Pengertan Ijma’
Ijma’ secara etimonologi adalah sepakat.[1] Adapun Ijma’ secara istilah kesepakatan
mujtahid setelah wafatnya Rasulullah Saw.[2]
2. Dalil-dalil yang menunjukkan pada kehujjahan Ijma’ akan kita paparkan sebagai berikut :
a. Sabda Rasulullah Saw yang berbunyi :
مارأه المسلمون حسنا فهو عند هللا حسن
Artinya : “Apa yang dipandang oleh kaum muslimin baik, maka menurut pandangan
Allah juga baik”.
b. Sabda Rasulullah Sa
ال تجمع امتى على ضاللة
Artinya : “UmatKu tidak akan bersepakat atas perbuatan yang sesat”.
c. Demikian juga sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Imam Syafi’i dari sahabat
Umar bin Khatab R.A :
اال فمن سره بحجة الجنة فليلزم الجماعة فإن الشيطان مع الفذ وهو من االثنين ابعد
Artinya : “Ingatlah barang siapa yang ingin menempati surga, maka bergabunglah
(ikutilah) jammah. Karena syaithan bersama orang-orang yang menyendiri. Ia akan lebih
jauh dari 2 orang dari pada orang yang menyendiri”.
Firman Allah Swt :
ومن يشاقف الرسول من بعد ما تبين الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وسأت مصيرا
)115: ( النساء
Artinya : “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenarannya baginya
dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia berkuasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia k edalam neraka
jahanam dan jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali”.
Nash di atas menjelaskan bahwa yang bukan jalannya orang mukmin adalah harom.
Karena berarti dia telah menentang Allah dan Rasul-Nya dengan ancaman neraka jahanam.
Dengan demikian mengikuti jalan orang mukmin adalah wajib. Jika jama’ah orang mukmin
mengatakan “ini halal” jika ada orang yang menyatakan hal tersebut sebagai suatu yang
“haram” maka dia tidak mengikuti jalan orang mukmin.
Oleh karena itu bisa disimpulkan bahwasannya mengikuti pendapat orang-orang
mukmin berati suatu hal yang ditetapkan berdasarkan Ijma’. Dengan demikian Ijma’ dapat
dijadikan hujjahyang harus dipergunakan untuk menggali hukum syara’ (istinbath) dari nash-
nash Syara’.
3. Syarat-syarat Ijma’
a. Yang bersepakat adalah para mujtahid
b. Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid
c. Para mujtahid harus umat Muhammad Saw
d. Dilakukan setelah wafatnya Nabi
e. Kesepakatan mereka harus berupa syariat.
Dalam hal persyaratan Ijma’ ada ulama yang mengatakan bahwasannya zaman/masa sebagai
syarat Ijma’.
4. Tingkatan Ijma’
Ijma’ memiliki beberapa tingkatan yaitu sebagai berikut :
a. Ijma’ sharih
Dimana setiap mujtahid menyatakan bahwa mereka menerima pendapat yang disepakati
tersebut.
b. Ijma’ Sukuti
Dimana suatu pendapat yang dikemukakan oleh seorang mujtahid, kemudian pendapat itu
diketahui oleh mujtahid yang hidup semasa dengan mujtahid atas, tidak ada seorangpun
mengingkarinya dan/mengiyakannya. Dalam hal ini Imam Syafi’i tidak memasukkan
Ijma’ Sukutidalam kategori Ijma’ yang dapat dijadikan hujjah.
Ulama-ulama yang berpendapat tentang ijma’ sukuti :
1) Tidak memasukkan ijma’ sukuti ini dalam kategori ijma’ (oleh imam Syafi’i)
2) Memasukan ijma’ sukuti dalam kategori ijma’, hanyasaja tingkat kekuatanya di
bawah ijma’ sharih. (oleh fuqoha selain Syafi’i dan Hanafi)
3) Ijma’ sukuti dapat dijadikan argumentasi (hujjah) tapi bukan termasuk kategori ijma’.
(Madzhab Hanafi)
Dari 3 golongan tersebut masing-masing memiliki alasan masing-masing. Adapun
organisasi ulama yang menganggap bahwa ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan hujjah
sariyyah adalah sebagai berikut :
1) Orang diam tidakdapat dipandang sebagai orang berpendapat. Karena apa? Jika
dianggap sebagai ijma’ ini diam dapat dianggap sebagai pembicaraan yang
dinisbatkan pada seorang mujtahid.
2) Diam tidakdapat di pandang sebagai setuju. Karena diamnya seorang mujtahid
mungkin setuju/tidak, mungkin berijtihad dengan masalah tersebut/mungkin sudah
tetapi belum memperoleh hasil yang mantap dan masih banyak kemungkinan-
kemungkinan yang lain. Segala kemungkinan tersebut di atas, maka diam tidak dapat
dijadikan sebagai hujjah untuk menerima pendapat seorang mujtahid.
Sedang yang ke 2 memiliki alasan sebagai sebagai berikut :
a) Pada dasarnya diam tidak bisa dikategorikan hujjah kecuali sesudah merenung
dan berfikir.
b) Pada umumnya tidak semua pemberi fatwa memberikan keterangan pada suatu
masalah.
c) Diamnya seorang mujtahid setelah merenung dan berfikir terhadap hasil ijtihad
orang lain yang bertentangan dengan hukum yang benar menurut ijtihadnya
adalah haram.
ال تجمع امتى على الضاللة
Artinya : “Umatku tidak akan bersepakat atas perbuatan sesat”
6. Pengertian Qiyas
Qiyas secara bahasa adalah
تقدير الشئ بأخر ليعلم المساوات بينهما
Qiyas secara istilah adalah
رد الفرع الى االصل بعلة تجمعها فى الحكم
Qiyas juga bisa berarti menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan
sesuatu yang ada nash hukumnya karena ada persamaan illat hukum. Karena dengan qiyas ini
berarti para mujtahid telah mengembalikan ketentuan hukum kepada sumbernya al-quran dan
hadits. Sebab dalam hukum Islam kadang tersurat jelas dalam al-quran dan hadits, tapi
kadang juga bersifat implicit-analogik (tersirat) yang terkandung dalam nash. Beliau Imam
Syafi’i mengatakan “Setiap peristiwa pasti ada kepastian hukum dan umat Islam wajib
melaksanakannya”. Namun jika tidak ada ketentuan hukum yang pasti, maka haruslah dicari
dengan cara ijtihad. Dan ijtihad itu adalah qiyas.
Proses pengqiyasan dilakukan dengan cara menganalogikan sesuatu yang serupa
karena prinsip persamaan‘illat akan melahirkan hukum yang sama. Asas qiyas adalah
menghubungkan dua masalah secara analogis berdasarkan persamaan sebab dan sifatnya.
Apabila pendekatan tersebut menemukan titik persamaan maka konsekuensi hukumnya harus
sama pula dengan hukum yang ditetapkan. A1-Qur’an menjelaskan perbedaan hukum karena
tidak adanya persamaan sifat dan perbuatan yaitu firman Allah :
افلم يسيروا فى االرض فينظروا ليف كان عاقبة الذين من قبلهم دمر هللا عليهم وللكافرين امثالهم
Artinya : Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi ini sehingga
mereka dapat melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka. Allah telah
menimpakan kebinasaan atas mereka dan orang-orang kafir akan menerima akibat-akibat
seperti itu.
Yang kedua adalah analogi beda sifat, beda hukum.
ام حسب الذين احترجوا السيأت ان تجعلهم كا الذين أمنوا وعملوا الصالحات سواء محياهم ومماتهم سأ ما يحكمون (الجاثية
)21 :
Artinya : Apakah orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa kami akan
menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh, yaitu
sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu.
Dan Firman Allah yang berbunyi.
)28 : ام نجعل الذين امنوا وعملوا الصالحات كا المفسدين فى االرض ام نجعل المتقين كا الفجار (الصاد
Artinya : Patutkah kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sho!
eh samadengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah kami
menganggap orang-orang yang bertaqwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat?
Dengan ketiga dalil Al-Qur’an tersebut di atas sangat sesuai dengan prinsip berfikir
rasional yaitu menyamakan sesuatu karena adanya persamaan dan membedakan sesuatu
karena adanya faktor perbedaan. Menurut pendapat Imam Al-Muzani seorang sahabat Imam
Syafi’i menyimpulkan pandangan beliau tentang qiyas yaitu : Para ahli hukum dan masa
Rasulullah hingga sekarang selalu mempergunakannya dalam setiap masalah agama. Sesuatu
yang setara dengan hak adalah hak dan yang dengan setara bathil ya bathil pula. Ibnu
Qoyyim sependapat dengan hal tersebut.
Karena qiyas merupakan aktivitas akal, maka ada ulama yang berbeda pendapat
dengan jumhur ulamatentang tentang digunakannya/tidak digunakannya qiyas. Dalam hal ini
terdapat tiga kelompok besar yaitu :
1) Kelompok Jumhur : Mempergunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak
jelas nashnya baik dalam Al-Qur’an/Al-hadist pendapat shahabat/ijma’ ulama tapi hal
tersebut dilakukan dengan tidak berlebihan dan melampaui batas.
2) Madzab Dhohiriyah dan Syiah Imamiyah : Samasekali tidak memakai qiyas, hanya
terpaku pada teks.
3) Akhor/kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas. Terkadang dalam
kondisi/masalah tertentu kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentaskhih dan
keumuman Al-Qur’an dan Al Hadist.