik.” (HR.Muslim,no.2553).
Masalah akhlak ini semakin lebih jelas dalam sebuah sabda Nabi Muhammad : “Iman itu
mempunyai enam puluh cabang lebih. Cabang yang paling utama adalah kalimat bahwa tidak
ada tuhan selain Allah dan dan yang paling bawah adalah membersihkan gangguan dari jalan
dan malu merupakan bagian dari iman.”(HR.Muslim,no.35).
3. Akhlak berkaitan dengan semua bentuk ibadah
Bahwa setiap kali Allah memerintahkan suatu ibadah, Dia juga mengingatkan pada tujuan
akhlaknya dan pengaruhnya bagi jiwa dan masyarakat. Contohnya sangat banyak, antara lain:
Shalat :
Ihsan secara lahiriah melaksanakan amal kebaikan. Ihsan dalam bentuk lahiriah ini, jika
dilandasi dan dijiwai dalam bentuk rohaniah (batin) akan menumbuhkan keikhlasan. Beramal
ihsan yang ikhlas membuahkan taqwa yang merupakan buah tertinggi dari segala amal ibadah
kita. Ihsan dalam akhlak sesungguhnya merupakan buah dari ibadah dan muamalah seseorang
akan mencapai tingkat ihsan dalam akhlaknya apabila ia telah melakukan ibadah seperti yang
menjadi harapan Rasul dalam salah satu haditsnya. Pada akhirnya ia akan berbuah menjadi
akhlak atau perilaku, sehingga mereka yang sampai pada tahap ihsan maka ibadahnya akan
terlihat jelas dalam perilaku dan karakternya. Adapun landasan syar’i ihsan yaitu : pertama, Al-
Qura’anul Karim
ْ
ِ إِنَّ هَّللا َ َيأ ُم ُر ِب ْال َع ْد ِل َواإْل ِحْ َس
ان
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk berbuat adil dan kebaikan.” (QS.Al-Nahl :
90).
Dalam Al-Qur’an banyak terdapat keutamaan akhlak yang dapat membedakan perilaku orang
Muslim dengan non muslim. Seperti perintah mengerjakan kebajikan, menepati janji, sabar,
jujur, takut kepada Allah SWT., Bersedekah, adil, pemaaf dan lain – lain. Ayat – ayat Al-Qur’an
tersebut merupakan ketentuan yang diwajibkan pada setiap orang Islam untuk melaksanakan
nilai akhlak mulia dalam semua aktivitas kehidupannya.
Kewajiban yang dibebankan kepada manusia bukanlah kewajiban yang tanpa makna dan keluar
dari dasar fungsi penciptaan manusia. Al-Qur’an telah menjelaskan masalah kehidupan dengan
penjelasan yang realistis, luas, dan juga telah menetapkan pandangan yang luas pada kebaikan
manusia dan zatnya. Makna penjelasan itu bertujuan agar manusia terpelihara kemanusiaannya
dengan senantiasa dididik akhlaknya, diperlakukan dengan pembinaan yang baik bagi hidupnya,
serta dikembangkan perasaan kemanusiaan dan sumber kehalusan budinya.
Kecenderungan manusia pada kebaikan terbukti dalam kesamaan konsep pokok akhlak pada
setiap peradaban dan zaman. Sedangkan kebaikan yang hakiki tidak dapat diperoleh melalui
pencarian manusia dengan akalnya saja. Kebaikan itu hanya didapat melalui wahyu dari Allah
SWT., karena Allah SWT. Merupakan Dzat YMB dan pemilik segala kebenaran.
Syeikh Muhammad Abduh menjelaskan bahwa’ kebaikan dikatakan dengan kasaba, sedangkan
keburukan dikaitkan dengan iktasaba. Hal ini menandakan bahwa fitrah manusia pada dasarnya
adalah cenderung kepada kebaikan, sehingga manusia dapat melakukan kebaikan dengan mudah.
Berbeda dengan keburukan, yang akan dikerjakan manusia dengan susah payah, penuh
kegoncangan dan kekacauan’.
Dengan demikian, akhlak telah melekat dalam diri manusia secara fitrah. Dengan kemampuan
fitrah ini ternyata manusia mampu membedakan batas kebaikan dan keburukan, dan mampu
membedakan mana yang bermanfaat dan tidak berbahaya.
Ruang lingkup akhlak islami adalah sama dengan ruang lingkup ajaran islam itu
sendiri, khususnya yang berkaitan dengan pola hubungan. Akhlak diniah (agama/ islami)
mencangkup berbagai aspek, dimulai dari akhlak terhadap Allah, hinga kepada sesama makhluk
(manusia, binatang, tumbuhan, dan benda-benda yang tak bernyawa). Berbagai bentuk dan ruang
lingkup akhlak islami yang demikian itu dapat dipaparkan sebagai berikut :
a. Akhlak Terhadap Allah
Akhlak kepada Allah dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya
dilakukan oleh manusia sebagai makhluk, kepada tuhan sebagai Khalik. Sikap atau perbuatan
tersebut memiliki ciri-ciri perbuatan akhlaki sebagaimana telah disebutkan diatas.
Sekurang-kurangnya ada empat alasan mengapa manusia perlu berakhlak kepada
Allah. Pertama, karena Allah-lah yang telah menciptakan manusia. Dia menciptakan manusia
dari tanah yang diproses menjadi benih. Degan demikian sebagai yang diciptakan sudah
sepantasnya berterima kasih kepada yang menciptakannya. Sebagaimana firman Allah SWT
dalam QS. Al-Thariq, 86: 5-7 :
ون إِاَّل ٱهَّلل َ َوبِ ۡٱل َوٲلِ َد ۡي ِن إِ ۡح َسا ۬نًا َو ِذى َ َوإِ ۡذ أَ َخ ۡذنَا ِميثَ ٰـ
َ ق بَنِ ٓى إِ ۡس َر ٓٲ ِء
َ يل اَل تَ ۡعبُ ُد
ڪ ٰوةَ ثُ َّم ْ ُصلَ ٰوةَ َو َءات
َ وا ٱل َّز َّ وا ٱل ْ اس ح ُۡس ۬نًا َوأَقِي ُم ِ َّوا لِلن ْ ُِين َوقُولِ ۡٱلقُ ۡربَ ٰى َو ۡٱليَتَ ٰـ َم ٰى َو ۡٱل َم َس ٰـڪ
َ تَ َولَّ ۡيتُمۡ إِاَّل قَلِي ۬الً ِّمنڪُمۡ َوأَنتُم ُّم ۡع ِرض
ُون
Artinya : “Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah kamu
menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak
yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia,
dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali
sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling.” (QS.Al-Baqarah : 83)
Setiap ucapan yang diucapkan adalah ucapan yang benar,